Simple-Shot
Three :
Winter
Traveler
******
BAGI Soyoon,
musim dingin tahun ini tak ada bedanya dengan musim dingin di tahun-tahun
sebelumnya. Jalanan yang dipenuhi dengan salju, pepohonan yang seolah-olah jadi
berwarna putih, orang-orang yang memakai jaket tebal, topi kupluk, dan sarung
tangan rajut. Kantornya pun masih hectic dengan pekerjaan, hanya
dibedakan dengan orang-orang yang mulai berpakaian tebal. Gadis-gadis kantor
yang biasanya berlomba-lomba memakai rok pendek pun mendadak jadi memakai
celana panjang.
Soyoon?
Dia juga kurang lebih sama; sama dengan orang-orang itu dan juga sama dengan
tahun lalu. Dia memakai blazer dan celana panjang berwarna hitam. Rambut yang
biasa ia kucir dengan gaya ponytail, kini hanya ia gerai. Ada syal yang
melingkar di lehernya; ia juga memakai sarung tangan favoritnya yang berwarna
coklat muda. Soyoon adalah seorang gadis yang tidak tinggi, tetapi juga tidak
pendek. Tubuhnya proporsional. Baik itu tubuh maupun wajahnya, semuanya masuk
ke kategori ‘normal’ di Korea Selatan.
Rasa
dingin yang ia rasakan di musim dingin tahun ini juga kurang lebih sama.
Membekukan, seolah-olah menembus hingga ke tulang. Kalau suhunya turun beberapa
derajat lagi, mungkin Soyoon akan merasa nyeri tulang.
Meski
Soyoon tak ingin mengakuinya, sebenarnya ia merasa lebih lemah di musim dingin
karena ia…well, kesepian. Bagi orang-orang yang memiliki keluarga atau
seseorang di samping mereka, musim dingin akan terasa hangat. Mereka akan lebih
sering menghabiskan waktu bersama, saling menghangatkan. Cokelat panas, selimut
tebal, tontonan televisi… That’s very warm.
Namun,
tidak untuk orang-orang yang sendirian seperti Soyoon. Musim dingin akan
membuatnya merasa lebih kesepian. Udara dingin yang menusuk, keinginan
untuk mendekap seseorang, rasa iri yang muncul saat melihat keluarga
yang menghabiskan waktu bersama, suasana di luar yang entah mengapa terasa
begitu mencekam, sepi, dan dingin, serta rasa sedih yang
tiba-tiba muncul karena sadar bahwa dirinya hanya sendirian selama ini…
…semua
itu cukup menyakitinya.
Namun,
sudahlah. Soyoon selalu merasakan itu setiap tahun dan kini dia sudah berumur
25 tahun, jadi dia sudah dewasa dan terbiasa dengan hidupnya. Lebih ke…menerima
saja, sih.
Soyoon
keluar dari lift. Dia sampai di lantai lima, tempat di mana unit apartemennya (bukan
apartemen mewah) berada. Soyoon melewati koridor yang sepi, tidak seterang
biasanya karena ada sebuah lampu yang mati. Entah karena rusak atau apa…yang
jelas Soyoon ingat bahwa lampu itu masih hidup tadi pagi.
Namun,
dari kejauhan…Soyoon melihat ada seseorang di depan sana. Seorang pria yang
berdiri di…
…sebentar,
Soyoon harus lebih mendekat.
Ah,
pria itu ternyata berdiri di unit apartemen yang bersebelahan dengan unitnya.
Soyoon kira pria itu berdiri di depan unitnya; Soyoon kira pria itu sedang
menunggu atau mencarinya. Ternyata bukan.
Namun…bukankah
unit sebelah itu kosong? Apakah pria itu penghuni barunya?
Soyoon
berjalan semakin mendekat. Karena dia tidak memakai high heels hari ini,
suara ketukan sepatunya di lantai tidak terlalu terdengar. Mungkin, itulah
sebabnya pria itu tidak menoleh ke arahnya…atau mungkin pria itu hanya terlalu
fokus melakukan sesuatu di sana.
Semakin
didekati, Soyoon semakin bisa melihat penampilan pria itu. Pria itu memiliki
rambut lurus yang berwarna cokelat. Tubuhnya tidak terlalu besar, cukup slender,
tetapi dia tinggi. Dia memakai jaket parasut panjang berwarna hijau tua, celana
jeans berwarna navy, dan sepatu olahraga berwarna putih. Dia
memakai sebuah ransel yang berwarna hitam.
Setelah
Soyoon berada di belakang pria itu—hingga akhirnya berdiri berdampingan
dengannya—Soyoon pun paham bahwa ternyata pria itu sedang menekan-nekan password
di gagang pintunya.
Tiba-tiba,
pria itu mulai balas melihat Soyoon. Dia menoleh ke kanan, tepat ke wajah
Soyoon.
…dan
wajahnya ternyata sangat…tampan.
Dia
bukan tipe-tipe pria yang macho. Dia lebih ke…soft. Cute. Tubuhnya
terlihat seperti pria dewasa, tetapi wajahnya sangat…what is it called,
again?
Oh.
Baby face.
Pria
itu pun mulai tersenyum. Bukan, bukan senyum biasa. Dia tersenyum semringah,
menampakkan deretan gigi putihnya. Matanya nyaris tertutup, melengkung,
seolah-olah ikut tersenyum.
Hingga
akhirnya, dia mulai bersuara.
“Oh,
halo! Penghuni unit sebelah, ya? Aku penghuni baru di sini!”
Mata
Soyoon kontan melebar. Pembawaan pria itu yang cheery, sederhana,
ditambah dengan wajah tampannya yang sangat baby face, sukses membuat
cuaca dingin hari ini mendadak jadi hangat. Terang. Cerah…secerah
mentari pagi. Dia langsung mengeluarkan semacam aura berwarna kuning yang menyenangkan,
summer vibes, di hari yang bersalju ini. Keberadaannya seakan-akan langsung
membuat koridor yang lengang dan dingin itu jadi terang, hangat, dan
berwarna. Apakah kau melihat kata ‘hangat’ dan ‘terang’ berkali-kali?
Ya, tentu. Karena rasanya tak cukup jika hanya dikatakan sekali. Itu harus ditekankan
karena faktanya memang begitu.
He
looks like a dog…or a puppy. Like an innocent boy.
Kira-kira…berapa
usianya?
Kalau
dilihat dari depan begini, ternyata…pria itu memiliki poni. Rambutnya lurus dan
jatuh, menutupi keningnya. Sungguh adorable.
“A—Ah…”
Soyoon gagap karena agak…kaget sekaligus tak menyangka bahwa dia akan
mendapatkan tetangga yang sangat riang. Sangat bersahabat. Pria tampan
yang imut dan cheerful. “I—Iya. Unitku di sini. Di sebelahmu.”
