******
Chapter 10 :
A
Hot Kiss at CEO’s Room
******
Justin:
TIDAK ada yang istimewa.
Produk yang sedang diusahakan kali
ini sedikit tidak memuaskan bagiku. Alexander Enterprises Holdings bergerak di
sektor industri, teknologi, transportasi, energi, dan keuangan. Namun, menurutku
ada yang kurang dari produk yang baru saja dirapatkan sekitar beberapa waktu
lalu. Saat melihat dan memeriksa pabriknya yang terletak jauh dari kantor
pusat, aku sadar bahwa ada yang kurang. Ini perlu dirapatkan sore atau malam
ini juga.
Lagi pula, dalam rapatku kali ini
Violette akan menungguku. Aku bisa rapat dengan fokus tanpa perlu memikirkan
Violette yang tidak pulang bersamaku. Dia yang banyak bicara itu berhasil
membuatku khawatir padanya setiap kali dia tidak ada di sampingku, terutama
sekarang ketika Nathan menghilang. Sebetulnya, mudah untuk mencari Nathan
menggunakan alat yang dulu sering digunakan oleh Red Lion, tetapi kini aku tak
lagi memilikinya. Lagi pula, itu tak mungkin dilakukan karena itu akan
mengancam kehidupan kami. Semua orang tahu bahwa Red Lion sudah musnah. Maka
dari itu, gemparlah dunia ini bila mereka tahu bahwa ada dua anggota Red Lion
yang masih hidup.
Aku dan Violette harus bisa
menyembunyikan sekaligus melupakan identitas kami sebagai Red Lion dan memulai
hidup yang lebih baik.
Pesan singkat dari si pelaku yang
ada di ponsel Violette itu harus dilacak. Mereka agaknya memang ingin dicari
karena nekat menghubungi Violette secara langsung seperti itu. Ini pasti
ada hubungannya dengan salah satu misi Red Lion di masa lalu.
“Justin...”
Aku mengerjap, lalu menoleh padanya.
“Biar aku saja yang mengambil
berkas-berkas kemarin dengan assistant-mu,” ujar Violette, memohon
padaku seraya menggenggam beberapa berkas laporan. Aku mengangguk. Dia
tersenyum dan berdiri dari kursinya, lalu keluar dari ruangan.
Aku bersandar pada kursiku, menumpukan
sikuku di armrest-nya, lalu memijat keningku. Kepalaku agak sakit. Satu
menit kemudian, tatkala aku menatap jam tanganku, pintu ruangan kami tiba-tiba
terbuka. Violette berdiri di sana; dia masuk dan menutup pintu itu kembali. Aku
menyipitkan mata, memperhatikan dia yang menunduk sampai akhirnya dia duduk dan
meletakkan berkas yang sedang ia bawa ke atas meja. Aku yakin seseorang telah
berbicara sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba dia melihat ke arahku;
tatapan matanya terlihat sendu. Dia lalu bangkit dari duduknya
Aku tetap diam. Dia terus
mendekatiku dan kali ini dia mulai menangis. Mataku melebar, baru saja ingin
membuka suara, tetapi kini dia telah ada di depanku. Tiba-tiba dia membungkuk; tangan
kanannya memegang bahuku, tangan kirinya menarik dasiku, lalu dia menciumku.
Mataku membulat. Air matanya jatuh
ke pipiku dan bibirnya bergetar saat ia menciumku. Beberapa detik kemudian, dia
melepaskan ciumannya. Aku bisa merasakan bekas lip gloss-nya di
bibirku. Kuangkat wajahku dan kutemukan dia yang telah berdiri tegak seraya
menghapus air matanya.
“Apa yang telah terjadi denganmu?” tanyaku.
Sesuatu pasti telah terjadi padanya.
“Entahlah. Maafkan aku, Sir... Aku
terlalu emosional,” jawabnya dan aku menaikkan sebelah alisku. Dia ingin menjauh
dariku, tetapi aku menarik tangannya kembali. “Beritahu aku, Vio.”
“Tidak apa-apa, Justin. Aku hanya—"
Aku menatapnya dengan penuh
intimidasi.
“Violette,” panggilku. “seseorang pasti telah
mengatakan sesuatu padamu.”
Matanya kontan membelalak.
Aku menyipitkan mataku lagi,
menunggunya menjelaskan semuanya padaku, tetapi dia hanya mengalihkan
pandangannya dariku. Bahunya bergetar. Dia melepaskan pergelangan tangannya
dari genggamanku secara perlahan dan aku membiarkannya. Setidaknya dia pasti
ingin menjelaskan sesuatu padaku.
