Friday, May 30, 2025

Because of Ticket! (Bab 12: Kilas Balik Kedua)

 


******

Bab 12 :

Kilas Balik Kedua

 

******

 

JAKARTA, 26 JULI 2014.

 

"INI rame-rame mau ngapain, sih?" tanya Rian saat cowok itu melihat halaman sekolah yang sudah dipenuhi dengan murid-murid. Selain itu, ada beberapa guru yang sedang berteriak, memerintahkan agar semua murid lekas berbaris. Rian, Adam, dan Aldo baru saja sampai di sekolah dan sedang melewati halaman. Rian menatap barisan-barisan itu dengan heran.

Adam—yang sedang merapikan dasinya itu—mulai menoleh ke halaman sejenak, lalu beralih menatap Rian.

"Entah, tuh. Bukannya ini hari Selasa? Nggak lucu kalo upacara," ujarnya sembari menganga keheranan.

"Aldo," panggil Rian. Aldo, yang tadinya hanya diam saja, kini menoleh kepada Rian. Adam juga menatap Aldo dengan tatapan ingin tahu.

Mungkin, ini terjadi karena Aldo adalah anggota OSIS. Jabatannya masih sekadar salah satu anggota seksi OSIS, berhubung ia masih kelas sepuluh dan baru selesai MOS. Aldo mengedikkan bahu.

"Katanya mau ada pengumuman. Nggak tau juga pengumuman apa," jawab Aldo singkat. Rian dan Adam mengangguk mengerti, lalu mereka bertiga kembali menghadap ke depan. Saat mereka bertiga telah hampir sampai di koridor, ada dua cewek di depan sana yang berjalan dari arah yang berlawanan. Dua cewek itu sedang bercerita—bukan, salah satunya bercerita dan yang satunya lagi adalah pendengar setia—sementara ketiga cowok ini hanya diam memperhatikan mereka.

Begitu mereka bertiga berpapasan dengan kedua cewek itu, barulah kedua cewek itu melihat mereka bertiga. Tak ayal, baik Rian dan Adam maupun kedua cewek itu, mereka semua spontan memberikan senyuman sebagai bentuk salam meskipun tak saling kenal.

Namun, berbeda dengan Aldo. Salah satu dari dua cewek itu benar-benar berada di depannya; cewek itu tersenyum dengan indahnya. Aldo bahkan tidak ingat untuk membalas senyumannya. Hal yang Aldo tahu, saat itu waktu seolah-olah terhenti. Aldo benar-benar terdiam dengan mata yang melebar.

 

Matanya... Senyumnya...

Semuanya indah.

Cantik banget...

 

Mata cewek itu seolah mampu membawa Aldo masuk ke dunia cewek itu. Aldo seolah mampu melihat pintu hatinya, melihat jiwanya, dan terjebak selama-lamanya. Aldo hanya ingin waktu diperlambat sedikit saja. Soalnya, ia tahu bahwa jika waktu tidak berhenti…

 

...cewek itu akan segera hilang dari pandangannya.

 

Benar. Bagaikan embusan angin, cewek itu kini telah melewati Aldo. Melewati bahu kanan Aldo. Rambut hitam cewek itu tertiup angin dengan lembutnya di depan Aldo. Hanya itulah yang sempat Aldo lihat karena tiba-tiba saja cewek itu sudah hilang dari pandangannya. Harum sampo melonnya yang manis itu tercium oleh Aldo dan membuat Aldo spontan menoleh ke belakang; Aldo merasa kehilangan. Cowok itu seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang begitu indah, terlalu elok untuk ia lewatkan. Pemandangan itu membuatnya terlena; ia tertarik seperti magnet.

Saat Aldo menoleh ke belakang, cewek itu sudah berlari bersama temannya ke halaman sekolah. Aldo benar-benar berhasil dibuat berhenti berjalan; cowok itu terpaku di sana dengan ekspresi blank.

"Woi," panggil Rian, cowok itu menepuk pundak Aldo dan membuat Aldo menoleh kepadanya. Tanpa Aldo tahu, ternyata Rian dan Adam juga berhenti karena melihat Aldo yang tak biasanya bersikap seperti itu. "lo kenapa?"

Aldo mengerjap. Cowok itu hanya menggeleng dan akhirnya mereka bertiga kembali berjalan.

Tiba-tiba Adam mulai heboh. "Eh, ada Syakila, weh! Syakila cantik bener dah!" Adam kegirangan sendiri; dia mulai gila karena melihat Syakila yang berjalan bersama Fara dan Rani di ujung koridor. Ketiga cewek itu baru turun dari lantai dua. Rian langsung berdecak dan menempeleng kepala Adam, tetapi Adam malah mengikik.

"Eh," ujar Aldo, tiba-tiba cowok itu menginterupsi. Rian dan Adam langsung diam, mereka menatap Aldo dan menunggu apa yang akan Aldo katakan. Menatap Rian dan Adam dengan mata yang menyipit, Aldo pun melanjutkan, "cewek yang lewat tadi...yang rambutnya diurai itu siapa namanya?"

Mata Rian berkedip dua kali. Adam mengangkat kedua alisnya, matanya melebar dan dia berpikir keras. Hell, apa dia pernah berpikir keras sebelumnya? Mengerjakan soal Bahasa Indonesia saja dia selalu menyontek punya Aldo. Dia orangnya sembrono dan simpel. Bahasa Indonesia saja sudah rumit baginya.

"Ntah juga. Gue baru liat. Ngapa?" tanya Rian heran.

Adam nyengir.

"Biar gue tanyain Syakila, deeh!" teriaknya. Dengan kecepatan angin dia langsung berlari mendekati Syakila di ujung sana dan mulai menggoda Syakila.

"Woi, modus!" teriak Rian. Rian menghela napas tatkala Adam sudah mulai nggombal enggak jelas pas gabung jalan sama Syakila. Padahal, tuh anak juga belum menaruh tas, sama seperti Aldo dan Rian. Mereka, kan, memang baru datang!

"Dasar bocah gila, padahal dia tau Syakila itu kayak mana. Kan Syakila pernah pacaran sama lo," ucap Rian, cowok itu berbicara pada Aldo. Aldo hanya tersenyum simpul dan mengedikkan bahu. Nyatanya, Adam memang mengikuti Syakila hingga mereka berpapasan dengan Rian dan Aldo, lalu cowok itu berbalik arah untuk kembali berjalan bersama Aldo dan Rian. Memang kurang kerjaan.

Begitu Adam bergabung lagi dan mereka berpapasan dengan Syakila, Syakila sempat melihat Aldo, tetapi tidak dengan Aldo. Syakila langsung menunduk lesu dan Rani memegang lengannya dengan erat. Beda lagi dengan Fara. Fara itu tidak terlalu dekat dengan Syakila dan Rani, jadi dia tidak tahu-menahu soal Aldo dan Syakila. Mungkin, dia jalan dengan Syakila dan Rani cuma karena mau pergi bersama ke halaman.

"Eh, Rian, ntar traktirin gue, ya! Lo semalem kalah maen truth or dare sama gue! TRAKTIR, OKEE?!" sorak Fara heboh. Rian langsung berdecak dan menutup telinganya dengan kedua tangannya.

"Sialan, nih anak selalu berisik tiap gue liat dia!!" gerutunya pada Aldo dan membuat Aldo tertawa kecil. Ia menatap Fara dan memelototi bendahara kelas itu dengan galak. "Iya, iya!!! Gara- gara traktiran sepuluh ribu aja lo teriak kayak pake toa! Ngajak ribut melulu lo! Pergi sana!"

Fara, yang sudah berjalan melewati mereka (setelah menjulurkan lidahnya untuk mengejek Rian), sukses membuat Rian meninju-ninju udara saking kesalnya. Adam tertawa terbahak-bahak sembari menenangkan Rian. Setiap ketemu Fara, Rian yang enggak banyak tingkah itu jadi rempong begini. Aldo menggeleng, lalu tertawa geli.

"Lo kenapa, sih, Yan? Tiap ketemu Fara kok ribut terus," ujar Aldo santai. "Lagian, kayaknya kalian akrab."

"Akrab? Buset, nggak sudi!" teriak Rian, berhasil membuat Adam semakin tertawa seraya memegangi perutnya karena tak tahan. Asli, Rian jadi kayak kucing yang ikan asinnya diambil.

