Bab
12 :
Kilas
Balik Kedua
******
JAKARTA,
26 JULI 2014.
"INI rame-rame
mau ngapain, sih?" tanya Rian saat cowok itu melihat halaman sekolah yang
sudah dipenuhi dengan murid-murid. Selain itu, ada beberapa guru yang sedang
berteriak, memerintahkan agar semua murid lekas berbaris. Rian, Adam, dan Aldo
baru saja sampai di sekolah dan sedang melewati halaman. Rian menatap
barisan-barisan itu dengan heran.
Adam—yang
sedang merapikan dasinya itu—mulai menoleh ke halaman sejenak, lalu beralih
menatap Rian.
"Entah,
tuh. Bukannya ini hari Selasa? Nggak lucu kalo upacara," ujarnya sembari menganga
keheranan.
"Aldo,"
panggil Rian. Aldo, yang tadinya hanya diam saja, kini menoleh kepada Rian.
Adam juga menatap Aldo dengan tatapan ingin tahu.
Mungkin,
ini terjadi karena Aldo adalah anggota OSIS. Jabatannya masih sekadar salah satu
anggota seksi OSIS, berhubung ia masih kelas sepuluh dan baru selesai MOS. Aldo
mengedikkan bahu.
"Katanya
mau ada pengumuman. Nggak tau juga pengumuman apa," jawab Aldo singkat.
Rian dan Adam mengangguk mengerti, lalu mereka bertiga kembali menghadap ke
depan. Saat mereka bertiga telah hampir sampai di koridor, ada dua cewek di
depan sana yang berjalan dari arah yang berlawanan. Dua cewek itu sedang
bercerita—bukan, salah satunya bercerita dan yang satunya lagi
adalah pendengar setia—sementara ketiga cowok ini hanya diam memperhatikan
mereka.
Begitu
mereka bertiga berpapasan dengan kedua cewek itu, barulah kedua cewek itu melihat
mereka bertiga. Tak ayal, baik Rian dan Adam maupun kedua cewek itu, mereka
semua spontan memberikan senyuman sebagai bentuk salam meskipun
tak saling kenal.
Namun,
berbeda dengan Aldo. Salah satu dari dua cewek itu benar-benar berada di
depannya; cewek itu tersenyum dengan indahnya. Aldo bahkan
tidak ingat untuk membalas senyumannya. Hal yang Aldo tahu, saat itu
waktu seolah-olah terhenti. Aldo benar-benar terdiam dengan
mata yang melebar.
Matanya...
Senyumnya...
Semuanya
indah.
Cantik
banget...
Mata
cewek itu seolah mampu membawa Aldo masuk ke dunia cewek itu. Aldo seolah mampu
melihat pintu hatinya, melihat jiwanya, dan terjebak selama-lamanya. Aldo hanya
ingin waktu diperlambat sedikit saja. Soalnya, ia tahu bahwa jika
waktu tidak berhenti…
...cewek
itu akan segera hilang dari pandangannya.
Benar.
Bagaikan embusan angin, cewek itu kini telah melewati Aldo. Melewati bahu kanan
Aldo. Rambut hitam cewek itu tertiup angin dengan lembutnya di depan Aldo. Hanya
itulah yang sempat Aldo lihat karena tiba-tiba saja cewek itu sudah hilang dari
pandangannya. Harum sampo melonnya yang manis itu tercium oleh Aldo dan membuat
Aldo spontan menoleh ke belakang; Aldo merasa kehilangan. Cowok
itu seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang begitu indah,
terlalu elok untuk ia lewatkan. Pemandangan itu membuatnya terlena; ia tertarik
seperti magnet.
Saat
Aldo menoleh ke belakang, cewek itu sudah berlari bersama temannya ke halaman
sekolah. Aldo benar-benar berhasil dibuat berhenti berjalan; cowok itu terpaku di
sana dengan ekspresi blank.
"Woi,"
panggil Rian, cowok itu menepuk pundak Aldo dan membuat Aldo menoleh kepadanya.
