Thursday, August 14, 2025

My Man (Bab 13)

 


******

Bab 13 :

 

DEON berlari di koridor rumah sakit itu dengan wajah yang tegang. Talitha ada di sampingnya, sementara mama Talitha ada di belakang mereka. Tadi mama Talitha sudah menelepon Gavin dan juga papa Talitha, menyuruh mereka untuk ikut datang ke rumah sakit begitu mengetahui bahwa papanya Deon masuk rumah sakit.

Wajah Deon tampak pucat. Deon begitu overprotective terhadap orang-orang yang berharga baginya, jadi keadaan ini sangat membuatnya tertekan. Otaknya dipenuhi oleh ketakutan yang luar biasa. Rahangnya mengeras.

Talitha pun merasa takut. Gadis itu sudah lumayan dekat dengan Darwin semenjak pria paruh baya itu sering menyuruh Deon untuk memperkenalkan Talitha padanya. Darwin adalah seorang ayah yang penyayang dan menyenangkan. Meskipun dalam keadaan sakit, Darwin tetaplah sosok ayah yang luar biasa dan wajar jika Deon sangat menyayanginya.

Deon panik. Sosok ayah yang sudah mengasuhnya sejak kecil—terutama semenjak ibunya meninggalkannya—kini kembali masuk rumah sakit. Penyakit jantung koroner yang dideritanya itu dapat mengakibatkan serangan jantung secara tiba-tiba dan bisa mengakibatkan kematian. Begitu mereka sampai di depan pintu ruang IGD, Deon langsung menghampiri para pelayan yang membawa papanya ke rumah sakit. Mereka duduk di depan ruangan itu dengan wajah yang sama pucatnya dengan Deon.

“Papa kenapa?!" tanya Deon panik. Matanya memelotot; ia menghampiri para pelayan itu dengan cepat. Para pelayan itu langsung berdiri begitu melihat Deon mendekati mereka.

"Itu—Tuan..." ujar salah satu pelayan itu dengan suara bergetar. "Waktu saya mau ngasih makan malam buat Tuan Darwin di kamar, saya liat beliau tiba-tiba kesakitan dan pingsan. Saya—saya panik dan..."

Deon menggeleng tak percaya; ekspresi wajahnya blank. Pria itu langsung duduk di kursi—yang ada di depan IGD itu—dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semua pikiran negatif langsung masuk ke otaknya; pikiran-pikiran itu menyerang otaknya dan membuat Deon menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. Dalam hitungan detik, dia sudah down dan tak lagi bisa memikirkan dunia. Deon menahan semuanya, padahal ia ingin berteriak, ingin menendang dan memukul apa pun yang ada di hadapannya, tetapi tak ada yang benar-benar bisa ia lakukan selain terdiam dan menangis karena kenyataannya tubuhnya langsung kehilangan energi. Ia mengucapkan sebuah kalimat dalam benaknya berkali-kali, yaitu: ‘Aku harap ini semua cuma mimpi.’dan ‘Semoga Papa baik-baik saja.’. Semoga tidak terjadi apa-apa dan semoga papanya tidak meninggalkannya.

Mama Talitha langsung memeluk sembari mengusap-usap kepala Deon. Pria itu menangis tanpa ia sadari.

Tolong tunggu, Pa. Jangan pergi dulu... Jangan tinggalin Deon. Tolong…

Talitha menunduk dan matanya sudah berkaca-kaca. Talitha tahu betapa sayangnya Deon pada papanya.

Tak lama kemudian, terdengar suara beberapa orang yang berlari mendekat. Talitha dan mamanya menoleh ke belakang dan di sana ada Gavin, Revan, dan papa Talitha yang berlari ke arah mereka. Wajah ketiga orang itu tampak tegang; begitu mereka bertiga sampai di dekat Talitha, mereka langsung menanyakan ada apa. Mereka semua sudah melihat bahwa Deon sedang menangis di pelukan mama Talitha.