Pria
itu pun mengangguk. Ia lantas mengulurkan tangannya, ingin bersalaman dengan
Soyoon. “Salam kenal, ya! Namaku Ryu!”
Oh.
What a sunshine. The full warmth amidst the cold snow.
“Uhm—ya.
Salam kenal.” Soyoon mengangguk, masih canggung. Matanya masih terbuka lebar;
dia meneguk ludahnya seraya mengulurkan tangannya dengan sedikit ragu. Namun,
karena tidak ingin terlihat seperti...terlalu overwhelmed dengan sikap
Ryu, Soyoon pun berdeham dan menormalkan ekspresinya. Dia tersenyum, lalu
berkata, “Namaku Soyoon. Salam kenal, ya.”
“Hmm!”
Ryu mengangguk. “Salam kenal, Soyoon.”
Mata
Soyoon semakin melebar.
Oh,
Tuhan. Mengapa mendengar namanya disebut oleh Ryu membuat tubuhnya terasa…aneh?
Itu seolah-olah terdengar berbeda. So soft…yet so…
…sexy.
Tunggu.
Apa yang kau pikirkan, Soyoon?
Soyoon
mencoba untuk fokus kembali. Dia sendiri tak tahu mengapa dia bisa berpikir
seperti itu. Entah karena suara Ryu yang terbilang cukup berat untuk
wajah imutnya…atau karena mata coklatnya yang jernih itu tampak bersinar saat
menatap Soyoon.
Di
kehidupan Soyoon yang terbilang sepi dan dull, kehadiran orang seperti
Ryu yang mengajaknya berbicara seperti ini…cukup membuatnya…tercengang. Tidak
dalam artian yang buruk, sebenarnya. Hanya seperti…kejutan kecil.
Seperti sedikit tersetrum di jari tangan. Cukup untuk membuat matanya terbuka
lebar.
Ada
beberapa gadis di kantornya yang selalu cheerful, tetapi mereka tak
pernah mengobrol sedekat ini dengan Soyoon. Jadi, Soyoon agak…kaget sekaligus
bingung.
Mereka
mulai bersalaman. Setelah jabatan tangan itu terlepas, pria bernama Ryu itu pun
kembali menekan-nekan sesuatu di gagang pintunya. Semacam menekan password di
sana.
Tanpa
sadar, Soyoon malah memperhatikan semua itu, lupa bahwa dia harus segera masuk
ke apartemennya untuk mandi dan beristirahat.
“Ah…aku
sedang mengganti password unitku. Pemilik apartemen ini menyuruhku untuk
menggantinya,” ujar Ryu, sadar bahwa Soyoon memperhatikannya. Soyoon langsung
tersentak, kaget sekaligus heran mengapa dia masih terpaku di depan
pintu. Dia jadi terlihat seperti ingin tahu password unit Ryu, tetangga
yang baru ia kenal.
“O—Oh,
begitu,” jawab Soyoon dengan gugup, seolah-olah ketahuan mengintip. “Y—Ya,
pemilik apartemen biasanya akan menyuruh orang yang baru masuk untuk mengganti password
unit mereka agar lebih aman dan leluasa. A—Aku duluan, ya.”
Setelah
mengatakan itu, Soyoon pun menekan password di gagang pintunya dengan sedikit
panik dan terburu-buru. Soyoon jadi bersikap seperti wanita dewasa yang awkward
menghadapi pria muda dengan full charm seperti Ryu. Seperti bertemu
dengan berondong tampan.
Eh,
siapa yang bilang kalau Ryu itu berondong? Don't judge a book by its
cover, Soyoon, Goddammit.
“Oke,
Soyoon,” jawab Ryu sambil tersenyum kepada Soyoon, tetapi Soyoon tak menoleh
lagi karena tak ingin Ryu melihat kecanggungannya. Gadis itu hanya mengangguk,
membuka pintunya dengan cepat, lalu masuk ke unit apartemennya.
Setelah
pintu apartemennya tertutup, Soyoon pun terdiam di balik pintu itu selama
beberapa detik. Dia menatap lantai apartemennya dengan tatapan tak percaya.
Musim
dingin kali ini…agaknya sedikit berbeda daripada biasanya.
******
Sejak
pertemuan pertama itu, Soyoon dan Ryu jadi sering bertemu. Dalam dua minggu
terakhir, mereka sering berpapasan di koridor; saat pergi bekerja, saat
membuang sampah, saat Soyoon pergi berbelanja, atau kadang-kadang…Soyoon akan melihat
Ryu melalui jendela apartemennya. Dia melihat Ryu berjalan di bawah sana,
memakai ransel dan jaket. By the way, jaket Ryu selalu gonta-ganti;
sepertinya, Ryu memiliki banyak jaket dengan jenis yang berbeda.
Kadang-kadang,
Ryu juga memergoki Soyoon yang melihatnya melalui jendela. Pria itu akan
mendongak, menatap Soyoon dengan mata bulatnya yang lucu, tertawa, lalu menyapa
Soyoon sambil melambaikan tangannya.
Manis
sekali.
Saat
bertemu, biasanya mereka akan mengobrol singkat. Ryu akhirnya tahu bahwa Soyoon
adalah seorang pekerja kantoran. Ryu bilang, dia juga sama; dia juga pekerja
kantoran. Namun, kantornya tidak seformal Soyoon, soalnya dia bekerja di kantor
start-up. Maka dari itu, pakaian kerja yang ia kenakan juga cukup
fleksibel.
Oh,
satu lagi. Ia…ternyata seumuran dengan Soyoon.
Meskipun Soyoon masih menghabiskan waktu sendirian
di dalam rumahnya, setidaknya di musim dingin ini…dia tidak terlalu
kesepian. Kehadiran Ryu di sebelah rumahnya telah membuat hari-harinya
berwarna. Rasa dingin dari salju yang menumpuk di luar juga tidak terasa sampai
menusuk tulang, soalnya ada sumber penghangat alami yang tinggal di
sebelah rumahnya.
Ah.
Ryu benar-benar mengubah suasana hidupnya dalam waktu yang supersingkat. Apakah
Ryu akan terus tinggal di sebelah rumahnya?
Semoga
begitu.
Malam
ini, seperti biasa…Soyoon ada di dalam apartemennya. Dia pulang sore;
sesampainya di rumah, dia akan mandi, makan malam, lalu duduk di depan televisi
sambil meminum susu hangat. Dia ingin mengecek atau memainkan ponselnya, tetapi
karena tak ingin melihat chat dari seseorang di kantornya (chat masalah
pekerjaan), dia pun memilih untuk tidak memegang ponselnya sama sekali dan
menonton televisi. Dia sudah memakai piama yang nyaman, membawa selimutnya,
lalu duduk di sofa yang ada di depan televisi.
Ah.
Nyaman sekali.
Tiba-tiba,
Soyoon mendengar suara ketukan di pintu depan. Ada seseorang yang mengetuk
pintu apartemennya.
