Saturday, June 14, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

 


******

Chapter 13 :

Genius and Possessive

 

******

 

Author:

MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matanya begitu tajam dan mengerikan. Setelah mengucapkan dua kalimat itu, Violette langsung berlari meninggalkannya

Satu panggilan kencang terucap dari bibir Justin dan hasilnya nihil; Violette tidak berbalik sama sekali. Gadis itu sudah menaiki taksi yang kebetulan berhenti di depannya saat ia sampai di pinggir jalan.

Justin bernapas samar. Pria itu menelan ludahnya, membuat jakunnya naik turun. Matanya menyipit tatkala melihat kepergian taksi itu.

Sesuatu pasti sedang terjadi. Emosi seseorang akan berubah jika dipengaruhi oleh sesuatu.

Tanpa pikir panjang, Justin mengambil tas besar berisi kotak gaun pernikahan yang sebelumnya dijatuhkan oleh Violette, lalu mulai berjalan ke arah mobilnya sembari merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Justin langsung menelepon Violette beberapa kali, tetapi Violette tak mengangkatnya sama sekali.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Justin sampai ia masuk ke mobilnya. Namun, tatkala sedang menghidupkan mesin mobil itu, ada sebuah panggilan masuk dari seseorang yang membuat Justin jadi menelepon sambil mengemudi.

"Mr. Alexander?"

Justin mendengkus.

"Apa yang kau dapatkan?" tanya Justin.

"Di rumah pertama tempat penyekapan Mr. Jonathan Morgan, ada banyak sidik jari milik pelaku dan juga milik Mr. Morgan. Mereka tidak menyembunyikan sidik jari itu sama sekali, seolah-olah memang disengaja. Namun, milik Mr. Morgan hanya ada di salah satu ruangan. Jadi, bisa dipastikan kalau sidik jari di tempat lainnya adalah milik sang pelaku. Polisi sedang menyelidiki semuanya. Ada juga kecurigaan bahwa sang pelaku adalah salah satu bodyguard dari seorang CEO terkenal di Perancis yang bernama Mr. Martinous Hoult."

"Aku sudah membaca tentang itu. Ada lagi?" tanya Justin dengan alis menyatu.

"Belum ada, Tuan. Aku akan memeriksanya lagi."

"Cari tahu soal benar atau tidaknya dugaan itu. Aku tak boleh bertindak sembarangan, untuk sekarang," ujar Justin dingin. Detik itu juga, Justin mematikan panggilan telepon itu. Dia menaruh asal ponselnya di atas dashboard, lalu mulai mengemudi dengan kecepatan penuh.

Tebakan Justin tidak meleset. Namun, hal yang ia sesali adalah: Violette harus terlibat dengan semua urusannya. Sebenarnya, Justin hanya tak ingin Violette mengingat semua masa lalu mereka meskipun Violette juga merupakan mantan anggota Red Lion.

Kedua mata berwarna lelehan emas milik Justin itu menatap fokus ke depan, menembus gelapnya malam di balik kaca depan mobilnya.

Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Violette. Matanya memperhatikan rumah itu yang masih gelap tanpa ada tanda bahwa ada seseorang di dalamnya. Justin menghela napas samar, lalu mencengkeram roda kemudinya; ia tampak terganggu.

Justin melepaskan dasinya dalam satu kali tarikan. Ia juga melepas jasnya, lalu menaruh keduanya di jok penumpang depan. Setelah itu, ia pun keluar dari mobilnya.

Langkah kakinya terlihat sedikit lebar tatkala mendekati rumah Violette. Meskipun demikian, kalau dilihat sekilas, ia sepertinya tidak terlalu buru-buru. Entah karena ia tak terbiasa memiliki emosi yang naik turun…atau karena ia memang tak ingin menunjukkannya. Namun, sungguh, saat ini ia benar-benar cemas. Tidak ada lagi Hillda, tidak ada lagi masa lalu yang hinggap di otaknya. Hanya ada Violette.

Jadi, di sinilah ia sekarang, mulai mengetuk pintu rumah Violette dengan sedikit kencang. Memikirkan segala macam kemungkinan yang paling buruk, tanpa sadar Justin menggertakkan giginya.

"Violette."

"Violette, I'm here. Jika kau ada di dalam, kumohon keluarlah."

Justin mencoba untuk memastikan keadaan. Namun, benar saja, di rumah itu memang tidak ada orang.

Justin mendengkus. Dia langsung berbalik dan berjalan menuruni tangga rumah panggung Violette dengan langkah lebar. Dia pun bergegas masuk ke mobil, lalu mengambil ponselnya yang ada di atas dashboard dengan tangan kirinya. Sementara itu, tangan kanannya sibuk menghidupkan mesin mobil.

Tatkala mobil itu sudah berjalan, akhirnya Justin mendapatkan nomor telepon yang ingin ia hubungi. Tepat di detik kedua, ponsel itu sudah ada di telinga kirinya; dia menelepon orang tersebut.

"Beri aku laporan tentang lokasi penyekapan yang terbaru, paling lambat dua hari kedepan. Usahakan informasi mengenai orang itu sudah lengkap," perintah Justin dengan tegas.

“Selain itu, tolong beritahukan kepada para assistant-ku bahwa aku akan membatalkan rapat malam ini. Katakan pada mereka untuk menghubungiku; aku ingin tahu jadwalku pada hari Kamis. Chief assistant-ku sedang berada dalam kondisi yang kurang baik."

Setelah mendengar beberapa jawaban yang patuh, Justin pun mematikan panggilan telepon itu dan mulai menelepon seseorang lagi.

Panggilan telepon itu langsung diangkat begitu Justin mendengar dering pertama.

Suara yang menyambutnya dengan beribu kehangatan itu membuat mata Justin menyipit; tiba-tiba, ia menatap jalanan di depannya dengan tajam.

"Where are you?" Justin bersuara setelah sekian lama ia hanya diam mendengarkan semua omongan lawan bicaranya. Dia tak tertarik untuk menanggapi lawan bicaranya itu.

"Arrgh! Ternyata, kau masih perhatian padaku, Justin," ujar sang lawan bicara di seberang sana, seorang perempuan. Perempuan itu berbicara dengan suara yang amat seksi sampai nyaris terdengar seperti mendesah.

Justin kembali menggertakkan giginya. "Kau membuatku jadi tidak bisa profesional, Elika."

