Thursday, April 10, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 10: A Hot Kiss at CEO's Room)

 


******

Chapter 10 :

A Hot Kiss at CEO’s Room

 

******

 

Justin:

TIDAK ada yang istimewa.

Produk yang sedang diusahakan kali ini sedikit tidak memuaskan bagiku. Alexander Enterprises Holdings bergerak di sektor industri, teknologi, transportasi, energi, dan keuangan. Namun, menurutku ada yang kurang dari produk yang baru saja dirapatkan sekitar beberapa waktu lalu. Saat melihat dan memeriksa pabriknya yang terletak jauh dari kantor pusat, aku sadar bahwa ada yang kurang. Ini perlu dirapatkan sore atau malam ini juga.

Lagi pula, dalam rapatku kali ini Violette akan menungguku. Aku bisa rapat dengan fokus tanpa perlu memikirkan Violette yang tidak pulang bersamaku. Dia yang banyak bicara itu berhasil membuatku khawatir padanya setiap kali dia tidak ada di sampingku, terutama sekarang ketika Nathan menghilang. Sebetulnya, mudah untuk mencari Nathan menggunakan alat yang dulu sering digunakan oleh Red Lion, tetapi kini aku tak lagi memilikinya. Lagi pula, itu tak mungkin dilakukan karena itu akan mengancam kehidupan kami. Semua orang tahu bahwa Red Lion sudah musnah. Maka dari itu, gemparlah dunia ini bila mereka tahu bahwa ada dua anggota Red Lion yang masih hidup.

Aku dan Violette harus bisa menyembunyikan sekaligus melupakan identitas kami sebagai Red Lion dan memulai hidup yang lebih baik.

Pesan singkat dari si pelaku yang ada di ponsel Violette itu harus dilacak. Mereka agaknya memang ingin dicari karena nekat menghubungi Violette secara langsung seperti itu. Ini pasti ada hubungannya dengan salah satu misi Red Lion di masa lalu.

“Justin...”

Aku mengerjap, lalu menoleh padanya.

“Biar aku saja yang mengambil berkas-berkas kemarin dengan assistant-mu,” ujar Violette, memohon padaku seraya menggenggam beberapa berkas laporan. Aku mengangguk. Dia tersenyum dan berdiri dari kursinya, lalu keluar dari ruangan.

Aku bersandar pada kursiku, menumpukan sikuku di armrest-nya, lalu memijat keningku. Kepalaku agak sakit. Satu menit kemudian, tatkala aku menatap jam tanganku, pintu ruangan kami tiba-tiba terbuka. Violette berdiri di sana; dia masuk dan menutup pintu itu kembali. Aku menyipitkan mata, memperhatikan dia yang menunduk sampai akhirnya dia duduk dan meletakkan berkas yang sedang ia bawa ke atas meja. Aku yakin seseorang telah berbicara sesuatu kepadanya.

Tiba-tiba dia melihat ke arahku; tatapan matanya terlihat sendu. Dia lalu bangkit dari duduknya

Aku tetap diam. Dia terus mendekatiku dan kali ini dia mulai menangis. Mataku melebar, baru saja ingin membuka suara, tetapi kini dia telah ada di depanku. Tiba-tiba dia membungkuk; tangan kanannya memegang bahuku, tangan kirinya menarik dasiku, lalu dia menciumku.

Mataku membulat. Air matanya jatuh ke pipiku dan bibirnya bergetar saat ia menciumku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan ciumannya. Aku bisa merasakan bekas lip gloss-nya di bibirku. Kuangkat wajahku dan kutemukan dia yang telah berdiri tegak seraya menghapus air matanya.

“Apa yang telah terjadi denganmu?” tanyaku. Sesuatu pasti telah terjadi padanya.

“Entahlah. Maafkan aku, Sir... Aku terlalu emosional,” jawabnya dan aku menaikkan sebelah alisku. Dia ingin menjauh dariku, tetapi aku menarik tangannya kembali. “Beritahu aku, Vio.”

“Tidak apa-apa, Justin. Aku hanya—"

Aku menatapnya dengan penuh intimidasi.

“Violette,” panggilku. “seseorang pasti telah mengatakan sesuatu padamu.”

Matanya kontan membelalak.

Aku menyipitkan mataku lagi, menunggunya menjelaskan semuanya padaku, tetapi dia hanya mengalihkan pandangannya dariku. Bahunya bergetar. Dia melepaskan pergelangan tangannya dari genggamanku secara perlahan dan aku membiarkannya. Setidaknya dia pasti ingin menjelaskan sesuatu padaku.

“Aku...aku mencintaimu, Justin...” Dia terisak. “Aku—maksudku, aku tak ingin kau pergi, aku sayang padamu dan hatiku sakit ketika memikirkan bahwa kau hanya bermain-main denganku. Aku tak tahu harus bagaimana bila itu benar-benar terjadi. Aku hanya—aku hanya ingin kau serius denganku karena aku...mencintaimu, Justin…”

Alisku menyatu.

Dia mencintaiku?

Apakah kini dia telah yakin dengan perasaannya?

“Kau itu...seseorang yang selalu aku banggakan, aku merasa sangat terlindungi saat bersamamu. Mungkin kau tak merasakan hal bodoh ini, tetapi aku…aku merasakannya. Aku tak berani berkata bahwa kau adalah milikku, tetapi aku juga tak bisa memberikanmu pada orang lain... Aku—demi Tuhan—” Dia mengerang, terlihat bingung sendiri.

Aku berdiri, lalu memutari mejaku untuk mendekatinya. Ketika jarak di antara kami sudah dekat, aku lantas menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Sebelah tanganku memegang bagian belakang kepalanya, lalu kuusap kepalanya itu dengan lembut.

“Seseorang telah mengatakan hal yang benar-benar bodoh kepadamu,” ujarku. “Aku merasa kehilangan nonaku yang cerewet dan keras kepala.”

Aku diam. Aku juga tak mendengar Violette terisak lagi. Napasnya mulai teratur.

Setelah itu, aku melanjutkan, “Kekasihku adalah executive assistant-ku yang keras kepala.”

Dia mendadak merenggangkan pelukan kami, lalu matanya mulai mencari wajahku. Dia terlihat sangat terkejut.

“Ju—Justin?”

Aku tersenyum miring. “Kalau sudah begini, bagaimana mungkin kau bisa berpisah ruangan denganku?”

Matanya membeliak; tubuhnya menegang. “Maksudmu?!”

“Mulai hari ini, mungkin aku akan menunjukkan sesuatu yang lebih serius padamu,” ujarku.

Dia menyatukan alisnya, tatapannya penuh selidik. “Entah mengapa sepertinya itu hal yang negatif.”

Aku memutar bola mataku. “Pikiranmu saja yang tak pernah positif.”

Dia berdecak, lalu dia memukul dadaku pelan. “Justin! Ya sudah, jadi apa maksudmu?”

Aku tersenyum tipis, tetapi dia malah mengernyitkan dahinya.

“Itu urusan nanti, Violette,” ujarku, memiringkan kepalaku. “Sekarang…ayo lakukan sesuatu yang sedikit serius bersama priamu.”

Pipinya memerah. “P—pri—apa?!!!”

“Tidak usah peduli dengan apa yang orang lain katakan. Aku priamu dan kau adalah wanitaku.”

Dia tercengang.

“Nah, sekarang bertanggung jawablah karena kau telah membuat priamu marah,” ujarku.

Dia mengernyitkan dahinya. “Kau marah, ya?”

“Hm,” dehamku.

“Eh? Aku salah apa?!” tanyanya. Mulutnya menganga. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, lalu dengan perlahan...aku mendorong tubuhnya sedikit demi sedikit ke arah mejaku. Pinggulnya bersandar pada tepi mejaku dan aku berdiri tepat di depannya, menekan tubuhnya. Tubuh kami hanya dipisahkan oleh pakaian yang kami kenakan. Violette terlihat kaget bukan main, matanya melebar; dia berkali-kali terlihat hampir memanggil namaku karena ingin meminta keterangan, tetapi aku hanya tersenyum miring padanya.

“Kau salah telah menciumku,” kataku. Aku mendekatkan bibirku—nyaris menyentuh bibirnya—lalu melanjutkan, “Sayang.”

