Friday, May 30, 2025

Because of Ticket! (Bab 12: Kilas Balik Kedua)

 


******

Bab 12 :

Kilas Balik Kedua

 

******

 

JAKARTA, 26 JULI 2014.

 

"INI rame-rame mau ngapain, sih?" tanya Rian saat cowok itu melihat halaman sekolah yang sudah dipenuhi dengan murid-murid. Selain itu, ada beberapa guru yang sedang berteriak, memerintahkan agar semua murid lekas berbaris. Rian, Adam, dan Aldo baru saja sampai di sekolah dan sedang melewati halaman. Rian menatap barisan-barisan itu dengan heran.

Adam—yang sedang merapikan dasinya itu—mulai menoleh ke halaman sejenak, lalu beralih menatap Rian.

"Entah, tuh. Bukannya ini hari Selasa? Nggak lucu kalo upacara," ujarnya sembari menganga keheranan.

"Aldo," panggil Rian. Aldo, yang tadinya hanya diam saja, kini menoleh kepada Rian. Adam juga menatap Aldo dengan tatapan ingin tahu.

Mungkin, ini terjadi karena Aldo adalah anggota OSIS. Jabatannya masih sekadar salah satu anggota seksi OSIS, berhubung ia masih kelas sepuluh dan baru selesai MOS. Aldo mengedikkan bahu.

"Katanya mau ada pengumuman. Nggak tau juga pengumuman apa," jawab Aldo singkat. Rian dan Adam mengangguk mengerti, lalu mereka bertiga kembali menghadap ke depan. Saat mereka bertiga telah hampir sampai di koridor, ada dua cewek di depan sana yang berjalan dari arah yang berlawanan. Dua cewek itu sedang bercerita—bukan, salah satunya bercerita dan yang satunya lagi adalah pendengar setia—sementara ketiga cowok ini hanya diam memperhatikan mereka.

Begitu mereka bertiga berpapasan dengan kedua cewek itu, barulah kedua cewek itu melihat mereka bertiga. Tak ayal, baik Rian dan Adam maupun kedua cewek itu, mereka semua spontan memberikan senyuman sebagai bentuk salam meskipun tak saling kenal.

Namun, berbeda dengan Aldo. Salah satu dari dua cewek itu benar-benar berada di depannya; cewek itu tersenyum dengan indahnya. Aldo bahkan tidak ingat untuk membalas senyumannya. Hal yang Aldo tahu, saat itu waktu seolah-olah terhenti. Aldo benar-benar terdiam dengan mata yang melebar.

 

Matanya... Senyumnya...

Semuanya indah.

Cantik banget...

 

Mata cewek itu seolah mampu membawa Aldo masuk ke dunia cewek itu. Aldo seolah mampu melihat pintu hatinya, melihat jiwanya, dan terjebak selama-lamanya. Aldo hanya ingin waktu diperlambat sedikit saja. Soalnya, ia tahu bahwa jika waktu tidak berhenti…

 

...cewek itu akan segera hilang dari pandangannya.

 

Benar. Bagaikan embusan angin, cewek itu kini telah melewati Aldo. Melewati bahu kanan Aldo. Rambut hitam cewek itu tertiup angin dengan lembutnya di depan Aldo. Hanya itulah yang sempat Aldo lihat karena tiba-tiba saja cewek itu sudah hilang dari pandangannya. Harum sampo melonnya yang manis itu tercium oleh Aldo dan membuat Aldo spontan menoleh ke belakang; Aldo merasa kehilangan. Cowok itu seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang begitu indah, terlalu elok untuk ia lewatkan. Pemandangan itu membuatnya terlena; ia tertarik seperti magnet.

Saat Aldo menoleh ke belakang, cewek itu sudah berlari bersama temannya ke halaman sekolah. Aldo benar-benar berhasil dibuat berhenti berjalan; cowok itu terpaku di sana dengan ekspresi blank.

"Woi," panggil Rian, cowok itu menepuk pundak Aldo dan membuat Aldo menoleh kepadanya. Tanpa Aldo tahu, ternyata Rian dan Adam juga berhenti karena melihat Aldo yang tak biasanya bersikap seperti itu. "lo kenapa?"

Aldo mengerjap. Cowok itu hanya menggeleng dan akhirnya mereka bertiga kembali berjalan.

