******
Bab
7 :
TUBUH
tegap Deon berjalan mengikuti Talitha ke kamar gadis itu. Deon memperhatikan
langkahnya sembari sesekali melihat Talitha yang berjalan di depannya dengan
langkah lebar.
Sesampainya
di kamar, Talitha menutup pintu kamar itu dan langsung menghampiri Deon. Begitu
mereka sudah berdiri berhadapan, mata Talitha memelotot. "Maksud kamu apa, sih? Ngapain
coba kamu ngomong gitu sama keluarga aku? Kamu nih emang gila
ternyata! Lamar? Hahahahahahahah!" Talitha tertawa geli. "Kita
pacaran aja maksa gini!! Kamu pikir nikah tanpa cinta itu enak, ya? Maen
lamar-lamar aja. Itu pernikahan, oi, jangan anggep sepele!!"
Deon
menatap Talitha dengan tajam. Setelah itu, dia mendekati Talitha. Langkahnya
yang pelan itu membawa tubuhnya hingga nyaris menempel dengan tubuh Talitha.
Wajah pria itu hanya berjarak satu jengkal dengan wajah Talitha.
"Tapi
dengan begitu kamu bisa bener-bener terikat denganku."
Mata
Talitha membeliak. Mendadak gadis itu mengepalkan tangannya.
"Denger,
ya, Deon," ujar Talitha dengan mata menyipit. "Coba
kamu pikir. Kita nggak saling cinta. Kalo kamu lamar aku—aduh, aku
nggak mau bahas ini sumpah. Umurku masih 21 tahun, nih, astaga. Jadi gini,
kalau kamu lamar aku, kita bakalan nikah, lalu hidup bersama. Nikah itu untuk
seumur hidup, oi! Amit-amit, aku nggak mau cerai
walau satu kali pun dalam hidupku. Tentu aku nggak mau nikah sama kamu karena
kita pasti bakal cerai!! Kamu itu cuma butuh bantuan aku, ‘kan? Ya udah, nggak
usah sampe segitunya! Ini namanya kamu mau main-ma—"
"Cukup!
Aku nggak pernah main-main, Talitha," potong Deon dengan napas memburu,
mata berwarna coklat kehitamannya menatap Talitha dengan tajam. "Aku nggak
pernah berencana untuk bermain-main!!"
Talitha
kaget saat Deon membentaknya hingga refleks matanya tertutup. Mendadak tubuh
Talitha bergetar (menahan emosi) dan bibirnya terlipat. Seluruh rasa marahnya telah
berada di ubun-ubun. Dia tak suka dibentak, tetapi dia juga bukan orang yang
mudah ciut.
Talitha
membuka matanya, lalu menatap Deon dengan tajam. "Jadi, apa, hah?
APA?!" Napas Talitha memburu. "Semenjak ada kamu, hidup aku kayak
dikekang!! Aku seharusnya masih menikmati masa remajaku, lalu tiba-tiba kamu
datang dan hidupku jadi terfokus ke kamu!!! Kamu nggak ngerasa, ya, kalo kamu tiba-tiba
datang dan langsung maksain semuanya berjalan sesuai dengan kehendak kamu?!! Aku
juga pengen nikmatin masa mudaku!!! Kalo kamu, kamu jelas udah sukses di usia
muda!! Jangan egois dan nyeret orang—"
"Kamu
itu milikku, Talitha. Milikku!!" potong Deon tajam. Ia
memelototi Talitha. "Aku nggak bakal nyesel ngelakuin apa aja yang bisa
ngebuat kamu terus berada di sisiku!"
"Itu
nggak masuk akal banget, tau nggak?! Ada yang salah dengan otak kamu!!"
teriak Talitha. "Kenapa kamu milih aku untuk jadi milik kamu, sementara
banyak banget orang di luar sana yang bisa kamu jadiin sebagai milik kamu?!! Semua
ini gila!! Lagian, kamu—"
Ucapan
Talitha terpotong. Tubuhnya mematung dan jantungnya serasa mau lepas.
Mata
Talitha membelalak begitu gadis itu merasa Deon mencium bibirnya. Deon menggunakan
tangan kanannya untuk menghentikan tangan Talitha yang mencoba untuk mendorong
tubuhnya, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menarik tubuh Talitha agar mendekat
padanya sehingga tubuh mereka menempel.
Sebelum
Talitha bisa memberontak, Deon melepaskan ciumannya. Ia mencium bibir Talitha
berkali-kali dan setiap kali ia melepaskan ciuman itu, ia akan membisikkan sepotong
kata di depan bibir Talitha.
"Kamu,"
"Harus,"
"Nikah,"
"Sama,"
“Aku.”
Setelah
itu, Deon benar-benar melepaskan ciumannya.
Talitha
hanya berdiri terpaku. Mulutnya terbuka dan matanya membulat penuh. Sesaat
kemudian, gadis itu meneguk ludahnya dan dan ia lantas mendorong tubuh Deon.
Baru saja ia ingin protes, Deon langsung membuka suara.