Tanpa Aldo tahu, ternyata Rian dan Adam juga berhenti karena melihat Aldo yang tak
biasanya bersikap seperti itu. "lo kenapa?"
Aldo
mengerjap. Cowok itu hanya menggeleng dan akhirnya mereka bertiga kembali
berjalan.
Tiba-tiba
Adam mulai heboh. "Eh, ada Syakila, weh! Syakila cantik
bener dah!" Adam kegirangan sendiri; dia mulai gila
karena melihat Syakila yang berjalan bersama Fara dan Rani di ujung koridor.
Ketiga cewek itu baru turun dari lantai dua. Rian langsung berdecak dan
menempeleng kepala Adam, tetapi Adam malah mengikik.
"Eh,"
ujar Aldo, tiba-tiba cowok itu menginterupsi. Rian dan Adam langsung diam,
mereka menatap Aldo dan menunggu apa yang akan Aldo katakan. Menatap Rian dan
Adam dengan mata yang menyipit, Aldo pun melanjutkan, "cewek yang
lewat tadi...yang rambutnya diurai itu siapa namanya?"
Mata
Rian berkedip dua kali. Adam mengangkat kedua alisnya, matanya melebar dan dia berpikir
keras. Hell, apa dia pernah berpikir keras sebelumnya? Mengerjakan
soal Bahasa Indonesia saja dia selalu menyontek punya Aldo. Dia orangnya sembrono
dan simpel. Bahasa Indonesia saja sudah rumit baginya.
"Ntah
juga. Gue baru liat. Ngapa?" tanya Rian heran.
Adam nyengir.
"Biar
gue tanyain Syakila, deeh!" teriaknya. Dengan kecepatan angin dia langsung
berlari mendekati Syakila di ujung sana dan mulai menggoda Syakila.
"Woi, modus!" teriak
Rian. Rian menghela napas tatkala Adam sudah mulai nggombal enggak jelas
pas gabung jalan sama Syakila. Padahal, tuh anak juga belum menaruh tas, sama
seperti Aldo dan Rian. Mereka, kan, memang baru datang!
"Dasar
bocah gila, padahal dia tau Syakila itu kayak mana. Kan Syakila pernah pacaran
sama lo," ucap Rian, cowok itu berbicara pada Aldo. Aldo hanya tersenyum
simpul dan mengedikkan bahu. Nyatanya, Adam memang mengikuti Syakila hingga mereka
berpapasan dengan Rian dan Aldo, lalu cowok itu berbalik arah untuk kembali
berjalan bersama Aldo dan Rian. Memang kurang kerjaan.
Begitu
Adam bergabung lagi dan mereka berpapasan dengan Syakila, Syakila sempat
melihat Aldo, tetapi tidak dengan Aldo. Syakila langsung menunduk
lesu dan Rani memegang lengannya dengan erat. Beda lagi dengan Fara. Fara itu
tidak terlalu dekat dengan Syakila dan Rani, jadi dia tidak tahu-menahu soal
Aldo dan Syakila. Mungkin, dia jalan dengan Syakila dan Rani cuma karena mau
pergi bersama ke halaman.
"Eh,
Rian, ntar traktirin gue, ya! Lo semalem kalah maen truth or dare sama
gue! TRAKTIR, OKEE?!" sorak Fara heboh. Rian langsung berdecak dan menutup
telinganya dengan kedua tangannya.
"Sialan, nih
anak selalu berisik tiap gue liat dia!!" gerutunya pada Aldo dan membuat
Aldo tertawa kecil. Ia menatap Fara dan memelototi bendahara kelas itu dengan
galak. "Iya, iya!!! Gara- gara traktiran sepuluh ribu aja lo teriak kayak
pake toa! Ngajak ribut melulu lo! Pergi sana!"