"Kau tidak perlu profesional padaku, sir," jawab perempuan itu, Elika. "Profesional macam apa yang diperlukan di antara kita? Oh…aku merindukan masa-masa saat kita sering bersama. Kau tahu, aku sering membayangkanmu meniduriku seperti saat itu, termasuk sekarang ini ketika kau meneleponku. Aku yakin kau juga merindukanku, ‘kan?"

Justin mendengkus. "Kau sangat memalukan.”

"Sirkau—"

"Di mana kau sekarang?" tanya Justin dengan nada tajam, sekali lagi. "Temui aku di depan kantor."

 

******

 

Elika berdiri di depan Justin; mobilnya terparkir tidak jauh dari mobil Justin. Justin sedikit hampir duduk di engine hood dan Elika berdiri di depan pria itu. Elika melipat tangannya di depan dada.

Elika tersenyum miring. "Aku yakin ini bukan tentang pekerjaan. Bukankah begitu, sir?”

Justin yang sedari tadi menunduk dengan kedua tangan di dalam kantung celananya, perlahan mengangkat kepalanya untuk menatap Elika. Dia memberi Elika tatapan membunuh. Ah, tatapan itu akan membuat Elika terangsang jika saja Elika tak peduli dengan apa yang ingin pria tampan itu sampaikan.

"You right," jawab Justin dingin.

"Jadi? Kau ingin kita kembali bersama? Good. Akhirnya, kau sadar. Aku sudah cukup menderita karena harus terus mengemis padamu. Kau tahu, aku akan bermasturbasi setiap hari karena sangat merindukanmu. Terdengar menjijikkan? Haha! Kau puas? PUAS SETELAH KAU BERHASIL MENGHANCURKANKU? Profesional? Bagaimana bisa aku bersikap profesional ketika atasanku adalah kau? Selain itu, kau selalu bersikap seperti kita tak dekat sama sekali, seperti orang asing, padahal kau telah merusakku seperti ini!! Kau telah membuatku terobsesi padamu; kau telah membuatku jatuh cinta padamu!! Jangan tidur dengan seorang perawan jika kau hanya akan membuangnya di kemudian hari, bajingan!!!!" teriak Elika.

"Kau sudah tahu bahwa aku tidak memiliki reputasi yang baik saat itu dan kau juga menyetujui perjanjian kita," jawab Justin. Ia memang seorang bajingan, tetapi dalam kasus ini, Elika juga telah pasrah. Waktu itu, Elika setuju untuk menjadi partner seksnya dengan alasan cinta.

Mata Elika membulat; dia terkejut bukan main. Tanpa ia sadari, dua detik kemudian, matanya mulai memerah dan berair. Dadanya sesak. Ia adalah perempuan sinting yang jatuh cinta pada seorang pria yang di matanya hampir sempurna. Ia jatuh cinta hingga tak memedulikan fakta bahwa Justin sedang bermasalah saat itu.

Elika menunduk, air matanya jatuh dengan deras. Namun, tiba-tiba saja…ia tertawa kencang.

Ia tertawa seperti orang gila; ada sirkuit yang rusak di kepalanya. Ia menggeleng dan berbicara dengan suara yang sumbang. "Jadi, kau muak padaku? Hm? Kau MUAK? Wah, ini lucu."

"Ya, aku muak," jawab Justin tajam. "Hentikan semua ini. Kau masih punya harga diri jika kau menghentikannya. Gunakan otakmu untuk sesuatu yang lebih berguna. Ayo kita jalani hidup kita masing-masing. Lagi pula, kita sudah mengakhiri perjanjian itu, sejak dahulu."

Elika berdecak; ia kontan menatap Justin dengan tajam. Namun, seiringan dengan itu, Justin juga bangkit dari duduknya. Kali ini, Justin berdiri berhadapan dengan Elika.

"Di mana kau sembunyikan paman Violette? Aku hanya akan bertanya satu kali, jadi jawablah dengan jelas," ancam Justin.

Elika menganga. Namun, tiga detik kemudian, perempuan itu tertawa lagi.

"Violette lagi? Gadis tak berguna itu? Mengapa kau sangat memedulikannya, sih? Kau mencintainya? Sejak kapan kau berani mencintai seseorang selain Hillda, hah?!" Elika tertawa mengejek.

Detik itu juga, Justin mengepalkan tangannya.

"Elika!"

"What? Apa lagi?! Masih trauma dengan Hilldamu?!" ujar Elika. Justin memperhatikannya dengan mata yang menyipit tajam. Dari sini, Justin tahu bahwa Elika sudah lepas kendali. Dia mencoba untuk menyindir Justin dengan mengorek luka lamanya.

Justin menghela napas.

"Cukup. Beritahu aku di mana kau menyembunyikan paman Violette," ujar Justin. "Lebih baik kau beritahu aku sebelum aku yang menemukannya sendiri. Aku tak terbiasa menyakiti perempuan dengan pukulan atau siksaan, sebenarnya. Namun, jika kau menginginkannya, aku tak punya pilihan lain."

"Mengapa kau mencurigaiku? Apa kau pikir aku punya waktu untuk itu?" Elika tertawa. "Aku takkan membuang waktuku hanya untuk chief assistant yang tak menarik itu. Aku bisa mendapatkanmu tanpa harus melakukan itu, Justin," ujar Elika, ia langsung menatap Justin dengan lekat, memenjarakan Justin dengan tatapannya. "Aku bukan perempuan bodoh. Mengapa kau curiga padaku, hm?"

"Karena kau adalah satu-satunya orang selain aku dan Violette yang tahu soal Red Lion dan apa yang terjadi pada kami tiga tahun yang lalu."

Detik itu juga, mata Elika membeliak. Ia mematung. Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Hanya…dia? Justin tidak memberitahukannya kepada orang lain selain dia?

Sial!

Ketahuan oleh Justin adalah sesuatu yang sudah pasti ada di dalam perhitungan Elika, tetapi fakta bahwa dia adalah satu-satunya orang luar yang Justin beritahu soal Red Lion…sama sekali tidak ada di dalam perhitungannya.

Dia harus melakukannya dengan cara lain. Permainan tidak akan mengasyikkan jika berhenti di tengah jalan, bukan?

Elika tersenyum; tubuhnya kembali rileks. Ia menatap Justin dengan lekat, tetapi wajah Justin masih tanpa ekspresi. Suasana di sekitar pria itu terasa sedingin es.