"Aku nggak
suka penolakan," ujar Deon dingin. "Dari awal aku udah
bilang kalau kamu terikat denganku dan kamu setuju, Talitha! Perjanjian
itu berlaku sampai kapan pun. Kamu itu hanya untukku. Hanya milikku. Sampai
kapan pun. Aku akan melakukan segala cara supaya kamu tetap menjadi milikku."
"Egois,"
balas Talitha kejam. "Otoriter. Kamu maksa orang lain yang nggak tau apa-apa
untuk masuk ke dunia kamu. Kamu itu manusia tergila yang pernah aku temui. Sampai
kapan pun, aku nggak bakal nikah sama orang yang nggak kucintai."
"Aku
bersedia untuk belajar mencintai kamu," ujar Deon. Mata
Deon meneliti wajah Talitha, rahangnya mengeras tatkala ia mendekatkan wajahnya
ke wajah Talitha lagi. "Aku akan mencintai kamu. Aku akan terus menatap
kamu dan fokus untuk hidup bersama kamu sehingga kamu nggak bakal nyesal
nikah sama aku. Aku janji aku akan mencintai kamu dan membahagiakan kamu,” ujar
Deon.
"Jadi,
kumohon setujulah untuk menikah atau kalau nggak…ayo kita tunangan dulu. Aku
bersedia menunggu sampai kamu siap," lanjut Deon dengan serius. Akan
tetapi, tiba-tiba tangannya terkepal karena menahan amarah. "tapi
jangan pernah bilang kalau kita ini nggak masuk akal, Talitha!! Aku
benci saat mulut kamu ngucapin hal sialan itu!!"
Mata
Talitha tak kunjung berhenti melebar sedari tadi. Mulut Talitha terkatup rapat.
Jantungnya bagai berhenti berdetak. Napasnya tertahan.
Mulut
Talitha bergetar. "Oi, Deon—kita—"
"Kita
harus melanjutkan hubungan ini." Deon menyambung ucapan Talitha. Pria itu
tampak menggertakkan giginya. "Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau
aku liat kamu pacaran sama cowok lain. Aku nggak peduli kalau harus pakai
kekerasan, Talitha. Kamu itu harus bersamaku. Harus bersamaku."
Talitha
menggeleng, ia tercengang. Namun, sesaat kemudian Talitha mulai menatap Deon
dengan prihatin. "Ya ampun, Deon, gimana bisa kamu hidup kayak gini? Deon,
kamu itu kayak orang yang punya obsesi gila tau nggak? Kamu terlalu posesif.
Hentikan pikiran negatif kamu itu! Siapa pun bakal terluka
kalo kamu terus-terusan kayak gini!!"
"Menikah
denganku," ajak Deon sekali lagi. Ia menatap Talitha dengan intens.
Talitha
memijit pelipisnya. Gadis itu berdecak. "Aduh...mati gue sumpah.
Kok bisa ada cowok ganteng ngajakin gue nikah, tapi ngajakinnya kayak ngancem
gini," ucap Talitha. Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Aku
nggak ngancam kamu, Sayang," ujar Deon seraya memiringkan
kepalanya. Matanya menyipit dan bagai memancarkan sinar laser.
Mata
Talitha membeliak. Mati. Kedengaran, ya? "Harusnya kamu ngucapin itu dalam
hati aja, Talitha," ujar Deon, pria itu menghela napas. "Aku ini
calon suami kamu dan nggak seharusnya aku dengar calon istriku ngomong gitu."
Talitha
mengerang, mendadak gadis itu merutuki dirinya sendiri dan memejamkan matanya
frustrasi. "Udahlah, Deon, aku lagi males nyaksiin kepribadian ganda kamu."
"Kepribadian
ganda?" tanya Deon ebelah menaikkan sebelah alis matanya yang tebal.
Setelah itu, timbul senyuman miring di wajah Deon. "Aku nggak punya
kepribadian ganda, Talitha. Aku cuma mau mencintai kamu dan membuat
kamu jatuh cinta sama aku. Hanya itu."
Entah
mengapa Talitha jadi meneguk ludahnya; gadis itu mendadak merasa ngeri.
"Ngeri
amat kamu nih," ujar Talitha. "Kalo ngancem horror banget.
Rayuan mautnya beuh..."
Deon
menyipitkan matanya—fokus memperhatikan Talitha—sehingga hanya Talithalah yang
ia lihat. Setelah itu, dia mencium pipi Talitha singkat. "Maafin aku."
Astaga.
Talitha
membelalakkan matanya. Lagi-lagi dia dicium. Tak pernah sekali pun ia dicium
oleh seorang pria, kecuali dahulu sewaktu kecil (dicium oleh ayahnya atau Gavin).
Ingat, ia adalah jomblo akut! Dia tak pernah mendapat
perlakuan seperti ini dan Deon malah dengan mudahnya…
Entah
apa yang terjadi, tiba-tiba ada semburat merah yang muncul di pipi gadis itu.
Dia menelan ludahnya berkali-kali! Gawat, dia yang suka menggerepe orang
lain, sekarang malah bungkam karena dicium oleh Deon? Namun, Talitha
menggeleng, membuang jauh-jauh semua pikiran itu dan menganggap semuanya hanyalah
angin lalu. Cepat-cepat dia mengalihkan pikirannya.
