Chapter
1 :
If
Heaven Exists
******
DAHULU
sekali,
Hea pernah bermimpi.
Mimpi
itu Hea dapatkan sekitar sepuluh tahun yang lalu, beberapa tahun sebelum ibunya
meninggal dunia. Hea ingat, malam itu perutnya terasa begitu hangat karena baru
saja memakan semangkuk sup rumput laut buatan ibunya. Sang ibu menemaninya
makan malam, tersenyum kepadanya, dan mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padanya.
Meski
dua laki-laki yang seharusnya ada juga di rumah itu (Ayah dan Kakak) tengah
pergi bersenang-senang, mabuk-mabukan, dan berjudi, Ibu tetap memberikan Hea
senyuman yang tulus, memasakkannya sup hangat, dan menemaninya makan malam.
Rasanya malam itu adalah malam yang paling hangat untuk Hea—di tahun itu—meskipun
ia dan Ibu menghabiskan waktu di dalam rumah yang atapnya bocor, furniturnya
sudah layak untuk dibuang, dan dinding-dindingnya tampak kusam.
Sup
buatan Ibu rasanya enak. Enak sekali.
Saking
enaknya, Hea rasanya ingin menangis. Kedua matanya pedih, seperti ada air mata yang
ingin keluar dari kelopak matanya. Melihat Ibu yang mengambilkannya semangkuk
nasi dengan pakaian yang sudah robek di beberapa bagian serta menghitam karena
terkena alat-alat dapur, Hea sungguh ingin bersujud kepada Tuhan, meminta
kehidupan yang lebih baik untuk Ibu. Namun, jika tidak ada kehidupan yang ‘baik’
di dunia ini, mungkin saja bisa di dunia yang lain. Hea ingin wanita yang
melahirkannya itu merasakan kebahagiaan yang tiada tara setelah semua yang ia
hadapi di dunia ini.
Malam
itu berakhir dengan Hea yang berbaring di kasur dengan perut yang hangat dan
wajah yang tersenyum bahagia. Ibu baru saja mematikan lampu kamarnya dan keluar
dari kamar itu setelah menyelimuti tubuh Hea dan mengucapkan selamat malam.
Singkatnya,
malam itu Hea bermimpi. Mimpinya sederhana: di dalam mimpi itu, Hea tengah
berlari di sebuah padang rumput yang amat luas. Padang rumput itu dipenuhi
dengan lalang, tetapi tidak terlalu tinggi. Cuaca di dalam mimpi itu tidak
panas dan tidak pula hujan. Cuacanya mendung, berangin, dan awannya mulai
menghitam; suasananya terasa sangat sejuk. Rambut Hea yang sepunggung itu dibiarkan
terurai; Hea berlari menikmati angin seraya merentangkan kedua tangannya agar
bisa menyentuh alang-alang tersebut seraya berlari. Kepalanya mendongak dan ia langsung
memandangi langit mendung itu, menikmati cuaca tersebut sepuas-puasnya sebab
itu adalah cuaca favoritnya.
Tatkala
Hea berlari, gaun putih selutut yang ia kenakan tampak begitu indah tatkala
tertiup angin. Tubuhnya terasa begitu ringan seolah tak ada beban apa
pun yang ia pikul di punggung ataupun di otaknya. Ia juga merasa seperti sedang
berada di taman surga, tanpa dosa dan tanpa keburukan apa-apa. Hea menikmati
anginnya, pemandangannya, dan langitnya; hatinya begitu bahagia hingga senyuman
pun tanpa sadar terbit di wajahnya. Ia menghela napas lega, tertawa,
berputar-putar...lalu berhenti dan mulai memejamkan matanya. Menikmati angin
sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.
Andai
mimpi itu berlangsung selamanya…
Setetes
air mata jatuh melalui ujung kedua mata Hea. Untuk sejenak, tatkala mengingat
mimpi itu, jantung Hea serasa ditohok oleh benda tajam. Untuk apa
Hea mengingatnya, mimpi sederhana itu, sesaat sebelum kematiannya seperti ini?
Setelah
mengeluarkan satu tetes air mata itu, tatapan mata Hea kembali terlihat kosong.
Hampa. Persis seperti mata ikan yang sudah mati. Namun, anehnya…meski
Hea sudah berbaring telentang di dalam kamar yang gelap itu dengan tangan yang
berdarah-darah, Hea masih bernapas.
