Bab
13 :
DEON
berlari di koridor rumah sakit itu dengan wajah yang tegang. Talitha ada di
sampingnya, sementara mama Talitha ada di belakang mereka. Tadi mama Talitha sudah
menelepon Gavin dan juga papa Talitha, menyuruh mereka untuk ikut datang ke
rumah sakit begitu mengetahui bahwa papanya Deon masuk rumah sakit.
Wajah
Deon tampak pucat. Deon begitu overprotective terhadap orang-orang
yang berharga baginya, jadi keadaan ini sangat membuatnya tertekan. Otaknya dipenuhi
oleh ketakutan yang luar biasa. Rahangnya mengeras.
Talitha
pun merasa takut. Gadis itu sudah lumayan dekat dengan Darwin semenjak pria
paruh baya itu sering menyuruh Deon untuk memperkenalkan Talitha padanya.
Darwin adalah seorang ayah yang penyayang dan menyenangkan. Meskipun dalam
keadaan sakit, Darwin tetaplah sosok ayah yang luar biasa dan wajar jika Deon
sangat menyayanginya.
Deon
panik. Sosok ayah yang sudah mengasuhnya sejak kecil—terutama semenjak ibunya
meninggalkannya—kini kembali masuk rumah sakit. Penyakit jantung koroner yang
dideritanya itu dapat mengakibatkan serangan jantung secara tiba-tiba dan bisa
mengakibatkan kematian. Begitu mereka sampai di depan pintu ruang IGD, Deon
langsung menghampiri para pelayan yang membawa papanya ke rumah sakit. Mereka
duduk di depan ruangan itu dengan wajah yang sama pucatnya dengan Deon.
“Papa
kenapa?!" tanya Deon panik. Matanya memelotot; ia menghampiri para pelayan
itu dengan cepat. Para pelayan itu langsung berdiri begitu melihat Deon
mendekati mereka.
"Itu—Tuan..."
ujar salah satu pelayan itu dengan suara bergetar. "Waktu saya mau ngasih
makan malam buat Tuan Darwin di kamar, saya liat beliau tiba-tiba kesakitan dan
pingsan. Saya—saya panik dan..."
Deon
menggeleng tak percaya; ekspresi wajahnya blank. Pria itu
langsung duduk di kursi—yang ada di depan IGD itu—dan menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Semua pikiran negatif langsung masuk ke otaknya;
pikiran-pikiran itu menyerang otaknya dan membuat Deon menjambak rambutnya sendiri
dengan frustrasi. Dalam hitungan detik, dia sudah down dan tak
lagi bisa memikirkan dunia. Deon menahan semuanya, padahal ia ingin berteriak,
ingin menendang dan memukul apa pun yang ada di hadapannya, tetapi tak ada yang
benar-benar bisa ia lakukan selain terdiam dan menangis karena kenyataannya
tubuhnya langsung kehilangan energi. Ia mengucapkan sebuah kalimat dalam
benaknya berkali-kali, yaitu: ‘Aku harap ini semua cuma mimpi.’dan ‘Semoga Papa
baik-baik saja.’. Semoga tidak terjadi apa-apa dan semoga papanya tidak meninggalkannya.
Mama
Talitha langsung memeluk sembari mengusap-usap kepala Deon. Pria itu menangis
tanpa ia sadari.
Tolong
tunggu, Pa. Jangan pergi dulu... Jangan tinggalin Deon. Tolong…
Talitha
menunduk dan matanya sudah berkaca-kaca. Talitha tahu betapa sayangnya Deon pada
papanya.
Tak
lama kemudian, terdengar suara beberapa orang yang berlari mendekat. Talitha
dan mamanya menoleh ke belakang dan di sana ada Gavin, Revan, dan papa Talitha yang
berlari ke arah mereka. Wajah ketiga orang itu tampak tegang; begitu mereka
bertiga sampai di dekat Talitha, mereka langsung menanyakan ada apa. Mereka
semua sudah melihat bahwa Deon sedang menangis di pelukan mama Talitha.