Talitha
mendorong Deon dan memukul bahu Deon kencang. "Nyium terus kamu nih!
Wah, mulai suka gerepe-gerepe, ya, kamu," ujar Talitha. Dia nyengir,
bermaksud untuk menggoda Deon. Dia mulai geblek lagi.
Deon
mengernyitkan dahi. "Kenapa kamu suka pakai istilah yang nggak
kumengerti," ujar Deon dengan lirih. "Aku nggak ngerti apa itu gerepe-gerepe."
Talitha
tertawa bak kesetanan.
Gadis
itu masih berusaha menghentikan tawanya ketika dia ingin berbicara,
"Aduh—hahah—oi—bhahaha—Deon, udah, deh, kamu itu ternyata
masih polos banget whahahahaha! Anak polos kok bisa kelewat posesif, yak?"
ujar Talitha, kemudian gadis itu semakin tertawa kencang.
Deon
mendengkus. "Apa kamu setuju dengan pernikahan kita?"
Talitha
mendadak mengerjap. Gadis itu terdiam lagi; ia menatap Deon dengan hati-hati.
"Maksud
kamu?"
"Aku
nanya apa kamu setuju dengan pernikahan kita. Aku nggak main-main,
Talitha," ujar Deon sembari mengangkat telunjuknya di depan Talitha, memperingati
Talitha.
Talitha
menunduk.
Ah,
yang benar saja. Dia yakin Deon tak akan mencintainya. Entah apa yang membuat
pria itu ingin menikahi Talitha, padahal Talitha adalah orang yang baru ia
kenal. Talitha pada dasarnya adalah orang asing baginya; Talitha masih
tak tahu apa-apa tentangnya. Ini pernikahan, lho! Selain itu, Talitha
masih berumur 21 tahun. Bagi Talitha, itu terlalu cepat.
"Aku
cuma takut kita nggak bisa memunculkan perasaan itu, Deon," ucap Talitha.
Kepribadian Talitha yang agak ‘gila’ itu mendadak berganti ketika gadis
itu membicarakan hal yang serius. "dan kita bakal menyesali itu."
Namun,
ketika Talitha berbicara serius seperti itu, ponsel Talitha yang ada di saku
gadis itu mendadak bergetar.
Talitha
mengernyitkan dahinya dan langsung mengeluarkan ponsel itu dari saku celananya.
Ia baru saja ingin mengangkat panggilan itu ketika tiba-tiba Deon mengambil
paksa ponselnya. Akhirnya, Deonlah yang mengangkat panggilan itu.
Itu
adalah panggilan dari sebuah nomor yang tak tersimpan di kontak Talitha.
Dengan
mata menyelidik, Deon langsung berbicara dengan dingin. "Siapa kamu?"
"Oh,
kamu yang namanya Alfa itu?"
Mata
Talitha membulat. Itu Alfa? Astaga.
Oh...benar.
Deon menghapus nomor Alfa dari ponselnya.
"Berhenti
ngehubungi dia. Berhenti atau aku bakal nemuin kamu dan ngasih kamu pelajaran sekarang
juga."
"Aku
calon suaminya. Berhenti ngehubungi dia. Dengar kamu? Atau kamu akan tau
akibatnya."
Mata
Talitha terbelalak. Ia kemudian berbisik pada Deon, "Oi—Deon! Oi! Udah!
Dia itu nggak tau apa-apa!"
Namun,
Deon hanya menatap Talitha dengan tajam.
“Jangan
pernah coba-coba untuk ngedeketin dia atau berbicara dengan dia. Aku bakal mengawasi
kamu. Dia itu milikku dan bakal selalu bersamaku. Jika kamu terus mencoba untuk
ngedeketin dia, aku pasti bakal bunuh kamu.”
Tubuh
Talitha mematung, ia tak tahu harus berkata apa lagi kepada Deon.
******
Talitha
mengantar Deon sampai ke halaman rumahnya.
Ini
sudah nyaris sore dan Deon menghabiskan banyak waktu di rumahnya. Pria itu
tampak begitu sempurna; dia membuat semua keluarga Talitha langsung menyukainya.
Dia tadi bahkan sempat membantu mama Talitha membuat kue—dan entah apa lagi
yang dikerjakannya—yang jelas dia berhasil membuat mama dan papa Talitha klepek-klepek.
Talitha
dari tadi hanya terus menggeleng melihatnya. Kalau sudah begitu, mana mungkin
kedua orangtua Talitha tak menyetujui hubungan mereka?
Talitha
mengekori Deon sampai ke dekat mobil pria itu. Namun, tiba-tiba Deon berbalik
lagi, lalu menatapnya. Alis Deon terangkat dengan arogannya.
"Kenapa
kamu nggak biarin aku nginap aja hari ini?"
Mata
Talitha kontan terbelalak. "Alamak—belum nikah, Pak. Sadar, kita belum nikah.
