Chapter 9 :
Come
Here, My Dear
******
Violette:
MEGAN
masih tertawa
kencang.
Ah...ini memang pantas untuk dia
tertawakan. Lagi pula, siapa yang akan menyangka bahwa pada akhirnya aku malah berpacaran
dengan CEO yang kubenci itu? Aku juga ingin menertawakan diriku sendiri.
Sialan, mengapa aku bodoh sekali? Aku mengacak rambutku dengan frustrasi,
sementara Megan masih tertawa. Aku bersandar pada kepala ranjangku yang terbuat
dari kayu bercat keemasan.
Namun, tiba-tiba Megan berhenti
tertawa. Setelah itu, dia mendekat padaku seolah ingin membicarakan sebuah
gosip hangat. "Serius, kapan kau jadian dengan CEO misterius itu?"
Aku membulatkan kedua mataku dan refleks
agak menjauh dari Megan. "A—Aku—mengapa kau menanyakan hal itu?! Sudahlah,
Meg, itu tak penting, tolonglah," rayuku.
Megan tertawa lagi. Ia pun sedikit
menjauhkan tubuhnya. Dia akhirnya berhenti tertawa dan kembali menatapku.
"Baiklah... Meskipun sebenarnya
aku sangat ingin tahu," jawabnya kemudian.
Megan menatapku sembari tersenyum penuh
penantian. Melihat ekspresinya yang seperti itu, aku terdiam. Mendadak
aku...jadi merasa seolah aku tak menganggap keberadaannya. Megan selalu memedulikanku
dan kupikir...tak baik bila aku tak menghiraukannya.
Sesaat kemudian, aku berdecak dan
menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku akhirnya memilih untuk
menjawabnya setelah sebelumnya meneguk ludahku dengan gugup.
"I—Itu terjadi beberapa hari
yang lalu, setelah aku pergi bersamanya untuk urusan bisnis dengan perusahaan milik
orang lain." Well, aku tak ingin memberitahu bahwa
perusahaan itu adalah perusahaan milik Martin walaupun sebenarnya Megan tak
tahu sama sekali tentang masa laluku. Aku tak ingin mengungkitnya di depan
Megan. Lagi pula, hitung-hitung ini adalah antisipasi juga, bukan?
Mata Megan berbinar. Aku langsung
membuang muka; kurasa wajahku mulai memanas.
"Kau beruntung sekali, Vio!!
AAAAA! BILA KALIAN SUDAH BERPELUKAN ATAU SE—"
Mataku memelotot dan aku langsung menutup
paksa mulut Megan.
"Please, Meg, mengapa kau selalu berbicara
seolah aku dan dia tidak memiliki masalah? Ya Tuhan." Aku mendengkus.
Megan mengangguk dengan cepat; dia mengangkat tangannya ke atas sebagai
pertanda bahwa dia menyerah. Aku melepaskannya, lalu dia menghirup oksigen
sebanyak mungkin. Aku menggeleng sekaligus berdecak pelan.
"Selamat, ya? Mudah-mudahan
kalian sampai ke jenjang pernikahan." Megan tersenyum padaku. Aku
tercengang.
Hah?
Aku lantas meneguk ludahku.
"Megan, aku belum pernah memikirkan—"
Megan menggeleng. "Tidak,
Vio. Maksudku, pikirkan itu sekarang. Kau sudah seharusnya menikah.
Jangan seperti aku yang masih memelototi setiap pria tampan yang lewat di
depanku haha!" gelaknya.
Aku memukul pundaknya, lalu dia tertawa
keras sekali.
"Dasar," ujarku. Sesaat
kemudian, dia berhenti tertawa dan berdiri sembari berkacak pinggang.
"Yep, aku akan mengambilkan sarapanmu.
Tunggu di sini, ya, Mrs. Alexander. Kau sepertinya demam," ujarnya, lalu
sebelah tangannya memegang dahiku.
"Panas," ujarnya. Ia
lantas menepuk pundakku pelan, beberapa kali. "Tunggu di sini."
Setelah itu, dia keluar dari
kamarku.
Sial, aku tak sempat memprotesnya! Mengapa
dia memanggilku Mrs. Alexander?! Astaga, apa-apaan? Aku benar-benar
tak tahu wajahku harus ditaruh di mana!
Aku membaringkan tubuhku dan
menghadap ke samping, ke arah meja riasku. Di sana ada fotoku bersama Nathan
waktu kami menghadiri wedding kenalan Nathan, seorang pemilik peternakan
sapi di Buffalo. Nathan memakai jas dan aku memakai gaun. Oh Tuhan, di
mana Nathan?
Jika tidak ada Nathan, aku akan
merasa sendirian. Biasanya, dia selalu memperhatikanku dalam diamnya; dia
selalu memarahiku seakan aku adalah anak kecil. Selain dia, aku tidak punya
siapa-siapa lagi.
