******
Bab
8 :
Sebuah
Memori
******
EMBUSAN napas
Syakila terdengar jelas di telinga Aldo meskipun jarak di antara mereka adalah sekitar satu meter.
Sudah nyaris lima menit mereka berbicara di bawah pohon eucalyptus yang
tumbuh tinggi di belakang sekolah itu, membicarakan sesuatu yang sama sekali
tak ingin Aldo bahas. Ini sebenarnya tak penting bagi Aldo, tetapi
karena Syakila memohon untuk membahasnya, Aldo pun menyetujuinya dengan pikiran
seperti, 'Ya sudah', lalu berakhirlah mereka di bawah pohon itu.
Akan tetapi, sesuai dengan prediksi Aldo...
Syakila
akan menanyakan hal ini.
Cewek
itu, Syakila, menunduk lesu sembari mengepalkan tangannya yang
tampak gemetar. Ia berusaha untuk berbicara meski ia tak tahu apakah Aldo—yang
sudah mau berbalik itu—masih ingin mendengarkannya atau tidak. Ia pun membuka
mulutnya, lalu mengucapkan beberapa patah kata dengan harapan bahwa Aldo akan
mendengarnya, "Aldo, lo... Lo bukan Aldo yang biasanya."
Aldo
sedikit menyipitkan matanya, kemudian cowok itu perlahan berbalik untuk menatap
Syakila kembali. Syakila tampak benar-benar kesulitan.
"Maksudnya?"
Syakila
kemudian mengangkat wajahnya. Wajahnya tampak begitu redup; tatapan matanya tampak
begitu nelangsa. Matanya memerah dan berkaca-kaca.
Aldo
melebarkan matanya samar.
"Lo
nggak pernah marahin gue kayak gini, Aldo. Gue juga nggak percaya
kalo lo bisa jadian gitu aja sama Nadya..." Syakila menggelengkan
kepalanya. "Lo... Lo nggak pernah sekali pun keliatan ngobrol sama dia
sebelumnya. Lo pasti jadian karena sesuatu. Nggak mungkin, ‘kan, lo suka sama
dia? Iya...‘kan?"
Aldo
menghela napas. "Sya, gue nggak mungkin ngasih tau lo tiap kali gue suka
sama seseorang. Lagian, wajar kalo gue marahin lo, soalnya..."
Tatapan
Aldo tiba-tiba berubah. Mata yang jernih dan selalu terlihat melengkung karena
senyuman yang tulus itu kini menggelap. Menatap tajam dan penuh amarah. Mata
itu kini tak lagi mencerminkan sosok Aldo yang baik hati.
Aldo
mendekati Syakila. Cowok itu lalu memiringkan kepalanya, menyamakan tatapannya
dengan Syakila yang lebih pendek darinya. Cowok itu lalu berkata dengan tajam,
"...lo udah ganggu Nadya. Lo udah ganggu dia dan gue tau
semua itu."
"Hah."
Syakila mulai jemu dan ia tertawa hambar dengan wajahnya yang sembap itu. Ternyata
sosoknya yang bak bidadari bisa tertawa sehambar itu. Paras cantiknya begitu
memukau, tetapi di mata Aldo, tak ada lagi keindahan yang bisa dilihat dari
dirinya. Syakila lalu berkata dengan putus asa, "Itu lagi? Lo udah
berkata-kata tajam ke gue sejak tadi gara-gara lo tau kalo semua hal yang
menimpa Nadya itu pelakunya adalah gue. Mulai dari
sengaja smash bola voli ke kepala Nadya sampai Nadya masuk
UKS, ngehilangin buku PR Kimia Nadya, dan..."
Mata
Aldo menyipit tajam, melanjutkan perkataan Syakila, "...dan kalo misalnya
gue nggak menduplikat kunci loker Nadya buat ngecek lokernya
pagi ini, gue nggak akan tau kalo lo ngumpulin surat-surat
kebencian dari orang-orang yang iri sama Nadya, lalu masukin semua surat itu ke
loker Nadya. Gue bersyukur gue dateng duluan pagi ini dan berhasil ngebuang
semua itu sebelum Nadya dateng."