Soyoon
kontan menoleh ke asal suara. Siapa yang berkunjung ke apartemennya malam-malam
begini?
Soyoon
pun bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke pintu depan dengan cepat seraya
menyahut, “Ya? Tunggu sebentar!”
Begitu
Soyoon membuka pintu itu, Soyoon bisa melihat bahwa yang berdiri di depan unit
apartemennya adalah Ryu.
Ryu…dengan
segala keramahannya. Pria itu berdiri di depan Soyoon, mengenakan pakaian santai
berupa t-shirt berwarna putih dan celana training berwarna hitam.
Rambutnya masih basah dan agak berantakan. Keningnya agak terlihat dan itu…luar
biasa. Ternyata, pria yang imut juga bisa terlihat seksi. Ada sesuatu yang
‘spesial’ tentang pria yang rambutnya masih basah dan berantakan.
They
kinda look…hotter?
Soyoon
meneguk ludahnya. Dia menatap Ryu dengan lekat, matanya lupa berkedip.
“Ah,
Soyoon!” sapa Ryu dengan riang. “Kau belum tidur, ‘kan? Aku membawakan
sup untukmu.”
Ryu
mengulurkan tangannya, menunjukkan sebuah mangkuk plastik yang tertutup. Soyoon
langsung menatap mangkuk plastik itu. Dia bahkan tidak sadar bahwa Syu sedari
tadi sedang membawa sebuah mangkuk besar.
“O—Oh…ya!”
Soyoon mengerjap, memfokuskan dirinya kembali. Dia pun meraih mangkuk berisi
sup itu. “Terima kasih, ya. Ini buatanmu sendiri?”
“Ah—haha!”
Ryu tertawa, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Iya. Kalau
dipikir-pikir, aku belum memberikan makanan apa pun padamu saat aku baru pindah
dua minggu yang lalu. Seharusnya aku memberikanmu sesuatu sebagai bentuk
perkenalan. Tteok, misalnya.”
Soyoon
ujung-ujungnya jadi tertawa kecil. Terhibur. “Kau ini. Tidak apa-apa kok. Ini
sudah terlambat sekali, tahu? Kau sudah dua minggu tinggal di sini.”
Ryu
tertawa kencang, kepalanya sampai mendongak. Setelah itu, ia menatap Soyoon
lagi. “Maaf, maaf. Aku lupa, sungguh. Oh, ya, kalau supnya tidak enak, beri
tahu aku, ya. Biar aku yang membuangkannya untukmu.”
Soyoon
mengernyitkan dahi; dia agak bingung. “Lho, kok begitu?”
Ryu
pun berkacak pinggang…lalu memiringkan kepalanya. Setelah itu, ia tersenyum miring.
“Ya…tidak apa-apa, sih. Kalau kau yang membuangnya, nanti aku patah hati.”
Mata
Soyoon membeliak. Pipi gadis itu langsung merona.
Me—mengapa
dia patah hati? Apa maksudnya?
Dia
sedang…menggodaku, ya?
Soyoon
buru-buru berdeham. Menggeleng. “Kau ini! Mana mungkin aku membuangnya!”
Dasar.
Terkutuklah boy-next-door yang memesona ini!
Ryu
tertawa lagi. “Ya, kan, siapa tahu supnya tidak enak bagimu. Tadi sudah
kucicip, sih. Rasanya pas kok.”
Sebentar.
Jadi…setelah
ini…Ryu akan kembali ke apartemennya dan Soyoon pun akan masuk kembali. Hingga
akhirnya, Soyoon akan…memakan sup ini sendirian.
Kok…rasanya
tidak menyenangkan, ya?
Tiba-tiba,
ada sesuatu yang melintas di otak Soyoon. Memelesat; bergerak secepat kilat di
pikirannya. Membuat tubuh Soyoon mematung. Membuat jantung Soyoon berdegup
kencang. Membuat Soyoon jadi meneguk ludahnya dengan gugup.
Pikiran
itu akan sungguh…abnormal. Sungguh nekat. Sungguh intrusive. Namun,
mungkin itu adalah buah dari hasrat yang ia tekan selama ini.
Hasrat
untuk lebih dekat dengan Ryu…
Soyoon
ingin menyuarakan pikirannya barusan. Namun, ia tahu bahwa jika ia menyuarakan
pikiran itu, ada dua hal yang mungkin akan terjadi.
Pertama,
dia dan Ryu akan menjadi lebih dekat.
Kedua,
Ryu akan menolaknya dan dia takkan bisa melihat mata Ryu secara langsung lagi
karena malu.
Soalnya,
yang melintas di pikiran Soyoon barusan adalah…
…dia
ingin mengajak Ryu makan sup itu bersamanya. Di dalam rumahnya.
Ah…ya,
benar. Dia sangat…tertarik kepada Ryu. Mungkin karena sifat Ryu yang sangat
ramah. Mungkin karena kehadiran Ryu membuat hari-harinya jadi lebih berwarna.
Mungkin karena Ryu dan dirinya bisa diibaratkan seperti…cahaya matahari yang
menerangi dan menghangatkan sebuah ruangan yang dingin dan berdebu.
Ya
sudah, deh. Ayo kita pertaruhkan.
Lanjut…atau
tidak sama sekali.
Soyoon
pun menatap Ryu dengan serius. Lekat. Sukses membuat Ryu jadi mengerjap dan
menatap Soyoon dengan mata bulatnya yang lucu. “Kenapa, Soyoon?”
Soyoon
mencoba untuk tetap tenang.
Setelah
itu, dia pun membuka suara.
“Itu…”
Napas Soyoon tertahan. “Maukah kau…memakan sup ini…bersamaku? Aku punya kimchi
juga, di dalam kulkas.”
Soyoon
bisa melihat Ryu yang langsung membulatkan matanya. Pria itu tampak
kaget; dia terdiam sebentar. Ini jelas-jelas merupakan sebuah undangan
masuk.
Keheningan
itu membuat degup jantung Soyoon menggila. Ludahnya mendadak terasa kering. Ia
tersiksa.
Akan
tetapi, tiga detik kemudian…tiba-tiba Ryu tersenyum. Pria itu memberikan
Soyoon sebuah tatapan yang sangat lembut.
Hingga
akhirnya, pria itu pun menjawab:
“Tentu
saja.”
******
Ternyata,
usaha Soyoon membuahkan hasil. Malam itu, mereka makan bersama di dalam unit
apartemen Soyoon. Sup buatan Ryu sangat enak; ada potongan ayam, wortel, dan
kentang di dalamnya. Mereka makan sambil mengobrol dan tertawa bersama. Malam
itu, ternyata Ryu sendiri belum makan sehingga perutnya berbunyi di depan
Soyoon. Hal itu membuat Soyoon tertawa lepas. Sudah lama sekali…sejak ia
tertawa dari hati seperti itu.