“Aku...aku mencintaimu,
Justin...” Dia terisak. “Aku—maksudku, aku tak ingin kau pergi, aku sayang
padamu dan hatiku sakit ketika memikirkan bahwa kau hanya bermain-main denganku.
Aku tak tahu harus bagaimana bila itu benar-benar terjadi. Aku hanya—aku hanya
ingin kau serius denganku karena aku...mencintaimu, Justin…”
Alisku menyatu.
Dia mencintaiku?
Apakah kini dia telah yakin dengan
perasaannya?
“Kau itu...seseorang yang selalu
aku banggakan, aku merasa sangat terlindungi saat bersamamu. Mungkin kau tak
merasakan hal bodoh ini, tetapi aku…aku merasakannya. Aku tak berani berkata
bahwa kau adalah milikku, tetapi aku juga tak bisa memberikanmu pada orang
lain... Aku—demi Tuhan—” Dia mengerang, terlihat bingung sendiri.
Aku berdiri, lalu memutari mejaku
untuk mendekatinya. Ketika jarak di antara kami sudah dekat, aku lantas menarik
tubuhnya ke dalam dekapanku. Sebelah tanganku memegang bagian belakang kepalanya,
lalu kuusap kepalanya itu dengan lembut.
“Seseorang telah mengatakan hal
yang benar-benar bodoh kepadamu,” ujarku. “Aku merasa kehilangan nonaku
yang cerewet dan keras kepala.”
Aku diam. Aku juga tak mendengar
Violette terisak lagi. Napasnya mulai teratur.
Setelah itu, aku melanjutkan,
“Kekasihku adalah executive assistant-ku yang keras kepala.”
Dia mendadak merenggangkan pelukan
kami, lalu matanya mulai mencari wajahku. Dia terlihat sangat terkejut.
“Ju—Justin?”
Aku tersenyum miring. “Kalau sudah
begini, bagaimana mungkin kau bisa berpisah ruangan denganku?”
Matanya membeliak; tubuhnya
menegang. “Maksudmu?!”
“Mulai hari ini, mungkin aku akan
menunjukkan sesuatu yang lebih serius padamu,” ujarku.
Dia menyatukan alisnya, tatapannya
penuh selidik. “Entah mengapa sepertinya itu hal yang negatif.”
Aku memutar bola mataku. “Pikiranmu
saja yang tak pernah positif.”
Dia berdecak, lalu dia memukul
dadaku pelan. “Justin! Ya sudah, jadi apa maksudmu?”
Aku tersenyum tipis, tetapi dia
malah mengernyitkan dahinya.
“Itu urusan nanti, Violette,”
ujarku, memiringkan kepalaku. “Sekarang…ayo lakukan sesuatu yang sedikit
serius bersama priamu.”
Pipinya memerah. “P—pri—apa?!!!”
“Tidak usah peduli dengan apa yang orang
lain katakan. Aku priamu dan kau adalah wanitaku.”
Dia tercengang.
“Nah, sekarang bertanggung jawablah
karena kau telah membuat priamu marah,” ujarku.
Dia mengernyitkan dahinya. “Kau
marah, ya?”
“Hm,” dehamku.
“Eh? Aku salah apa?!” tanyanya.
Mulutnya menganga. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, lalu dengan perlahan...aku
mendorong tubuhnya sedikit demi sedikit ke arah mejaku. Pinggulnya bersandar pada
tepi mejaku dan aku berdiri tepat di depannya, menekan tubuhnya. Tubuh kami
hanya dipisahkan oleh pakaian yang kami kenakan. Violette terlihat kaget bukan
main, matanya melebar; dia berkali-kali terlihat hampir memanggil namaku karena
ingin meminta keterangan, tetapi aku hanya tersenyum miring padanya.
“Kau salah telah menciumku,”
kataku. Aku mendekatkan bibirku—nyaris menyentuh bibirnya—lalu
melanjutkan, “Sayang.”
...dan aku menciumnya.
Dia terlihat ingin memberontak,
tetapi aku semakin menekan tubuhnya. Tangan kiriku memegang pinggangnya dan
lama-kelamaan matanya terpejam. Dia mulai menerima ciumanku.
Aku tersenyum. Ciuman itu semakin
kuperdalam; aku melumat bibirnya. Namun, tak lama kemudian…aku sadar sesuatu.
Ini membuatku bergairah.
******
Author:
Beberapa menit kemudian, Justin
melepaskan ciuman itu. Namun, bibirnya masih hampir menempel pada bibir
Violette yang sudah basah karena salivanya.
“Kau...memanggilku...a—pa?”
tanya Violette dengan lirih; gadis itu terlihat tak menyangka.
Justin tersenyum. “Hm?”
“Kau—"
“Sayang,” ujar Justin. “Aku memanggilmu Sayang.”
