******
Chapter 1 :
Oh,
God! That Shit CEO!
******
Violette:
YA
TUHAN, mengapa
rambutku ini sulit sekali untuk dirapikan? Maksudku, aku sudah memakai seragam
kerjaku dan meski tidak memakai seragam khusus dari perusahaan, aku memiliki
beberapa baju kerja dengan jas dan rok selutut. Hari ini aku memakai setelanku
yang berwarna cokelat kehitaman dan menurutku ini kelihatan lumayan manis. Aku
tak peduli bila itu hanyalah pendapatku sendiri, tetapi aku senang memakainya.
Seragam sudah rapi, akan janggal
bila rambutku tidak rapi.
Ini adalah hari ketigaku bekerja di
Alexander Enterprises Holdings, Inc. Kuharap akan berjalan dengan lancar seperti
di hari pertama dan di hari kedua aku bekerja di sana. Bekerja di bagian marketing ternyata
tidak membosankan. Aku senang karena aku mulai membiasakan hidup mandiri meski
aku masih tinggal bersama Jonathan, Pamanku. Alexander Enterprises Holdings,
Inc. sebenarnya mengingatkanku pada seseorang. Well, temanku.
Aku pernah bergabung dengan suatu
organisasi yang bernama Red Lion. Sejak kecil aku sudah diajak
bergabung ke organisasi itu oleh ketuanya yang bernama Brian. Red Lion adalah organisasi
perkumpulan pencuri kelas dunia yang bermarkas di Perancis. Bagiku
Red Lion adalah organisasi yang sangat hebat. Ini disebabkan karena dunia
awalnya tidak mengetahui identitas kami meski mereka sendiri telah mengalami
kerugian yang sangat besar.
Sebelum akhirnya sesuatu terjadi.
Aku berada di sana sebagai rekan
dari Justin Alexander, temanku yang tadi teringat di otakku ketika aku melihat
nama perusahaan tempatku bekerja. Justin Alexander adalah orang kepercayaan Ketua
Red Lion (Brian) dan aku ditugaskan untuk menjadi asistennya. Justin adalah
orang yang misterius dan dingin, dia juga tidak suka dibantah. Namun, suatu
hari dia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Hillda Esdaquille atau
Hillda Hoult. Hillda adalah istri dari seorang CEO muda asal Perancis—Martinous
Hoult—yang kaya raya; CEO tersebut memiliki perusahaan multinasional yang cabangnya
tersebar di banyak negara di dunia. Kami sempat melakukan aktivitas kami,
mencuri di perusahaannya, meskipun itu hanya uang selundupan dari bawahan suami
Hillda. Pertemuan itu membuat Hillda dan Justin jadi memiliki sebuah hubungan
khusus yang sangat intim.
Namun, hubungan itu berakhir dengan
tragis. Aku sebenarnya khawatir dengan Justin tatkala aku mengetahui soal hubungan
terlarangnya dengan Hillda, tetapi berhubung Justin adalah temanku sekaligus
orang yang kuhormati—I have a lot of respect for him—aku akhirnya hanya
bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Lagi pula, seiring dengan berjalannya
waktu, aku akhirnya menyadari bahwa Hillda adalah orang yang baik. Dia
benar-benar menyukai Justin.
Saat suami Hillda, Martinous—atau
yang sering dipanggil Martin—mengetahui soal hubungan terlarang istrinya itu,
peperangan pun pecah. Ini sudah bukan lagi soal Justin seorang, melainkan soal
seisi Red Lion, karena Martin memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ia tak
ingin melepaskan istrinya.
Peperangan antara Justin dengan
Martin berujung dengan jalan Red Lion dihabisi oleh Justin sendiri sebab Brian
sama sekali tak mendukung Justin pada saat itu. Demi menghilangkan jejak Red
Lion—agar kami tidak diketahui oleh banyak manusia di belahan dunia—maka Justin
akhirnya memilih untuk menghancurkan segalanya. Dia juga menghancurkan
markas Red Lion. Setelah berpisah dengan Hillda, dia ingin menghapus segalanya.
Segala yang ada di masa lalunya, termasuk Red Lion yang tidak berada di
pihaknya lagi. Tidak sejalan dengannya lagi.
Aku ingat saat Justin membicarakan
tentang rencana penghapusan itu padaku. Dia menceritakan semuanya, lalu
mengajakku untuk membantunya saat melaksanakan rencana itu. Dari kecil aku
mengetahui banyak hal tentang Justin meskipun dia terbilang tak banyak bicara.
Hubungan kami sebenarnya lebih seperti mutual respect, tetapi kami
selalu saling membantu satu sama lain. Seperti bos dan asisten yang saling
membantu dalam pekerjaan mereka…tetapi ujung-ujungnya malah jadi tahu cerita
tentang satu sama lain.
Mungkin itulah sebabnya Justin
sepercaya itu padaku dan memutuskan untuk mengajakku bekerja sama dengannya.
Berhubung aku menyaksikan segalanya dan sering berada di sampingnya, aku jelas
berada di pihaknya dan aku pun menyetujui keputusan yang telah ia buat itu. Dia
memutuskan untuk menghapus segalanya dan mengajakku pergi ke negara lain. Kami
sepakat untuk memulai lembaran yang baru tanpa bayang-bayang Red Lion. Kami
berdua memutuskan untuk pergi ke New York.
Aku masih tak percaya sepenuhnya,
tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, akulah yang menemani
Justin di sepanjang misi itu. Aku tahu jalan pikiran Justin. Dia adalah orang
tercerdas yang pernah kutemui.
Semenjak tiga tahun belakangan, aku
tak pernah lagi bertemu dengan Justin. Terakhir kali aku dan Justin sempat
bertemu dengan Hillda di Paris, lalu aku dan Justin kembali lagi ke New York.