Ketika
sudah tahu apa yang terjadi, mereka semua menunduk. Gavin berkacak pinggang dan
melipat bibirnya gelisah. Gavin dan Revan kenal betul dengan Darwin, soalnya
Darwin adalah mantan direktur utama mereka dulu sebelum digantikan oleh Deon.
Beberapa bawahan Deon juga sudah mulai berdatangan—mengunjungi rumah sakit—begitu
mendapat kabar bahwa Pak Darwin Abraham, ayah dari dirut baru mereka, masuk
rumah sakit.
Tiba-tiba,
salah seorang pelayan dari rumah Darwin mulai berdiri di depan Deon dan
menyerahkan sebuah kertas. Deon—yang menyadari hal itu—perlahan mengangkat
wajahnya. Pelayan itu memberanikan dirinya walaupun ekspresi wajah Deon saat
itu benar-benar terlihat…menakutkan. Tajam. Tak ingin diusik.
"Ini, Tuan...
Waktu Tuan Darwin kesakitan itu…kayaknya dia baru selesai nulis ini. Ini ada di
ranjang Tuan Darwin, soalnya..."
Mata
Deon menyipit tajam. Deon langsung mengambil kertas itu dari sang pelayan.
Pelayan itu menunduk penuh hormat pada Deon, lalu Deon mulai membaca tulisan di
kertas itu. Ekspresi wajahnya terlihat benar-benar mengerikan.
Deon,
apa pun yang terjadi sama Papa, jangan salahkan mama kamu. Ternyata, kita semua
sama-sama salah, Deon. Mama kamu ngelakuin itu karena kesalahan Papa sendiri.
Papa
harap…kamu bisa baikan sama mama kamu secepatnya…
Di
kata terakhirnya terdapat goresan pena yang menandakan bahwa Darwin agaknya
merasa kesakitan hingga berhenti menulis. Mungkin…saat itulah Darwin pingsan. Mata
Deon membulat; rasa marahnya langsung memuncak. Surat itu langsung ia remas dan
lempar begitu saja, lalu dia pergi dari tempat itu.
Meskipun
dipanggil berkali-kali oleh mama dan papa Talitha, dia tidak berbalik sama
sekali. Semua orang sangat khawatir padanya. Punggung tegapnya yang menahan
gumpalan amarah serta rasa sakit itu tampak begitu mengerikan saat Deon
berjalan meninggalkan rumah sakit dengan cepat.
******
Serena
baru saja ingin menaruh jaketnya di dalam keranjang ketika tiba-tiba bel
rumahnya berbunyi. Serena mengernyitkan dahi, mengatakan 'Ya?
Sebentar!', kemudian wanita paruh baya itu berlari mendekati pintu
depan rumahnya.
Begitu
ia membuka pintu itu, matanya membulat. Ia tercengang.
Di
depannya ada Deon. Mata pria itu menatap Serena tajam seolah-olah ia ingin
membunuh Serena saat itu juga. Deon langsung mendorong Serena hingga wanita
paruh baya itu jatuh ke lantai. Air mata jatuh ke pipi Serena, lalu wanita itu
berdiri saat Deon mendekatinya dengan murka. Sisi mengerikan yang Deon miliki,
kepribadian yang terbangun akibat kesalahan Serena di masa lalu, kini kembali menguasai
tubuh Deon. Deon telah rusak akibat masa lalunya.
"Nggak
salah aku nyari tau soal alamat kamu akhir-akhir ini," kata
Deon tajam. "APA LAGI YANG KAMU LAKUIN, HAH?!!"
Serena
mendekat dan langsung memegangi lengan Deon, sementara anak semata wayangnya
itu langsung mengempaskan tangannya.
"Deon,
Mama—"
Deon
berdecak. "Siapa yang kamu bilang ‘Mama’? Kamu itu sakit. Nggak
bermoral. Nggak punya hati. Udah ninggalin kami, kamu juga berencana
MEMBUNUH PAPA! KAMU NGGAK PANTAS DISEBUT SEBAGAI
MANUSIA!!"