Tiba-tiba Adam mulai heboh. "Eh, ada Syakila, weh! Syakila cantik bener dah!" Adam kegirangan sendiri; dia mulai gila karena melihat Syakila yang berjalan bersama Fara dan Rani di ujung koridor. Ketiga cewek itu baru turun dari lantai dua. Rian langsung berdecak dan menempeleng kepala Adam, tetapi Adam malah mengikik.

"Eh," ujar Aldo, tiba-tiba cowok itu menginterupsi. Rian dan Adam langsung diam, mereka menatap Aldo dan menunggu apa yang akan Aldo katakan. Menatap Rian dan Adam dengan mata yang menyipit, Aldo pun melanjutkan, "cewek yang lewat tadi...yang rambutnya diurai itu siapa namanya?"

Mata Rian berkedip dua kali. Adam mengangkat kedua alisnya, matanya melebar dan dia berpikir keras. Hell, apa dia pernah berpikir keras sebelumnya? Mengerjakan soal Bahasa Indonesia saja dia selalu menyontek punya Aldo. Dia orangnya sembrono dan simpel. Bahasa Indonesia saja sudah rumit baginya.

"Ntah juga. Gue baru liat. Ngapa?" tanya Rian heran.

Adam nyengir.

"Biar gue tanyain Syakila, deeh!" teriaknya. Dengan kecepatan angin dia langsung berlari mendekati Syakila di ujung sana dan mulai menggoda Syakila.

"Woi, modus!" teriak Rian. Rian menghela napas tatkala Adam sudah mulai nggombal enggak jelas pas gabung jalan sama Syakila. Padahal, tuh anak juga belum menaruh tas, sama seperti Aldo dan Rian. Mereka, kan, memang baru datang!

"Dasar bocah gila, padahal dia tau Syakila itu kayak mana. Kan Syakila pernah pacaran sama lo," ucap Rian, cowok itu berbicara pada Aldo. Aldo hanya tersenyum simpul dan mengedikkan bahu. Nyatanya, Adam memang mengikuti Syakila hingga mereka berpapasan dengan Rian dan Aldo, lalu cowok itu berbalik arah untuk kembali berjalan bersama Aldo dan Rian. Memang kurang kerjaan.

Begitu Adam bergabung lagi dan mereka berpapasan dengan Syakila, Syakila sempat melihat Aldo, tetapi tidak dengan Aldo. Syakila langsung menunduk lesu dan Rani memegang lengannya dengan erat. Beda lagi dengan Fara. Fara itu tidak terlalu dekat dengan Syakila dan Rani, jadi dia tidak tahu-menahu soal Aldo dan Syakila. Mungkin, dia jalan dengan Syakila dan Rani cuma karena mau pergi bersama ke halaman.

"Eh, Rian, ntar traktirin gue, ya! Lo semalem kalah maen truth or dare sama gue! TRAKTIR, OKEE?!" sorak Fara heboh. Rian langsung berdecak dan menutup telinganya dengan kedua tangannya.

"Sialan, nih anak selalu berisik tiap gue liat dia!!" gerutunya pada Aldo dan membuat Aldo tertawa kecil. Ia menatap Fara dan memelototi bendahara kelas itu dengan galak. "Iya, iya!!! Gara- gara traktiran sepuluh ribu aja lo teriak kayak pake toa! Ngajak ribut melulu lo! Pergi sana!"

Fara, yang sudah berjalan melewati mereka (setelah menjulurkan lidahnya untuk mengejek Rian), sukses membuat Rian meninju-ninju udara saking kesalnya. Adam tertawa terbahak-bahak sembari menenangkan Rian. Setiap ketemu Fara, Rian yang enggak banyak tingkah itu jadi rempong begini. Aldo menggeleng, lalu tertawa geli.

"Lo kenapa, sih, Yan? Tiap ketemu Fara kok ribut terus," ujar Aldo santai. "Lagian, kayaknya kalian akrab."

"Akrab? Buset, nggak sudi!" teriak Rian, berhasil membuat Adam semakin tertawa seraya memegangi perutnya karena tak tahan. Asli, Rian jadi kayak kucing yang ikan asinnya diambil.

"Tapi—" ujar Adam, cowok itu mencoba untuk menghentikan tawanya. “kan lo bisa, tuh, maen truth or dare sama dia! Ah, bohong aja lo kalo nggak akrab!"

Ejekan Adam itu sukses membuat Rian meninju lengannya. Adam spontan merintih.