Kepala
Hea bergerak perlahan. Terkesan sedikit enggan. Namun, dia pelan-pelan tetap
memutuskan untuk melihat ke bagian kanan tubuhnya. Tempat tangan kanannya
tergeletak.
Dengan
pandangan mata yang sudah sedikit mengabur dan kepala yang pusing akibat
kurangnya asupan nutrisi, Hea pun mengangkat tangan kanannya dan di sana ia
melihat luka-luka goresan yang selalu ia buat lagi dan lagi setiap harinya.
Namun, sekarang agaknya goresan kecil sudah tak mempan lagi. Hea mendengar
bisikan untuk merobek lebih besar. Lebih kuat. Di bagian bawah
pergelangan tangan.
Hea
tak tahu dia berhasil atau tidak. Ia sudah merobek kulitnya hingga lebih besar
dan lebih dalam.
Kepalanya
terasa jadi sedikit lebih ringan. Untuk sementara waktu, dia seperti tidak
memiliki beban.
Hea
meletakkan tangannya kembali ke samping tubuhnya. Ia pun melihat ke arah
jendela kamarnya yang gordennya terbuka sebagian. Cahaya matahari menembus
masuk melalui jendela itu dan sukses menyilaukan mata Hea.
Ah,
matahari selalu punya cara untuk tetap menyinari hari seluruh manusia. Walau
kau adalah manusia tersinting di dunia ini pun, matahari selalu punya cara
untuk menemukanmu. Cahayanya masuk dari mana saja, mengintip dan merayap dari
mana saja, meskipun hatimu sudah berwarna hitam kelam. Sudah lama mati.
Tergeletak
di sana selama beberapa detik (dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat pasi),
Hea pun mulai berpikir. Apakah ia akan segera menyusul Ibu?
Namun,
ternyata lamunannya hanya dibiarkan berlangsung sesingkat itu. Dia baru saja merasa
agak senang dan lega tatkala menyadari bahwa sebentar lagi dia bisa bertemu dengan
Ibu, tetapi ternyata dunia memang enggan mengizinkannya untuk beristirahat dari
kegilaan walau hanya sejenak. Dalam keadaan sekarat seperti itu pun, dia masih dicekoki
dengan kenyataan yang penuh dengan penyimpangan. Dia masih dipaksa untuk
menghadapi keabnormalan. Perilaku-perilaku sinting. Itu semua ternyata masih meneror
Hea di akhir-akhir hidupnya sebab tiba-tiba Hea mendengar pintu kamarnya
terbuka.
Mendengar
itu, secara perlahan—dengan sisa-sisa kekuatannya—Hea pun menoleh ke kiri. Ke
arah pintu kamarnya.
Di
sana terlihat kakak laki-lakinya, Daejung, tengah melihat ke arahnya seraya
menyeringai. Kedua tangan pemuda itu bertumpu di kosen pintu dan meski tubuh
Hea sudah terlalu lemah untuk bergerak, hidungnya masih bisa mencium aroma
alkohol yang menguar kuat dari tubuh Daejung.
Ah.
Haha. Ternyata Hea akan mati dalam keadaan menyimpan sperma kakak
kandungnya. Hea kira, setidaknya di hari kematiannya dia akan bersih dari
sperma kakak atau ayahnya yang menjijikkan itu. Amat menjijikkan hingga
Hea tetap merasa kotor meskipun ia sudah menggosok seluruh tubuhnya—seraya
menangis karena putus asa—sampai kulit arinya terkelupas. Menangis hingga
dadanya terasa sesak dan sakit. Menangis hingga ia sulit bernapas. Hingga
tubuhnya bergetar.
Kotor.
Kotor.
Tetap
kotor.
Masih
kotor.
Namun,
hari ini Hea sudah tidak bereaksi apa-apa. Dia benar-benar seperti cangkang kosong.
Matanya memberikan Daejung tatapan kosong. Mati. Hampa. Wajahnya tak
berekspresi. Dia terlihat hanya menatap Daejung…atau mungkin tidak
menatap pemuda itu sama sekali. Tubuhnya tak bergerak barang satu inci pun. Dia
bagaikan sebuah patung atau boneka yang tatapan matanya kosong.
Benar.
Berteriak, berekspresi, atau apa pun itu…semuanya sudah tidak ada gunanya lagi.
“Memang
pas sekali untuk tempat pembuangan,” ujar Daejung, lalu pemuda itu
tertawa kencang. Ia menjilat bibirnya dan menyeringai, lalu ia langsung masuk
ke kamar Hea dengan langkah yang tak sabaran. Ia bertingkah seolah nafsu
binatangnya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Wajahnya yang dipenuhi dengan seringai
itu membuat Hea kembali ingat alasan mengapa Hea menganggap mimpi simpel
beberapa tahun yang lalu itu adalah mimpi yang indah.