Violette tercengang.
“Kau senang?” tanya Justin.
Mendengar pertanyaan itu, Violette mendadak merasa marah dan kecewa. “Jangan
panggil aku begitu lagi jika kau hanya ingin—"
“Apa kau marah padaku, Sweetie?”
What the—Sweetie?
“Jangan panggil aku begitu! Aku
tidak suka dipanggil begitu, Justin, serius. Rasanya seperti anak-anak,” protes
Violette.
“Kau belum berkepala tiga, Vio,”
ujar Justin.
“Aku hampir berkepala tiga!!”
Violette tetap keras kepala.
“Baiklah. Jadi, ciuman tidak masalah, ‘kan, untuk
orang yang hampir berkepala tiga?” tanya Justin dengan senyum miringnya.
“Bukan itu maksudku! Ya Tuhan, ke
mana larinya percakapan ini?” protes Violette lagi, wajahnya merah padam.
Cukup! Dasar perayu ulung sialan!!!
“Kemarilah, Nona,” ucap
Justin, dia mulai meraih tubuh Violette lagi.
“Ju—Justin!!” teriak Violette, tubuhnya
sedikit menggeliat supaya bisa terlepas dari perangkap Justin...yang bisa
dibilang lebih mengerikan daripada perangkap seekor singa yang buas.
“Sir—ya Tuhan,” keluh Violette. “Aku tak
mengerti. Kau ini dingin, tetapi mengapa kau bisa merayu orang seperti ini? Who
are you exactly, Sir?!! My God, Justin!!”
“Aku adalah Justin yang kau kenal,
Violette.”
Itu adalah kata-kata terakhir yang
diucapkan oleh Justin dengan lembut…sebelum akhirnya semuanya terlihat gelap
di mata Violette karena Justin kembali menciumnya. Penglihatan Violette
mengabur; penglihatannya itu seakan dilapisi oleh cairan balon sehingga
semuanya tampak kurang jelas. Betisnya terasa bagai seonggok jelly. Beribu
kupu-kupu menggelitik perutnya saat Justin mulai melumat seluruh bagian
bibirnya. Dia sedang berciuman dengan Justin...CEO perusahaan raksasa ini,
pemimpin Alexander Enterprises Holdings.
Ciuman Justin semakin dalam,
sesekali pria itu menggigit kecil bibir Violette. Justin mencengkeram pinggang
Violette. Saat ini, jas yang Justin pakai bahkan telah menutupi sebagian tubuh
Violette.
Justin melepas bibir Violette
sebentar, sebelum akhirnya dia mendekat lagi dan berbisik di depan bibir
Violette yang basah. “Violette?”
Violette menatap Justin dengan mata
sayunya. “…ya?”
“Kau pandai berciuman.”
Justin tersenyum miring. “Aku bangga.”
Kontan saja mata Violette membelalak;
pipinya merah padam. SIALAN! Pandai dari mananya? Violette tadi tidak terlalu
membalas ciuman Justin; dia hanya membalas ciuman Justin sesekali!
Violette langsung buang muka karena
merasa sangat kesal. Justin hanya menaikkan sebelah alisnya.
“Merepotkan sekali bila kau satu
ruangan denganku,” ujar Justin. “Harus berapa kali kita melakukan ini dalam
satu hari? Atau kau perlu jadwal, hmm?”
What the hell?!
“JUSTIN!!” teriak Violette dengan
pipi yang semakin memerah.
Justin terkekeh. Hal itu berhasil
membuat Violette terpesona untuk sesaat, mengetahui betapa jarangnya Justin
terkekeh seperti itu...
Justin mencari bibir ranum
Violette, lalu menciumnya lagi dengan lembut. “Bisakah kau duduk di atas meja?”
Mata Violette membulat. “My goodness, apa
yang ingin kau lakukan?”
“Jangan membantahku, Violette,”
ujar Justin.
“Tidak sebelum kau beritahu aku apa
yang ingin kau lakukan!!!” teriak Violette.
“Masih bodoh seperti biasanya.”
Justin berhenti, lalu memandang Violette lekat. Setelah itu, Justin kembali
menekan tubuh Violette dan mencium gadis itu. Violette refleks memegang jas
Justin. Keinginan untuk menyuruh Violette duduk di atas meja sudah menjauh dari
pikiran Justin; pria itu tersenyum miring di tengah-tengah ciuman itu.
“Malam ini, kau akan tidur di
apartemenku. Jangan membantah,” ujar Justin.
******
Elika telah mengetuk pintu ruangan
CEO itu berkali-kali.
Namun, sama sekali tidak ada
jawaban dari dalam. Elika mengernyitkan dahinya, ia ingin masuk ke ruangan itu.