Syakila
menggigit bibirnya yang gemetar itu kuat-kuat, lalu ia menjawab dengan lantang,
"Iya! Oke. Mereka semua marah, Aldo. Mereka semua bisa menilai
Nadya dan jelas Nadya itu nggak punya chemistry sama lo, tapi
mereka selama ini cuma bisa protes diam-diam di belakang. Gue pengin mereka
menyuarakan semua perasaan mereka karena gue juga ngerasa kayak gitu. Lo pasti juga
punya sesuatu yang lo sembunyiin, 'kan?" Syakila menggeleng,
masih dengan sisa air mata di pelupuk matanya. Setelah itu, cewek itu
melanjutkan, "Lo keliatan nggak normal. Dia juga kayak
manfaatin lo doang, Aldo! Keliatan saat lo ngasih copy-an tugas lo tadi.
Ini semua maksudnya apa, sih? Aneh banget, Aldo. Gue nggak mau... Gue nggak mau
lo ngejalani hubungan yang nggak jelas gini...karena..." Napas
Syakila memburu, air matanya telah ada di ujung pelupuk matanya, menunggu untuk
jatuh.
Aldo
bernapas samar. "Gue nggak peduli soal itu, Sya. Intinya gue nggak suka
cara lo ngganggu Nadya. Dia nggak punya salah sama lo, Sya. Stop ganggu dia
atau gue bakal ganggu lo balik. Gue punya cukup kekuasaan di sini karena gue
Ketua OSIS. Lo pasti ngerti maksud gue, Sya," ujar Aldo.
"Selain itu, baik Nadya ataupun gue, nggak ada yang nggak jelas.
Nadya nggak pernah manfaatin gue. Gue juga merasa kalo
hubungan kami berjalan dengan baik kok. Lagian, kalo lo nggak memprovokasi
orang-orang itu—orang-orang yang lo buat 'supaya' menulis surat itu—mereka itu
nggak bakal segitunya kok, apalagi sampe ngganggu Nadya. Satu-satunya yang aneh
itu lo, Sya."
Syakila
spontan menggeletukkan giginya dan semakin mengepalkan tangannya. Rambut
bergelombangnya itu tertiup angin dan leher putihnya terlihat begitu indah. Air
matanya baru saja jatuh. Setelah itu, tiba-tiba cewek itu menatap Aldo dengan
mata yang nyalang, penuh dengan rasa marah dan keyakinan. Bagaikan ada api yang
menyala terang di matanya. Semua sisinya ini hanya ia tunjukkan kepada Aldo; ia
tak pernah mau menunjukkannya kepada orang lain, bahkan kepada kedua
orangtuanya.
"Lo nggak pernah
segitunya ke gue, tapi lo segitunya ke Nadya. Lo juga langsung pake aku-kamu ke
dia. Lo deket sama dia dan ngobrol sambil tatap-tatapan lembut sama dia,
manjain dia, sementara lo adalah orang yang nggak pernah sedeket itu sama
cewek. Kenapa, Aldo… Kenapa lo bisa gitu sama dia dan nggak sama gue?"
Aldo
hanya kembali berbalik dan hal itu semakin membuat Syakila mengepalkan
tangannya. Jari-jarinya memutih. Syakila kembali meneriaki Aldo, "Tuh, lo
bener-bener bukan Aldo yang gue kenal. Aldo nggak pernah nyuekin orang kayak
gini. Aldo itu selalu tulus dan baik! Lo udah diubah sama Nadya!" Syakila
langsung maju untuk mendekati Aldo yang kini jadi berhenti melangkah karena
mendengar perkataannya. Setelah jaraknya dan Aldo sudah dekat, ia kembali berbicara
dengan lantang, "Kali ini gue nggak bakal nyerah. Gue nggak mau sembunyi-sembunyi
lagi, Aldo, karena gue sayang...sama lo. Gue nggak mau kita kayak gini
lagi dan gue nggak pengin apa yang pernah ada di antara kita itu
nggak diketahui orang. Gue...ya, bener... Gue
beneran...nggak bisa...nggak rela..." ucap Syakila, sekuat mungkin
air matanya ia tahan agar tak kembali jatuh. "Apa Nadya tau kalo kita...pernah pacaran?"