Saat mereka mulai menaiki tangga ke lantai dua, mereka pun kembali diam. Namun, tiba-tiba Adam teringat sesuatu.

"Eh, gue lupa nanyain nama cewek itu ke Syakila!!"

 

******

 

JAKARTA, 27 JULI 2015.

 

Tahun kedua. Pagi itu, telunjuk Rian menelusuri kertas-kertas yang ditempelkan di mading sekolah. Kertas itu berisi nama-nama siswa serta di kelas mana mereka akan ditempatkan. Rian, Aldo, dan Adam memilih kelas IPA dan mungkin saja akan diacak.

Tatkala Adam dan Rian tengah sibuk mencari, Aldo pun memfokuskan pandangannya. Dia memperhatikan kertas-kertas itu dan mencari namanya sendiri.

"Lo sama Adam ada di XI IPA 1, Aldo," ujar Rian. Adam tersenyum. Rian lalu melanjutkan, "Kalo gue..."

Rian diam untuk waktu yang agak lama, tetapi akhirnya Rian menatap kedua temannya seraya tersenyum miring. "Gue juga di XI IPA 1."

Kontan saja mereka bertiga ber-high five. Sembari berjalan bertiga untuk mencari kelas XI IPA 1, Aldo disapa oleh banyak kakak kelas dan juga teman-teman seangkatannya. Adik-adik kelas yang masih berseragam SMP pun banyak yang malu-malu kucing saat melihat Aldo berjalan melewati mereka. Ini baru hari pertama MOS, tetapi mereka sudah menemukan kakak kelas yang ganteng. Ah, itu adalah harapan seluruh adik kelas.

Sambil berjalan—dan mengobrol—bersama Rian dan Adam, hal yang Aldo pikirkan hanyalah satu.

 

Cewek itu...ada di kelas mana, ya?

 

Bahkan, namanya saja Aldo enggak tahu. Mau mencari tahu? Banyak banget cewek yang rambutnya tergerai di sekolah ini. Aldo bingung bagaimana mau menjelaskan ciri-cirinya kalau dia bertanya sama orang lain. Lagian, cewek itu sekelas sama siapa saja Aldo enggak tahu. Mau bertanya sama Fara? Tahun kemarin, Fara dan cewek itu belum tentu sekelas.

Selain Fara, enggak ada lagi yang sering mengobrol dengan Aldo. Syakila adalah opsi yang terakhir... Lagian, Aldo dan Syakila juga tidak akrab. Waktu punya 'hubungan' pun mereka memang begitu. Kalau Fara, sih, wajar. Soalnya, Fara itu suka bertengkar dengan Rian.

 

******

 

Begitu masuk ke kelas bersama Rian dan Adam, dinginnya AC langsung menyambut Aldo. Aldo melihat kalau ada beberapa teman sekelasnya yang dulu kini sekelas lagi dengannya. Meskipun tidak kentara, Aldo memang memperhatikan banyak orang saat itu. Rian dan Adam kini mulai bergerak mencari tempat duduk.

Rian dan Adam mulai menaruh tas mereka. Sementara itu, di sisi lain...Aldo mendadak terpaku. Mata Aldo melebar begitu melihat kursi ketiga dari barisan pertama, yaitu barisan yang terdekat dengan pintu kelas.

 

Cewek itu duduk di sana.

Cewek itu...ada di kelas ini.

 

Aldo mengerjap pelan dan masih terdiam…hingga tiba-tiba Rian berteriak, "Aldo!"

Aldo spontan menoleh kepada Rian di depan sana; dia sedang melambaikan tangannya, mengajak Aldo mendekat. Dia dan Adam sudah mendapatkan kursi untuk mereka bertiga. Adam ternyata duduk sebangku dengan seorang cowok berkacamata; dia duduk di belakang kursi Aldo dan Rian. Berarti, Aldo duduk dengan Rian dan membelakangi Adam.

Aldo tersenyum dan mendekati mereka berdua. Sampai di sana, ia ber-high five dengan Adam dan Rian.

Saat menunggu guru datang ke kelas pun, sulit sekali bagi Aldo untuk mengalihkan pandangan dari cewek itu. Beberapa menit kemudian, ada seorang guru yang datang ke kelas mereka. Tak butuh waktu yang lama hingga guru itu berkata,

 

"Ayo perkenalkan diri kalian."

 

Aldo menunggu saat-saat ini. Sebuah senyuman yang penuh arti terbit di wajah Aldo.

