Sunday, March 30, 2025

Hymen no Fuku (Chapter 3: Full Harvest Moon)

 


******

Chapter 3 :

Full Harvest Moon

 

******

 

AKHIRNYA, setelah berada di Kuil Dewa Hymen selama kurang lebih satu jam, Hiyori pun turun dari gunung. Jika mendaki gunung itu hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, maka menuruninya tentu akan lebih cepat. Gunung itu bukan gunung yang tinggi.

Sepanjang menuruni gunung, kata-kata dan tingkah laku Dewa Hymen terus berkecamuk di kepala Hiyori. Kata-katanya, suaranya, rupanya yang sempurna, rambut panjang berwarna silver-nya yang tertiup angin, senyum miringnya, serta kedipan matanya…

Semuanya terus berputar di kepala Hiyori bagaikan potongan-potongan adegan atau potongan-potongan memori indah dari masa lalu. Anehnya, semuanya terekam dengan kualitas tertinggi di dalam kepalanya, layaknya ketika seseorang menyimpan memori terindah yang ada di dalam hidupnya untuk terus dikenang kembali.

 

“Kalau begitu, mohon bantuannya, ya, Hiyori-chan.”

 

Aaaah, sial! Suara sang Dewa jadi terngiang-ngiang di telinga Hiyori. Hiyori memukul keningnya dengan pelan beberapa kali sembari merutuki dirinya sendiri. Aduh, jangan macam-macam, deh. Kalau Dewa bisa membaca pikiranmu dari kejauhan bagaimana?

Ketika Hiyori sudah hampir sampai di kaki gunung, dari kejauhan Hiyori sudah bisa melihat betapa ramainya warga-warga desa yang berdiri menyambut kedatangannya. Mereka semua terlihat sangat gembira, bahkan ada yang terlihat memeluk satu sama lain karena sama-sama bersyukur. Namun, tiba-tiba salah satu dari mereka—seorang pria paruh baya—mulai menyadari kedatangan Hiyori dan matanya langsung melebar. Pria itu kontan menunjuk Hiyori.

“Oh, Hiyori-chan!!! Semuanya! Itu! Itu Hiyori sudah pulang!!!” teriaknya.

Spontan para warga langsung menoleh kepada Hiyori yang baru saja sampai di kaki gunung. Hiyori tersenyum kikuk, tetapi para warga langsung melebarkan mata dan tersenyum bahagia saat melihat Hiyori. Mereka langsung heboh, langsung mendekati Hiyori dan bahkan ada yang sampai berteriak mengucapkan terima kasih kepada Hiyori. Beberapa ibu-ibu mulai memeluk tubuh Hiyori sampai Hiyori merasa sesak.

“Ya Tuhan, Hiyori, terima kasih banyak, Nak!!” teriak salah satu wanita paruh baya. “Bencana di desa kita benar-benar hilang dalam sekejap!”

Setelah, itu, suara-suara warga yang lain mulai terdengar; suara mereka saling menyusul.

“Iya, benar! Luar biasa!”

“Aku akan memberikanmu dan kedua orangtuamu separuh hasil panenku yang selanjutnya!”

“Aku tahu bahwa Dewa Kemakmuran adalah dewa yang hebat, tetapi kali ini aku benar-benar menyaksikan kekuatan besarnya dengan mata kepalaku sendiri!”

“Benar! Aku juga melihat bagaimana banjir itu tiba-tiba surut dan semua tumbuhan yang mati jadi hidup kembali!”

“Bencananya hilang dengan cara yang begitu ajaib! Kau adalah pahlawan kami, Hiyori!”

“Hiyori, kau mau apa? Aku akan memberikanmu hadiah sebagai bentuk terima kasih!”

Menanggapi semua itu, Hiyori hanya tertawa canggung. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ah—haha… Tidak usah, Pak, Bu… Tidak apa-apa.”

Seluruh warga di sana kembali ribut, mereka tetap bersikeras untuk memberikan Hiyori sesuatu atau mengistimewakan Hiyori karena telah menyelesaikan masalah yang menimpa desa mereka. Mereka kira…tadinya mereka benar-benar akan mati secara perlahan.

Namun, di tengah keributan itu, tiba-tiba sang Tetua Desa, Raiden-sama, maju ke depan. Pergerakannya itu langsung membuat warga-warga desa terdiam; mereka langsung menyimak apa yang ingin Raiden-sama katakan. Hiyori pun menoleh kepada Raiden sama dan merunduk hormat.

“Raiden-sama,” sapa Hiyori.

Raiden-sama lantas mengangguk. “Apakah kau baik-baik saja, Hiyori?”

Hiyori tersenyum simpul, lalu mengangguk. “Iya, Raiden-sama. Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu, ya.” Raiden sama tersenyum. “Apakah kau mau menceritakan apa yang telah terjadi di atas sana, Hiyori?”

Hiyori melebarkan mata. Gadis itu meneguk ludahnya.

Astaga, bagaimana ini? Terjadinya bencana tersebut sebenarnya ada hubungannya juga dengan Hiyori. Bagaimana kalau penduduk desa jadi marah padanya saat mengetahui kenyataan itu?

Namun, mau tidak mau Hiyori harus menceritakannya. Penduduk desa pasti ingin tahu apa yang terjadi dan apa yang membuat Dewa mau menghentikan bencana itu. Apabila mereka tahu kronologinya, mereka pasti bisa menghindari bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Jika memang bencana itu terjadi karena Dewa marah, maka mereka harus tahu apa yang membuat Dewa marah.

Hiyori harus menceritakan semuanya. Ia harus jujur dan meminta maaf kepada penduduk desa tentang apa yang telah terjadi.

Akhirnya, seraya menatap Raiden-sama dengan yakin, Hiyori pun mengangguk. “Baiklah, Raiden-sama. Aku akan menceritakannya.”

 

******

 

Banyak pasang mata yang saat ini tengah memperhatikan Hiyori dengan saksama. Setelah Hiyori setuju untuk menceritakan semuanya, Raiden-sama dan para warga lainnya lantas membawa Hiyori ke sebuah gazebo kayu luas milik warga yang letaknya tak jauh dari kediaman Raiden-sama.

Banyak warga yang ikut duduk di dalam gazebo itu, bahkan ada juga yang berdiri di sekitar gazebo hanya untuk mendengarkan apa yang akan Hiyori ceritakan, tetapi tidak semua warga ada di sana karena keterbatasan ukuran gazebo itu. Gazebo itu luas, tetapi tentu saja takkan cukup untuk menampung semua warga. Kebanyakan warga yang hadir di sana adalah para kepala keluarga sehingga nanti mereka tinggal menceritakan semuanya kembali kepada istri dan anak mereka.

Hiyori duduk di spot yang dapat dilihat oleh semua orang. Mereka duduk melingkar di gazebo luas itu dan Hiyori duduk berseberangan dengan Raiden-sama.

Suasana saat itu cukup hening meskipun banyak orang yang hadir. Mereka semua sedang menanti cerita dari Hiyori. Keheningan itu jujur membuat Hiyori beberapa kali meneguk ludahnya; ia duduk di sana dengan tegang dan kepalanya menunduk. Ia jadi gelisah, terutama karena semua orang melihat ke arahnya.

Beberapa detik kemudian, suara Raiden-sama pun terdengar.

“Baiklah, Hiyori. Sebenarnya…apa yang terjadi di atas sana? Maukah kau memberitahukan detailnya kepadaku?” tanya Raiden-sama perlahan-lahan.

Mata Hiyori sedikit melebar.

Ah, inilah saatnya.

Pelan-pelan, Hiyori mulai mengangkat wajahnya. Menatap Raiden-sama yang duduk di depan sana, tengah memperhatikannya dengan lekat.

Hiyori kembali meneguk ludahnya. Ia bernapas samar.

Dua detik kemudian, ia pun menjawab Raiden-sama, “Iya, Raiden-sama.”

Raiden-sama tersenyum tipis—dan senyuman itu sejujurnya sedikit membuat Hiyori tenang—lalu pria lanjut usia itu mengangguk. “Ceritakan padaku, Hiyori.”

