Bab
2 :
Kita
Pacaran, 'kan?
******
SATU hal
yang Nadya temukan saat cewek itu membuka pintu depan rumahnya pagi ini adalah
sosok Aldo yang sudah ada di depan pagar. Cowok itu duduk di motor
besarnya sembari memeluk helm. Nadya ternganga.
Aldo...ke
rumahnya?
Nadya
masih separuh tak percaya dengan kemunculan sosok Aldo itu. Cewek itu lantas
menutup pintu rumahnya, lalu berjalan pelan-pelan ke pagar. Kerutan di dahinya
tak kunjung menghilang saat ia menatap sosok Aldo.
Nadya
membuka pagar itu dan melangkah ke luar. Saat ia menutup pagar itu kembali dan
berbalik, barulah ia benar-benar yakin bahwa sosok itu adalah Aldo. Aldo
benar-benar datang ke rumahnya pagi ini. Nadya masih berdiri di dekat pagar
saat cewek itu akhirnya berbicara, "Aldo? Kamu...ngapain ke
sini?"
Aldo
tersenyum. Pagi ini, cowok itu memakai jeans jacket; seragam putih
abu-abunya rapi seperti biasa. "Pagi, Nad."
Nadya
mengedipkan matanya berkali-kali. "Iya, pagi juga. Kamu ngapain pagi-pagi..."
Aldo
tersenyum semakin manis. Rambut pendeknya ditata dengan gaya spike dan
Aldo tampak begitu fresh seperti biasa. Cowok itu kemudian menjawab,
"Aku jemput kamu. Kamu pergi sekolah biasanya sama siapa?"
Nadya
melebarkan mata. Sejujurnya ia kaget Aldo pagi ini menjemputnya, terutama ia
tak tahu dari mana Aldo mendapatkan alamatnya. Namun, meski terlanda
kebingungan yang luar biasa, Nadya akhirnya menjawab dengan kikuk,
"Sama...Gita..."
Aldo
mengangguk. "Oh..." Cowok itu mulai memberikan helm
yang ia peluk tadi kepada Nadya, kemudian berbicara lagi sembari menegakkan
motor besarnya. "Gita nggak jemput kamu pagi ini, Nad. Tadi aku minta
alamat kamu dari dia karena aku mau jemput kamu. Jadi, dia nggak bakal datang
jemput kamu pagi ini. Nggak apa-apa, 'kan?"
Nadya
membuka mulutnya membentuk 'o' sembari mengangguk-angguk. Setidaknya…meskipun
Gita dan Nadya sama-sama merupakan orang yang 'punya dunia sendiri' di kelas,
tetapi Gita tak separah Nadya. Setidaknya Gita masih berkontak dengan banyak
anak di kelas meskipun dia sedikit cuek.
Ya
ampun. Apakah Aldo benar-benar serius sore kemarin?
Mereka benar-benar...pacaran?
Tiket
Muse sudah ada di tangan Nadya. Nadya tahu konsekuensinya; dengan
menerima tiket itu berarti ia juga setuju untuk menjadi pacar Aldo. Nadya tidak
bisa mengelak, soalnya Nadya butuh tiket itu. Nadya butuh banget malah.
Nadya sampai mencium-cium tiket itu dan lompat-lompat sambil teriak-teriak di
kamarnya saat tiket itu sudah Aldo berikan padanya.
Jadi,
Nadya itu sekarang pacar Aldo. Pacar dari cowok terganteng di sekolah. Cowok
idaman para murid dan guru. Cowok nyaris sempurna—kalau kata
cewek-cewek di sekolah—yang menjabat sebagai Ketua OSIS di SMA Kusuma Bangsa.
Saat
Nadya memasang helm itu dengan ragu-ragu, Aldo terus menatapnya sembari
tersenyum. Cowok itu dengan setia menunggunya memasang helm itu sampai selesai.
Akan tetapi, setelah selesai memasang helm, Nadya kembali mengernyitkan dahinya
dan bertanya, "Kamu kenapa mau jemput aku?"
Saat
itulah Aldo mulai memasang posisi untuk mengendarai motornya; cowok itu sudah
menghidupkan motornya. Setelah itu, Aldo beralih menatap Nadya dan tersenyum.
"Kita pacaran, 'kan?"