Kini, giliran Aldo yang memperkenalkan dirinya. Saat Aldo berdiri, anak-anak di kelas itu banyak yang tercengang. Jelas, Aldo itu keren meskipun bajunya enggak keluar-keluar kayak preman sekolah. Aldo itu ganteng banget, satu paket lengkap jika disatukan dengan pintarnya. Nama Aldo itu sudah dikenal di sekolah sejak hari-hari mereka MOS dahulu. Aldo adalah sasaran empuk buat kakak-kakak kelas yang demen cari perhatian. Sebisa mungkin, anak baik dan ganteng kayak Aldo itu harus dijaga baik-baik; dia adalah pacar idaman. Macho-nya, jagonya di bidang olahraga, semuanya bikin klepek-klepek. Rasanya, Aldo itu seksi bangetKetahuilah, seksi itu enggak cuma ada pada bad boy.

Kata cewek-cewek di sekolah, Aldo itu harus digaet meskipun nyatanya tak semudah itu.

 

"Aldo Gabriel Nugraha. Salam kenal," ujar Aldo.

 

Well, para cewek di sana langsung mengingat nama itu baik-baik di dalam otak mereka.

Satu murid terlewati...

Dua murid terlewati...

Hingga akhirnya, sampailah pada orang yang sejak tadi Aldo tunggu-tunggu.

Degupan jantung yang mendadak jadi kencang itu benar-benar mengganggu. Rasanya…gelisah sekali.

Akhirnya, cewek itu berdiri.

 

"Perkenalkan," ujar cewek itu dengan gugup. "nama saya Nadya Maharani."

 

******

 

"Untuk pelajaran Seni Budaya hari ini..." Bu Sasmita tampak berpikir. Setelah itu, beliau mendadak tersenyum seolah-olah mendapat ide yang bagus. "…kita nyanyi aja, deh."

Seisi kelas kontan jadi heboh. Adam mulai bersorak tak keruan. Rian langsung melongo, sementara Aldo hanya menatap Bu Sasmita dengan ekspresi tenang. Sesungguhnya, banyak murid yang berharap kalau yang bakal maju itu adalah Aldo, si cowok yang paling ganteng di kelas.

Cewek-cewek di kelas mulai berteriak sana-sini, ada juga yang mulai jail dan menunjuk-nunjuk temannya. "Tari, Buu!! Tariiiii!!!"

Sementara itu, Tari mulai mengomel dan mengancam cewek itu habis-habisan sembari tertawa. Adam juga mulai mengganggu Farid, cowok yang duduk di ujung kelas, dekat jendela. "Ciee, Farid! Saatnya nyatakan cinta, nih, sama si itu!! Yihaaaa!!!"

Seisi kelas pun tertawa.

Aldo tersenyum mendengar ejekan Adam itu, tetapi akhirnya semua murid terdiam ketika Bu Sasmita menepuk mejanya pelan. Dengan adanya interupsi itu, semua murid langsung terdiam dan degupan jantung mereka pun mulai menggila.

"Ibu liat acak di absensi aja deh," ujar Bu Sasmita.

Waduh! Ini, nih, yang ditakutkan. Peluang untuk maju pasti ada!

"Hm..." Deham panjang Bu Sasmita itu bagaikan gong menuju kematian di telinga murid-murid. Rian sampai mendengar degupan jantungnya sendiri. Kacau, man.

"Coba maju..." ujar Bu Sasmita.

 

Deg. Deg. Deg.

 

"Nadya Maharani."

 

Mata Aldo tanpa sadar membelalak. Aldo langsung melihat ke arah Nadya, yang kini wajahnya jadi benar-benar pucat. Nadya terperanjat bukan main karena tiba-tiba ditunjuk. Matanya membulat penuh. Ia spontan mencengkeram pinggiran meja dan pinggiran meja itu basah karena tangannya tiba-tiba dingin dan berkeringat.

"Yuhuuuuu!" teriak seisi kelas. Sebagian meneriakkan itu untuk Nadya dan sebagian lagi meneriakkan itu karena senang tidak ditunjuk. Bu Sasmita tersenyum pada Nadya dan mengangguk; beliau mengisyaratkan Nadya untuk maju. Bu Sasmita seolah-olah mau bilang, 'Maju aja, nggak apa-apa.' pada Nadya.

