Chapter
3 :
Full
Harvest Moon
******
AKHIRNYA,
setelah
berada di Kuil Dewa Hymen selama kurang lebih satu jam, Hiyori pun turun dari
gunung. Jika mendaki gunung itu hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh
menit, maka menuruninya tentu akan lebih cepat. Gunung itu bukan gunung yang
tinggi.
Sepanjang
menuruni gunung, kata-kata dan tingkah laku Dewa Hymen terus berkecamuk di
kepala Hiyori. Kata-katanya, suaranya, rupanya yang sempurna, rambut
panjang berwarna silver-nya yang tertiup angin, senyum miringnya, serta
kedipan matanya…
Semuanya
terus berputar di kepala Hiyori bagaikan potongan-potongan adegan atau potongan-potongan
memori indah dari masa lalu. Anehnya, semuanya terekam dengan kualitas tertinggi
di dalam kepalanya, layaknya ketika seseorang menyimpan memori terindah yang
ada di dalam hidupnya untuk terus dikenang kembali.
“Kalau
begitu, mohon bantuannya, ya, Hiyori-chan.”
Aaaah,
sial! Suara sang Dewa jadi terngiang-ngiang di telinga Hiyori. Hiyori memukul
keningnya dengan pelan beberapa kali sembari merutuki dirinya sendiri. Aduh,
jangan macam-macam, deh. Kalau Dewa bisa membaca pikiranmu dari kejauhan
bagaimana?
Ketika
Hiyori sudah hampir sampai di kaki gunung, dari kejauhan Hiyori sudah bisa
melihat betapa ramainya warga-warga desa yang berdiri menyambut kedatangannya.
Mereka semua terlihat sangat gembira, bahkan ada yang terlihat memeluk satu
sama lain karena sama-sama bersyukur. Namun, tiba-tiba salah satu dari mereka—seorang
pria paruh baya—mulai menyadari kedatangan Hiyori dan matanya langsung melebar.
Pria itu kontan menunjuk Hiyori.
“Oh,
Hiyori-chan!!! Semuanya! Itu! Itu Hiyori sudah pulang!!!” teriaknya.
Spontan
para warga langsung menoleh kepada Hiyori yang baru saja sampai di kaki gunung.
Hiyori tersenyum kikuk, tetapi para warga langsung melebarkan mata dan
tersenyum bahagia saat melihat Hiyori. Mereka langsung heboh, langsung
mendekati Hiyori dan bahkan ada yang sampai berteriak mengucapkan terima kasih
kepada Hiyori. Beberapa ibu-ibu mulai memeluk tubuh Hiyori sampai Hiyori merasa
sesak.
“Ya
Tuhan, Hiyori, terima kasih banyak, Nak!!” teriak salah satu wanita paruh baya.
“Bencana di desa kita benar-benar hilang dalam sekejap!”
Setelah,
itu, suara-suara warga yang lain mulai terdengar; suara mereka saling menyusul.
“Iya,
benar! Luar biasa!”
“Aku
akan memberikanmu dan kedua orangtuamu separuh hasil panenku yang selanjutnya!”
“Aku
tahu bahwa Dewa Kemakmuran adalah dewa yang hebat, tetapi kali ini aku
benar-benar menyaksikan kekuatan besarnya dengan mata kepalaku sendiri!”
“Benar!
Aku juga melihat bagaimana banjir itu tiba-tiba surut dan semua tumbuhan yang
mati jadi hidup kembali!”
“Bencananya
hilang dengan cara yang begitu ajaib! Kau adalah pahlawan kami, Hiyori!”
“Hiyori,
kau mau apa? Aku akan memberikanmu hadiah sebagai bentuk terima kasih!”
Menanggapi
semua itu, Hiyori hanya tertawa canggung. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal. “Ah—haha… Tidak usah, Pak, Bu… Tidak apa-apa.”
Seluruh
warga di sana kembali ribut, mereka tetap bersikeras untuk memberikan Hiyori
sesuatu atau mengistimewakan Hiyori karena telah menyelesaikan masalah yang
menimpa desa mereka. Mereka kira…tadinya mereka benar-benar akan mati secara
perlahan.