Ketika sudah tahu apa yang terjadi, mereka semua menunduk. Gavin berkacak pinggang dan melipat bibirnya gelisah. Gavin dan Revan kenal betul dengan Darwin, soalnya Darwin adalah mantan direktur utama mereka dulu sebelum digantikan oleh Deon. Beberapa bawahan Deon juga sudah mulai berdatangan—mengunjungi rumah sakit—begitu mendapat kabar bahwa Pak Darwin Abraham, ayah dari dirut baru mereka, masuk rumah sakit.

Tiba-tiba, salah seorang pelayan dari rumah Darwin mulai berdiri di depan Deon dan menyerahkan sebuah kertas. Deon—yang menyadari hal itu—perlahan mengangkat wajahnya. Pelayan itu memberanikan dirinya walaupun ekspresi wajah Deon saat itu benar-benar terlihat…menakutkan. Tajam. Tak ingin diusik.

"Ini, Tuan... Waktu Tuan Darwin kesakitan itu…kayaknya dia baru selesai nulis ini. Ini ada di ranjang Tuan Darwin, soalnya..."

Mata Deon menyipit tajam. Deon langsung mengambil kertas itu dari sang pelayan. Pelayan itu menunduk penuh hormat pada Deon, lalu Deon mulai membaca tulisan di kertas itu. Ekspresi wajahnya terlihat benar-benar mengerikan.

 

Deon, apa pun yang terjadi sama Papa, jangan salahkan mama kamu. Ternyata, kita semua sama-sama salah, Deon. Mama kamu ngelakuin itu karena kesalahan Papa sendiri.

Papa harap…kamu bisa baikan sama mama kamu secepatnya…

 

Di kata terakhirnya terdapat goresan pena yang menandakan bahwa Darwin agaknya merasa kesakitan hingga berhenti menulis. Mungkin…saat itulah Darwin pingsan. Mata Deon membulat; rasa marahnya langsung memuncak. Surat itu langsung ia remas dan lempar begitu saja, lalu dia pergi dari tempat itu.

Meskipun dipanggil berkali-kali oleh mama dan papa Talitha, dia tidak berbalik sama sekali. Semua orang sangat khawatir padanya. Punggung tegapnya yang menahan gumpalan amarah serta rasa sakit itu tampak begitu mengerikan saat Deon berjalan meninggalkan rumah sakit dengan cepat.

 

******

 

Serena baru saja ingin menaruh jaketnya di dalam keranjang ketika tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Serena mengernyitkan dahi, mengatakan 'Ya? Sebentar!', kemudian wanita paruh baya itu berlari mendekati pintu depan rumahnya.

Begitu ia membuka pintu itu, matanya membulat. Ia tercengang.

Di depannya ada Deon. Mata pria itu menatap Serena tajam seolah-olah ia ingin membunuh Serena saat itu juga. Deon langsung mendorong Serena hingga wanita paruh baya itu jatuh ke lantai. Air mata jatuh ke pipi Serena, lalu wanita itu berdiri saat Deon mendekatinya dengan murka. Sisi mengerikan yang Deon miliki, kepribadian yang terbangun akibat kesalahan Serena di masa lalu, kini kembali menguasai tubuh Deon. Deon telah rusak akibat masa lalunya.

"Nggak salah aku nyari tau soal alamat kamu akhir-akhir ini," kata Deon tajam. "APA LAGI YANG KAMU LAKUIN, HAH?!!"

Serena mendekat dan langsung memegangi lengan Deon, sementara anak semata wayangnya itu langsung mengempaskan tangannya.

"Deon, Mama—"

Deon berdecak. "Siapa yang kamu bilang ‘Mama’? Kamu itu sakit. Nggak bermoral. Nggak punya hati. Udah ninggalin kami, kamu juga berencana MEMBUNUH PAPA! KAMU NGGAK PANTAS DISEBUT SEBAGAI MANUSIA!!"