Nadya gemetar. Perlahan-lahan, ia mencoba untuk berdiri. Saat Nadya berdiri, seisi kelas mulai bersorak dan bertepuk tangan karena Nadya sudah berani berdiri demi bernyanyi di depan kelas, padahal Nadya sendiri tengah meremas roknya karena gugup. Ia yakin bahwa ia akan terpaku di depan sana.

Jujur, Aldo sendiri merasa jantungnya berdebar.

 

Nadya bakal nyanyi.

 

Mata Aldo benar-benar tidak berkedip sampai akhirnya Nadya berdiri di depan kelas. Tadi, tatkala Nadya berjalan dari kursinya hingga ke depan kelas, Aldo terus memandanginya. Tanpa sadar, Aldo meneguk ludahnya dengan gugup.

Selama satu menit lamanya, Nadya hanya diam sembari menunduk di depan kelas. Di kursinya, Gita juga jadi gelisah. Nadya itu pemalu banget! Sedari tadi, tangan Nadya berada di posisi 'istirahat di tempat'; gadis itu terus meneguk ludahnya karena gugup. Detak jantungnya menggila.

"Ayo, Nadya, mau nyanyi apa?" tanya Bu Sasmita. Nadya terkejut, dia langsung menatap Bu Sasmita dengan ekspresi wajah blank. Akan tetapi, akhirnya dia menggigit bibirnya dan menunduk lagi.

"Nggak apa-apa, nggak bakal diketawain kok," ujar Bu Sasmita. "Kalo ada yang ketawa, Ibu lempar pake penggaris, ngerti?!" teriak Bu Sasmita pada murid-murid di kelas itu.

"Okeee, Bu!!!" jawab seisi kelas.

Setelah itu, jantung Nadya jadi semakin berdebar. Nadya diam lagi selama sepuluh detik.

Hingga akhirnya, Nadya menarik napasnya dalam-dalam.

Dia pun mulai bernyanyi.

 

Saat aku tertawa...di atas semua...

Saat aku menangisi kesedihanku...

 

Tatkala nyanyian itu berakhir, saat itu pulalah pertama kalinya Bu Sasmita bertepuk tangan karena nyanyian seorang murid. Seisi kelas juga langsung bertepuk tangan karena kagum; mereka langsung bersorak. Demi apa pun, Aldo juga benar-benar tercengang. Mata cowok itu melebar, dia lupa mengedipkan matanya. Degupan jantungnya pun terasa semakin kencang. Dari hari ke hari, semuanya terasa semakin indah. Semuanya juga terasa semakin jelas. Maksudnya, jelas membuatnya hilang akal.

 

Cewek ini...benar-benar membuatnya jatuh cinta.

 

Ketika pelajaran Seni Budaya (yang merupakan pelajaran terakhir) itu selesai, mereka langsung pulang setelah berdoa. Aldo baru ingin berjalan setelah membawa tasnya di bahu sebelah kanan, tetapi tiba-tiba Aldo melihat ke arah Nadya yang masih berbincang dengan Gita.

…dan tatapan mereka bertemu.

 

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

 

"Nad," panggil Gita, membuat Nadya langsung kembali menatap Gita. Saat itulah, Aldo sedikit menunduk. Ia kembali berjalan hingga kemudian Rian memanggilnya.

"Yok, Bro," ajak Rian dan Aldo mengangguk. Aldo pun menyusul Rian dan Adam yang tengah menunggunya di depan pintu kelas, lalu mereka bertiga mulai berjalan bersama di koridor.

Sesungguhnya, tatapan yang berlangsung selama tiga detik itu benar-benar bermakna bagi Aldo.

Soalnya, itu pertama kalinya mereka saling menatap.

 

******

 

JAKARTA, 29 NOVEMBER 2015.

 

Tak terasa, empat bulan sudah berlalu. Hingga saat ini, belum ada satu kata cinta pun yang Aldo ucapkan kepada Nadya. Jangankan mau menyatakan perasaan, untuk mengobrol pun rasanya sulit sekali. Aldo belum mampu masuk ke dunia Nadya.

Aldo memperhatikan Nadya setiap hari. Saat di kelas, saat olahraga, saat ketemu di kantin, hingga tanpa sadar, Aldo tahu semuanya. Mungkin, karena Aldo memperhatikannya dari jauh, Nadya yang 'nggak memperhatikan sekitar' itu jadi tidak sadar. Aldo sendiri tak tahu apakah Nadya itu ‘merasa’ atau tidak, tetapi setahu Aldo, sebuah tatapan dapat mengeluarkan suatu energi yang terpusat. Maka dari itu, terkadang…seseorang yang kita pandang lama-lama akan menyadari keberadaan kita.