"Well?" Elika memiringkan kepalanya. "Lakukanlah, kalau begitu. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan ketika kau menemukannya dengan tanganmu sendiri. Temukanlah pria tua itu sendiri, sir.”

Elika mendekati Justin. Wangi tubuh Justin semakin tercium dan Elika dengan senang hati menciumnya.

"Ini saatnya aku melawanmu. Jika aku menang…kau harus menjadi milikku," ujar Elika dengan mata yang melebar, penuh dengan ancaman. Wanita itu menyeringai.

Justin mendengkus. Dagunya terangkat; ia memandang Elika seolah-olah gadis itu adalah orang yang paling tak ia sukai.

Ia pun berbalik. Namun, saat membuka pintu mobilnya, Justin kembali bersuara dengan nada rendah.

"Violette bukanlah gadis lemah yang akan diam saja ketika ia menemukan pamannya. Nyawamu mungkin terancam. Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan Violette atau menjelekkan keluarganya karena kau jauh lebih buruk daripada mereka. Saat kau merendahkan mereka, justru kaulah yang terlihat buruk. Sampai kapan pun, aku akan tetap mengabaikanmu."

Setelah mengatakan itu, Justin pun masuk ke mobilnya. Pria bertubuh tegap itu langsung menjalankan mobilnya tanpa peduli apa pun. Ia meninggalkan sosok Elika yang semakin lama semakin jauh di belakang sana meski Elika tengah berteriak frustrasi karena kata-katanya barusan.

Justin mengemudi mobilnya dengan agak santai kali ini. Dia mengemudi sambil berpikir.

Lima menit kemudian, Justin mengambil ponselnya lagi. Dia kembali menelepon seseorang. Untuk yang kali ini, Justin benar-benar menunggu telepon itu diangkat.

Panggilan telepon itu berdering lima kali dan rasanya Justin bagai menunggu seabad. Hal itu sukses membuat Justin mencengkeram roda kemudi dan mendengkus.

Namun, akhirnya…telepon itu diangkat.

"Halo?" Suara itu terdengar agak serak, seperti habis menangis.

 

Ada sesuatu yang salah.

 

Violette pasti sedang menangis sekarang. Soalnya, teman setianya sedang menangis. Megan sedang menangis. Mungkin, Megan menangis karena melihat keadaan Violette saat ini.

Sial.

"Megan, tolong jaga Violette. Jangan biarkan dia pergi ke mana pun. Sebentar lagi, aku akan sampai di sana."

 

******

 

Megan:

Mataku membulat. Begitu panggilan telepon dari Mr. Alexander terputus, aku langsung berbalik dan melihat Violette yang saat ini sedang duduk di tepi ranjangku.

Merasa panik, aku pun kontan memberitahu Violette. Demi Tuhan, aku tak suka melihat Violette menjadi lemah karena rasanya aku seperti kehilangan dirinya. Dia memang beruntung karena CEO idaman seluruh wanita di negeri ini akan menjadi suaminya, tetapi di sisi lain, aku juga mengerti bahwa memiliki pasangan seperti itu adalah hal yang berat.

Aku mendekati Violette seraya meneguk ludahku. Sejujurnya, aku agak gugup. Jika ditanya apakah aku bisa menahan emosiku sendiri, jawabannya adalah: tidak sama sekali. Aku paling tidak bisa menahan tawa, tangis, marah, dan lainnya. Kalau orang lain mengkritik kondisiku ini, aku takkan peduli peduli. Soalnya, mereka tidak memberiku makan ataupun pria tampan, 'kan?

"Violette…” panggilku. “Dia—dia tahu kalau kau ada di sini."

Violette kontan menatapku, tetapi matanya seakan kehilangan binarnya. Dull. Sepertinya, dia sudah paham dengan apa yang barusan kukatakan, tetapi memilih untuk tidak meresponsku.

Dia memejamkan matanya, lalu menghela napas. Well, Justin pasti akan menemukannya. Setahuku, takkan ada sesuatu yang bisa Violette sembunyikan lama-lama dari Justin. Seth sedari tadi stay di rumahku; lelaki itu tidak pernah meninggalkan Violette sejak dia tahu bahwa Violette ada di sini dengan keadaan yang kacau. Seth adalah orang yang bisa dipercaya. Dia juga menyukai Violette meskipun mereka hanya bertetangga.

Seth memperhatikan kami sepanjang waktu, tetapi dia kesal sekali ketika melihat Violette bersedih hati seperti itu, terutama ketika dia tahu bahwa Violette sedang diteror. Dia nyaris menghancurkan kamarku! Untungnya, aku berhasil mencegahnya. Bakal repot kalau kamarku jadi berantakan. Itu juga akan mengganggu Violette.

Violette sudah menceritakan segalanya kepada kami berdua. Tentang Elika yang kemungkinan besar bekerja sama dengan orang yang menerornya selama ini, tentang Justin, tentang apa yang terjadi di depan butik beberapa saat yang lalu

Semuanya.

Dia sudah menceritakan semuanya dan aku mengerti mengapa Violette jadi seperti ini.

Aku sempat marah padanya karena telah merahasiakan banyak hal dariku seolah-olah mengecilkan keberadaanku dan tidak percaya padaku, tetapi akhirnya ia meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Aku akhirnya memaafkannya karena aku sangat sayang padanya. Dia adalah seorang gadis yang baik. Dia juga sangat cantik meskipun dia tak pernah menyadarinya. Dia cantik luar dan dalam. Kupikir, mungkin…karena itu jugalah CEO kami terpikat padanya—di luar cerita tentang mereka yang sudah berteman lama—dan memutuskan untuk menikahinya.

"Kau harus mengatakan segalanya pada Justin, Violette," ujarku. Aku mulai duduk di samping Violette. Aku meraih pundaknya dan membuat kepalanya bersandar di bahuku. "Jangan sembunyikan apa pun darinya. Dia mencintaimu. Jangan remehkan aku; begini-begini, aku tahu mana pria yang tulus dan mana pria yang kurang ajar."

Lelucon kecilku ini membuat Violette kontan menatapku, lalu dia menunduk dan tertawa kecil. Dia tidak menangis lagi sejak setengah jam yang lalu.

Aku bersyukur karena masih bisa menghiburnya dengan lelucon gilaku.