Hiyori mengangguk. Gadis itu pun mulai bercerita.

“Sebelumnya…maafkan aku, semuanya!!” Hiyori tiba-tiba membungkuk, ia mengepalkan kedua tangannya yang bertumpu di pahanya sendiri. Hiyori melipat bibirnya dengan gelisah dan tangannya sedikit gemetar. Sementara itu, semua orang yang melihatnya membungkuk seperti itu kontan melebarkan mata; mereka bingung mengapa Hiyori tiba-tiba meminta maaf.

Hiyori lalu melanjutkan, “Sebenarnya…bencana itu…” Hiyori menarik napas, mendadak jantungnya berdebar. “Bencana itu…ada hubungannya denganku, Pak, Bu…”

Semua orang diam. Mereka agak bingung.

“Hiyori, lihat aku,” ujar Raiden-sama tiba-tiba. Mendengar panggilan dari Raiden-sama itu, Hiyori langsung melebarkan matanya. Pelan-pelan, dengan takut-takut, Hiyori pun mengangkat wajahnya kembali dan menatap Raiden-sama.

Dilihatnya Raiden-sama yang menatapnya seraya menyatukan alis. “Tenanglah, Hiyori. Maksudmu bagaimana?”

Hiyori kembali meneguk ludahnya.

“Aku…” ujar Hiyori, ia berbicara dengan gugup. “Waktu Anda menyuruhku untuk mengantarkan persembahan kepada Dewa sembilan hari yang lalu, sebenarnya ada beberapa percakapan yang terjadi di antara aku dan Dewa, tetapi pada akhirnya…aku…kabur…”

Semua orang mulai menatap Hiyori dengan penuh tanda tanya. Namun, Tetua Desalah yang akhirnya menyuarakan pertanyaan mereka. “Mengapa kau kabur?”

Hiyori agak menunduk, gadis itu melipat bibirnya. “A—aku…malu…”

Raiden-sama memiringkan kepalanya. “Malu? Apakah Dewa mengatakan sesuatu yang membuatmu malu?”

Hiyori kontan melihat ke arah Raiden-sama lagi. Gadis itu diam sejenak—dengan ekspresi ragu—tetapi akhirnya ia menjawab, “I—iya, Raiden-sama.”

“Apa yang sang Dewa katakan, Hiyori?” Kali ini Naoto-san yang bertanya. Hiyori langsung menoleh kepada pria itu.

Hiyori lagi-lagi menunduk. Ia meremas jemarinya sendiri dengan gelisah. Ini agak memalukan untuk diceritakan. Namun, semua orang sedang menunggunya.

Hiyori menggigit bibirnya sejenak, lalu ia pun menjawab, “Dewa bilang…dia suka…a—aroma tubuh gadis muda sepertiku. Dewa bilang, baru kali inilah Raiden-sama mengirimkan seorang gadis sepertiku untuk mengantarkan persembahan kepadanya.”

Semua orang yang mendengar perkataan Hiyori itu kontan menganga. Mereka tercengang.

Raiden-sama membulatkan matanya. Ia juga agak kaget saat mendengar itu.

“Jadi, apakah Dewa marah padamu karena kau kabur, Hiyori?” tanya Raiden-sama.

“Setelah Anda dan para warga lainnya menyuruhku untuk naik ke gunung, aku sebenarnya sempat berpikir seperti itu, Raiden-sama,” jawab Hiyori. “tetapi ternyata bukan karena itu Dewa menurunkan bencana di desa kita.”

Raiden-sama kembali menyatukan alisnya, tetapi ia hanya diam. Menunggu Hiyori melanjutkan.

Hiyori bernapas samar. “Satu hari setelah aku naik ke gunung, Dewa melihat orang yang mengantarkan persembahan kepadanya dan ternyata…itu bukan…aku. Dewa ingin akulah yang mengantarkan persembahan untuknya, jadi dia menciptakan bencana itu agar kita semua bisa mengerti apa yang dia inginkan.”

Seluruh warga di sana—termasuk Raiden-sama—betul-betul tercengang, mereka takjub dengan apa yang baru saja mereka dengar. Ternyata…permasalahannya…

sesimpel itu?

Mereka semua menderita selama berhari-hari, astaga!

“Jadi…begitu kau naik tadi, Dewa langsung menghilangkan bencana itu?” tanya Raiden-sama.

Hiyori menatap Raiden-sama, lalu menjawab, “Dewa mau menghilangkan bencana di desa kita, Raiden-sama, tetapi dengan satu syarat.”

Kini giliran ayahnya Hiyori yang bertanya, “Syarat apa, Nak?”

Dengan ragu, Hiyori pun menjawab seraya menatap ayahnya, “Dewa… Dewa berkata…mulai sekarang hanya akulah yang boleh mengantarkan persembahan dari Desa Shinrei untuknya. Jika tidak begitu, maka bencana di Desa Shinrei takkan ia hentikan.”

Kontan semua orang membelalakkan mata. Otoya-san, salah satu warga yang biasa mengantarkan persembahan untuk Dewa, lantas berkata, “Astaga! Kau serius, Hiyori?”

“Waduh, bagaimana itu, Hiyori?” tanya warga lain. “Kalau begitu ceritanya, berarti kau harus naik turun Gunung Kouzu setiap hari, lho!”

Hiyori menunduk. Ia sadar akan hal itu.

Orang yang duduk di sebelah Hiyori—salah satu warga desa—lantas menepuk pundak Hiyori pelan. Mencoba untuk menenangkan Hiyori. Semua orang di sana mulai agak ribut, mereka saling membicarakan keinginan sang Dewa itu dengan orang-orang yang ada di sebelah mereka. Akan tetapi, situasi itu dengan cepat dihentikan oleh Raiden-sama yang tiba-tiba mengangkat tangannya agar semua orang diam.

Setelah semua orang terdiam, Raiden-sama lantas bertanya lagi kepada Hiyori, “Melihat desa kita yang sudah terbebas dari bencana…berarti kau menyetujui permintaan Dewa, ya, Hiyori? Apakah kau tidak apa-apa?”

Banyak orang yang mengangguk—menyetujui pertanyaan Raiden-sama karena sepemikiran—lalu mereka menatap Hiyori dengan penuh perhatian. Mereka khawatir. Sebenarnya, dari cerita Hiyori barusan, mereka mengerti mengapa Hiyori bilang dia ada hubungannya dengan bencana itu. Akan tetapi, sebetulnya…itu bukan salah Hiyori juga.

Hiyori menatap semua orang, lalu perlahan-lahan ia mengangguk.

“Iya, Raiden-sama. Aku menyetujuinya. Aku tak ingin Desa Shinrei tenggelam.” Hiyori sedikit membungkuk, menghormati Raiden-sama. “Mulai sekarang akulah yang akan mengantarkan persembahan untuk Dewa Kemakmuran setiap harinya, Raiden-sama. Aku tidak apa-apa.”

Mendengar jawaban dari Hiyori, beberapa dari mereka bernapas lega, tetapi beberapa yang lainnya tetap merasa tidak enak karena harus menyerahkan semuanya kepada Hiyori.

“Baiklah. Kami semua akan tetap membantumu apabila kau membutuhkan bantuan, Hiyori,” ucap Raiden-sama dengan penuh perhatian. “Akan tetapi…ternyata sejak awal dugaanku benar. Dewa ingin kaulah yang mengantarkan persembahan itu ke kuilnya.”

Tiba-tiba ada salah satu wanita paruh baya yang angkat suara.

“Sepertinya, Dewa tertarik padamu, Hiyori.”

Hiyori kontan mengangkat wajahnya—menoleh ke asal suara—lalu matanya membulat. Hah?

“I—itu—"

“Iya, benar!” sahut wanita yang lain, bahkan sebelum Hiyori sempat merespons. “Dewa sepertinya menyukaimu, Hiyori.”

“Astaga, sepertinya desa kita akan makmur, nih, kedepannya.”

“Bukan makmur lagi, desa kita mungkin akan dispesialkan!”

“Tidak apa-apa. Hiyori, kan, sudah dewasa.”