Mata
Serena membelalak. Satu tamparan keras mendarat di pipi Deon.
Tamparan
keras itu sukses membuat wajah Deon berpaling ke kanan bawah. Pria itu terkejut;
matanya langsung memelotot. Di depannnya ada Serena yang sedang menangis.
"KAMU
HARUS DENGERIN MAMA!! MAMA NGGAK MENGERTI KENAPA KAMU BILANG MAMA
MEMBUNUH PAPA KAMU!!!"
Deon
mengepalkan tangannya. "DIAM!! Kamu adalah orang yang paling nggak punya
hati yang pernah kukenal. Kamu pikir aku nggak bisa membunuh kamu juga?”
Serena
kontan menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena tak percaya apa yang baru
saja ia dengar.
Mata
Deon saat itu seakan-akan mampu menyiksa siapa pun dengan ketakutan yang tiada
henti. Deon mencengkeram lengan Serena. "Kamu berencana untuk MEMBUNUH
PAPA. KAMU mau MEMBUNUHNYA!!"
Serena
berteriak, "MAMA TAK PERNAH BERPIKIR UNTUK MEMBUNUH PAPA KAMU, DEON! KAMU
HARUS MENDENGARKAN MAMA!!"
"DIA
MASUK RUMAH SAKIT!!!!" teriak Deon.
Mata
Serena membulat.
Seketika
wajah Serena pucat. Tubuh Serena bergetar.
"Masuk...rumah
sakit?"
"Oh,
kenapa, ‘Mama’?" tanya Deon dengan nada sarkastis.
"YANG HARUSNYA MASUK RUMAH SAKIT ITU KAMU!! KENAPA PAPA HARUS NANGGUNG
SEMUANYA KARENA KAMU?!! DIA NULIS DI KERTAS SIALAN ITU DAN AKU LANGSUNG TAU KALO
KAMU PASTI BARU NEMUIN DIA SEBELUM DIA KESAKITAN!!"
Kaki
Serena jadi lemas. Wanita paruh baya itu menggeleng dan berjalan cepat ke arah
pintu depan seraya menarik Deon. "Ayo kita ke rumah sakit,
Deon. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!"
Namun,
Deon menariknya kembali ke belakang dan mengempaskan tubuh ibunya itu. Dia jadi
sangat kejam begitu menemui ibunya; dia dikuasai oleh amarah yang
berlebihan ketika berhadapan dengan ibunya. Semua hal yang terjadi sekarang
membuatnya semakin membenci Serena. Deon memelototi Serena dan mendekati Serena
yang wajahnya begitu tegang akibat tahu kalau Darwin masuk rumah sakit.
Serena
tiba-tiba memeluk Deon dengan sekuat tenaga.
Mata
Deon membelalak begitu ibunya memeluknya dengan kencang. Setelah itu, Deon
tiba-tiba kembali sadar dan langsung menggertakkan giginya. Deon langsung
mencengkeram lengan Serena dan mendorong ibunya itu dengan kuat, tetapi Serena
tak bisa dilepaskan. Deon menggeram.
"LEPAS!!" teriak
Deon. Serena menangis tersedu-sedu. Dia memeluk Deon dengan putus asa. Anaknya
itu tumbuh menjadi monster dan semua itu adalah salahnya.
"Dengerin
penjelasan Mama, Nak, tolong denger—"
"AKU
NGGAK BUTUH PENJELASAN KAMU!" teriak Deon.
"MAMA
NGGAK PERNAH BERENCANA UNTUK NINGGALIN KAMU!!!!!!"
Mata
Deon membulat.
Tubuhnya
mematung.
Di
satu sisi, Deon tak sanggup untuk marah lagi; dia sedang down karena
kondisi papanya. Ditambah lagi, akibat satu fakta ini, Deon merasa diserang berbagai
hal buruk dalam waktu singkat. Semuanya berputar di kepalanya seperti kaset
rusak. Tanpa sadar, ia mengeluarkan air mata. Dia tak tahu apa yang harus ia
lakukan. Ia seperti pria yang baru saja sadar setelah mengeluarkan emosi
yang tak terkendali, sadar dari sesuatu yang merasukinya…dan dia jadi linglung.