******
Pagi
ini, Nadya menatap Aldo yang sedang berdiri di depan sana, memegang microphone di
depan seluruh murid SMA Kusuma Bangsa. Sang Ketua OSIS itu berdiri untuk
menyampaikan sesuatu setelah semua anggotanya berhasil mengumpulkan seluruh
siswa untuk berkumpul di pekarangan sekolah—atas izin guru—sebelum masuk ke
kelas mereka masing-masing.
Tanpa
pembukaan yang formal, Aldo langsung mengatakan kepentingannya setelah
mengucapkan selamat pagi. Seluruh murid menjawabnya dengan antusias, apalagi murid-murid
yang cewek. Salam dari Aldo merupakan sesuatu yang sempurna untuk memulai hari
yang cerah ini.
"Makasih
karena kakak-kakak kelas dan teman-teman semua sudah mau berkumpul di
pekarangan sekolah kita yang tercinta ini. Saya ingin memberitahukan
bahwa kita, SMA Kusuma Bangsa, telah setuju untuk ikut dalam
pertandingan persahabatan yang akan dilaksanakan di SMANSA Jakarta." Aldo
memberi jeda sejenak.
Semua
orang langsung bersorak ria dan bertos satu sama lain karena gembira
menyambut event sekolah yang telah dinanti-nanti itu. Setelah
itu, Aldo melanjutkan dengan suara yang lebih kuat karena berbagai sorakan
telah menguasai pekarangan sekolah yang luas itu, "Sekolah yang akan
berpartisipasi adalah SMANSA, SMA Negeri 3, dan SMA Harapan. Kita akan
melakukan banyak pertandingan, seperti voli, futsal, tenis meja, badminton,
lari estafet, vocal group, tari tradisional,
dan cerdas cermat. Semua olahraga terbagi untuk putra dan putri. Nanti akan ada
selebaran yang kami bagikan ke setiap kelas agar setiap kelas mengajukan
anggotanya untuk dipilih sebagai perwakilan dari tiap-tiap perlombaan. Setelah
itu, barulah kami yang memilih siapa saja yang akan maju sebagai perwakilan
sekolah. Karena perlombaan tahun ini lumayan banyak, kita akan berkemah di
lokasi SMANSA selama kurang lebih tiga hari dua malam. Malam terakhir sebelum
pulang akan diadakan api unggun untuk perpisahan."
Sorak-sorai
terdengar semakin riuh. Semua orang terlihat sangat antusias dan senang. Jujur
saja jantung Nadya juga berdebar; ia sangat menantikan event itu.
Ia sangat excited dan senang meskipun belum tentu ia ikut
sebagai perwakilan dari—paling tidak—salah satu dari semua perlombaan itu.
Semua orang terlihat ribut, tampaknya berkemah dalam waktu yang lebih lama serta
perlombaan yang lebih banyak itu membuat mereka jadi semakin senang. Aldo
adalah Ketua OSIS pertama yang membuat event ini jadi terasa lebih
menyenangkan.
Nadya
menatap Aldo seraya tersenyum; ia kagum pada Aldo. Ada rasa...bangga juga
karena menyadari bahwa Aldo adalah kekasihnya. Cowok ganteng yang berwibawa di
depan sana—dan membuat pagi ini menjadi sangat indah—adalah miliknya. Namun,
Nadya langsung menghilangkan pikiran itu dengan menggelengkan kepalanya.