Waduh, gileee, Bapak udah mulai suka gerepe-gerepe. Atut ih... Ntar
akunya yang malah kebablasan whahahaha!" Talitha tertawa
kencang.
"Kamu
manggil aku Bapak lagi." Mata Deon menyipit tajam. "Ralat ucapan kamu
atau kucium kamu di sini."
Talitha
mendadak bagai tersambar petir.
Namun,
beberapa detik kemudian Talitha justru menaikturunkan alisnya jail. "Wah,
aku mah nggak apa-apa kalo kamu cium," ujarnya. "Mumpung
ada orang ganteng mau nyium aku gratisan bhahahah!"
Tanpa
Talitha sangka, Deon langsung mendekatinya dan menarik tubuhnya. Butuh
waktu bagi otak geblek Talitha untuk paham bahwa dia sudah
dicium oleh Deon. Bibir Deon menguasainya seolah bibir Talitha hanyalah
miliknya seorang. Ketika Talitha tersadar, Deon sudah melepaskan ciumannya.
Pria
itu menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Apa ini termasuk gerepe-gerepe?"
…ha?
Kontan
saja Talitha tertawa kencang, gadis itu tergelak setengah mati. Deon ini sedang
apa, sih? HAHA!
"Astaga
naga... Kamu ini bikin ngakak aja tau nggak! Sumpah, kelakuan
kamu tuh aneh seaneh-anehnya hahahaha!"
"Kalau
nggak, kamu ikut ke apartemenku aja," ujar Deon. "Tidur di
sana."
Talitha
terperanjat. Ia nyaris terlompat ke belakang saking kagetnya. "Waduh, njir,
langsung tancep gas dia," ucap Talitha. "Oi—mentang-mentang udah tau
apa itu gerepe-gerepe, kayaknya jadi maen nyeruduk aja
kamu!"
Deon
mengangkat alis. "Bukannya kamu juga bakal jadi istriku?"
Talitha
menganga. "Belum, oi!! Nih orang kok ngeyel amat! Masih aj—"
"Oke.
Terserah kamu, yang jelas aku pasti ngelamar kamu." Deon berkata dengan tajam,
lalu dia bernapas samar. "Nggak lama lagi aku bakal ngelamar kamu. Jangan macam-macam,
Talitha."
Deon
kemudian mencium pipi Talitha dengan sangat lembut, bahkan hampir
seperti menempelkan bibirnya saja. Itu terasa bagai selembut dan seringan kapas.
"Aku
pulang dulu. Besok aku bakal jemput kamu. Jangan coba-coba berangkat sama orang
lain selain aku,” peringat Deon, kemudian pria itu menekan key fob mobilnya.
Deon membuka pintu mobilnya dan mulai masuk ke mobil itu.
Ketika
mobil Deon pergi dari rumah Talitha, Talitha hanya memperhatikan mobil itu dengan
lekat.
Deon
itu…
Mengapa
jantung Talitha mendadak jadi berdebar?
"Ekhem-ekhem...
Cuit-cuit..."
Talitha
kontan membulatkan matanya. Gadis itu langsung berbalik, lalu ia
menemukan mamanya dan Gavin berdiri di depan pintu dan bersiul dengan jail;
mereka sedang meledek Talitha.
Talitha
sontak jadi kesal minta ampun; wajah gadis itu memerah. Matanya memelotot dan
dia langsung melepas sandalnya. Dia langsung berlari ke arah mamanya dan Gavin—membuat
mereka berdua jadi kucar-kacir sambil tertawa—lalu dia mengejar Gavin seraya
memegang sebelah sandalnya.
"Kaliaaaaaaaan!!!"
geram Talitha. "Kamvreeeeeeeeettttttt!!!!"
Gavin
sibuk berlarian sembari menutupi kepalanya dengan kedua tangannya, sementara
mama mereka sudah kabur ke dalam rumah.
"Woy,
Dek!! Bukan gue yang duluan! Mama, tuh, yang duluan ngintipin lo dicium Deon
tadi! Kok lo cuma ngejer gue, sih?!! DEK!!"
Halah,
kurang ajaaaar!! Ternyata mereka mengintip selama itu?
Sialaaaan!!
******
Talitha
mendengkus.
Ia
baru pulang kuliah dan seharusnya hari ini Gavin menjemputnya. Basuki tadi
sudah pulang. Namun, dia ingat bahwa Deon akan selalu mengantar jemputnya. Dia
sejujurnya tak mau terus-menerus bertemu Deon, tetapi dia juga tak bisa
memungkiri bahwa dia memang sudah terikat dengan pria itu.
Gavin
hanya meng-SMS-nya dengan kalimat: 'Dek, gue ada rapat dadakan. Sori
banget. Bentar lagi selesai. Lagian, kan, ntar Deon jemput elo. Tunggu aja
sebentar.'
Aduh.
Tiba-tiba
ponselnya berbunyi.
Nomor
yang tak dikenal lagi. Tsk. Semenjak Deon menghapus semua nomor laki-laki lain
di ponselnya—kecuali nomor Revan, Gavin, dan papanya—Talitha jadi serasa
dikejar-kejar penipu karena terus ditelepon oleh nomor yang tak dikenal.