Mata Serena membelalak. Satu tamparan keras mendarat di pipi Deon.

Tamparan keras itu sukses membuat wajah Deon berpaling ke kanan bawah. Pria itu terkejut; matanya langsung memelotot. Di depannnya ada Serena yang sedang menangis.

"KAMU HARUS DENGERIN MAMA!! MAMA NGGAK MENGERTI KENAPA KAMU BILANG MAMA MEMBUNUH PAPA KAMU!!!"

Deon mengepalkan tangannya. "DIAM!! Kamu adalah orang yang paling nggak punya hati yang pernah kukenal. Kamu pikir aku nggak bisa membunuh kamu juga?”

Serena kontan menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena tak percaya apa yang baru saja ia dengar.

Mata Deon saat itu seakan-akan mampu menyiksa siapa pun dengan ketakutan yang tiada henti. Deon mencengkeram lengan Serena. "Kamu berencana untuk MEMBUNUH PAPA. KAMU mau MEMBUNUHNYA!!"

Serena berteriak, "MAMA TAK PERNAH BERPIKIR UNTUK MEMBUNUH PAPA KAMU, DEON! KAMU HARUS MENDENGARKAN MAMA!!"

"DIA MASUK RUMAH SAKIT!!!!" teriak Deon.

Mata Serena membulat.

Seketika wajah Serena pucat. Tubuh Serena bergetar.

"Masuk...rumah sakit?"

"Oh, kenapa, ‘Mama’?" tanya Deon dengan nada sarkastis. "YANG HARUSNYA MASUK RUMAH SAKIT ITU KAMU!! KENAPA PAPA HARUS NANGGUNG SEMUANYA KARENA KAMU?!! DIA NULIS DI KERTAS SIALAN ITU DAN AKU LANGSUNG TAU KALO KAMU PASTI BARU NEMUIN DIA SEBELUM DIA KESAKITAN!!"

Kaki Serena jadi lemas. Wanita paruh baya itu menggeleng dan berjalan cepat ke arah pintu depan seraya menarik Deon. "Ayo kita ke rumah sakit, Deon. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!"

Namun, Deon menariknya kembali ke belakang dan mengempaskan tubuh ibunya itu. Dia jadi sangat kejam begitu menemui ibunya; dia dikuasai oleh amarah yang berlebihan ketika berhadapan dengan ibunya. Semua hal yang terjadi sekarang membuatnya semakin membenci Serena. Deon memelototi Serena dan mendekati Serena yang wajahnya begitu tegang akibat tahu kalau Darwin masuk rumah sakit.

Serena tiba-tiba memeluk Deon dengan sekuat tenaga.

Mata Deon membelalak begitu ibunya memeluknya dengan kencang. Setelah itu, Deon tiba-tiba kembali sadar dan langsung menggertakkan giginya. Deon langsung mencengkeram lengan Serena dan mendorong ibunya itu dengan kuat, tetapi Serena tak bisa dilepaskan. Deon menggeram.

"LEPAS!!" teriak Deon. Serena menangis tersedu-sedu. Dia memeluk Deon dengan putus asa. Anaknya itu tumbuh menjadi monster dan semua itu adalah salahnya.

"Dengerin penjelasan Mama, Nak, tolong denger—"

"AKU NGGAK BUTUH PENJELASAN KAMU!" teriak Deon.

"MAMA NGGAK PERNAH BERENCANA UNTUK NINGGALIN KAMU!!!!!!"

Mata Deon membulat.

 

Tubuhnya mematung.

 

Di satu sisi, Deon tak sanggup untuk marah lagi; dia sedang down karena kondisi papanya. Ditambah lagi, akibat satu fakta ini, Deon merasa diserang berbagai hal buruk dalam waktu singkat. Semuanya berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Tanpa sadar, ia mengeluarkan air mata. Dia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia seperti pria yang baru saja sadar setelah mengeluarkan emosi yang tak terkendali, sadar dari sesuatu yang merasukinya…dan dia jadi linglung.