Ujung-ujungnya,
Soyoon jadi mengambilkan semangkuk nasi untuk Ryu; Ryu menerimanya seraya
menggaruk tengkuknya malu-malu. Pipinya agak memerah dan itu lucu sekali. Dia
pun makan dengan lahap…dan akhirnya dia mengaku bahwa sebenarnya dia masih
belajar memasak. Dia berani memberikan sup itu kepada Soyoon setelah
benar-benar memastikan bahwa sup itu terasa enak atau setidaknya pantas untuk
dimakan. Hal itu tentu semakin membuat hati Soyoon tersentuh. Akhirnya, dengan
impulsif, Soyoon pun menawarkan dirinya untuk menjadi tester pertama setiap
masakan Ryu.
Ryu,
pria manis yang polos itu, jelas terlihat gembira. Dia langsung bersemangat dan
berkata bahwa dia akan berusaha dengan keras.
“Mulai
sekarang, aku akan memberikanmu berbagai jenis makanan buatanku. Berikan
tanggapanmu, ya!”
Begitu
katanya.
Sejak
malam itu, hubungan Soyoon dan Ryu jadi semakin dekat. Ryu jadi sering datang
ke apartemen Soyoon, mampir di malam hari hanya untuk mengobrol, memakan cookie
sambil meminum cokelat panas, makan malam bersama, dan menonton film horror.
Hari demi hari, waktu bersama Ryu menjadi sesuatu yang terasa…familier.
Sesuatu yang sangat istimewa di mata Soyoon. Padahal, mereka belum terlalu lama
kenal.
Jadi…begini
rasanya menghabiskan musim dingin bersama seseorang. Berbagi kehangatan
dengan seseorang. Duduk di sofa dengan berbagi selimut yang sama, menonton film
dan terkadang kaget bersama akibat adegan twist yang tak
disangka-sangka, lalu tertawa terbahak-bahak. Kadang-kadang, Soyoon tertidur di
tengah-tengah film dan bersandar di bahu Ryu.
Ryu
pun sering menginap di apartemen Soyoon; tidur di sofa ruang tamu Soyoon.
Soyoon pernah terpikir untuk mengajak Ryu tidur bersama di kamarnya, tetapi dia
berubah pikiran. Bukankah itu terlalu cepat? Nanti dia jadi terdengar
seperti orang mesum.
Akan
tetapi, entah mengapa…setiap kali Soyoon bertanya kapan ia bisa gantian mampir
atau menginap di apartemen Ryu, pria itu selalu menolaknya. Tidak, bukan
penolakan yang keras. Lebih seperti…menolak karena malu. Penolakan halus dengan
alasan, “Nanti, ya. Setelah apartemenku terlihat lebih bagus daripada
sekarang. Setidaknya lebih nyaman untuk menerima tamu. Aku malu padamu,
soalnya.”
Walau
Soyoon memaksanya dengan berkata tidak apa-apa, Ryu tetap menolak.
Kadang-kadang, dia menolak sambil menggaruk tengkuknya karena malu;
kadang-kadang juga, dia akan menolak Soyoon sambil memberikan rayuan seperti: ‘Aku
takut kalau kau datang ke apartemenku, nanti aku jadi berpikiran mesum.’
Alhasil,
pipi Soyoon jadi semerah delima. Gadis itu lantas memukuli dada Ryu—jengkel
karena dibuat salah tingkah—dan Ryu tertawa lepas.
Well,
musim
dingin tahun ini rasanya…
…luar
biasa.
Seperti
hari ini. Suatu malam di akhir bulan Januari, di mana suhu masih sangat rendah,
kehangatan yang Ryu berikan seolah-olah menepis seluruh rasa dingin itu. Bukan
hanya tubuh Soyoon yang menjadi hangat, melainkan juga hatinya.
Jadi,
malam ini…Ryu juga datang ke apartemen Soyoon. Menonton film bersama Soyoon.
Sebenarnya, tubuh Soyoon pegal-pegal semua karena pekerjaannya hari ini banyak
sekali. Namun, kehadiran Ryu di apartemennya telah menjadi sesuatu yang biasa
terjadi akhir-akhir ini; dia juga tak mau menolak kehadiran Ryu. Di
tengah-tengah kebekuan dan kekosongan hidupnya, Ryu hadir bak permata yang
bersinar.
Soyoon,
orang kantoran yang lelah, merasa rumahnya mulai ‘diisi’.
Ryu
menoleh kepada Soyoon yang duduk di sebelahnya. Soyoon menonton film bersamanya,
tetapi mata gadis itu tampak begitu lelah. Ryu bisa melihat kantung matanya.
Ryu
tersenyum. Pria itu mulai meraih Soyoon, lalu menyandarkan kepala gadis itu pada
bahu sebelah kirinya. “Sini. Bersandar di bahuku saja kalau lelah.”
Mata
Soyoon melebar. Pipinya merona. Ia langsung menoleh kepada Ryu—kepalanya masih
bersandar pada bahu Ryu—dan berkata, “Kelihatan, ya?”
Ryu
ikut menatap Soyoon, membuat jarak wajah mereka jadi dekat sekali. Dekat…sampai
Soyoon bisa mendengar dan merasakan napas Ryu.
Ryu
tertawa kecil. Lembut sekali. Penuh kasih sayang. “Iyaaa, Soyoon. Matamu
terlihat lelah. Aku sudah menyuruhmu tidur sejak tadi, tetapi kau tak mau.” Ryu
mencolek hidung Soyoon pelan.
Soyoon
mengerucutkan bibirnya. Ngambek. “Aku belum mengantuk kok.”
Belum
mengantuk, soalnya kau ada di sini…
“Kalau
begitu, mau kubuatkan sesuatu? Kopi hangat, misalnya,” ujar Ryu. Dia tersenyum dengan
sangat…manis. “Kau punya stok kopi, ‘kan, di dapur?”
Mata
Soyoon membulat.
Kok…Ryu…tahu?
Soalnya,
selama ini Soyoonlah yang menyiapkan minuman untuk mereka berdua…dan itu bukan
kopi! Kalau Ryu makan malam di sini pun, biasanya Soyoon akan melarang Ryu
membantunya menyiapkan makanan. Paling-paling, Ryu hanya membantunya mencuci
piring. Itu pun, cuci piringnya berdua.
But
then again, Ryu sering tidur di apartemennya. Itu
tidak mengherankan.
“Kok
tahu?” tanya Soyoon, impulsif. “Kau suka menggeledah dapurku, ya?”
Ryu
tertawa kencang.
Lah???
Beberapa
detik kemudian, Ryu berhenti tertawa. Pria itu mulai menoleh kepada
Soyoon, tersenyum simpul…dan menatap Soyoon dengan begitu dalam.
Tatapannya
tak bisa diartikan.
