Chapter 13 :
Genius
and Possessive
******
Author:
MATA Justin malam itu terlihat seperti
mata seekor elang; matanya begitu tajam dan mengerikan. Setelah
mengucapkan dua kalimat itu, Violette langsung berlari meninggalkannya
Satu panggilan kencang terucap dari
bibir Justin dan hasilnya nihil; Violette tidak berbalik sama sekali. Gadis itu
sudah menaiki taksi yang kebetulan berhenti di depannya saat ia sampai di
pinggir jalan.
Justin bernapas samar. Pria itu menelan
ludahnya, membuat jakunnya naik turun. Matanya menyipit tatkala melihat
kepergian taksi itu.
Sesuatu pasti sedang terjadi. Emosi seseorang
akan berubah jika dipengaruhi oleh sesuatu.
Tanpa pikir panjang, Justin
mengambil tas besar berisi kotak gaun pernikahan yang sebelumnya dijatuhkan
oleh Violette, lalu mulai berjalan ke arah mobilnya sembari merogoh saku untuk
mengambil ponselnya. Justin langsung menelepon Violette beberapa kali, tetapi Violette
tak mengangkatnya sama sekali.
Tak ada sepatah kata pun yang
keluar dari mulut Justin sampai ia masuk ke mobilnya. Namun, tatkala sedang
menghidupkan mesin mobil itu, ada sebuah panggilan masuk dari seseorang yang membuat
Justin jadi menelepon sambil mengemudi.
"Mr. Alexander?"
Justin mendengkus.
"Apa yang kau dapatkan?" tanya
Justin.
"Di rumah pertama tempat
penyekapan Mr. Jonathan Morgan, ada banyak sidik jari milik pelaku dan juga milik
Mr. Morgan. Mereka tidak menyembunyikan sidik jari itu sama sekali, seolah-olah
memang disengaja. Namun, milik Mr. Morgan hanya ada di salah satu ruangan.
Jadi, bisa dipastikan kalau sidik jari di tempat lainnya adalah milik sang
pelaku. Polisi sedang menyelidiki semuanya. Ada juga kecurigaan bahwa sang pelaku
adalah salah satu bodyguard dari seorang CEO terkenal di Perancis yang bernama
Mr. Martinous Hoult."
"Aku sudah membaca tentang
itu. Ada lagi?" tanya Justin dengan alis menyatu.
"Belum ada, Tuan. Aku akan
memeriksanya lagi."
"Cari tahu soal benar atau
tidaknya dugaan itu. Aku tak boleh bertindak sembarangan, untuk sekarang,"
ujar Justin dingin. Detik itu juga, Justin mematikan panggilan telepon itu. Dia
menaruh asal ponselnya di atas dashboard, lalu mulai mengemudi
dengan kecepatan penuh.
Tebakan Justin tidak meleset. Namun,
hal yang ia sesali adalah: Violette harus terlibat dengan semua urusannya. Sebenarnya,
Justin hanya tak ingin Violette mengingat semua masa lalu mereka meskipun
Violette juga merupakan mantan anggota Red Lion.
Kedua mata berwarna lelehan emas milik
Justin itu menatap fokus ke depan, menembus gelapnya malam di balik kaca
depan mobilnya.
Mobil itu berhenti tepat di depan
rumah Violette. Matanya memperhatikan rumah itu yang masih gelap tanpa ada tanda
bahwa ada seseorang di dalamnya. Justin menghela napas samar, lalu mencengkeram
roda kemudinya; ia tampak terganggu.
Justin melepaskan dasinya dalam
satu kali tarikan. Ia juga melepas jasnya, lalu menaruh keduanya di jok penumpang
depan. Setelah itu, ia pun keluar dari mobilnya.
Langkah kakinya terlihat sedikit
lebar tatkala mendekati rumah Violette. Meskipun demikian, kalau dilihat
sekilas, ia sepertinya tidak terlalu buru-buru. Entah karena ia tak terbiasa memiliki
emosi yang naik turun…atau karena ia memang tak ingin menunjukkannya. Namun, sungguh,
saat ini ia benar-benar cemas. Tidak ada lagi Hillda, tidak ada lagi masa lalu
yang hinggap di otaknya. Hanya ada Violette.
Jadi, di sinilah ia sekarang, mulai
mengetuk pintu rumah Violette dengan sedikit kencang. Memikirkan segala macam
kemungkinan yang paling buruk, tanpa sadar Justin menggertakkan giginya.
"Violette."