"Tapi—" ujar Adam, cowok itu mencoba untuk menghentikan tawanya. “kan lo bisa, tuh, maen truth or dare sama dia! Ah, bohong aja lo kalo nggak akrab!"

Ejekan Adam itu sukses membuat Rian meninju lengannya. Adam spontan merintih.

Saat mereka mulai menaiki tangga ke lantai dua, mereka pun kembali diam. Namun, tiba-tiba Adam teringat sesuatu.

"Eh, gue lupa nanyain nama cewek itu ke Syakila!!"

 

******

 

JAKARTA, 27 JULI 2015.

 

Tahun kedua. Pagi itu, telunjuk Rian menelusuri kertas-kertas yang ditempelkan di mading sekolah. Kertas itu berisi nama-nama siswa serta di kelas mana mereka akan ditempatkan. Rian, Aldo, dan Adam memilih kelas IPA dan mungkin saja akan diacak.

Tatkala Adam dan Rian tengah sibuk mencari, Aldo pun memfokuskan pandangannya. Dia memperhatikan kertas-kertas itu dan mencari namanya sendiri.

"Lo sama Adam ada di XI IPA 1, Aldo," ujar Rian. Adam tersenyum. Rian lalu melanjutkan, "Kalo gue..."

Rian diam untuk waktu yang agak lama, tetapi akhirnya Rian menatap kedua temannya seraya tersenyum miring. "Gue juga di XI IPA 1."

Kontan saja mereka bertiga ber-high five. Sembari berjalan bertiga untuk mencari kelas XI IPA 1, Aldo disapa oleh banyak kakak kelas dan juga teman-teman seangkatannya. Adik-adik kelas yang masih berseragam SMP pun banyak yang malu-malu kucing saat melihat Aldo berjalan melewati mereka. Ini baru hari pertama MOS, tetapi mereka sudah menemukan kakak kelas yang ganteng. Ah, itu adalah harapan seluruh adik kelas.

Sambil berjalan—dan mengobrol—bersama Rian dan Adam, hal yang Aldo pikirkan hanyalah satu.

 

Cewek itu...ada di kelas mana, ya?

 

Bahkan, namanya saja Aldo enggak tahu. Mau mencari tahu? Banyak banget cewek yang rambutnya tergerai di sekolah ini. Aldo bingung bagaimana mau menjelaskan ciri-cirinya kalau dia bertanya sama orang lain. Lagian, cewek itu sekelas sama siapa saja Aldo enggak tahu. Mau bertanya sama Fara? Tahun kemarin, Fara dan cewek itu belum tentu sekelas.

Selain Fara, enggak ada lagi yang sering mengobrol dengan Aldo. Syakila adalah opsi yang terakhir... Lagian, Aldo dan Syakila juga tidak akrab. Waktu punya 'hubungan' pun mereka memang begitu. Kalau Fara, sih, wajar. Soalnya, Fara itu suka bertengkar dengan Rian.

 

******

 

Begitu masuk ke kelas bersama Rian dan Adam, dinginnya AC langsung menyambut Aldo. Aldo melihat kalau ada beberapa teman sekelasnya yang dulu kini sekelas lagi dengannya. Meskipun tidak kentara, Aldo memang memperhatikan banyak orang saat itu. Rian dan Adam kini mulai bergerak mencari tempat duduk.

Rian dan Adam mulai menaruh tas mereka. Sementara itu, di sisi lain...Aldo mendadak terpaku. Mata Aldo melebar begitu melihat kursi ketiga dari barisan pertama, yaitu barisan yang terdekat dengan pintu kelas.

 

Cewek itu duduk di sana.

Cewek itu...ada di kelas ini.

 

Aldo mengerjap pelan dan masih terdiam…hingga tiba-tiba Rian berteriak, "Aldo!"

Aldo spontan menoleh kepada Rian di depan sana; dia sedang melambaikan tangannya, mengajak Aldo mendekat. Dia dan Adam sudah mendapatkan kursi untuk mereka bertiga. Adam ternyata duduk sebangku dengan seorang cowok berkacamata; dia duduk di belakang kursi Aldo dan Rian. Berarti, Aldo duduk dengan Rian dan membelakangi Adam.

Aldo tersenyum dan mendekati mereka berdua. Sampai di sana, ia ber-high five dengan Adam dan Rian.

Saat menunggu guru datang ke kelas pun, sulit sekali bagi Aldo untuk mengalihkan pandangan dari cewek itu. Beberapa menit kemudian, ada seorang guru yang datang ke kelas mereka. Tak butuh waktu yang lama hingga guru itu berkata,

 

"Ayo perkenalkan diri kalian."

 

Aldo menunggu saat-saat ini. Sebuah senyuman yang penuh arti terbit di wajah Aldo.

Kini, giliran Aldo yang memperkenalkan dirinya. Saat Aldo berdiri, anak-anak di kelas itu banyak yang tercengang. Jelas, Aldo itu keren meskipun bajunya enggak keluar-keluar kayak preman sekolah. Aldo itu ganteng banget, satu paket lengkap jika disatukan dengan pintarnya. Nama Aldo itu sudah dikenal di sekolah sejak hari-hari mereka MOS dahulu. Aldo adalah sasaran empuk buat kakak-kakak kelas yang demen cari perhatian. Sebisa mungkin, anak baik dan ganteng kayak Aldo itu harus dijaga baik-baik; dia adalah pacar idaman. Macho-nya, jagonya di bidang olahraga, semuanya bikin klepek-klepek. Rasanya, Aldo itu seksi bangetKetahuilah, seksi itu enggak cuma ada pada bad boy.

Kata cewek-cewek di sekolah, Aldo itu harus digaet meskipun nyatanya tak semudah itu.

 

"Aldo Gabriel Nugraha. Salam kenal," ujar Aldo.

 

Well, para cewek di sana langsung mengingat nama itu baik-baik di dalam otak mereka.

Satu murid terlewati...

Dua murid terlewati...

Hingga akhirnya, sampailah pada orang yang sejak tadi Aldo tunggu-tunggu.

Degupan jantung yang mendadak jadi kencang itu benar-benar mengganggu. Rasanya…gelisah sekali.

Akhirnya, cewek itu berdiri.

 

"Perkenalkan," ujar cewek itu dengan gugup. "nama saya Nadya Maharani."

 

******

 

"Untuk pelajaran Seni Budaya hari ini..." Bu Sasmita tampak berpikir. Setelah itu, beliau mendadak tersenyum seolah-olah mendapat ide yang bagus. "…kita nyanyi aja, deh."

Seisi kelas kontan jadi heboh. Adam mulai bersorak tak keruan. Rian langsung melongo, sementara Aldo hanya menatap Bu Sasmita dengan ekspresi tenang. Sesungguhnya, banyak murid yang berharap kalau yang bakal maju itu adalah Aldo, si cowok yang paling ganteng di kelas.

Cewek-cewek di kelas mulai berteriak sana-sini, ada juga yang mulai jail dan menunjuk-nunjuk temannya. "Tari, Buu!! Tariiiii!!!"

Sementara itu, Tari mulai mengomel dan mengancam cewek itu habis-habisan sembari tertawa. Adam juga mulai mengganggu Farid, cowok yang duduk di ujung kelas, dekat jendela. "Ciee, Farid! Saatnya nyatakan cinta, nih, sama si itu!! Yihaaaa!!!"

Seisi kelas pun tertawa.

Aldo tersenyum mendengar ejekan Adam itu, tetapi akhirnya semua murid terdiam ketika Bu Sasmita menepuk mejanya pelan. Dengan adanya interupsi itu, semua murid langsung terdiam dan degupan jantung mereka pun mulai menggila.

"Ibu liat acak di absensi aja deh," ujar Bu Sasmita.

Waduh! Ini, nih, yang ditakutkan. Peluang untuk maju pasti ada!

"Hm..." Deham panjang Bu Sasmita itu bagaikan gong menuju kematian di telinga murid-murid. Rian sampai mendengar degupan jantungnya sendiri. Kacau, man.

"Coba maju..." ujar Bu Sasmita.

 

Deg. Deg. Deg.

 

"Nadya Maharani."