Seraya
menggaruk kepalanya yang tak gatal, Talitha pun mengangkat telepon itu.
"Halo?”
"Halo..."
Talitha
mengernyitkan dahi. Ini suara seorang wanita. Talitha sepertinya pernah
mendengar suara itu, tetapi...di mana, ya?
"Ini...siapa,
ya?" tanya Talitha.
"Kamu…pacarnya
Deon yang waktu itu, ‘kan?" tanya wanita itu. "Saya…mamanya
Deon."
Kontan
mata Talitha melebar.
Dari
mana mamanya Deon tahu nomor ponsel Talitha? Mengapa ia menelepon Talitha?
Talitha
lantas menjawabnya dengan gagap, "I—iya, Bu."
Terdengar
kekehan lembut di seberang sana. "Panggil Mama aja. Mama mau ketemu
sama kamu. Pengin bicara sama kamu. Kamu bisa, Sayang?" tanya mama
Deon dengan ramah.
Talitha
mengangguk dengan kaku. "I—ya, Ma, bisa. Tapi…Mama di mana?" tanya
Talitha sopan.
Serena
menyebutkan lokasinya dan Talitha mengangguk. Itu adalah sebuah café dan
café itu tak terlalu jauh dari kampusnya. Talitha hanya perlu naik taksi
sebentar. Sepanjang jalan, di dalam taksi, pikirannya agak kacau. Begini: dia baru
bertemu dengan Deon, tetapi dia sudah terikat seerat ini. Dia langsung terjebak
sejauh ini. Entah apa yang mau mama Deon bicarakan nanti. Entah mengapa mama
Deon bisa punya ide untuk menemuinya. Dia bahkan tak menyangka bahwa dia akan
bertemu lagi dengan mamanya Deon secepat ini. Ketika sampai di depan café itu,
Talitha pun turun setelah sebelumnya membayar ongkos taksinya. Mendadak
jantungnya berdegup kencang; dia nervous.
Talitha
masuk melewati pintu kaca café itu dan melihat ke
sekeliling. Dia lalu menemukan seorang wanita paruh baya yang cantik tengah
melambaikan tangan padanya dari sudut kiri café. Talitha menunduk
sembari tersenyum manis, kemudian dia menghampiri wanita itu. Talitha mulai
menyalami wanita itu dan akhirnya dia duduk.
Serena
lantas memanggil pelayan café. Salah satu pelayan café mulai
menghampirinya. Sebelum memesan, Serena menoleh kepada Talitha dan tersenyum
manis. “Kamu mau pesen apa, Sayang?”
Talitha
mengerjap. Gadis itu dengan cepat membaca buku menu yang ada di atas meja.
"Em... Mochaccino aja, Ma."
Serena
mengangguk, lalu wanita itu menatap pelayan café yang sudah
sampai di meja mereka.
"Di
sini ada cheesecake, 'kan? Pesen dua, ya. Terus satu mochaccino dan
satu latte."
Pelayan
itu mencatat pesanan Serena dan merunduk hormat. Setelah itu, pelayan itu pergi.
Serena
lantas menatap Talitha lagi seraya tersenyum. "Mama belum tau siapa nama
kamu."
Talitha
sedikit membulatkan matanya, lalu gadis itu tertawa kikuk. "Ah...haha, um…nama
aku Talitha, Ma."
"Nama
lengkap dan nama panggilan?" tanya Serena penasaran.
"Nama
lengkap aku Talitha Sava Aryadinata, Ma. Panggilannya Ita."
Serena
mengangguk. Ia kemudian memegang punggung tangan Talitha dan membuat Talitha
terkejut bukan main. Namun, Serena mengelus tangan Talitha dengan lembut hingga
membuat Talitha tenang kembali.
"Maafin
Mama karena udah ngagetin kamu dan minta ketemuan sama kamu, Sayang. Belakangan
ini Mama memang nyari tau soal kamu dan Mama dapet info kalo kamu itu anak UI. Jadi,
Mama langsung cari nomor kamu dari anak-anak yang satu jurusan sama kamu. Walaupun
susah, tapi akhirnya Mama dapet nomor kamu."
Mata
Talitha membeliak. Ternyata selama ini mamanya Deon mencari tahu tentangnya?
Apakah
mamanya Deon benar-benar ingin menemui Talitha? Mengapa dia tak pernah tahu
bahwa mamanya Deon mencari nomor ponselnya dari orang-orang yang satu jurusan
dengannya? Maksudnya…kok nggak ada yang cepuin ke Talitha, ya?
Talitha
kemudian mengangguk pelan. "Nggak apa-apa kok, Ma."
"Mama...pengen
nanyain soal Deon ke kamu,” ujar Serena. Mata Serena mendadak berkaca-kaca.
Wanita itu tersenyum sendu dan tangannya masih mengelus punggung tangan Talitha
dengan lembut.
Talitha
tercengang. Gadis itu hanya bisa melihat Serena dengan prihatin. Sesungguhnya,
mamanya Deon benar-benar tampak terluka. Ya, wanita paruh baya di depan Talitha
itu sedang terluka. Deon juga terluka. Namun, garis pemisah di antara mereka
kini kian melebar...