Serena
melihat wajah Deon sejenak dan wanita paruh baya itu semakin terisak-isak.
Serena langsung memeluk Deon dengan erat dan dari ekspresi wajah dan air mata
Deon, wanita itu tahu bahwa Deon telah kehilangan kestabilannya. Pria itu
sedang terguncang. Serena serasa ingin mati. Dia mengusap
kepala Deon yang bahkan mungkin tak sadar lagi dengan usapannya. Pria itu
benar-benar down. Serena memeluk anaknya itu yang tanpa
disadari sudah jauh lebih besar darinya. Betapa waktu begitu cepat berlalu, tetapi
Deon terus berada dalam keadaan terburuknya seperti ini, setiap hari...
Serena
menangis pilu, merasa sesak di setiap langkahnya saat ia membawa Deon ke sofa ruang
tengah rumahnya.
Serena
mendudukkan tubuh Deon yang tampak lemah itu di sofa. Dia langsung duduk di
dekat Deon, lalu memeluk anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Dia mengusap
rambut Deon, punggung tegap Deon, dan mencium puncak kepala Deon yang tiba-tiba
menangis dengan penuh rasa sakit. Tangisan seorang pria yang hanya akan keluar
bila sesuatu yang berharga baginya hilang. Seorang pria yang kehilangan
segala dinding pertahanannya. Seorang pria…yang tanpa sadar
mengeluarkan seluruh perasaannya melalui tangisan, di pelukan ibunya.
Hati
Serena terasa pedih saat melihat keadaan anaknya itu. Serena langsung berbicara
dengan pelan meskipun kenyataannya suaranya hampir habis.
"Deon...dengerin Mama..."
ujar Serena dengan lirih. "Mama salah, Nak. Mama yang
salah... Mama tau sikap kamu ini adalah hukuman untuk Mama…"
Serena
memejamkan matanya, tetapi jelas bisa merasakan punggung Deon yang bergetar.
Deon
pun akhirnya melepaskan diri dari Serena dan hanya menunduk.
Pria
itu diam. Dia menatap lantai, tetapi sebenarnya tak benar-benar menatap ke sana.
Rahangnya mengeras.
Sebelum
kehilangan sosok Deon ini serta waktu yang tepat, Serena pun kembali
menjelaskan. "Mama ngelakuin itu karena terlalu frustrasi. Mama sayang
sama papa kamu, tetapi Mama mengambil jalan yang salah. Papa kamu waktu itu
jarang pulang ke rumah karena perjalanan bisnisnya. Mama tau itu keputusan
bodoh...keputusan yang gila...dan hasilnya malah fatal untuk
Mama sendiri."
Serena
diam sejenak, menghapus air matanya dan mencoba untuk menarik napas meskipun dadanya
terasa sesak. "Mama ngelakuin sesuatu yang memalukan, bahkan Mama malu ngeliat
diri Mama sendiri. Hari itu, saat kamu ngeliat semuanya…adalah hari pertama
Mama ngelakuin itu. Hari pertama di mana Mama ngerasa jijik dengan diri Mama
sendiri. Mama pantas masuk rumah sakit jiwa. Mama juga lakuin itu karena curiga
sama papamu...dan itu bodoh."
Deon
mengepalkan tangannya. Napas Deon mulai memburu dan rahangnya semakin mengeras.
"Mama
tau kalo kamu benci sama Mama. Sampe mati, ini bakal jadi penyesalan terbesar
Mama. Akan tetapi, Mama pengin kamu tau kalo Mama selalu sayang sama kamu, Nak…sampe
kapan pun."
Deon
mendengkus. Pria itu langsung berdiri.
Serena
kontan ikut berdiri. "Deon! Tunggu—"
"Aku
mau balik ke rumah sakit," potong Deon tajam.