Nadya
lagi-lagi melebarkan mata. Cewek itu hanya bisa menunduk dan meneguk ludahnya.
Pipinya merona. Ia sebenarnya tidak dekat sama sekali dengan Aldo selama ini,
ia juga tidak menyimpan rasa apa pun terhadap Aldo yang populer di sekolah.
Akan tetapi, status mereka saat ini membuat Nadya perlahan-lahan merasakan
perbedaan.
Rupanya, mereka benar-benar berpacaran.
Tidak
mau wajah malunya dilihat oleh Aldo, Nadya lantas berjalan mendekati Aldo dan menaiki
motor cowok itu. Aldo tampak sedikit menoleh ke belakang melalui bahunya.
"Pegangan, ya, Nadya. Nanti kamu jatuh."
Nadya
meneguk ludahnya dan mengangguk pelan. Cewek itu kemudian berpegangan di
pinggang Aldo—hanya memegang jaket cowok itu—lalu berkata,
"Udah."
Aldo
lalu kembali menghadap ke depan. Setelah memastikan bahwa Nadya sudah duduk
dengan nyaman, Aldo pun mengendarai motornya dengan santai. Lagi pula, masih
ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum bel sekolah berbunyi, apalagi jarak
dari rumah Nadya ke sekolah mereka itu tidak terlalu jauh.
Lima
menit pertama diisi dengan keheningan. Nadya tahu bahwa jika suasana hening, ia
akan merasa gugup. Namun, ia sendiri tak tahu harus membicarakan apa dengan
Aldo.
"Em...
Aldo," panggil Nadya, lalu cewek itu melipat bibirnya. Nadya meremas rok
selututnya dan menatap Aldo dari samping lantaran ia duduk menyamping.
"rumah kamu...jauh, ya?"
Kalau
sudah pacaran, mau bicara seperti biasa pun jadi awkward begini.
Nadya mengalihkan pandangannya dan menatap ruko-ruko yang berjajar di pinggir
jalan. Yang paling menarik di matanya adalah café berdinding
kaca yang ada di tengah-tengah. Desain interiornya café itu bisa dilihat
dari luar.
Nadya
mengerjap tatkala Aldo tiba-tiba bersuara, "Rumahku di Menteng. Nggak
terlalu jauh kok."
Nadya
mengangguk-angguk. "Tapi...bukannya kamu harus muter balik kalo
jemput aku?"
Aldo
menoleh sebentar melalui bahu cowok itu, kemudian menjawab, "Nggak
apa-apa, Nadya."
Nadya
hanya bisa bernapas samar. Cewek itu memilih untuk diam karena tak tahu harus
berkata apa.
"Nadya?" panggil
Aldo, suaranya terdengar samar karena tertutupi helm.
Nadya
melebarkan matanya.
"Iya?"
Jeda
sejenak. "Apa aku boleh minta PIN BBM kamu? Aku cuma punya nomor ponsel
kamu, itu pun karena kita pernah ngerjain tugas kelompok bareng," ujar
Aldo. "Boleh aku minta?"
Satu
hal yang masih belum Nadya mengerti sampai sekarang adalah mengapa Aldo
berinisiatif untuk menjadikan Nadya sebagai pacarnya. Nadya juga masih bingung
dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Semuanya terjadi begitu saja
seperti mimpi. Akan tetapi, Nadya belum begitu berani menanyakan apa alasan
Aldo menjadikannya sebagai pacar. Sebenarnya, kalau gara-gara tiket...bukankah
ada syarat lain yang bisa Aldo buat?
"Y—ya...boleh
kok, Aldo. He he."
"Makasih,
ya," ujar Aldo sembari tersenyum, tetapi sayangnya senyuman itu tak tampak
di mata Nadya. "Kalau kamu punya akun Instagram atau apa aja gitu...kasih
tau aku, ya."
Nadya
mengangguk. "Iya. Nanti aku kasih di sekolah," jawab Nadya sembari
tersenyum. "Oh iya, Aldo... Makasih ya buat
tiketnya."
Aldo
menoleh sebentar, kemudian cowok itu kembali melihat ke depan. "Iya,
Nadya... Santai aja."
Nadya
tersenyum semringah.