Ada-ada
aja, deh, Nad... Kepedean banget, sih…
Nadya
menunduk malu dan akhirnya senyum-senyum sendiri menyadari kebodohannya. Kalau
Aldo bisa membaca pikiran orang, matilah Nadya... Bisa-bisa Nadya berencana
untuk pakai topeng saja tiap berada di depan Aldo. Nadya benar-benar terpaku
pada pikirannya sendiri; ia tahu Gita ada di sampingnya, tetapi ia tak
memedulikan Gita sama sekali.
Sampai
akhirnya pikirannya buyar karena ia teringat sesuatu.
Ia
ingat kejadian saat ia melihat Aldo dan Syakila kemarin di belakang sekolah.
Rasa khawatir itu sangat berlebihan hingga sepertinya itu bukanlah sekadar rasa
khawatir...
Entah
apa yang terjadi di antara Aldo dan Syakila yang membuat Nadya merasa janggal.
Nadya merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak beres meski ia tak tahu apa
itu. Rasanya ambigu.
Saat
ia tersadar, mendadak dadanya terasa sesak lagi…dan membuatnya sulit untuk
bernapas dengan leluasa.
******
"Ke
kantin, yuk, Nad!" teriak Gita dan cewek itu sudah lebih
dahulu berjalan ke depan kelas. Bel istirahat telah berbunyi beberapa saat yang
lalu. Nadya meritsleting tasnya dengan cepat, lalu berdiri dan berlari untuk
menyusul Gita. Akan tetapi, tiba-tiba ada suara Syakila yang terdengar kuat di
antara kerumunan yang ada di sekeliling Aldo. Mereka berkerumun di sana untuk menanyakan
masalah pertandingan persahabatan itu. Nadya refleks menoleh ke asal suara.
"Nanti
gue rapat lagi kok. Ntar pasti dikasih tau ke kalian," ujar Aldo pada
orang-orang yang mengerumuninya. Rian dan Adam mulai pamit kepada Aldo untuk pergi
lebih dahulu ke kantin. Nadya memperhatikan semua itu seraya memperlambat
jalannya. Tak bisa dipungkiri, Gita pun memperhatikan kerumunan itu. Namun,
mendadak Nadya melihat sesuatu.
Nadya
melihat Syakila mulai mendekati Aldo dan memegang tangan Aldo. Menatap Aldo,
lalu bersuara, “Yang ikut voli siapa aja, Aldo? Aku ikut, ‘kan?”
Suara
Syakila itu entah mengapa terdengar bergema di telinga Nadya. Mata Nadya tanpa
sadar berhenti berkedip untuk beberapa saat; waktu bagai terhenti dan jantung
Nadya pun bagai tak terasa degupannya selama dua detik lamanya. Ludah Nadya tiba-tiba
sulit untuk ditelan dan Nadya terdiam.
Syakila...
Apa itu benar-benar Syakila? Apakah itu
Syakila yang selama ini ia kenal sebagai cewek cantik yang kalem, baik, serta memiliki
banyak bakat itu? Syakila tiba-tiba jadi dekat seperti itu...dengan Aldo...
Aldo...yang
selama ini belum pernah terlihat seperti itu dengan cewek mana pun kecuali
Nadya...terlihat sangat akrab dengan Syakila...
Tatapan
Nadya berubah menjadi tatapan sendu. Tidak, betapa pun Nadya ingin
menghindarinya, Nadya tetap saja kepikiran. Nadya tahu bahwa ini
tak seharusnya Nadya pikirkan, tetapi mengapa...mengapa...ia merasa...
Bukan
hanya Nadya, semua orang yang saat itu sedang melihat Syakila juga agak
terkejut. Syakila biasanya kelihatan cool dan bijaksana, tetapi
kali ini dia tampak begitu friendly. Agak melebihi itu, sebenarnya.
Aldo hanya menjawab ala kadarnya, tidak menjawab Syakila dengan kelewat
ramah sebagaimana cara Syakila bertanya padanya. Aldo terlihat menjawab Syakila
dengan nada yang biasa-biasa saja.
"Kemungkinan,"
jawab Aldo.