Fara,
yang sudah berjalan melewati mereka (setelah menjulurkan lidahnya untuk
mengejek Rian), sukses membuat Rian meninju-ninju udara saking kesalnya. Adam tertawa
terbahak-bahak sembari menenangkan Rian. Setiap ketemu Fara, Rian yang enggak
banyak tingkah itu jadi rempong begini. Aldo menggeleng,
lalu tertawa geli.
"Lo
kenapa, sih, Yan? Tiap ketemu Fara kok ribut terus," ujar Aldo santai.
"Lagian, kayaknya kalian akrab."
"Akrab?
Buset, nggak sudi!" teriak Rian, berhasil membuat Adam
semakin tertawa seraya memegangi perutnya karena tak tahan. Asli, Rian jadi
kayak kucing yang ikan asinnya diambil.
"Tapi—"
ujar Adam, cowok itu mencoba untuk menghentikan tawanya. “kan lo bisa, tuh,
maen truth or dare sama dia! Ah, bohong aja lo kalo nggak
akrab!"
Ejekan
Adam itu sukses membuat Rian meninju lengannya. Adam spontan merintih.
Saat
mereka mulai menaiki tangga ke lantai dua, mereka pun kembali diam. Namun,
tiba-tiba Adam teringat sesuatu.
"Eh,
gue lupa nanyain nama cewek itu ke Syakila!!"
******
JAKARTA,
27 JULI 2015.
Tahun
kedua. Pagi itu, telunjuk Rian menelusuri kertas-kertas yang ditempelkan di
mading sekolah. Kertas itu berisi nama-nama siswa serta di kelas mana mereka
akan ditempatkan. Rian, Aldo, dan Adam memilih kelas IPA dan mungkin saja akan
diacak.
Tatkala
Adam dan Rian tengah sibuk mencari, Aldo pun memfokuskan pandangannya. Dia
memperhatikan kertas-kertas itu dan mencari namanya sendiri.
"Lo
sama Adam ada di XI IPA 1, Aldo," ujar Rian. Adam tersenyum. Rian lalu
melanjutkan, "Kalo gue..."
Rian
diam untuk waktu yang agak lama, tetapi akhirnya Rian menatap kedua temannya seraya
tersenyum miring. "Gue juga di XI IPA 1."
Kontan
saja mereka bertiga ber-high five. Sembari berjalan bertiga untuk mencari
kelas XI IPA 1, Aldo disapa oleh banyak kakak kelas dan juga teman-teman seangkatannya.
Adik-adik kelas yang masih berseragam SMP pun banyak yang malu-malu kucing saat
melihat Aldo berjalan melewati mereka. Ini baru hari pertama MOS, tetapi mereka
sudah menemukan kakak kelas yang ganteng. Ah, itu adalah harapan seluruh adik
kelas.
Sambil
berjalan—dan mengobrol—bersama Rian dan Adam, hal yang Aldo pikirkan hanyalah
satu.
Cewek
itu...ada di kelas mana, ya?
Bahkan,
namanya saja Aldo enggak tahu. Mau mencari tahu? Banyak banget cewek yang
rambutnya tergerai di sekolah ini. Aldo bingung bagaimana mau menjelaskan
ciri-cirinya kalau dia bertanya sama orang lain. Lagian, cewek itu sekelas sama
siapa saja Aldo enggak tahu. Mau bertanya sama Fara? Tahun kemarin, Fara dan
cewek itu belum tentu sekelas.
Selain
Fara, enggak ada lagi yang sering mengobrol dengan Aldo. Syakila adalah opsi
yang terakhir... Lagian, Aldo dan Syakila juga tidak akrab. Waktu
punya 'hubungan' pun mereka memang begitu. Kalau Fara, sih, wajar. Soalnya,
Fara itu suka bertengkar dengan Rian.
******
Begitu
masuk ke kelas bersama Rian dan Adam, dinginnya AC langsung menyambut Aldo.
Aldo melihat kalau ada beberapa teman sekelasnya yang dulu kini sekelas lagi
dengannya. Meskipun tidak kentara, Aldo memang memperhatikan banyak orang saat
itu. Rian dan Adam kini mulai bergerak mencari tempat duduk.