“Ternyata bencana kemarin adalah jalan menuju kesejahteraan yang sesungguhnya!”

“Hiyori, aku akan membujuk suamiku untuk memberikanmu seluruh hasil panen kami yang selanjutnya, bukan hanya separuh!”

Akibat asumsi serta seloroh para wanita paruh baya itu, banyak orang yang mendadak jadi terkekeh. Suasana saat itu mendadak jadi mencair, ada juga yang sampai menggeleng geli. Banyak yang cekikikan. Akan tetapi, ayah dan ibunya Hiyori kelihatannya masih tercengang. Mereka tak menyangka bahwa sang Dewa akan tertarik kepada anak gadis mereka.

Ya…kalau dipikir-pikir, ada-ada saja. Satu desa hampir mati tenggelam cuma gara-gara sang Dewa ingin bertemu lagi dengan seorang gadis.

Hiyori jadi salah tingkah sendiri; pipi Hiyori memerah dan ia menunduk malu.

Raiden-sama pun sampai ikut terkekeh. Pria berbaju coklat tua itu lantas berkata pada Hiyori, “Ya sudah, Hiyori. Tetaplah melakukan apa yang Dewa minta. Kami akan selalu bersamamu.”

Mendengar perkataan Raiden-sama itu, Hiyori lantas menatap wajah Raiden-sama, tetapi kini dia hampir merengek.

Oh, astaga, kalian semua tak tahu bahwa dewa itu agak aneh…

 

******

 

Hiyori menatap ke jendela.

Gadis itu sedang berbaring di kasurnya. Ia sudah menyelimuti tubuhnya dan lampu kamarnya sudah dimatikan. Namun, karena tak bisa tidur, otaknya langsung kembali mengingat kejadian tadi pagi.

Rasanya banyak sekali yang terjadi hari ini. Semuanya seakan tak nyata. Hari ini terasa begitu panjang dan tak masuk akal, seperti petualangan di dalam mimpi.

Tatkala menatap ke jendela kamarnya—di samping kiri—yang ditutupi oleh gorden berwarna putih tipis, Hiyori lantas melihat bulan purnama yang bersinar sangat terang di langit malam ini. Cahayanya menembus masuk ke kamar Hiyori melalui jendela. Menerangi sebagian kamar Hiyori, terutama bagian kasur. Kulit lengan, betis, dan wajah Hiyori yang putih itu semakin terlihat bersinar akibat cahaya bulan itu. Rambut berwarna ungunya tampak berkilau.

Ah. Iya. Ini adalah awal musim gugur. Berarti, Hiyori sedang melihat bulan purnama di awal musim gugur.

Bulan Panen.

Rasanya damai sekali, padahal tadi pagi semuanya terasa kacau. Tadi pagi masih banjir. Tahu-tahu malam ini sudah jadi sedamai ini. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.

Hymen-sama benar-benar kunci dari segala hal di desa ini, pikirnya.

Apa pun itu, Hiyori merasa lega. Akhirnya, bencana di desanya berakhir. Akhirnya, semuanya kembali normal, kecuali fakta bahwa kedepannya dia harus mengantarkan persembahan untuk Dewa Hymen setiap hari.

Semoga tidak ada masalah. Semoga kemesuman Dewa Hymen agak berkurang, ucap Hiyori di dalam hati.

Tadi, ketika sedang makan malam, Hiyori dan keluarganya kembali membicarakan tentang Dewa Kemakmuran. Ayah dan ibu Hiyori kembali mempertanyakan apa yang terjadi tadi pagi serta apa yang terjadi sembilan hari yang lalu—saat pertama kali Hiyori mengantarkan persembahan untuk Dewa—secara mendetail. Jadi, kali ini Hiyori kembali menceritakan seluruh kejadiannya secara berurutan tanpa ada yang terlewat. Ingatannya tentang Dewa Kemakmuran benar-benar sebening kristal. Akan tetapi, Hiyori tak menceritakan bagaimana ia sempat mengomeli Dewa dan mengatai dewa itu mesum karena pasti orangtuanya akan memarahinya habis-habisan. Kalau diceritakan, takutnya Hiyori malah dihukum dan disuruh membersihkan kebun milik ayahnya seharian.

Saat mendengarkan itu, ayah dan ibu Hiyori semakin yakin bahwa Dewa Kemakmuran memang benar-benar tertarik kepada anak mereka. Mereka lantas menanyai Hiyori apakah Hiyori benar-benar tidak apa-apa, tetapi jawaban Hiyori masih sama. Ia lebih baik naik turun gunung setiap harinya daripada desa mereka tenggelam.

Jadi, agar Hiyori tidak terlalu lelah, ibu Hiyori memutuskan untuk mengurangi pekerjaan rumah Hiyori. Ayah Hiyori juga berpesan kepada Hiyori untuk selalu bersikap baik kepada Dewa karena pada dasarnya dewa itulah yang menjadi kunci kemakmuran di desa mereka. Hiyori pun mengangguk—mengiyakan ayahnya—padahal di dalam hatinya dia rasanya mau menangis. Dewa Hymen itu mesum! Rasanya bagai memasukkan diri sendiri ke sarang predator dengan sukarela.

Ah. Entahlah.

Hiyori mau tidur saja.

 

******

 

Di dalam kamar Hiyori yang cukup gelap, di antara cahaya bulan purnama malam itu, ada sebuah sosok bercahaya yang perlahan-lahan muncul dari arah jendela. Sosok itu seolah terbang dari suatu tempat menuju ke kamar Hiyori, tetapi hanya menampakkan dirinya tatkala sudah sampai di kamar Hiyori. Sosok itu mulai datang, kakinya mendarat di lantai dekat jendela, lalu berdiri di sana seraya melihat Hiyori. Sosoknya begitu bersinar bak malaikat malam itu, bagai mengeluarkan cahaya dan mengalahkan sinar bulan purnama yang masuk ke kamar Hiyori.

Sosok itu hanya berupa roh. Tidak bisa disentuh.

Di malam yang sunyi itu, Dewa Hymen mengunjungi Hiyori dalam wujud roh. Roh yang terlihat amat bersinar, terutama karena rambut silver-nya serta terangnya bulan malam itu. Ia datang ke kamar Hiyori dan menemukan bahwa Hiyori sudah tertidur lelap di kasurnya.

Dewa Hymen melangkah mendekat. Ia berdiri di samping kasur Hiyori dan membelakangi jendela. Memperhatikan Hiyori yang tertidur dengan posisi menyamping seraya memeluk gulingnya. Napas Hiyori berembus dengan teratur; gadis itu tertidur lelap dengan wajah yang damai.

Sebuah senyuman muncul di wajah sang Dewa. Matanya yang berwarna abu-abu itu memandang Hiyori lekat-lekat.

“Kalau sedang tidur seperti ini, gadis ini terlihat tenang,” ujar sang Dewa lirih. “Siapa sangka dia akan sangat bawel saat terjaga?”

Dewa Hymen diam sebentar, lalu ia mengangkat sebelah alisnya.

“Mengapa aku baru sadar bahwa ada anak gadis secantik ini di Desa Shinrei? Aku sudah terlalu lama bersantai-santai,” ujarnya. “Apakah ada anak gadis cantik lainnya?”

Setelah mengatakan itu, Dewa Hymen lantas tersenyum miring. Dengan gerakan yang pelan, ia mulai membungkuk dan menempelkan ujung jari telunjuknya ke dahi Hiyori.

Dari ujung jari telunjuk itu, keluar sebuah cahaya berwarna putih. Bersinar terang seperti lampu kecil; lampu itu tetap hidup selama beberapa detik seolah mengalirkan cahayanya ke dalam kepala Hiyori. Hingga akhirnya, cahaya itu perlahan-lahan padam.

Dewa Hymen memberikan sebuah perlindungan kepada Hiyori.

Setelah selesai memberikan perlindungan itu, Dewa Hymen pun tersenyum lembut. Ia lantas berdiri tegak kembali, memandangi Hiyori selama beberapa detik, lalu akhirnya ia berbalik.