Lagi
pula, tatapan Syakila itu...
"Ayo." Gita
tiba-tiba berbicara di dekat Nadya. Nadya tersentak dan memegang dadanya, lalu refleks
menatap Gita dan ia langsung mengangguk dengan cepat. Apa pun yang terjadi,
Nadya tetap berusaha dengan sangat keras untuk
mengabaikan semua itu meskipun sepertinya dadanya sesak sekali. Ia mulai
berjalan meninggalkan kelas bersama Gita, mencoba untuk mengabaikan Syakila
yang sedang beberapa kali memegang lengan Aldo. Syakila ‘membuat’ semua itu terlihat
biasa; cewek itu melakukannya saat Aldo sibuk menjawab pertanyaan dari murid-murid
lain sehingga Aldo tak begitu menyadarinya.
Saat
Nadya berada di koridor (mau menuju ke kantin), tiba-tiba ada suara yang sangat ia
kenali tengah memanggilnya.
"Nad!"
Suara
itu tentu saja suara Aldo. Mata Nadya terbelalak, sementara Gita yang sedang
berjalan bersama Nadya itu terpaksa harus menjauh ketika Aldo memberinya kode
bahwa ialah yang akan menemani Nadya ke kantin. Gita hanya bisa menghela napas
dan mengangguk. Cewek itu berlari mengejar Tari dan Fara yang sudah berjalan di
depan sana, meninggalkan Nadya yang kini kontan berteriak memanggil namanya.
"Giit!!
Kok aku ditinggal, sih... Gitaa!!!"
Nadya
menganga. Rasanya ia mau menangis saja karena Gita meninggalkannya saat
pikirannya butuh dialihkan. Namun, tahu-tahu Aldo sudah ada di sampingnya.
Berjalan bersamanya. Nadya langsung kenal dari tinggi badan cowok itu, wangi parfumnya
yang khas, serta kehadirannya yang selalu disambut dengan teriakan tertahan
dari tiap cewek yang dilewatinya. Sapaan yang terdengar kerap ditujukan untuk
Aldo seperti, 'Siang, Kak!', 'Kak Aldo...', 'Aldo, mau ke mana?' atau 'Hai,
Kak...' seakan-akan sudah mendarah daging di tiap-tiap murid.
Wangi
parfumnya saja sudah membuat jantung Nadya berdegup kencang. Aldo sangat harum,
harumnya tak pernah berubah dan mempunyai ciri khas. Entah kapan Nadya bisa mengetahui
parfum merek apa Aldo gunakan. Parfumnya membuat Nadya—bukan, semua
orang—berpikir bahwa setiap wangi parfum itu lewat, mereka akan langsung tahu
bahwa: 'Oh, ini Aldo'.
Nadya
melipat bibirnya. Tak pernah ia kira bahwa ia akan merasa secanggung ini dengan
Aldo. Selain karena jatuh cinta, ia juga sedang merasa aneh karena melihat Aldo
dan Syakila sebelumnya. Ia ingin sekali bertanya, tetapi tiba-tiba dadanya
terasa seperti ditekan lagi sehingga sepertinya ia belum bisa bertanya. Ia juga
merasa kalau ia tak berhak untuk menanyakan itu.
Ada
apa, ya...
Ingin
sekali...Nadya mengetahuinya...
"Nad? Aku
beliin kamu es krim, ya?" ujar Aldo tiba-tiba. Nadya kontan menoleh kepada
Aldo dengan mata yang agak melebar, tetapi Nadya hanya bisa mengangguk pelan
tanpa sempat berpikir. Setelah itu, cewek itu kembali menunduk. Benar sekali, dunia
ini serasa tak berwarna saat ada rasa sakit yang menyerang hatimu. Meski Aldo ada
di sampingnya, Nadya sama sekali tak bisa berbicara atau bertanya apa-apa.
Meski Aldo membuatnya kembali deg-degan, tetap saja rasa sakit
yang entah berasal dari mana itu terus mengganggunya. Semuanya jadi kacau.