Rian
dan Adam mulai menaruh tas mereka. Sementara itu, di sisi lain...Aldo
mendadak terpaku. Mata Aldo melebar begitu melihat kursi
ketiga dari barisan pertama, yaitu barisan yang terdekat dengan pintu kelas.
Cewek
itu duduk di sana.
Cewek
itu...ada di kelas ini.
Aldo
mengerjap pelan dan masih terdiam…hingga tiba-tiba Rian berteriak,
"Aldo!"
Aldo
spontan menoleh kepada Rian di depan sana; dia sedang melambaikan tangannya,
mengajak Aldo mendekat. Dia dan Adam sudah mendapatkan kursi untuk mereka bertiga.
Adam ternyata duduk sebangku dengan seorang cowok berkacamata; dia duduk
di belakang kursi Aldo dan Rian. Berarti, Aldo duduk dengan Rian dan
membelakangi Adam.
Aldo
tersenyum dan mendekati mereka berdua. Sampai di sana, ia ber-high five
dengan Adam dan Rian.
Saat
menunggu guru datang ke kelas pun, sulit sekali bagi Aldo untuk mengalihkan
pandangan dari cewek itu. Beberapa menit kemudian, ada seorang guru yang datang
ke kelas mereka. Tak butuh waktu yang lama hingga guru itu berkata,
"Ayo perkenalkan diri
kalian."
Aldo menunggu saat-saat
ini. Sebuah senyuman yang penuh arti terbit di wajah Aldo.
Kini,
giliran Aldo yang memperkenalkan dirinya. Saat Aldo berdiri, anak-anak di kelas
itu banyak yang tercengang. Jelas, Aldo itu keren meskipun
bajunya enggak keluar-keluar kayak preman sekolah. Aldo itu ganteng banget,
satu paket lengkap jika disatukan dengan pintarnya. Nama Aldo itu sudah dikenal
di sekolah sejak hari-hari mereka MOS dahulu. Aldo adalah sasaran empuk buat
kakak-kakak kelas yang demen cari perhatian. Sebisa
mungkin, anak baik dan ganteng kayak Aldo itu harus dijaga baik-baik; dia
adalah pacar idaman. Macho-nya, jagonya di bidang
olahraga, semuanya bikin klepek-klepek. Rasanya, Aldo itu
seksi banget. Ketahuilah, seksi itu enggak cuma ada pada bad
boy.
Kata
cewek-cewek di sekolah, Aldo itu harus digaet meskipun nyatanya tak semudah
itu.
"Aldo
Gabriel Nugraha. Salam kenal," ujar Aldo.
Well,
para
cewek di sana langsung mengingat nama itu baik-baik di dalam otak mereka.
Satu
murid terlewati...
Dua
murid terlewati...
Hingga
akhirnya, sampailah pada orang yang sejak tadi Aldo tunggu-tunggu.
Degupan
jantung yang mendadak jadi kencang itu benar-benar mengganggu. Rasanya…gelisah
sekali.
Akhirnya, cewek itu
berdiri.
"Perkenalkan,"
ujar cewek itu dengan gugup. "nama saya Nadya
Maharani."
******
"Untuk
pelajaran Seni Budaya hari ini..." Bu Sasmita tampak berpikir. Setelah
itu, beliau mendadak tersenyum seolah-olah mendapat ide yang bagus. "…kita nyanyi aja,
deh."
Seisi
kelas kontan jadi heboh. Adam mulai bersorak tak keruan. Rian langsung melongo,
sementara Aldo hanya menatap Bu Sasmita dengan ekspresi tenang. Sesungguhnya,
banyak murid yang berharap kalau yang bakal maju itu adalah Aldo, si cowok yang
paling ganteng di kelas.
Cewek-cewek
di kelas mulai berteriak sana-sini, ada juga yang mulai jail dan
menunjuk-nunjuk temannya. "Tari, Buu!! Tariiiii!!!"