Tanpa sadar, air mataku jatuh. Tuhan,
tolong jaga Nathan. Kuharap polisi yang dihubungi oleh Justin dapat
menemukannya dengan cepat.
Mengelap air mataku, aku lantas terdiam
lagi. Tiba-tiba aku kepikiran dengan apa yang Megan katakan.
Menikah?
Mengapa Megan menyuruhku untuk
mulai memikirkan pernikahan? Aku rasa...ini bukanlah waktunya. Menurutku, aku
belum siap. Lagi pula, dengan siapa aku akan menikah?
Shit, mengapa aku jadi memikirkan tentang
pernikahan? Aku jadi seperti gadis mesum yang tak sabar untuk menikah. Astaga.
Selain itu…Megan mendoakanku agar
sampai ke jenjang pernikahan dengan...Justin? Ha. Bagaimana kalau aku memang
menikah dengan Justin? OOW, aku menggeleng dengan cepat.
Pipiku tiba-tiba memanas. JAUHKAN PIKIRANKU DARI SEBUTAN MRS. ALEXANDER, YA
TUHAN!
Tiba-tiba Megan datang dengan
membawa nampan berisi bubur dan susu. Oh, sudah lama sekali aku tidak minum
susu karena terlalu mementingkan pekerjaan. Meski pekerjaanku bukanlah
pekerjaan yang terlampau istimewa—seperti pelukis wanita jenius dan
semacamnya—aku sangat menghormati pekerjaanku. Lagi pula, sekarang aku adalah
seorang executive assistant. Bagiku itu adalah pekerjaan yang istimewa.
Megan duduk di samping ranjangku
dan meletakkan nampan yang ia bawa itu di atas nakas. Ia mengambil mangkuk
berisi bubur hangat itu, lalu meniupkan sesendok untukku. Dia mulai menyuapiku.
"Megan, kau tak perlu
menyuapiku, kau tahu. Kau sudah sangat—"
Ponsel Megan tiba-tiba
berdering. Nada dering teleponnya—lagu milik Ellie Goulding—menggema
di kamarku. Dia agak terkejut; dia langsung meletakkan mangkuk bubur itu
kembali ke nampannya, lalu pergi ke luar sembari mengeluarkan ponsel itu dari sakunya.
"Tunggu sebentar, Vio."
Aku mengangguk mengerti.
"Ya."
Aku menghela napas, lalu
mengalihkan pandanganku ke segelas susu yang juga ada di nampan itu. Aku meraih
segelas susu itu, lalu meneguknya hingga aku merasa puas. Aku menaruh gelas
susu itu kembali di atas nampan dengan lega. Aku sedang mengelap bibirku ketika
tiba-tiba Megan datang menghampiriku dengan tergesa-gesa dan menyodorkan
ponselnya kepadaku. "VIO! That—that's Mr. Alexander! Bicaralah!
Dia mencarimu!"
Mataku kontan memelotot.
Justin?
"Ha? Kau bercanda," elakku.
Megan membulatkan matanya dan menggeleng cepat. Dia semakin menyodorkan ponsel
itu ke depan wajahku dan aku jadi ikut panik.
"SERIUS, VIO, ITU CEO KITA! YA
TUHAN, SUARANYA BEGITU SEKSI! BICARALAH, VIO! SEBELUM KAU DIMAKAN OLEHNYA!"
teriak Megan padaku.
Ergh... Ya, ya.
Aku melihat Megan—yang sedang
mengagumi Justin itu—sebentar, lalu aku menempelkan ponsel itu ke telingaku dan
mengalihkan pandanganku dari Megan.
"Ha—halo," kataku.
Mengapa seperti tidak ada
kehidupan?
Aku mengernyitkan dahi.
"Hal—"
"Bagaimana keadaanmu?"
Ya Tuhan, kali ini aku setuju
dengan Megan. Suara rendahnya memang terdengar seksi.
Aku meneguk ludahku. "Ju—stin?
Uhh—aku…aku baik-baik saja."
"Aku tak suka mendengar
seorang gadis berkata bahwa dia baik-baik saja, tetapi nyatanya dia masih
disuapi."
DA—DARI MANA DIA TAHU?!
"Dari mana kau tahu?! Megan memberitahumu, ya? Tidak, aku
baik-baik saja, serius! Lagi pula, apakah yang membawaku pulang tadi malam itu
kau?" tanyaku dengan cepat.
Sial, Megan kini menguping
pembicaraanku. Aku menahan maluku demi mengetahui kebenarannya.
"Hm," deham Justin di seberang sana.
Aku tercengang. "Dari mana kau
tahu di mana aku? Dasar penguntit!"
"Mengapa kau menuduhku
menguntitmu? Bila kau ingin tahu, tidakkah itu lucu menemukan seorang gadis yang pingsan di pinggir jalan yang sepi, terutama dia pingsan di dekat
motornya sendiri? Apakah kau memilih tempat yang nyaman untuk pingsan?"