...dan aku menciumnya.

Dia terlihat ingin memberontak, tetapi aku semakin menekan tubuhnya. Tangan kiriku memegang pinggangnya dan lama-kelamaan matanya terpejam. Dia mulai menerima ciumanku.

Aku tersenyum. Ciuman itu semakin kuperdalam; aku melumat bibirnya. Namun, tak lama kemudian…aku sadar sesuatu.

Ini membuatku bergairah.

 

******

 

Author:

Beberapa menit kemudian, Justin melepaskan ciuman itu. Namun, bibirnya masih hampir menempel pada bibir Violette yang sudah basah karena salivanya.

“Kau...memanggilku...a—pa?” tanya Violette dengan lirih; gadis itu terlihat tak menyangka.

Justin tersenyum. “Hm?”

“Kau—"

“Sayang,” ujar Justin. “Aku memanggilmu Sayang.”

Violette tercengang.

“Kau senang?” tanya Justin. Mendengar pertanyaan itu, Violette mendadak merasa marah dan kecewa. “Jangan panggil aku begitu lagi jika kau hanya ingin—"

“Apa kau marah padaku, Sweetie?”

What the—Sweetie?

“Jangan panggil aku begitu! Aku tidak suka dipanggil begitu, Justin, serius. Rasanya seperti anak-anak,” protes Violette.

“Kau belum berkepala tiga, Vio,” ujar Justin.

“Aku hampir berkepala tiga!!” Violette tetap keras kepala.

“Baiklah. Jadi, ciuman tidak masalah, ‘kan, untuk orang yang hampir berkepala tiga?” tanya Justin dengan senyum miringnya.

“Bukan itu maksudku! Ya Tuhan, ke mana larinya percakapan ini?” protes Violette lagi, wajahnya merah padam. Cukup! Dasar perayu ulung sialan!!!

“Kemarilah, Nona,” ucap Justin, dia mulai meraih tubuh Violette lagi.

“Ju—Justin!!” teriak Violette, tubuhnya sedikit menggeliat supaya bisa terlepas dari perangkap Justin...yang bisa dibilang lebih mengerikan daripada perangkap seekor singa yang buas.

“Sir—ya Tuhan,” keluh Violette. “Aku tak mengerti. Kau ini dingin, tetapi mengapa kau bisa merayu orang seperti ini? Who are you exactly, Sir?!! My God, Justin!!”

“Aku adalah Justin yang kau kenal, Violette.”

Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Justin dengan lembut…sebelum akhirnya semuanya terlihat gelap di mata Violette karena Justin kembali menciumnya. Penglihatan Violette mengabur; penglihatannya itu seakan dilapisi oleh cairan balon sehingga semuanya tampak kurang jelas. Betisnya terasa bagai seonggok jelly. Beribu kupu-kupu menggelitik perutnya saat Justin mulai melumat seluruh bagian bibirnya. Dia sedang berciuman dengan Justin...CEO perusahaan raksasa ini, pemimpin Alexander Enterprises Holdings.

Ciuman Justin semakin dalam, sesekali pria itu menggigit kecil bibir Violette. Justin mencengkeram pinggang Violette. Saat ini, jas yang Justin pakai bahkan telah menutupi sebagian tubuh Violette.

Justin melepas bibir Violette sebentar, sebelum akhirnya dia mendekat lagi dan berbisik di depan bibir Violette yang basah. “Violette?”

Violette menatap Justin dengan mata sayunya. “…ya?”

“Kau pandai berciuman.” Justin tersenyum miring. “Aku bangga.”

Kontan saja mata Violette membelalak; pipinya merah padam. SIALAN! Pandai dari mananya? Violette tadi tidak terlalu membalas ciuman Justin; dia hanya membalas ciuman Justin sesekali!

Violette langsung buang muka karena merasa sangat kesal. Justin hanya menaikkan sebelah alisnya.

“Merepotkan sekali bila kau satu ruangan denganku,” ujar Justin. “Harus berapa kali kita melakukan ini dalam satu hari? Atau kau perlu jadwal, hmm?”

What the hell?!

“JUSTIN!!” teriak Violette dengan pipi yang semakin memerah.

Justin terkekeh. Hal itu berhasil membuat Violette terpesona untuk sesaat, mengetahui betapa jarangnya Justin terkekeh seperti itu...

Justin mencari bibir ranum Violette, lalu menciumnya lagi dengan lembut. “Bisakah kau duduk di atas meja?”

Mata Violette membulat. “My goodness, apa yang ingin kau lakukan?”

“Jangan membantahku, Violette,” ujar Justin.

“Tidak sebelum kau beritahu aku apa yang ingin kau lakukan!!!” teriak Violette.

“Masih bodoh seperti biasanya.” Justin berhenti, lalu memandang Violette lekat. Setelah itu, Justin kembali menekan tubuh Violette dan mencium gadis itu. Violette refleks memegang jas Justin. Keinginan untuk menyuruh Violette duduk di atas meja sudah menjauh dari pikiran Justin; pria itu tersenyum miring di tengah-tengah ciuman itu.

“Malam ini, kau akan tidur di apartemenku. Jangan membantah,” ujar Justin.

 

******

 

Elika telah mengetuk pintu ruangan CEO itu berkali-kali.

Namun, sama sekali tidak ada jawaban dari dalam. Elika mengernyitkan dahinya, ia ingin masuk ke ruangan itu. Ia ingin melihat sang CEO dan mungkin…sekaligus ingin melihat wajah Executive Assistant yang ia benci itu. Bagi Elika, merenggut Justin darinya sama saja ingin mendapatkan kutukan. Elika sudah benar-benar kalap. Di dunia ini tak ada lagi yang ia inginkan selain Justin; tak ada yang mampu mengalahkan posisi sang CEO itu di matanya.

Elika sudah lama terobsesi. Obsesi itu sukses membuatnya gila, bahkan masalah harga diri atau apa pun itu…semuanya tak Elika pedulikan lagi. Dia akan menyerahkan semua itu kepada Justin Alexander dengan sukarela. Mata yang tajam, wajah yang tampan, serta tubuh yang gagah itu...selalu bisa membuat Elika gila.

Justin Alexander.

Nama itu terngiang-ngiang dengan indahnya di telinga Elika. Elika hanya ingin pria itu. Harus pria itu. Pria itulah yang bisa menyentuh tubuhnya...

Elika mengetuk pintu itu lagi sebanyak tiga kali, tetapi tetap tak ada jawaban. Elika akhirnya menyerah dan memutuskan untuk langsung membuka pintu itu. Ternyata pintu itu tidak terkunci. Elika menyeringai dan berkata dalam hati:

Damn, ternyata CEO-ku sedikit lalai hari ini.

Elika membuka pintu itu dengan pelan, ingin menjaga image-nya agar tetap baik dimata Justin. Setelah pintu itu terbuka lebar, Elika mulai melangkah masuk ke ruangan itu.

“Mr. Alexander?”

Sontak Elika menemukan sebuah pemandangan yang membuatnya berhenti bernapas untuk beberapa saat. Pemandangan itu langsung membuat perutnya mual; ia ingin muntah dan tubuhnya tak mampu bergerak. Ia hanya menganga dan mematung di sana seolah tengah menyaksikan kecelakaan beruntun.

Executive assistant itu—maksudnya Violette—terlihat sedang berciuman begitu panas dengan Justin. Selain itu, terlihat sekali bahwa Justinlah yang mendekap Violette agar bisa mencium gadis itu dengan baik. He’s basically eating her face.

“Shit... Tidak… Tidak... FUCK!!!” teriak Elika; wanita itu langsung mundur dan menutup pintu CEO itu dengan lumayan keras.

Elika berlari ke lift dan langsung masuk ke sana sambil mengumpat berkali-kali. Ia terus menggeleng tak percaya dan terus mengepalkan tangannya. Ia terus menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi. “Persetan! Mengapa—mengapa?!!”

Sementara itu, di sisi lain…Violette yang mendengar suara pintu tertutup itu langsung membuka matanya dan ingin melepaskan diri sejenak dari pelukan erat Justin. Namun, Justin berhasil mencegah Violette dengan mendekap tubuh gadis itu lebih kuat.