Ia ingin melihat sang CEO dan mungkin…sekaligus ingin melihat wajah Executive
Assistant yang ia benci itu. Bagi Elika, merenggut Justin darinya sama saja
ingin mendapatkan kutukan. Elika sudah benar-benar kalap. Di dunia ini tak ada
lagi yang ia inginkan selain Justin; tak ada yang mampu mengalahkan posisi sang
CEO itu di matanya.
Elika sudah lama terobsesi. Obsesi
itu sukses membuatnya gila, bahkan masalah harga diri atau apa pun itu…semuanya
tak Elika pedulikan lagi. Dia akan menyerahkan semua itu kepada Justin
Alexander dengan sukarela. Mata yang tajam, wajah yang tampan, serta tubuh yang
gagah itu...selalu bisa membuat Elika gila.
Justin Alexander.
Nama itu terngiang-ngiang dengan
indahnya di telinga Elika. Elika hanya ingin pria itu. Harus pria
itu. Pria itulah yang bisa menyentuh tubuhnya...
Elika mengetuk pintu itu lagi
sebanyak tiga kali, tetapi tetap tak ada jawaban. Elika akhirnya menyerah dan memutuskan
untuk langsung membuka pintu itu. Ternyata pintu itu tidak terkunci. Elika
menyeringai dan berkata dalam hati:
Damn, ternyata CEO-ku sedikit lalai
hari ini.
Elika membuka pintu itu dengan pelan,
ingin menjaga image-nya agar tetap baik dimata Justin. Setelah pintu
itu terbuka lebar, Elika mulai melangkah masuk ke ruangan itu.
“Mr. Alexander?”
Sontak Elika menemukan sebuah
pemandangan yang membuatnya berhenti bernapas untuk beberapa saat. Pemandangan
itu langsung membuat perutnya mual; ia ingin muntah dan tubuhnya tak mampu
bergerak. Ia hanya menganga dan mematung di sana seolah tengah menyaksikan
kecelakaan beruntun.
Executive assistant itu—maksudnya Violette—terlihat
sedang berciuman begitu panas dengan Justin. Selain itu, terlihat sekali bahwa
Justinlah yang mendekap Violette agar bisa mencium gadis itu dengan baik. He’s
basically eating her face.
“Shit... Tidak… Tidak... FUCK!!!” teriak
Elika; wanita itu langsung mundur dan menutup pintu CEO itu dengan lumayan
keras.
Elika berlari ke lift dan langsung
masuk ke sana sambil mengumpat berkali-kali. Ia terus menggeleng tak percaya
dan terus mengepalkan tangannya. Ia terus menjambak rambutnya sendiri karena
frustrasi. “Persetan! Mengapa—mengapa?!!”
Sementara itu, di sisi lain…Violette
yang mendengar suara pintu tertutup itu langsung membuka matanya dan ingin
melepaskan diri sejenak dari pelukan erat Justin. Namun, Justin berhasil
mencegah Violette dengan mendekap tubuh gadis itu lebih kuat.
Justin tahu kalau yang menutup
pintu itu adalah Elika.
Violette hanya bisa mendongak,
menatap Justin dengan penuh tanda tanya. Gadis itu terdiam.
“Jangan pedulikan apa pun. Dengar
aku,” ujar Justin lirih. Setelah itu, Justin kembali mencium
Violette dengan intens.
******
Violette duduk di ujung ruang rapat
itu. Para direktur sudah berkumpul untuk mengadakan rapat yang penting sore ini
bersama Justin. Violette sempat menatap Elika, tetapi wanita itu mendelik tajam
kepada Violette. Alis Violette menyatu, tetapi ujung-ujungnya gadis itu
menggeleng. Ia tak mau ambil pusing.
Violette tadi masuk ke ruangan ini
bersama Justin, ketika semua direktur sudah berkumpul dan duduk manis. Violette
memang jadi pusat perhatian para direktur yang sudah berumur itu—yang rata-rata
sudah berusia tiga puluh sampai lima puluhan—karena Violette masuk ke ruangan itu
sambil membuntuti Justin dan akhirnya ia duduk menunggu Justin di sudut
ruangan. Para direktur itu cukup heran karena Justin sebelumnya tak pernah
mengajak executive assistant-nya ke mana-mana tanpa ada
kepentingan seperti itu. Violette memang tidak melakukan apa pun di ruangan
itu; gadis itu hanya duduk manis!
Well, bahan rapat saat itu disiapkan oleh
para direktur, jadi Violette sebenarnya tidak perlu ada di sana.