Namun,
di tengah keributan itu, tiba-tiba sang Tetua Desa, Raiden-sama, maju ke depan.
Pergerakannya itu langsung membuat warga-warga desa terdiam; mereka langsung
menyimak apa yang ingin Raiden-sama katakan. Hiyori pun menoleh kepada Raiden
sama dan merunduk hormat.
“Raiden-sama,”
sapa Hiyori.
Raiden-sama
lantas mengangguk. “Apakah kau baik-baik saja, Hiyori?”
Hiyori
tersenyum simpul, lalu mengangguk. “Iya, Raiden-sama. Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah
kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu, ya.” Raiden sama tersenyum. “Apakah
kau mau menceritakan apa yang telah terjadi di atas sana, Hiyori?”
Hiyori
melebarkan mata. Gadis itu meneguk ludahnya.
Astaga,
bagaimana
ini? Terjadinya bencana tersebut sebenarnya ada hubungannya juga dengan Hiyori.
Bagaimana kalau penduduk desa jadi marah padanya saat mengetahui kenyataan itu?
Namun,
mau tidak mau Hiyori harus menceritakannya. Penduduk desa pasti ingin tahu apa
yang terjadi dan apa yang membuat Dewa mau menghentikan bencana itu. Apabila
mereka tahu kronologinya, mereka pasti bisa menghindari bencana yang mungkin
terjadi di masa depan. Jika memang bencana itu terjadi karena Dewa marah,
maka mereka harus tahu apa yang membuat Dewa marah.
Hiyori
harus menceritakan semuanya. Ia harus jujur dan meminta maaf kepada penduduk
desa tentang apa yang telah terjadi.
Akhirnya,
seraya menatap Raiden-sama dengan yakin, Hiyori pun mengangguk. “Baiklah,
Raiden-sama. Aku akan menceritakannya.”
******
Banyak
pasang mata yang saat ini tengah memperhatikan Hiyori dengan saksama. Setelah
Hiyori setuju untuk menceritakan semuanya, Raiden-sama dan para warga lainnya
lantas membawa Hiyori ke sebuah gazebo kayu luas milik warga yang letaknya tak
jauh dari kediaman Raiden-sama.
Banyak
warga yang ikut duduk di dalam gazebo itu, bahkan ada juga yang berdiri di
sekitar gazebo hanya untuk mendengarkan apa yang akan Hiyori ceritakan, tetapi
tidak semua warga ada di sana karena keterbatasan ukuran gazebo itu. Gazebo itu
luas, tetapi tentu saja takkan cukup untuk menampung semua warga. Kebanyakan
warga yang hadir di sana adalah para kepala keluarga sehingga nanti mereka
tinggal menceritakan semuanya kembali kepada istri dan anak mereka.
Hiyori
duduk di spot yang dapat dilihat oleh semua orang. Mereka duduk
melingkar di gazebo luas itu dan Hiyori duduk berseberangan dengan Raiden-sama.
Suasana
saat itu cukup hening meskipun banyak orang yang hadir. Mereka semua sedang
menanti cerita dari Hiyori. Keheningan itu jujur membuat Hiyori beberapa kali
meneguk ludahnya; ia duduk di sana dengan tegang dan kepalanya menunduk. Ia jadi
gelisah, terutama karena semua orang melihat ke arahnya.
Beberapa
detik kemudian, suara Raiden-sama pun terdengar.
“Baiklah,
Hiyori. Sebenarnya…apa yang terjadi di atas sana? Maukah kau memberitahukan detailnya
kepadaku?” tanya Raiden-sama perlahan-lahan.
Mata
Hiyori sedikit melebar.
Ah,
inilah saatnya.
Pelan-pelan,
Hiyori mulai mengangkat wajahnya. Menatap Raiden-sama yang duduk di depan sana,
tengah memperhatikannya dengan lekat.
Hiyori
kembali meneguk ludahnya. Ia bernapas samar.