Ia berjalan ke dekat jendela, lalu sosoknya yang berwujud roh itu akhirnya pergi. Roh itu berubah menjadi asap yang tipis, lalu asap itu menghilang tanpa jejak di udara.

 

******

 

Pintu berdaun dua kuil itu terbuka dengan sendirinya begitu Dewa Hymen mendaratkan kakinya di lantai teras kuil. Sama seperti bagaimana ia muncul di kamar Hiyori, begitu pulalah ia muncul di depan pintu kuil itu; ia muncul secara tiba-tiba di sana, tampak seperti habis terbang, tetapi baru menampakkan sosoknya tatkala ia mulai mendarat.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Setelah kedua kakinya telah berpijak di lantai teras kuil, wujud rohnya itu perlahan berubah. Wujudnya kembali normal dan kini siapa pun bisa melihatnya.

Dewa Hymen melangkah mendekati pintu utama kuil itu dengan tenang. Pembawaannya saat itu tampak seperti air yang tak beriak. Akan tetapi, saat ia baru saja sampai tepat di pintu itu—belum benar-benar masuk—tiba-tiba langkahnya terhenti.

Suasana kuil itu sepi, seperti biasanya, tetapi Dewa Hymen tiba-tiba membuka suara.

 

“Oi. Apa yang kau lakukan di sana?”

 

Tiba-tiba saja di ujung sana—di sebelah kanan—muncullah seorang pria. Pria itu memiliki tubuh yang kurang lebih sama besarnya dengan Dewa Hymen. Pria itu memakai baju dan celana yang berwarna hitam, tetapi dilapisi dengan sebuah kimono merah berbordir emas di bagian luarnya. Rambut pria itu berwarna merah tua. Matanya berwarna keemasan bak mata seekor harimau. Ada sebuah anting-anting permata panjang yang terpasang di telinga sebelah kirinya.

Berbeda dengan Dewa Hymen yang kemunculannya tidak ditandai dengan apa pun, kemunculan pria itu diawali dengan sebuah percikan api. Pria itu langsung memperlihatkan wujudnya begitu Dewa Hymen menegurnya.

Pria yang baru muncul itu lantas cengengesan. Sama seperti Dewa Hymen, wajah pria itu terlihat tegas, perawakannya tampak kuat, tetapi di sisi lain…ia juga terlihat seperti orang yang suka bermain-main. Tidak serius.

A mischievous one.

Tatkala melihat Dewa Hymen, pria itu langsung mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu dengan riang ia berkata, “Wow, wow, Hymen. Santai, dong. Galak sekali, sih. Sudah lama kita tak bertemu.”

Mendengar jawaban pria itu, Dewa Hymen pun menghela napas.

Ah, sepertinya malam ini dia takkan bisa beristirahat dengan tenang. Ada Enzou, sang Dewa Api, yang menginvasi kediamannya. []

 









******






Saturday, March 29, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 9: Come Here, My Dear)

 


******

Chapter 9 :

Come Here, My Dear

 

******

 

Violette:

MEGAN masih tertawa kencang.

Ah...ini memang pantas untuk dia tertawakan. Lagi pula, siapa yang akan menyangka bahwa pada akhirnya aku malah berpacaran dengan CEO yang kubenci itu? Aku juga ingin menertawakan diriku sendiri. Sialan, mengapa aku bodoh sekali? Aku mengacak rambutku dengan frustrasi, sementara Megan masih tertawa. Aku bersandar pada kepala ranjangku yang terbuat dari kayu bercat keemasan.

Namun, tiba-tiba Megan berhenti tertawa. Setelah itu, dia mendekat padaku seolah ingin membicarakan sebuah gosip hangat. "Serius, kapan kau jadian dengan CEO misterius itu?"

Aku membulatkan kedua mataku dan refleks agak menjauh dari Megan. "A—aku—mengapa kau menanyakan hal itu?! Sudahlah, Meg, itu tak penting, tolonglah," rayuku.

Megan tertawa lagi. Ia pun sedikit menjauhkan tubuhnya. Dia akhirnya berhenti tertawa dan kembali menatapku.

"Baiklah... Meskipun sebenarnya aku sangat ingin tahu," jawabnya kemudian.

Megan menatapku sembari tersenyum penuh penantian. Melihat ekspresinya yang seperti itu, aku terdiam. Mendadak aku...jadi merasa seolah aku tak menganggap keberadaannya. Megan selalu memedulikanku dan kupikir...tak baik bila aku tak menghiraukannya.

Sesaat kemudian, aku berdecak dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku akhirnya memilih untuk menjawabnya setelah sebelumnya meneguk ludahku dengan gugup.

"I—itu terjadi beberapa hari yang lalu, setelah aku pergi bersamanya untuk urusan bisnis dengan perusahaan milik orang lain." Well, aku tak ingin memberitahu bahwa perusahaan itu adalah perusahaan milik Martin walaupun sebenarnya Megan tak tahu sama sekali tentang masa laluku. Aku tak ingin mengungkitnya di depan Megan. Lagi pula, hitung-hitung ini adalah antisipasi juga, bukan?

Mata Megan berbinar. Aku langsung membuang muka; kurasa wajahku mulai memanas.

"Kau beruntung sekali, Vio!! AAAAA! BILA KALIAN SUDAH BERPELUKAN ATAU SE—"

Mataku memelotot dan aku langsung menutup paksa mulut Megan.

"Please, Meg, mengapa kau selalu berbicara seolah aku dan dia tidak memiliki masalah? Ya Tuhan." Aku mendengkus. Megan mengangguk dengan cepat; dia mengangkat tangannya ke atas sebagai pertanda bahwa dia menyerah. Aku melepaskannya, lalu dia menghirup oksigen sebanyak mungkin. Aku menggeleng sekaligus berdecak pelan.

"Selamat, ya? Mudah-mudahan kalian sampai ke jenjang pernikahan." Megan tersenyum padaku. Aku tercengang.

Hah?

Aku lantas meneguk ludahku. "Megan, aku belum pernah memikirkan—"

Megan menggeleng. "Tidak, Vio. Maksudku, pikirkan itu sekarang. Kau sudah seharusnya menikah. Jangan seperti aku yang masih memelototi setiap pria tampan yang lewat di depanku haha!" gelaknya.

Aku memukul pundaknya, lalu dia tertawa keras sekali.

"Dasar," ujarku. Sesaat kemudian, dia berhenti tertawa dan berdiri sembari berkacak pinggang.

"Yep, aku akan mengambilkan sarapanmu. Tunggu di sini, ya, Mrs. Alexander. Kau sepertinya demam," ujarnya, lalu sebelah tangannya memegang dahiku.

"Panas," ujarnya. Ia lantas menepuk pundakku pelan, beberapa kali. "Tunggu di sini."

Setelah itu, dia keluar dari kamarku.

Sial, aku tak sempat memprotesnya! Mengapa dia memanggilku Mrs. Alexander?! Astaga, apa-apaan? Aku benar-benar tak tahu wajahku harus ditaruh di mana!

Aku membaringkan tubuhku dan menghadap ke samping, ke arah meja riasku. Di sana ada fotoku bersama Nathan waktu kami menghadiri wedding kenalan Nathan, seorang pemilik peternakan sapi di Buffalo. Nathan memakai jas dan aku memakai gaun. Oh Tuhan, di mana Nathan?

Jika tidak ada Nathan, aku akan merasa sendirian. Biasanya, dia selalu memperhatikanku dalam diamnya; dia selalu memarahiku seakan aku adalah anak kecil. Selain dia, aku tidak punya siapa-siapa lagi.

Tanpa sadar aku air mataku jatuh. Tuhan, tolong jaga Nathan. Kuharap polisi yang dihubungi oleh Justin dapat menemukannya dengan cepat.

Mengelap air mataku, aku lantas terdiam lagi. Tiba-tiba aku kepikiran dengan apa yang Megan katakan.

Menikah?

Mengapa Megan menyuruhku untuk mulai memikirkan pernikahan? Aku rasa...ini bukanlah waktunya. Menurutku, aku belum siap. Lagi pula, dengan siapa aku akan menikah?