"Violette, I'm here. Jika
kau ada di dalam, kumohon keluarlah."
Justin mencoba untuk memastikan
keadaan. Namun, benar saja, di rumah itu memang tidak ada orang.
Justin mendengkus. Dia langsung
berbalik dan berjalan menuruni tangga rumah panggung Violette dengan langkah
lebar. Dia pun bergegas masuk ke mobil, lalu mengambil ponselnya yang ada
di atas dashboard dengan tangan kirinya. Sementara itu, tangan
kanannya sibuk menghidupkan mesin mobil.
Tatkala mobil itu sudah berjalan, akhirnya
Justin mendapatkan nomor telepon yang ingin ia hubungi. Tepat di detik kedua,
ponsel itu sudah ada di telinga kirinya; dia menelepon orang tersebut.
"Beri aku laporan tentang lokasi
penyekapan yang terbaru, paling lambat dua hari kedepan. Usahakan informasi
mengenai orang itu sudah lengkap," perintah Justin dengan tegas.
“Selain itu, tolong beritahukan
kepada para assistant-ku bahwa aku akan membatalkan rapat malam
ini. Katakan pada mereka untuk menghubungiku; aku ingin tahu jadwalku pada hari
Kamis. Chief assistant-ku sedang berada dalam kondisi yang kurang baik."
Setelah mendengar beberapa jawaban
yang patuh, Justin pun mematikan panggilan telepon itu dan mulai menelepon
seseorang lagi.
Panggilan telepon itu langsung
diangkat begitu Justin mendengar dering pertama.
Suara yang menyambutnya dengan
beribu kehangatan itu membuat mata Justin menyipit; tiba-tiba, ia menatap
jalanan di depannya dengan tajam.
"Where are you?" Justin bersuara setelah sekian
lama ia hanya diam mendengarkan semua omongan lawan bicaranya. Dia tak
tertarik untuk menanggapi lawan bicaranya itu.
"Arrgh! Ternyata, kau masih
perhatian padaku, Justin," ujar sang lawan bicara di seberang
sana, seorang perempuan. Perempuan itu berbicara dengan suara yang amat seksi
sampai nyaris terdengar seperti mendesah.
Justin kembali menggertakkan
giginya. "Kau membuatku jadi tidak bisa profesional, Elika."
"Kau tidak perlu profesional
padaku, sir," jawab
perempuan itu, Elika. "Profesional macam apa yang diperlukan di
antara kita? Oh…aku merindukan masa-masa saat kita sering bersama. Kau tahu,
aku sering membayangkanmu meniduriku seperti saat itu, termasuk sekarang ini
ketika kau meneleponku. Aku yakin kau juga merindukanku, ‘kan?"
Justin mendengkus. "Kau sangat
memalukan.”
"Sir, kau—"
"Di mana kau sekarang?"
tanya Justin dengan nada tajam, sekali lagi. "Temui aku di depan
kantor."
******
Elika berdiri di depan Justin; mobilnya
terparkir tidak jauh dari mobil Justin. Justin sedikit hampir duduk di engine
hood dan Elika berdiri di depan pria itu. Elika melipat tangannya di depan
dada.
Elika tersenyum miring. "Aku
yakin ini bukan tentang pekerjaan. Bukankah begitu, sir?”
Justin yang sedari tadi menunduk
dengan kedua tangan di dalam kantung celananya, perlahan mengangkat kepalanya
untuk menatap Elika. Dia memberi Elika tatapan membunuh. Ah, tatapan itu akan membuat
Elika terangsang jika saja Elika tak peduli dengan apa yang
ingin pria tampan itu sampaikan.
"You right," jawab Justin dingin.
"Jadi? Kau ingin kita kembali
bersama? Good. Akhirnya, kau sadar. Aku sudah cukup menderita
karena harus terus mengemis padamu. Kau tahu, aku akan bermasturbasi setiap
hari karena sangat merindukanmu. Terdengar menjijikkan? Haha! Kau puas? PUAS
SETELAH KAU BERHASIL MENGHANCURKANKU? Profesional? Bagaimana bisa aku bersikap profesional
ketika atasanku adalah kau? Selain itu, kau selalu bersikap seperti kita
tak dekat sama sekali, seperti orang asing, padahal kau telah merusakku seperti
ini!! Kau telah membuatku terobsesi padamu; kau telah membuatku jatuh cinta
padamu!! Jangan tidur dengan seorang perawan jika kau hanya akan
membuangnya di kemudian hari, bajingan!!!!" teriak Elika.