 

Mata Aldo tanpa sadar membelalak. Aldo langsung melihat ke arah Nadya, yang kini wajahnya jadi benar-benar pucat. Nadya terperanjat bukan main karena tiba-tiba ditunjuk. Matanya membulat penuh. Ia spontan mencengkeram pinggiran meja dan pinggiran meja itu basah karena tangannya tiba-tiba dingin dan berkeringat.

"Yuhuuuuu!" teriak seisi kelas. Sebagian meneriakkan itu untuk Nadya dan sebagian lagi meneriakkan itu karena senang tidak ditunjuk. Bu Sasmita tersenyum pada Nadya dan mengangguk; beliau mengisyaratkan Nadya untuk maju. Bu Sasmita seolah-olah mau bilang, 'Maju aja, nggak apa-apa.' pada Nadya.

Nadya gemetar. Perlahan-lahan, ia mencoba untuk berdiri. Saat Nadya berdiri, seisi kelas mulai bersorak dan bertepuk tangan karena Nadya sudah berani berdiri demi bernyanyi di depan kelas, padahal Nadya sendiri tengah meremas roknya karena gugup. Ia yakin bahwa ia akan terpaku di depan sana.

Jujur, Aldo sendiri merasa jantungnya berdebar.

 

Nadya bakal nyanyi.

 

Mata Aldo benar-benar tidak berkedip sampai akhirnya Nadya berdiri di depan kelas. Tadi, tatkala Nadya berjalan dari kursinya hingga ke depan kelas, Aldo terus memandanginya. Tanpa sadar, Aldo meneguk ludahnya dengan gugup.

Selama satu menit lamanya, Nadya hanya diam sembari menunduk di depan kelas. Di kursinya, Gita juga jadi gelisah. Nadya itu pemalu banget! Sedari tadi, tangan Nadya berada di posisi 'istirahat di tempat'; gadis itu terus meneguk ludahnya karena gugup. Detak jantungnya menggila.

"Ayo, Nadya, mau nyanyi apa?" tanya Bu Sasmita. Nadya terkejut, dia langsung menatap Bu Sasmita dengan ekspresi wajah blank. Akan tetapi, akhirnya dia menggigit bibirnya dan menunduk lagi.

"Nggak apa-apa, nggak bakal diketawain kok," ujar Bu Sasmita. "Kalo ada yang ketawa, Ibu lempar pake penggaris, ngerti?!" teriak Bu Sasmita pada murid-murid di kelas itu.

"Okeee, Bu!!!" jawab seisi kelas.

Setelah itu, jantung Nadya jadi semakin berdebar. Nadya diam lagi selama sepuluh detik.

Hingga akhirnya, Nadya menarik napasnya dalam-dalam.

Dia pun mulai bernyanyi.

 

Saat aku tertawa...di atas semua...

Saat aku menangisi kesedihanku...

 

Tatkala nyanyian itu berakhir, saat itu pulalah pertama kalinya Bu Sasmita bertepuk tangan karena nyanyian seorang murid. Seisi kelas juga langsung bertepuk tangan karena kagum; mereka langsung bersorak. Demi apa pun, Aldo juga benar-benar tercengang. Mata cowok itu melebar, dia lupa mengedipkan matanya. Degupan jantungnya pun terasa semakin kencang. Dari hari ke hari, semuanya terasa semakin indah. Semuanya juga terasa semakin jelas. Maksudnya, jelas membuatnya hilang akal.

 

Cewek ini...benar-benar membuatnya jatuh cinta.

 

Ketika pelajaran Seni Budaya (yang merupakan pelajaran terakhir) itu selesai, mereka langsung pulang setelah berdoa. Aldo baru ingin berjalan setelah membawa tasnya di bahu sebelah kanan, tetapi tiba-tiba Aldo melihat ke arah Nadya yang masih berbincang dengan Gita.

…dan tatapan mereka bertemu.

 

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

 

"Nad," panggil Gita, membuat Nadya langsung kembali menatap Gita. Saat itulah, Aldo sedikit menunduk. Ia kembali berjalan hingga kemudian Rian memanggilnya.

"Yok, Bro," ajak Rian dan Aldo mengangguk. Aldo pun menyusul Rian dan Adam yang tengah menunggunya di depan pintu kelas, lalu mereka bertiga mulai berjalan bersama di koridor.

Sesungguhnya, tatapan yang berlangsung selama tiga detik itu benar-benar bermakna bagi Aldo.

Soalnya, itu pertama kalinya mereka saling menatap.

 

******

 

JAKARTA, 29 NOVEMBER 2015.

 

Tak terasa, empat bulan sudah berlalu. Hingga saat ini, belum ada satu kata cinta pun yang Aldo ucapkan kepada Nadya. Jangankan mau menyatakan perasaan, untuk mengobrol pun rasanya sulit sekali. Aldo belum mampu masuk ke dunia Nadya.

Aldo memperhatikan Nadya setiap hari. Saat di kelas, saat olahraga, saat ketemu di kantin, hingga tanpa sadar, Aldo tahu semuanya. Mungkin, karena Aldo memperhatikannya dari jauh, Nadya yang 'nggak memperhatikan sekitar' itu jadi tidak sadar. Aldo sendiri tak tahu apakah Nadya itu ‘merasa’ atau tidak, tetapi setahu Aldo, sebuah tatapan dapat mengeluarkan suatu energi yang terpusat. Maka dari itu, terkadang…seseorang yang kita pandang lama-lama akan menyadari keberadaan kita.

Namun, Nadya? Cewek itu terlalu fokus dengan dunianya. Jika dari sudut pandang cowok playboy, Nadya itu adalah jenis cewek yang sulit didekati. Nggak peka. Polos, tapi bisa bikin kita bingung gimana mau ngedeketinnya. Nadya itu pendiam, pemalu, dan kikuk; dia nggak banyak tingkah.

Bagi Aldo, posisi Gita itu...menang banyak. Nadya bisa banyak omong begitu sama Gita.

Sulit banget buat mengajak Nadya bicara. Bisa dibilang mereka nyaris tak pernah bicara. Kalau tidak dengan alasan 'belajar', Aldo bingung mau menegurnya dengan alasan apa. Kalau tiba-tiba Aldo mengajaknya untuk mengobrol santai, dia pasti akan bingung. Aldo juga merupakan seorang cowok yang dikenal tak pernah dekat dengan cewek mana pun. Jadi, bagaimana mau menyatakan perasaan?

Tak terasa, karena sibuk menyelami dunia Nadya—persiapan, mencari cara agar Nadya bisa menjadi miliknya—Aldo jadi terbawa suasana. Waktu berlalu tanpa ia sadari. Namun, semakin lama, ia bukannya lelah ataupun pudar perasaannya; ia malah semakin cinta setelah melihat Nadya setiap hari.

Nadya itu unik. Bukan unik karena barbar atau tomboi; uniknya itu sulit untuk dijelaskan. Intinya, cewek kayak Nadya itu jarang ada.

Nadya itu sebenarnya lucu dan menggemaskan meskipun cewek itu sering menutupinya.

Seperti hari ini. Perayaan ulang tahun sekolah sedang diadakan dan Nadya menjadi salah satu penari yang akan menarikan tari persembahan. Di acara pembuka pada pagi yang cerah ini, Nadya akan tampil bersama kelima temannya yang lain.

Sesungguhnya, hari ini Aldo sibuk sekali, berhubung ia adalah Ketua OSIS yang terpilih melalui voting dari seluruh siswa sejak empat bulan yang lalu. Namun, ia berlari dan menyelinap ke belakang panggung acara yang dipenuhi oleh anggota OSIS lain. Mereka semua berperan sebagai panitia. Orang-orang yang ada di belakang panggung pastinya adalah seksi acara dan juga orang-orang yang akan naik ke panggung. Saat sampai di sana, Aldo sempat melihat Nadya yang baru saja naik ke panggung. Aldo tercengang melihat cantiknya Nadya hari itu; Nadya mengenakan pakaian tradisional. Ekspresi gugup Nadya itu benar-benar menggemaskan; cara Nadya yang menarik dan mengembuskan napasnya berkali-kali supaya bisa tenang itu...tanpa sadar membuat Aldo tersenyum.

Waktu Nadya dipilih untuk menjadi penari, lalu waktu Nadya sedang latihan...Aldo juga sering melihatnya. Mau berapa kali, sih, Nadya membuat Aldo jatuh cinta...lagi dan lagi? Nadya itu selalu penuh dengan kejutan. Ada saja hal tentangnya yang membuat Aldo terus-menerus terpukau. Selain itu, senyum Nadya itu...tulus. Nggak palsu, nggak ada maunya. Jarang ada cewek yang senyumnya seperti itu.