Shit, mengapa aku jadi memikirkan tentang pernikahan? Aku jadi seperti gadis mesum yang tak sabar untuk menikah. Astaga.

Selain itu…Megan mendoakanku agar sampai ke jenjang pernikahan dengan...Justin? Ha. Bagaimana kalau aku memang menikah dengan Justin? OOW, aku menggeleng dengan cepat. Pipiku tiba-tiba memanas. JAUHKAN PIKIRANKU DARI SEBUTAN MRS. ALEXANDER, YA TUHAN!

Tiba-tiba Megan datang dengan membawa nampan berisi bubur dan susu. Oh, sudah lama sekali aku tidak minum susu karena terlalu mementingkan pekerjaan. Meski pekerjaanku bukanlah pekerjaan yang terlampau istimewa—seperti pelukis wanita jenius dan semacamnya—aku sangat menghormati pekerjaanku. Lagi pula, sekarang aku adalah seorang executive assistant. Bagiku itu adalah pekerjaan yang istimewa.

Megan duduk di samping ranjangku dan meletakkan nampan yang ia bawa itu di atas nakas. Ia mengambil mangkuk berisi bubur hangat itu, lalu meniupkan sesendok untukku. Dia mulai menyuapiku.

"Megan, kau tak perlu menyuapiku, kau tahu. Kau sudah sangat—"

Ponsel Megan tiba-tiba berdering. Nada dering teleponnya—lagu milik Ellie Goulding—menggema di kamarku. Dia agak terkejut; dia langsung meletakkan mangkuk bubur itu kembali ke nampannya, lalu pergi ke luar sembari mengeluarkan ponsel itu dari sakunya. "Tunggu sebentar, Vio."

Aku mengangguk mengerti. "Ya."

Aku menghela napas, lalu mengalihkan pandanganku ke segelas susu yang juga ada di nampan itu. Aku meraih segelas susu itu, lalu meneguknya hingga aku merasa puas. Aku menaruh gelas susu itu kembali di atas nampan dengan lega. Aku sedang mengelap bibirku ketika tiba-tiba Megan datang menghampiriku dengan tergesa-gesa dan menyodorkan ponselnya kepadaku. "VIO! That—that's Mr. Alexander! Bicaralah! Dia mencarimu!"

Mataku kontan memelotot. Justin?

"Ha? Kau bercanda," elakku. Megan membulatkan matanya dan menggeleng cepat. Dia semakin menyodorkan ponsel itu ke depan wajahku dan aku jadi ikut panik.

"SERIUS, VIO, ITU CEO KITA! YA TUHAN, SUARANYA BEGITU SEKSI! BICARALAH, VIO! SEBELUM KAU DIMAKAN OLEHNYA!" teriak Megan padaku.

Ergh... Ya, ya.

Aku melihat Megan—yang sedang mengagumi Justin itu—sebentar, lalu aku menempelkan ponsel itu ke telingaku dan mengalihkan pandanganku dari Megan.

"Ha—halo," kataku.

Mengapa seperti tidak ada kehidupan?

Aku mengernyitkan dahi. "Hal—"

"Bagaimana keadaanmu?"

Ya Tuhan, kali ini aku setuju dengan Megan. Suara rendahnya memang terdengar seksi.

Aku meneguk ludahku. "Ju—stin? Uhh—aku…aku baik-baik saja."

"Aku tak suka mendengar seorang gadis berkata bahwa dia baik-baik saja, tetapi nyatanya dia masih disuapi."

DA—DARI MANA DIA TAHU?!

"Dari mana kau tahu?! Megan memberitahumu, ya? Tidak, aku baik-baik saja, serius! Lagi pula, apakah yang membawaku pulang tadi malam itu kau?" tanyaku dengan cepat.

Sial, Megan kini menguping pembicaraanku. Aku menahan maluku demi mengetahui kebenarannya.

"Hm," deham Justin di seberang sana.

Aku tercengang. "Dari mana kau tahu di mana aku? Dasar penguntit!"

"Mengapa kau menuduhku menguntitmu? Bila kau ingin tahu, tidakkah itu lucu menemukan seorang gadis yang pingsan di pinggir jalan yang sepi, terutama dia pingsan di dekat motornya sendiri? Apakah kau memilih tempat yang nyaman untuk pingsan?"

What the—

Aku. Benar-benar. Malu. SIALAN!

"HEI! AKU BAHKAN TAK TAHU KALAU AKU AKAN PINGSAN! BERHENTILAH MENGEJEKKU!" teriakku dengan wajah yang memerah seperti kepiting rebus.

"Mengapa kau tak memberitahuku bahwa Nathan menghilang?"

Aku langsung terdiam.

Pikiranku kembali kacau. Mungkin wajahku terlihat murung. Aku menggigit bibirku dan mataku mulai memanas lagi; aku ingin menangis.

"Tidak apa-apa," jawabku, lalu aku langsung menutup sambungan telepon itu. Air mataku mulai mengalir meski aku sudah menahan tangisku. Aku tak pernah merasa sekehilangan ini sebelumnya, kecuali saat aku kehilangan kedua orangtuaku.

Justin mengetahui masa laluku karena Justin adalah teman masa kecilku sejak kami bergabung di Red Lion. Hari itu adalah hari di mana aku yang masih kecil dan kedua orangtuaku baru saja pulang dari supermarket untuk membeli berbagai keperluan rumah serta boneka beruang untukku. Namun, sebuah mobil menabrak mobil kami. Di tengah kebahagiaan itu...mobil kami jungkir balik dan menghantam aspal, lalu diakhiri dengan ledakan.

Namun, dalam keadaan itu, entah karena sebuah takdir atau kekuatan alam yang tak kumengerti, aku terlempar ke luar pada saat mobil itu akan mendarat ke aspal. Aku terguling dan sempat memiliki kesadaran sebentar sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Pihak kepolisian dan medislah yang mungkin menemukanku dan membawaku ke rumah sakit.

Setelah itu, aku hidup sendiri dan ditemukan oleh Brian. Aku masuk ke Red Lion dan tak lama kemudian aku bertemu dengan Justin. Justin saat itu benar-benar kacau (karena ia juga yatim piatu sepertiku) dan masih tak mau menuruti Brian. Namun, perlahan-lahan pria itu mau menurut walau kepribadiannya berubah menjadi sangat beku.

Sekarang, apakah Nathan juga akan meninggalkanku? Setelah akhirnya aku menemukan Pamanku yang ada di New York... Mungkin bila dari dulu aku sudah bertemu dengan Nathan, maka aku takkan pernah masuk ke organisasi Red Lion dan takkan pernah bertemu dengan Justin.

Aku menangis kencang dan Megan langsung memelukku. Megan ikut menangis. Dia sepertinya langsung tahu bahwa aku menangis karena memikirkan Nathan.

 

******

 

Author:

Megan sudah pulang.

Siang ini, Violette hanya di rumah. Tidak mandi dan masih memakai pakaian yang sama. Penampilannya agak kusut. Wajah gadis itu pucat pasi dan ia terlihat tak bertenaga. Ia baru saja meminum air putih dari kulkas dan ia berhenti ketika mendengar nada dering ponselnya.

Violette langsung berlari ke kamarnya—mengingat ponselnya ada di dalam kamar—setelah sebelumnya menaruh kembali botol air itu ke dalam kulkas. Mungkinkah...mungkinkah itu telepon dari pihak kepolisian? Apakah ada kabar—meski sedikit saja—soal Nathan? Tuhan, semoga saja...

"Halo?!" ujar Violette tak sabar ketika ia mengangkat telepon itu. Ia tampak panik. Mata berwarna birunya terlihat melebar.

"Ms. Violette Morgan?! Kami dari Kepolisian New York."

"Iya, Pak, apakah ada kabar terbaru tentang Jonathan Morgan?!" teriak Violette panik.

"Kami ingin memberitahumu bahwa kami sudah memfilter lokasi-lokasi yang mungkin sesuai dengan deskripsi dari laporan Mr. Alexander. Kami akan berusaha untuk menemukannya secepat mungkin. Kami harap Anda bisa tenang, Ms. Morgan."