Namun, Nadya? Cewek itu terlalu fokus dengan dunianya. Jika dari sudut pandang cowok playboy, Nadya itu adalah jenis cewek yang sulit didekati. Nggak peka. Polos, tapi bisa bikin kita bingung gimana mau ngedeketinnya. Nadya itu pendiam, pemalu, dan kikuk; dia nggak banyak tingkah.

Bagi Aldo, posisi Gita itu...menang banyak. Nadya bisa banyak omong begitu sama Gita.

Sulit banget buat mengajak Nadya bicara. Bisa dibilang mereka nyaris tak pernah bicara. Kalau tidak dengan alasan 'belajar', Aldo bingung mau menegurnya dengan alasan apa. Kalau tiba-tiba Aldo mengajaknya untuk mengobrol santai, dia pasti akan bingung. Aldo juga merupakan seorang cowok yang dikenal tak pernah dekat dengan cewek mana pun. Jadi, bagaimana mau menyatakan perasaan?

Tak terasa, karena sibuk menyelami dunia Nadya—persiapan, mencari cara agar Nadya bisa menjadi miliknya—Aldo jadi terbawa suasana. Waktu berlalu tanpa ia sadari. Namun, semakin lama, ia bukannya lelah ataupun pudar perasaannya; ia malah semakin cinta setelah melihat Nadya setiap hari.

Nadya itu unik. Bukan unik karena barbar atau tomboi; uniknya itu sulit untuk dijelaskan. Intinya, cewek kayak Nadya itu jarang ada.

Nadya itu sebenarnya lucu dan menggemaskan meskipun cewek itu sering menutupinya.

Seperti hari ini. Perayaan ulang tahun sekolah sedang diadakan dan Nadya menjadi salah satu penari yang akan menarikan tari persembahan. Di acara pembuka pada pagi yang cerah ini, Nadya akan tampil bersama kelima temannya yang lain.

Sesungguhnya, hari ini Aldo sibuk sekali, berhubung ia adalah Ketua OSIS yang terpilih melalui voting dari seluruh siswa sejak empat bulan yang lalu. Namun, ia berlari dan menyelinap ke belakang panggung acara yang dipenuhi oleh anggota OSIS lain. Mereka semua berperan sebagai panitia. Orang-orang yang ada di belakang panggung pastinya adalah seksi acara dan juga orang-orang yang akan naik ke panggung. Saat sampai di sana, Aldo sempat melihat Nadya yang baru saja naik ke panggung. Aldo tercengang melihat cantiknya Nadya hari itu; Nadya mengenakan pakaian tradisional. Ekspresi gugup Nadya itu benar-benar menggemaskan; cara Nadya yang menarik dan mengembuskan napasnya berkali-kali supaya bisa tenang itu...tanpa sadar membuat Aldo tersenyum.

Waktu Nadya dipilih untuk menjadi penari, lalu waktu Nadya sedang latihan...Aldo juga sering melihatnya. Mau berapa kali, sih, Nadya membuat Aldo jatuh cinta...lagi dan lagi? Nadya itu selalu penuh dengan kejutan. Ada saja hal tentangnya yang membuat Aldo terus-menerus terpukau. Selain itu, senyum Nadya itu...tulus. Nggak palsu, nggak ada maunya. Jarang ada cewek yang senyumnya seperti itu.

Sandi dan Rachel mengajarkannya untuk tersenyum dengan tulus, jadi dia lebih paham soal itu dari siapa pun.

Aldo pun menegur salah satu anggotanya (yang ada di belakang panggung itu) setelah sebelumnya menepuk pundaknya. Orang yang memakai ikat kepala itu kemudian menoleh.

"Eh, Aldo? Kenapa, Do?"

Aldo memberikan sebuah kamera DSLR kepada cowok itu dan berkata, "Gue mau minta tolong. Cewek itu..." Aldo membawa cowok itu agar bisa mengintip dari belakang panggung. Aldo lantas menunjuk Nadya dan cowok yang berikat kepala itu pun melihatnya. Setelah itu, mereka bertatapan lagi.

"Tolong rekam cewek itu, ya. Banyakin fotonya juga. Fokusin ke dia aja," ujar Aldo. "Ntar gabung aja sama tim dokumentasi di depan. Kalian belum mau tampil, ‘kan?"