"Kau sudah tahu bahwa aku
tidak memiliki reputasi yang baik saat itu dan kau juga menyetujui perjanjian
kita," jawab Justin. Ia memang seorang bajingan, tetapi dalam kasus ini,
Elika juga telah pasrah. Waktu itu, Elika setuju untuk menjadi partner seksnya
dengan alasan cinta.
Mata Elika membulat; dia terkejut
bukan main. Tanpa ia sadari, dua detik kemudian, matanya mulai memerah dan
berair. Dadanya sesak. Ia adalah perempuan sinting yang jatuh cinta
pada seorang pria yang di matanya hampir sempurna. Ia jatuh cinta hingga tak memedulikan
fakta bahwa Justin sedang bermasalah saat itu.
Elika menunduk, air matanya jatuh
dengan deras. Namun, tiba-tiba saja…ia tertawa kencang.
Ia tertawa seperti orang gila; ada
sirkuit yang rusak di kepalanya. Ia menggeleng dan berbicara dengan suara yang
sumbang. "Jadi, kau muak padaku? Hm? Kau MUAK? Wah, ini lucu."
"Ya, aku muak," jawab
Justin tajam. "Hentikan semua ini. Kau masih punya harga diri jika kau
menghentikannya. Gunakan otakmu untuk sesuatu yang lebih berguna. Ayo kita
jalani hidup kita masing-masing. Lagi pula, kita sudah mengakhiri perjanjian
itu, sejak dahulu."
Elika berdecak; ia kontan menatap
Justin dengan tajam. Namun, seiringan dengan itu, Justin juga bangkit dari
duduknya. Kali ini, Justin berdiri berhadapan dengan Elika.
"Di mana kau sembunyikan paman
Violette? Aku hanya akan bertanya satu kali, jadi jawablah dengan
jelas," ancam Justin.
Elika menganga. Namun, tiga detik
kemudian, perempuan itu tertawa lagi.
"Violette lagi? Gadis tak
berguna itu? Mengapa kau sangat memedulikannya, sih? Kau
mencintainya? Sejak kapan kau berani mencintai seseorang selain Hillda,
hah?!" Elika tertawa mengejek.
Detik itu juga, Justin mengepalkan
tangannya.
"Elika!"
"What? Apa lagi?! Masih trauma dengan
Hilldamu?!" ujar Elika. Justin memperhatikannya dengan mata yang menyipit
tajam. Dari sini, Justin tahu bahwa Elika sudah lepas kendali. Dia mencoba
untuk menyindir Justin dengan mengorek luka lamanya.
Justin menghela napas.
"Cukup. Beritahu aku di mana
kau menyembunyikan paman Violette," ujar Justin. "Lebih baik kau beritahu
aku sebelum aku yang menemukannya sendiri. Aku tak terbiasa menyakiti perempuan
dengan pukulan atau siksaan, sebenarnya. Namun, jika kau menginginkannya,
aku tak punya pilihan lain."
"Mengapa kau mencurigaiku? Apa
kau pikir aku punya waktu untuk itu?" Elika tertawa. "Aku takkan membuang
waktuku hanya untuk chief assistant yang tak menarik itu. Aku bisa
mendapatkanmu tanpa harus melakukan itu, Justin," ujar Elika, ia langsung
menatap Justin dengan lekat, memenjarakan Justin dengan tatapannya.
"Aku bukan perempuan bodoh. Mengapa kau curiga padaku, hm?"
"Karena kau adalah satu-satunya orang
selain aku dan Violette yang tahu soal Red Lion dan apa yang terjadi pada kami
tiga tahun yang lalu."
Detik itu juga, mata Elika membeliak.
Ia mematung. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Hanya…dia? Justin tidak
memberitahukannya kepada orang lain selain dia?
Sial!
Ketahuan oleh Justin adalah sesuatu
yang sudah pasti ada di dalam perhitungan Elika, tetapi fakta bahwa dia adalah
satu-satunya orang luar yang Justin beritahu soal Red Lion…sama sekali tidak
ada di dalam perhitungannya.
Dia harus melakukannya dengan cara
lain. Permainan
tidak akan mengasyikkan jika berhenti di tengah jalan, bukan?
Elika tersenyum; tubuhnya kembali
rileks. Ia menatap Justin dengan lekat, tetapi wajah Justin masih tanpa
ekspresi. Suasana di sekitar pria itu terasa sedingin es.
"Well?" Elika memiringkan kepalanya.