Satu bulan pertama, kami berdua masih sering bertemu. Akan tetapi, setelah itu
sepertinya Justin menghilang. Entahlah, aku merasa agak berbeda ketika dia tak
ada di sampingku karena aku terbiasa menjadi rekan kerjanya. Aku harap dia
lebih sukses dariku, mengingat dia adalah orang yang sangat cerdas. Aku akan
selalu mengingatnya. Dia benar-benar hebat.
Ah, akhirnya selesai. Rambutku sudah tertata
rapi dan tidak mencuat ke sana kemari lagi. Rambutku sekarang hanya diurai
begitu saja. Aku tersenyum, berdiri, lalu mengambil hand bag-ku dan
pergi ke ruang tamu; aku berharap untuk cepat menemukan rak sepatu dan
mengambil sepatu high heels-ku. Argh, sebenarnya high
heels ini menyebalkan, tetapi aku harus memakainya karena sepatuku yang
lain agak kurang cocok untuk dibawa ke perusahaan besar seperti Alexander
Enterprises Holdings.
Aku berjalan ke luar dan melihat
Pamanku, Jonathan, duduk di depan televisi.
"Kau sudah mau
berangkat?"
Aku berhenti, memandangnya sekilas,
dan kembali berjalan. Aku merunduk ketika aku sampai di depan rak sepatu yang
ada di balik pintu.
"Uh-hm." Aku memakai
sepatuku. "Aku pergi dulu, Nathan. Di mana motorku?"
Dia menoleh. Well, mobil
Nathan sudah dijual karena kami mengalami sedikit krisis ekonomi selama
beberapa bulan terakhir. Aku mencoba untuk berusaha keras dalam karirku agar
keadaan ekonomi kami membaik. Diterima di perusahaan besar seperti Alexander
Enterprises Holdings tentu adalah sebuah hal yang luar biasa bagiku; gajinya
pasti lebih besar daripada perusahaan biasanya.
Namun, meski tidak ada mobil Nathan
lagi, motor sudah membuatku nyaman. Ini motor Vespa dan aku menyukainya.
"Ada di luar. Ini
kuncinya." Whoops. Dia melemparkan kunci itu dengan
spontan di depanku. Aku menangkapnya, kemudian tersenyum. "Okay. Aku
pergi!"
"Be careful," pesannya. Aku keluar dari rumah panggung
yang tidak begitu besar itu, lalu mengambil motorku. Setelah memakai helm pink bergambar
beruang milikku, aku akhirnya menaiki motorku dan pergi.
******
"Violette!" teriak Megan,
suaranya memenuhi gendang telingaku ketika akhirnya dia sampai di depanku, langsung
tertunduk dan terengah-engah. Dia bahkan terlihat seperti habis berlari
beberapa kilometer. Dia kelihatan sesak napas. Aku hanya mengedipkan mataku
berkali-kali dalam tempo cepat. "Hei, ada apa? Tarik napasmu," ujarku
dan aku lantas menepuk-nepuk punggungnya. Akhirnya, dia berdiri dan berkacak
pinggang di depanku.
"Huaaah! Aduh,
astaga—tolong—huaah!!! Hoh! Aku capek sekali, ya ampun!!" Dia terengah-engah.
"Ternyata diet dengan olahraga naik turun dari lantai dua sampai lantai
tiga belas itu menyakitkan! Oh, sial. Aku tak ingin merasakan hal semacam itu
lagi," katanya dan aku sontak tertawa.
"Kita punya lift di sini dan
kau memilih jalan terburuk," ujarku. "Lagi pula, ada apa
denganmu?"
Dia menatapku seraya tersenyum
penuh semangat; dia seperti sedang mendapatkan pencerahan.
"Tahu apa? Sepertinya, kau
dipanggil oleh CEO kita," ujarnya, matanya nyaris keluar dari soketnya.
"Demi Tuhan, Vio. Walaupun aku sudah lama bekerja di sini, tetapi aku
belum pernah sekali pun melihat CEO perusahaan ini. Dia sepertinya sangat sibuk
dan sangat misterius. Sebegitu sibuknyakah seorang CEO?" ujarnya lalu dia
tertawa kencang. Aku menggeleng, tak menghiraukan candaannya.
"Se—sebentar. Memangnya ada
apa, ya? Sebegitu seramkah CEO itu? Jangan membuatku bergidik ngeri, Meg,”
kataku dan Megan tertawa.
"Entahlah. Sepertinya, dia
sedang mengadakan survei tentang seluruh karyawan di sini sampai bagian OB
sekalipun. Aku kurang paham juga. Hmm…atau kau dipanggil karena kau adalah karyawan
baru? Ah, rasanya tidak mungkin. Biasanya, yang menangani kita adalah bos marketing kita
langsung, bukan CEO atau jabatan teratas seperti dia! Tak mungkin dia mau
menemui karyawan seperti kita secara langsung, 'kan? Wah, apa kau telah melakukan
sebuah kesalahan yang fatal, ya?"
Mataku terbelalak. Tidak! Aku
baru tiga hari bekerja di sini dan aku yakin otakku masih berfungsi untuk
mengingat bahwa aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun selama tiga hari belakangan. Lantas
ada apa?
"Ah—umm…sudahlah. Beritahu aku
di mana ruang CEO kita," ujarku, memecah kebingungan di antara kami. Megan
pun mengangguk.
"Lantai tiga belas, keluar
dari lift lurus saja ke depan dan ruangannya ada di pintu ketiga di sebelah
kanan lorong, yang pintunya paling besar. Lagi pula, kau akan menemukannya
karena ada plang 'CEO bla-bla-bla' di depan pintunya."