"Oh." Cowok itu mengangguk. "Oke, oke. Sip. Iya, drama kami belum tampil."

Aldo mengangguk, lalu menepuk pundak cowok itu sembari tersenyum. "Makasih, ya. Sorry banget udah ngerepotin."

Cowok itu lantas tertawa dan menggeleng. "Ah, biasa aja kali, Aldo. Tenang aja. Apa, sih, yang nggak buat KETOS kita?"

Aldo pun jadi tertawa kecil. Setelah itu, mereka melakukan fist bump, sebelum akhirnya Aldo beranjak meninggalkan area backstage itu.

 

Nadya itu indah.

Dia...punya kecantikannya sendiri. Her eyes, her smile, her personality, all of them are the gateway to her heart. They reflect her soul.

I want to capture everything about her in some pictures that I will always keep in my room, my mind...as beautiful memories for the future.

 

******

 

JAKARTA, 14 JANUARI 2016.

 

Nadya berjalan mendekati kursi Aldo bersama dua murid lainnya. Hari ini, Bu Guru Biologi menyuruh mereka untuk menanam tumbuhan yang dicangkok dengan polybag. Untuk melakukan kegiatan itu, mereka harus bekerja secara berkelompok. Anggota dari masing-masing kelompoknya akan ditentukan oleh guru. Jam pelajaran itu dihabiskan untuk berdiskusi dengan kelompok masing-masing. Setelah itu, semuanya akan dikerjakan di rumah.

Jadi, di sinilah Nadya, untuk pertama kalinya berada di kelompok yang sama dengan Aldo Gabriel Nugraha.

Nadya pengin melihat cara Aldo belajar karena Aldo itu pinter banget. Baru kali ini, ia dapat sekelompok dengan Aldo.

Aldo memperhatikan Nadya yang mulai menghampiri mejanya dengan mata yang berbinar indah. Nadya dan dua murid lain mulai duduk di sekitarnya, lalu mereka berempat mulai berdiskusi. Jika sudah berkelompok seperti ini, Aldo dan Nadya pasti akan berbicara satu sama lain.

Tibalah saat di mana mereka menentukan siapa-siapa saja yang membawa alat dan bahan. Penanaman akan dilakukan di rumah salah satu murid, tetapi itu bukan Aldo dan bukan pula Nadya. Orang yang menentukan siapa-siapa saja murid yang membawa alat dan bahan itu adalah Aldo, tetapi Aldo benar-benar bingung harus berbicara seperti apa kepada Nadya. Lo-gue? Kasar banget. Aku-kamu? Mereka tidak dekat.

Menghadapi Nadya pun jadi sesulit ini. Di sisi lain, Nadya juga merasa kagum ketika melihat Aldo yang bisa memimpin dengan cerdas seperti itu. Kelompok mereka berdiskusi lebih cepat dari kelompok lainnya. Nadya cuma bisa mengangguk-angguk; dia menyimak sebaik mungkin.

Bagi Aldo, ini pertama kalinya dia punya alasan untuk berbicara dengan Nadya.

Belajar. Berkelompok.

Aldo menatap Nadya yang sedang membaca buku panduan mereka dengan saksama itu, lalu Aldo bernapas samar dan mulai memanggil Nadya.

"Nadya," panggil Aldo. Tanpa sadar, Aldo memanggil Nadya dengan lembut. Nadya langsung menoleh kepada Aldo dengan mata yang melebar; mulutnya sedikit terbuka layaknya orang yang tak tahu apa-apa. Sebenarnya, Nadya bukan tidak tahu. Dia cuma kaget mendengar Aldo tiba-tiba memanggilnya.

Aldo pun tersenyum. Cowok itu lalu melanjutkan, "ntar tugas Nadya bawa polybag, ya."

Mulut Nadya semakin membulat, membentuk 'o' kecil, lalu Nadya mengangguk dengan cepat. "Oh, iya, iya. Nanti aku bawa, Aldo."

Aldo lantas mengangguk dan kembali tersenyum.

So that's what it sounds like when you say my name, Nad.

Rasa sayang itu tidak akan ada habisnya, kalau memang dari hati. Seperti air hujan yang jatuh ke bumi; hujan tak peduli jika bumi tak menerimanya. Seperti itu juga rasa sayang yang Aldo miliki. []

 















******





Lagu yang Nadya nyanyiin. Oh Tuhan, betapa nostalgianya.





No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...