Sementara
itu, Tari mulai mengomel dan mengancam cewek itu habis-habisan sembari tertawa.
Adam juga mulai mengganggu Farid, cowok yang duduk di ujung kelas, dekat
jendela. "Ciee, Farid! Saatnya nyatakan cinta, nih, sama si itu!! Yihaaaa!!!"
Seisi
kelas pun tertawa.
Aldo
tersenyum mendengar ejekan Adam itu, tetapi akhirnya semua murid terdiam ketika
Bu Sasmita menepuk mejanya pelan. Dengan adanya interupsi itu, semua murid
langsung terdiam dan degupan jantung mereka pun mulai menggila.
"Ibu
liat acak di absensi aja deh," ujar Bu Sasmita.
Waduh!
Ini, nih, yang ditakutkan. Peluang untuk maju pasti ada!
"Hm..." Deham
panjang Bu Sasmita itu bagaikan gong menuju kematian di telinga murid-murid.
Rian sampai mendengar degupan jantungnya sendiri. Kacau, man.
"Coba
maju..." ujar Bu Sasmita.
Deg.
Deg. Deg.
"Nadya
Maharani."
Mata
Aldo tanpa sadar membelalak. Aldo langsung melihat ke arah Nadya, yang kini wajahnya
jadi benar-benar pucat. Nadya terperanjat bukan main karena
tiba-tiba ditunjuk. Matanya membulat penuh. Ia spontan mencengkeram pinggiran
meja dan pinggiran meja itu basah karena tangannya tiba-tiba dingin dan
berkeringat.
"Yuhuuuuu!"
teriak seisi kelas. Sebagian meneriakkan itu untuk Nadya dan sebagian lagi
meneriakkan itu karena senang tidak ditunjuk. Bu Sasmita tersenyum pada Nadya
dan mengangguk; beliau mengisyaratkan Nadya untuk maju. Bu Sasmita seolah-olah
mau bilang, 'Maju aja, nggak apa-apa.' pada Nadya.
Nadya
gemetar. Perlahan-lahan, ia mencoba untuk berdiri. Saat Nadya berdiri, seisi
kelas mulai bersorak dan bertepuk tangan karena Nadya sudah berani berdiri demi
bernyanyi di depan kelas, padahal Nadya sendiri tengah meremas roknya karena gugup.
Ia yakin bahwa ia akan terpaku di depan sana.
Jujur,
Aldo sendiri merasa jantungnya berdebar.
Nadya
bakal nyanyi.
Mata
Aldo benar-benar tidak berkedip sampai akhirnya Nadya berdiri di depan kelas. Tadi,
tatkala Nadya berjalan dari kursinya hingga ke depan kelas, Aldo terus
memandanginya. Tanpa sadar, Aldo meneguk ludahnya dengan gugup.
Selama
satu menit lamanya, Nadya hanya diam sembari menunduk di depan kelas. Di
kursinya, Gita juga jadi gelisah. Nadya itu pemalu banget! Sedari tadi, tangan
Nadya berada di posisi 'istirahat di tempat'; gadis itu terus meneguk ludahnya karena
gugup. Detak jantungnya menggila.
"Ayo,
Nadya, mau nyanyi apa?" tanya Bu Sasmita. Nadya terkejut, dia langsung
menatap Bu Sasmita dengan ekspresi wajah blank. Akan tetapi, akhirnya
dia menggigit bibirnya dan menunduk lagi.
"Nggak apa-apa,
nggak bakal diketawain kok," ujar Bu Sasmita. "Kalo ada yang ketawa, Ibu
lempar pake penggaris, ngerti?!" teriak Bu Sasmita pada
murid-murid di kelas itu.
"Okeee,
Bu!!!" jawab seisi kelas.
Setelah
itu, jantung Nadya jadi semakin berdebar. Nadya diam lagi selama sepuluh detik.