"Lakukanlah, kalau begitu. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan ketika
kau menemukannya dengan tanganmu sendiri. Temukanlah pria tua itu sendiri, sir.”
Elika mendekati Justin. Wangi tubuh
Justin semakin tercium dan Elika dengan senang hati menciumnya.
"Ini saatnya aku melawanmu. Jika
aku menang…kau harus menjadi milikku," ujar Elika dengan mata yang melebar,
penuh dengan ancaman. Wanita itu menyeringai.
Justin mendengkus. Dagunya
terangkat; ia memandang Elika seolah-olah gadis itu adalah orang yang paling
tak ia sukai.
Ia pun berbalik. Namun, saat
membuka pintu mobilnya, Justin kembali bersuara dengan nada rendah.
"Violette bukanlah gadis lemah
yang akan diam saja ketika ia menemukan pamannya. Nyawamu mungkin terancam.
Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan Violette atau menjelekkan keluarganya
karena kau jauh lebih buruk daripada mereka. Saat kau merendahkan mereka, justru
kaulah yang terlihat buruk. Sampai kapan pun, aku akan tetap mengabaikanmu."
Setelah mengatakan itu, Justin pun masuk
ke mobilnya. Pria bertubuh tegap itu langsung menjalankan mobilnya tanpa peduli
apa pun. Ia meninggalkan sosok Elika yang semakin lama semakin jauh di belakang
sana meski Elika tengah berteriak frustrasi karena kata-katanya barusan.
Justin mengemudi mobilnya dengan agak
santai kali ini. Dia mengemudi sambil berpikir.
Lima menit kemudian, Justin
mengambil ponselnya lagi. Dia kembali menelepon seseorang. Untuk yang kali ini,
Justin benar-benar menunggu telepon itu diangkat.
Panggilan telepon itu berdering
lima kali dan rasanya Justin bagai menunggu seabad. Hal itu sukses membuat
Justin mencengkeram roda kemudi dan mendengkus.
Namun, akhirnya…telepon itu
diangkat.
"Halo?" Suara itu terdengar agak serak, seperti
habis menangis.
Ada sesuatu yang salah.
Violette pasti sedang menangis
sekarang. Soalnya, teman setianya sedang menangis. Megan sedang
menangis. Mungkin, Megan menangis karena melihat keadaan Violette saat
ini.
Sial.
"Megan, tolong jaga Violette.
Jangan biarkan dia pergi ke mana pun. Sebentar lagi, aku akan sampai di
sana."
******
Megan:
Mataku membulat. Begitu panggilan
telepon dari Mr. Alexander terputus, aku langsung berbalik dan melihat Violette
yang saat ini sedang duduk di tepi ranjangku.
Merasa panik, aku pun kontan
memberitahu Violette. Demi Tuhan, aku tak suka melihat Violette menjadi lemah
karena rasanya aku seperti kehilangan dirinya. Dia memang beruntung karena CEO
idaman seluruh wanita di negeri ini akan menjadi suaminya, tetapi di sisi lain,
aku juga mengerti bahwa memiliki pasangan seperti itu adalah hal yang berat.
Aku mendekati Violette seraya
meneguk ludahku. Sejujurnya, aku agak gugup. Jika ditanya apakah aku bisa
menahan emosiku sendiri, jawabannya adalah: tidak sama sekali. Aku paling tidak
bisa menahan tawa, tangis, marah, dan lainnya. Kalau orang lain mengkritik
kondisiku ini, aku takkan peduli peduli. Soalnya, mereka tidak memberiku makan
ataupun pria tampan, 'kan?
"Violette…” panggilku. “Dia—dia
tahu kalau kau ada di sini."
Violette kontan menatapku, tetapi matanya
seakan kehilangan binarnya. Dull. Sepertinya, dia sudah paham dengan apa
yang barusan kukatakan, tetapi memilih untuk tidak meresponsku.
Dia memejamkan matanya, lalu menghela
napas. Well, Justin pasti akan menemukannya. Setahuku, takkan
ada sesuatu yang bisa Violette sembunyikan lama-lama dari Justin. Seth sedari
tadi stay di rumahku; lelaki itu tidak pernah meninggalkan
Violette sejak dia tahu bahwa Violette ada di sini dengan keadaan yang kacau.
Seth adalah orang yang bisa dipercaya. Dia juga menyukai Violette meskipun
mereka hanya bertetangga.