Dua
detik kemudian, ia pun menjawab Raiden-sama, “Iya, Raiden-sama.”
Raiden-sama
tersenyum tipis—dan senyuman itu sejujurnya sedikit membuat Hiyori tenang—lalu pria
lanjut usia itu mengangguk. “Ceritakan padaku, Hiyori.”
Hiyori
mengangguk. Gadis itu pun mulai bercerita.
“Sebelumnya…maafkan
aku, semuanya!!” Hiyori tiba-tiba membungkuk, ia mengepalkan kedua
tangannya yang bertumpu di pahanya sendiri. Hiyori melipat bibirnya dengan
gelisah dan tangannya sedikit gemetar. Sementara itu, semua orang yang
melihatnya membungkuk seperti itu kontan melebarkan mata; mereka bingung
mengapa Hiyori tiba-tiba meminta maaf.
Hiyori
lalu melanjutkan, “Sebenarnya…bencana itu…” Hiyori menarik napas, mendadak
jantungnya berdebar. “Bencana itu…ada hubungannya denganku, Pak, Bu…”
Semua
orang diam. Mereka agak bingung.
“Hiyori,
lihat aku,” ujar Raiden-sama tiba-tiba. Mendengar panggilan dari
Raiden-sama itu, Hiyori langsung melebarkan matanya. Pelan-pelan, dengan
takut-takut, Hiyori pun mengangkat wajahnya kembali dan menatap Raiden-sama.
Dilihatnya
Raiden-sama yang menatapnya seraya menyatukan alis. “Tenanglah, Hiyori.
Maksudmu bagaimana?”
Hiyori
kembali meneguk ludahnya.
“Aku…”
ujar Hiyori, ia berbicara dengan gugup. “Waktu Anda menyuruhku untuk
mengantarkan persembahan kepada Dewa sembilan hari yang lalu, sebenarnya ada
beberapa percakapan yang terjadi di antara aku dan Dewa, tetapi pada
akhirnya…aku…kabur…”
Semua
orang mulai menatap Hiyori dengan penuh tanda tanya. Namun, Tetua Desalah yang
akhirnya menyuarakan pertanyaan mereka. “Mengapa kau kabur?”
Hiyori
agak menunduk, gadis itu melipat bibirnya. “A—aku…malu…”
Raiden-sama
memiringkan kepalanya. “Malu? Apakah Dewa mengatakan sesuatu yang membuatmu
malu?”
Hiyori
kontan melihat ke arah Raiden-sama lagi. Gadis itu diam sejenak—dengan ekspresi
ragu—tetapi akhirnya ia menjawab, “I—iya, Raiden-sama.”
“Apa
yang sang Dewa katakan, Hiyori?” Kali ini Naoto-san yang bertanya. Hiyori
langsung menoleh kepada pria itu.
Hiyori
lagi-lagi menunduk. Ia meremas jemarinya sendiri dengan gelisah. Ini agak memalukan
untuk diceritakan. Namun, semua orang sedang menunggunya.
Hiyori
menggigit bibirnya sejenak, lalu ia pun menjawab, “Dewa bilang…dia suka…a—aroma
tubuh gadis muda sepertiku. Dewa bilang, baru kali inilah Raiden-sama
mengirimkan seorang gadis sepertiku untuk mengantarkan persembahan kepadanya.”
Semua
orang yang mendengar perkataan Hiyori itu kontan menganga. Mereka tercengang.
Raiden-sama
membulatkan matanya. Ia juga agak kaget saat mendengar itu.
“Jadi,
apakah Dewa marah padamu karena kau kabur, Hiyori?” tanya Raiden-sama.
“Setelah
Anda dan para warga lainnya menyuruhku untuk naik ke gunung, aku sebenarnya
sempat berpikir seperti itu, Raiden-sama,” jawab Hiyori. “tetapi ternyata bukan
karena itu Dewa menurunkan bencana di desa kita.”
Raiden-sama
kembali menyatukan alisnya, tetapi ia hanya diam. Menunggu Hiyori melanjutkan.