Talitha
menarik tangannya dari genggaman Serena, lalu kedua tangannya langsung memegang
tangan Serena kembali. Jadi, kini gantian kedua tangan Talithalah yang meremas
tangan Serena.
"Tanya
aja, Ma... Bakal Ita jawab sesuai apa yang Ita tau. Ita baru kenal Deon
beberapa hari, tapi Ita bakal jawab apa pun itu selama Ita tau."
Serena
tersenyum manis dan terkekeh. Air matanya jatuh, tetapi ia langsung mengusapnya.
Ia
mulai menatap Talitha dengan tersenyum simpul. "Kamu baik banget, Sayang.
Pantesan Deon langsung pengin kamu jadi tunangannya."
Kedua
mata Talitha membulat. Mendadak pipinya memerah. Biasanya, dia akan cuek jika
diledek begitu. Namun, kali ini…ketika yang mengucapkannya adalah mamanya Deon,
entah mengapa semburat merah itu muncul begitu saja.
Cepat-cepat
Talitha mengedipkan matanya. "Nggak kok, Ma, nggak gitu."
Serena
tertawa renyah.
"Ya
terus gimana coba?" goda Serena. Talitha langsung kicep.
"Mama
mau tanya apa tadi, Ma?" tanya Talitha, dia sedang berusaha untuk mengalihkan
pembicaraan.
Serena
terkekeh. Dia tahu Talitha berusaha untuk menghindari topik pembicaraan itu. Wanita
itu menatap Talitha dengan penuh perhatian. Namun, tiba-tiba kedua mata Serena menatap
Talitha dengan rasa ingin tahu.
"Bagaimana
dia, Sayang? Apa dia baik-baik saja?" tanya Serena dengan hati-hati.
Mendadak
mata Talitha terasa perih; rasanya dia jadi mau menangis. Ia tak pernah melihat
hubungan ibu dan anak yang sulit seperti ini. Deon dan mamanya agaknya saling
mengharapkan satu sama lain. Namun, dunia seakan memisahkan mereka.
"Deon
baik-baik aja kok, Ma. Dia sehat," jawab Talitha seadanya.
Serena
melipat bibirnya. Wanita itu menarik napasnya berat, lalu mengeluarkannya dengan
lega. Ada sebuah binar kebahagiaan yang muncul di kedua matanya.
"Makasih,
Tuhan..." ucap Serena pelan.
Talitha
tersenyum.
Talitha
hanya diam, menunggu Serena berbicara lagi. Sesaat kemudian, Serena kembali
menatap Talitha. Wanita itu meneguk ludahnya.
"Mama
memang nggak pantas buat Deon," ujar Serena, dia menggeleng samar.
"Mama memang nggak meduliin dia. Dari kecil dia hampir selalu main sama papanya.
Kalau papanya sibuk, dia bakal main sendirian atau sama pengasuhnya. Dia anak
yang baik. Mungkin dia cuma mau liat mama dan papanya sering balik ke rumah. Tapi…saat
itu..."
Serena
menangis. Semua kesedihan itu menguar kembali. Satu per satu serpihan momen itu
terkilas lagi di benaknya.
"Saat
itu, Mama mengkhianati dia. Mengkhianati papanya juga. Mama saat itu ngerasa
nggak bahagia, selalu mau mencari kebahagiaan…sampai akhirnya muncul
sebuah gagasan di benak Mama. Gagasan bahwa: penyebab Mama nggak bahagia adalah
karena papanya Deon selalu sibuk dan jarang merhatiin Mama. Dia selalu sibuk.
Mama mau dia lebih banyak di rumah dan menghabiskan waktu bersama Mama dan juga
bersama Deon.
Karena
papanya Deon nggak juga mengerti, akhirnya Mama ngelampiasin semuanya dengan
cara yang nggak wajar. Mama kesal karena tiap hari papanya Deon cuma ngebahas kerjaannya.
Mama takut diduakan, takut kehilangan, ngerasa sepi dan sengsara…semua itu ngebuat
mama justru jadi mengkhianati papanya Deon. Mama justru ngelakuin semua
yang Mama takutkan.
Habis
itu, semuanya berakhir. Anak Mama satu-satunya itu ngeliat mamanya ngelakuin
hal nggak senonoh di depan matanya. Deon ngeliat semua kegelapan dalam
diri Mama. Dia ngeliat semua pengkhianatan Mama dan akhirnya dia jadi benci
sama Mama. Dia jadi buta akan kasih sayang. Dia jadi pribadi yang nggak kenal
rasa kasihan. Hidupnya nggak berwarna. Itu semua..."
Talitha
kontan langsung berdiri dan memeluk Serena. Meskipun mereka berseberangan,
Talitha tetap berdiri dan langsung meraih tubuh wanita itu.
Serena
menangis.