Mata Violette berair. Gadis itu merasa dadanya sesak. Ludahnya terasa sulit untuk diteguk. Gadis itu melipat bibirnya sembari menahan tangis.

"Thank you, Sir. Saya harap Anda bisa menemukan paman saya secepatnya."

"You can depend on us, Ms. Morgan," kata petugas polisi itu, kemudian sambungan telepon itu terputus.

Violette mulai meringkuk di kasurnya. Pikirannya kalut dan ia tak yakin kapan itu akan berhenti, kecuali bila Nathan kembali dengan selamat.

 

******

 

Elika tersenyum ketika berada di depan pintu yang selama ini bagai pintu menuju surga di matanya. Ia membawa berkas-berkas yang seharusnya Chief Assistant CEO kerjakan kemarin; ia mengantarkannya kembali kepada Justin. Ia tahu—bahkan sangat tahu—betapa harumnya ruangan di balik pintu dengan plang ‘Chief Executive Officer’ itu. Di bawah tulisan itu ada sebuah tulisan lagi, tulisan yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya jadi merasa segan.

‘Justin Alexander’.

Di bawah nama itu, ada tulisan ‘Alexander Enterprises Holdings, Inc.’, yaitu nama perusahaan.

Dengan melihat pintu itu saja sudah bisa mendeskripsikan betapa menegangkannya suasana di dalam sana dan betapa berwibawanya lelaki itu.

Lelaki itu berbahaya; dia seberbahaya Azazel, tetapi semenggoda Giacomo Casanova.

Elika mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali dengan pelan. Wanita itu lalu menunggu terdengarnya suara rendah dan berat yang sangat, sangat ia inginkan itu.

"Masuk."

Elika merasa jantungnya berdebar. Ia tersenyum menggoda, lalu berusaha menampilkan belahan dadanya melalui baju ketat yang ia pakai. Jika ada orang yang bilang bahwa ia tergila-gila, itu benar.

Elika tergila-gila dengan pria itu, apalagi pria itu hebat di ranjang.

Elika menutup pintu itu kembali dan menyaksikan sosok bertubuh maskulin itu duduk di kursinya.

Oh. Fuck.

Elika berjalan menghampiri Justin dan menemukan kedua bola mata berwarna lelehan emas Justin itu sedang menatap laptopnya. Elika tersenyum, lalu ia berdeham pelan.

"Sir?"

Justin berhenti sejenak, lalu pria itu menatap Elika seraya memasang ekspresi datar. "Kau sudah selesai?"

Damn. Elika ingin mencium bibir lelaki itu sekarang juga.

"Ya, Sir," ujar Elika sembari tersenyum manis. Justin mengangguk. "Terima kasih. Taruh saja berkasnya di atas meja executive assistant-ku."

Elika mulai menaruh berkas-berkas itu di atas meja Violette, lalu ia menghadap ke arah Justin.

"Apakah executive assistant Anda—maksudku Ms. Morgan…masih belum bekerja, Sir?" tanya Elika pelan.

"Hm."

Elika mengangguk. Satu detik kemudian ia tersenyum. "Kalau begitu, aku bisa me—"

"Tidak usah, Elika. Kembalilah ke ruanganmu dan fokuslah pada pekerjaanmu. Aku akan mengadakan rapat setelah jam istirahat. Beritahukan kepada semua direktur untuk hadir. Aku akan menyuruh assistant-ku yang lain untuk mengerjakan pekerjaan Violette sementara waktu."

Elika tercengang.

Gadis itu lantas mendekati meja Justin seraya mengentak lantai; matanya nyalang. "Mengapa kau sangat dingin kepadaku? Mengapa kau tak melihatku? JUSTIN, LIHAT AKU SEKARANG!!!!" teriak Elika, kemudian Justin menghela napas samar. Pria itu lantas mendongak dan menatap Elika. Ada sebuah kilat yang muncul di matanya saat itu.

"Hanya itukah yang bisa kau katakan padaku?” ujar Elika. “KAU MEMBIARKANNYA LALAI DENGAN PEKERJAANNYA! DIA SUDAH TIDAK BEKERJA SELAMA BEBERAPA HARI DAN KAU HANYA DIAM? ITU BUKAN KAU, JUSTIN!! BUKAN KAU YANG KUKENAL!! MENGAPA KAU MEMILIHNYA DAN TAK MEMILIHKU?"

Justin mendengkus samar. "Keluarlah, Elika."

"TIDAK! AKU TIDAK AKAN—"

"Jangan bandingkan dirimu dengannya," potong Justin dingin. Matanya menyipit tajam.

Elika terdiam.

Ia lalu tersenyum sinis. "Kau akan sadar bahwa gadis itu hanya akan menyusahkanmu, Justin," ujar Elika, lalu ia keluar dari ruangan Justin.

Justin menyaksikan pintu ruangannya ditutup dengan kencang oleh Elika; ekspresi wajahnya masih datar.

Seharusnya ia tak perlu melibatkan Elika dalam permasalahan masa lalunya.

 

******

 

Setelah rapat selesai, Justin keluar dari ruangan rapat itu dan langsung kembali ke ruangannya. Ia mengambil sebungkus rokok, korek api, dan tas kerjanya, lalu ia keluar dari ruangannya dan mengunci pintu. Ia berjalan ke lift, lalu masuk ke lift itu dan pergi ke lantai dasar seraya menghidupkan sebatang rokoknya. Bungkus rokok sekaligus korek api itu ia masukkan lagi ke dalam saku kemeja berwarna hitamnya.

Justin mengembuskan napas berasapnya itu di dalam lift. Pria itu lalu keluar dari lift setelah terdengar bunyi 'ding'. Saat ia sudah berjalan di lobi, semua staf langsung merunduk hormat padanya. Banyak yang hampir berteriak karena kagum akan ketampanannya, tetapi mereka berusaha untuk menahan teriakan itu ketika sedang memberi salam padanya. Kini semua orang sudah tahu bagaimana tampang CEO mereka yang selama ini misterius. Selama ini, staf di lobi pun tak tahu wajah CEO mereka karena Justin tak pernah diikuti oleh pengawal saat ia masuk atau keluar dari perusahaan. Ternyata…sosok pria tampan yang lewat di lobi hampir setiap pagi dan sore itu adalah CEO mereka.

Justin hanya menanggapi mereka dengan senyum tipis atau anggukan, lalu pria itu keluar dari kantor perusahaan—yang hampir memiliki 100 lantai itu—dan mencari mobilnya di tempat parkir. Tadi pagi, dia menggunakan Mercedes-Maybach Exelero-nya, bukan Bugatti Chiron yang ia pakai beberapa hari belakangan.

Justin masuk ke mobilnya, lalu ia meletakkan tasnya di jok samping pengemudi. Pria itu melonggarkan dasinya, melepas jasnya, lalu menarik batang rokok dari mulutnya dan mematikan rokok itu di asbak yang ada di atas dashboard.

Alih-alih menghidupkan mobilnya, Justin malah mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Belum dijawab, memang. Selama Justin menunggu telepon itu diangkat, ia pun menghidupkan mesin mobilnya. Sebuah suara terdengar ketika Justin mulai mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir.

"Justin," ujar gadis di seberang sana, baru saja mengangkat panggilan dari Justin. Gadis itu terdengar agak cemas. "maaf soal tadi pagi, ya. Sebenarnya, kemarin aku bukannya tak mau memberitahumu, aku hanya tak ingin kau berbuat sesuatu untukku ketika mendengar Nathan hilang. Itu berbahaya dan akan berpotensi membongkar rahasia kita. Jadi, aku memilih untuk merahasiakan—"

"Mengapa kau percaya diri sekali bahwa aku akan melakukan sesuatu untukmu?" potong Justin.

Gadis itu, Violette, langsung berteriak, "JUSTIN!!!"

Justin tersenyum miring. "Yah, setidaknya aku akan melakukan sesuatu untuk Nathan, bukan untukmu."