Sandi dan Rachel mengajarkannya untuk tersenyum dengan tulus, jadi dia lebih paham soal itu dari siapa pun.

Aldo pun menegur salah satu anggotanya (yang ada di belakang panggung itu) setelah sebelumnya menepuk pundaknya. Orang yang memakai ikat kepala itu kemudian menoleh.

"Eh, Aldo? Kenapa, Do?"

Aldo memberikan sebuah kamera DSLR kepada cowok itu dan berkata, "Gue mau minta tolong. Cewek itu..." Aldo membawa cowok itu agar bisa mengintip dari belakang panggung. Aldo lantas menunjuk Nadya dan cowok yang berikat kepala itu pun melihatnya. Setelah itu, mereka bertatapan lagi.

"Tolong rekam cewek itu, ya. Banyakin fotonya juga. Fokusin ke dia aja," ujar Aldo. "Ntar gabung aja sama tim dokumentasi di depan. Kalian belum mau tampil, ‘kan?"

"Oh." Cowok itu mengangguk. "Oke, oke. Sip. Iya, drama kami belum tampil."

Aldo mengangguk, lalu menepuk pundak cowok itu sembari tersenyum. "Makasih, ya. Sorry banget udah ngerepotin."

Cowok itu lantas tertawa dan menggeleng. "Ah, biasa aja kali, Aldo. Tenang aja. Apa, sih, yang nggak buat KETOS kita?"

Aldo pun jadi tertawa kecil. Setelah itu, mereka melakukan fist bump, sebelum akhirnya Aldo beranjak meninggalkan area backstage itu.

 

Nadya itu indah.

Dia...punya kecantikannya sendiri. Her eyes, her smile, her personality, all of them are the gateway to her heart. They reflect her soul.

I want to capture everything about her in some pictures that I will always keep in my room, my mind...as beautiful memories for the future.

 

******

 

JAKARTA, 14 JANUARI 2016.

 

Nadya berjalan mendekati kursi Aldo bersama dua murid lainnya. Hari ini, Bu Guru Biologi menyuruh mereka untuk menanam tumbuhan yang dicangkok dengan polybag. Untuk melakukan kegiatan itu, mereka harus bekerja secara berkelompok. Anggota dari masing-masing kelompoknya akan ditentukan oleh guru. Jam pelajaran itu dihabiskan untuk berdiskusi dengan kelompok masing-masing. Setelah itu, semuanya akan dikerjakan di rumah.

Jadi, di sinilah Nadya, untuk pertama kalinya berada di kelompok yang sama dengan Aldo Gabriel Nugraha.

Nadya pengin melihat cara Aldo belajar karena Aldo itu pinter banget. Baru kali ini, ia dapat sekelompok dengan Aldo.

Aldo memperhatikan Nadya yang mulai menghampiri mejanya dengan mata yang berbinar indah. Nadya dan dua murid lain mulai duduk di sekitarnya, lalu mereka berempat mulai berdiskusi. Jika sudah berkelompok seperti ini, Aldo dan Nadya pasti akan berbicara satu sama lain.

Tibalah saat di mana mereka menentukan siapa-siapa saja yang membawa alat dan bahan. Penanaman akan dilakukan di rumah salah satu murid, tetapi itu bukan Aldo dan bukan pula Nadya. Orang yang menentukan siapa-siapa saja murid yang membawa alat dan bahan itu adalah Aldo, tetapi Aldo benar-benar bingung harus berbicara seperti apa kepada Nadya. Lo-gue? Kasar banget. Aku-kamu? Mereka tidak dekat.

Menghadapi Nadya pun jadi sesulit ini. Di sisi lain, Nadya juga merasa kagum ketika melihat Aldo yang bisa memimpin dengan cerdas seperti itu. Kelompok mereka berdiskusi lebih cepat dari kelompok lainnya. Nadya cuma bisa mengangguk-angguk; dia menyimak sebaik mungkin.

Bagi Aldo, ini pertama kalinya dia punya alasan untuk berbicara dengan Nadya.

Belajar. Berkelompok.

Aldo menatap Nadya yang sedang membaca buku panduan mereka dengan saksama itu, lalu Aldo bernapas samar dan mulai memanggil Nadya.

"Nadya," panggil Aldo. Tanpa sadar, Aldo memanggil Nadya dengan lembut. Nadya langsung menoleh kepada Aldo dengan mata yang melebar; mulutnya sedikit terbuka layaknya orang yang tak tahu apa-apa. Sebenarnya, Nadya bukan tidak tahu. Dia cuma kaget mendengar Aldo tiba-tiba memanggilnya.

Aldo pun tersenyum. Cowok itu lalu melanjutkan, "ntar tugas Nadya bawa polybag, ya."

Mulut Nadya semakin membulat, membentuk 'o' kecil, lalu Nadya mengangguk dengan cepat. "Oh, iya, iya. Nanti aku bawa, Aldo."

Aldo lantas mengangguk dan kembali tersenyum.

So that's what it sounds like when you say my name, Nad.

Rasa sayang itu tidak akan ada habisnya, kalau memang dari hati. Seperti air hujan yang jatuh ke bumi; hujan tak peduli jika bumi tak menerimanya. Seperti itu juga rasa sayang yang Aldo miliki. []

 















******





Lagu yang Nadya nyanyiin. Oh Tuhan, betapa nostalgianya.





Princess Yuken (Chapter 3: Beauty of the Moon)

 


******

Chapter 3 :

Beauty of the Moon

 

******

 

SATU MINGGU KEMUDIAN

 

“NONA Kikyo, tolong ulangi lagi,” ujar Nyonya Yori dengan tegas saat Kikyo menjatuhkan buku tebal yang ada di atas kepalanya. Suara Nyonya Yori terdengar hingga ke seluruh sudut ruangan meskipun dia tidak berteriak. “Jangan menjatuhkan buku yang ada di atas kepala Anda.”

Di balik kacamata tebalnya, tatapan mata Nyonya Yori tampak begitu tajam. Dia tidak membentak atau menghina Kikyo, tetapi dia akan selalu menatap Kikyo dengan tajam tiap kali dia mengajari Kikyo. Di tangannya, ia juga selalu memegang tongkat kayu kecil, membuatnya terlihat seperti nenek sihir yang tidak berjubah. Pakaiannya rapi, rambutnya disanggul, dan wajahnya sudah agak keriput. Nyonya Yori tidak akan membentakmu, tetapi tidak akan ada keringanan untukmu di setiap kelasnya. Dahulu, banyak muridnya yang tidak kuat mengikuti kelas-kelasnya yang superketat; mereka akan menangis atau bahkan kabur begitu saja. Namun, percayalah, tidak ada guru di Hanju (atau mungkin di seluruh area Haewa) yang sepintar dia. Dia dikenal sebagai pendidik bagi putra-putri bangsawan, termasuk anggota kerajaan.

Well, bagi para bangsawan saja itu sulit, apalagi bagi Kikyo yang merupakan warga biasa. Bagaimana tidak, Kikyo yang selama ini cara berjalannya seperti seorang pendekar, tiba-tiba disuruh berjalan dengan anggun seperti wanita bangsawan.

Kikyo pun mengambil buku tebal itu di lantai, lalu menaruh buku itu kembali ke atas kepalanya. Dia tertawa canggung, lebih kepada menertawakan dirinya sendiri.

“Punggung Anda harus tegap…” kata Nyonya Yori sambil mendorong punggung Kikyo dengan tongkat kayunya, membuat mata gadis itu membulat. Namun, punggung gadis itu memang langsung tegap kembali. “…seperti ini. Oke. Mulailah berjalan.”

Menarik napasnya dalam-dalam, Kikyo pun mulai berjalan lagi ke ujung ruangan, ke arah jendela.

“Tutup kakimu, Nona, wanita tidak berjalan dengan mengangkang.” Nyonya Yori berkomentar dengan suara yang besar.

Yexian yang duduk di ujung ruangan, di salah satu kursi, kontan tertawa terbahak-bahak. “Kikyoooo! Astagaaa! Jangan mengangkaaanggg! Hahahahaha!”