Akhirnya, dia pun mengangguk. Namun, meskipun dia terlihat setuju, kalimat yang keluar dari mulutnya adalah:

"Aku akan sangat bahagia bila aku bisa mengatakannya, Meg."

 

******

 

Author:

Megan berdiri begitu mendengar suara mobil yang baru berhenti di depan rumahnya. Ia berjalan dengan cepat, menuju ke jendela kamarnya untuk sedikit mengintip, lalu berbalik.

"Dia di sini," ujar Megan.

Megan pun langsung berlari keluar dari kamarnya. Ia menutup pintu kamar itu dengan agak keras; ia ingin membawa Justin masuk ke rumahnya untuk melihat Violette.

Violette hanya diam, gadis itu menunduk. Tidak mudah untuk berhadapan dengan Justin lagi setelah semua yang terjadi sekitar satu setengah jam yang lalu. Mungkin saja, pria itu sudah kecewa pada Violette. Memikirkan itu, Violette jadi ingin menangis.

Apakah semuanya sudah berakhir?

Seth terus mencoba untuk menenangkan Violette hingga akhirnya pintu kamar itu pun terbuka. Saat melihat ke ambang pintu, Violette langsung menemukan sosok Justin yang berdiri di belakang Megan. Biasanya, Violette akan terpaku saat memandangi wajah tampan Justin. Namun, kali ini…Violette malah menangis. Air matanya mengalir begitu saja. Rasanya sakit sekali saat memikirkan bahwa dia akan kehilangan pria itu.

Iya, benar. Violette sudah jatuh cinta…pada Justin. Dia sudah lama masuk ke dunia Justin. Gelap atau terang pun dunia pria itu, dia akan tetap terjerumus ke dalamnya.

Justin langsung mendekati Violette begitu ia masuk ke kamar Megan. Pria itu duduk di samping Violette. "Bagaimana keadaanmu?"

Keadaan? Bukankah seharusnya…Justin menanyakan alasan mengapa Violette meninggalkannya tadi?

Pria itu justru lebih penasaran dengan keadaannya.

Violette pun menunduk. "Aku baik-baik saja."

"Jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis," ujar Justin tajam.

Violette menoleh kepada Justin; dia tercengang. Namun, sesaat kemudian, Violette merasa seperti ditampar oleh kenyataan lagi. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dan matanya berkaca-kaca.

"Aku tidak menangis." Jika tidak ada teror yang membuatku harus meninggalkanmu.

"Kalau kau tidak menangis, air mata apa yang sedang kulihat ini? Jangan menipu dirimu sendiri. Tubuhmu tak dapat mengimbanginya." Justin memegang kepala Violette, membuat gadis itu melihat ke arahnya. Setelah itu, Justin memeluk tubuh Violette dengan erat.

Justin menghela napas. Bibirnya berada di puncak kepala Violette. Berada di dalam pelukan Justin adalah hal ternyaman yang pernah Violette rasakan. Jika pria ini menjadi sandarannya, kekuatannya, pelindungnya, teman hidupnya...Violette akan sangat bahagia. Namun, mendadak Violette kembali mengingat masalah mereka saat ini.

Jika masalah seperti ini saja Violette tidak bisa mengatasinya, pantaskah ia menjadi istri Justin? Tentu tidak.

Tiba-tiba, Justin melepaskan pelukannya. Justin mengusap pelan bagian belakang kepala Violette dengan jempolnya. Setelah itu, tangan Justin turun…dan akhirnya menggenggam tangan Violette. Saat itulah, pria itu mulai berdiri dan membawa Violette keluar dari kamar Megan.

"Justin—" Violette memberontak, tak ingin Justin berbuat seenaknya. "Justin, what are you—oh, God! JUSTIN!"

Namun, tiba-tiba langkah pria itu terhenti; Violette hanya bisa melihat punggung lebar pria itu dari belakang. Alis Violette menyatu.

Dua detik kemudian, pria itu mulai menoleh ke belakang. Menatap Megan.

"Kami pulang, Megan. Terima kasih karena telah menjaga Violette. Benar-benar terima kasih dariku."

Megan pun mengangguk.

Violette melihat ke arah Megan sebentar. Namun, begitu pandangannya kembali ke depan, ia sontak menemukan bola mata keemasan Justin yang telah menatapnya seperti elang. Tatapan itu sukses memenjarakannya, menjebaknya, dan membuat napasnya tertahan. Akan tetapi, meski tatapannya setajam elang, warna bola mata itu…benar-benar menakjubkan. Indah sekali.

Violette terdiam selama beberapa detik, hingga akhirnya, tangan kekar Justin mulai memegang punggungnya dan membawanya berjalan.

Mata Violette kontan membeliak. Lho? Justin…bukan mau memarahinya, ya? Jadi...apa? Ekspresi apa yang Justin tunjukkan tadi? Mengapa Justin menatapnya seperti...

Ah, demi apa pun, susah sekali untuk menebak isi kepala Justin.

Justin membawa Violette sampai ke dekat mobilnya yang ada di depan rumah Megan. Namun, sebelum masuk ke mobil, Justin tiba-tiba mengeluarkan ponselnya—untuk yang kesekian kalinya—dan berhenti berjalan. Tangan kiri pria itu masih berada di punggung Violette, tetapi dia berhenti berjalan. Mengapa dia berhenti berjalan hanya untuk menelepon?

Violette menatap Justin yang lebih tinggi darinya itu dengan mata yang menyipit. Ia ingin menguping pembicaraan Justin. Soalnya, pembicaraan macam apa yang membuat Justin sampai harus berhenti berjalan?

“Locardo, it’s me."

Ah...itu adalah paman Justin. Justin selalu saja memanggil pamannya dengan cara yang tidak sopan... Well, wajar juga, sih, soalnya Justin masih marah kepada Locardo. Menyuruhnya untuk bersikap sopan sekarang adalah hal yang paling mustahil untuk dilakukan. Huh. Violette harus banyak-banyak mempelajari karakter Justin agar bisa memahami pria itu.

Pikiran bahwa ia adalah wanita yang tak berguna untuk Justin, tak bisa melakukan apa-apa untuk Justin, bahkan tak bisa 'memahami' Justin, adalah hal yang paling menyiksanya. Sungguh, ia ingin menangis kalau mengingat kenyataan itu, apalagi ketika ia sadar bahwa Justin belum terlalu terbuka kepadanya...

Oh, Tuhan.