Sebelum
sampai di kantin, seorang kakak kelas mulai menghampiri Aldo dan mereka bertos
ria. Nadya hanya memperhatikan semua itu dan tersenyum meski berat.
"Eyy!
Latihan basket ntar kita? Good job banget ini ketos satu.
Gimana, Do? Lancar?" tanya kakak kelas itu pada Aldo, ia bersikap santai kepada
Aldo seperti teman sepermainan. Aldo menjawab dengan nada yang sama santainya,
"Eeh, Rey?! Iya, ntar latihan pastinya. Lancar, dong. Ntar lagi mau rapat
masalah perwakilan lomba."
"Jangan
lupa masukin gue, ya? Tahun terakhir, nih, Bro," ujar
kakak kelas itu, Rey, sembari tertawa. Aldo kemudian ikut tertawa dan menjawab,
"Oke, Bro. Bisa, bisa. Tenang aja.” Mereka lalu melakukan fist bump.
"Yoi.
Sip dah. Gue duluan, yak! See you di lapangan basket tercinta
kita!" teriak Rey, kemudian cowok itu berlari dan Aldo hanya tertawa
sembari mengacungkan jempol padanya.
Nadya
ikut tersenyum manis melihat percakapan mereka dan ia dikejutkan dengan Aldo
yang tiba-tiba menggandeng tangannya untuk menuju ke kantin. Nadya hanya diam,
tetapi mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. Aldo mulai memesan es krim dan
makanan lainnya untuk Nadya, sementara pipi Nadya mulai merona karena malu.
Aldo
kok bisa sesantai itu nggandeng aku kayak gini di kantin...
Saat
Aldo menaruh makanan Nadya di atas meja—di mana ada Gita, Tari, dan teman-teman
Tari yang lain di sana—semuanya mulai bersorak dan menyiuli mereka berdua.
Tentu saja! Jarang banget, tahu nggak, ada cowok kayak
Aldo yang bisa bersikap gentle dan manis banget di saat yang
bersamaan.
Nadya
sampai meneguk ludahnya, memikirkan betapa bodohnya ia sejak tadi, tak
mensyukuri bahwa Aldo ada di sampingnya dan malah berpikir yang tidak-tidak,
padahal sesungguhnya ia tak punya hak. Apakah Aldo akan marah jika Nadya
menanyakan hal itu?
Saat
Nadya sampai di meja itu, sebelum Nadya duduk, Aldo sempat mengusap puncak kepalanya
dan berkata sembari tersenyum manis, "Habisin, ya, makanannya. Awas kalo
nggak dihabisin. Aku marah, lho, kalo nggak dihabisin," kata Aldo. Dahi
Aldo berkerut tipis, kemudian cowok itu kembali tersenyum lembut. Aldo kemudian
berbisik dengan lembut, yang mana hanya Nadya yang bisa mendengarnya, "Aku rapat
OSIS dulu, ya, Sayang."
Kedua
mata Nadya kontan terbelalak. Sa—sayang?
Aldo...barusan…memanggil
Nadya dengan panggilan 'Sayang'? Ini pertama kalinya...
Aldo
kemudian memalingkan wajahnya dan mulai menatap Gita. "Git, titip
Nadya."
"Oke,
tenang aja," ujar Gita sembari membuat gestur OK dengan ibu jari dan jari
telunjuknya.
"Udah,
Aldo, lo tenang aja. Ntar gue sentil telinganya kalo dia kabur," canda
Tari dan semuanya tertawa. Mereka biasa makan bersama meski terkadang ada juga yang
terpisah. Biasanya, yang terpisah adalah makhluk yang kurang suka 'menggosip'.
Makhluk-makhluk itu adalah mereka yang tidak banyak berkoar di kelas, contoh
sedikitnya adalah Gita dan Nadya.
Aldo
kemudian tertawa pelan dan membelai rambut Nadya sebelum akhirnya ia pergi.