Urat-urat di leher dan pelipis Kikyo langsung keluar semua. Lagi-lagi dia tertawa hambar, menertawakan nasibnya yang amat sial. Dia kesal sekali dengan pelajaran ‘berjalan-dengan-anggun’ ini, tetapi dia tak mau memperpanjang masalah dengan melawan Nyonya Yori. Syukur-syukur Nyonya Yori tidak menghinanya. Ingatlah, Kikyo! Ini adalah sebuah misi yang mempertaruhkan nyawa, jadi kau tidak boleh berteriak ataupun kabur lewat jendela meskipun itu terdengar sangat menggiurkan!

Oke, Kikyo sukses menahan dirinya, tetapi ekspresi wajahnya sudah kelihatan muak minta ampun.

Sial, lebih enak bertanding gulat daripada berjalan dengan anggun seperti ini. Semangat Kikyo jadi hilang total. Kalau tidak ada Yexian, pasti dia akan kehilangan motivasi hidup. Dia yang biasanya bersenang-senang dan tertawa lepas di desa bersama Kano, kini seakan-akan jadi kehilangan jati dirinya. Tidak adakah bagian di Kerajaan Seiju yang kerjanya di bidang kekuatan? Mengangkat pasokan makanan atau mengangkat kayu-kayu bakar, misalnya. Kikyo bekerja di situ saja, deh.

Maunya, sih, begitu.

Apa boleh buat, yang diperintahkan kepadanya adalah menjadi dayang istana, bukan menjadi tukang panggul.

Kikyo menoleh kepada Yexian yang terus menertawainya, lalu berdecak kesal kepada Yexian. “Berhentilah tertawa, Yexian, astaga! Kau mau mengajakku ribut, ya?!”

Sialnya, Yexian yang sudah kebal dengan ketomboian Kikyo itu justru semakin tertawa. Agaknya, Yexian juga jadi gila semenjak bergaul dengan Kikyo. Ke mana gadis manis yang waktu itu Kikyo kenal pertama kali? Tiga minggu bersama membuat kecanggungan di antara mereka betul-betul menghilang sekaligus membuat Yexian jadi gila.

Lagi pula, mengapa Yexian terus-terusan ada di setiap kelas yang Kikyo ikuti, sih? Gadis itu betul-betul menonton dan mengikuti setiap kegiatan Kikyo seolah-olah tidak ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan untuknya.

“Kembalilah ke ruanganmu, Nona Yexian yang Terhormat,” ujar Kikyo dengan ekspresi datar. “Sampai kapan kau mau menontonku?”

“Umm…” Yexian pura-pura berpikir sebentar, lalu gadis itu kembali menatap Kikyo dan tersenyum manis. “Sampai kau selesai?”

Kikyo langsung menggeleng. “Kau benar-benar terhibur, ternyata.”

Yexian spontan tertawa. “Aku lebih senang menghabiskan waktu bersamamu. Kegiatan apa pun akan terasa seru jika ada kau.”

Kikyo menganga. “Memangnya aku pelawak?”

“Hahahahah! Kau mau jadi pelawak? Aku akan mendukungmu!” teriak Yexian.

“Gadis ini pasti sudah gila. Salahku. Iya, ini pasti salahku.” Kikyo berbisik pelan kepada dirinya sendiri seraya menggeleng tak habis pikir. Dia memandangi Yexian yang masih tertawa di ujung sana, entah apa yang begitu lucu. Mungkin, wajah Kikyolah yang lucu seperti badut.

Kikyo pun mendengkus, lalu mengalihkan pandangannya. Dia kembali menghadap ke arah jendela, siap mengikuti intruksi Nyonya Yori lagi.

“Baiklah, Nona, sekarang ulangi lagi. Tidak akan ada orang dari Istana Kerajaan Seiju yang mau merekrutmu dengan gaya berjalan seperti itu. Di sana, kau juga akan memakai rok, bukan memakai celana. Kau tidak akan lulus menjadi dayang kalau kau tidak memperbaikinya. Belajarlah dengan lebih serius,” jelas Nyonya Yori.

Buset.

Tajam sekali ucapannya!

Yexian menahan tawa, sementara Kikyo kontan kembali menganga.

Apa…katanya?

Bukankah dari tadi Kikyo sudah serius?

Nyonya Yori benar-benar tidak berbelas kasihan. “Ayo berdiri dengan tegap, Nona.”

Saat membenarkan posisi buku itu lagi di kepalanya, Kikyo mencengkeram buku itu sampai buku itu jadi penyok (dia kesal dengan buku itu karena terus terjatuh), tetapi Nyonya Yori tiba-tiba berkata, “Kalau buku itu hancur, saya akan memberikan Anda sebuah buku yang tiga kali lipat lebih tebal daripada buku itu, Nona Kikyo.”

Kikyo tersentak, matanya kontan membulat. Ada sebuah panah yang seakan-akan baru saja menusuk jantungnya.

Waduh.

Dengan tawa canggungnya, Kikyo pun berkata, “Ah—haha… Tidak kok, Nyonya. Bukunya belum rusak.” Kepalakulah yang mau rusak.

Ya bagaimana, ya, sampul buku itu sepertinya licin sekali. Buku itu jatuh terus dari kepala Kikyo dan membuat Kikyo stuck di pelajaran ini dari pagi sampai siang! Bisa diganti tidak, sih, bukunya?

“Baiklah. Mulailah berjalan. Tegakkan punggung serta kepala Anda. Melangkahlah dengan anggun dan stabil. Kerajaan Seiju adalah kerajaan yang besar; Anda harus punya kualifikasi yang luar biasa untuk bisa menjadi salah satu dayang di istana mereka. Tidak ada yang salah dengan buku itu, Anda sendirilah yang belum stabil.”

Kikyo mencoba untuk menghadapi Nyonya Yori. “Itu susah sekali, Nyonya. Kepala saya, kan, bentuknya bul—"

“Memangnya ada kepala manusia yang berbentuk persegi, Nona?” potong Nyonya Yori. Yexian spontan tertawa kencang di ujung sana. Oke, gadis itu memang menjadikan Kikyo sebagai badut. Mungkin, baginya Kikyo itu adalah pelawak pribadinya atau sesuatu sejenis itu.

Kikyo pun akhirnya menghela napas. Meskipun wajahnya sudah terlihat lelah dan enggan, ujung-ujungnya Kikyo tetap menjawab, “Baiklah…Nyonya.”

Oh, wahai Dewa Gulat yang mungkin badannya gendut, tolong selamatkan aku.

Nyonya Yori mengangguk. “Silakan ulangi lagi.”

Kikyo lantas mengulanginya hingga dua jam ke depan, sampai akhirnya ia bisa berjalan dengan benar. Ia baru diperbolehkan makan siang oleh Nyonya Yori setelah bisa berjalan dengan benar. Oleh karena itulah, mau tidak mau dia harus belajar dengan sungguh-sungguh atau perutnya akan keroncongan sepanjang hari.

Setelah selesai makan siang—sebenarnya saat itu sudah jam dua siang—Kikyo pun kembali menyambung kelasnya. Hari ini, setelah Kelas Tata Krama, Kikyo akan belajar kosakata dan baca tulis Bahasa Seiju.

Selama tiga minggu belakangan, hal yang paling sering diajarkan kepada Kikyo adalah baca tulis Bahasa Seiju. Dia akan pergi ke daerah Seiju, jadi dia harus belajar Bahasa Seiju sampai lancar. Bahasa Seiju dan Hanju sebenarnya tidak terlalu berbeda, tetapi tidak juga sama. Belajar baca tulis adalah hal yang urgensi untuk Kikyo. Dia harus menyusup ke daerah orang lain; dia harus berbaur di sana. Maka dari itu, hal pertama yang harus dia kuasai adalah: bahasanya.

Di kelas, Nyonya Yori—bersama Yexian—membantunya mengenal kosakata Bahasa Seiju. Kikyo juga belajar menulis meskipun tulisannya belum benar-benar rapi. Dia hanya punya waktu dua bulan, jadi dia harus menguasai semuanya dengan cepat.

Jemari tangan Kikyo juga banyak yang luka akibat tertusuk jarum saat mengikuti Kelas Menyulam. Sulaman Kikyo masih jelek minta ampun; terkadang, bunga yang dia buat malah terlihat seperti laba-laba bunting.