Hingga
akhirnya, Nadya menarik napasnya dalam-dalam.
Dia
pun mulai bernyanyi.
Saat
aku tertawa...di atas semua...
Saat
aku menangisi kesedihanku...
Tatkala
nyanyian itu berakhir, saat itu pulalah pertama kalinya Bu Sasmita bertepuk
tangan karena nyanyian seorang murid. Seisi kelas juga langsung bertepuk tangan
karena kagum; mereka langsung bersorak. Demi apa pun, Aldo juga benar-benar tercengang.
Mata cowok itu melebar, dia lupa mengedipkan matanya. Degupan jantungnya pun terasa
semakin kencang. Dari hari ke hari, semuanya terasa semakin indah. Semuanya
juga terasa semakin jelas. Maksudnya, jelas membuatnya
hilang akal.
Cewek
ini...benar-benar membuatnya jatuh cinta.
Ketika
pelajaran Seni Budaya (yang merupakan pelajaran terakhir) itu selesai, mereka
langsung pulang setelah berdoa. Aldo baru ingin berjalan setelah membawa tasnya
di bahu sebelah kanan, tetapi tiba-tiba Aldo melihat ke arah Nadya yang masih
berbincang dengan Gita.
…dan
tatapan mereka bertemu.
Satu
detik.
Dua
detik.
Tiga
detik.
"Nad,"
panggil Gita, membuat Nadya langsung kembali menatap Gita. Saat itulah, Aldo
sedikit menunduk. Ia kembali berjalan hingga kemudian Rian memanggilnya.
"Yok, Bro," ajak
Rian dan Aldo mengangguk. Aldo pun menyusul Rian dan Adam yang tengah menunggunya
di depan pintu kelas, lalu mereka bertiga mulai berjalan bersama di koridor.
Sesungguhnya, tatapan
yang berlangsung selama tiga detik itu benar-benar bermakna bagi Aldo.
Soalnya,
itu pertama kalinya mereka saling menatap.
******
JAKARTA,
29 NOVEMBER 2015.
Tak
terasa, empat bulan sudah berlalu. Hingga saat ini, belum ada satu kata cinta
pun yang Aldo ucapkan kepada Nadya. Jangankan mau menyatakan perasaan,
untuk mengobrol pun rasanya sulit sekali. Aldo belum mampu
masuk ke dunia Nadya.
Aldo
memperhatikan Nadya setiap hari. Saat di kelas, saat olahraga, saat ketemu di
kantin, hingga tanpa sadar, Aldo tahu semuanya. Mungkin,
karena Aldo memperhatikannya dari jauh, Nadya yang 'nggak memperhatikan
sekitar' itu jadi tidak sadar. Aldo sendiri tak tahu apakah Nadya itu ‘merasa’
atau tidak, tetapi setahu Aldo, sebuah tatapan dapat mengeluarkan suatu energi
yang terpusat. Maka dari itu, terkadang…seseorang yang kita
pandang lama-lama akan menyadari keberadaan kita.
Namun,
Nadya? Cewek itu terlalu fokus dengan dunianya. Jika dari sudut pandang
cowok playboy, Nadya itu adalah jenis cewek yang sulit
didekati. Nggak peka. Polos, tapi bisa bikin kita bingung gimana mau
ngedeketinnya. Nadya itu pendiam, pemalu, dan kikuk; dia nggak banyak
tingkah.
Bagi
Aldo, posisi Gita itu...menang banyak. Nadya bisa banyak omong begitu sama
Gita.
Sulit
banget buat mengajak Nadya bicara. Bisa dibilang mereka nyaris tak pernah
bicara. Kalau tidak dengan alasan 'belajar', Aldo bingung mau menegurnya dengan
alasan apa. Kalau tiba-tiba Aldo mengajaknya untuk mengobrol santai, dia pasti akan
bingung. Aldo juga merupakan seorang cowok yang dikenal tak pernah dekat dengan
cewek mana pun. Jadi, bagaimana mau menyatakan perasaan?