Dia
seolah-olah sedang mencari sesuatu di kedua bola mata Soyoon. Menyelami dunia
di balik bola mata itu, menembus hingga ke jiwa Soyoon.
Hingga
kemudian, dengan suara lirihnya…dia pun menjawab.
“Aku
memperhatikan banyak hal, Soyoon…”
Entah
apa sebabnya, tiba-tiba tubuh Soyoon mematung. Dia menatap Ryu dengan mata yang
melebar; napasnya mendadak tersekat di tenggorokan. Jantungnya serasa berhenti
berdegup.
Akan
tetapi, dia sendiri membatin.
Mengapa
tubuhnya bereaksi seperti ini?
Padahal,
Ryu tidak bermaksud apa-apa. Ryu hanya sedang…menggodanya, bukan?
Isn’t
this some kind of…sexual tension?
Then
why is my body reacting like this?
Soyoon
menggeleng cepat. Ini pasti karena dia tidak terbiasa dengan atmosfer intim
seperti ini. Dia jadi merasa bersalah kepada Ryu.
Seraya
mencoba untuk menormalkan dirinya kembali, Soyoon pun menepuk paha Ryu pelan.
“Dasar.”
Ryu
kembali tertawa.
Akhirnya,
Soyoon pun kembali duduk dengan benar; dia tidak lagi bersandar pada Ryu.
Namun, dia kini menghadap ke arah Ryu.
Melihat
pergerakan Soyoon, Ryu pun bereaksi. Pria itu mulai mendekatkan dirinya kepada
Soyoon, sangat dekat, hingga paha dan betis mereka bersentuhan. Mereka
duduk berhadapan, lalu Ryu meraih kedua tangan Soyoon.
Pria
itu meremas tangan Soyoon dengan lembut. Seraya tersenyum, ia pun berkata,
“Tanganmu hangat.”
Mereka
mulai bertatapan. Soyoon bisa melihat mata cokelat terang milik Ryu yang memantulkan
dirinya seorang. Bak berkaca di mata seseorang yang sangat jernih…dan kau
menemukan bahwa kaulah satu-satunya objek di mata itu.
Seakan-akan…Soyoon
masuk ke kedua mata itu, merasa nyaman berada di dalamnya, lalu tanpa sadar terperangkap
selama-lamanya.
Soyoon
meneguk ludahnya gugup.
Untuk
menghilangkan tension yang sangat berat itu, Soyoon pun berdeham. Gadis
itu mulai mengalihkan pembicaraan, sedikit bercanda. Dia ingin mencairkan
suasana karena tak terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Dia pun bingung; bukankah
ini hal yang ia harapkan selama ini?
“H—Hei.
Bukankah kau sudah sering datang ke rumahku? Sampai-sampai tahu kalau aku
menyimpan kopi,” ujar Soyoon dengan nada setengah bercanda dan setengah protes.
Soyoon juga menahan senyumnya (sekaligus menahan rona yang nyaris muncul di
pipinya). “Jadi, kapan aku bisa mampir atau menginap di apartemenmu?”
Ryu
tertawa kecil. Pria itu mulai menyandarkan separuh tubuhnya ke sandaran sofa,
lalu memiringkan kepalanya. “Hmmm… Kau penasaran sekali, ya, dengan rumahku.
Atau kita coba mandi berdua saja, di sana?”
“Tsk!”
decak Soyoon, gadis itu langsung memukul bahu Ryu, membuat Ryu kembali tertawa
sambil menghalang-halangi pukulan Soyoon dengan tangannya. “Aku serius, lho,
Ryu!”
Setelah
berhenti tertawa, Ryu pun menghela napas. Dia diam sejenak…lalu tersenyum
kepada Soyoon. “Rumahku kosong. Belum banyak furniturnya. Kau pasti bosan.”
Soyoon
mendengkus. “Kau pikir aku orang yang memedulikan semua itu? Kan aku hanya
ingin datang ke sana. Aku ingin melihat apartemenmu.”
Ryu
diam.
Hanya
tatapannyalah…yang semakin lama…
...semakin
memenjarakan.
Soyoon
sempat menahan napas karena agak kaget dengan tatapan Ryu itu.
Hingga
kemudian, Ryu membuka suara.
“Belum
waktunya, Soyoon.”
Meskipun
jantungnya berdebar karena kalimat serta suara Ryu yang berat dan husky
itu, Soyoon tetap mencoba untuk fokus. Gadis itu mulai mendesak. “Apa?
Karena furniturnya belum banyak? Memangnya harus sebanyak apaaaa?!”
Lagi-lagi
Ryu tertawa. “Minimal aku harus membeli PlayStation atau beberapa boneka.”
Soyoon
memutar bola matanya. “Kau pikir aku anak-anak?”
“Iya.
Seperti anak-anak. Bukankah piamamu selalu bergambar boneka? Kau punya sekitar
lima piama dan semuanya bergambar boneka,” jawab Ryu sekenanya.
Pipi
Soyoon merona. “Mengapa kau memperhatikan hal-hal yang tidak perlu, sih?!”
“Bagiku
itu perlu.”
“Tutup
mulutmu dan jawab aku dengan serius.”
“Aku
serius. Kau ingin aku menghitung berapa blazer yang sering kau pakai?”
“Bukan
itu maksudku!!” teriak Soyoon. Dia memijit keningnya frustrasi, sukses membuat
Ryu tertawa lagi. Agaknya, malam ini pria itu jadi banyak tertawa.
Soyoon
langsung menatap Ryu dengan serius. “Aku hanya ingin tahu kapan aku bisa datang
ke rumahmu. Rasanya kok susah sekali, sih, padahal rumahmu ada di sebelah.”
Perlahan-lahan,
Ryu pun berhenti tertawa. Untuk beberapa detik lamanya, pria itu hanya diam.
Duduk di depan Soyoon, masih memperhatikan wajah Soyoon dengan lekat…dan
tatapannya sukar diartikan.
Ruang
tamu apartemen Soyoon cukup luas, tetapi mengapa bila berada di jangkauan mata
Ryu, mendadak ruangan itu terasa sangat sempit?
Ryu
menghela napas.
Pria
itu pun tersenyum.
“Kita
masih punya banyak waktu, sebenarnya. Musim dingin pun belum berakhir.
Namun…baiklah. Kau boleh datang ke apartemenku besok.”
Mata
Soyoon membulat.
Betulan,
nih?
Dia
benar-benar diperbolehkan kali ini?
Saking
terbiasanya ditolak, Soyoon jadi agak kaget ketika diperbolehkan.
Namun…sebentar.
Apa
hubungannya dengan musim dingin? Apakah Ryu ingin Soyoon datang ke
rumahnya saat musim dingin berakhir supaya Soyoon tidak kedinginan? Soalnya,
kan, katanya apartemennya kosong.