******
Aldo
memarkirkan motornya di tempat parkir yang ada di dekat halaman sekolah. Banyak
sekali murid yang masih bertengger di parkiran, terutama para
cowok. Ada murid-murid yang sedang memarkirkan motor mereka, lalu ada juga
murid-murid yang telah selesai memarkirkan motor dan mulai berjalan ingin
meninggalkan parkiran.
Namun,
semua pasang mata orang-orang itu kini menatap Aldo yang baru saja memarkirkan
motor dan membuka helmnya. Bukan, bukan pesona Aldo itu
masalahnya. Pesona Aldo itu sudah biasa mereka lihat setiap harinya. Masalahnya
adalah: ada seorang cewek yang dibonceng oleh Aldo. Semua orang tentu menatap
Aldo dengan rasa ingin tahu. Banyak cewek yang berbisik-bisik dan banyak
juga yang terang-terangan mencuil temannya yang lain hanya untuk berkata, 'Eh
liat itu, liat itu!'
Yang
pasti, normalnya, penggemar Aldo itu bejibun di sekolah itu. Akan tetapi, tidak
ada yang terlalu overreacting; seperti membuat fan-club atau
memarahi siapa pun yang dekat dengan Aldo secara terang-terangan. Mereka
mungkin tidak suka, tetapi hanya ditunjukkan dengan cara tersirat.
Nadya
turun dari motor Aldo, membuka helm yang ia pakai, lalu mengembalikan helm itu kepada
Aldo. Aldo menerima helm itu setelah motornya terparkir dengan benar. Setelah
itu, Aldo mengajak Nadya berjalan bersamanya untuk keluar dari area parkir.
Nadya
menoleh ke kanan dan ke kiri begitu cewek itu sadar bahwa nyaris semua pasang
mata kini tengah melihat ke arahnya. Banyak cewek yang senyum-senyum saat melihatnya
berjalan bersama Aldo, tetapi banyak juga yang menatapnya dengan mata yang menyipit
tajam; mereka memberikan tatapan menilai dan iri.
Saat
Aldo dan Nadya sampai di koridor lantai satu, bisik-bisik warga sekolah mulai terdengar
semakin jelas daripada yang sebelumnya. Semua orang dibuat terkejut dan
menebak-nebak sendiri, soalnya Aldo itu jarang kelihatan jalan berdua dengan
cewek. Selain itu, tak semua orang di sekolah itu mengenal Nadya.
Aldo
sedikit menarik tali tas ranselnya yang hanya ia sampirkan di bahu sebelah
kanannya itu; pergerakan Aldo tersebut membuat Nadya menoleh sejenak kepadanya.
Nadya pun menunduk, menarik napas, kemudian menatap Aldo lagi. "Aldo, hari
ini…pelajaran kedua kita itu olahraga, 'kan? Kira-kira
ngapain, ya?"
Aldo
menoleh kepada Nadya dan mata cowok itu sedikit melebar. Sialnya mata Aldo itu
selalu terlihat begitu jernih. "Oh. Kata Pak Bian, hari ini kita main
voli. Kenapa, Nad?"
Nadya
menggeleng. "Ah...nggak ada, Aldo." Aku tadi cuma
ingin mencairkan suasana. "Aku agak lupa aja."
Aldo
tersenyum simpul. "Jangan kebanyakan melamun, Nadya..."
Nadya
menggaruk tengkuknya sembari tertawa pelan.
Wajah
Aldo itu benar-benar seperti orang barat. Western. Bule ganteng
yang tinggal di Indonesia. Wajar, soalnya Aldo adalah keturunan Perancis. Semua
orang di sekolah tahu hal itu.
Mereka
mulai menaiki tangga ke lantai dua, lantai di mana kelas XI IPA 1 berada. Entah
bagaimana Nadya nanti harus bersikap ketika di kelas, soalnya Nadya mulai yakin
bahwa berita ini sudah menyebar ke mana-mana. Ini agak mengerikan, padahal
mereka baru sampai di sekolah beberapa menit yang lalu. Apa Gita juga sudah
diberitahu? Apa Aldo memberitahu Gita soal hubungan mereka saat Aldo meminta
alamat Nadya darinya?
Nadya
meneguk ludah. Tiba-tiba jantungnya jadi berdegup tak keruan.