Melihat Justin yang disambut dengan
hormat oleh seluruh direktur itu…sukses membuat Violette berpikir. Justin
benar-benar mempunyai pengaruh yang besar. Dia masih muda, tetapi dia berhasil
memimpin orang-orang yang sudah lebih tua darinya. Dia CEO muda yang sangat
berbakat. Dia sangat dihargai oleh semua orang.
Berdasarkan pengamatan Violette,
Justin tidak gampang untuk dicuri perhatiannya. Jadi, tidak mudah untuk ‘mencari
muka’ dengan Justin. Pria itu tahu bagaimana cara memimpin yang baik dan tegas.
Justin mulai membuka rapat itu dan
semua direktur langsung memperhatikannya dengan saksama. Mereka semua diam saat
Justin menjelaskan berbagai program kerja yang telah ia pikirkan.
Justin terlihat sangat leluasa di
depan sana, padahal dia itu sebeku es.
Ingatan Violette kembali ke
beberapa saat yang lalu…tatkala ia masuk ke ruangan Justin sambil bersedih hati
karena sebuah pesan yang selalu menerornya.
Kau takkan bisa membuatnya senang, jalang.
Mencintai tanpa pernah menyentuh atau menciumnya? Pergilah ke neraka! Dia takkan
menyukaimu jika kau tidak bisa apa-apa.
Lagi-lagi…itu adalah pesan dari orang
yang menyekap Nathan. Tuhan, apakah Violette akan tetap diteror seperti itu?
Ini gila, apa salah Violette? Apakah memang benar ada hubungannya dengan Red
Lion dahulu?
Justin benar. Ada orang yang
mengatakan sesuatu kepada Violette sehingga Violette tiba-tiba mencium Justin.
Justin selalu tahu dan entah mengapa Violette tak bisa lari dari pria
itu.
“Perbaiki distribusi kita. Tampilan
produk juga harus diperbaiki. Untuk menjalankan itu semua, diperlukan berbagai...”
Violette hampir tidak berkedip
sedari tadi. Dia tahu Justin itu genius, tetapi tak ia sangka bahwa Justin juga
pebisnis yang hebat.
Tanpa sadar…Violette memandangi
bibir Justin yang terus menjelaskan dengan penuh wibawa di depan sana. Bibir Justin
itu…tadi melumat bibir Violette, menekan bibir Violette dan membasahi bibir
Violette...
Mata Violette kontan membulat;
gadis itu menggeleng keras. Wajahnya langsung merah padam bak kepiting rebus.
Oh, astaga. Dia jadi terus-menerus memikirkan
ciuman itu. Mereka adalah teman lama, tetapi tadi…mereka berciuman.
******
Selesai meeting, Justin
pun pulang bersama Violette.
Mereka baru saja masuk ke mobil.
Violette menutup pintu mobil yang ada di sampingnya, lalu merapikan posisi
duduknya. Justin telah duduk di sebelahnya; pria itu melepaskan dasinya dalam
sekali tarikan, lalu melepas dan melempar jasnya sembarangan ke jok belakang. Mata
Violette hanya mengikuti gerakan Justin sampai akhirnya pria itu mulai menghidupkan
sebatang rokok yang sudah terselip diantara bibirnya. Justin meletakkan
korek apinya di atas dashboard, lalu mulai menghidupkan mesin mobil.
Violette hanya diam tatkala memperhatikan
itu semua. Hingga akhirnya, mobil itu pun berjalan.
“Kau harus mengurangi rokokmu,
Justin,” saran Violette. “Itu bisa merusak kesehatanmu sebelum kau
menyadarinya.”
“Hm.”
Violette berdecak. “Kau mendengarku
tidak, sih?”
“Iya, Sayang.”
Violette menganga. “Kumohon
berhentilah memanggilku seperti itu, Justin. Itu terdengar aneh, astaga.”
Aneh, soalnya yang mengucapkannya
itu adalah Justin. Justin ‘Beku’ Alexander.
“Merokok membuatku merasa hangat,
Vio. Aku tak punya intensi yang lebih dari itu,” jawab Justin, mengeluarkan
asap rokoknya dari mulut.
“Yeah, I know, I know,” kata Violette, gadis itu memutar
bola matanya. Ia mulai merasa kesal. “tetapi setidaknya kurangilah. Kumohon.”
Justin hanya diam.
“Kalau begitu, mulai sekarang kaulah
yang akan menjatah rokokku,” ujar Justin dengan suara rendahnya.
“Memangnya dalam satu hari berapa
batang rokok yang kau habiskan?!!” tanya Violette. “Lagi pula, apa kau tak
masalah kalau aku yang menjatah rokokmu?! Kau…serius?!!”
“Hm.” Justin berdeham. “Biasanya…tujuh
sampai sepuluh batang.”