What the—
Aku. Benar-benar. Malu. SIALAN!
"HEI! AKU BAHKAN TAK TAHU
KALAU AKU AKAN PINGSAN! BERHENTILAH MENGEJEKKU!" teriakku dengan wajah
yang memerah seperti kepiting rebus.
"Mengapa kau tak memberitahuku
bahwa Nathan menghilang?"
Aku langsung terdiam.
Pikiranku kembali kacau. Mungkin wajahku
terlihat murung. Aku menggigit bibirku dan mataku mulai memanas lagi; aku ingin
menangis.
"Tidak apa-apa," jawabku,
lalu aku langsung menutup sambungan telepon itu. Air mataku mulai mengalir
meski aku sudah menahan tangisku. Aku tak pernah merasa sekehilangan ini
sebelumnya, kecuali saat aku kehilangan kedua orangtuaku.
Justin mengetahui masa laluku
karena Justin adalah teman masa kecilku sejak kami bergabung di Red Lion. Hari
itu adalah hari di mana aku yang masih kecil dan kedua orangtuaku baru saja pulang
dari supermarket untuk membeli berbagai keperluan rumah serta boneka beruang
untukku. Namun, sebuah mobil menabrak mobil kami. Di tengah kebahagiaan
itu...mobil kami jungkir balik dan menghantam aspal, lalu diakhiri dengan
ledakan.
Namun, dalam keadaan itu, entah
karena sebuah takdir atau kekuatan alam yang tak kumengerti, aku terlempar ke
luar pada saat mobil itu akan mendarat ke aspal. Aku terguling dan sempat memiliki
kesadaran sebentar sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Pihak kepolisian dan
medislah yang mungkin menemukanku dan membawaku ke rumah sakit.
Setelah itu, aku hidup sendiri dan
ditemukan oleh Brian. Aku masuk ke Red Lion dan tak lama kemudian aku bertemu
dengan Justin. Justin saat itu benar-benar kacau (karena ia juga yatim piatu
sepertiku) dan masih tak mau menuruti Brian. Namun, perlahan-lahan pria itu mau
menurut walau kepribadiannya berubah menjadi sangat beku.
Sekarang, apakah Nathan juga akan
meninggalkanku? Setelah akhirnya aku menemukan Pamanku yang ada di New York...
Mungkin bila dari dulu aku sudah bertemu dengan Nathan, maka aku takkan pernah
masuk ke organisasi Red Lion dan takkan pernah bertemu dengan Justin.
Aku menangis kencang dan Megan langsung
memelukku. Megan ikut menangis. Dia sepertinya langsung tahu bahwa aku menangis
karena memikirkan Nathan.
******
Author:
Megan sudah pulang.
Siang ini, Violette hanya di rumah.
Tidak mandi dan masih memakai pakaian yang sama. Penampilannya agak kusut. Wajah
gadis itu pucat pasi dan ia terlihat tak bertenaga. Ia baru saja meminum air
putih dari kulkas dan ia berhenti ketika mendengar nada dering ponselnya.
Violette langsung berlari ke
kamarnya—mengingat ponselnya ada di dalam kamar—setelah sebelumnya menaruh
kembali botol air itu ke dalam kulkas. Mungkinkah...mungkinkah itu telepon dari
pihak kepolisian? Apakah ada kabar—meski sedikit saja—soal Nathan? Tuhan, semoga
saja...
"Halo?!" ujar Violette tak
sabar ketika ia mengangkat telepon itu. Ia tampak panik. Mata berwarna birunya terlihat
melebar.
"Ms. Violette Morgan?! Kami
dari Kepolisian New York."
"Iya, Pak, apakah ada kabar
terbaru tentang Jonathan Morgan?!" teriak Violette panik.
"Kami ingin memberitahumu
bahwa kami sudah memfilter lokasi-lokasi yang mungkin sesuai dengan deskripsi dari
laporan Mr. Alexander. Kami akan berusaha untuk menemukannya secepat mungkin. Kami
harap Anda bisa tenang, Ms. Morgan."
Mata Violette berair. Gadis itu
merasa dadanya sesak. Ludahnya terasa sulit untuk diteguk. Gadis itu melipat
bibirnya sembari menahan tangis.
"Thank you, sir. Saya harap Anda bisa menemukan
paman saya secepatnya."
"You can depend on us, Ms. Morgan," kata petugas
polisi itu, kemudian sambungan telepon itu terputus.
Violette mulai meringkuk di kasurnya.
Pikirannya kalut dan ia tak yakin kapan itu akan berhenti, kecuali bila Nathan
kembali dengan selamat.