Ah,
bodo amat, deh. Yang penting Soyoon sudah diizinkan. Soyoon sudah boleh
mampir dan menginap di rumah Ryu.
Jantung
Soyoon jadi berdebar. Dia senang sekali.
Seraya
tersenyum riang, dia pun menjawab, “Serius, ‘kan? Betulan boleh, ‘kan?”
“Hmm.”
Ryu mengangguk pelan. “Kau boleh datang ke apartemenku besok.”
“Yesss!”
Soyoon
bersorak, lalu tertawa. Membuat Ryu mengusap kepalanya dengan penuh kasih.
“Besok weekend, tetapi paginya aku punya janji dengan teman sekantorku.
Mau menonton bioskop dan pergi ke tempat karaoke. Aku akan datang ke rumahmu
sore harinya. Oke?”
Ryu
tersenyum. Pria itu mulai memegang rahang Soyoon…lalu mengusap pipi Soyoon
dengan ibu jarinya. “Baiklah. Aku akan menyambutmu dengan baik. Take
your time…as long as you need. Aku akan menunggumu.”
Jantung
Soyoon semakin berdegup kencang. Gila-gilaan. Warna merah mulai menyebar di
wajahnya. Lidahnya kelu. Ia tak bisa memikirkan apa pun, seolah-olah otaknya
berhenti berfungsi. Seolah-olah ada sirkuit di dalam dirinya yang rusak.
Mengapa
suara Ryu…terdengar sangat seduktif?
Mengapa
pria berwajah imut itu…menatap Soyoon dengan begitu intens?
Tatapannya
penuh rahasia. Penuh penantian. Penuh…
…hasrat.
Tubuh
Soyoon mendadak panas. Keintiman itu didukung pula dengan wajah Ryu yang
terlalu dekat dengan wajahnya. Selain itu, embusan napas Ryu juga…mengenai
kulit wajahnya.
Hangat.
Hangat sekali.
Terlalu
dekat…
Akhirnya,
karena gugup, Soyoon pun refleks memegang kedua bahu Ryu dan mendorong Ryu
menjauh darinya. Ryu agak kaget, tetapi pria itu tiba-tiba mendengar Soyoon
berbicara padanya dengan suara keras. Gadis itu agaknya putus asa; wajahnya
sangat merah.
“Oke,
oke!” teriak Soyoon panik. “T—Tunggu, ya. Kau cukup menunggu di apartemenmu.
Aku akan datang ke sana besok sore.”
Mata
Ryu membulat sempurna. Ia terdiam sebentar, lalu…mulai tertawa kecil. Tawa
kecilnya itu sukses membuat rona di wajah Soyoon jadi sampai ke telinga. Otak
gadis itu rasanya mau meledak karena overheating.
“Baiklah,
Soyoon. Kutunggu, ya.”
******
Keesokan
harinya, Soyoon sampai di apartemennya sekitar jam empat sore. Dia pulang lebih
awal, padahal sebenarnya teman-temannya masih ingin pergi ke café untuk
minum kopi sambil mengobrol. Karena Soyoon punya sebuah ‘janji’ (yang ia rahasiakan),
dengan terpaksa teman-temannya pun memperbolehkannya pulang duluan.
Tentu
saja, Soyoon harus menepati omongannya kepada Ryu. Bukan karena terpaksa,
melainkan karena…well, jelas karena dia ingin! Dia telah menanti
saat-saat ini. Mampir ke apartemen Ryu.
Dia
juga sudah membeli sekotak dessert untuk dibawa ke apartemen Ryu.
Soyoon
melempar tasnya sembarangan ke ranjang, lalu berlari mengambil handuknya yang
ada di lemari. Dia melakukan itu dengan excited, terburu-buru, dan
senyum-senyum sendiri. Rasanya berbunga-bunga sekali.
Nanti
malam dia menginap tidak, ya, di apartemennya Ryu?
Memikirkan
itu, Soyoon jadi salah tingkah. Ia menepuk-nepuk pipinya yang merona, lalu
menggeleng dan berbisik, “Apa-apaan, sih?”
Soyoon
tertawa kecil—menyadari kebodohannya—lalu masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan
dirinya dengan baik, tetapi tidak terlalu menghabiskan waktu.
Selesai
mandi, ia pun memilih baju yang akan ia pakai. Ia bolak-balik menyibak dan melihat-lihat
seluruh bajunya di dalam lemari, tetapi mengapa rasanya sulit sekali? Hei,
bukankah dia hanya ingin pergi ke rumah sebelah? Ini bukan kencan, ‘kan?
Aaaghh!
Well,
Soyoon
hanya ingin terlihat…lebih cantik.
Mana,
ya, pakaian yang cantik, tetapi tetap terlihat cukup santai untuk dipakai di
rumah?
Setelah
sepuluh menit mencari, akhirnya Soyoon memilih sebuah atasan berwarna abu-abu yang
pas di tubuhnya. Ia juga memakai celana panjang longgar dengan warna yang sama.
Kalau begini, kan, dia tetap terlihat santai, tetapi lebih cantik daripada
sekadar memakai piama.
Soyoon
pun bersiap-siap. Ia menyisir rambutnya dengan baik, sedikit memakai bedak,
lalu memakai bando. Akhirnya, sekitar jam lima kurang sepuluh menit, Soyoon pun
siap pergi ke sebelah. Ke apartemen Ryu.
Setelah
meraih dessert yang sudah ia beli tadi, Soyoon pun keluar dari unit
apartemennya. Semua pintu unit di gedung apartemen itu memakai sistem smart
lock sehingga pintu akan otomatis terkunci apabila tertutup.
Hanya
butuh satu langkah untuk sampai di depan pintu apartemen Ryu. Soyoon
berdiri di depan pintu itu; sebelah tangannya memegang sekotak dessert yang
dibungkus dengan tote bag berwarna putih.
Soyoon
menarik napas…lalu mengeluarkannya perlahan. Hal itu ia lakukan sebanyak dua
kali agar merasa tenang. Agar degup jantungnya sedikit…melambat.
Ia
gugup sekali, padahal ia sudah biasa bertemu dengan Ryu. Mungkin karena ini adalah
pertama kalinya ia datang ke kediaman Ryu. Masuk ke zona Ryu. Milik Ryu.
Soyoon
pun mengetuk pintu itu. Tiga kali.
Tidak
ada jawaban.
Mata
Soyoon sedikit melebar. Mungkin Ryu tidak dengar.
Soyoon
lantas mengetuk pintunya lagi. Lebih keras. Tiga kali.
Hingga
akhirnya, gadis itu mendengar suara pintu yang terbuka. Pintu itu kini terbuka.
…dan
di sana terlihatlah Ryu.
Pria
itu berdiri seraya memegang gagang pintu unitnya. Dia memakai sebuah jaket
kulit berwarna hitam—apakah dia baru pulang dari suatu tempat?—dan
tersenyum kepada Soyoon.