Seth memperhatikan kami sepanjang
waktu, tetapi dia kesal sekali ketika melihat Violette bersedih hati seperti
itu, terutama ketika dia tahu bahwa Violette sedang diteror. Dia nyaris
menghancurkan kamarku! Untungnya, aku berhasil mencegahnya. Bakal repot kalau
kamarku jadi berantakan. Itu juga akan mengganggu Violette.
Violette sudah menceritakan
segalanya kepada kami berdua. Tentang Elika yang kemungkinan besar bekerja sama
dengan orang yang menerornya selama ini, tentang Justin, tentang apa yang
terjadi di depan butik beberapa saat yang lalu…
Semuanya.
Dia sudah menceritakan semuanya dan
aku mengerti mengapa Violette jadi seperti ini.
Aku sempat marah padanya karena telah
merahasiakan banyak hal dariku seolah-olah mengecilkan keberadaanku dan tidak
percaya padaku, tetapi akhirnya ia meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Aku akhirnya
memaafkannya karena aku sangat sayang padanya. Dia adalah seorang
gadis yang baik. Dia juga sangat cantik meskipun dia tak pernah menyadarinya. Dia
cantik luar dan dalam. Kupikir, mungkin…karena itu jugalah CEO kami terpikat
padanya—di luar cerita tentang mereka yang sudah berteman lama—dan memutuskan
untuk menikahinya.
"Kau harus mengatakan
segalanya pada Justin, Violette," ujarku. Aku mulai duduk di samping
Violette. Aku meraih pundaknya dan membuat kepalanya bersandar di bahuku.
"Jangan sembunyikan apa pun darinya. Dia mencintaimu. Jangan remehkan aku;
begini-begini, aku tahu mana pria yang tulus dan mana pria yang kurang
ajar."
Lelucon kecilku ini membuat Violette
kontan menatapku, lalu dia menunduk dan tertawa kecil. Dia tidak menangis lagi
sejak setengah jam yang lalu.
Aku bersyukur karena masih bisa
menghiburnya dengan lelucon gilaku.
Akhirnya, dia pun mengangguk. Namun,
meskipun dia terlihat setuju, kalimat yang keluar dari mulutnya adalah:
"Aku akan sangat
bahagia bila aku bisa mengatakannya, Meg."
******
Author:
Megan berdiri begitu mendengar
suara mobil yang baru berhenti di depan rumahnya. Ia berjalan dengan cepat,
menuju ke jendela kamarnya untuk sedikit mengintip, lalu berbalik.
"Dia di sini," ujar Megan.
Megan pun langsung berlari keluar
dari kamarnya. Ia menutup pintu kamar itu dengan agak keras; ia ingin membawa
Justin masuk ke rumahnya untuk melihat Violette.
Violette hanya diam, gadis itu menunduk.
Tidak mudah untuk berhadapan dengan Justin lagi setelah semua yang terjadi
sekitar satu setengah jam yang lalu. Mungkin saja, pria itu sudah kecewa pada
Violette. Memikirkan itu, Violette jadi ingin menangis.
Apakah semuanya sudah berakhir?
Seth terus mencoba untuk menenangkan
Violette hingga akhirnya pintu kamar itu pun terbuka. Saat melihat ke ambang
pintu, Violette langsung menemukan sosok Justin yang berdiri di belakang Megan.
Biasanya, Violette akan terpaku saat memandangi wajah tampan Justin. Namun, kali
ini…Violette malah menangis. Air matanya mengalir begitu saja. Rasanya sakit
sekali saat memikirkan bahwa dia akan kehilangan pria itu.
Iya, benar. Violette sudah jatuh
cinta…pada Justin. Dia sudah lama masuk ke dunia Justin. Gelap atau terang pun
dunia pria itu, dia akan tetap terjerumus ke dalamnya.
Justin langsung mendekati Violette
begitu ia masuk ke kamar Megan. Pria itu duduk di samping Violette.
"Bagaimana keadaanmu?"
Keadaan? Bukankah seharusnya…Justin menanyakan
alasan mengapa Violette meninggalkannya tadi?
Pria itu justru lebih penasaran
dengan keadaannya.
Violette pun menunduk. "Aku
baik-baik saja."
"Jangan menangis. Aku tak suka
melihatmu menangis," ujar Justin tajam.
Violette menoleh kepada Justin; dia
tercengang. Namun, sesaat kemudian, Violette merasa seperti ditampar oleh
kenyataan lagi. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dan matanya
berkaca-kaca.
"Aku tidak menangis." Jika
tidak ada teror yang membuatku harus meninggalkanmu.