******
Elika tersenyum ketika berada di
depan pintu yang selama ini bagai pintu menuju surga di matanya. Ia membawa
berkas-berkas yang seharusnya Chief Assistant CEO kerjakan
kemarin; ia mengantarkannya kembali kepada Justin. Ia tahu—bahkan sangat
tahu—betapa harumnya ruangan di balik pintu dengan plang ‘Chief
Executive Officer’ itu. Di bawah tulisan itu ada sebuah tulisan lagi,
tulisan yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya jadi merasa segan.
‘Justin Alexander’.
Di bawah nama itu, ada tulisan
‘Alexander Enterprises Holdings, Inc.’, yaitu nama perusahaan.
Dengan melihat pintu itu saja sudah
bisa mendeskripsikan betapa menegangkannya suasana di dalam sana dan betapa
berwibawanya lelaki itu.
Lelaki itu berbahaya; dia
seberbahaya Azazel, tetapi semenggoda Giacomo Casanova.
Elika mengetuk pintu itu sebanyak
tiga kali dengan pelan. Wanita itu lalu menunggu terdengarnya suara rendah dan
berat yang sangat, sangat ia inginkan itu.
"Masuk."
Elika merasa jantungnya berdebar.
Ia tersenyum menggoda, lalu berusaha menampilkan belahan dadanya melalui baju
ketat yang ia pakai. Jika ada orang yang bilang bahwa ia tergila-gila, itu
benar.
Elika tergila-gila dengan pria itu,
apalagi pria itu hebat di ranjang.
Elika menutup pintu itu kembali dan
menyaksikan sosok bertubuh maskulin itu duduk di kursinya.
Oh. Fuck.
Elika berjalan menghampiri Justin
dan menemukan kedua bola mata berwarna lelehan emas Justin itu sedang menatap laptopnya.
Elika tersenyum, lalu ia berdeham pelan.
"Sir?"
Justin berhenti sejenak, lalu pria
itu menatap Elika seraya memasang ekspresi datar. "Kau sudah
selesai?"
Damn. Elika ingin mencium bibir lelaki
itu sekarang juga.
"Ya, sir," ujar
Elika sembari tersenyum manis. Justin mengangguk. "Terima kasih. Taruh saja
berkasnya di atas meja executive assistant-ku."
Elika mulai menaruh berkas-berkas
itu di atas meja Violette, lalu ia menghadap ke arah Justin.
"Apakah executive assistant Anda—maksudku
Ms. Morgan…masih belum bekerja, sir?" tanya Elika pelan.
"Hm."
Elika mengangguk. Satu detik
kemudian, ia tersenyum. "Kalau begitu, aku bisa me—"
"Tidak usah, Elika. Kembalilah
ke ruanganmu dan fokuslah pada pekerjaanmu. Aku akan mengadakan rapat setelah
jam istirahat. Beritahukan kepada semua direktur untuk hadir. Aku akan
menyuruh assistant-ku yang lain untuk mengerjakan pekerjaan
Violette sementara waktu."
Elika tercengang.
Gadis itu lantas mendekati meja
Justin seraya mengentak lantai; matanya nyalang. "Mengapa kau sangat
dingin kepadaku? Mengapa kau tak melihatku? JUSTIN, LIHAT AKU
SEKARANG!!!!" teriak Elika, kemudian Justin menghela napas samar. Pria itu
lantas mendongak dan menatap Elika. Ada sebuah kilat yang muncul di matanya
saat itu.
"Hanya itukah yang bisa kau
katakan padaku?” ujar Elika. “KAU MEMBIARKANNYA LALAI DENGAN PEKERJAANNYA! DIA
SUDAH TIDAK BEKERJA SELAMA BEBERAPA HARI DAN KAU HANYA DIAM? ITU BUKAN KAU,
JUSTIN!! BUKAN KAU YANG KUKENAL!! MENGAPA KAU MEMILIHNYA DAN TAK MEMILIHKU?"
Justin mendengkus samar. "Keluarlah, Elika."
"TIDAK! AKU TIDAK AKAN—"
"Jangan bandingkan dirimu
dengannya," potong Justin dingin. Matanya menyipit tajam.
Elika terdiam.
Ia lalu tersenyum sinis. "Kau
akan sadar bahwa gadis itu hanya akan menyusahkanmu, Justin," ujar Elika,
lalu ia keluar dari ruangan Justin.
Justin menyaksikan pintu ruangannya
ditutup dengan kencang oleh Elika; ekspresi wajahnya masih datar.
Seharusnya ia tak perlu melibatkan
Elika dalam permasalahan masa lalunya.
******
Setelah rapat selesai, Justin
keluar dari ruangan rapat itu dan langsung kembali ke ruangannya. Ia mengambil
sebungkus rokok, korek api, dan tas kerjanya, lalu ia keluar dari ruangannya
dan mengunci pintu. Ia berjalan ke lift, lalu masuk ke lift itu dan pergi ke
lantai dasar seraya menghidupkan sebatang rokoknya. Bungkus rokok sekaligus
korek api itu ia masukkan lagi ke dalam saku kemeja berwarna hitamnya.