Justin tahu kalau yang menutup pintu itu adalah Elika.

Violette hanya bisa mendongak, menatap Justin dengan penuh tanda tanya. Gadis itu terdiam.

“Jangan pedulikan apa pun. Dengar aku,” ujar Justin lirih. Setelah itu, Justin kembali mencium Violette dengan intens.

 

******

 

Violette duduk di ujung ruang rapat itu. Para direktur sudah berkumpul untuk mengadakan rapat yang penting sore ini bersama Justin. Violette sempat menatap Elika, tetapi wanita itu mendelik tajam kepada Violette. Alis Violette menyatu, tetapi ujung-ujungnya gadis itu menggeleng. Ia tak mau ambil pusing.

Violette tadi masuk ke ruangan ini bersama Justin, ketika semua direktur sudah berkumpul dan duduk manis. Violette memang jadi pusat perhatian para direktur yang sudah berumur itu—yang rata-rata sudah berusia tiga puluh sampai lima puluhan—karena Violette masuk ke ruangan itu sambil membuntuti Justin dan akhirnya ia duduk menunggu Justin di sudut ruangan. Para direktur itu cukup heran karena Justin sebelumnya tak pernah mengajak executive assistant-nya ke mana-mana tanpa ada kepentingan seperti itu. Violette memang tidak melakukan apa pun di ruangan itu; gadis itu hanya duduk manis!

Well, bahan rapat saat itu disiapkan oleh para direktur, jadi Violette sebenarnya tidak perlu ada di sana.

Melihat Justin yang disambut dengan hormat oleh seluruh direktur itu…sukses membuat Violette berpikir. Justin benar-benar mempunyai pengaruh yang besar. Dia masih muda, tetapi dia berhasil memimpin orang-orang yang sudah lebih tua darinya. Dia CEO muda yang sangat berbakat. Dia sangat dihargai oleh semua orang.

Berdasarkan pengamatan Violette, Justin tidak gampang untuk dicuri perhatiannya. Jadi, tidak mudah untuk ‘mencari muka’ dengan Justin. Pria itu tahu bagaimana cara memimpin yang baik dan tegas.

Justin mulai membuka rapat itu dan semua direktur langsung memperhatikannya dengan saksama. Mereka semua diam saat Justin menjelaskan berbagai program kerja yang telah ia pikirkan.

Justin terlihat sangat leluasa di depan sana, padahal dia itu sebeku es.

Ingatan Violette kembali ke beberapa saat yang lalu…tatkala ia masuk ke ruangan Justin sambil bersedih hati karena sebuah pesan yang selalu menerornya.

Kau takkan bisa membuatnya senang, jalang. Mencintai tanpa pernah menyentuh atau menciumnya? Pergilah ke neraka! Dia takkan menyukaimu jika kau tidak bisa apa-apa.

Lagi-lagi…itu adalah pesan dari orang yang menyekap Nathan. Tuhan, apakah Violette akan tetap diteror seperti itu? Ini gila, apa salah Violette? Apakah memang benar ada hubungannya dengan Red Lion dahulu?

Justin benar. Ada orang yang mengatakan sesuatu kepada Violette sehingga Violette tiba-tiba mencium Justin. Justin selalu tahu dan entah mengapa Violette tak bisa lari dari pria itu.

“Perbaiki distribusi kita. Tampilan produk juga harus diperbaiki. Untuk menjalankan itu semua, diperlukan berbagai...”

Violette hampir tidak berkedip sedari tadi. Dia tahu Justin itu genius, tetapi tak ia sangka bahwa Justin juga pebisnis yang hebat.

Tanpa sadar…Violette memandangi bibir Justin yang terus menjelaskan dengan penuh wibawa di depan sana. Bibir Justin itu…tadi melumat bibir Violette, menekan bibir Violette dan membasahi bibir Violette...

Mata Violette kontan membulat; gadis itu menggeleng keras. Wajahnya langsung merah padam bak kepiting rebus.

Oh, astaga. Dia jadi terus-menerus memikirkan ciuman itu. Mereka adalah teman lama, tetapi tadi…mereka berciuman.

 

******

 

Selesai meeting, Justin pun pulang bersama Violette.

Mereka baru saja masuk ke mobil. Violette menutup pintu mobil yang ada di sampingnya, lalu merapikan posisi duduknya. Justin telah duduk di sebelahnya; pria itu melepaskan dasinya dalam sekali tarikan, lalu melepas dan melempar jasnya sembarangan ke jok belakang. Mata Violette hanya mengikuti gerakan Justin sampai akhirnya pria itu mulai menghidupkan sebatang rokok yang sudah terselip diantara bibirnyaJustin meletakkan korek apinya di atas dashboard, lalu mulai menghidupkan mesin mobil.

Violette hanya diam tatkala memperhatikan itu semua. Hingga akhirnya, mobil itu pun berjalan.

“Kau harus mengurangi rokokmu, Justin,” saran Violette. “Itu bisa merusak kesehatanmu sebelum kau menyadarinya.”

“Hm.”

Violette berdecak. “Kau mendengarku tidak, sih?”

“Iya, Sayang.”

Violette menganga. “Kumohon berhentilah memanggilku seperti itu, Justin. Itu terdengar aneh, astaga.”

Aneh, soalnya yang mengucapkannya itu adalah Justin. Justin ‘Beku’ Alexander.

“Merokok membuatku merasa hangat, Vio. Aku tak punya intensi yang lebih dari itu,” jawab Justin, mengeluarkan asap rokoknya dari mulut.

“Yeah, I know, I know,” kata Violette, gadis itu memutar bola matanya. Ia mulai merasa kesal. “tetapi setidaknya kurangilah. Kumohon.”

Justin hanya diam.

“Kalau begitu, mulai sekarang kaulah yang akan menjatah rokokku,” ujar Justin dengan suara rendahnya.

“Memangnya dalam satu hari berapa batang rokok yang kau habiskan?!!” tanya Violette. “Lagi pula, apa kau tak masalah kalau aku yang menjatah rokokmu?! Kau…serius?!!”

“Hm.” Justin berdeham. “Biasanya…tujuh sampai sepuluh batang.”

“Itu sangat banyak, my goodness,” ujar Violette, matanya membulat. “Okay, aku akan menjatah rokokmu. Justin, kau itu supersibuk. Kau bisa terserang banyak penyakit, terutama bila kau kuat merokok. Aku tak mau kau mati mendadak, astaga!” Violette menepuk jidatnya. “Kau harus menguranginya!!!”

“Hm.”

“HEI!! KAU DENGAR AKU TIDAK, SIH?!!”

“Iya.”

Ya ampun. Dasar sialan.

“Sudahlah, yang penting mulai besok aku akan menjatah rokokmu, serahkan rokokmu padaku, Sir,” ujar Violette.

“Hm,” deham Justin singkat.

Merasa lelah setelah mengomeli Justin, akhirnya Violette menggeleng dan mengalihkan pandangannya. Dia memandang ke luar melalui jendela pintu mobil yang ada di sampingnya. Jalanan di kota New York malam ini seperti biasa terlihat gemerlap dan ramai. Namun, jam segini biasanya Violette merasa lelah karena baru pulang kerja.

Tak lama kemudian, mobil Justin berhenti di tempat parkir gedung apartemen Justin. Violette sedikit membulatkan matanya. “Kita jadi ke apartemenmu, ya?”

“Aku tak pernah bermain-main dengan ucapanku, Violette.”

Violette sedikit menunduk, lalu mengangguk membenarkan perkataan Justin. Mereka akhirnya turun dari mobil dan Violette berjalan di belakang Justin. Justin membawa jas dan dasinya di lengan kirinya, sementara tangan kanannya menjinjing tas kerjanya.

“Jangan berjalan di belakang, Vio,” perintah Justin.

Violette tersentak; gadis itu menatap Justin dan mengangguk dengan cepat. Ia pun berlari mendekati Justin dan memegang lengan kiri pria itu. Ia memeluk lengan berotot itu dengan posesif…seakan-akan ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa pria itu adalah miliknya. CEO kaya yang memesona itu adalah miliknya seorang.

Di sepanjang lobby hingga di lift, lalu di lantai atas, mereka berdua seolah menjadi pusat perhatian semua orang.