"Kalau kau tidak menangis, air
mata apa yang sedang kulihat ini? Jangan menipu dirimu sendiri. Tubuhmu tak
dapat mengimbanginya." Justin memegang kepala Violette, membuat gadis itu
melihat ke arahnya. Setelah itu, Justin memeluk tubuh Violette dengan erat.
Justin menghela napas. Bibirnya berada
di puncak kepala Violette. Berada di dalam pelukan Justin adalah hal ternyaman
yang pernah Violette rasakan. Jika pria ini menjadi sandarannya, kekuatannya,
pelindungnya, teman hidupnya...Violette akan sangat bahagia. Namun, mendadak
Violette kembali mengingat masalah mereka saat ini.
Jika masalah seperti ini saja
Violette tidak bisa mengatasinya, pantaskah ia menjadi istri Justin? Tentu tidak.
Tiba-tiba, Justin melepaskan
pelukannya. Justin mengusap pelan bagian belakang kepala Violette dengan jempolnya.
Setelah itu, tangan Justin turun…dan akhirnya menggenggam tangan Violette. Saat
itulah, pria itu mulai berdiri dan membawa Violette keluar dari kamar Megan.
"Justin—" Violette
memberontak, tak ingin Justin berbuat seenaknya. "Justin, what are
you—oh, God! JUSTIN!"
Namun, tiba-tiba langkah pria itu
terhenti; Violette hanya bisa melihat punggung lebar pria itu dari belakang. Alis
Violette menyatu.
Dua detik kemudian, pria itu mulai menoleh
ke belakang. Menatap Megan.
"Kami pulang, Megan. Terima
kasih karena telah menjaga Violette. Benar-benar terima kasih dariku."
Megan pun mengangguk.
Violette melihat ke arah Megan
sebentar. Namun, begitu pandangannya kembali ke depan, ia sontak menemukan bola
mata keemasan Justin yang telah menatapnya seperti elang. Tatapan itu sukses
memenjarakannya, menjebaknya, dan membuat napasnya tertahan. Akan tetapi,
meski tatapannya setajam elang, warna bola mata itu…benar-benar menakjubkan.
Indah sekali.
Violette terdiam selama beberapa
detik, hingga akhirnya, tangan kekar Justin mulai memegang punggungnya dan
membawanya berjalan.
Mata Violette kontan membeliak. Lho?
Justin…bukan mau memarahinya, ya? Jadi...apa? Ekspresi apa yang Justin tunjukkan
tadi? Mengapa Justin menatapnya seperti...
Ah, demi apa pun, susah sekali untuk
menebak isi kepala Justin.
Justin membawa Violette sampai ke
dekat mobilnya yang ada di depan rumah Megan. Namun, sebelum masuk ke mobil,
Justin tiba-tiba mengeluarkan ponselnya—untuk yang kesekian kalinya—dan
berhenti berjalan. Tangan kiri pria itu masih berada di punggung Violette, tetapi
dia berhenti berjalan. Mengapa dia berhenti berjalan hanya untuk menelepon?
Violette menatap Justin yang lebih
tinggi darinya itu dengan mata yang menyipit. Ia ingin menguping pembicaraan
Justin. Soalnya, pembicaraan macam apa yang membuat Justin sampai harus
berhenti berjalan?
“Locardo, it’s me."
Ah...itu adalah paman Justin.
Justin selalu saja memanggil pamannya dengan cara yang tidak sopan... Well,
wajar juga, sih, soalnya Justin masih marah kepada Locardo. Menyuruhnya untuk
bersikap sopan sekarang adalah hal yang paling mustahil untuk dilakukan.
Huh. Violette harus banyak-banyak mempelajari karakter Justin agar bisa
memahami pria itu.
Pikiran bahwa ia adalah wanita yang
tak berguna untuk Justin, tak bisa melakukan apa-apa untuk Justin, bahkan tak
bisa 'memahami' Justin, adalah hal yang paling menyiksanya.
Sungguh, ia ingin menangis kalau mengingat kenyataan itu, apalagi ketika ia
sadar bahwa Justin belum terlalu terbuka kepadanya...
Oh, Tuhan.
"Ya. Tolong percepat
tanggal pernikahanku," ujar Justin. Pria itu bernapas samar; ia berbicara
dengan begitu dingin. "Bantu aku untuk mempersiapkan pernikahanku.
Persiapan itu harus dimulai besok pagi. Friday; I will get married
on Friday." []