Hiyori
bernapas samar. “Satu hari setelah aku naik ke gunung, Dewa melihat orang yang
mengantarkan persembahan kepadanya dan ternyata…itu bukan…aku. Dewa ingin akulah
yang mengantarkan persembahan untuknya, jadi dia menciptakan bencana itu agar
kita semua bisa mengerti apa yang dia inginkan.”
Seluruh
warga di sana—termasuk Raiden-sama—betul-betul tercengang, mereka takjub dengan
apa yang baru saja mereka dengar. Ternyata…permasalahannya…
…sesimpel
itu?
Mereka
semua menderita selama berhari-hari, astaga!
“Jadi…begitu
kau naik tadi, Dewa langsung menghilangkan bencana itu?” tanya Raiden-sama.
Hiyori
menatap Raiden-sama, lalu menjawab, “Dewa mau menghilangkan bencana di desa
kita, Raiden-sama, tetapi dengan satu syarat.”
Kini
giliran ayahnya Hiyori yang bertanya, “Syarat apa, Nak?”
Dengan
ragu, Hiyori pun menjawab seraya menatap ayahnya, “Dewa… Dewa berkata…mulai
sekarang hanya akulah yang boleh mengantarkan persembahan dari Desa Shinrei
untuknya. Jika tidak begitu, maka bencana di Desa Shinrei takkan ia hentikan.”
Kontan
semua orang membelalakkan mata. Otoya-san, salah satu warga yang biasa
mengantarkan persembahan untuk Dewa, lantas berkata, “Astaga! Kau serius,
Hiyori?”
“Waduh,
bagaimana itu, Hiyori?” tanya warga lain. “Kalau begitu ceritanya, berarti kau
harus naik turun Gunung Kouzu setiap hari, lho!”
Hiyori
menunduk. Ia sadar akan hal itu.
Orang
yang duduk di sebelah Hiyori—salah satu warga desa—lantas menepuk pundak Hiyori
pelan. Mencoba untuk menenangkan Hiyori. Semua orang di sana mulai agak ribut,
mereka saling membicarakan keinginan sang Dewa itu dengan orang-orang yang ada di
sebelah mereka. Akan tetapi, situasi itu dengan cepat dihentikan oleh
Raiden-sama yang tiba-tiba mengangkat tangannya agar semua orang diam.
Setelah
semua orang terdiam, Raiden-sama lantas bertanya lagi kepada Hiyori, “Melihat desa
kita yang sudah terbebas dari bencana…berarti kau menyetujui permintaan Dewa,
ya, Hiyori? Apakah kau tidak apa-apa?”
Banyak
orang yang mengangguk—menyetujui pertanyaan Raiden-sama karena sepemikiran—lalu
mereka menatap Hiyori dengan penuh perhatian. Mereka khawatir. Sebenarnya, dari
cerita Hiyori barusan, mereka mengerti mengapa Hiyori bilang dia ada
hubungannya dengan bencana itu. Akan tetapi, sebetulnya…itu bukan salah Hiyori
juga.
Hiyori
menatap semua orang, lalu perlahan-lahan ia mengangguk.
“Iya,
Raiden-sama. Aku menyetujuinya. Aku tak ingin Desa Shinrei tenggelam.” Hiyori sedikit
membungkuk, menghormati Raiden-sama. “Mulai sekarang akulah yang akan mengantarkan
persembahan untuk Dewa Kemakmuran setiap harinya, Raiden-sama. Aku tidak
apa-apa.”
Mendengar
jawaban dari Hiyori, beberapa dari mereka bernapas lega, tetapi beberapa yang
lainnya tetap merasa tidak enak karena harus menyerahkan semuanya kepada
Hiyori.
“Baiklah.
Kami semua akan tetap membantumu apabila kau membutuhkan bantuan, Hiyori,” ucap
Raiden-sama dengan penuh perhatian. “Akan tetapi…ternyata sejak awal dugaanku benar.
Dewa ingin kaulah yang mengantarkan persembahan itu ke kuilnya.”