Justin mengembuskan napas berasapnya
itu di dalam lift. Pria itu lalu keluar dari lift setelah terdengar bunyi 'ding'.
Saat ia sudah berjalan di lobi, semua staf langsung merunduk hormat padanya.
Banyak yang hampir berteriak karena kagum akan ketampanannya, tetapi mereka berusaha
untuk menahan teriakan itu ketika sedang memberi salam padanya. Kini semua
orang sudah tahu bagaimana tampang CEO mereka yang selama ini misterius. Selama
ini, staf di lobi pun tak tahu wajah CEO mereka karena Justin tak pernah
diikuti oleh pengawal saat ia masuk atau keluar dari perusahaan. Ternyata…sosok
pria tampan yang lewat di lobi hampir setiap pagi dan sore itu adalah CEO
mereka.
Justin hanya menanggapi mereka
dengan senyum tipis atau anggukan, lalu pria itu keluar dari kantor perusahaan—yang
hampir memiliki 100 lantai itu—dan mencari mobilnya di tempat parkir. Tadi
pagi, dia menggunakan Mercedes-Maybach Exelero-nya, bukan Bugatti Chiron yang
ia pakai beberapa hari belakangan.
Justin masuk ke mobilnya, lalu ia meletakkan
tasnya di jok samping pengemudi. Pria itu melonggarkan dasinya, melepas jasnya,
lalu menarik batang rokok dari mulutnya dan mematikan rokok itu di asbak yang
ada di atas dashboard.
Alih-alih menghidupkan mobilnya,
Justin malah mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Belum dijawab,
memang. Selama Justin menunggu telepon itu diangkat, ia pun menghidupkan mesin
mobilnya. Sebuah suara terdengar ketika Justin mulai mengeluarkan mobilnya dari
tempat parkir.
"Justin," ujar gadis di seberang sana, baru
saja mengangkat panggilan dari Justin. Gadis itu terdengar agak cemas. "maaf
soal tadi pagi, ya. Sebenarnya, kemarin aku bukannya tak mau memberitahumu, aku
hanya tak ingin kau berbuat sesuatu untukku ketika mendengar Nathan hilang. Itu
berbahaya dan akan berpotensi membongkar rahasia kita. Jadi, aku memilih untuk
merahasiakan—"
"Mengapa kau percaya diri
sekali bahwa aku akan melakukan sesuatu untukmu?" potong Justin.
Gadis itu, Violette, langsung
berteriak, "JUSTIN!!!"
Justin tersenyum miring. "Yah,
setidaknya aku akan melakukan sesuatu untuk Nathan, bukan untukmu."
“FINE!” teriak Violette. “TERSERAHMU
SAJA, MR. ALEXANDER! YA TUHANKU, AMPUNI AKU, MENGAPA AKU MEMILIKI CEO
YANG SEMENYEBALKAN INI...”
"Berikan padaku nomor ponsel
orang yang menghubungimu dan menyekap Nathan," ujar Justin ketika membelokkan
mobilnya. "Aku akan mencoba untuk mencarinya."
"JUSTIN—KAU TAHU MEREKA
MENGHUBUNGIKU? BAGAIMANA MUNGKIN—"
Justin bernapas samar.
"Berikan sekarang, Vio. Jangan mengulur waktu ataupun membantahku."
"Iya, tetapi kumohon, Justin,
kumohon jangan lakukan apa pun yang menunjukkan bahwa kau adalah mantan anggota
Red Lion. Kumohon, itu bisa membahayakan dirimu sendiri. Kita bisa-bisa—"
"Aku tahu. Berikan itu
padaku," potong Justin dingin. “Nomor itu juga akan kuberikan kepada
polisi.”
"B—Baiklah," ujar Violette, lalu sambungan
telepon itu terputus. Justin masih fokus menatap jalanan. Tak sampai satu
menit, datanglah sebuah pesan yang dikirim oleh Violette.
From: Violette
Ini, sir: +1-646-348-0032
Justin membalasnya.
To: Violette
Okay.
Don't forget to eat, Vio. I’ll go
to your house tonight.
From: Violette
HA? :O
KAU TIDAK SERIUS, ‘KAN?
Justin tidak membalasnya lagi. Pria
itu meletakkan ponselnya di atas dashboard, lalu mulai berkendara
dengan kecepatan penuh; mobilnya membelah jalanan sore yang sedikit basah
karena gerimis sekitar setengah jam yang lalu.
Justin ingat perkataan Violette
tentang suara ayunan, suara yang bergema, dan lain-lain. Dari semua clue itu,
Justin mencoba untuk mengunjungi tempat yang paling mungkin. Bisa jadi,
polisi juga telah menyelidiki tempat itu.