CEO bla-bla-bla? Hell. Dia
tak mengingat kalimat lanjutannya. "Baiklah. Aku pergi dulu," ujarku,
lalu dia mengacungkan jempolnya padaku sembari cengar- cengir bak orang tolol.
Aku menggeleng dan langsung
beranjak menuju ke lift.
Lantai tiga belas. Well, lumayan
jauh.
Setelah terdengar bunyi 'ding',
pintu kubikel lift itu pun terbuka dan aku menghela napas. Aku keluar dari lift
dengan berhati-hati—agar tidak tersandung—lalu dengan cepat kucari pintu nomor
tiga dari samping kanan lorong. Aku berjalan dengan kepala yang mendongak ke
atas, mencari-cari plang CEO yang Megan katakan itu di depan pintunya. Ketika
menemukannya, aku pun menghela napas. Pintu ini lebih besar daripada
pintu-pintu yang lainnya. Aku mencoba untuk meredakan gemuruh di dadaku; akumencoba
untuk rileks.
Kau tidak punya salah apa pun,
Violette. Tidak perlu takut.
Lagi pula, ke mana assistant
CEO-nya? Aku tak melihat keberadaan assistant-nya di sini. Ah,
sudahlah.
Aku menggeleng dan menarik napas
dalam, lalu mengeluarkannya lewat mulut. Aku pun mengetuk pintunya dengan
pelan, tiga kali.
"Sir," panggilku.
"Masuk."
Aku mengedikkan bahu, mencoba untuk
menampilkan senyuman terbaikku dan membuka pintu itu dengan sepelan mungkin.
Ketika aku masuk ke dalam ruangan, aroma buah bercampur dengan aftershave
mulai memasuki indra penciumanku. Ruangan ini ber-AC dan
aromanya menyegarkan. Memang berbeda jika ini adalah ruangan orang yang penting. Gah, kapan
aku bisa sukses seperti ini?
Aku menutup pintu ruangan CEO itu,
lalu aku berbalik. Aku memicingkan mataku ketika aku melihat siluet tubuh
seorang lelaki; dia membelakangiku dan hanya menghadap ke arah jendela. Well, sebenarnya
bukan jendela, tetapi dinding di ujung sana adalah kaca. Seluruh bagiannya
adalah kaca yang membentang. Dari tempatku berdiri pun, kota New York dan
kepadatannya terlihat sangat jelas. Pria itu memasukkan tangannya di dalam saku
celananya dan masih belum berbalik. Aku mengernyitkan dahi, kedua tanganku
menyatu dan aku memainkan jemari-jemariku.
Kok...tiba-tiba suasananya...mengerikan?
"Err... Excuse me,
Sir—"
Dia, sosok CEO itu, membalikkan
tubuhnya dengan anggun dan pelan. Aku agak memicingkan mataku. Meski wajahnya
tertutupi oleh sinar matahari dari kaca yang kini ada di belakangnya—yang
membuat sosoknya seolah terlihat bersinar terang dan membuatku silau—aku
sepertinya mengenalinya. Aku memfokuskan mataku lagi dan
hasilnya mataku terbelalak.
"JU—JUSTIN?!!!"
Dia memandangku dengan tatapan
mengintimidasi. Dia hanya diam tanpa ekspresi; dia masih tak berubah. Namun…ini
benar-benar mengejutkan. Ya Tuhan, apakah aku benar-benar bertemu lagi dengan
Justin? Sudah lama kami tak bertemu dan tiba-tiba aku melihatnya berdiri di
depanku. Bagaimana Justin bisa ada di sini? Jadi, dia CEO di sini, ya? Hah,
tunggu sebentar. Justin…jadi…CEO?
"Ja—jadi, kau—"
"Apakah sopan memanggil
atasanmu dengan namanya langsung?"
Gulp.
Argh! Bodohnya aku! Justin itu bukan tipe-tipe
manusia ramah yang bisa berpelukan ketika bertemu lagi dengan teman lamanya!
Dingin tetaplah dingin meski sifatnya dulu agak menghangat ketika menjalin
hubungan dengan Hillda.
"Ah... Maafkan aku, aku hanya
tidak menyangka kalau kau..."
"Alexander Enterprises
Holdings, Inc. Apakah
itu kurang jelas?" tanya Justin sembari memiringkan kepalanya.
Sialan. Mengapa dia selalu saja memotong ucapanku?
Kok rasanya agak aneh, ya? Perasaanku Justin dulu tak searogan ini padaku; sifatnya
kini jadi agak asing di mataku dan ini sedikit menakutiku.
Aku tertunduk dan menggigit bibir
bawahku. Sialnya tatapan intimidasinya itu terus berlanjut.
"Y—ya, tapi..."
"Duduklah."
Aku mengerjap. Dia sepertinya
beranjak dan mulai duduk di kursi super besarnya itu dan aku hanya meremas
jemariku. Tanganku terasa dingin. Bukan karena AC, tetapi karena suasana saat
ini sangat…mengerikan. Mengapa aku jadi canggung dan takut begini saat
berhadapan dengan Justin?
Apa karena dia jadi superdingin
seperti itu?
Aku berjalan dengan pelan, menuju
ke kursi yang ada di seberang Justin (terpisah oleh meja kerjanya). Aku mulai
duduk dan bunyi kursi yang akan kududuki ini terdengar cukup mengganggu. Sial.
Aku merutuki diriku sendiri di dalam
hati.
"Well, aku tak menyangka kalau kau
ternyata bekerja di sini," ujarnya, dia terus menatapku seolah sedang
menginterogasiku. Aku meneguk ludahku, lalu aku menatapnya dengan ekspresi canggung,
agak takut-takut.
"Aku juga tak menyangka kalau
kau adalah CEO di sini," jawabku.
Dia mengangguk. Setelan jasnya
sangat rapi, by the way. Dia sangat tampan dan shit...dia hot.