Tiba-tiba
ada salah satu wanita paruh baya yang angkat suara.
“Sepertinya,
Dewa tertarik padamu, Hiyori.”
Hiyori
kontan mengangkat wajahnya—menoleh ke asal suara—lalu matanya membulat. Hah?
“I—itu—"
“Iya,
benar!” sahut wanita yang lain, bahkan sebelum Hiyori sempat merespons. “Dewa
sepertinya menyukaimu, Hiyori.”
“Astaga,
sepertinya desa kita akan makmur, nih, kedepannya.”
“Bukan
makmur lagi, desa kita mungkin akan dispesialkan!”
“Tidak
apa-apa. Hiyori, kan, sudah dewasa.”
“Ternyata
bencana kemarin adalah jalan menuju kesejahteraan yang sesungguhnya!”
“Hiyori,
aku akan membujuk suamiku untuk memberikanmu seluruh hasil panen kami
yang selanjutnya, bukan hanya separuh!”
Akibat
asumsi serta seloroh para wanita paruh baya itu, banyak orang yang mendadak jadi
terkekeh. Suasana saat itu mendadak jadi mencair, ada juga yang sampai
menggeleng geli. Banyak yang cekikikan. Akan tetapi, ayah dan ibunya Hiyori kelihatannya
masih tercengang. Mereka tak menyangka bahwa sang Dewa akan tertarik kepada
anak gadis mereka.
Ya…kalau
dipikir-pikir, ada-ada saja. Satu desa hampir mati tenggelam cuma gara-gara
sang Dewa ingin bertemu lagi dengan seorang gadis.
Hiyori
jadi salah tingkah sendiri; pipi Hiyori memerah dan ia menunduk malu.
Raiden-sama
pun sampai ikut terkekeh. Pria berbaju coklat tua itu lantas berkata pada
Hiyori, “Ya sudah, Hiyori. Tetaplah melakukan apa yang Dewa minta. Kami akan
selalu bersamamu.”
Mendengar
perkataan Raiden-sama itu, Hiyori lantas menatap wajah Raiden-sama, tetapi kini
dia hampir merengek.
Oh,
astaga, kalian semua tak tahu bahwa dewa itu agak aneh…
******
Hiyori
menatap ke jendela.
Gadis
itu sedang berbaring di kasurnya. Ia sudah menyelimuti tubuhnya dan lampu
kamarnya sudah dimatikan. Namun, karena tak bisa tidur, otaknya langsung
kembali mengingat kejadian tadi pagi.
Rasanya
banyak sekali yang terjadi hari ini. Semuanya seakan tak nyata. Hari ini terasa
begitu panjang dan tak masuk akal, seperti petualangan di dalam mimpi.
Tatkala
menatap ke jendela kamarnya—di samping kiri—yang ditutupi oleh gorden berwarna
putih tipis, Hiyori lantas melihat bulan purnama yang bersinar sangat terang
di langit malam ini. Cahayanya menembus masuk ke kamar Hiyori melalui jendela. Menerangi
sebagian kamar Hiyori, terutama bagian kasur. Kulit lengan, betis, dan wajah
Hiyori yang putih itu semakin terlihat bersinar akibat cahaya bulan itu. Rambut
berwarna ungunya tampak berkilau.
Ah.
Iya. Ini adalah awal musim gugur. Berarti, Hiyori sedang melihat bulan purnama di
awal musim gugur.
Bulan
Panen.
Rasanya
damai sekali, padahal tadi pagi semuanya terasa kacau. Tadi pagi masih
banjir. Tahu-tahu malam ini sudah jadi sedamai ini. Seakan-akan tak pernah
terjadi apa-apa.
Hymen-sama
benar-benar kunci dari segala hal di desa ini, pikirnya.
Apa
pun itu, Hiyori merasa lega. Akhirnya, bencana di desanya berakhir. Akhirnya,
semuanya kembali normal, kecuali fakta bahwa kedepannya dia harus mengantarkan
persembahan untuk Dewa Hymen setiap hari.