Namun, ketika Justin sampai di tempat
itu, yang ia temukan hanyalah satu.
Kekosongan.
******
Violette mendongak, menatap langit
dari balkon kamarnya; ia duduk di salah satu kursi yang ada di ujung balkon.
Lampu kamarnya tidak ia hidupkan, hanya pancaran sinar dari layar laptopnyalah yang
sedikit menerangi suasana saat itu. Balkonnya juga gelap. Tidak ada bintang
malam ini, rumah Violette juga sedikit jauh dari rumah tetangganya. Jadi, tidak
ada lampu dari rumah tetangga yang membantu menerangi balkonnya. Malam itu, di rumahnya
hanya ada dirinya seorang.
Violette sering bernyanyi untuk menghibur
dirinya sendiri. Baik itu saat sedih atau bosan, ia sering duduk di balkon
hanya untuk bernyanyi sembari memainkan gitarnya, seperti saat ini.
Baru saja Violette ingin memetik senar
gitar yang ada di pelukannya, ponselnya berbunyi. Violette mengambil ponsel itu
dari sakunya dan ternyata ada sebuah pesan masuk.
From: +1-646-348-0032
Kau hanyalah mainan bagi Justin.
Dia itu seorang bajingan dan aku
yakin kau tahu itu, Lady Morgan.
Violette menggertakkan giginya dan
menatap pesan itu dengan penuh kebencian. Namun, akhirnya gadis itu menggeleng
dan memasukkan ponsel itu kembali ke sakunya.
Violette mulai memainkan gitarnya.
I've forgotten how long it has
happened
Since I've never again
Listened to you telling your
beloved fairytale
I've thought for a long time
I start to panic
Have I done something wrong?
Violette berhenti ketika ada setetes
air mata yang jatuh ke pipinya. Ah! Dia bahkan tak sadar kapan air mata itu jatuh.
Dengan cepat, Violette menghapus air matanya itu dan menggeleng. Berusaha untuk
rileks, gadis itu lantas kembali berencana untuk memetik senar gitarnya.
"Mengapa berhenti?"
...ujar seseorang, terdengar
seperti suara yang rendah, berat, dan dingin dari seorang pria. Violette
langsung menoleh ke pintu balkon; matanya terbelalak ketika menyadari siapa
pemilik suara itu.
“JUSTIN?!!!!!! KAU—"
"Aku sudah bilang bahwa aku akan
kemari, Nona."
Violette sontak teringat pesan dari
Justin tadi sore, lalu ia menggaruk tengkuknya. "Ah...ya...sir."
Justin mendekati Violette dan duduk
di kursi yang satu lagi, di samping kiri Violette. Mata Violette membulat
ketika tiba-tiba Justin mengambil gitar itu dari pelukan Violette.
"Itu lagu yang romantis,
terjemahan bahasa Mandarin," ujar Justin lembut. Justin bernapas samar.
"tetapi ada kunci yang salah kau gunakan. Kau harus berkonsentrasi, jangan
menangis dan memikirkan apa pun."
Justin lagi-lagi tahu apa yang
Violette lakukan.
"Sejak kapan kau ada di pintu
balkonku?!! Bagaimana kau bisa masuk ke rumahku?!!" teriak Violette,
menutupi rasa malunya.
Justin mendengkus.
"Sejak nyanyianmu belum
terdengar," jawab Justin. “Aku bisa masuk ke sini karena aku sudah pernah
datang ke sini. Aku bisa menduplikat kuncimu, tentu saja.”
HECK. APA?! KAPAN IA MENDUPLIKATNYA?
Violette terbatuk dan pipinya merona
seketika. Sialan sekali Justin ini.
Violette kembali menanyai Justin,
"Mengapa kau selalu melakukan hal yang tak bisa kuduga? Selain itu,
mengapa kau—ergh! KAU SANGAT SUSAH DITEBAK DAN AKU HERAN MENGAPA
YANG TERLAHIR KE DUNIA ITU KAU, BUKAN TEKA-TEKI SILANG."
Namun, sialnya semua omelan
Violette tak dihiraukan oleh Justin. Justru itu semua terpotong dengan suara
Justin yang berpadu dengan melodi gitar, menyanyikan sambungan lagu yang tadi Violette
nyanyikan. Mata Violette kontan terbelalak; Violette menatap Justin dengan
terkejut. Suara Justin...benar-benar indah. Suara pria itu
sangat bagus...
Ini adalah pertama kalinya Violette
mendengar Justin bernyanyi.
You said to me with full of tears,
Inside the fairytale are all lies.
I can't possibly be your prince,
Maybe you can ever understand.
You said I love you ever after,
The stars in my sky has lightened
up.
I'm willing to be,
That angel you love inside the
fairytale.
Spread up my hands,
Become the wings to protect you,
You must believe, believe that we
can be like that in the fairytale.