"Mama
ikut sama kamu," ujar Serena. "Tolong biarin Mama ikut ngeliat papa
kamu, Nak..."
Deon
hanya menggertakkan giginya, lalu mulai berjalan. Akan tetapi, Serena tahu bahwa
Deon memperbolehkannya.
******
Begitu
Deon sampai kembali di depan IGD, Talitha terkejut melihat ada Serena di
samping Deon. Talitha tersenyum penuh haru dan langsung menyapa Serena.
Deon…membawa mamanya
ke sini.
Namun,
belum sempat mereka menjelaskan keadaan papa Deon kepada Serena, tiba-tiba ada seorang
dokter dan suster yang keluar dari pintu ruang IGD itu. Mereka langsung berlari
mendekat.
"Bagaimana
keadaannya, Dok?!" tanya Serena dengan panik.
"Papa
nggak kenapa-napa, 'kan?!" tanya Deon. Matanya nyalang.
Dokter itu menghela napas dan menatap Deon dan Serena. Semua orang menunggu
penjelasan dari dokter itu.
"Beliau mengalami stress.
Terjadi aritmia jantung akibat penyakit jantung koronernya.
Sebenarnya, beliau udah beruntung sekali bisa bertahan sejauh ini, terutama
hari ini…beliau sempat didatangkan ke rumah sakit, padahal beliau telah
mengalami komplikasi sejak jauh hari."
Serena
menutup mulutnya dengan sebelah tangannya dan hampir jatuh, tetapi Talitha sempat
menahan tubuhnya. Tubuh Deon tampak bergetar.
"Jadi...bagaimana
keadaannya...sekarang?" tanya Deon sembari menggeleng dengan wajah
yang pucat.
Dokter
itu menunduk.
"Maafkan
kami, Pak, Bu..."
Satu
per sekian detik setelah itu, Serena jatuh pingsan dan Deon terduduk kembali di
kursi tunggu. Deon menangis hingga bahunya berguncang; dia mencengkeram
rambutnya sendiri. Semua orang benar-benar berduka malam itu.
******
Deon
memperhatikan batu nisan yang bertuliskan nama papanya itu seraya menangis.
Deon menunduk dan mencengkeram batu nisan itu. Serena ada di samping kirinya,
mengusap bahunya sembari menangis tersedu-sedu. Chintya juga ada di samping
kanannya dan ikut menangis.
"Deon,
aku ada di sini, sama kamu..." ujar Chintya lirih. Akan tetapi, Deon tak
memedulikan apa pun yang ada di sekitarnya.
Talitha
dan keluarganya ada di belakang mereka. Semua bawahan Deon (para manajer),
seluruh kerabat, saat itu datang ke pemakaman. Talitha memang belum lama
bertemu Darwin, tetapi Talitha juga menangis, terutama saat melihat Deon. Deon
yang selalu berwibawa…hari ini tampak begitu terpukul. Begitu rapuh. Entah
mengapa, melihat Deon menangis akan membuatmu ikut sedih. Deon sudah dua kali
membuat Talitha menangis, padahal Talitha termasuk perempuan yang jarang sekali
menangis.
"Kenapa
Papa perginya terlalu cepet? Kenapa Papa nggak manggil Deon dan
nunggu Deon pulang ke rumah waktu itu? Kenapa Papa—" Deon
berhenti dan menggeleng, sementara para kerabat jadi semakin bersedih saat
mendengar kalimat Deon yang penuh luka itu. Deon pun mendongak dan menghela
napas lewat mulutnya. Napas yang seolah-olah sejak tadi tertahan di dadanya, membuatnya
merasa sangat sesak.
Deon
kembali menatap makam papanya. "Kalo memang Papa punya
wasiat, Deon akan menjalankan perintah Papa di wasiat itu.”
******
Serena
mengetuk pintu kamar Deon berkali-kali dengan pelan.
"Deon..."
panggilnya.
"Deon…ayo
sarapan," panggil Serena lagi, tetapi tidak ada jawaban dari Deon.