“Ayo
masuk,” ajak Ryu dengan tenang. Senyuman di wajahnya belum pudar.
Entah
mengapa, mendadak Soyoon jadi gugup lagi. Ryu dengan jaket kulit berwarna hitam
itu…terlihat sangat macho. Berbeda dengan sosok yang selama ini sering
memakai sweater atau t-shirt polos saat berada di apartemen
Soyoon.
“Uh—hm,”
deham Soyoon. Dia jadi gagal fokus karena wajah serta penampilan Ryu hari ini.
Apakah Ryu juga mempersiapkan diri, sama sepertinya?
Kalau
benar begitu, Soyoon akan sangat senang.
Ketika
Ryu menggeser tubuhnya ke sisi, Soyoon pun melangkah masuk. Gadis itu berusaha
untuk menyembunyikan kegugupannya; dia meremas tangannya sendiri karena
telapaknya mulai terasa berkeringat.
Pelan-pelan,
Soyoon melangkah ke depan. Memasuki ruang tamu. Meninggalkan Ryu di
belakangnya.
Namun,
hal pertama yang Soyoon sadari adalah:
…apartemen
itu gelap.
Baiklah.
Seharusnya Soyoon sadar hal ini sejak pertama kali Ryu membuka pintu unitnya.
Namun, tadi Soyoon terlalu fokus melihat wajah dan penampilan Ryu sampai-sampai
dia tidak sadar bahwa apartemen Ryu sangat gelap.
Apa
lampunya dimatikan?
Hanya
ada sedikit cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela di ujung sana.
Menembus melalui jendela yang tertutup dan dilapisi dengan gorden. Namun,
cahaya oranyenya masih bisa masuk, sedikit memberikan pencahayaan pada
apartemen itu.
Namun,
hanya sedikit. Tidak cukup untuk melihat seluruh ruangan dengan jelas.
Mengapa
Ryu tidak menghidupkan lampunya?
Selain
itu, ada satu hal lagi yang Soyoon sadari.
Rumah
itu minim furnitur.
Well,
Ryu
sudah bicara soal itu, tetapi…
…ini
benar-benar minim. Bisa dihitung dengan jari.
Hanya
ada sebuah meja dan kursi kayu, serta sebuah lemari kecil di ujung sana. Lantainya
diberi karpet berwarna cokelat, dan ada…beberapa bingkai foto yang tergantung
di dinding sebelah jendela.
Selain
itu, apartemen ini…
…rapi.
Benar-benar rapi.
Seperti
tak pernah disentuh.
Seperti
tak berkehidupan…
Rumah
itu dingin. Iya, Soyoon tahu bahwa di luar sedang turun salju,
tetapi…apakah pemanas di rumah Ryu tidak dihidupkan? Apakah Ryu berada di ruangan
seperti ini sejak tadi pagi?
Gelap,
dingin…dan sangat rapi.
Apakah
Ryu benar-benar tidur di sini?
Soyoon
pun semakin melangkah masuk. Kakinya menapak lantai yang dingin itu pelan-pelan,
berhati-hati, tetapi ia tetap maju. Meskipun ada sebuah kegelisahan,
sebuah perasaan mencekam yang tak bisa dijelaskan, dan setitik rasa curiga yang
tiba-tiba merangkak ke dalam dirinya, ia ingin masuk. Ia ingin tahu. Ia
ingin melihat dengan lebih jelas.
Soyoon
tak tahu mengapa, tetapi tiba-tiba…tengkuknya terasa dingin. Bulu kuduknya
berdiri. Jantungnya masih berdegup kencang, tetapi kini…berubah haluan. Seperti
memiliki sebab yang berbeda. Apakah karena ruangan ini terlihat gelap, sepi,
dan dingin?
Lagi
pula,
…apakah
Ryu masih ada di belakangnya?
Beberapa
detik kemudian, saat Soyoon semakin mendekati ujung ruangan, mata Soyoon mendadak
menangkap sesuatu.
Satu
bingkai foto dirinya.
Tergantung
di dinding sebelah jendela.
Mata
Soyoon membeliak.
Itu
adalah foto…
…yang
ia pajang di nakas.
Fotonya
bersama kucingnya yang sudah mati.
Mengapa
Ryu…punya foto itu?
Ryu
tak pernah masuk ke kamarnya!
Soyoon
meneguk ludah. Detak jantungnya terdengar sangat kencang dan tak keruan.
Ia
mulai melihat lagi. Ke bingkai foto yang ada di sebelah foto itu.
Tadi,
dari kejauhan, Soyoon hanya melihat beberapa bingkai foto. Namun, setelah
didekati, ternyata…
…dinding
itu dipenuhi dengan foto.
Penuh,
sangat penuh.
Sampai
ke atas.
Soyoon
langsung melihat ke bingkai foto selanjutnya. Tanpa sadar mencari potret
dirinya lagi.
…dan
dia menemukan satu.
…lalu
dua.
Tiga.
Empat.
…dan
akhirnya…
…seluruh
dinding.
Semuanya
adalah
fotonya.
Ada
yang berbingkai. Ada yang hanya ditempel menggunakan sellotape.
Fotonya
saat sedang tertawa.
Fotonya
saat sedang berbelanja.
Fotonya
saat sedang melihat ke luar jendela.
Fotonya
saat sedang pergi bekerja.
Fotonya
saat sedang berjalan pulang dari kantornya.
Fotonya
saat sedang mengobrol dengan laki-laki di pedestrian crossing, menunggu
untuk menyeberang.
Dari
depan.
Dari
belakang.
…dan…
…fotonya
saat sedang tidur.
Tubuh
Soyoon spontan mematung. Napasnya tersekat di tenggorokan. Jantungnya
yang tadinya berdegup kencang…kini seakan-akan berhenti berdegup.
Sunyi.
Sangat sunyi.
Dada
Soyoon sesak. Wajahnya pucat. Ludahnya kering; pita suaranya seolah-olah
terputus. Seluruh tubuhnya jadi luar biasa dingin.
Pikirannya
kacau. Banyak bisikan di kepalanya yang mengatakan, ‘Lari! Lari! Lari!’,
tetapi ia tak bisa bergerak. Betisnya—betisnya terasa lemas.
Apa—apa
yang sedang ia lihat?
Itu—semua
foto itu—apa?
Soyoon
tak mampu bernapas; oksigen di ruangan itu mendadak serasa menipis. Matanya melebar
sempurna, penuh rasa takut dan tak percaya. Dia dikelilingi oleh
teror.
…dan
seolah semua mimpi buruk itu belum cukup,
…suara
Ryu tiba-tiba terdengar.
“Aku
sudah
bilang padamu, ‘kan? Bahwa musim dingin belum berakhir...”
Soyoon
tersentak.
Suara
itu terdengar semakin dekat…kata demi kata. Namun, bunyi langkahnya sama
sekali tak terdengar.