Prosperity and happiness in the
ending...
"Terpana dengan apa yang kau
lihat, hm?"
Violette terperanjat, mata gadis
itu langsung membulat. "HEI!!!! TIDAK!"
Justin tersenyum. Walau di antara
kegelapan...entah mengapa Violette bisa melihatnya dengan jelas. Violette bisa
melihat dengan jelas bahwa senyuman Justin saat itu adalah senyum yang sangat manis.
Dia tersenyum!
Justin...untuk pertama kalinya
setelah beberapa waktu berlalu...
Violette nyaris lupa bernapas.
Itu...adalah senyuman yang benar-benar indah.
"Let's go to your bed, Vio.
You should sleep."
Justin lantas menarik tangan
Violette hingga membuat Violette yang masih sungkan berdiri itu merasa terkejut
dan melebarkan matanya. Justin membawa Violette; pria itu berjalan agak cepat
dan mendudukkan Violette di ranjang milik gadis itu. Setelah itu, Justin
menaruh gitar Violette di samping meja rias Violette.
Justin mulai menutup pintu balkon. Pria
bertubuh maskulin itu lalu menarik dasinya dan menaruh benda itu di atas meja
rias Violette.
Justin mendekati Violette lagi. Ia berdiri
di samping kasur Violette, berhadapan dengan Violette yang masih duduk di kasur
kecilnya yang hanya cukup untuk satu orang. Sembari membuka satu kancing bagian
atas kemejanya, Justin langsung mengangkat sebelah alisnya ketika melihat mata Violette
yang tiba-tiba memelotot.
"APA YANG MAU KAU LAKUKAN,
HAH?!!! OH GOD!" Violette langsung mengalihkan pandangannya
dari Justin.
"Apa yang ada di dalam
pikiranmu? Masih bodoh seperti biasanya," ujar Justin, nadanya datar.
"DIAMLAH, JUSTIN! KAU BENAR-BENAR—APA
MAKSUDMU MEMBUKA BAJUMU DI SINI??!!!"
"Alasan apa yang kira-kira ingin
kau dengar, hmm?" Justin memiringkan kepalanya seraya tersenyum miring.
Violette menganga. "MR. CEO
YANG TERHORMAT, KAU KENAPA, SIH?!! HENTIKAN!!"
"Justru kaulah yang kenapa.
Lihat baik-baik,” ujar Justin.
Eh?! Apa maksudnya itu?
Mengedipkan matanya beberapa kali,
Violette akhirnya merasa penasaran. Berarti ada yang salah dengan reaksinya hingga
membuat Justin berkata seperti itu?
Akhirnya, Violette perlahan-lahan
berbalik. Menoleh kepada Justin kembali.
…dan ternyata Justin tidak membuka
pakaiannya. Pria itu hanya membuka satu kancing kemejanya.
Pipi Violette merona; ia malu dan
langsung membuang muka. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Kata-kata 'Matilah
aku' terus terucap di kepalanya.
"Jadi, Ms. Morgan, apa kau belum
mau tidur?” tanya Justin.
Pelan-pelan—dengan rasa malu—Violette
pun menoleh kepada Justin lagi. “A—Aku…”
“Aku ingin kau tidur di lantai
bersamaku," ujar Justin sembari mulai duduk di lantai, di samping kasur
Violette. Dia berselonjor di sana.
"TIDAK, TERIMA KASIH!” teriak
Violette panik. “TERIMA KASIH ATAS TAWARANMU, SIR! DAN—APA?! KAU
TIDUR DI SINI?"
"Ya," jawab Justin singkat.
Violette melebarkan matanya.
"Mengapa?!!! Rumahmu lebih
luas!! Kamarku panas dan aku—aku tak bisa tidur jika kau ada di sini!! Ya
Tuhan," keluh Violette.
"Apa kau sering terbangun di malam
hari, Violette?" tanya Justin. Dia mengabaikan Violette lagi, astaga.
Akhirnya, Violette menghela napas.
"Ya, terkadang."
“Kalau begitu, tidurlah bersamaku
di lantai,” ujar Justin sembari menatap Violette dengan tajam.
Mendadak wajah Violette memerah
lagi. Gadis itu merasa jantungnya seolah jatuh ke perut. "Tidak, terima
kasih, sir! Aku berjanji aku takkan mimpi buruk! Aku tidur
sekarang, sir, good night!" ucap Violette dengan panik.
Gadis itu langsung berbaring di kasurnya dengan posisi membelakangi
Justin—menyamping—dan mengubur dirinya di dalam selimut.
Tak lama kemudian, Justin berbaring
di lantai itu. Tidak ada bantal yang pria itu gunakan, tetapi mungkin karena lelah,
pria bertubuh maskulin itu pun tertidur di sana.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Violette tiba-tiba terbangun dengan
keringat di pelipisnya; ia terbangun karena memimpikan sesuatu. Namun, ia tidak
berteriak. Ia bermimpi tentang masa kecilnya lagi. Tentang kecelakaan itu.