Hari
ini, Serena ada di apartemen Deon. Sejak pulang dari pemakaman, Serena tak
pernah meninggalkan Deon. Serena ada di apartemen Deon dan mengurusi Deon
meskipun Deon masih tak mau menatapnya. Deon masih marah…dan Serena tahu itu.
Deon bukan orang yang mudah memaafkan orang lain. Akan tetapi, Serena terus
memanggil Deon untuk mandi, makan, dan menyemangati Deon dua hari belakangan.
Deon
masih memiliki rasa marah yang luar biasa tiap kali ia melihat mamanya. Luka itu
sangat sulit untuk disembuhkan.
Tiba-tiba,
pintu kamar Deon terbuka. Terpampanglah tubuh tegap Deon di depan mata Serena;
Deon sedang menatapnya tajam. Pria itu memakai sweater berwarna
abu-abu; wajahnya masih tidak memiliki rona.
Dia
melewati Serena begitu saja dan berjalan ke dapur. Dengan cepat, Serena
mengambil sebuah handuk yang ada di dekat dapur karena ia tahu bahwa Deon ingin
mandi. Ia melihat Deon sedang meminum air putih dan kini tengah menaruh
gelasnya di wastafel.
Suasana
rumah terasa begitu gelap saat masih berduka. Karena merasa Serena tengah
mengikutinya, Deon pun berbalik, lalu melihat Serena yang langsung menyerahkan
sebuah handuk kepadanya. Deon menatap handuk itu dengan mata menyipit.
"Mandilah,
Mama udah siapin air hangat di bathtub dan juga sarapan buat
kamu."
Setelah
itu, Serena teringat sesuatu. Wanita itu sedang memasak air. Bunyi air yang mendidih
itu tiba-tiba terdengar hingga ke seluruh penjuru dapur dan mata Serena membulat.
"Ya
Tuhan!" teriak Serena panik. Namun, ada satu hal yang mengejutkan Serena.
Deon
mendahuluinya dan langsung mematikan kompor itu. Mata Serena spontan
melebar. Serena tak mampu berkata-kata; ia menggeleng tak
menyangka.
Deon...menolongnya.
Setelah
mematikan kompor itu, Deon pun mengambil handuk yang ada di tangan Serena. Deon
menatap Serena sebentar, kemudian pria itu berjalan pelan ke kamar mandi.
Tubuh
Serena mematung.
Deon...meresponsnya.
Deon....mulai sedikit mau
menerimanya...
Merasa
kaget bukan main, Serena pun terduduk di tempat. Ia menutup mulutnya dan
menangis.
Ya
Tuhan, setelah sekian lama…
Semoga
Darwin baik-baik saja di sana. Semoga anakku juga semakin mau menerimaku...
Darwin,
tolong jangan khawatir.
Sekarang
akulah yang akan menjaga Deon.
******
Serena
berjalan ke pintu depan unit apartemen Deon begitu mendengar bunyi bel. Wanita
paruh baya itu mengernyitkan dahi dan ketika ia membuka pintu itu, matanya
melebar karena melihat Chintya berdiri di depannya seraya tersenyum.
"Ma,"
sapa Chintya. Sesungguhnya, kini Chintya tak begitu kaget lagi saat melihat
Serena ada di apartemen Deon. Chintya sudah kaget sejak pemakaman Tuan Darwin…karena
saat itu, Deon tak lagi menolak ibunya dengan kasar.
Itu
artinya, walaupun papanya meninggal dunia, hubungan Deon
dengan ibunya perlahan-lahan membaik.
Chintya
ikut bahagia, jujur saja.
"Mama
ada di sini?" tanya Chintya ramah. Serena tersenyum dan
mengangguk. Wanita itu membalas pelukan Chintya saat Chintya tiba-tiba
memeluknya.
"Iya.
Ayo masuk," jawab Serena. "Kamu mau ngeliat Deon?"
Chintya
mengangguk. Serena pun menutup pintu apartemen Deon kembali. Mereka berdua
duduk di sofa ruang tamu, sementara Deon masih mandi. Chintya lantas tersenyum
manis pada Serena.