Serena melihat wajah Deon sejenak dan wanita paruh baya itu semakin terisak-isak. Serena langsung memeluk Deon dengan erat dan dari ekspresi wajah dan air mata Deon, wanita itu tahu bahwa Deon telah kehilangan kestabilannya. Pria itu sedang terguncang. Serena serasa ingin mati. Dia mengusap kepala Deon yang bahkan mungkin tak sadar lagi dengan usapannya. Pria itu benar-benar down. Serena memeluk anaknya itu yang tanpa disadari sudah jauh lebih besar darinya. Betapa waktu begitu cepat berlalu, tetapi Deon terus berada dalam keadaan terburuknya seperti ini, setiap hari...

Serena menangis pilu, merasa sesak di setiap langkahnya saat ia membawa Deon ke sofa ruang tengah rumahnya.

Serena mendudukkan tubuh Deon yang tampak lemah itu di sofa. Dia langsung duduk di dekat Deon, lalu memeluk anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Dia mengusap rambut Deon, punggung tegap Deon, dan mencium puncak kepala Deon yang tiba-tiba menangis dengan penuh rasa sakit. Tangisan seorang pria yang hanya akan keluar bila sesuatu yang berharga baginya hilang. Seorang pria yang kehilangan segala dinding pertahanannya. Seorang pria…yang tanpa sadar mengeluarkan seluruh perasaannya melalui tangisan, di pelukan ibunya.

Hati Serena terasa pedih saat melihat keadaan anaknya itu. Serena langsung berbicara dengan pelan meskipun kenyataannya suaranya hampir habis.

"Deon...dengerin Mama..." ujar Serena dengan lirih. "Mama salah, Nak. Mama yang salah... Mama tau sikap kamu ini adalah hukuman untuk Mama…"

Serena memejamkan matanya, tetapi jelas bisa merasakan punggung Deon yang bergetar.

Deon pun akhirnya melepaskan diri dari Serena dan hanya menunduk.

Pria itu diam. Dia menatap lantai, tetapi sebenarnya tak benar-benar menatap ke sana. Rahangnya mengeras.

Sebelum kehilangan sosok Deon ini serta waktu yang tepat, Serena pun kembali menjelaskan. "Mama ngelakuin itu karena terlalu frustrasi. Mama sayang sama papa kamu, tetapi Mama mengambil jalan yang salah. Papa kamu waktu itu jarang pulang ke rumah karena perjalanan bisnisnya. Mama tau itu keputusan bodoh...keputusan yang gila...dan hasilnya malah fatal untuk Mama sendiri."

Serena diam sejenak, menghapus air matanya dan mencoba untuk menarik napas meskipun dadanya terasa sesak. "Mama ngelakuin sesuatu yang memalukan, bahkan Mama malu ngeliat diri Mama sendiri. Hari itu, saat kamu ngeliat semuanya…adalah hari pertama Mama ngelakuin itu. Hari pertama di mana Mama ngerasa jijik dengan diri Mama sendiri. Mama pantas masuk rumah sakit jiwa. Mama juga lakuin itu karena curiga sama papamu...dan itu bodoh."

Deon mengepalkan tangannya. Napas Deon mulai memburu dan rahangnya semakin mengeras.

"Mama tau kalo kamu benci sama Mama. Sampe mati, ini bakal jadi penyesalan terbesar Mama. Akan tetapi, Mama pengin kamu tau kalo Mama selalu sayang sama kamu, Nak…sampe kapan pun."

Deon mendengkus. Pria itu langsung berdiri.

Serena kontan ikut berdiri. "Deon! Tunggu—"

"Aku mau balik ke rumah sakit," potong Deon tajam.

"Mama ikut sama kamu," ujar Serena. "Tolong biarin Mama ikut ngeliat papa kamu, Nak..."