Tak
terasa, karena sibuk menyelami dunia Nadya—persiapan, mencari cara agar Nadya bisa
menjadi miliknya—Aldo jadi terbawa suasana. Waktu berlalu tanpa ia sadari.
Namun, semakin lama, ia bukannya lelah ataupun pudar perasaannya; ia
malah semakin cinta setelah melihat Nadya setiap hari.
Nadya
itu unik. Bukan unik karena barbar atau tomboi; uniknya
itu sulit untuk dijelaskan. Intinya, cewek kayak Nadya itu jarang ada.
Nadya
itu sebenarnya lucu dan menggemaskan meskipun cewek itu sering menutupinya.
Seperti
hari ini. Perayaan ulang tahun sekolah sedang diadakan dan Nadya menjadi salah
satu penari yang akan menarikan tari persembahan. Di acara pembuka pada pagi yang
cerah ini, Nadya akan tampil bersama kelima temannya yang lain.
Sesungguhnya,
hari ini Aldo sibuk sekali, berhubung ia adalah Ketua OSIS yang terpilih melalui voting dari
seluruh siswa sejak empat bulan yang lalu. Namun, ia berlari dan menyelinap ke
belakang panggung acara yang dipenuhi oleh anggota OSIS lain. Mereka semua berperan
sebagai panitia. Orang-orang yang ada di belakang panggung pastinya adalah
seksi acara dan juga orang-orang yang akan naik ke panggung. Saat sampai di
sana, Aldo sempat melihat Nadya yang baru saja naik ke panggung. Aldo tercengang
melihat cantiknya Nadya hari itu; Nadya mengenakan pakaian tradisional. Ekspresi
gugup Nadya itu benar-benar menggemaskan; cara Nadya yang menarik dan
mengembuskan napasnya berkali-kali supaya bisa tenang itu...tanpa
sadar membuat Aldo tersenyum.
Waktu
Nadya dipilih untuk menjadi penari, lalu waktu Nadya sedang latihan...Aldo juga
sering melihatnya. Mau berapa kali, sih, Nadya membuat Aldo jatuh cinta...lagi
dan lagi? Nadya itu selalu penuh dengan kejutan. Ada saja hal tentangnya yang
membuat Aldo terus-menerus terpukau. Selain itu, senyum Nadya
itu...tulus. Nggak palsu, nggak ada maunya. Jarang ada cewek
yang senyumnya seperti itu.
Sandi
dan Rachel mengajarkannya untuk tersenyum dengan tulus, jadi dia lebih paham
soal itu dari siapa pun.
Aldo
pun menegur salah satu anggotanya (yang ada di belakang panggung itu) setelah
sebelumnya menepuk pundaknya. Orang yang memakai ikat kepala itu kemudian
menoleh.
"Eh,
Aldo? Kenapa, Do?"
Aldo
memberikan sebuah kamera DSLR kepada cowok itu dan berkata, "Gue mau minta
tolong. Cewek itu..." Aldo membawa cowok itu agar bisa mengintip dari
belakang panggung. Aldo lantas menunjuk Nadya dan cowok yang berikat kepala itu
pun melihatnya. Setelah itu, mereka bertatapan lagi.
"Tolong
rekam cewek itu, ya. Banyakin fotonya juga. Fokusin ke dia
aja," ujar Aldo. "Ntar gabung aja sama tim dokumentasi di depan.
Kalian belum mau tampil, ‘kan?"
"Oh."
Cowok itu mengangguk. "Oke, oke. Sip. Iya, drama kami belum tampil."
Aldo
mengangguk, lalu menepuk pundak cowok itu sembari tersenyum. "Makasih,
ya. Sorry banget udah ngerepotin."
Cowok
itu lantas tertawa dan menggeleng. "Ah, biasa aja kali, Aldo. Tenang aja.
Apa, sih, yang nggak buat KETOS kita?"