"Aku terkejut, ngomong-ngomong," ujarnya,
memiringkan kepalanya tatkala memperhatikanku. "Aku menyurvei seluruh
karyawan dan kutemukan nama Violette Morgan di sana. Aku penasaran dan ternyata
itu benar adalah kau."
Aku hanya bisa menelan ludahku.
Mengapa aku jadi gugup begini, sih? Apa otakku berjalan dengan mengingat
bahwa dia adalah 'president' alias CEO di perusahaanku? Bukan
mengingatnya sebagai temanku?
"Y—ya, begitulah,
haha." Sial! Apa yang kulakukan? Kok aku gagap terus, sih?!
Dia menghela napas. "Well, kau
tak banyak berubah. Duduklah di sofa yang ada di sebelah sana dan aku akan
membicarakan sesuatu padamu setelah aku mengerjakan sebagian dari
pekerjaanku."
Sialan. Yeah, yeah, yeah.
Aku tak banyak berubah dan sepertinya kau menghinaku, Mr. Alexander.
Aku hanya mengangguk dan bangkit
dari dudukku, lalu berjalan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan. Aku pun
duduk di sana.
Kupikir...wow. Ini
nyaman.
Ruangan ini nyaman sekali dan aku
harap aku tidak tertidur di sini atau mungkin si Dingin dan Kejam itu akan menendangku
ke luar. Oh, aku sudah memberinya julukan, rupanya.
Dia banyak berubah,
sepertinya. Namun, dia jadi semakin dingin...
Aku memosisikan diriku dengan lebih
baik lagi di sofa yang sedang kududuki ini agar merasa nyaman.
Aku memperhatikannya dari sini, ia
berkutat dengan laptopnya dan itu sepertinya merupakan pemandangan yang
menarik. Dia tampan, demi apa pun. Aku sudah mengakuinya sejak dulu, tetapi sepertinya
sekarang dia terlihat semakin dewasa dan tentu saja semakin tampan. Berapa
umurnya sekarang? Setahuku dia dua tahun lebih tua dariku. Berarti…dia 28
tahun?
"Apakah menarik memperhatikan
atasanmu diam-diam, Ms. Morgan?"
SHIT!!! AKU KETAHUAN!
Aku merona dan langsung menundukkan
wajahku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat dan merutuk dalam hati. Sialan...
Lagi pula, Justin kok jadi seperti
ini, sih?! Ah, entahlah. Tiga tahun sudah berlalu dan mungkin banyak hal yang
terjadi. Sebenarnya, aku pun memiliki beberapa perubahan. Jadi, ya sudahlah.
Aku akhirnya hanya diam selama
kurang lebih sepuluh menit. Udara di sini membuatku mengantuk, tetapi aku
bersikeras untuk menahannya meskipun kelihatannya aku sudah terpejam beberapa
kali.
Aku tersentak; mataku kontan terbuka
ketika aku mendengar suara korek api yang dihidupkan. Aku langsung menoleh ke
arah Justin dan aku membulatkan mataku. Dia menghidupkan satu batang rokok yang
sudah tersangkut di mulutnya.
"Kau—tidak merokok,"
ujarku, mencoba menyiratkan suatu pertanyaan dari kata-kataku. Itu adalah
pengetahuanku dulu tentangnya. Dia dulu tak merokok!
Dia kembali menatap laptopnya dan mulai
mengembuskan napas berasapnya itu. Asap itu mengepul di sekitarnya.
"Sekarang aku membutuhkannya,
Vio. Aku sering bergadang untuk bekerja dan kupikir rokok membuat tubuhku jadi
sedikit lebih hangat."
Aku mengernyitkan dahi, lalu aku
menggeleng dan tertunduk. "Oh."
Dia sepertinya memandangku dengan
kernyitan di dahinya. Entahlah. Aku tak melihatnya, tetapi aku seperti
punya…feeling? Atau sejenis itu.
“Sepertinya, lebih baik kita bahas
sekarang saja." Aku menatapnya lagi dan kutemukan iris mata berwarna
lelehan karamel itu telah mengunciku. Aku meneguk ludahku dengan susah payah
dan aku akhirnya hanya bisa mengangguk.
"Hmm," dehamku. Dia
mendengkus.
"Kau sepertinya kurang bagus
di bagian marketing," tukasnya asal. Mataku kontan
memelotot; aku merasa tak terima. I mean, hey! Aku
yakin aku bekerja dengan serius. Aku juga selalu berusaha dengan keras agar aku
tak membuat kesalahan apa pun!
"Memangnya apa
yang kau tahu tentangku?! Aku merasa kalau aku bekerja dengan baik!"
teriakku tak terima.
Dia mengernyitkan dahi, tatapannya agak
sinis.
"Well, keluar dari ruanganku jika kau
kemari hanya untuk membentakku. Urus surat pengunduran dirimu."
Aku merasa sesuatu seolah menohok
jantungku hingga membuat tubuhku tiba-tiba jadi kaku. Napasku tertahan.
Aku hanya bisa membungkam mulutku,
kemudian aku tertunduk lagi. Aku tak punya pilihan apa pun, kecuali diam. Aku
tak mau kehilangan pekerjaanku. Sialan kau, Mr. Alexander! Mengapa dia jadi kejam
sekali sekarang?
"Mengapa kau tidak
keluar?" tanyanya lagi dan kurasa embusan napasku kali ini mulai berasap.
Darahku mendidih.
"Aku masih butuh pekerjaanku."
Aku berkata sembari menahan amarah; aku mendengkus. Kulirik dia hanya
mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
Gah, orang ini menyebalkan sekali!
"Baiklah. Maka dari itu,
biasakan untuk sopan dan dengarkan aku terlebih dahulu. Ingat itu, Ms.