“Itu sangat banyak, my
goodness,” ujar Violette, matanya membulat. “Okay, aku
akan menjatah rokokmu. Justin, kau itu supersibuk. Kau bisa terserang banyak
penyakit, terutama bila kau kuat merokok. Aku tak mau kau mati mendadak,
astaga!” Violette menepuk jidatnya. “Kau harus menguranginya!!!”
“Hm.”
“HEI!! KAU DENGAR AKU TIDAK, SIH?!!”
“Iya.”
Ya ampun. Dasar sialan.
“Sudahlah, yang penting mulai besok
aku akan menjatah rokokmu, serahkan rokokmu padaku, Sir,” ujar
Violette.
“Hm,” deham Justin singkat.
Merasa lelah setelah mengomeli
Justin, akhirnya Violette menggeleng dan mengalihkan pandangannya. Dia memandang
ke luar melalui jendela pintu mobil yang ada di sampingnya. Jalanan di kota New
York malam ini seperti biasa terlihat gemerlap dan ramai. Namun, jam segini biasanya
Violette merasa lelah karena baru pulang kerja.
Tak lama kemudian, mobil Justin
berhenti di tempat parkir gedung apartemen Justin. Violette sedikit membulatkan
matanya. “Kita jadi ke apartemenmu, ya?”
“Aku tak pernah bermain-main dengan
ucapanku, Violette.”
Violette sedikit menunduk, lalu
mengangguk membenarkan perkataan Justin. Mereka akhirnya turun dari mobil dan
Violette berjalan di belakang Justin. Justin membawa jas dan dasinya di lengan
kirinya, sementara tangan kanannya menjinjing tas kerjanya.
“Jangan berjalan di belakang, Vio,”
perintah Justin.
Violette tersentak; gadis itu
menatap Justin dan mengangguk dengan cepat. Ia pun berlari mendekati Justin dan
memegang lengan kiri pria itu. Ia memeluk lengan berotot itu dengan posesif…seakan-akan
ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa pria itu adalah miliknya. CEO kaya
yang memesona itu adalah miliknya seorang.
Di sepanjang lobby hingga
di lift, lalu di lantai atas, mereka berdua seolah menjadi pusat perhatian
semua orang.
Setelah sampai di depan unit
apartemen Justin, Justin menekan nomor password unitnya, lalu mengajak
Violette masuk. Setelah itu, Justin menutup pintunya kembali.
Begitu sudah sampai di dalam,
Justin meletakkan jas, dasi, beserta tasnya di atas meja yang ada di ruang tamu.
Violette mulai melepaskan pegangannya dari lengan Justin karena dia ingin
melihat-lihat apartemen Justin lagi. Sepertinya, dia sudah dua kali berkunjung ke
sini.
Ada sebuah asbak di atas meja yang
ada di ruang tamu. Di asbak itu…tidak ada puntung rokok. Sudah
dibersihkan, ya?
Violette menghela napas dan
meletakkan tasnya di atas meja.
“Aku ke kamar mandi sebentar.
Pergilah ke kamarku dan bawa barang-barang kita ke sana,” ujar Justin.
Violette menoleh kepadanya, lalu
mengangguk. Justin pun masuk ke lorong yang ada di sebelah ruang tamu. Tak mau
membuang waktu, Violette mulai bergerak menuruti apa yang Justin perintahkan sebelumnya;
ia mengambil barang-barang mereka dan langsung pergi ke kamar Justin. Dia tahu
di mana kamar Justin karena dia sempat masuk ke kamar itu saat Justin sakit.
Violette menyampirkan jas dan dasi
Justin di sandaran sofa. Setelah itu, ia menaruh tasnya beserta tas Justin di sofa
yang sama.
Violette lantas duduk di samping
tasnya. Memandangi kamar Justin yang...bersih, serba putih, dan sangat rapi.
Kamar ini desainnya simpel, tetapi tetap terlihat mewah dan elegan. Selain itu,
kamar ini…penuh dengan aroma khas dari tubuh Justin. Aroma maskulinitas sejati
seorang pria.
Violette memandangi ruangan itu dengan
lekat dan tanpa berkedip. Ia sadar bahwa ruangan itu bila dilihat dengan jeli
ternyata lebih mencengangkan. Namun, Violette tersentak saat tiba-tiba pintu
kamar itu terbuka dan menampakkan sosok Justin di sana. Justin sedang menutup
pintu.
“Kau sedang melihat apa?” Justin
bertanya dengan santai.
Mata Violette membelalak; gadis itu
kontan menggigit bibirnya. Sial, ketahuan.
“Ah… N—nothing.”
Violette baru sadar bahwa Justin
kini tidak mengenakan kemejanya. Dia shirtless!! Oh God, he’s so hot, pikir
Violette. Justin hanya memakai celana training; dia terlihat begitu
santai. Apakah dia sering berkeliaran dengan penampilan seperti itu di dalam
rumahnya? Dengan membayangkannya saja…Violette sudah meneguk ludahnya.