Dengan gemetar, Violette mulai bergerak
ke pinggir dan akhirnya turun dari kasur. Gadis itu lantas mengguncangkan tubuh
Justin meski tangannya masih gemetar. Violette ingin Justin terbangun dan
menemaninya. Demi Tuhan, apa yang telah terjadi padanya seharian ini? Ini pasti
karena Nathan...
Akhirnya, Justin membuka matanya.
Violette menghela napas; ia benar-benar bersyukur. Setelah itu, Violette
berkata dengan lirih, "Ju—stin...aku… Tolong temani aku..."
Justin menghela napas samar. Pria
dengan tubuh berotot yang tercetak jelas di balik kemeja tak rapinya itu langsung
mengulurkan tangannya ke belakang leher Violette dan menarik Violette ke dalam
pelukannya.
“Dasar nona keras kepala. Kemarilah.”
Oleh karena itu, Violette kini jadi
berbaring di samping Justin. Gadis itu berada di dalam pelukan Justin yang
tubuhnya cukup untuk melingkupi seluruh tubuh Violette.
******
Violette:
"Justin, bisakah kau berhenti
menggandengku seperti ini? Kau tahu, kau seperti seorang ayah yang habis marah
dengan anaknya yang barusan bermain di parit, lalu membawanya pulang dengan kesal.
Lagi pula, apa kau tak malu? SEMUA ORANG MELIHAT KE SINI!!! Aku seperti parasit
yang menempel di tubuhmu dan mereka tak ingin melihat itu, astaga," ocehku
pada Justin yang berjalan di depanku.
Justin menghela napas samar.
"Kau selalu tak bisa diam tiap kali aku melihatmu."
"KAULAH YANG MEMBUATKU TAK
BISA DIAM!!! OH, GOD, HELP ME..." Aku merengek.
Justin hanya diam. Aku tahu kalau
semua orang di lobby tengah menatap kami sembari
berbisik-bisik. Mereka terkagum-kagum pada kami—oh, maksudku terkagum-kagum
pada Justin. Mereka mungkin berbisik-bisik karena mereka heran dengan adanya
diriku di samping Justin. Namun, sepertinya ini sudah berkali-kali terjadi dan aku
yakin mereka pasti sudah tahu soal hubunganku dengan Justin.
Damn, Violette, hentikan analisis yang
memalukan ini.
Sungguh, aku sangat malu tatkala
memikirkan tentang hubungan kami...dan aku selalu merasa tak menyangka. Justin
ini memiliki banyak wanita yang mengaguminya. Lagi pula, ada juga rumor yang
mengatakan bahwa dia itu...bajingan, 'kan? Jadi, mengapa
dia malah…oh, lupakanlah.
Ketika kami baru akan sampai di
lift, aku melihat Megan lewat. Dia tampaknya ingin pergi ke meja resepsionis.
Dia pergi ke arah yang berlawanan, tetapi posisinya agak jauh di ujung
sana...dan dia bersiul mengejekku! Sialan!
Oh, please, Meg! Hentikan!
Ketika sampai di lift, aku dan
Justin sama-sama diam. Justin akan selalu seperti itu, sebelum kau menampar
wajahnya dengan kuali berbahan aluminium di dapurmu. Namun,
Justin sejujurnya memang...lebih cocok dengan karakter itu. Aku justru akan merasa
aneh jika dia tiba-tiba bersikap baik dan hangat. Soalnya, rasanya itu seperti
bukan Justin.
Ketika sudah sampai di dalam
ruangan CEO, dia mulai melepaskan genggaman tangannya dan aku langsung menutup
pintu ruangan itu. Dia langsung duduk di kursinya setelah sebelumnya meletakkan
tasnya di atas sofa.
Pria itu duduk dan mulai membuka
laptopnya. Aku masih berjalan ke mejaku ketika dia berkata dengan dingin
padaku, "Sebentar lagi assistant-ku akan datang membawa berkas
yang seharusnya kau kerjakan kemarin. Ambil itu darinya, lalu selesaikanlah
semua hal yang harus kau selesaikan hari ini." Justin memberi jeda
sejenak. Aku duduk dan meletakkan tasku di atas meja ketika akhirnya dia
melanjutkan, "Nanti ada rapat dan kau harus ikut bersamaku. Jangan pulang
lebih awal dariku."
Yeah...itu memang pekerjaanku, ‘kan? Lagi
pula, aku tak bisa kabur karena aku tak membawa motorku. Motorku ditinggal di rumah
karena hari ini aku berangkat dari rumah bersama Justin.
Aku lantas mengangguk, lalu menjawab,
“Baiklah, sir.” []
******
No comments:
Post a Comment