"Ya. Tolong percepat tanggal pernikahanku," ujar Justin. Pria itu bernapas samar; ia berbicara dengan begitu dingin. "Bantu aku untuk mempersiapkan pernikahanku. Persiapan itu harus dimulai besok pagi. Friday; I will get married on Friday." []

 














******










Friday, June 13, 2025

She Was Never Mine (Bab 3: Jatuh Cinta Padanya)

 


******

Bab 3 :

Jatuh Cinta Padanya

 

******

 

JOSH membuka pintu studionya. Cahaya matahari masuk melalui jendela studio yang tertutupi oleh gorden berwarna putih, membuat studio itu cukup terang meskipun lampunya mati. Tadi, saat Alvin dan Kei pamit untuk pulang, Josh telah mematikan seluruh lampu downlight dan menutup pintu studionya. Ia pikir, siang ini ia takkan masuk ke studio lagi karena ingin beristirahat.

            Akan tetapi, kata-kata Kei tadi mendadak terngiang-ngiang di telinganya.

Josh melangkah masuk ke studio itu, lalu menutup pintunya kembali. Ia berjalan dengan pelan, melangkahkan kakinya seraya melihat ke sekeliling ruangan. Maksudnya, ke seluruh karyanya. Hingga kemudian, mata Josh sampai kepada sebuah foto, yaitu foto berbingkai yang dipajang di area dinding dekat pintu. Foto yang tadi diulas oleh Kei.

Foto Windy.

Josh pun mendekati foto itu. Ia berjalan seraya menarik sebuah kursi, lalu meletakkan kursi tersebut di depan foto yang dimaksud. Di antara kesunyian studio itu, Josh mulai duduk di kursi yang ia bawa dan memperhatikan foto itu dengan lekat.

Di foto itu, Windy sedang memakai dress yang berwarna putih. Foto itu diambil dari dekat sehingga hanya menampakkan bagian kepala hingga pinggang Windy, tetapi Josh ingat bahwa dress itu memang hanya selutut dan berlengan pendek.

Windy sedang tertawa bahagia di foto itu. Ia melakukan gerakan memutar, membuat dress-nya mengembang dan ikut berputar bersamanya. Rambut hitamnya juga ikut berputar dan sedikit tertiup angin. Di belakangnya ada pemandangan berupa rumput hijau yang luas.

Dia, Windy Alisha, terlihat sungguh indah di foto itu. So soft, so warm, so dreamy…

 

‘Kok aku ngerasa kalo…dari foto ini perempuan itu keliatan…jauh?’

 

Tiba-tiba, kata-kata Kei tadi terngiang-ngiang di telinga Josh.

Jauh…?

Benarkah?

Rasanya…seperti ada sebuah jarum yang pelan-pelan menusuk jantung Josh. Perlahan-lahan pula, ada setitik rasa sakit yang muncul…dan akhirnya titik-titik itu menyebar. Rasa sakit itu membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang, mengirim satu sinyal yang memelesat langsung ke otaknya.

 

Apa aku…salah?

Nggak. Nggak. Nggak mungkin.

Tapi…kenapa pas denger kata-kata itu…badanku refleks ngerespons?

 

Sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Josh tersentak. Ponselnya berbunyi singkat, pertanda ada sebuah notifikasi yang masuk. Ia langsung merogoh saku celana jeans-nya dan mengambil ponsel itu. Ternyata, itu adalah notifikasi dari aplikasi WhatsApp; ada sebuah chat yang baru saja dikirim oleh Alvin. Josh pun langsung membuka chat itu.

 

Alvin

Josh, nomor lo udah gue kasih ke Kei, ya. Biar lebih gampang aja buat komunikasinya.

BTW, ini nomor Kei. Save aja, Josh.

Attachment: 1 contact

 

            Josh langsung membuka attachment itu. Ada sebuah kontak yang Alvin beri nama ‘Keisha Nathalie’ di sana. Tanpa pikir panjang, Josh pun langsung membuka profil Kei, lalu melihat display picture-nya.

Di foto itu, Kei memakai sebuah crop top tanpa lengan yang berwarna hijau. Ia juga memakai pareo skirt berwarna sama yang dililitkan di pinggang sebelah kirinya. Ia bersandar pada railing dan kedua sikunya pun bertumpu di railing itu. Kepalanya mendongak; ia tampak sangat menikmati udara di sekitarnya.

Apakah foto itu diambil saat Kei sedang berkunjung ke pantai? Hm… Ke Bali, misalnya?

Kei cantik sekali. Kulit wajah dan tubuhnya sangat sehat, mulus, glowing, dan eksotis. Di foto itu, Kei sepertinya tidak memakai makeup. Rambutnya juga hanya dijedai. Omong-omong, karena memakai pareo skirt, kaki jenjangnya itu jadi terlihat hingga ke paha, apalagi dia juga berpose dengan sedikit memajukan kakinya.

Bagaimanapun juga, Kei sangat cantik. Sesuai ekspektasi, dia memang merupakan seorang model.

Josh tersenyum. Pria itu akhirnya menghela napas. Pikiran tentang Windy—yang tadi sempat mengganggunya itu—tiba-tiba hilang; dia bersyukur Alvin memberikannya sebuah distraksi di saat yang tepat karena jika tidak begitu, mungkin kepalanya akan sakit minta ampun. Dia sangat mencintai Windy, jadi pikiran-pikiran seperti itu tentu akan sangat menghancurkan hatinya.

 

Udah, nggak apa-apa. Nggak usah mikir terlalu jauh.

Selama ini juga baik-baik aja kok.

 

Josh mulai menyimpan nomor Kei di ponselnya. Pria itu memberi nama kontak yang simpel berupa ‘Kei’, lalu membuka kembali chat dari Alvin.

 

Josh Andriano

Ok, bro. Thanks, ya

 

Alvin

Okee

 

Josh pun kembali memandangi foto Windy yang ada di hadapannya. Melihat foto itu dengan lekat begini…membuat pikirannya jadi melayang ke masa lalu. Ke masa-masa…di mana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Windy. Masa-masa yang sangat indah, masa-masa remaja yang melambungkan kisah cinta di sekolah…meskipun sebenarnya Windy tidak tahu dengan perasaannya saat itu. Namun, tetap saja, hati Josh berbunga-bunga saat memikirkan masa-masa itu kembali. Jantungnya berdebar-debar.

Masa di mana semua kisah cintanya dimulai.

Masa SMA.