Deon hanya menggertakkan giginya, lalu mulai berjalan. Akan tetapi, Serena tahu bahwa Deon memperbolehkannya.

 

******

 

Begitu Deon sampai kembali di depan IGD, Talitha terkejut melihat ada Serena di samping Deon. Talitha tersenyum penuh haru dan langsung menyapa Serena.

Deon…membawa mamanya ke sini.

Namun, belum sempat mereka menjelaskan keadaan papa Deon kepada Serena, tiba-tiba ada seorang dokter dan suster yang keluar dari pintu ruang IGD itu. Mereka langsung berlari mendekat.

"Bagaimana keadaannya, Dok?!" tanya Serena dengan panik.

"Papa nggak kenapa-napa, 'kan?!" tanya Deon. Matanya nyalang. Dokter itu menghela napas dan menatap Deon dan Serena. Semua orang menunggu penjelasan dari dokter itu.

"Beliau mengalami stress. Terjadi aritmia jantung akibat penyakit jantung koronernya. Sebenarnya, beliau udah beruntung sekali bisa bertahan sejauh ini, terutama hari ini…beliau sempat didatangkan ke rumah sakit, padahal beliau telah mengalami komplikasi sejak jauh hari."

Serena menutup mulutnya dengan sebelah tangannya dan hampir jatuh, tetapi Talitha sempat menahan tubuhnya. Tubuh Deon tampak bergetar.

"Jadi...bagaimana keadaannya...sekarang?" tanya Deon sembari menggeleng dengan wajah yang pucat.

Dokter itu menunduk.

"Maafkan kami, Pak, Bu..."

Satu per sekian detik setelah itu, Serena jatuh pingsan dan Deon terduduk kembali di kursi tunggu. Deon menangis hingga bahunya berguncang; dia mencengkeram rambutnya sendiri. Semua orang benar-benar berduka malam itu.

 

******

 

Deon memperhatikan batu nisan yang bertuliskan nama papanya itu seraya menangis. Deon menunduk dan mencengkeram batu nisan itu. Serena ada di samping kirinya, mengusap bahunya sembari menangis tersedu-sedu. Chintya juga ada di samping kanannya dan ikut menangis.

"Deon, aku ada di sini, sama kamu..." ujar Chintya lirih. Akan tetapi, Deon tak memedulikan apa pun yang ada di sekitarnya.

Talitha dan keluarganya ada di belakang mereka. Semua bawahan Deon (para manajer), seluruh kerabat, saat itu datang ke pemakaman. Talitha memang belum lama bertemu Darwin, tetapi Talitha juga menangis, terutama saat melihat Deon. Deon yang selalu berwibawa…hari ini tampak begitu terpukul. Begitu rapuh. Entah mengapa, melihat Deon menangis akan membuatmu ikut sedih. Deon sudah dua kali membuat Talitha menangis, padahal Talitha termasuk perempuan yang jarang sekali menangis.

"Kenapa Papa perginya terlalu cepet? Kenapa Papa nggak manggil Deon dan nunggu Deon pulang ke rumah waktu itu? Kenapa Papa—" Deon berhenti dan menggeleng, sementara para kerabat jadi semakin bersedih saat mendengar kalimat Deon yang penuh luka itu. Deon pun mendongak dan menghela napas lewat mulutnya. Napas yang seolah-olah sejak tadi tertahan di dadanya, membuatnya merasa sangat sesak.

Deon kembali menatap makam papanya. "Kalo memang Papa punya wasiat, Deon akan menjalankan perintah Papa di wasiat itu.”

 

******

 

Serena mengetuk pintu kamar Deon berkali-kali dengan pelan.

"Deon..." panggilnya.

"Deon…ayo sarapan," panggil Serena lagi, tetapi tidak ada jawaban dari Deon.