Setelah sampai di depan unit apartemen Justin, Justin menekan nomor password unitnya, lalu mengajak Violette masuk. Setelah itu, Justin menutup pintunya kembali.

Begitu sudah sampai di dalam, Justin meletakkan jas, dasi, beserta tasnya di atas meja yang ada di ruang tamu. Violette mulai melepaskan pegangannya dari lengan Justin karena dia ingin melihat-lihat apartemen Justin lagi. Sepertinya, dia sudah dua kali berkunjung ke sini.

Ada sebuah asbak di atas meja yang ada di ruang tamu. Di asbak itu…tidak ada puntung rokok. Sudah dibersihkan, ya?

Violette menghela napas dan meletakkan tasnya di atas meja.

“Aku ke kamar mandi sebentar. Pergilah ke kamarku dan bawa barang-barang kita ke sana,” ujar Justin.

Violette menoleh kepadanya, lalu mengangguk. Justin pun masuk ke lorong yang ada di sebelah ruang tamu. Tak mau membuang waktu, Violette mulai bergerak menuruti apa yang Justin perintahkan sebelumnya; ia mengambil barang-barang mereka dan langsung pergi ke kamar Justin. Dia tahu di mana kamar Justin karena dia sempat masuk ke kamar itu saat Justin sakit.

Violette menyampirkan jas dan dasi Justin di sandaran sofa. Setelah itu, ia menaruh tasnya beserta tas Justin di sofa yang sama.

Violette lantas duduk di samping tasnya. Memandangi kamar Justin yang...bersih, serba putih, dan sangat rapi. Kamar ini desainnya simpel, tetapi tetap terlihat mewah dan elegan. Selain itu, kamar ini…penuh dengan aroma khas dari tubuh Justin. Aroma maskulinitas sejati seorang pria.

Violette memandangi ruangan itu dengan lekat dan tanpa berkedip. Ia sadar bahwa ruangan itu bila dilihat dengan jeli ternyata lebih mencengangkan. Namun, Violette tersentak saat tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan menampakkan sosok Justin di sana. Justin sedang menutup pintu.

“Kau sedang melihat apa?” Justin bertanya dengan santai.

Mata Violette membelalak; gadis itu kontan menggigit bibirnya. Sial, ketahuan.

“Ah… N—nothing.”

Violette baru sadar bahwa Justin kini tidak mengenakan kemejanya. Dia shirtless!! Oh God, he’s so hot, pikir Violette. Justin hanya memakai celana training; dia terlihat begitu santai. Apakah dia sering berkeliaran dengan penampilan seperti itu di dalam rumahnya? Dengan membayangkannya saja…Violette sudah meneguk ludahnya. Otot-otot tubuh Justin terlihat begitu tegas, tubuh pria itu seakan terpahat sempurna dan sukses mengalahkan rasa kagum Violette pada keseksian dan ketampanan para artis ataupun tokoh fiksi.

Violette menunduk; wajah gadis itu langsung memerah.

“Kalau kau sudah hampir berkepala tiga, tentu tak masalah melihat sesuatu yang agak ekstrem, Nona,” goda Justin, pria itu mengedipkan sebelah matanya kepada Violette. Pipi Violette jadi semakin memerah.

Justin mendekati lemari superbesarnya, lalu membuka lemari itu dan mengambil sebuah handuk kecil. Justin mengeringkan rambutnya dengan handuk itu, lalu duduk di tepi ranjang king size-nya.

“Justin, k—kupikir aku tidak seharusnya...”

“Malam ini kau tidur di sini.” Justin memotong ucapan Violette. “Aku tak ingin melihatmu menangis sendirian lagi sambil bermain gitar di rumahmu.”

Mata Violette membulat; gadis itu kontan merasa malu lagi.

“A—aku hanya mencoba untuk menghibur diriku sendiri!! Lagi pula, apa lagi yang harus kukerjakan kalau aku sudah bersantai?!!” Violette sibuk membela dirinya sendiri.

“Banyak,” jawab Justin. “Gunakan waktumu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat daripada itu.” Justin mengucapkan kalimat itu dengan penuh intimidasi. Matanya mengunci Violette hingga membuat Violette seakan mematung.

Violette meneguk ludahnya, lalu menunduk. Ya, Justin benar.

“Aku punya kaus dan celana tidur yang mungkin bisa kau pakai, jadi mandilah. Setelah itu, ayo kita makan malam dan tidur. Kau harus tidur di ranjangku.”

Violette merasa ada yang janggal. Ranjang Justin?!

“Ranjangmu?!”

“Ya,” jawab Justin singkat.

Violette menyatukan alis. “Jadi…kau tidur di mana?”

“Hm? Tentu saja, di ranjangku. Bersamamu. Tidak ada bantahan, Violette. Mandilah. Now,” perintah Justin. Pria itu bernapas samar. “Apa kau ingin aku yang memandikanmu, hmm?”

Violette menganga. “JUSTIN, WHAT THE HELL—"

“One.”

Mata Violette kontan membulat. ASTAGA, JUSTIN SEDANG MENGHITUNG! OH, PLEASE, WHAT THE HELL JUST HAPPENED?!

Justin berdiri dan berjalan ke lemari besarnya, lalu menyerahkan sebuah kaus, handuk yang berbeda, dan sebuah celana tidur kepada Violette. Violette meraihnya dengan takut-takut, lalu gadis itu keluar dari kamar Justin dengan cepat. Ia langsung mencari kamar mandi.

Justin duduk di tepi ranjangnya lagi; telapak tangannya bertumpu di ranjang. Pria itu mendongak, menatap lampu kristal besar yang menggantung dengan indahnya di kamar itu.

Tetesan air di wajahnya mengalir dari dagu hingga ke lehernya, lalu turun ke dadanya yang bidang. Justin mengembuskan napasnya melalui mulut, lalu memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia ingin menenangkan pikirannya.

Lima belas menit kemudian, Violette masuk ke ruangan itu dengan membawa handuk. Violette sudah memakai pakaian yang Justin berikan. Pakaian itu tampak longgar, kebesaran sekali kalau dipakai oleh Violette.

Justin melihat ke arah Violette ketika gadis itu masuk.

Violette agak menunduk; dia berjalan dengan pelan ke arah Justin, lalu berdiri di depan Justin. Justin hanya menatapnya dengan lekat, lalu pria itu menelan ludahnya samar. “Duduklah. Sampai kapan kau akan berdiri di sana, hm?”

Violette mengangguk. Sambil memeluk handuk itu, ia pun duduk bersebelahan dengan Justin. Justin memperhatikan Violette dengan mata yang agak menyipit, lalu berkomentar, “Kau semakin tidak seksi.”

Violette tersentak; ia kontan memelototi Justin dan menggeram. “AKU MEMANG TIDAK SEKSI, SIR!!!!!”

“Tapi aku tak mengerti mengapa kau selalu lebih enak dilihat daripada perempuan-perempuan yang seksi itu,” lanjut Justin.

Apa ini? Pujian setelah penghinaan?

“Jangan menggodaku!!” teriak Violette, pipinya mulai merona.

“Aku tidak menggodamu, Sayang.”

Violette menggigit bibirnya dan langsung membuang muka, sebisa mungkin ingin mengalihkan pandangannya dari wajah Justin.

Sayang…

Panggilan itu kini berhasil membuat Violette seakan terbang ke angkasa. Berhasil juga membuat pipi Violette jadi semerah delima. Sialan!

Tatapan mata Justin juga selalu mampu membuat Violette jadi tak berdaya.

Violette menggigit bibirnya, bersiaga. Takutnya akan ada rayuan lagi.

“Mulai sekarang, kau harus membiasakan dirimu,” kata Justin tiba-tiba.

“H—hah?” tanya Violette tak mengerti. “Membiasakan diriku…untuk apa?"

Justin berdiri. Pria itu mengambil handuk yang ada di genggaman Violette, lalu menggantung handuk itu di tempatnya bersamaan dengan handuk yang tadi ia pakai.

“Jangan terlalu bodoh, Nona.”

Okay, Violette sudah lelah dengan semua ejekan dari Justin itu. “Terserahmu saja, Sir.”