Saat
mereka berdua masuk ke kelas, seperti biasa kelas itu ribut karena ada PR
Matematika yang akan dikumpulkan di jam pertama. Ada yang berteriak
meminta tip-ex, ada yang mengoper-oper buku contekan, ada juga
yang mengobrol. Akan tetapi, saat mereka semua menyadari bahwa ada yang
baru saja masuk ke kelas, mereka semua kontan menoleh. Mereka mulai terdiam dan
ada yang bersiul pelan tatkala menyadari bahwa itu adalah Aldo dan Nadya.
Nadya
meneguk ludahnya. Wajah Nadya memerah; Nadya terus berjalan di belakang Aldo.
Ada siulan kecil dari samping kiri Nadya dan Nadya refleks menoleh ke asal
suara.
"Ssst,
sstt! Nad, ntar minta pajak jadian yaa!"
kata Tari, kemudian cewek yang duduk di kursi paling depan itu cengengesan
bersama teman-temannya setelah mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda
Nadya.
Nadya
menganga. "Hah? Maksudnya apaan, Tar?" tanya Nadya gelisah.
"Ohohoo? Cieee, selamat
ya, Nad! Diem-diem ternyata lu mengerikan juga ya, Nad," ujar Fara yang
duduk di sebelah Tari. Tanpa tedeng aling-aling, Nadya menggelengkan kepala dan
wajah cewek itu merah padam. Tak lama kemudian, saat Nadya melihat Gita, cewek
itu langsung ngacir untuk duduk di sebelah Gita tanpa
berpamitan dengan Aldo. Nadya dan Gita tentu saja duduk sebangku, duduk di kursi
urutan ketiga dari barisan paling pojok kiri (dekat pintu masuk kelas).
Sementara itu, Aldo duduk di barisan tengah, kursinya ada di urutan ketiga
juga.
Aldo
duduk sebangku dengan Rian. Aldo ber-high five dengan Rian dan juga
dengan Adam—yang duduk di belakang mereka—begitu cowok itu sampai. Nadya
memperhatikan itu semua sebelum akhirnya Nadya membuka tasnya dan menatap Gita.
Betapa
terkejutnya Nadya saat pipinya tiba-tiba ditarik oleh Gita. Gita senyum-senyum,
lalu cewek berkucir kuda itu merangkul Nadya dan berbisik di telinga
Nadya, "Ciee... Ternyata kemaren pas gue ninggalin lo
buat ngambil tas itu, lo ditembak Aldo, ya? Selamat, ya, Nad!"
"Git!" bisik
Nadya jengkel. "Jangan keras-keras, Git! Malu, nih... Aldo, kan, ada
di sini..."
Gita
mengangguk dan terkekeh. "Dia tadi pagi SMS gue, Nad. Katanya dia mau
jemput lo dan dia minta alamat lo dari gue. Terus ya gue kasih... Mungkin dia
nggak mau nanya sama lo karena pengin bikin lo agak kaget gitu," ujar
Gita. Cewek itu terlihat antusias. "Terus dia bilang juga kalo kalian
pacaran. Kasih tau, dong, Nad, gimana ceritanya. Penasaran banget, nih! Udaaah, nggak usah
malu. Dia nggak ngeliat ke sini kok."
Gita
membisikkan kalimat itu sembari sesekali memanjangkan lehernya hanya untuk
memantau Aldo. Cewek itu kemudian menepuk pundak Nadya dengan terburu-buru.
"Cepet cepet! Spill!"
Nadya
menggaruk kepalanya dan meneguk ludah, lalu cewek itu menarik kepala Gita agar
Gita tidak terus memantau Aldo. Takutnya jika terus dipantau seperti itu Aldo
akan sadar bahwa dirinya diperhatikan. Sebagai manusia, kita pasti memiliki
kemampuan untuk ‘merasakan’ ketika ada yang sedang memperhatikan kita.
Nadya
kemudian melipat bibirnya gelisah. "Gue nggak tau, Git. Kemaren sore pas
lo ngambil tas itu, Aldo ngehampirin gue. Dia bilang dia ada di sekolah jam
segitu karena dia mau ngambil jaketnya yang ketinggalan di kelas. Terus ternyata..."
Gita
mengangkat sebelah alisnya, menunggu Nadya melanjutkan kalimatnya.