 

******

 

KOTA JAKARTA

BEBERAPA TAHUN YANG LALU

 

“Josh! Lo denger nggak?!” teriak Alvin, cowok itu memukul bahu Josh yang sejak tadi tak kunjung mendengar ucapannya. Josh sibuk memandang ke depan, matanya nyaris tak berkedip, tak tahu sedang memandangi apa. Hal itu membuat Alvin jadi keki setengah mati. Sial, rasanya Alvin sudah berbicara panjang lebar sejak tadi, membicarakan Rafael yang sibuk meneleponnya tadi malam karena ingin menyalin tugas Bahasa Indonesia. Well, kalau PR mereka saat itu adalah menyelesaikan soal-soal di buku, sih, tidak apa-apa. Ini mereka disuruh membuat puisi, bro! Puisi yang Alvin buat hanyalah puisi cinta murahan yang dia copy dari Google, tetapi dia ganti judulnya jadi ‘Ibu’ supaya tidak malu. Makanya, Rafael itu mau nyalin apa coba?

Namun, percuma saja. Bukannya mendengarkan keluhannya, Josh malah terus menatap ke depan. Akhirnya, karena kekesalannya mulai menjadi-jadi, dia pun memukul bahu Josh dengan kencang. Josh tersentak; dia kaget bukan main.

Josh lantas menoleh kepada Alvin; mata cowok itu kontan melebar. “Apaan, sih, Vin?!”

“Dari tadi gue udah ngomong sama lo, woy,” jawab Alvin dengan ekspresi datar. “Lo ngeliatin apa, sih?”

Josh mendengkus. Cowok itu lalu menunjuk ke depan sana (ke arah murid-murid yang duduk di depan, tetapi berbeda barisan dengan mereka) dengan dagunya.

“Itu,” jawab Josh. Cowok itu mulai senyum-senyum sendiri. Alvin kontan mengernyitkan dahi.

“Siapa? Yang mana?” tanya Alvin. Cowok itu memanjangkan leher dan memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan hanya untuk melihat apa yang Josh tunjukkan barusan. “Banyak orang di sana, Bro. Nggak cuma satu.”

Josh tertawa kecil. “Itu. Si Windy.”

Alvin pun memperhatikan Windy yang duduk di kursi paling depan bersama teman sebangkunya. Windy dan teman sebangkunya itu terlihat sedang bercanda sambil tertawa; mereka sepertinya tengah membicarakan sesuatu yang sangat menarik.

Bagi Josh, pemandangan itu indah sekali. Windy tertawa riang seperti itu…di bawah sinar mentari yang menyinarinya pagi ini. Sinar mentari yang masuk melalui jendela kelas seolah-olah berkumpul hanya untuk menerangi sosoknya, membuatnya terlihat begitu indah. Seperti bidadari yang sedang tertawa. Rambut hitamnya yang digerai, wajah cantiknya…

Semuanya sempurna.

Namun, berbeda dengan Josh, tatkala Alvin melihat sosok Windy di depan sana, Alvin spontan memutar bola matanya. Cowok itu berdecak. “Windy lagi…Windy lagi. Sampe bosen gue dengernya. Terserah lo dah.”

Kini, gantian Josh yang berdecak. Cowok itu langsung menoleh kepada Alvin dan berkata, “Vin, Windy itu baik, lho. Kok lo kayak nggak suka banget, sih, sama dia? Heran gue.”

Malas menjawab (karena tak ingin bertengkar dengan Josh), Alvin pun akhirnya mengalihkan pandangannya dan mengedikkan bahu. Dia mulai mengeluarkan buku cetaknya karena sebentar lagi bel akan berbunyi. “Entahlah. Males aja gue.”

Akhirnya, Josh pun mendengkus. Dia memilih untuk kembali memandangi Windy; dia terjebak pada kecantikan Windy lagi, lalu tersenyum lembut.

Namun, beberapa detik kemudian, seisi kelas itu tiba-tiba dikejutkan oleh satu teriakan kasar. Ada suara mengerikan seorang laki-laki yang agaknya berteriak di depan kelas mereka.

“WOY, KELUAR LO SEKARANG!!!”

Seisi kelas itu—termasuk Josh dan Alvin—spontan menoleh ke asal suara. Ternyata, suara itu berasal dari ambang pintu kelas mereka. Di ambang pintu itu, berdiri beberapa kakak kelas laki-laki yang berbadan tinggi dan besar. Ekspresi wajah mereka tampak bengis dan mata mereka nyalang; mereka terlihat murka. Sepertinya, mereka sudah siap untuk menyiksa habis seseorang yang sedang mereka cari di kelas itu.

Namun, anehnya…

…tatapan mata mereka semua tertuju kepada Josh.

“LO YANG NAMANYA JOSH, ‘KAN?! SINI LO, IKUT SAMA GUE SEKARANG!! SIALAN LO!” teriak salah satu dari kakak kelas itu, seseorang yang berdiri paling depan. Dia adalah Gio, salah satu murid Kelas XII jurusan IPS di sekolah itu.

Mendengar teriakan itu, kontan saja mata Josh dan Alvin membulat. Seisi kelas pun langsung menoleh kepada Josh karena kaget sekaligus heran. Mereka semua memikirkan hal yang sama, yaitu: ‘Ada apaan, nih? Si Josh kenapa? Mampus, mana lawannya Kak Gio lagi!’

Sementara itu, dahi Josh berkerut. Bukan anak-anak kelas saja yang heran, dia pun heran bukan main! Mengapa dia tiba-tiba dicari?! Dia ada salah apa?! Rasanya dia tak pernah mencari masalah dengan orang!

Meskipun sangat heran (sampai kerutan di dahinya terlihat kentara), Josh pelan-pelan mulai berdiri. Melihat itu, Alvin jelas terperanjat—tubuhnya tegang—dan dia berkata, “W—Woy, Josh!”

Josh tidak menghiraukan Alvin dan mulai berjalan ke depan kelas. Alvin spontan mengumpat dan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Ujung-ujungnya, Alvin jadi ikut berdiri dan langsung mengejar Josh. Mereka berdua pergi mendekati para kakak kelas itu.

Pada akhirnya, Josh dan Alvin berhadapan dengan mereka—kakak-kakak kelas itu—di koridor. Suasana langsung riuh; teman-teman sekelasnya jadi mengintip melalui jendela.