“Memutuskan untuk menyerah?” tanya Justin. Violette hanya mendengkus. Ya Tuhan, selalu saja seperti ini. Tiada hari tanpa berdebat dan mati kutu karena pria itu.

Tak lama kemudian, bel apartemen Justin berbunyi. Justin keluar dari kamarnya dan pergi ke depan pintu, lalu melihat video door phone unit apartemennya. Violette mengikuti Justin.

Di layar itu tampaklah sosok seorang pria. Justin langsung mengernyitkan dahinya; dia tampak tak senang. Sementara itu, mata Violette membeliak.

Itu adalah pamannya Justin. Mr. Locardo Alexander.

Justin pun membuka pintu itu dan tampaklah sosok Mr. Locardo di sana. Mr. Locardo datang dengan pakaian yang rapi; pria itu memakai jas berwarna abu-abu.

Violette berdiri di belakang Justin. Ekspresi wajah pria itu terlihat begitu dingin. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celananya.

“Justin,” panggil Locardo.

Justin hanya terus memberikan tatapan dingin kepada pamannya itu. Justin tak menjawab apa pun; dia sangat membenci pamannya.

“Kau membawa wanita ini lagi? Goddammit, what the fuck were you thinking?!! Dengar aku, KAU ADALAH SEORANG PEMIMPIN PERUSAHAAN BESAR, APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN WANITA JALANG SEPERTI DIA?! I CAN’T BELIEVE THIS!” bentak Locardo. Justin hanya menatap Locardo tanpa ekspresi.

Violette menunduk. Rasanya bagai ada sebuah lembing yang menohok jantungnya.

“Aku tahu kau hanya ingin mempermainkan gadis ini, tetapi jangan habiskan uangmu hanya untuk perempuan. Kau tahu bahwa itu akan mencoreng nama baikmu,” ujar Locardo. Setelah itu, Locardo mulai mendekati Justin. “SURUH DIA PERGI DARI SINI!!! TIDAK ADA BANTAHAN, AKU INGIN MEMBICARAKAN SESUATU DENGANMU!!!!”

“Kaulah yang harus pergi dari sini,” ujar Justin dengan penuh intimidasi. Ia menatap Locardo dengan tajam. Menekan Locardo dengan perintah absolutnya.

Locardo terdiam, matanya membulat tak percaya. Tiga detik setelah itu, Locardo mulai menggeram; tubuhnya bergetar hebat.

“KAU—"

Locardo ingin memukul kepala Justin, tetapi tangan Justin langsung mencengkeram lengan Locardo dan mencegah pukulan itu. Mata Locardo kontan membeliak.

Justin sedikit menurunkan tangan Locardo, tetapi masih mencengkeram tangan itu. Rahang Justin mengeras.

Violette sedari tadi hanya bisa panik. Wajahnya tegang. Dia tahu bahwa Locardo tak menyukainya, tetapi dia juga paham perasaan Locardo yang sangat menyayangi Justin.

“Aku tidak perlu kau atur, Locardo,” ujar Justin dingin. “Aku tahu apa yang harus kulakukan. Selain itu, jangan hina gadis ini lagi.”

Locardo mengernyitkan dahi; ia merasa bingung setengah mati.

Setelah itu, Justin melanjutkan, “…karena dia akan menjadi istriku dalam waktu dekat.” []










******







Wednesday, April 9, 2025

Dari Gavin, oleh Gavin, dan Untuk Gavin! (Bab 3: Cara Membalas WA Cewek)

 


******

Bab 3 :

Cara Membalas WA Cewek

 

******

 

WALAUPUN Revan ngeliatin Gavin dengan heran, ujung-ujungnya Revan nggak nanyain ‘ada apa’ ke Gavin. Gavinnya juga diem aja, jadi Revan pikir mungkin Gavin abis ngeliat setan atau apa gitu di medsosnya. Kebetulan di HP Revan juga ada WA baru dari sekretarisnya, jadi dia mutusin buat duduk dulu di dekat nakas sambil ngebalas WA itu.

            Di sisi lain, Gavin keliatan kayak lagi ngetik-ngetik juga di HP-nya; dia ngebales WA dari Nadine. Dibanding ngebales WA masalah kerjaan, ngebales WA dari Nadine justru kerasa lebih susah. Malah lebih bikin pusing, soalnya sebelum ngetiknya itu mesti mikir dulu. Ini dia udah beberapa kali bales WA Nadine, tapi yang dia heran…kok Nadine balesnya cepet banget, sih?!

Sumpah, cepet banget! Kayak langsung dibales gitu; dia kayak stay di halaman chat itu dan nggak keluar-keluar! Ini dia juga luwes banget omongannya. Dia ngetiknya nggak pake mikir dulu apa gimana, sih?

Pas Gavin udah beberapa kali bales WA dari Nadine, tiba-tiba ada suara Revan yang kayaknya lagi jalan ngedeket ke kasur. Gavin masih ngebales WA Nadine sambil ngerutin dahi kayak orang lagi ujian Matematika pas Revan bilang, “Ngapa lo, Nyet? Kok serius amat?”

Waktu Gavin akhirnya noleh ke Revan, Revan lagi naik ke kasur Gavin dan mulai duduk di samping Gavin. Kepalanya nyender ke headboard. Di sisi lain, Gavin keliatan kayak lagi kesusahan banget; dia garukin kepalanya sendiri pas bilang, “Nyet, cara ngebales WA dari cewek tuh gimana, yak?”

Ngedenger Gavin nanya kayak gitu, mata Revan kontan melebar. Mendadak Revan ketawa keras. “Lah, buseeeet! Jangan-jangan lo udah di-WA sama Nadine, ya? Aseeeeeek! Cie-cieeee!!! Kiw-kiiiw!”

Gavin berdecak dan langsung ngelempar muka Revan pake bantal. “Berisik lu, tai! Gue bingung, nih, elah!”

Revan makin ketawa, dia nyingkirin bantal yang barusan dilempar Gavin ke mukanya. “Ya bales aja ngapa, sih, Nyet? Bawa santai ajaaa!”

“Ngomong mah gampang! Lo mah iya, udah terbiasa. Gue belum, Nyet, apalagi ini dia balesnya cepet banget! Gue jadi ngerasa nggak enak, nih, ngebalesnya lama gitu,” ujar Gavin, dia keliatan agak gelisah. Ini kayaknya dia serius lagi minta pertolongan.

Revan ketawa lagi, tapi kali ini dia langsung ngangguk dan bilang, “Ya udah, ya udah. Mana, coba gue liat chat kalian.”

Gavin ngangguk, lalu ngasih HP-nya ke Revan. Layar HP itu emang lagi nampilin isi chat WA antara Gavin dan Nadine yang sekarang nomornya udah disimpen sama Gavin. Revan mulai ngeliat isi chat itu.

 

Nadine

Met malem, Pak Gavin!

Ini Nadine, Pak 😊

Bapak lagi ngapainn?

 

Gavin Aryadinata

Malam, Nadine.

Nomornya udah saya simpen ya.

Saya lagi nonton TV aja.

 

            “BWAHAHAAHAHAHAHA!!” Revan ngakak abis-abisan pas liat balesan pertama Gavin itu. “KAKU BANGET, PAK, HAHAHAHAHA!”

            Gavin langsung nunduk dan mijetin keningnya sendiri; jujur aja pipinya agak merona. Dia malu abis. “Aaaaargh, udah, jangan diperjelas. Makanya, kan, gue minta tolong ama lo.”

            Revan nutup mulutnya sendiri, dia bener-bener lagi nahan suara ketawanya supaya jangan terus-terusan membahana. Bisa-bisa ntar dia diusir sama mamanya Gavin gara-gara terlalu berisik. “Lo kaku banget, Nyeeeeet! Lo lagi ngomong sama anggota lo apa gimana hah? Lo ini lagi bales WA pribadi, Nyet, bukan WA kerjaan!”

            “Ya gue bingung, Nyet,” jawab Gavin. “Gue nggak pernah dapet WA gituan.”

            Revan menghela napas, tapi ujung-ujungnya dia ketawa lagi; dia ketawa sambil geleng-geleng kepala sendiri. Terus terang aja, ya, dia kayak lagi nyaksiin anak SMP yang baru punya gebetan.