Semoga
tidak ada masalah. Semoga kemesuman Dewa Hymen agak berkurang, ucap
Hiyori di dalam hati.
Tadi,
ketika sedang makan malam, Hiyori dan keluarganya kembali membicarakan tentang
Dewa Kemakmuran. Ayah dan ibu Hiyori kembali mempertanyakan apa yang terjadi
tadi pagi serta apa yang terjadi sembilan hari yang lalu—saat pertama kali
Hiyori mengantarkan persembahan untuk Dewa—secara mendetail. Jadi, kali ini
Hiyori kembali menceritakan seluruh kejadiannya secara berurutan tanpa ada
yang terlewat. Ingatannya tentang Dewa Kemakmuran benar-benar sebening kristal.
Akan tetapi, Hiyori tak menceritakan bagaimana ia sempat mengomeli Dewa
dan mengatai dewa itu mesum karena pasti orangtuanya akan memarahinya
habis-habisan. Kalau diceritakan, takutnya Hiyori malah dihukum dan disuruh membersihkan
kebun milik ayahnya seharian.
Saat
mendengarkan itu, ayah dan ibu Hiyori semakin yakin bahwa Dewa Kemakmuran
memang benar-benar tertarik kepada anak mereka. Mereka lantas menanyai
Hiyori apakah Hiyori benar-benar tidak apa-apa, tetapi jawaban Hiyori masih
sama. Ia lebih baik naik turun gunung setiap harinya daripada desa mereka
tenggelam.
Jadi,
agar Hiyori tidak terlalu lelah, ibu Hiyori memutuskan untuk mengurangi
pekerjaan rumah Hiyori. Ayah Hiyori juga berpesan kepada Hiyori untuk selalu bersikap
baik kepada Dewa karena pada dasarnya dewa itulah yang menjadi kunci kemakmuran
di desa mereka. Hiyori pun mengangguk—mengiyakan ayahnya—padahal di dalam
hatinya dia rasanya mau menangis. Dewa Hymen itu mesum! Rasanya bagai memasukkan
diri sendiri ke sarang predator dengan sukarela.
Ah.
Entahlah.
Hiyori
mau tidur saja.
******
Di
dalam kamar Hiyori yang cukup gelap, di antara cahaya bulan purnama malam
itu, ada sebuah sosok bercahaya yang perlahan-lahan muncul dari arah
jendela. Sosok itu seolah terbang dari suatu tempat menuju ke kamar
Hiyori, tetapi hanya menampakkan dirinya tatkala sudah sampai di kamar Hiyori. Sosok
itu mulai datang, kakinya mendarat di lantai dekat jendela, lalu berdiri
di sana seraya melihat Hiyori. Sosoknya begitu bersinar bak malaikat malam itu,
bagai mengeluarkan cahaya dan mengalahkan sinar bulan purnama yang masuk
ke kamar Hiyori.
Sosok
itu hanya berupa roh. Tidak bisa disentuh.
Di
malam yang sunyi itu, Dewa Hymen mengunjungi Hiyori dalam wujud roh. Roh yang
terlihat amat bersinar, terutama karena rambut silver-nya serta
terangnya bulan malam itu. Ia datang ke kamar Hiyori dan menemukan bahwa Hiyori
sudah tertidur lelap di kasurnya.
Dewa
Hymen melangkah mendekat. Ia berdiri di samping kasur Hiyori dan membelakangi
jendela. Memperhatikan Hiyori yang tertidur dengan posisi menyamping seraya
memeluk gulingnya. Napas Hiyori berembus dengan teratur; gadis itu tertidur lelap
dengan wajah yang damai.
Sebuah
senyuman muncul di wajah sang Dewa. Matanya yang berwarna abu-abu itu memandang
Hiyori lekat-lekat.
“Kalau
sedang tidur seperti ini, gadis ini terlihat tenang,” ujar sang Dewa lirih.
“Siapa sangka dia akan sangat bawel saat terjaga?”
Dewa
Hymen diam sebentar, lalu ia mengangkat sebelah alisnya.