Selama kepergian Aldo, Nadya hanya bisa memandangi punggung Aldo dari belakang.
Aldo,
senyuman kamu itu... Apa ada sesuatu yang lain di dalam diri kamu selain
senyuman tulus milik kamu itu?
******
Gita
memandangi Nadya dengan saksama. Mereka sudah berdiri di dekat jendela kelas
selama beberapa menit dan Nadya hanya diam. Agaknya, pikiran Nadya berlanglang
entah ke mana. Gita menatapnya dengan bosan; ini adalah pemandangan kedua yang
paling tidak menyenangkan setelah pemandangan ketika Nadya merengek soal
tiket Muse. Mereka sedang istirahat dan Aldo tak ada di sini
karena cowok itu sedang rapat. Kalau cowok itu ada, mungkin Gita bisa minta
tolong cowok itu untuk menghibur Nadya supaya Nadya enggak diam dengan pikiran yang
melayang-layang seperti ini lagi.
"Nad,
lo kenapa, sih?" tanya Gita. Nadya sedikit tersentak; cewek itu menatap
Gita, lalu mengedipkan matanya beberapa kali. Ia tersenyum tipis sembari
menggaruk kepalanya.
"Nggak
ada kok, Git, nggak kenapa-napa," jawabnya, lalu ia kembali pada posisi
awalnya, yaitu menumpukan pipinya di kepalan tangannya; sikunya bertumpu di
jendela kelas yang terbuka.
Perlahan-lahan
Nadya mulai kembali bisa menguasai dirinya. Matanya berkedip dan bibirnya
terlipat. Nadya kemudian menatap jauh ke depan sana dan tiba-tiba dia terlihat excited.
Seraya menunjuk sesuatu dengan jari telunjuknya, ia pun memanggil
Gita, "Git! Liat, tuh, Git! Gilaaa, cantik banget itu kupu-kupunya!
Coraknya kayak batik—" Nadya langsung menoleh kepada Gita, tetapi
ucapannya mendadak terhenti karena Gita langsung menyelanya.
"Diliat
dari mana pun juga, lo itu lagi cemburu, Nad."
Nadya
spontan melebarkan matanya. Dia benar-benar terdiam, tubuhnya mematung
di tempat. Dia merasa kata-kata Gita itu seolah menusuk tepat di
jantungnya. Memukulnya bagaikan sebuah gong. Tanpa disadari, ini kontan membuat
Nadya jadi menemukan sebuah kata yang pas untuk menggambarkan kondisinya saat
ini.
Cemburu.
Napas
Nadya tertahan.
Beneran,
ya? Jadi, aku...cemburu...
Setidaknya
ia pernah mendengar soal itu dari novel-novel romantis yang sering ia baca. Namun,
tak ia sangka kalau…beginilah rasa cemburu yang sesungguhnya. Ya ampun, tiba-tiba
Nadya ngerasa kalau dia ini enggak tahu diri banget. Aldo itu bukan
benar-benar miliknya. Akan tetapi, ketahuilah: rasa cemburu itu muncul karena
kita sedang jatuh cinta. Jadi, bukan hanya yang ‘memiliki’ saja yang bisa
merasakannya...
Nadya
masih tertegun. Dia tak bisa menjawab apa-apa.
"Lo
itu lagi cemburu, Nad. Gue ngerti kok, gue juga ngeliat Syakila tadi sibuk megangin
tangan Aldo dan akrab banget sama Aldo. Sikapnya Syakila juga beda banget tadi."
Nadya
meneguk ludahnya. Jadi, Gita juga merasakan hal itu.
"Yuk,
balik ke kursi kita. Bentar lagi istirahat selesai," ajak Gita. Namun,
saat Gita baru saja ingin berbalik, tiba-tiba saja Rani, teman sebangku Syakila
sekaligus teman dekat Syakila, mulai menghampiri Nadya.
"Nad,
ayo ikut gue bentar. Syakila mau ngomong sama lo." []
******
No comments:
Post a Comment