Punggung
wanita itu bergetar; ia tampak begitu rapuh. Tubuh wanita itu terasa sama
rapuhnya dengan Deon ketika pria itu menangis di pelukan Talitha. Mereka
benar-benar ibu dan anak. Talitha yang mendengarkan dan melihat mereka pun jadi
ikut sedih.
Sangat
menyakitkan ketika mendengarkan cerita dari kedua pihak dan mengetahui
kebenaran yang pahit seperti ini.
Serena
perlahan mulai menghentikan tangisnya. Dia mendongak, lalu menatap Talitha hingga
membuat Talitha refleks melepaskan pelukannya.
Talitha
menatap Serena dengan iba. Sungguh cantik mamanya Deon itu. Namun, wajah
cantiknya jadi lembap karena air mata.
Walaupun
Talitha merupakan orang yang tak peka dan cuek, dia paling tak tahan melihat
orang lain menangis karena itu bisa memengaruhinya.
Serena
tersenyum manis. Senyumannya tampak begitu tulus. "Mama sekarang ngerti
kenapa Deon suka sama kamu. Kamu pendengar yang baik. Kamu bisa ngebuat orang
lain nyaman, jadi orang-orang langsung dengan mudahnya nyeritain masalahnya ke
kamu. Mama yakin kamu pasti pernah meluk Deon kayak tadi juga, 'kan? Apa
Deon pernah ceritain masalahnya ke kamu?"
Talitha
meneguk ludahnya. Waktu itu dia pernah memeluk Deon di mobil ketika Deon
menangis.
Talitha
hanya bisa diam dan menatap Serena dengan hati-hati.
Namun,
tiba-tiba Serena tertawa. "Tuh, bener, ‘kan? Pasti pernah. Kamu pasti
berhasil ngebuat dia menangis di pelukan kamu. Mama sadar karena tiba-tiba Mama
nyeritain semuanya ke kamu gitu aja, padahal Mama nggak pernah nyeritain ini ke
siapa pun, termasuk ke Deon dan papanya. Cuma kamu yang tau soal ini, Sayang..."
Mata
Talitha melebar.
"Mama...Percaya
sama aku? Aku ini sableng, lho, Ma. Mama sama Papaku aja nggak
percaya sama aku," ucap Talitha dengan hati-hati.
Serena
tertawa kencang. Namun, Serena mengangguk yakin. "Mama percaya kok. Tapi…apa?
Mama sama papa kamu nggak percaya sama kamu? Astaga hahaha!" Serena
tertawa. "Dasar. Pasti seru, ya, kalo kamu serumah sama Mama. Bikin ngakak aja.
Kamu emang tepat untuk Deon."
Talitha
mengernyitkan dahinya. "Lha, kok Mama ngomong gitu?"
"Sifat
kejamnya itu cuma orang cuek dan sableng kayak kamu yang bisa
menetralisirnya," ujar Serena sembari terkekeh geli. "Kalo orang yang
mudah bawa perasaan pasti bakal sakit hati tiap dibentak sama Deon. Lha kalo
kamu, Mama yakin kamu pasti cuek atau malah ngetawain dia. Mungkin juga kamu
malah nyerocosin dia balik. Kamu sama Deon itu kayak tepung terigu sama air.
Dari mana pun keliatan beda. Kalo disatuin pun mesti diaduk-aduk dulu. Tapi nggak bisa
berpisah kalau udah disatukan."
Namun,
bodohnya, Talitha justru menganga. Ia tak mengerti. Manusia berotak lemot
macam Talitha memang butuh waktu buat mengerti peribahasa macam
itu. Serena tertawa lagi.
Ketika
pesanan mereka sampai, Serena langsung meminum latte-nya dan Talitha juga langsung
meminum mochaccino-nya. Talitha mulai memotong cheesecake miliknya
ketika Serena membuka pembicaraan lagi, "Jadi, kamu emang mau nikah sama
Deon?"
Mata
Talitha kontan terbelalak. Ia langsung menatap Serena dan tertawa canggung.
"Haha. Emm… Nggak tau juga, Ma. Aku belum terlalu kenal sama Deon. Takut
aja."
Serena
tersenyum manis, semanis madu. "Udah, deh, nikah aja. Mama setuju
kok. Kalau bisa, sih, secepatnya aja," ujar Serena sembari
mengedipkan sebelah matanya pada Talitha. Talitha spontan menganga.
Waduh.
Disuruh nikah lagi, deh.
Talitha
menatap Serena dengan lekat. Hidung dan matanya mirip dengan Deon. Talitha yakin
bahwa Serena—mamanya Deon—inilah yang orang Taiwan sehingga membuat Deon jadi
blasteran. Senyuman Deon sangat indah indah, sama seperti mamanya. Tak sadar
mengagumi wajah mamanya Deon, ponsel Talitha tiba-tiba berbunyi. Talitha tersentak;
ia langsung mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam tasnya.
Serena
hanya memperhatikan Talitha dengan senyuman. Talitha lantas menatap Serena dan mengangguk
satu kali sebagai pertanda kalau ia ingin izin menelepon sebentar, kemudian
Serena mengangguk. Talitha pun bertelepon di depannya.
Itu
Deon.