“Mengapa
aku baru sadar bahwa ada anak gadis secantik ini di Desa Shinrei? Aku sudah
terlalu lama bersantai-santai,” ujarnya. “Apakah ada anak gadis cantik lainnya?”
Setelah
mengatakan itu, Dewa Hymen lantas tersenyum miring. Dengan gerakan yang pelan,
ia mulai membungkuk dan menempelkan ujung jari telunjuknya ke dahi Hiyori.
Dari
ujung jari telunjuk itu, keluar sebuah cahaya berwarna putih. Bersinar
terang seperti lampu kecil; lampu itu tetap hidup selama beberapa detik seolah mengalirkan
cahayanya ke dalam kepala Hiyori. Hingga akhirnya, cahaya itu perlahan-lahan
padam.
Dewa
Hymen memberikan sebuah perlindungan kepada Hiyori.
Setelah
selesai memberikan perlindungan itu, Dewa Hymen pun tersenyum lembut. Ia
lantas berdiri tegak kembali, memandangi Hiyori selama beberapa detik, lalu
akhirnya ia berbalik.
Ia
berjalan ke dekat jendela, lalu sosoknya yang berwujud roh itu akhirnya pergi.
Roh itu berubah menjadi asap yang tipis, lalu asap itu menghilang tanpa
jejak di udara.
******
Pintu
berdaun dua kuil itu terbuka dengan sendirinya begitu Dewa Hymen mendaratkan
kakinya di lantai teras kuil. Sama seperti bagaimana ia muncul di kamar
Hiyori, begitu pulalah ia muncul di depan pintu kuil itu; ia muncul secara tiba-tiba
di sana, tampak seperti habis terbang, tetapi baru menampakkan sosoknya tatkala
ia mulai mendarat.
Namun,
kali ini ada yang berbeda. Setelah kedua kakinya telah berpijak di lantai teras
kuil, wujud rohnya itu perlahan berubah. Wujudnya kembali normal dan kini siapa
pun bisa melihatnya.
Dewa
Hymen melangkah mendekati pintu utama kuil itu dengan tenang. Pembawaannya saat
itu tampak seperti air yang tak beriak. Akan tetapi, saat ia baru saja sampai tepat
di pintu itu—belum benar-benar masuk—tiba-tiba langkahnya terhenti.
Suasana
kuil itu sepi, seperti biasanya, tetapi Dewa Hymen tiba-tiba membuka suara.
“Oi.
Apa yang kau lakukan di sana?”
Tiba-tiba
saja di ujung sana—di sebelah kanan—muncullah seorang pria. Pria itu memiliki
tubuh yang kurang lebih sama besarnya dengan Dewa Hymen. Pria itu
memakai baju dan celana yang berwarna hitam, tetapi dilapisi dengan sebuah
kimono merah berbordir emas di bagian luarnya. Rambut pria itu berwarna merah
tua. Matanya berwarna keemasan bak mata seekor harimau. Ada sebuah
anting-anting permata panjang yang terpasang di telinga sebelah kirinya.
Berbeda
dengan Dewa Hymen yang kemunculannya tidak ditandai dengan apa pun,
kemunculan pria itu diawali dengan sebuah percikan api. Pria itu
langsung memperlihatkan wujudnya begitu Dewa Hymen menegurnya.
Pria
yang baru muncul itu lantas cengengesan. Sama seperti Dewa Hymen, wajah pria
itu terlihat tegas, perawakannya tampak kuat, tetapi di sisi lain…ia juga
terlihat seperti orang yang suka bermain-main. Tidak serius.
A
mischievous one.
Tatkala
melihat Dewa Hymen, pria itu langsung mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu
dengan riang ia berkata, “Wow, wow, Hymen. Santai, dong. Galak sekali,
sih. Sudah lama kita tak bertemu.”
Mendengar
jawaban pria itu, Dewa Hymen pun menghela napas.
Ah,
sepertinya malam ini dia takkan bisa beristirahat dengan tenang. Ada Enzou, sang
Dewa Api, yang menginvasi kediamannya. []
******