Hari ini, Serena ada di apartemen Deon. Sejak pulang dari pemakaman, Serena tak pernah meninggalkan Deon. Serena ada di apartemen Deon dan mengurusi Deon meskipun Deon masih tak mau menatapnya. Deon masih marah…dan Serena tahu itu. Deon bukan orang yang mudah memaafkan orang lain. Akan tetapi, Serena terus memanggil Deon untuk mandi, makan, dan menyemangati Deon dua hari belakangan.

Deon masih memiliki rasa marah yang luar biasa tiap kali ia melihat mamanya. Luka itu sangat sulit untuk disembuhkan.

Tiba-tiba, pintu kamar Deon terbuka. Terpampanglah tubuh tegap Deon di depan mata Serena; Deon sedang menatapnya tajam. Pria itu memakai sweater berwarna abu-abu; wajahnya masih tidak memiliki rona.

Dia melewati Serena begitu saja dan berjalan ke dapur. Dengan cepat, Serena mengambil sebuah handuk yang ada di dekat dapur karena ia tahu bahwa Deon ingin mandi. Ia melihat Deon sedang meminum air putih dan kini tengah menaruh gelasnya di wastafel.

Suasana rumah terasa begitu gelap saat masih berduka. Karena merasa Serena tengah mengikutinya, Deon pun berbalik, lalu melihat Serena yang langsung menyerahkan sebuah handuk kepadanya. Deon menatap handuk itu dengan mata menyipit.

"Mandilah, Mama udah siapin air hangat di bathtub dan juga sarapan buat kamu."

Setelah itu, Serena teringat sesuatu. Wanita itu sedang memasak air. Bunyi air yang mendidih itu tiba-tiba terdengar hingga ke seluruh penjuru dapur dan mata Serena membulat.

"Ya Tuhan!" teriak Serena panik. Namun, ada satu hal yang mengejutkan Serena.

Deon mendahuluinya dan langsung mematikan kompor itu. Mata Serena spontan melebar. Serena tak mampu berkata-kata; ia menggeleng tak menyangka.

Deon...menolongnya.

Setelah mematikan kompor itu, Deon pun mengambil handuk yang ada di tangan Serena. Deon menatap Serena sebentar, kemudian pria itu berjalan pelan ke kamar mandi.

Tubuh Serena mematung.

 

Deon...meresponsnya.

 

Deon....mulai sedikit mau menerimanya...

 

Merasa kaget bukan main, Serena pun terduduk di tempat. Ia menutup mulutnya dan menangis.

 

Ya Tuhan, setelah sekian lama…

Semoga Darwin baik-baik saja di sana. Semoga anakku juga semakin mau menerimaku...

Darwin, tolong jangan khawatir.

Sekarang akulah yang akan menjaga Deon.

 

******

 

Serena berjalan ke pintu depan unit apartemen Deon begitu mendengar bunyi bel. Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi dan ketika ia membuka pintu itu, matanya melebar karena melihat Chintya berdiri di depannya seraya tersenyum.

"Ma," sapa Chintya. Sesungguhnya, kini Chintya tak begitu kaget lagi saat melihat Serena ada di apartemen Deon. Chintya sudah kaget sejak pemakaman Tuan Darwin…karena saat itu, Deon tak lagi menolak ibunya dengan kasar.

Itu artinya, walaupun papanya meninggal dunia, hubungan Deon dengan ibunya perlahan-lahan membaik.

Chintya ikut bahagia, jujur saja.

"Mama ada di sini?" tanya Chintya ramah. Serena tersenyum dan mengangguk. Wanita itu membalas pelukan Chintya saat Chintya tiba-tiba memeluknya.

"Iya. Ayo masuk," jawab Serena. "Kamu mau ngeliat Deon?"

Chintya mengangguk. Serena pun menutup pintu apartemen Deon kembali. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, sementara Deon masih mandi. Chintya lantas tersenyum manis pada Serena.

"Ma... Chintya ikut seneng ngeliat Mama dan Deon bisa sama-sama lagi...meskipun Papa Darwin udah nggak ada..." ujar Chintya sembari memegang tangan Serena. Perempuan itu ingin menenangkan Serena.