            Gavin sebetulnya jengkel ngeliat Revan yang kayaknya puas banget ngetawain dia, tapi mau gimana lagi? Dia butuh bantuan si buaya putih itu.

            Kayaknya, baru kali ini, deh, mereka ngediskusiin masalah cewek. Biasanya, nggak pernah diskusi gini walaupun Revan udah sering gonta-ganti cewek. Soalnya, Revan udah lihai dalam nge-handle cewek-ceweknya, jadi dia hampir nggak pernah ngasih tau apa-apa ke Gavin, kecuali pas dia putus atau pas dia dapet cewek baru lagi.

            Mereka jadi diskusi masalah cewek, untuk pertama kalinya, karena Nadine.

            Sambil senyum-senyum ngeselin, Revan pun ngeliat chat itu lagi.

 

Nadine

Makasih pakk! >,<

Bapak dah mandi lum?

 

Gavin Aryadinata

Iya, sama-sama.

Udah tadi.

Kamu udah mandi?

 

Nadine

Udah pak, hehee

Bapak gantengg, tadi makan lagi nggak?

Atau udah kenyang pas makan tadi sore?

 

Gavin Aryadinata

Saya udah kenyang karena makan tadi sore, Nadine.

Jadi saya nggak makan lagi.

 

Nadine

Kalo laper nanti makan lagi ajaa pak

Oh iyaa, ini gapapa kan saya WA bapak?

Nggak ganggu kan pak?

 

Gavin Aryadinata

Kayaknya saya udah nggak laper lagi.

Nggak ganggu kok, Nadine.

Kenapa emangnya?

 

Nadine

Ya siapa tauu bapak mau tidur kann

Aduh, saya senengg banget inii pak

Bisa WA an sama bapak kayak gini >_<

Apalagi WA nya pas bapak lagi santaiii!!

Heheheheee

 

Gavin Aryadinata

Saya belum ngantuk, Nadine.

Kamu ini ada-ada aja.

 

Nadine

Sekarangg bapak lagi di mana?

Nonton TV nya di mana? Di ruang tamu yaa?

 

            “Asli, Nyet, lo kaku banget sumpah!” celetuk Revan. Dia ketawa lagi. “Lo kayak lagi ngomong sama anggota lo, woy, kayak ngomong sama Maureen!”

            Gavin kontan ngerutin dahi. “Mana pernah gue WA-an kayak gitu sama Maureen!”

“Pffft!” Revan geleng-geleng geli. “Oke, oke, tapi intinya, ini lo kayak lagi bales WA kerjaan. Berasa formal banget gitu. Gombalin dikit kek.”

Gavin langsung lempar bantal lagi ke muka Revan. “Lo pikir gue kayak lo, nggombalin semua cewek?!”

“Vin, kalo bukan cowok, siapa lagi yang nggombalin duluan? Kalo nggak ada gombalan, nggak akan ada yang namanya baper, Vin! Bapak gue aja bisa nikah sama emak gue gara-gara dia rajin nggombalin emak gue!” balas Revan. Dia ngomong gitu dengan percaya diri. Mukanya ngeselin banget, soalnya dia sambil nyengir.

“Bjir, pohon jatuh nggak jauh dari buahnya,” komentar Gavin.

“Kebalik, tolol,” ujar Revan. “Udah, deh, yang jelas ilmu gombal itu nyatanya emang dibutuhin di dunia ini. Manusia nggak akan bisa berkembang biak tanpa adanya gombal-menggombal.”

“Ya tapi nggak gitu juga nggombalinnya, Nyet,” jawab Gavin. “Kalo lo, kan, tiap ketemu yang bening dikit, langsung ngaku-ngaku jomblo! Itu mah buaya putih namanya!”

Revan langsung ngakak abis-abisan. “Oh. Bukan buaya siluman, yak?”

“Terserah lo dah,” jawab Gavin. “Sekarang bantuin gue gimana caranya ngebales Nadine biar nggak lama dan nggak keliatan kaku.”

“Hmm…” Revan ngelus dagu, dahinya berkerut. “Bales gini aja: Abang lagi nonton di kamar, nih. Adek mau ikut nggak? Video call-an, yuk, Dek.”

“SOMPRET!” teriak Gavin. “GELI BANGET GUA ANJIR!”

Revan ketawa kenceng banget sampe mukul-mukul pahanya sendiri. Gavin melototin dia sampe matanya kayak mau keluar, tapi Revan malah makin ketawa.

“Ya terus gimana, Nyeeeeet?! Greget juga gue ngeliat lo lama-lama! Pepet ajalaaah!!” desak Revan.

“Ya lo mikir dikitlah, bangsat!! Kayak abang-abang kuli bangunan yang lagi nggodain kembang desa aja!! Jangan-jangan selama ini lo nggombalin cewek-cewek lo kayak gitu, ya? Murahan banget gombalan lo, Van, astaga!!” ujar Gavin yang langsung ngebuat Revan ketawa lagi.

“Ya nggak, sih,” jawab Revan. “Agak dinaikin dikit level gombalnya. Kalo yang level atas justru nggak keliatan kayak lagi gombal. Lebih alus.”

Gavin berdecak. Dia pun ngerebut lagi HP-nya itu dari tangan Revan. “Sini dah, biar gue bales aja dulu! Kesel gue ngeliat lo lama-lama.”

Revan ngakak.

Sementara itu, Gavin mendengkus. Dia mulai mikirin balesan buat Nadine. Balesan yang kira-kira nggak keliatan formal. Setelah dia dapet ide, dia pun mulai bales chat Nadine.

 

Gavin Aryadinata

Nonton TV di kamar, nih.

Kamu lagi apa?

 

Nadine

Aaaaaaak, bapak imut bangetsiii >_<

 

Gavin Aryadinata

…imut?

Kayaknya saya nggak imut deh

Saya udah tua gini

Kamu lagi apa, Nadine?

 

            Gavin agak terkekeh pas ngebales chat itu. Imut? Ada-ada aja. Dia udah kepala tiga gini kok dibilang imut.

            Gavin noleh ke Revan bentar dan ngeliat kalo Revan udah mulai nonton TV. Di TV lagi ada sinetron yang pake CGI naga terbang. Ada kakek-kakek yang lagi naik naga terbang itu.

 

Nadine

Siapa yang bilang kalo tua nggak boleh imut?

Saya berantemin sini

Wkwkw

Saya lagi baring-baring ajaa pak, sambil WA an sama bapakk hehee

 

Gavin Aryadinata

Belum ngantuk?

 

Nadine

Belum dongg, masa ngantuk

Lagi enak-enakan WA sama Pak Gavin masa ngantuk

Bapak udah ngantuk yaa?

 

Gavin Aryadinata

Belum. Kalo udah ngantuk bilang ya.

 

Nadine

Astagaa, saya bahagia banget hari iniii aaaaaa

Mudah-mudahan bukan mimpiii

Ehehehehee

 

            Gavin senyum. Dia natap chat dari Nadine itu dengan lembut. Pas udah tiga detik, dia pun sadar kalo dia harus bales chat itu, tapi mendadak dia bengong.

            Lah, balesnya gimana ini??

            Gavin langsung noleh ke Revan, niatnya dia mau minta bantuan Revan. Dari tadi dia udah berusaha buat ngebales Nadine dengan kata-kata yang ‘nggak terlalu kaku’, tapi khusus chat yang terakhir ini…kayaknya dia nggak tau mesti bales gimana! Kalo dia bales apa adanya, pasti jadi kaku lagi.

            Entah ngapa dia nggak enak aja gitu…kalo ngebales Nadine dengan kaku lagi. Soalnya, chat dari Nadine itu selalu keliatan antusias.

            Namun, sayangnya…pas Gavin natap Revan, ternyata si Revan udah ngorok.

            Revan duduk, nyandar ke headboard, tapi udah ketiduran. Udah ngorok.

            Si kampret.

 

******

 

Besok paginya, pas ketemu di depan pintu kamar mandi lantai dua, Revan ngakak banget ngeliat Gavin yang udah bermata panda. Kantong matanya keliatan jelas, udah gitu item lagi. Dia dateng pas Revan baru mau masuk ke kamar mandi. Tadi Revan bangun duluan dan langsung pergi ke dapur, ikut sarapan sama keluarganya Gavin. Tau-taunya dia ketemu Gavin di sini, di depan kamar mandi, dan ternyata Gavin bangun dalam kondisi kayak gitu.