Otot-otot tubuh Justin terlihat begitu tegas, tubuh pria itu seakan terpahat
sempurna dan sukses mengalahkan rasa kagum Violette pada keseksian dan
ketampanan para artis ataupun tokoh fiksi.
Violette menunduk; wajah gadis itu langsung
memerah.
“Kalau kau sudah hampir berkepala
tiga, tentu tak masalah melihat sesuatu yang agak ekstrem, Nona,” goda
Justin, pria itu mengedipkan sebelah matanya kepada Violette. Pipi Violette jadi
semakin memerah.
Justin mendekati lemari superbesarnya,
lalu membuka lemari itu dan mengambil sebuah handuk kecil. Justin mengeringkan
rambutnya dengan handuk itu, lalu duduk di tepi ranjang king size-nya.
“Justin, k—kupikir aku tidak
seharusnya...”
“Malam ini kau tidur di sini.”
Justin memotong ucapan Violette. “Aku tak ingin melihatmu menangis sendirian
lagi sambil bermain gitar di rumahmu.”
Mata Violette membulat; gadis itu kontan
merasa malu lagi.
“A—aku hanya mencoba untuk menghibur
diriku sendiri!! Lagi pula, apa lagi yang harus kukerjakan kalau aku sudah
bersantai?!!” Violette sibuk membela dirinya sendiri.
“Banyak,” jawab Justin. “Gunakan
waktumu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat daripada itu.” Justin mengucapkan
kalimat itu dengan penuh intimidasi. Matanya mengunci Violette hingga membuat
Violette seakan mematung.
Violette meneguk ludahnya, lalu menunduk. Ya, Justin
benar.
“Aku punya kaus dan celana tidur
yang mungkin bisa kau pakai, jadi mandilah. Setelah itu, ayo kita makan malam
dan tidur. Kau harus tidur di ranjangku.”
Violette merasa ada yang janggal.
Ranjang Justin?!
“Ranjangmu?!”
“Ya,” jawab Justin singkat.
Violette menyatukan alis. “Jadi…kau
tidur di mana?”
“Hm? Tentu saja, di ranjangku. Bersamamu.
Tidak ada bantahan, Violette. Mandilah. Now,” perintah
Justin. Pria itu bernapas samar. “Apa kau ingin aku yang
memandikanmu, hmm?”
Violette menganga. “JUSTIN, WHAT
THE HELL—"
“One.”
Mata Violette kontan membulat. ASTAGA,
JUSTIN SEDANG MENGHITUNG! OH, PLEASE, WHAT THE HELL JUST HAPPENED?!
Justin berdiri dan berjalan ke
lemari besarnya, lalu menyerahkan sebuah kaus, handuk yang berbeda, dan sebuah celana
tidur kepada Violette. Violette meraihnya dengan takut-takut, lalu gadis itu keluar
dari kamar Justin dengan cepat. Ia langsung mencari kamar mandi.
Justin duduk di tepi ranjangnya
lagi; telapak tangannya bertumpu di ranjang. Pria itu mendongak, menatap lampu
kristal besar yang menggantung dengan indahnya di kamar itu.
Tetesan air di wajahnya mengalir
dari dagu hingga ke lehernya, lalu turun ke dadanya yang bidang. Justin
mengembuskan napasnya melalui mulut, lalu memejamkan matanya untuk beberapa
saat. Ia ingin menenangkan pikirannya.
Lima belas menit kemudian, Violette
masuk ke ruangan itu dengan membawa handuk. Violette sudah memakai pakaian yang
Justin berikan. Pakaian itu tampak longgar, kebesaran sekali kalau dipakai oleh
Violette.
Justin melihat ke arah Violette
ketika gadis itu masuk.
Violette agak menunduk; dia
berjalan dengan pelan ke arah Justin, lalu berdiri di depan Justin. Justin
hanya menatapnya dengan lekat, lalu pria itu menelan ludahnya samar. “Duduklah.
Sampai kapan kau akan berdiri di sana, hm?”
Violette mengangguk. Sambil memeluk
handuk itu, ia pun duduk bersebelahan dengan Justin. Justin memperhatikan
Violette dengan mata yang agak menyipit, lalu berkomentar, “Kau semakin tidak
seksi.”
Violette tersentak; ia kontan memelototi
Justin dan menggeram. “AKU MEMANG TIDAK SEKSI, SIR!!!!!”
“Tapi aku tak mengerti mengapa kau
selalu lebih enak dilihat daripada perempuan-perempuan yang seksi itu,” lanjut
Justin.