Serena tersenyum lembut.

"Mama tau ini sulit buat Deon...tapi Mama bakal terus berusaha." Serena berujar mantap. Chintya pun langsung memeluk dan mengusap punggung Serena.

"Kamu mau minum?" tanya Serena. "Udah lama juga Mama nggak liat kamu. Kamu sekarang udah dewasa…dan cantik banget."

Chintya tertawa pelan, melepaskan pelukannya. "Masa iya, sih, Ma?"

Serena mengangguk. "Iya, bener. Kamu cantik banget."

Chintya serasa terbang ke angkasa ketika mendengar mama Deon memujinya. Dengan malu-malu (yang padahal hanya dibuat-buat itu), dia pun menjawab, "Chintya rajin ngerawat diri, Ma. Rajin nge-gym juga bareng Deon."

Serena mengangguk. "Oh, gitu… Haha. Oh, ya, Mama ambilin minum dulu, ya?"

Serena ingin berdiri, tetapi tiba-tiba Chintya menghentikan pergerakannya. Mata Serena membulat; ia menatap Chintya dengan tatapan yang seolah-olah bertanya, 'Ada apa?'

Chintya tersenyum semringah. "Nggak usah, Ma. Umm...Deon ada di mana?"

Serena tersenyum. "Nggak haus? Deon lagi mandi, tuh."

Chintya menggigit bibirnya. Dalam hati, ia merasa sangat excited meskipun ia tahu bahwa Deon sedang berduka.

Ya, benar. Jelas masih ada duka yang merayap di segala sudut rumah itu. Seharusnya…Chintya juga masih berduka. Namun, ujung-ujungnya…dia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat mengetahui bahwa Deon ada di sana. Deon sedang mandi. "Nggak kok, Ma. Chintya mau ketemu Deon aja."

Serena menghela napas. Wanita itu lalu tersenyum. "Ya udah."

Chintya menggigit bibirnya. "Umm…Ma, kenapa Deon nggak nikah aja?"

"Maksudnya?" jawab Serena seraya mengernyitkan dahi.

Chintya senyum-senyum; dia menatap Serena dengan percaya diri.

"Deon, kan, akhir-akhir ini lagi sedih banget, Ma... Chintya pikir, kayaknya harus ada yang ngeliat dan ngejaga dia setiap saat. Perempuan yang dia cintai pasti bakal bisa bikin dia bangkit lagi."

Serena mengangguk, tetapi mendadak wanita paruh baya itu jadi agak ragu. "Tapi..."

Chintya menggeleng, dia kembali memegangi tangan Serena dan tersenyum semringah. "Chintya...mau nikah sama Deon, Ma."

Serena tercengang.

"Chintya—"

Chintya menggeleng lagi, masih terlihat ceria. Seolah-olah ingin meyakinkan Serena bahwa semuanya baik-baik saja; seolah-olah kekhawatiran Serena itu tak ada arti karena sudah seharusnya takdir mereka berjalan ke arah sana. "Chintya dan Deon itu saling cinta, Ma. Mama nggak perlu khawatir. Papanya Chintya juga udah tau soal hubungan kami."

Serena menyatukan alis. Dia heran setengah mati.

"Chintya, Mama tau kalo kalian berdua emang udah deket dari kecil. Tapi…setau Mama—" Serena meneguk ludahnya. "Setau Mama...Deon pernah bilang kalo calon istrinya itu adalah Talitha..."

Mata Chintya membulat. []












******











No comments:

Post a Comment

Dari Gavin, oleh Gavin, dan Untuk Gavin (Bab 4: Akibat Jomblo dari Orok)

  ****** Bab 4 : Akibat Jomblo dari Orok   ******   “OH, iya, Bu, nanti saya coba tanya sama Pak Saddam,” ujar Ayu, anggota Direks...