Gavin berdiri di situ; di salah satu bahunya ada handuk yang nggantung. Muka Gavin keliatan ngantuk banget. Kantong matanya ngitem gitu, terus tangannya nyilang di depan dada.

Sambil ngakak, Revan pun buka suara, “Sehat, Pak?”

“Diem lo, kamvret,” jawab Gavin langsung. “Masuk sana duluan.”

Revan geleng-geleng geli. Dia masih ngetawain Gavin. “Astagaaa. Pening banget ini kayaknya si Bapak, ngebalesin WA cewek untuk yang pertama kalinya. Sampe begadang keknya.”

“Bacot lo, tai!!! Masuk sana lo!!” teriak Gavin pada akhirnya, dia langsung nendang pantat Revan supaya Revan cepet masuk ke kamar mandi. Revan—yang lagi ditendang itu—langsung ngakak abis-abisan. Badannya yang tinggi itu akhirnya masuk ke kamar mandi, abis itu Gavin langsung nutup pintunya. Revan masih ngakak di dalam sana, sementara Gavin mulai ngomel-ngomel di luar gara-gara dongkol abis sama Revan yang terus-terusan ngetawain dia.

 

******

 

“Lo duluan aja, Nyet,” ujar Revan saat mereka berdua udah ada di halaman rumah Gavin. “Gue mau ngisi bensin dulu.”

Jadi, ceritanya mereka berdua udah selesai siap-siap. Udah rapi, pake pakaian kerja masing-masing. Udah pada ganteng. Tadi Revan ngomong sambil buka pintu mobilnya sendiri yang keparkir di halaman rumah Gavin. Pas dia udah denger Gavin jawab ‘Oke.’, barulah dia masuk ke mobilnya. Gavin lagi buka pintu garasi; dia mau ngambil mobilnya. Kalo Revan mau ngisi bensin dulu, ya mending Gavin duluan aja. Dia nggak mau barengan Revan karena nggak mau kena macet parah. Males aja. Kalo ngikut Revan, kan, pasti bakal tambah siang perginya.

Jadi, Revan mulai mundurin mobilnya dan keluar. Dia klaksonin Gavin bentar—mau pamit—dan Gavin yang lagi buka pintu mobilnya itu langsung ngacungin jempol ke dia. Pas udah liat respons Gavin, barulah dia mulai jalanin mobilnya. Ninggalin rumah Gavin.

Nggak lama kemudian, Gavin pun ngeluarin mobilnya dari garasi dan akhirnya berangkat. Semenjak Ita nikah, Gavin nggak nganter jemput Ita ke UI lagi. Biasanya, dulu dia mesti nganterin Ita ke UI dulu sebelum pergi ke kantor.

Gavin berkendara dengan santai. Dia ngehidupin lagu-lagu dari band-band rock barat yang emang biasa dia puter di mobilnya. Red Hot Chili Peppers, Green Day, Nirvana, Guns N' Roses…semua lagu dari band-band itu udah biasa diputer di mobilnya Gavin. Kali ini, dia ngehidupin lagu berjudul ‘Boulevard of Broken Dreams’ oleh Green Day. Sambil nyetir, dia ngetuk-ngetukin jemarinya di roda kemudi. Sesekali dia ikut nyanyi atau ngangguk pelan, nikmatin lagu itu.

Pas Gavin sampe di deket halte Transjakarta yang biasa dia lewatin, ternyata di situ agak macet. Sebetulnya, di daerah situ emang sering macet, jadi Gavin udah biasa. Dia berenti dan ikut nunggu kemacetan itu sama kendaraan lainnya. Dia nyandar dan tangannya masih memegang roda kemudi; dia ngangguk sesekali, ngikutin irama musik.

Karena macet, Gavin iseng-iseng noleh ke kanan. Ngeliat ke luar sana dari jendela pintu mobil. Pas diliat gitu, ternyata mobil Gavin betul-betul sejajar sama halte Transjakarta yang ada di seberang sana. Cuma dipisahin oleh jalur busway. Namun, bukan, bukan itu masalahnya.

Ada seorang cewek yang duduk di halte Transjakarta itu. Ada beberapa orang, sih, yang lagi duduk di halte itu, tapi cewek itu… Gavin kenal cewek itu.

“Lha, itu bukannya…Nadine?” ucap Gavin tanpa sadar. Dia sampai nyatuin alisnya supaya bisa ngeliat lebih jelas.

…dan iya, itu memang Nadine. Nadine lagi duduk di tengah-tengah halte itu, nungguin Transjakarta.

“Dia naik Transjakarta toh ternyata…” ujar Gavin lirih. Gavin ngeliat jam tangannya sebentar, abis itu dia langsung buka jendela pintu mobilnya. Dia turunin jendela itu sampe hampir full kebuka. Dia pun langsung ngeliat jauh ke depan sana, ke arah Nadine, dan teriak.

“NADINE!”

Orang-orang yang lagi nunggu di halte itu pun langsung noleh ke Gavin. Semuanya langsung noleh, termasuk Nadine. Nadine langsung ngikutin asal suara dan ujung-ujungnya dia nemuin Gavin di seberang sana. Gavin ada di sana, ngebuka kaca mobil buat neriakin dia.

Kontan aja mata Nadine melebar. Ada binar terang yang langsung muncul di matanya itu. Hatinya langsung berbunga-bunga. Jantungnya langsung deg-degan parah. Dia bahagia maksimal.

 

Pak Gavin! Astaga, ada Pak Gavin! Kok kebetulan banget, ya?

Astaga, aku kebetulan ketemu crush! Mana dipanggilin di depan umum gini lagi, ahhhh seneng bangettt! Dia notice aku, padahal lagi rame giniii!!!

Aaaah, jadi sayanggg!!

 

Matanya Nadine hampir aja ngeluarin love-love gitu.

 

Belum sempet Nadine ngejawab, tiba-tiba Gavin teriak lagi.

“Sini, Din! Ayo naik! Bareng saya aja!!”

Tebak apa respons Nadine?

Ya jelas langsung diterima, dong!

Nadine langsung ngangguk dengan sukacita; cewek itu langsung jawab, “Iya, Pak! Bentar!”

Ahhh! Bahagia bangeeettt! Pagi-pagi gini udah ketemu doi, mana berangkat ke kantornya barengan lagi! Ughhh!

Nadine nggak berenti ngoceh, tapi untungnya ngocehnya di dalam hati aja. Malu sama Pak Gavin kalo isi otaknya ketauan.

Nadine pun mulai berdiri, abis itu dia langsung lari turun dari halte. Dia nyebrang jalur busway dan langsung ngedeketin mobil Gavin yang masih diem di tempat gara-gara masih macet.

Dia pun masuk ke mobil Gavin dan duduk di kursi penumpang depan. Di samping Gavin.

Pas dia udah selesai pasang sabuk pengaman, dia langsung noleh ke Gavin. Dia mulai senyum manis banget…sampe nunjukin gigi-gigi putihnya. Matanya sampe ngelengkung seakan-akan ikut senyum. Dia keliatan bahagia banget.

Pagi-pagi begini, dia udah semangat 45. Seger banget.

“Makasih, ya, Pak! Hehehee kebetulan bangettt! Aku jadi numpang sama bapak, deh!” ujar Nadine dengan antusias. Riang.

Gavin—yang emang lagi natap Nadine itu—pun mulai senyum. “Iya, nggak apa-apa kok. Sekalian aja. Ini udah siang juga.”

Di dalam hati, Nadine mulai meracau.

Gila ganteng banget ganteng banget ganteng banget ganteng banget omaigat mampus aku pagi-pagi udah ganteng banget si doi ampun aku ampun—

“Kamu tiap hari naik Transjakarta?” tanya Gavin tiba-tiba, mutusin ocehan di otak Nadine yang panjangnya udah kayak rel kereta api. Nadine kesentak.

Mata Nadine langsung agak ngelebar—gara-gara kaget—abis itu Nadine ketawa hambar. Dia nggarukin tengkuknya yang…sebenernya nggak gatel. “Ah—haha… Iya, Pak. Saya tiap hari naik Transjakarta.”