"Halo,"
ujar Talitha.
"Ah…aku…aku
di Sean’s Café, Deon."
Serena
agak melebarkan matanya, lalu tersenyum…ketika tahu bahwa yang menelepon itu adalah
Deon.
"Aduhhh,
iya, iya, jangan marah-marah ngapa, sih?" ujar Talitha.
"Jangan terlalu posesif, ntar kamu stress sendiri baru
tau rasa!"
"Oi—aku
nggak lagi sama laki-laki! Haduh, stress hayati..."
Serena
terkekeh tatkala mendengarkan percakapan antara Talitha dan Deon. Putranya luar
biasa posesif kepada Talitha. Mendengar cara bicara Talitha membuat Serena
ingin tertawa, tetapi wanita itu menahannya karena ia tahu bahwa...Deon akan
mengamuk. Deon akan marah jika pria itu tahu bahwa Talitha sedang bersamanya.
Ketika
Talitha menutup sambungan telepon itu, Serena kembali tersenyum manis padanya.
Talitha melipat bibirnya. "Maaf ya, Ma, tadi pembicaraannya jadi kepotong,"
ujar Talitha sopan.
Serena
terkekeh lagi. "Iya, nggak apa-apa kok. Yang motong juga Deon, ‘kan."
Talitha
menggaruk tengkuknya (yang sama sekali tak gatal itu), lalu nyengir.
Akhirnya,
Serena berdiri. Talitha terkejut dan langsung ikut berdiri.
Serena
mengusap pundak Talitha pelan. "Ya udah, Mama duluan, ya. Ntar Deon marah
kalo ngeliat Mama di sini. Ntar kita ketemuan lagi, ya, Sayang."
Talitha
menatap Serena dengan penuh kesedihan. Haruskah Serena dan Deon saling tak
melihat seperti ini?
Dengan
berat hati, Talitha pun mengangguk. "Iya, Ma."
Serena
menghela napas. Wanita itu kemudian memeluk Talitha singkat. Ketika sudah
melepaskan pelukannya, wanita itu lantas melambaikan tangannya kepada Talitha
dan keluar dari café dengan langkah anggunnya.
******
Setelah
menunggu di depan café selama beberapa menit, sebuah
mobil mulai berhenti di depan Talitha. Itu adalah Deon.
Deon
ini...sepertinya suka berganti-ganti mobil. Talitha tak mengenalinya hingga
saat pria itu turun dari mobil dan membuat semua orang otomatis melihat ke
arahnya.
Talitha
memutar bola matanya, lalu meledek Deon. "Yaelah, tiap kamu ada di area
terbuka kayak gini, kamu itu kayak gula tau nggak. Banyak banget semut yang
ngincer."
Deon
membuka kacamatanya dan sembari menghampiri Talitha, dia mengernyitkan dahi.
"Aku nggak ngerti maksud kamu. Daripada ngomongin itu, lebih baik kamu
jelasin ke aku kenapa kamu ada di sini,” jawabnya tajam.
Talitha
mendengkus. "Kamu nggak ngerti? Ampun dah nih manusia
satu. Gini, ya, kamu itu kinclong banget. Jadi, kalo kamu keluar dari mobil
atau ngelakuin sesuatu—apa pun itu—di area terbuka kayak gini, kamu tuh eye-catching banget.
Apalagi di Indonesia. Dari jauh aja orang udah tau kalo kamu itu ganteng. Bisa
bikin pikiran orang jadi ngambang gitu, haha. Habisnya, udah tinggi, badannya
bikin ngiler, penampilannya seger dan oke, rambutnya keren, kulitnya bening
dan halus…pake kacamata pula. Nah, malah aku yang ngiler sekarang," ujar
Talitha sembari mengusap bagian sudut bibirnya.
Deon
mengerutkan dahinya. "Kenyataannya yang pikirannya paling ngambang itu
kamu."
Talitha
jadi mencibir ketika mendengar perkataan itu. "Yeeee syukur-syukur aku
nggak gerepe-gerepe kamu! Lagian, tadi aku cuma minum mochaccino di
sini. Nungguin kamu jemput."
"Aku
nggak percaya kamu nunggu jemputan sampai sejauh ini dari kampus kamu," ujar
Deon, matanya menatap Talitha penuh selidik.
Talitha
mendengkus. "Ya suka-suka aku, dong. Mochaccino di sini enak."
Deon
menatapnya tajam.
Dua
detik kemudian, mulai ada orang-orang yang memotret Deon dengan antusias.
Talitha menganga; dia benar-benar memperhatikan semua orang itu,
terutama cewek-cewek yang kini mulai berteriak histeris.
Talitha langsung memasang poker face.
Risiko
berdiri bareng orang ganteng tuh gini, ya?
Akan
tetapi, bersamaan dengan situasi itu, tiba-tiba Talitha mendengar ada langkah
kaki yang mendekati mereka berdua.
"Lho,
Ita? Kamu ngapain di sini?"
Talitha
lantas menoleh ke asal suara. Mata gadis itu kontan membulat.
"Kak
Alfa?" []
******
No comments:
Post a Comment