Morgan?"
Aku mendengkus lagi.
"Ya," jawabku, setengah
mati berusaha agar suaraku tidak terdengar ketus. Mendengar kami saling
memanggil satu sama lain dengan nama keluarga seperti ini membuatku merasa kalau
kami tidak pernah menjadi teman baik sebelumnya.
"Okay," katanya. Dia mengisap rokoknya
kembali dan mengembuskan asap rokok itu. "Jadi, lebih baik kau
bekerja di sini."
Aku menyatukan alis. "Aku
memang sudah bekerja di sini, Sir," jawabku dengan jemu.
Dia kemudian menghela napas.
"Di sini yang kumaksud adalah
di ruangan ini. Kau akan kuangkat menjadi executive assistant-ku.
Mejamu kupersiapkan hari ini juga jika kau mau berpindah jabatan. Kupikir kau
sudah lama menjadi rekanku dan kau pasti bisa melakukannya."
EXECUTIVE ASSISTANT? HELL. APA INI? CERITA TENTANG CEO DAN EXECUTIVE
ASSISTANT-NYA SEPERTI DI KEBANYAKAN NOVEL?
Oh tidak. Jangan berpikir terlalu jauh,
Violette. Kau hanya terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini.
Aku tahu aku pernah menjadi
rekannya. Namun, tetap saja ini membuatku kaget. Dengan dia yang kejam seperti
ini, aku bisa mampus hanya dalam satu hari. Mati kutu! Lagi pula, lihat saja
apa yang sejak tadi dia lakukan. Aku menjawab dengan suara yang agak keras
saja, dia sepertinya langsung ingin memecatku. Aku tahu kalau aku sepertinya
kurang sopan tadi, tetapi hey, mengertilah! Dia yang memulainya
duluan dengan menghinaku, 'kan?
Aku sudah enjoy di marketing. Lagi
pula, apa tanggapan orang-orang di perusahaan ini nantinya ketika melihat aku
yang dari divisi marketing—dan jabatan yang biasa saja—tiba-tiba
naik menjadi executive assistant CEO? I mean, CEO,
man! Dia agaknya juga merupakan pemilik perusahaan ini. Megan mungkin
akan pingsan jika tiba-tiba aku menceritakan hal ini padanya.
Aku meneguk ludahku.
"T—tapi...aku sudah merasa cukup
dengan—"
Dia mendengkus. "Bukan kau
yang membutuhkan pekerjaan itu, Violette, tetapi aku yang membutuhkanmu untuk
menjadi executive assistant-ku. Aku merasa bahwa aku sepertinya butuh
bantuan dalam menjalankan tugasku," ujarnya, mulutnya mengembuskan asap
lagi. "dan saat mengetahui bahwa kau ternyata bekerja di sini, kurasa
lebih baik kau saja yang mengisi bagian itu. Executive
assistant-ku." Kali ini puntung rokok itu telah ia tekan ke dalam
asbak dan sudah mati.
"Just—I mean, Sir... Aku
cukup kepikiran dengan apa yang nanti akan dikatakan oleh semua orang,"
kataku dengan tak nyaman.
"Mengapa kau memedulikan hal
yang tidak signifikan seperti itu? Lebih baik kau undurkan dirimu jika kau
menolak tawaranku," ujarnya dingin.
Pemaksaan!!
Apakah tidak ada ancaman lain
selain 'undurkan dirimu' dan 'keluar dari ruanganku
sekarang juga'? Apakah pria ini tahu bahwa aku sangat lemah dengan
kata-kata itu? Aku butuh pekerjaanku!
Aku menghela napas, lalu mendengkus.
"Okay," kataku pada akhirnya. "tetapi…apakah
aku...harus satu ruangan denganmu? Emm I mean... Aku...mungkin bisa
mati."
Dia mengernyitkan dahi, matanya menyipit;
ia memberikanku sebuah tatapan yang setajam dan setipis silet.
Aku bergidik.
"Memangnya kau pikir aku akan
terus melihatmu? Aku punya banyak pekerjaan yang lebih penting dan aku juga
memiliki banyak perempuan yang lebih menarik untuk dilihat," katanya
dengan angkuh.
Aku tersentak. Hei! Aku
tahu aku jelek, tetapi haruskah dia menghinaku seperti itu? Apa-apaan ini?
Justin Alexander yang kukenal tidak sesombong ini! Justin Alexander yang
kukenal adalah seseorang yang pendiam dan misterius, tetapi aslinya dia adalah
orang yang sangat baik dan penuh dengan pengorbanan. Namun, siapa ini? Siapa pria
ini? Dia seperti iblis. Lagi pula, sejak kapan Justin suka melirik banyak
perempuan? Oh, berada di sini ternyata bukan hanya membuatku mati kutu, tetapi
juga membuatku pusing.
"Kau tak perlu menghinaku, Mr.
Alexander. Maaf," ujarku, suaraku mulai tegas. "Lagi
pula, tetap jauhkan mejaku dengan mejamu meski kita satu ruangan,"
tegasku.
Dia semakin memandangku dengan tatapan
tajam.
"Kau selalu protes padaku,
Violette. Tidak berubah. Kau yakin kau akan tetap bekerja di sini dengan
sifatmu yang seperti itu?" tanyanya lagi, memancing emosiku.
"Terserah Anda, Sir. Aku
hanya ingin itu saja, please?"
"Well, itu jelas. Tak mungkin tempat duduk
bawahan dekat dengan atasan, 'kan? Kau tak perlu takut,” jawabnya
dengan arogan.
Sialaaaan!!! Aku menggeram sendiri setiap
mendengar kata-katanya yang santai, tetapi menyakitkan itu. Baiklah, yang
penting permohonanku dikabulkan. Kurasa mulai hari ini aku harus mengasah
kesabaranku. Bertemu orang ini setiap hari akan membuatku jadi tiga kali lipat
lebih lelah.