Gavin ngangguk, matanya ngeliat ke depan sebentar. Kemacetan itu udah agak ngurang dan Gavin mulai majuin mobilnya pelan-pelan.

“Rumah kamu di mana emangnya?” tanya Gavin lagi.

Nadine senyum, abis itu dia nunjuk ke dekat halte bus tadi. “Ituuu, di lorong yang deket sama halte itu tadi, Pak,” jawab Nadine, kontan ngebuat Gavin jadi noleh ke lorong itu. Abis itu, Nadine pun ngelanjutin, “Kalo kita masuk ke lorong itu dan jalan bentar aja, ada kos-kosan di sebelah kanannya. Nah, saya ngekos di situ, Pak.”

Gavin langsung natap Nadine dan matanya agak ngelebar. Dia ngangguk-ngangguk pelan. “Oh…kamu ngekos toh. Orangtua kamu tinggal di mana?”

“Umm… Orangtua saya…udah lama meninggal, Pak,” jawab Nadine. Dia jawabnya rada canggung, tapi masih keliatan senyum. “Saya ada kakak, sih, tapi dia tinggalnya di Bandung. Dia jadi guru di sana.”

Gavin senyum. Mobilnya udah jalan dengan mulus; mereka udah ngelewatin kemacetan itu. Sambil nyetir, Gavin pun lagi-lagi ngangguk pelan. “Ooo… Jauh juga, ya.”

Nadine tiba-tiba keliatan antusias lagi. Matanya kebuka lebar dan dia nggak bisa nyembunyiin senyumnya pas nanya, “Bapak berangkatnya dari jam berapa tadi?”

 “A—aah…” Gavin noleh ke Nadine bentar, abis itu natap jalan lagi. “Saya udah berangkat dari jam tujuh lewat tadi, sih. Nggak mau kena macet.”

Nadine ngebuka mulutnya sampe ngebentuk ‘o’ kecil dan dia ngangguk-ngangguk. “Oooo! Bapak udah sarapan, ‘kan?”

Gavin ketawa kecil. “Udah kok. Kamu udah?”

“Udah jugaaa, Pak!” Nadine ngacungin jempolnya di depan Gavin. “Saya mah pasti sarapan!”

Gavin ketawa. “Bagus, dong, kalo gitu.”

“Heheheeee…” Nadine nyengir. Dia excited banget. “Bapak jangan lupa makan, yaa, supaya nggak sakit. Saya nggak mau Bapak sakit. Nanti saya sedih.”

Gavin kontan kaget bukan main pas denger itu. Dia noleh ke Nadine bentar, mukanya keliatan heran minta ampun. Dia kaget, heran, dan jadi bingung sendiri. Makanya, meskipun dia langsung buang muka dan natap ke depan lagi, dia nggak bisa nyembunyiin suaranya yang mendadak nge-crack pas jawab, “O—oh, gitu. Kenapa kamu sedih?”

Sambil agak mewek gitu, Nadine pun jawab, “Ya soalnya saya udah keburu sayang sama Bapak.”

Mendadak kayak ada petir yang nyambar badan Gavin.

Bentar woy, bentar. Tunggu dulu. Apa yang—

Gavin langsung noleh ke Nadine lagi. Dia betul-betul tercengang di situ.

Sayang? Maksudnya sayang kayak—

“Eh, Pak, awas! Ada mobil di depan!” teriak Nadine tiba-tiba. Mata Gavin kontan memelotot; cowok itu langsung ngeliat ke depan lagi dan jawab, “Eh, iya, astaga!!”

Diam-diam, sambil ngeliatin Gavin yang kebingungan bukan main itu, Nadine terkekeh. Dia ketawa kecil tanpa sepengetahuan Gavin. Gavin di sebelahnya keliatan bingung setengah mati, kaget, heran dan agak panik gitu, apalagi keliatannya cowok itu berusaha untuk fokus nyetir meskipun pikirannya ke mana-mana.

Aduh, Bapak gantengku ini imut banget, sihhh! Unyu-unyu banget tingkahnya!!

 

******

 

Pas udah nyampe di kantor, Gavin langsung parkirin mobilnya di tempat parkir khusus ketua direksi. Dia nggak tau Revan udah nyampe apa belum, dia juga nggak begitu merhatiin mobil-mobil yang ada di tempat parkir itu.

Pas dia turun dari mobil, Nadine juga ikut turun. Mereka berdua jadi jalan berdampingan sampe ke pintu depan gedung perusahaan.

Tadi, pas Gavin udah mulai fokus nyetir, nggak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. Sesekali ada ngobrol, sih, tapi karena obrolannya bisa berujung maut, Nadine jadi agak ‘nahan’ gombalannya. Mereka ngobrolnya sesekali doang, tapi Nadine entah ngapa justru ngerasa seneng banget. Soalnya, dia jadi tau betapa imutnya Pak Gavin kalo dia pepet terus gitu. Dia bahagia pas nyadar kalo gombalannya punya semacem pengaruh gitu ke Pak Gavin. Berarti, ada kemungkinan usahanya ini bakal membuahkan hasil!

Sumpah, dari tadi Nadine nggak berenti nyanyi-nyanyi riang di dalam hati. Dua hari ini, dia berasa kayak hidup di surga yang penuh dengan taman bunga. Ah, pokoknya sempurna banget, deh.

Tanpa Nadine dan Gavin sadari, sejak mereka turun dari mobil sampe mereka jalan ke pintu depan perusahaan, udah banyak pasang mata yang ngeliat ke arah mereka. Ini bukan tanpa sebab, sebenernya, soalnya Gavin itu punya posisi yang cukup penting di Abraham Groups. Dia itu salah satu ketua direksi di sana, lho, apalagi dia itu ganteng. Dia dan Revan itu terkenal sebagai ‘Duo Ketua Direksi Ganteng’ yang kebetulan dua-duanya masih lajang. Mereka sering jadi alesan bagi cewek-cewek di perusahaan itu buat semangat ngantor, terutama sekarang pas Pak Deon—dirut mereka—udah nikah. Ngagumin Pak Deon jadi nggak sebebas dulu lagi semenjak Pak Deon berstatus sebagai suami orang. Makanya, sekarang tinggal Gavin dan Revan, deh, yang jadi objek buat cuci mata dengan bebas.

Sekarang aja, pas Gavin dan Nadine udah jalan di lobi, di ujung sana ada dua cewek yang lagi bisik-bisik gitu, tapi posisinya Gavin dan Nadine sama-sama nggak nyadar.

 

“Eh, cewek itu siapa?”

“Nggak tau. Kok jalan sama Pak Gavin, ya?”

“Entah. Gue nggak pernah liat. Itu karyawan divisi mana? Deket sama Pak Gavin, ya?”

 

Di sisi lain, pas dua cewek yang lagi bisik-bisik itu udah ilang di ujung sana, tiba-tiba aja Nadine jalan cepet-cepet. Dia ngeduluin Gavin dan itu ngebuat Gavin spontan natap dia dengan heran.

Pas udah agak jauh di depan Gavin, Nadine pun berbalik. Dia sekarang hadap-hadapan sama Gavin, tapi posisinya agak jauh gitu, sekitar tiga langkah.

Abis itu, tiba-tiba aja Nadine ngomong dengan suara yang lumayan kenceng.

“Bye-byeee, Bapak gantengggg!” katanya. Dia ngasih kiss bye sekaligus ngedipin sebelah matanya ke Gavin. Abis itu, dia ngelambaikan tangannya. “Dadahh! Saya duluan, ya, Pak! Maaciii, Bapak gantengg!”

Selesai teriak gitu, dia pun balik badan dan langsung lari ke lift.

Ninggalin Gavin—yang lagi tercengang di lobby itu—gitu aja. []

 
















******



Canciii banget cewek centilku satu ini



Si monyet yang tadi katanya mau ngisi bensin




My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 10: A Hot Kiss at CEO's Room)

  ****** Chapter 10 : A Hot Kiss at CEO’s Room   ******   Justin: TIDAK ada yang istimewa. Produk yang sedang diusahakan kali ini sedikit t...