"...ternyata
dia denger gue ngerengek ke lo kemaren. Dia denger, Git...terus dia bilang dia
punya satu tiket Muse. Dia mau ngasih tiket itu ke gue dan gue jelas mau, Git! Fans mana
yang bakal nolak kalo dapet tiket buat nonton konser idolanya? Huaaa itu
impian gue banget! Tapi ternyata dia bilang ada syaratnya..."
Gita
tiba-tiba menyatukan alis; cewek itu menatap Nadya dengan curiga. "Jangan
bilang kalo syaratnya itu...dia minta lo jadi pacar dia?"
Nadya
hanya bisa mengangguk pelan.
Gita melebarkan matanya.
Cewek itu terdiam selama beberapa detik dan dia hanya bisa melongo.
"Baru kali
ini, Nad," ujar Gita sembari menggelengkan kepalanya; ekspresi
wajahnya benar-benar terlihat blank. "Baru kali ini gue
tau kalo pacaran bisa ngebayar tiket Muse."
Nadya
menganga.
"His!" Nadya
memukul pundak Gita dengan kencang. Gita kontan terkikik geli.
"Ya
udah, gini aja," ujar Gita, perlahan memosisikan dirinya kembali agar bisa
duduk dengan nyaman. "Sebenernya, gue nggak tau apa alasan Aldo ngejadiin
lo sebagai pacarnya, soalnya kalian itu jarang teguran di kelas. Gue aja kaget,
Nad, gue kira selama ini lo nyembunyiin ini dari gue dan
diem-diem sering komunikasi sama Aldo! Tapi ya...kayaknya lo jalanin dulu aja, deh. Bisa
jadi ntar lo tau alasannya. Mungkin aja dia beneran suka sama lo, 'kan?"
Nadya
menganga. "Hah? Mana mungkin kali, Git!"
Gita
mendengkus. Saat Gita baru saja ingin membalas ucapan Nadya dengan nada
jengkelnya, tiba-tiba seseorang dari depan memanggil Gita dan ternyata itu
adalah Tari.
"Git! Pinjem
pena dong! Pena standard ada nggak?" Gita menoleh ke
depan dan matanya membulat karena mendengar teriakan Tari.
"Oh,
ada, bentar!" teriak Gita. Sembari merogoh tasnya, Gita pun menoleh kepada
Nadya yang sedang menatapnya sembari mengernyitkan dahi.
Gita
menghela napas. "Nad, PR Matematika yang Trigonometri itu udah lo kerjain
belum? Gue sisa satu soal lagi yang nggak ngerti. Minta ajarin aja ke Aldo,
Nad. Pasti dia mau tuh kalo pacarnya yang minta."
Mata
Nadya terbelalak. Cewek itu berdecak meski kenyataannya pipinya merona.
"Ampun, Git, udahan kalii! Ntar didenger Aldooo...! Kok lo jahat,
sih?!!"
Gita
hanya cekikikan. "Canda Nad, canda."
Nadya
mendengkus dan mengerucutkan bibirnya kesal. Ia keki sekali kalau diejek
seperti itu ketika Aldo ada di ruangan yang sama. Walaupun sebenarnya Nadya tahu
bahwa Gita mengejeknya seperti itu karena peristiwa berpacarannya Nadya dan
Aldo ini begitu tak terprediksi. Begitu mengejutkan. Begitu aneh.
Nadya
memilih untuk melihat ke depan. Saat tubuhnya telah menghadap lurus ke depan, matanya
tanpa sengaja melihat ke arah Syakila: cewek yang memiliki rambut bergelombang
dan berkucir dua di bawah—cewek paling cantik di kelas
itu—yang ternyata sudah lebih dahulu menatap Nadya. Syakila duduk di depan, di barisan
kedua dari arah pintu kelas. Nadya mengedipkan matanya dua kali dan tersenyum
kikuk pada Syakila. Hari ini Nadya malu bukan main.
Setelah
itu, Syakila tersenyum simpul. Cewek cantik itu lalu berbalik lagi untuk
menghadap ke depan dan tanpa sadar Nadya menahan napasnya.
Nadya
menggigit bibir bawahnya dengan gelisah dan saat itulah Nadya merasa
punggungnya ditepuk. Nadya menoleh kepada Gita dan mengernyitkan dahinya.
"Nad,
Aldo lagi liatin lo, tuh," ujar Gita. []
******
No comments:
Post a Comment