“FINE!” teriak Violette. “TERSERAHMU SAJA, MR. ALEXANDER! YA TUHANKU, AMPUNI AKU, MENGAPA AKU MEMILIKI CEO YANG SEMENYEBALKAN INI...”

"Berikan padaku nomor ponsel orang yang menghubungimu dan menyekap Nathan," ujar Justin ketika membelokkan mobilnya. "Aku akan mencoba untuk mencarinya."

"JUSTIN—KAU TAHU MEREKA MENGHUBUNGIKU? BAGAIMANA MUNGKIN—"

Justin bernapas samar. "Berikan sekarang, Vio. Jangan mengulur waktu ataupun membantahku."

"Iya, tetapi kumohon, Justin, kumohon jangan lakukan apa pun yang menunjukkan bahwa kau adalah mantan anggota Red Lion. Kumohon, itu bisa membahayakan dirimu sendiri. Kita bisa-bisa—"

"Aku tahu. Berikan itu padaku," potong Justin dingin. “Nomor itu juga akan kuberikan kepada polisi.”

"B—baiklah," ujar Violette, lalu sambungan telepon itu terputus. Justin masih fokus menatap jalanan. Tak sampai satu menit, datanglah sebuah pesan yang dikirim oleh Violette.

 

From: Violette

Ini, Sir: +1-646-348-0032

 

Justin membalasnya.

 

To: Violette

Okay.

Don't forget to eat, Vio. I’ll go to your house tonight.

 

From: Violette

HA? :O

KAU TIDAK SERIUS, ‘KAN?

 

Justin tidak membalasnya lagi. Pria itu meletakkan ponselnya di atas dashboard, lalu mulai berkendara dengan kecepatan penuh; mobilnya membelah jalanan sore yang sedikit basah karena gerimis sekitar setengah jam yang lalu.

Justin ingat perkataan Violette tentang suara ayunan, suara yang bergema, dan lain-lain. Dari semua clue itu, Justin mencoba untuk mengunjungi tempat yang paling mungkin. Bisa jadi, polisi juga telah menyelidiki tempat itu.

Namun, ketika Justin sampai di tempat itu, yang ia temukan hanyalah satu.

Kekosongan.

 

******

 

Violette mendongak, menatap langit dari balkon kamarnya; ia duduk di salah satu kursi yang ada di ujung balkon. Lampu kamarnya tidak ia hidupkan, hanya pancaran sinar dari layar laptopnyalah yang sedikit menerangi suasana saat itu. Balkonnya juga gelap. Tidak ada bintang malam ini, rumah Violette juga sedikit jauh dari rumah tetangganya. Jadi, tidak ada lampu dari rumah tetangga yang membantu menerangi balkonnya. Malam itu, di rumahnya hanya ada dirinya seorang.

Violette sering bernyanyi untuk menghibur dirinya sendiri. Baik itu saat sedih atau bosan, ia sering duduk di balkon hanya untuk bernyanyi sembari memainkan gitarnya, seperti saat ini.

Baru saja Violette ingin memetik senar gitar yang ada di pelukannya, ponselnya berbunyi. Violette mengambil ponsel itu dari sakunya dan ternyata ada sebuah pesan masuk.

 

From: +1-646-348-0032

Kau hanyalah mainan bagi Justin.

Dia itu seorang bajingan dan aku yakin kau tahu itu, Lady Morgan.

 

Violette menggertakkan giginya dan menatap pesan itu dengan penuh kebencian. Namun, akhirnya gadis itu menggeleng dan memasukkan ponsel itu kembali ke sakunya.

Violette mulai memainkan gitarnya.

 

I've forgotten how long it has happened

Since I've never again

Listened to you telling your beloved fairytale

I've thought for a long time

I start to panic

Have I done something wrong?

 

Violette berhenti ketika ada setetes air mata yang jatuh ke pipinya. Ah! Dia bahkan tak sadar kapan air mata itu jatuh. Dengan cepat, Violette menghapus air matanya itu dan menggeleng. Berusaha untuk rileks, gadis itu lantas kembali berencana untuk memetik senar gitarnya.

 

"Mengapa berhenti?"

 

...ujar seseorang, terdengar seperti suara yang rendah, berat, dan dingin dari seorang pria. Violette langsung menoleh ke pintu balkon; matanya terbelalak ketika menyadari siapa pemilik suara itu.

“JUSTIN?!!!!!! KAU—"

"Aku sudah bilang aku akan kemari, Nona."

Violette sontak teringat pesan dari Justin tadi sore, lalu ia menggaruk tengkuknya. "Ah...ya...Sir."

Justin mendekati Violette dan duduk di kursi yang satu lagi, di samping kiri Violette. Mata Violette membulat ketika tiba-tiba Justin mengambil gitar itu dari pelukan Violette.

"Itu lagu yang romantis, terjemahan bahasa Mandarin," ujar Justin lembut. Justin bernapas samar. "tetapi ada kunci yang salah kau gunakan. Kau harus berkonsentrasi, jangan menangis dan memikirkan apa pun."

Justin lagi-lagi tahu apa yang Violette lakukan.

"Sejak kapan kau ada di pintu balkonku?!! Bagaimana kau bisa masuk ke rumahku?!!" teriak Violette, menutupi rasa malunya.

Justin mendengkus.

"Sejak nyanyianmu belum terdengar," jawab Justin. “Aku bisa masuk ke sini karena aku sudah pernah datang ke sini. Aku bisa menduplikat kuncimu, tentu saja.”

HECK. APA?! KAPAN IA MENDUPLIKATNYA?

Violette terbatuk dan pipinya merona seketika. Sialan sekali Justin ini.

Violette kembali menanyai Justin, "Mengapa kau selalu melakukan hal yang tak bisa kuduga? Selain itu, mengapa kau—ergh! KAU SANGAT SUSAH DITEBAK DAN AKU HERAN MENGAPA YANG TERLAHIR KE DUNIA ITU KAU, BUKAN TEKA-TEKI SILANG."

Namun, sialnya semua omelan Violette tak dihiraukan oleh Justin. Justru itu semua terpotong dengan suara Justin yang berpadu dengan melodi gitar, menyanyikan sambungan lagu yang tadi Violette nyanyikan. Mata Violette kontan terbelalak; Violette menatap Justin dengan terkejut. Suara Justin...benar-benar indah. Suara pria itu sangat bagus...

Ini adalah pertama kalinya Violette mendengar Justin bernyanyi.

 

You said to me with full of tears,

Inside the fairytale are all lies.

I can't possibly be your prince,

Maybe you can ever understand.

You said I love you ever after,

The stars in my sky has lightened up.

 

I'm willing to be,

That angel you love inside the fairytale.

Spread up my hands,

Become the wings to protect you,

You must believe, believe that we can be like that in the fairytale.

Prosperity and happiness in the ending...

 

"Terpana dengan apa yang kau lihat, hm?"

Violette terperanjat, mata gadis itu langsung membulat. "HEI!!!! TIDAK!"

Justin tersenyum. Walau di antara kegelapan...entah mengapa Violette bisa melihatnya dengan jelas. Violette bisa melihat dengan jelas bahwa senyuman Justin saat itu adalah senyum yang sangat manis.

Dia tersenyum!

Justin...untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu berlalu...

Violette nyaris lupa bernapas. Itu...adalah senyuman yang benar-benar indah.

"Let's go to your bed, Vio. You should sleep."

Justin lantas menarik tangan Violette hingga membuat Violette yang masih sungkan berdiri itu merasa terkejut dan melebarkan matanya. Justin membawa Violette; pria itu berjalan agak cepat dan mendudukkan Violette di ranjang milik gadis itu. Setelah itu, Justin menaruh gitar Violette di samping meja rias Violette.

Justin mulai menutup pintu balkon. Pria bertubuh maskulin itu lalu menarik dasinya dan menaruh benda itu di atas meja rias Violette.

Justin mendekati Violette lagi. Ia berdiri di samping kasur Violette, berhadapan dengan Violette yang masih duduk di kasur kecilnya yang hanya cukup untuk satu orang. Sembari membuka satu kancing bagian atas kemejanya, Justin langsung mengangkat sebelah alisnya ketika melihat mata Violette yang tiba-tiba memelotot.