"Ma...
Chintya ikut seneng ngeliat Mama dan Deon bisa sama-sama lagi...meskipun Papa
Darwin udah nggak ada..." ujar Chintya sembari memegang tangan Serena.
Perempuan itu ingin menenangkan Serena.
Serena
tersenyum lembut.
"Mama
tau ini sulit buat Deon...tapi Mama bakal terus berusaha." Serena berujar
mantap. Chintya pun langsung memeluk dan mengusap punggung Serena.
"Kamu
mau minum?" tanya Serena. "Udah lama juga Mama nggak liat kamu. Kamu sekarang
udah dewasa…dan cantik banget."
Chintya
tertawa pelan, melepaskan pelukannya. "Masa iya, sih, Ma?"
Serena
mengangguk. "Iya, bener. Kamu cantik banget."
Chintya
serasa terbang ke angkasa ketika mendengar mama Deon memujinya. Dengan
malu-malu (yang padahal hanya dibuat-buat itu), dia pun menjawab, "Chintya
rajin ngerawat diri, Ma. Rajin nge-gym juga bareng Deon."
Serena
mengangguk. "Oh, gitu… Haha. Oh, ya, Mama ambilin minum dulu, ya?"
Serena
ingin berdiri, tetapi tiba-tiba Chintya menghentikan pergerakannya. Mata Serena
membulat; ia menatap Chintya dengan tatapan yang seolah-olah bertanya, 'Ada
apa?'
Chintya
tersenyum semringah. "Nggak usah, Ma. Umm...Deon ada
di mana?"
Serena
tersenyum. "Nggak haus? Deon lagi mandi, tuh."
Chintya
menggigit bibirnya. Dalam hati, ia merasa sangat excited meskipun
ia tahu bahwa Deon sedang berduka.
Ya,
benar. Jelas masih ada duka yang merayap di segala sudut rumah itu. Seharusnya…Chintya
juga masih berduka. Namun, ujung-ujungnya…dia tak bisa menyembunyikan
kebahagiaannya saat mengetahui bahwa Deon ada di sana. Deon sedang mandi. "Nggak kok,
Ma. Chintya mau ketemu Deon aja."
Serena
menghela napas. Wanita itu lalu tersenyum. "Ya udah."
Chintya
menggigit bibirnya. "Umm…Ma, kenapa Deon nggak nikah
aja?"
"Maksudnya?"
jawab Serena seraya mengernyitkan dahi.
Chintya
senyum-senyum; dia menatap Serena dengan percaya diri.
"Deon, kan, akhir-akhir
ini lagi sedih banget, Ma... Chintya pikir, kayaknya harus ada yang ngeliat dan
ngejaga dia setiap saat. Perempuan yang dia cintai pasti bakal bisa bikin dia
bangkit lagi."
Serena
mengangguk, tetapi mendadak wanita paruh baya itu jadi agak ragu. "Tapi..."
Chintya
menggeleng, dia kembali memegangi tangan Serena dan tersenyum semringah.
"Chintya...mau nikah sama Deon, Ma."
Serena
tercengang.
"Chintya—"
Chintya
menggeleng lagi, masih terlihat ceria. Seolah-olah ingin meyakinkan Serena
bahwa semuanya baik-baik saja; seolah-olah kekhawatiran Serena itu tak ada arti
karena sudah seharusnya takdir mereka berjalan ke arah sana. "Chintya
dan Deon itu saling cinta, Ma. Mama nggak perlu khawatir. Papanya
Chintya juga udah tau soal hubungan kami."
Serena
menyatukan alis. Dia heran setengah mati.
"Chintya,
Mama tau kalo kalian berdua emang udah deket dari kecil. Tapi…setau Mama—"
Serena meneguk ludahnya. "Setau Mama...Deon pernah bilang kalo
calon istrinya itu adalah Talitha..."
Mata
Chintya membulat. []
No comments:
Post a Comment