Aldo
pun jadi tertawa kecil. Setelah itu, mereka melakukan fist bump, sebelum
akhirnya Aldo beranjak meninggalkan area backstage itu.
Nadya
itu indah.
Dia...punya
kecantikannya sendiri. Her eyes, her smile, her personality, all of them are
the gateway to her heart. They reflect her soul.
I
want to capture everything about her in some pictures that I will always keep
in my room, my mind...as beautiful memories for the future.
******
JAKARTA,
14 JANUARI 2016.
Nadya
berjalan mendekati kursi Aldo bersama dua murid lainnya. Hari ini, Bu Guru
Biologi menyuruh mereka untuk menanam tumbuhan yang dicangkok dengan polybag. Untuk
melakukan kegiatan itu, mereka harus bekerja secara berkelompok. Anggota dari masing-masing
kelompoknya akan ditentukan oleh guru. Jam pelajaran itu dihabiskan untuk
berdiskusi dengan kelompok masing-masing. Setelah itu, semuanya akan dikerjakan
di rumah.
Jadi,
di sinilah Nadya, untuk pertama kalinya berada di kelompok yang sama dengan
Aldo Gabriel Nugraha.
Nadya
pengin melihat cara Aldo belajar karena Aldo itu pinter banget. Baru kali ini,
ia dapat sekelompok dengan Aldo.
Aldo
memperhatikan Nadya yang mulai menghampiri mejanya dengan mata yang berbinar
indah. Nadya dan dua murid lain mulai duduk di sekitarnya, lalu mereka
berempat mulai berdiskusi. Jika sudah berkelompok seperti ini, Aldo dan Nadya
pasti akan berbicara satu sama lain.
Tibalah
saat di mana mereka menentukan siapa-siapa saja yang membawa alat dan bahan.
Penanaman akan dilakukan di rumah salah satu murid, tetapi itu bukan Aldo dan
bukan pula Nadya. Orang yang menentukan siapa-siapa saja murid yang membawa
alat dan bahan itu adalah Aldo, tetapi Aldo benar-benar bingung harus berbicara
seperti apa kepada Nadya. Lo-gue? Kasar banget. Aku-kamu? Mereka
tidak dekat.
Menghadapi
Nadya pun jadi sesulit ini. Di sisi lain, Nadya juga merasa kagum ketika
melihat Aldo yang bisa memimpin dengan cerdas seperti itu. Kelompok mereka
berdiskusi lebih cepat dari kelompok lainnya. Nadya cuma bisa mengangguk-angguk;
dia menyimak sebaik mungkin.
Bagi
Aldo, ini pertama kalinya dia punya alasan untuk berbicara dengan Nadya.
Belajar. Berkelompok.
Aldo
menatap Nadya yang sedang membaca buku panduan mereka dengan saksama itu, lalu Aldo
bernapas samar dan mulai memanggil Nadya.
"Nadya," panggil
Aldo. Tanpa sadar, Aldo memanggil Nadya dengan lembut. Nadya langsung
menoleh kepada Aldo dengan mata yang melebar; mulutnya sedikit terbuka layaknya
orang yang tak tahu apa-apa. Sebenarnya, Nadya bukan tidak tahu. Dia cuma kaget
mendengar Aldo tiba-tiba memanggilnya.
Aldo
pun tersenyum. Cowok itu lalu melanjutkan, "ntar tugas Nadya bawa polybag, ya."
Mulut
Nadya semakin membulat, membentuk 'o' kecil, lalu Nadya mengangguk dengan cepat.
"Oh, iya, iya. Nanti aku bawa, Aldo."
Aldo
lantas mengangguk dan kembali tersenyum.
So
that's what it sounds like when you say my name, Nad.
Rasa
sayang itu tidak akan ada habisnya, kalau memang dari hati. Seperti air
hujan yang jatuh ke bumi; hujan tak peduli jika bumi tak
menerimanya. Seperti itu juga rasa sayang yang Aldo miliki. []
No comments:
Post a Comment