Soyoon
tak bisa bergerak.
Tote
bag berisi
sekotak dessert yang ia bawa akhirnya terjatuh ke lantai. Tangannya
mulai bergetar hebat; ia tak sanggup menggenggam atau menahan berat tote bag
itu.
Suara
Ryu terdengar begitu…dingin.
Tiada
lagi kehangatan yang selalu Soyoon rasakan darinya. Tidak ada lagi nada bersahabat;
tidak ada lagi kelembutan yang mengalir dari suara itu.
Suara
beratnya justru membuat suhu ruangan itu jadi semakin membekukan. Di ruangan
yang nyaris kosong, rapi, dan dingin itu…suaranya menggema.
Tanpa
empati.
Kedua
kaki Soyoon seakan-akan terpasak ke bumi.
Hingga kemudian, gadis itu kembali mendengar
suara Ryu…
…yang
kali ini tepat di belakangnya.
“Kita
masih punya banyak waktu. Belum waktunya kau ke sini, Soyoon…”
Sekarang,
rasa takut sudah benar-benar menguasai Soyoon. Tubuhnya memang bergetar
hebat, tetapi ia tetap berdiri di tempat. Seolah-olah ia akan terbunuh apabila
ia bergerak sedikit saja. Ia tak bisa menoleh. Ia tak berani menoleh ke
belakang.
Hingga
tiba-tiba, dari sudut matanya, Soyoon melihat Ryu beranjak ke
sampingnya. Berdiri di sampingnya.
Soyoon
tersentak; air matanya mulai mengalir. Namun, meskipun lehernya serasa
tercekik, meskipun dadanya sesak, meskipun tangan dan kakinya sudah lemas,
Soyoon tetap menatap ke depan. Melihat ke barisan foto-foto itu dengan
penuh kengerian. Ia tak bisa menoleh. Ia tak mau menoleh.
Ryu
mulai kembali berbicara.
“Aku
selalu berkeliling setiap tahun. Di musim dingin,” ujarnya dengan
tenang. Sangat tenang. “Musim dingin selalu membuatku…merasa berbeda.
Aku menyukai rasa dinginnya yang merangkak hingga menembus tulang, aku
suka kesepian yang diperlihatkan oleh beberapa orang…serta kehangatan di
beberapa orang lainnya. Aku bisa melihat berbagai macam hal di musim
dingin. Ada kebahagiaan…serta kesepian. Ada kehidupan…serta kematian yang
terjadi secara perlahan.”
Ryu
tersenyum tipis. Begitu tipis. “Maka dari itu, di musim dingin…aku pasti
akan berkeliling…dan mencari sesuatu yang kusukai.”
Ryu
pun menghadap ke arah Soyoon…
…dan
Soyoon merasakannya. Soyoon tahu bahwa pria itu kini menghadap ke
arahnya.
Gadis
itu spontan menahan napasnya. Tanpa sadar, dia menghentikan napasnya sendiri
secara paksa. Ia tak mau—ia tak mau Ryu melihatnya bergerak meski
sedikit saja!
Darah
seakan tak mengalir lagi di wajahnya. Ludahnya sukar ditelan.
Di
sisi lain, Ryu masih tersenyum. Senyum tipis itu tak goyah. Tak terganggu
sama sekali.
“Musim
dingin tak pernah mengkhianatiku. Ia memberiku waktu. Ia memberiku ketenangan,”
ujar pria itu kemudian. Suaranya terdengar begitu…lirih.
Seolah-olah
diucapkan dengan penuh cinta…
…dan
kasih sayang…
…yang
bengkok.
Sakit.
Sinting.
“Setiap
tahun, aku menemukan seseorang. Namun, tidak semua orang bisa kubawa ke musim
semi.”
Ryu
pun melangkah ke depan Soyoon.
Langkahnya
pelan…tak bersuara…tetapi terasa seperti gong kematian.
Mata
Soyoon membeliak. Air matanya mengalir semakin deras. Kini, seluruh tubuhnya kembali
bergetar hebat. Suara tangis yang setengah mati ia tahan itu mulai keluar
dengan terputus-putus. Sedikit-sedikit. Seperti sedang sekarat dan kehabisan
napas.
Seperti
ada tali yang melingkar di lehernya, mengikatnya dengan kuat.
Dia
tercekik.
Kini,
Ryu sudah berdiri tepat di depannya. Sekitar empat jengkal di depannya.
“Kau
datang terlalu cepat, Soyoon… Musim dingin belum berakhir.” Ryu mendadak
menghilangkan senyumnya. Hilang begitu saja, tak berbekas. Seolah-olah
tak pernah ada di sana. Senyum itu digantikan dengan tatapan matanya yang
tiba-tiba menjadi sangat dingin. Penuh intimidasi. Mengerikan. Tidak ada jejak kemanusiaan
di sana.
Sepenuhnya…monster.
Monster
yang sedang menatap targetnya.
Dia
memancarkan aura membunuh. Hitam pekat.
“Maka
dari itu, aku belum memutuskan…” Mata Ryu melebar penuh teror. Pria itu kemudian
memiringkan kepalanya. “Aku belum tahu apakah aku akan memelukmu...atau menghilangkanmu.”
Saat
itulah, seluruh pertahanan Soyoon runtuh.
Seluruh
energinya terserap habis.
Kakinya
kehilangan kekuatan.
Ia
pun terjatuh begitu saja ke lantai.
Terduduk…bersimpuh.
Matanya
masih melebar tak percaya; dia terus berharap dalam hatinya, terus berdoa di
dalam keputusasaannya…bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Semua
ini akan berlalu.
Benar.
Ryu
tidak seperti ini.
Ryu
adalah pria tampan di sebelah rumahnya…yang ia sukai.
Ini
pasti tidak nyata.
Namun,
meski banyak doa telah ia panjatkan di dalam diamnya, di dalam seluruh
ketakutannya, ia bisa melihat Ryu…yang mulai mendekatinya.
Sepatu
Ryu yang berwarna hitam itu…mulai menapak lantai…yang ada di dekatnya. Di depan
matanya.
Setelah
itu, Ryu mulai berjongkok.
Soyoon
sudah menangis sesenggukan. Tubuhnya kehilangan kuasa…seolah-olah malaikat maut
telah menjemputnya.
Tak
ada jalan keluar. Ia terperangkap. Terpenjara.
Ia
ternyata…melangkah masuk ke sarang iblis, lalu terkunci di dalamnya.
Hingga
kemudian, perlahan-lahan…
Ryu
mulai memajukan tubuhnya,
…tersenyum
miring,
…dan
berbisik di telinga kanan Soyoon.
“Soyoon...apakah
kehangatanmu bisa kubawa hingga ke musim semi?” tanyanya. “Atau kau hanyalah
lilin kecil lain yang harus kupadamkan?” []