Di malam hari, Yexian sering tidur bersama Kikyo sambil membawa buku-buku klasik daerah Seiju untuk mereka baca bersama. Tuan Jion mencarikan buku-buku itu khusus untuk kegiatan belajar Kikyo. Buku-buku klasik itu biasanya memuat sejarah tentang daerah-daerah Seiju serta legenda-legenda apa saja yang ada di sana. Isi buku-buku itu cukup menarik, Kikyo akan membacanya dengan santai bersama Yexian (hitung-hitung sambil belajar) sebelum tidur.

Proses belajar Kikyo penuh akan trial dan error, tetapi meskipun sangat sulit, Kikyo tetap mengikutinya dengan tekun. Satu-satunya hal yang memotivasinya adalah: dia tak tahu bagaimana respons Raja Zyran apabila dia gagal tes. Jika tak mampu menjawab harapan Raja Zyran beserta para menterinya, Kikyo tak tahu dia akan dihukum seperti apa. Raja Zyran memang terkenal baik dan bijaksana, tetapi ada rumor yang mengatakan bahwa dia pernah membunuh tiga beruang sekaligus.

Bagaimanapun caranya, bagaimanapun sulitnya, dan bagaimanapun mengesalkannya, Kikyo harus lulus tes.

Kikyo harus berhasil menjadi dayang di Istana Kerajaan Seiju.

 

******

 

Kalau kemarin Kikyo baru selesai belajar pada jam tujuh malam (karena kelamaan belajar berjalan dengan anggun), hari ini Kikyo selesai belajar di sore hari. Sore, saat sinar matahari tidak terik lagi, sekitar jam setengah lima sore. Senja belum tiba, jadi Kikyo dan Yexian masih memiliki waktu luang sebelum mandi dan makan malam.

Yexian lantas mengajak Kikyo ke taman yang ada di tengah-tengah bangunan rumahnya. Taman terbuka itu berbentuk persegi dan dikelilingi oleh koridor; di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah air mancur. Banyak sekali bunga yang tumbuh di taman itu. Tukang kebun di rumah Yexian benar-benar merawatnya setiap hari.

Yexian dan Kikyo duduk di pinggir taman, di sebuah kursi panjang yang menghadap ke air mancur. Mereka baru saja duduk di sana setelah berkeliling melihat bunga. Rasanya, sudah tiga minggu Kikyo tinggal di rumah Yexian, tetapi baru kali inilah Kikyo benar-benar melihat bunga-bunga itu dari dekat.

“Huaaaah, melelahkan sekaliii!” Yexian mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu meregangkan otot-ototnya. Dia melakukan itu sambil tersenyum. “Akhirnya, kita bisa bersantai jugaaa!”

“Hahaha!” Kikyo tertawa lepas. “Perasaan, sejak tadi kau hanya sibuk menontonku, deh.”

Yexian ikut tertawa. “Kan menonton itu melelahkan juga, Kikyooo! Aku lelah melihatmu salah terus.”

Kikyo berdecak. “Oi! Kok malah jadi kau yang lelah?! Lagi pula, sejak kapan kau jadi suka mengejek begini?!”

Yexian lagi-lagi tertawa. “Sejak ada kau di sini! Aku, kan, selalu mengikutimu ke mana-mana. Lihat, tidakkah aku merupakan seorang teman yang luar biasa?”

Kikyo mendengkus, lalu memasang wajah datar. “Luar biasa apanya? Kalau begitu, ayo ikut aku ke kloset juga. Biar kita buang air besar berdua sekalian.”

Tanpa diduga, mata Yexian justru berbinar. “Kita mandi berdua saja, bagaimana? Di sebelah timur ruangan Ayahku ada ruangan khusus untuk kolam berbatu. Ayo berendam di sana! Nanti akan kuminta para pelayan untuk mengisinya dengan air hangat—”

“Aku mengajakmu buang air besar berdua, Yexian, bukan mandi di kolam,” potong Kikyo.

Yexian kemudian merengek. “Hnngggg, ayolahhh, Kikyooooo. Mumpung kau agak senggang hari iniiii! Kapan lagi kita punya waktu bersama? Kau akan berangkat ke Seiju satu bulan lagiii!”

“Masih ada waktu sekitar empat puluh hari lagi, Yexian,” koreksi Kikyo. “Lagi pula, bukankah kita sudah bersama sepanjang hari?! Kau selalu ada di setiap kelasku!!”

“Hehehe…” Yexian cengar-cengir. Waduh, Kikyo benar-benar sudah memberi pengaruh yang buruk untuk Yexian. “Ayolaaah, hmmm?”

Yexian menatap Kikyo dengan tatapan memohon, dia terlihat seperti anak anjing yang sedang memasang ekspresi imut—dia mewek sedikit—agar Kikyo segera menyetujuinya.

Kikyo akhirnya menghela napas.

“Ya sudah.”

“Horeee!” Yexian bersorak, lalu menghambur ke pelukan Kikyo. Dia segera mendekap Kikyo erat-erat dan tersenyum bahagia. Mata Kikyo kontan membulat karena kaget, tetapi akhirnya dia membalas pelukan Yexian dan ikut tersenyum.

Rasanya seperti memiliki saudara perempuan dadakan. Saudara perempuan yang sikapnya manis sekali, keterbalikan dari Kikyo sendiri.

Saat pelukan itu terlepas, Yexian pun memegang tangan Kikyo dan kembali menghadap ke depan. Dia terlihat bahagia untuk sesaat, tetapi sekitar enam detik kemudian, tatapan matanya—yang sedang memandangi air mancur itu—tiba-tiba berubah menjadi sendu. Senyuman di wajahnya masih tersisa, tetapi tatapan matanya tampak sedih. Dia melihat ke depan, tetapi sebetulnya tidak benar-benar melihat ke sana. Tatapannya menerawang.

Kikyo memperhatikan Yexian dengan saksama. Apa yang sedang Yexian pikirkan?

Setelah beberapa saat terdiam, Yexian pun mulai bersuara.

“Kau tahu, Kikyo?” katanya. “Melihatmu belajar dengan sungguh-sungguh…membuatku jadi menyadari kebodohanku sendiri.”

Kikyo menyatukan alisnya. “Maksudmu?”

Yexian tertawa pelan, lalu menghela napas. Rambutnya sedikit tertiup angin sore yang sepoi-sepoi; dia terlihat begitu indah. “Aku…selalu beranggapan bahwa aku sudah berusaha keras. Aku sudah mencoba untuk berperilaku layaknya gadis bangsawan, mencoba untuk ikut ke berbagai perkumpulan gadis bangsawan dan juga…selalu menjaga sikapku. Namun, aku tetap tidak cocok bergaul dengan gadis-gadis itu. Aku selalu menyalahkan mereka karena kupikir…pasti merekalah yang salah. Pasti merekalah yang terlalu berlebihan. Terlalu tinggi hati, terlalu menjaga citra mereka, dan sebagainya. Soalnya, kupikir perilakuku sudah oke. Usahaku sudah besar. Kupikir, aku tidak salah.”

Yexian tersenyum. Kikyo masih mendengarkannya dengan setia.

“Akhirnya, karena aku menganggap bahwa dunia luar itu tidak cocok untukku, aku pun selalu berada di rumah. Ayah akhirnya membiarkanku melakukan itu. Kini, aku baru sadar bahwa akulah yang salah. Aku terlalu cepat puas, aku terlalu lemah. Seharusnya aku bisa membawa diriku di mana pun aku berada. Seharusnya aku bisa menyesuaikan diriku di mana pun, bagaimana aku harus bersikap, dan sebagainya. Bukan mereka yang berlebihan, melainkan akulah yang tidak tahu apa-apa. Kalau aku mampu mengatasi semuanya, pasti…Ayahku akan lebih bisa mengandalkanku.”

“Yexia—”

“Melihatmu berusaha seperti itu, Kikyo,” potong Yexian, gadis itu menoleh kepada Kikyo seraya tersenyum. “membuatku sadar bahwa aku harus lebih berusaha meskipun aku tak ingin. Aku harus menghadapi segalanya meskipun aku tak menyukainya. Dengan begitu, akan banyak ilmu dan pengalaman yang kudapatkan. Sama sepertimu.”

Kikyo melihat kedua mata Yexian yang berwarna hijau terang, seperti sebuah permata yang begitu indah. Seperti jade; warnanya begitu cantik. Rambutnya juga masih beterbangan karena tertiup angin.