Alvin hanya bisa membatin, ‘Sial! Apaan, sih, ini?! Pagi-pagi udah mau ngajak ribut aja!’

Josh menatap Kak Gio dengan lekat. Rambut ikal Kak Gio terlihat berantakan pagi itu, mungkin karena sangat marah dan frustrasi.

“Sekarang lo jawab gue,” ujar Gio dengan tajam. Mata cowok itu memelototi Josh; dari nada suaranya, terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya. “Lo ada apa sama Kayla?”

Alvin lagi-lagi membatin, ‘Ha? Kayla siapa coba?’

“Kayla?” tanya Josh, alisnya menyatu. “Kayla mana?”

Tiba-tiba saja, Gio berteriak, “CEWEK GUE, BANGSAT!”

Josh, yang benar-benar tak paham, mulai menggeleng. “Maksudnya ap—”

Kata-kata Josh terputus karena Gio tiba-tiba meninjunya. Tinju itu mengenai pipi dan rahang Josh—bunyi debak-debuknya sangat keras—dan tak tanggung-tanggung, Josh sampai hampir tersungkur.

“WOY!” teriak Alvin kepada Gio, matanya langsung melebar melihat Josh ditinju begitu saja. “APA-APAAN, SIH, LO? CEWEK LO YANG MANA AJA DIA NGGAK KENAL!!”

Josh pelan-pelan berdiri tegak meskipun sempat oleng. Dia pun kembali menatap Gio, tetapi kali ini tatapannya begitu tajam. “Maaf, Kak, gue beneran nggak tau Kayla itu siapa.”

“BACOT LO, TAI!” teriak Gio lagi. “NGAPAIN CEWEK GUE TERUS-TERUSAN NGEBAHAS SOAL LO KALO KALIAN NGGAK SALING KENAL?!”

Josh lagi-lagi menyatukan alis; cowok itu lantas memiringkan kepalanya. “Ngebahas gue? Kak, gue nggak kenal sama cewek lo. Mungkin, Josh yang dia maksud itu bukan gue.”

“Nggak usah sok cool lo, bangsat!!!” bentak Gio. “Lo Josh Andriano, ‘kan? XI IPA 2, Josh Andriano. SIAPA LAGI KALO BUKAN LO, ANJING?!”

Mata Josh membulat. Hah? Ini sebenarnya omong kosong macam apa, sih? Mengapa dia tiba-tiba dituduh begini? Ini tak masuk akal!

“Dia bilang, dia ketemu sama lo pas hang out bareng temennya di TIM. Lo motoin mereka, ‘kan? Dia mutusin gue gara-gara dia suka sama lo sejak saat itu, bangsat!! NGAPAIN LO GODAIN CEWEK ORANG, HAH?!”

Sebentar. TIM?

Mata Josh dan Alvin sama-sama melebar; mereka baru ingat sesuatu. Beberapa hari yang lalu, mereka memang jalan-jalan ke TIM dan kebetulan bertemu dengan gengnya Kak Tyas, kenalan Alvin. Karena kebetulan bertemu di sana, mereka pun ngobrol-ngobrol sebentar, lalu foto bersama. Mereka tidak sampai berkenalan dengan semua temannya Kak Tyas karena ngobrolnya tidak terlalu lama juga.

Jangan-jangan…Kayla adalah…salah satu temannya Kak Tyas waktu itu?

Ah, sial. Mengapa jadi begini, sih? Itu, kan, cuma kebetulan yang tidak berarti! Mengapa mendadak jadi menimbulkan masalah yang besar begini?! Apakah Josh waktu itu pernah memperlakukan seseorang dari geng Kak Tyas dengan istimewa? Rasanya tidak, deh!

Josh pun mencoba untuk berbicara dengan kepala dingin. Dia mulai menghadapi Gio dengan lebih serius; dia sudah mengerti situasinya. “Kak, tolong tenang dulu. Oke, gue dan Alvin waktu itu emang jalan ke TIM dan kita ketemu gengnya Kak Tyas. Tapi kita nggak kepikiran buat kenalan ke semua temennya Kak Tyas karena ketemunya juga nggak lama. Kita cuma sempet foto bareng. Udah, gitu aja. Makanya, gue bahkan nggak tau yang mana yang namanya Kayla. Gue nggak ada nggodain mereka sama sekali.”

Alvin mulai emosi. “Kalo didenger-denger, kayaknya cewek lo sendiri yang tiba-tiba suka sama Josh, Kak. Kok lo malah marahin Josh?! Sana yang naksir kok sini yang dimarahin.”

“DIEM LO! JADI, LO NUDUH CEWEK GUE?! GUE YAKIN PASTI LO YANG NGGODAIN DIA! MATI LO, SIALAN!” bentak Gio; cowok itu langsung berjalan cepat mendekati Josh. Teman-temannya juga ikut mendekati Josh dan Alvin, langsung bersiap untuk mengeroyok dua orang itu habis-habisan. Teriakan mereka menggema di koridor itu, pukulan nyaris saja dilayangkan, tetapi tiba-tiba saja…

…ada seorang cewek yang berteriak kencang. Sangat kencang.

“BERHENTI!!!!!!”

Semua orang yang ada di koridor itu spontan menoleh ke asal suara. Ke ambang pintu kelas.

Betapa terkejutnya Josh ketika melihat bahwa cewek yang sedang berteriak itu adalah…

 

…Windy.

 

Mata Josh melebar sempurna. Dilihatnya Windy yang langsung bergerak menengahi perkelahian itu; Windy berjalan ke tengah-tengah—di antara Josh dan Gio—lalu menghadap ke arah Gio seraya merentangkan tangannya. Dia mengadang Gio (beserta teman-temannya) agar tidak mengeroyok Josh dan Alvin.

Windy memelototi Gio seraya berteriak, “KALIAN SEMUA NGGAK PUNYA OTAK, YA?! INI DI KORIDOR!! BENTAR LAGI BEL JUGA BAKAL BUNYI!! KALO DIPERGOKIN GURU, GIMANA?! DILIAT-LIAT JUGA KAYAKNYA KAKAK-KAKAK INI CUMA ASAL NUDUH DOANG! KALIAN INI BEGO ATAU GIMANA, SIH?!”

Josh tercengang. Cowok itu menatap Windy dengan kagum. Sungguh, dia tak menyangka bahwa Windy akan ikut campur untuk membelanya.

Iya, benar.