"Terima kasih," kataku sembari menahan rasa
jengkelku.
Dia mengangguk tak peduli.
"Itu saja. Keluarlah. Nanti
aku akan memanggilmu kembali jika mejamu sudah kupersiapkan."
Aku mengangguk dan undur diri dari
hadapannya. Dia hanya berkutat kembali dengan telepon—atau apalah itu yang ada
di atas mejanya—aku kesal, jadi aku tak peduli. Ketika aku sudah berada di luar
pintunya, sudah menutup kembali pintunya, aku mengepalkan tanganku. Aku
menggeram dan kurasa semua uratku kini menegang. Aku sangat kesal! Bagaimana
mungkin aku bisa bekerja dengan cara seperti ini?
Bertemu dengan teman lama bukannya
membuatku senang, aku justru jadi kesal setengah mati.
Aku kembali berjalan menuju lift
dengan langkah yang lebar bak orang kesetanan dan menuju ke lantai bawah
(tempat di mana divisi marketing berada). Ketika pintu kubikel lift
terbuka, aku keluar dari lift dan langsung pergi ke divisi marketing,
lalu berjalan ke mejaku. Megan langsung berlari menghampiriku dengan penuh
semangat. Wajahnya berbinar-binar; dia senyum-senyum tak jelas. Ah, mungkin dia
kira tadi aku bertemu dengan orang yang berkarisma, berwibawa, sukses, dan
menginspirasi. Well, jika dia mendengar ceritaku, pasti dia
tak akan percaya.
Dia mengambil kursinya dan
menempatkannya di seberangku. Dia menatapku dengan semangat dan menaruh sebelah
telapak tangannya di rahang kirinya, menungguku untuk menjelaskan semuanya. Aku
mengusap wajahku frustrasi.
"Jadi, apa katanya, he? Apa?
Apa? Kau disuruh apa?" tanyanya dengan antusias. Oh, hell, Meg.
Aku pusing. Demi Neptunus, aku pusing sekali sekarang.
"Entahlah, Meg. Aku juga tidak
mengerti."
"Hei...jangan seperti itu. Apa
kau dihukum? Cerita padaku, Vio!! Aku sangat penasaran! Lagi pula, apakah CEO
kita itu tua? Muda? Tampan? Berkarisma? Atau bagaimana?"
Aku memutar bola mataku.
"Oh, please, Meg.
Kau membuatku pusing," kataku, lalu dia mengerucutkan bibirnya.
"Ayolah...aku ingin
tahu, please..." pintanya padaku. Matanya berkedip-kedip,
dia mencoba untuk merayuku. Akhirnya aku menghela napas. Tatapan karyawan-karyawan
di sini juga sudah mulai tajam karena Megan terus berisik, jadi aku tak mau
memperpanjang masalah.
"Okay." Aku menghela napas. Megan langsung
mengangguk dengan antusias bak anak kecil di depanku.
"Soooo, bagaimana wajahnya? Tampan? Sedikit
tampan?" Aku memutar bola mataku dan mendengkus.
“Dia ternyata adalah teman lamaku,”
jawabku singkat.
Mata Megan terbelalak, dia menutup
mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Te—TEMAN LAMAMU?" Dia
berteriak dengan kencang. Tatapan orang-orang di sini jadi bertambah tajam. Aku
langsung menutup mulutnya dengan tanganku.
"Meg, santailah," rayuku.
Dia meneguk ludahnya dengan susah
payah ketika aku melepaskan tanganku dari mulutnya.
"Ja—jadi, apa yang dia
lakukan? Sejak kapan kalian berteman? Ceritakan, Vio! Demi Tuhan, aku penasaran
sekali!"
Aku akhirnya menghela napas.
"Well, dia itu...tampan,” jawabku dan mata
Megan mulai berbinar-binar. “Dia muda, hanya dua tahun lebih tua dariku.
Maksudku, kupikir umurnya masih berkepala dua. Dia memang terlihat 'hotter
than the sun', tetapi dia...dia sangat dingin. Aku berteman dengannya
sejak kecil, tetapi sudah tiga tahun ini aku tidak bertemu dengannya. Aku
akhirnya bertemu dengannya di ruangan CEO itu."
Megan terlihat kaget bukan main.
Sepertinya, dia sangat takjub. Entahlah takjub pada ceritaku atau takjub pada
sosok CEO itu yang diilustrasikannya sendiri di pikirannya.
"SE—SETAMPAN APA DIA? Ya Tuhan,
aku tak menyangka kalau CEO kita berteman denganmu. Selain itu, aku sekarang
mengerti mengapa dia memanggilmu ke ruangannya setelah menyurvei kita
semua."
Aku mengangguk.
"Dia… Entahlah dia itu tampan
seperti apa. Yang jelas, garis wajahnya membuatnya tampak kejam dan dingin. Aku
tak tahu dia bisa bergaya cute atau tidak karena kupikir dia
dominan kejam. Wajahnya maskulin."
Mata Megan semakin berbinar-binar
seperti mengeluarkan bintang-bintang kecil.
"Ya ampun, aku bisa
membayangkan ketampanannya dari sini... MY GOD!!" teriaknya.
Aku memutar bola mataku.
"Well, bukan itu yang penting Meg,"
kataku. Dia tiba-tiba tersadar seolah-olah baru saja kutampar. Dia langsung
antusias lagi.
"Apa? Apa? Ayo cerita!" desak
Megan.
Baiklah, setidaknya aku tak akan
cerita padanya bahwa aku adalah teman sekaligus rekan Justin di Red Lion. Aku
dan Justin bisa ditangkap polisi sekarang juga.