Namun, sama seperti Kikyo yang sedang mengagumi keindahan Yexian, Yexian pun mulai menatap Kikyo dengan kagum. Matanya perlahan-lahan melebar, berbinar…lalu memandang ke sekeliling wajah Kikyo. Ke rambut Kikyo yang berwarna hitam pekat, ke kedua mata Kikyo, lalu ke leher Kikyo yang jenjang.

Dia menatap Kikyo dengan takjub, tanpa berkedip. Mulutnya sedikit terbuka.

“Kikyo…” panggil Yexian pelan. “Kau…cantik sekali.”

Mata Kikyo membeliak.

Gadis itu lantas menggeleng, tidak mengerti sama sekali. “Yexian, apa maksud—”

“Meskipun kau tomboi, kau sangat cantik,” puji Yexian. “Rambutmu panjang dan berwarna hitam pekat. Kulitmu putih dan bersinar. Matamu berwarna gelap dan sangat jernih, hampir sama seperti rambutmu. Kau mengingatkanku dengan…rembulan.”

Rembulan…?

Tercipta sebuah kerutan tipis di dahi Kikyo, tetapi sebelum Kikyo sempat membalas apa pun, Yexian kembali berbicara.

“Bulan akan bersinar di kegelapan malam. Kau…terlihat seperti bulan. Apabila pada pertemuan pertama kita…aku melihatmu sedang mandi di sebuah sungai yang jernih di bawah sinar bulan, mungkin aku akan mengira bahwa kau adalah seorang dewi. Dewi Bulan.”

Mata Kikyo melebar.

Apa...yang sedang Yexian bicarakan?

Mengapa dari kata-katanya…Kikyo terdengar seperti…seorang gadis yang sangat cantik? Lagi pula, Kikyo? Dibandingkan dengan Dewi Bulan? Terdengar seperti delusi. Kano mungkin akan muntah kalau mendengar ini.

Yexian pasti perlu memakai kacamata. Ya, dia perlu sebuah kacamata. Kikyo pernah melihat beberapa kacamata bagus yang dijual saat festival kota beberapa bulan yang lalu. Seharusnya Yexian membeli salah satu kacamata itu.

“Ha?” ujar Kikyo seraya memasang ekspresi datar. “Mana mau Dewi Bulan disamakan dengan kuli bangunan sepertiku.”

Yexian tertawa. “Aku serius, lho!”

“Oh, begitu…” Kikyo mengangguk, pura-pura menanggapi Yexian dengan serius. “Gawat, ayo kita pergi ke tabib. Tuan Jiooon! Mata anak gadis Anda sepertinya bermasalah!”

Yexian spontan semakin tertawa. Dia langsung merangkul Kikyo, lalu mereka tertawa bersama di taman itu.

Mereka tidak tahu bahwa Tuan Jion baru saja lewat di koridor yang ada di belakang mereka dan memutuskan untuk berhenti sebentar. Tuan Jion memperhatikan mereka berdua seraya tersenyum. Pembicaraan itu ia dengar dengan jelas; ia jadi tertawa kecil akibat teriakan Kikyo. Di dalam hatinya, ia benar-benar berterima kasih kepada Kikyo. Yexian terlihat sangat ceria semenjak ada Kikyo di rumah mereka.

Namun, bagaimana kalau nanti Kikyo sudah pergi? Apa yang akan terjadi pada Yexian?

Semoga semuanya baik-baik saja.

Semoga…Kikyo juga bisa menjalankan tugasnya di Kerajaan Seiju dengan baik sehingga suatu saat nanti ia bisa bertemu dengan Yexian lagi.

 

******

 

Saat makan malam, seperti biasa Kikyo makan bersama keluarga Tuan Jion. Kikyo dan Yexian baru saja selesai mandi (ada baiknya kalau bagian mandi bersama itu dilewatkan saja sebab kalau orang lain tahu apa yang mereka lakukan di kolam, niscaya mereka akan melarang Yexian untuk mandi bersama Kikyo lagi) ketika para pelayan memberitahu mereka bahwa Tuan dan Nyonya Jion sudah menunggu di meja makan.

Kikyo dan Yexian langsung berganti pakaian dan buru-buru pergi ke ruang makan. Rambut mereka ujung-ujungnya hanya digerai, padahal biasanya Yexian akan tampil cantik karena ada banyak pelayan yang dipekerjakan khusus untuknya.

Saat sedang minum, Kikyo hampir tersedak karena tiba-tiba saja Tuan Jion berkata, “Apa yang kalian lakukan di kolam itu? Rambut kalian bahkan masih basah.”

Kikyo kontan melebarkan mata, lalu menatap Tuan Jion dengan ekspresi panik. “Ti—tidak ada, Tuan. Kami hanya man—”

“Kami sedang mandi, Ayah,” potong Yexian seraya tersenyum manis. “Ayah sudah mengganggu waktu mandi kami, omong-omong.”

Entah mengapa, senyuman Yexian itu terasa mengerikan. Kalau dilihat dengan mata, senyuman itu begitu manis! Namun, mengapa terasa mengerikan?! Seolah-olah ada aura hitam yang keluar dari tubuhnya.

Yexian ini…cantik-cantik ternyata sadis juga. Pelayan-pelayan yang ada di belakang mereka tiba-tiba bergidik.

Well, mereka tadi memang sedang mandi, sih, kalau kegiatan Yexian yang mau mengukur payudara Kikyo itu dikecualikan—

Ekhem.

Tuan Jion sempat mengernyitkan dahinya; dia agak tersentak, tubuhnya sedikit menegak tatkala mendengar dan melihat ekspresi Yexian. Namun, reaksinya itu malah membuat Nyonya Jion tertawa.

Meski hampir berkeringat dingin karena tingkah laku anaknya sendiri, Tuan Jion pun akhirnya menghela napas. “Ya sudah, maaf kalau mengganggu.”

“Uh-hmm!” seru Yexian dengan riang, dia masih tersenyum sadis.

Akhirnya, mereka semua pun mulai makan. Tidak ada suara apa pun yang terdengar, kecuali sedikit dentingan sendok.

Beberapa menit kemudian, Tuan Jion mulai mengajak Kikyo berbicara, “Oh, ya, Kikyo. Bagaimana dengan kelas-kelasmu?”

Kikyo langsung menatap pria berambut mustard itu dengan mata yang agak melebar. “O—Oh, ya. Baik-baik saja, Tuan Jion. Aku akan berusaha untuk menyelesaikan semuanya.”

Tuan Jion pun tersenyum, lalu mengangguk. “Baguslah kalau begitu. Nyonya Yori juga berkata bahwa kau sudah mengalami banyak perkembangan.”

Tentu saja, Nyonya Yori akan melaporkan segalanya kepada Tuan Jion.

Kikyo sedikit menunduk hormat, lalu berkata, “Aku bersyukur, Tuan.”

“Semangat, ya, Kikyo,” ujar Nyonya Jion. Wanita itu tersenyum lembut kepada Kikyo. “Pelajaran untuk menjadi wanita yang ‘pantas’ memang sangat sulit dan menyebalkan, tetapi itu semua akan bermanfaat untukmu.”

Kikyo tersenyum, lalu mengangguk. “Baik, Nyonya.”

Tuan Jion lanjut makan sebentar, lalu menelannya dan berkata, “Kau telah mendapat tugas penting dari negara. Jika kau berkhianat, ancamannya adalah kehilangan nyawa. Namun, jika kau menjalankan tugas itu dengan baik, Kerajaan Hanju pasti akan selalu melindungimu. Kau akan menjadi sebuah eksistensi penting yang harus kami lindungi. Hiduplah dengan baik, jalanilah tugasmu dengan benar, dan kau akan baik-baik saja.”

Kikyo mengangguk. Dia mendengarkan seluruh nasihat dari Tuan Jion itu dengan saksama.

“Bagaimana denganmu, Yexian?” Nyonya Jion mulai bertanya pada Yexian, membuat Yexian lantas menoleh kepadanya. “Ibu lihat, kau lengket sekali dengan Kikyo. Apakah kau akan baik-baik saja jika Kikyo pergi nanti?”