Itu
karena hidupnya terasa seperti mimpi buruk. Semuanya mengerikan. Menjijikkan. Realita
yang sinting itu terbawa hingga ke alam mimpinya dan sukses membuatnya
muntah-muntah setiap kali ia baru bangun tidur.
Dia
selalu bermimpi tentang munculnya wajah ayah dan kakaknya yang menatapnya dengan
penuh seringai dan penuh nafsu; di mimpi itu mereka tengah menyetubuhinya dengan
membabi buta seperti alat. Seperti tempat sampah. Ia selalu bermimpi seperti
itu karena ia memang selalu mengalaminya di dunia nyata.
“Daripada
keluar uang untuk menyewa pelacur, ini jauh lebih praktis. Ya, ‘kan?” ujar
Daejung lagi, ia telah memosisikan dirinya di dekat tubuh Hea, menarik sebelah
kaki gadis itu agar mengangkanginya. Dia lalu mengoyak rok serta celana
dalam Hea. Daejung membuka ritsleting celana jeans kotornya yang berwarna hitam
itu dengan cepat; bau alkohol bercampur bau dari tubuhnya menguar dan semuanya
tercium oleh Hea. Mengobok-obok isi perut Hea yang sesungguhnya sudah dibiarkan
kosong selama dua hari. Namun, meski berada di dalam situasi yang buruk seperti
itu, Hea masih terlihat seperti mayat. Dia tidak merespons apa-apa…layaknya
boneka atau onggokan daging semata.
“Dasar
tolol,” umpat Daejung. Pemuda yang sesat akal itu langsung melantakkan
kemaluannya ke kemaluan milik adik kandungnya sendiri. Napasnya terdengar
seperti napas anjing. “Setidaknya dengan menjadi tempat pembuangan sperma, kau
akan berguna. Sial, kau lacur sialan. Nikmat sekali. Harusnya kau jadi pelacur
saja. Nanti kesinikan uangnya untukku bermain judi.”
Namun,
selama Daejung melakukan itu padanya, selama Daejung memerkosanya, Hea
hanya diam. Mulutnya bungkam sepenuhnya. Dia tidak bereaksi apa-apa. Boneka
seks mungkin akan terlihat lebih berwarna daripada dirinya. Hea menerima
perlakuan itu dengan pikiran kosong. Matanya tidak berkedip; matanya terbuka
lebar, tetapi hampa. Tidak ada cahaya di sana. Tidak ada tanda kehidupan.
Tubuhnya terdorong berkali-kali dengan kencang karena kegiatan sinting itu, bajunya
robek-robek, dan tangannya berdarah-darah.
Namun,
tidak, dia belum mati.
Napasnya
belum juga berhenti.
Hingga
ketika sperma menjijikkan itu menyembur ke dalam vaginanya dari persetubuhan
inses tersebut, Daejung tertawa puas dan memukul kepala Hea dengan kencang. Dia
meritsleting celananya kembali seraya menghina Hea, yang sebetulnya suaranya
hanya terdengar seperti gemuruh di telinga Hea. Bagaikan mendengar suara orang
dari dalam air. Hea tidak berfungsi dengan benar lagi.
Setelah
itu, Daejung meninggalkan Hea di sana begitu saja. Hea terbaring kaku dengan
kaki yang mengangkang; wajah, rambut, tangan, serta pakaiannya…semuanya kacau.
Pahanya dipenuhi dengan sperma. Selain itu, ternyata ada bagian bajunya yang
terkena darah dari tangannya.
Meskipun
begitu, tatapan mata gadis itu tetap terlihat kosong. Ia masih menunggu
kapan napasnya terhenti.
Meski
pikiran serta mentalnya telah porak-poranda, ada sebuah permohonan yang lewat
di benak Hea. Satu permohonan terakhir, yang mungkin terlintas di
detik-detik terakhir juga, sebelum otaknya malfungsi.
Permohonan
itu sungguh sederhana. Demikian bunyinya:
Tuhan,
jika
Engkau ada,
jika
surga itu nyata adanya,
maka
tolong pertemukan aku dengan Ibu di sana
hari
ini. []
******
Note: You can read the non-fanfiction version of this story on GoodNovel or any app that connected to HopWriter.
No comments:
Post a Comment