"APA YANG MAU KAU LAKUKAN, HAH?!!! OH GOD!" Violette langsung mengalihkan pandangannya dari Justin.

"Apa yang ada di dalam pikiranmu? Masih bodoh seperti biasanya," ujar Justin, nadanya datar.

"DIAMLAH, JUSTIN! KAU BENAR-BENAR—APA MAKSUDMU MEMBUKA BAJUMU DI SINI??!!!"

"Alasan apa yang kira-kira ingin kau dengar, hmm?" Justin memiringkan kepalanya seraya tersenyum miring.

Violette menganga. "MR. CEO YANG TERHORMAT, KAU KENAPA, SIH?!! HENTIKAN!!"

"Justru kaulah yang kenapa. Lihat baik-baik,” ujar Justin.

Eh?! Apa maksudnya itu?

Mengedipkan matanya beberapa kali, Violette akhirnya merasa penasaran. Berarti ada yang salah dengan reaksinya hingga membuat Justin berkata seperti itu?

Akhirnya, Violette perlahan-lahan berbalik. Menoleh kepada Justin kembali.

…dan ternyata Justin tidak membuka pakaiannya. Pria itu hanya membuka satu kancing kemejanya.

Pipi Violette merona; ia malu dan langsung membuang muka. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Kata-kata 'Matilah aku' terus terucap di kepalanya.

"Jadi, Ms. Morgan, apa kau belum mau tidur?” tanya Justin.

Pelan-pelan—dengan rasa malu—Violette pun menoleh kepada Justin lagi. “A—aku…”

“Aku ingin kau tidur di lantai bersamaku," ujar Justin sembari mulai duduk di lantai, di samping kasur Violette. Dia berselonjor di sana.

"TIDAK, TERIMA KASIH!” teriak Violette panik. “TERIMA KASIH ATAS TAWARANMU, SIR! DAN—APA?! KAU TIDUR DI SINI?"

"Ya," jawab Justin singkat.

Violette melebarkan matanya.

"Mengapa?!!! Rumahmu lebih luas!! Kamarku panas dan aku—aku tak bisa tidur jika kau ada di sini!! Ya Tuhan," keluh Violette.

"Apa kau sering terbangun di malam hari, Violette?" tanya Justin. Dia mengabaikan Violette lagi, astaga.

Akhirnya, Violette menghela napas. "Ya, terkadang."

“Kalau begitu, tidurlah bersamaku di lantai,” ujar Justin sembari menatap Violette dengan tajam.

Mendadak wajah Violette memerah lagi. Gadis itu merasa jantungnya seolah jatuh ke perut. "Tidak, terima kasih, Sir! Aku berjanji aku takkan mimpi buruk! Aku tidur sekarang, Sir, good night!" ucap Violette dengan panik. Gadis itu langsung berbaring di kasurnya dengan posisi membelakangi Justin—menyamping—dan mengubur dirinya di dalam selimut.

Tak lama kemudian, Justin berbaring di lantai itu. Tidak ada bantal yang pria itu gunakan, tetapi mungkin karena lelah, pria bertubuh maskulin itu pun tertidur di sana.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Violette tiba-tiba terbangun dengan keringat di pelipisnya; ia terbangun karena memimpikan sesuatu. Namun, ia tidak berteriak. Ia bermimpi tentang masa kecilnya lagi. Tentang kecelakaan itu.

Dengan gemetar, Violette mulai bergerak ke pinggir dan akhirnya turun dari kasur. Gadis itu lantas mengguncangkan tubuh Justin meski tangannya masih gemetar. Violette ingin Justin terbangun dan menemaninya. Demi Tuhan, apa yang telah terjadi padanya seharian ini? Ini pasti karena Nathan...

Akhirnya, Justin membuka matanya. Violette menghela napas; ia benar-benar bersyukur. Setelah itu, Violette berkata dengan lirih, "Ju—stin...aku… Tolong temani aku..."

Justin menghela napas samar. Pria dengan tubuh berotot yang tercetak jelas di balik kemeja tak rapinya itu langsung mengulurkan tangannya ke belakang leher Violette dan menarik Violette ke dalam pelukannya.

“Dasar nona keras kepala. Kemarilah.”

Oleh karena itu, Violette kini jadi berbaring di samping Justin. Gadis itu berada di dalam pelukan Justin yang tubuhnya cukup untuk melingkupi seluruh tubuh Violette.

 

******

 

Violette:

"Justin, bisakah kau berhenti menggandengku seperti ini? Kau tahu, kau seperti seorang ayah yang habis marah dengan anaknya yang barusan bermain di parit, lalu membawanya pulang dengan kesal. Lagi pula, apa kau tak malu? SEMUA ORANG MELIHAT KE SINI!!! Aku seperti parasit yang menempel di tubuhmu dan mereka tak ingin melihat itu, astaga," ocehku pada Justin yang berjalan di depanku.

Justin menghela napas samar. "Kau selalu tak bisa diam tiap kali aku melihatmu."

"KAULAH YANG MEMBUATKU TAK BISA DIAM!!! OH, GOD, HELP ME..." Aku merengek.

Justin hanya diam. Aku tahu kalau semua orang di lobby tengah menatap kami sembari berbisik-bisik. Mereka terkagum-kagum pada kami—oh, maksudku terkagum-kagum pada Justin. Mereka mungkin berbisik-bisik karena mereka heran dengan adanya diriku di samping Justin. Namun, sepertinya ini sudah berkali-kali terjadi dan aku yakin mereka pasti sudah tahu soal hubunganku dengan Justin.

Damn, Violette, hentikan analisis yang memalukan ini.

Sungguh, aku sangat malu tatkala memikirkan tentang hubungan kami...dan aku selalu merasa tak menyangka. Justin ini memiliki banyak wanita yang mengaguminya. Lagi pula, ada juga rumor yang mengatakan bahwa dia itu...bajingan, 'kan? Jadi, mengapa dia malah…oh, lupakanlah.

Ketika kami baru akan sampai di lift, aku melihat Megan lewat. Dia tampaknya ingin pergi ke meja resepsionis. Dia pergi ke arah yang berlawanan, tetapi posisinya agak jauh di ujung sana...dan dia bersiul mengejekku! Sialan!

Oh, please, Meg! Hentikan!

Ketika sampai di lift, aku dan Justin sama-sama diam. Justin akan selalu seperti itu, sebelum kau menampar wajahnya dengan kuali berbahan aluminium di dapurmu. Namun, Justin sejujurnya memang...lebih cocok dengan karakter itu. Aku justru akan merasa aneh jika dia tiba-tiba bersikap baik dan hangat. Soalnya, rasanya itu seperti bukan Justin.

Ketika sudah sampai di dalam ruangan CEO, dia mulai melepaskan genggaman tangannya dan aku langsung menutup pintu ruangan itu. Dia langsung duduk di kursinya setelah sebelumnya meletakkan tasnya di atas sofa.

Pria itu duduk dan mulai membuka laptopnya. Aku masih berjalan ke mejaku ketika dia berkata dengan dingin padaku, "Sebentar lagi assistant-ku akan datang membawa berkas yang seharusnya kau kerjakan kemarin. Ambil itu darinya, lalu selesaikanlah semua hal yang harus kau selesaikan hari ini." Justin memberi jeda sejenak. Aku duduk dan meletakkan tasku di atas meja ketika akhirnya dia melanjutkan, "Nanti ada rapat dan kau harus ikut bersamaku. Jangan pulang lebih awal dariku."

Yeah...itu memang pekerjaanku, ‘kan? Lagi pula, aku tak bisa kabur karena aku tak membawa motorku. Motorku ditinggal di rumah karena hari ini aku berangkat dari rumah bersama Justin.

Aku lantas mengangguk, lalu menjawab, “Baiklah, Sir.” []

 









******









My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 10: A Hot Kiss at CEO's Room)

  ****** Chapter 10 : A Hot Kiss at CEO’s Room   ******   Justin: TIDAK ada yang istimewa. Produk yang sedang diusahakan kali ini sedikit t...