Tuan Jion langsung menoleh kepada istrinya dan memberikan tatapan seperti, ‘Waduh, mengapa kau tanyakan?’, tetapi Nyonya Jion hanya mengangguk padanya seolah-olah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Yexian pun menunduk. Dalam beberapa detik lamanya, Yexian hanya diam. Tatapan matanya mulai sendu.

Namun, akhirnya ia mulai berbicara.

“Bohong jika aku bilang bahwa aku baik-baik saja,” jawab Yexian. Gadis itu menghela napas, lalu mulai menatap ibunya kembali. “Akan tetapi, aku telah belajar banyak hal dari Kikyo. Aku akan menguatkan diriku dan menjalani hidupku dengan baik supaya kami bisa bertemu lagi dalam keadaan sehat. Mulai sekarang, aku ingin sering-sering pergi ke luar dan bergaul dengan gadis-gadis seusiaku. Aku ingin mengubah diriku dan keluar dari zona nyamanku. Maafkan aku, ya, Ayah dan Ibu, karena terus-menerus membuat kalian khawatir.”

Yexian tersenyum. Dia sudah terlihat…yakin. Meskipun merasa sedih, dia telah menerima kenyataan bahwa Kikyo akan pergi dari rumahnya.

Akhirnya, Tuan dan Nyonya Jion tersenyum lega.

“Tidak, Yexian. Untuk apa kau meminta maaf? Ayah tidak pernah marah padamu. Lakukanlah apa pun yang ingin kau lakukan, Nak. Selagi itu bukan hal yang buruk, Ayah akan selalu mendukungmu. Kalau kau ingin tetap di rumah pun, Ayah akan menyediakan apa pun yang kau butuhkan.”

Yexian langsung menatap Ayahnya dengan mata yang menyipit. “Termasuk Kikyo?”

Kontan saja Tuan Jion mematung. Matanya membeliak.

Waduh. Itu agak…

Suara tawa Nyonya Jion mulai terdengar. Kikyo—yang tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kelakuan Yexian—ujung-ujungnya hanya tertawa kikuk. Sementara itu, Tuan Jion mulai mengelus dadanya. Dia mesti banyak-banyak bersabar dalam menghadapi Yexian, terutama setelah gadis itu mengalami transformasi yang besar seperti ini.

 

******

 

39 HARI KEMUDIAN

 

Pagi itu, matahari bersinar begitu cerah. Dua buah kereta kuda sudah bertengger di depan rumah Tuan Jion, telah berbaris dan siap untuk dinaiki. Ada beberapa penjaga yang berdiri di dekat kereta kuda itu; para kusir juga telah duduk di bagian depan kereta. Mereka semua sudah siap untuk berangkat ke Seiju hari ini, mengantarkan Kikyo ke sana untuk mengikuti tes menjadi dayang istana.

Tuan dan Nyonya Jion, Yexian, serta Kikyo kini sudah berdiri di depan pagar rumah Keluarga Jion. Beberapa pelayan terlihat hilir mudik membawakan barang-barang Kikyo dan meletakkannya di dalam kereta kuda. Ada juga beberapa barang pemberian Keluarga Jion (terutama Yexian) yang diletakkan di dalam kereta kuda.

Sambil menunggu para pelayan menyelesaikan tugas mereka, Tuan Jion pun mulai berbicara.

“Akhirnya, hari ini tiba juga, ya.”

Kikyo lantas menatap Tuan Jion, lalu menunduk hormat. “Iya, Tuan. Terima kasih banyak atas bantuan Anda selama ini.”

Tuan Jion mengangguk. “Angkat kepalamu. Tidak apa-apa.”

Kikyo pun menurutinya. Gadis itu tersenyum.

“Aku membawakanmu banyak makanan. Perjalanan ke Seiju akan memakan waktu sehari penuh, jadi kau butuh makan. Para penjaga dan kusir juga sudah membawa makanan mereka masing-masing. Hati-hati, ya, Kikyo,” ujar Nyonya Jion, lalu wanita paruh baya itu tersenyum.

Kini, Kikyo gantian menunduk hormat pada Nyonya Jion. “Terima kasih banyak, Nyonya. Saya benar-benar bersyukur atas—woahh!”

Tiba-tiba saja, Yexian langsung menghambur memeluk Kikyo, membuat Kikyo nyaris jatuh ke tanah. Kikyo cepat-cepat menegakkan tubuhnya, lalu memeluk tubuh Yexian dengan benar agar mereka berdua tidak oleng dan jatuh.

“Ye—Yexian?!!” teriak Kikyo. Gadis itu kaget bukan main; matanya melebar.

Namun, rasa kaget itu kontan menghilang. Soalnya, tiba-tiba saja…

 

…ia mendengar Yexian menangis.

 

Kelopak mata Kikyo perlahan-lahan turun. Tatapan matanya mulai terlihat sendu.

“Kikyo…” panggil Yexian di sela tangisnya. “Nanti…kita harus sering berkirim-kiriman surat, ya…”

Kikyo pun tersenyum lembut. Gadis itu mulai mengusap kepala Yexian…dan mengangguk. “Hmm. Pasti. Terima kasih atas segalanya, ya, Yexian. Semoga kau sehat selalu.”

Tangisan Yexian semakin kencang. Air matanya mulai membasahi baju Kikyo. “Iya, Kikyo… Semoga kau juga sehat selalu. Aku akan sangat merindukanmu. Kita harus bertemu lagi, ya.”

“Siap, Nona!” Kikyo menjawab Yexian dengan mantap, bak pengawal terlatih. Dia lantas mengangguk yakin. “Kita pasti akan bertemu lagi.”

Yexian mulai melepaskan pelukan itu, tetapi kedua tangannya kini memegang lengan Kikyo. Dia lantas menatap Kikyo dengan ekspresi serius. “Janji?”

“Janji!” jawab Kikyo sambil memberi hormat kepada Yexian. Kikyo melakukan itu seraya tersenyum.

Akhirnya, Yexian pun mengembuskan napas lega. Gadis cantik itu tersenyum, lalu kembali memeluk Kikyo.

“Aku membelikan banyak pakaian dan perhiasan untukmu. Nanti dipakai, ya,” perintah Yexian.

Mata Kikyo melebar. “Lho, ada perhiasan juga, ya? Bukankah kau bilang—”

“Ssstt.” Yexian melepaskan pelukannya, lalu menutup mulut Kikyo dengan jari telunjuknya. “Terima saja. Itu akan terlihat cocok untukmu.”

Akhirnya, Kikyo pun menghela napas. Dia tersenyum lembut pada Yexian…seraya menatap Yexian dengan penuh kasih sayang. Yexian adalah teman perempuan pertamanya.

“Baiklah. Aku pergi dulu, ya, Yexian.”

Meskipun matanya berkaca-kaca, meskipun ada sebuah gemuruh di dadanya yang mendorongnya untuk menangis, meskipun untuk bernapas rasanya berat sekali, Yexian pun akhirnya…mengangguk. Gadis itu tersenyum; dia memberikan senyuman perpisahan kepada Kikyo. Perpisahan yang ia harap hanya berlangsung sebentar saja.

“Hm. Hati-hati, ya, Kikyo. Semoga apa pun yang kau kerjakan di Seiju akan memperoleh keberhasilan. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku menyayangimu.”

Kini, Kikyolah yang langsung memeluk Yexian. Tak ia sangka, dirinya yang selama ini berjiwa seperti laki-laki, justru hampir menangis tatkala mendengarkan kata-kata Yexian. Matanya berkaca-kaca. Mereka pun berpelukan dengan erat.

Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, Kikyo pun akhirnya naik ke kereta kuda yang telah menunggunya. Semuanya sudah siap; mereka tinggal berangkat.

Saat kereta kuda itu mulai berjalan, Yexian sempat meneriakkan, ‘Jangan lupa kirim surat, ya!’ kepada Kikyo. Kikyo pun mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Keluarga Jion.

Tatkala kereta kuda itu sudah benar-benar jauh dari rumah Tuan Jion, barulah Kikyo mengalihkan pandangannya dan menghadap ke depan.

Dia bersandar di kursinya dan menghela napas panjang. Dia memejamkan matanya sejenak.

Ketika matanya terbuka kembali, tatapannya mendadak berubah. Dia sudah terlihat siap. Penuh tekad. Penuh keberanian.

 

Baiklah.

 

Misi dimulai. []


















******




Siap berangkattt ke Seiju!





My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...