Apa ini? Pujian setelah penghinaan?
“Jangan menggodaku!!” teriak
Violette, pipinya mulai merona.
“Aku tidak menggodamu, Sayang.”
Violette menggigit bibirnya dan langsung
membuang muka, sebisa mungkin ingin mengalihkan pandangannya dari wajah Justin.
Sayang…
Panggilan itu kini berhasil membuat
Violette seakan terbang ke angkasa. Berhasil juga membuat pipi Violette jadi semerah
delima. Sialan!
Tatapan mata Justin juga selalu mampu
membuat Violette jadi tak berdaya.
Violette menggigit bibirnya, bersiaga.
Takutnya akan ada rayuan lagi.
“Mulai sekarang, kau harus
membiasakan dirimu,” kata Justin tiba-tiba.
“H—hah?” tanya Violette tak mengerti. “Membiasakan diriku…untuk apa?"
Justin berdiri. Pria itu mengambil
handuk yang ada di genggaman Violette, lalu menggantung handuk itu di tempatnya
bersamaan dengan handuk yang tadi ia pakai.
“Jangan terlalu bodoh, Nona.”
Okay, Violette sudah lelah dengan semua
ejekan dari Justin itu. “Terserahmu saja, Sir.”
“Memutuskan untuk menyerah?” tanya
Justin. Violette hanya mendengkus. Ya Tuhan, selalu saja seperti ini. Tiada
hari tanpa berdebat dan mati kutu karena pria itu.
Tak lama kemudian, bel apartemen
Justin berbunyi. Justin keluar dari kamarnya dan pergi ke depan pintu, lalu
melihat video door phone unit apartemennya. Violette mengikuti Justin.
Di layar itu tampaklah sosok
seorang pria. Justin langsung mengernyitkan dahinya; dia tampak tak senang. Sementara
itu, mata Violette membeliak.
Itu adalah pamannya Justin. Mr. Locardo
Alexander.
Justin pun membuka pintu itu dan
tampaklah sosok Mr. Locardo di sana. Mr. Locardo datang dengan pakaian yang
rapi; pria itu memakai jas berwarna abu-abu.
Violette berdiri di belakang
Justin. Ekspresi wajah pria itu terlihat begitu dingin. Kedua tangannya ia
masukkan ke saku celananya.
“Justin,” panggil Locardo.
Justin hanya terus memberikan
tatapan dingin kepada pamannya itu. Justin tak menjawab apa pun; dia sangat membenci
pamannya.
“Kau membawa wanita ini lagi? Goddammit,
what the fuck were you thinking?!! Dengar aku, KAU ADALAH SEORANG PEMIMPIN
PERUSAHAAN BESAR, APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN WANITA JALANG SEPERTI DIA?! I
CAN’T BELIEVE THIS!” bentak Locardo. Justin hanya menatap Locardo
tanpa ekspresi.
Violette menunduk. Rasanya bagai ada
sebuah lembing yang menohok jantungnya.
“Aku tahu kau hanya ingin
mempermainkan gadis ini, tetapi jangan habiskan uangmu hanya untuk perempuan.
Kau tahu bahwa itu akan mencoreng nama baikmu,” ujar Locardo. Setelah itu,
Locardo mulai mendekati Justin. “SURUH DIA PERGI DARI SINI!!! TIDAK ADA
BANTAHAN, AKU INGIN MEMBICARAKAN SESUATU DENGANMU!!!!”
“Kaulah yang harus pergi dari sini,” ujar
Justin dengan penuh intimidasi. Ia menatap Locardo dengan tajam. Menekan
Locardo dengan perintah absolutnya.
Locardo terdiam, matanya membulat
tak percaya. Tiga detik setelah itu, Locardo mulai menggeram; tubuhnya bergetar
hebat.
“KAU—"
Locardo ingin memukul kepala
Justin, tetapi tangan Justin langsung mencengkeram lengan Locardo dan mencegah
pukulan itu. Mata Locardo kontan membeliak.
Justin sedikit menurunkan tangan
Locardo, tetapi masih mencengkeram tangan itu. Rahang Justin mengeras.
Violette sedari tadi hanya bisa
panik. Wajahnya tegang. Dia tahu bahwa Locardo tak menyukainya, tetapi dia juga
paham perasaan Locardo yang sangat menyayangi Justin.
“Aku tidak perlu kau atur,
Locardo,” ujar Justin dingin. “Aku tahu apa yang harus kulakukan. Selain itu, jangan hina
gadis ini lagi.”
Locardo mengernyitkan dahi; ia
merasa bingung setengah mati.
Setelah itu, Justin melanjutkan, “…karena dia akan menjadi istriku dalam waktu dekat.” []
******