"Dia menyuruhku untuk menjadi executive
assistant-nya karena dia merasa lebih kenal denganku. Ya, mungkin
begitu," kataku. Aku menggeleng, lalu mengedikkan bahu. "Aku pusing
karena dia itu terlalu kejam. Ancamannya itu selalu—"
Aku berhenti karena kelihatannya
semua orang mendadak terdiam. Tidak ada lagi yang bersuara di sini, hanya
suaraku yang terdengar di ruangan. Aku merasa sangat heran, lantas aku berhenti
dan melihat ke sekeliling. Megan juga sama. Hal yang kami dapatkan adalah: mata
semua orang tertuju pada satu arah, mulut mereka terbuka lebar—menganga—dan
tubuh mereka mematung. Apa yang sedang mereka lihat? Dewakah? Mengapa
sampai seperti itu?
Aku dan Megan akhirnya mengikuti
arah pandang mereka semua.
"I'm looking for a
girl..."
Mataku kontan terbelalak.
JUSTIN!
Dia ke sini? Well, pantas
saja semua orang jadi tercengang. Ada seorang pria tampan yang tiba-tiba masuk
ke divisi marketing! Looking for a girl? Apa yang sedang
Justin katakan?
Tiba-tiba mata Justin mendapatkanku.
Aku sontak membuang wajahku. Sial, apa dia sedang mencariku?!
"Ahh... I got
you. Violette, ikut aku." Dia berbicara dengan tegas, lalu saat
sudah sampai di dekatku, dia menarik tangaku. Megan dan aku membelalakkan mata
karena kaget, tetapi Megan tak bereaksi sama sekali untuk menolongku. Mungkin
saking terpesonanya dengan Justin, dia jadi lupa. Aku terus meminta tolong
padanya, tetapi dia tak menghiraukanku. Semua orang terlihat kaget melihat
Justin menarikku, padahal aku yakin kalau tak semua orang tahu bahwa yang
menarikku ini adalah CEO di sini. Namun, mereka pasti bisa mengambil satu
kesimpulan: orang ini mirip dengan ciri-ciri CEO Alexander Enterprises
Holdings yang selalu mereka dengar. Ya, soalnya aku juga mendengar informasi
itu di hari pertama aku bekerja. Ciri-cirinya memang agak mengingatkanku pada
Justin, tetapi aku sama sekali tak menduga bahwa itu memang benar-benar Justin.
Selain itu, orang ini hampir tidak
pernah terlihat—sesuai dengan informasi yang sudah tersebar di antara para
karyawan—jadi pasti orang ini adalah CEO yang sering dibicarakan. Ciri-ciri
yang mereka tahu tentang CEO di perusahaan ini sebenarnya cukup spesifik, yaitu
berambut spike dengan warna cokelat keemasan dan beriris mata
lelehan karamel. Soal muda dan tampangnya, mereka tidak tahu. Namun, aku yakin
sekarang mereka tahu!
Justin menarikku terus hingga kami
sampai di dekat lift. Saat keluar dari ruangan tadi saja semua orang sudah
tercengang. Melihat orang yang kelihatannya penting di perusahaan ini tiba-tiba
menarik seorang karyawan bak menyeret anak kecil di sepanjang jalan. Sebenarnya,
apa yang dia lakukan, sih? Apa dia tak malu menarik-narik karyawan
biasa sepertiku? Atau mungkin dia sudah gila? Atau mungkin...dia itu
menganggapku sebagai Violette yang dulu adalah rekannya, makanya dia bersikap
biasa saja?
Ya, mungkin seperti itu. Well, aku
bersyukur jika itu memang benar. Aku tak mau berhadapan dengan Justin yang
kejam.
Setelah masuk ke lift, pintu
kubikel lift itu langsung tertutup dan dia melepaskan pegangan tangannya
dariku. Dia menekan satu tombol di sana dan merapikan jasnya, kemudian menaruh
kembali tangannya di dalam saku celananya. Aku berdiri sembari tertunduk di
sebelahnya dan memaki diriku sendiri. What the hell. This is the worst
day ever.
Justin hanya diam dengan ekspresi
datarnya.
"Mengapa kau menarikku seperti
itu?!! Apa kau tak malu? Kau itu CEO di sini! Kau bisa memanggilku lewat
bawahan lain atau lewat bosku! Mengapa kau sampai datang ke divisi marketing segala?
Apa kau sudah gila?!! Apa yang akan orang-orang katakan?!"
"Cerewet seperti biasa," balasnya
dingin. Aku menggeram dan mengepalkan tanganku.
"Jika aku cerewet, biarkan aku
cerewet kali ini di sini," ujarku, aku kini mendengkus tak keruan. Dia
bahkan tak menatapku sama sekali; dia masih tenang dengan gaya santainya.
Sialan.
"Justin—I mean, Sir—ahhh!!
Sudah cukup dengan semua itu. Begini, aku tak bisa menjadi executive
assistant-mu jika kau bersikap seenaknya seperti ini! Ke mana Justin yang
kukenal tidak serampangan dulu? Kau juga merokok sekarang dan kau tahu aku
tidak tahan dengan asap rokokmu!"
"Jadi, kau pikir aku
serampangan? Lihat dulu dirimu, Nona." Dia menjawab dengan santai. Aku
menggeram, bersiap mengeluarkan bom protesku lagi. Dia lebih serampangan
dariku dan dia menuduhku?
"Aku?! Kaulah yang—"
"Jangan membantahku lagi,
Violette. You hear me?" ujarnya, masih dengan ekspresi santainya.
Ia masih berdiri dengan tegap, tak bergerak, meskipun aku mengoceh padanya. Aku
saja sudah nyaris berdiri berhadapan dengannya!