Windy, gadis yang dia cintai, kini tengah berdiri di depannya untuk melindunginya.

Alhasil, dia langsung menganggap bahwa Windy adalah malaikat penyelamatnya. Bidadari yang turun dari surga hanya untuknya.

Dunia Josh Andriano seakan-akan terhenti. Degupan jantungnya pun…terasa begitu kencang.

 

Ah. Dia semakin jatuh cinta…

 

“Jangan ikut campur lo.” Gio memperingati Windy seraya menunjuk wajah cewek itu dengan jari telunjuknya. “Cewek kayak lo gampang aja gue habisin sekarang.”

“JAGA OMONGAN LO!!!” teriak Josh, dia langsung marah ketika mendengar Gio berbicara seperti itu kepada Windy. Kalau saja Alvin tidak menghentikannya, mungkin Josh sudah maju ke depan dan memukul wajah Gio. Hal itu akan memicu kekacauan yang besar, tentunya.

Namun, Windy agaknya tak takut sama sekali.

“Gue nggak ikut campur,” jawab Windy. “Gue wakil ketua kelas. Ketua kelas kami nggak dateng hari ini. Gue nggak bisa ngebiarin ini gitu aja. Pergi sekarang atau gue teriak kenceng-kenceng biar Bu Guru cepet dateng!!!”

“DIEM—”

“NAH!!! Panjang umur!! Ada guru yang dateng!!!” teriak Windy tiba-tiba, membuat Gio dan teman-temannya kontan membulatkan mata mereka. Windy pun berjinjit, melihat guru yang ada di depan sana (di belakang kakak-kakak kelas itu), dan lanjut berteriak, “BU!! INI, BU!!! ADA YANG MAU NGE-BULLY ANAK KELAS KAMI!! ADA YANG MAU NGEROYOK ANAK KELAS KAMI!!!!”

Semua orang jelas langsung membalikkan badan, melihat sang guru yang Windy maksud. Mereka semua pun melihat Bu Endang, guru yang paling killer di sekolah, sedang menuju ke arah mereka semua dengan mata yang memelotot. Bu Endang berjalan dengan sangat cepat; dia membawa sebuah penggaris kayu panjang. Jujur saja, dia terlihat seperti seekor banteng besar yang sedang mengamuk.

“HOI!!! NGAPAIN KALIAN BIKIN RIBUT DI SEKOLAH PAGI-PAGI GINI, HAH?! MASUK KE KELAS SEKARANG ATAU IBU SURUH KALIAN SEMUA BERDIRI DI LAPANGAN!! MASUK!!!”

Teriakan Bu Endang—yang berbadan gemuk dan berkacamata itu—hampir saja memecahkan gendang telinga mereka semua. Alvin sampai refleks menutup telinganya. Sementara itu, Gio dan teman-temannya langsung berlari terbirit-birit meninggalkan koridor itu karena Bu Endang sudah bersiap untuk memukul mereka satu per satu. Namun, sebelum Gio berlari, cowok itu sempat memelototi Josh, lalu berkata dengan tajam, “Lo tunggu, ya. Masalah kita belum selesai!”

Akhirnya, semua kakak kelas itu berlari kencang demi menghindari Bu Endang meskipun beberapa dari mereka masih sempat terkena pukulan Bu Endang di bagian betis mereka. Mereka betul-betul dihajar habis-habisan!

Di sisi lain, setelah melihat semua kekacauan itu, Josh pun mulai menatap Windy yang tengah membelakanginya. Beruntungnya, Windy juga…berbalik untuk menghadap ke arah Josh.

Windy tersenyum manis kepada Josh. Kedua mata cewek itu nyaris tertutup seakan-akan ikut tersenyum. Di pagi Senin yang cerah itu, dengan indahnya…Windy berdiri di depan Josh, bertatapan dengan Josh, lalu tersenyum kepada Josh.

Hanya untuk Josh.

Mata Josh melebar.

Waktu seolah-olah terhenti. Rasanya seperti berada di dalam mimpi yang begitu indah. Seperti memandang sesuatu yang sangat ia kagumi. Sesuatu yang membuatnya benar-benar jatuh cinta.

Dia semakin merasakan getaran itu.

Seolah-olah…ada banyak simbol hati berwarna pink yang beterbangan di udara. Ah, rasanya, Josh bahagia sekali.

Ditambah lagi, pada suasana yang mendebarkan itu, Windy tiba-tiba berkata, “Yuk, masuk ke kelas. Lain kali, hindarin aja Kak Gio itu.”

Setelah mengatakan itu, Windy pun berjalan masuk ke kelas. Meninggalkan Josh yang tengah tercengang di koridor; mata Josh melebar, mulut Josh sedikit terbuka, dan tubuh Josh mematung di tempat. Josh hanya bisa mengangguk dengan kaku sambil memperhatikan Windy yang masuk ke kelas.

Alvin memperhatikan semua kejadian itu. Alvin pun menghela napas, lalu menepuk pundah Josh dan berkata, “Yok. Jangan berdiri di sini.”

Akhirnya, Josh pun menoleh kepada Alvin dan kembali mengangguk meskipun ‘kesadarannya’ masih belum benar-benar terkumpul. Alvin merangkulnya masuk ke kelas, tetapi pikiran Josh saat itu mulai melayang ke mana-mana.

 

Ah, gue suka. Gue suka dia.

Gue suka banget…sama Windy Alisha.

 

******

 

Josh meletakkan kembali ponsel itu di dalam sakunya. Dia pun berdiri, lalu meletakkan kursi—yang tadi dia duduki—itu kembali ke tempatnya. Merasa hatinya sudah tenang, Josh pun berjalan ke luar. Namun, sebelum mencapai pintu studionya, Josh sempat melihat foto Windy sekali lagi.

Memperhatikan Windy di sana…yang seakan-akan tengah tersenyum kepadanya.

Josh pun ikut tersenyum. Rasa cinta yang tertanam di hatinya sukses membuatnya lega. Sukses membuat seluruh kegelisahannya hilang begitu saja.

Josh akhirnya mulai berjalan kembali. Setelah sampai di luar, dia lantas menutup pintu studio yang ada di belakangnya.

 

Win, aku sayang banget sama kamu. Aku rasa, aku nggak bakal bisa jatuh cinta sama orang lain selain kamu. Kamu adalah hidupku, Win. []

 














******



Josh waktu SMA:








My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...