Setelah itu, ia melanjutkan,
"dan lagi, kuharap kau konsisten antara kita yang dahulu dan yang sekarang.
Sekarang kau adalah executive assistant-ku dan kau hanya
mengerjakan apa yang kuperintah. Soal rokok, itu adalah kebutuhanku dan kau
juga tak bisa melarangnya. Jelas?"
Aku mendengkus, memejamkan mataku
kuat-kuat hingga menimbulkan kernyitan di dahiku. Akan tetapi, bunyi 'ding' dari
lift ini menyadarkanku dan akhirnya aku membuka bola mataku.
…dan tahu apa?
Ternyata Justin sudah berjalan duluan.
Dia meninggalkanku!
Aku mengumpat lagi.
Aaargh—sial!
Aku mulai berlari untuk
menyesuaikan langkahku dengan langkahnya. Aku agak heran, padahal dia berjalan
dengan santai, tetapi dia tetap sulit untuk kukejar. Namun, sebenarnya aku
memakai rok selutut yang tentu saja sempit untuk dipakai berlari. Aku juga
memakai high heels. Jadi, langkahku agak terbatas.
Saat aku baru saja bisa menyamakan
langkahku dengan langkahnya, dia mulai membuka pintu ruangan CEO, lalu masuk ke
dalam ruangan itu. Aku berdecak, kemudian aku ikut masuk.
Dia langsung pergi ke mejanya dan jari
telunjuknya menunjukkanku sesuatu yang ada di samping kirinya, berjarak sekitar
dua meter di samping kirinya. Sebuah meja. Itukah mejaku?
"Itu adalah mejamu. Mohon
kerja samanya, Ms. Violette Morgan," ujar Justin kemudian.
Ah. Ternyata benar.
Ergh. Aku menelan ludahku gugup. Setelah
itu, dia mulai duduk dan kembali berkutat dengan laptopnya. Lama aku berdiri di
depan pintu, memandangi mejaku, dan akhirnya aku pun berjalan dengan pelan—kelewat
pelan—menuju ke mejaku. Aku lalu duduk di sana dan menaruh tasku di atas meja.
Aku kembali menoleh ke arah Justin dan mulai merasa bingung. Apa yang harus
kukerjakan?
"Jangan memandangiku. Bisakah
kau menjaga matamu, Ms. Morgan?" katanya dengan santai, matanya bahkan
masih memandang laptopnya.
Shit!!!
"Aku TIDAK
MEMANDANGIMU!!!" bentakku dengan kesal. Dia hanya sibuk melihat ke layar laptopnya
dan tidak memedulikanku. "Aku sedang membuat seratus peraturan untukmu serta
lembar kerja untukmu. Jadi, bersabarlah."
Seratus? Dia gila! Mengapa banyak
sekali? Oh Tuhan, apa mungkin ini yang menyebabkan dia kehilangan executive
assistant-nya?
"Jangan berpikir bahwa seluruh
peraturan ini membuatku kehilangan executive assistant-ku,
Nona," ujarnya, dia seolah bisa membaca pikiranku. Aku membelalakkan mata,
lalu dia melanjutkan, "Justru mereka semua betah. Mereka pergi karena
sesuatu yang lain. Aku harus menambahkan peraturannya jika kau yang
menjadi executive assistant-ku karena kau suka membantah."
Argh, siaaaal!! Aku tak tahan lagi.
Aku langsung berdiri dari kursiku dan mulai berbicara sesuatu padanya sebelum
aku ke luar.
"Dengar, Mr. Sok Mengatur. Kau. Bukan. Justin. Yang kukenal. Titik." []
******
My Cold CEO, My Perfect Seducer is my love tribute for this beloved person:
♡♡♡
Judul lama buku ini adalah: Life Revolution, sementara judul Bahasa Indonesianya adalah: CEO Dingin Perayu Ulungku!
Versi Bahasa Inggrisnya sudah tersedia juga, ya. Ketik aja My Cold CEO, My Perfect Seducer (English Ver.) di search bar! ^_^
Ini sebenarnya sequel dari Prohibited, tapi nggak apa-apa juga kalau nggak baca Prohibited. Aku juga belum berhasil dapat file naskahnya (di aku sudah hilang total akibat laptop rusak). Dulu Prohibited itu dijadikan e-Book sama Great Writer Publisher, tapi sekarang pihak publishernya nggak bisa dihubungi lagi. Ini aja untung bisa dapat naskah Life Revolution. Huh. Perjuangan T_T
Yaelah. Dulu inget banget pertama nulis ini pas zaman SMA. Wkwk. Makanya kalau ada kesalahan penulisan, maafkanlah. Hihihi.
Ini dulu aku posting di Facebook. Awalnya posting Prohibited dulu, udah tamat baru posting cerita ini wkwkw. Ada posting fanfic One Direction juga...
Ah, indahnya masa lalu. Apa-apa posting fanfic pasti di Facebook. Wkwk. Seru banget.
Jujur, dulu Facebook-ku ramai karena aku posting cerita Me With One Direction sama cerita ini. Apalagi Justin ini beneran lagi emas-emasnya waktu itu. One Direction juga. Hahaha. Walau sebenarnya karakter asli Justin Bieber bukanlah orang yang cool atau pendiam, entah kenapa dia cocok aja jadi karakter cool.
Masuk gitu ke mukanya, ngahahaha.
Ah. Nostalgia.
Sekarang Justin malah udah punya anak. Dulu diriku mengkhayal jadi pacarnya, HAHAHAHA *ups*
Ya udahlah bang, gimana pun aku tetap cinta kamu. Walau aku sekarang ada suka juga sama artis lain, kamu tetap punya tempat spesial di hatiku dan nggak akan pernah berubah (jadi curhat). Love you always, Justin. Once a Belieber, always a Belieber.
No comments:
Post a Comment