Chapter
2 :
The
Hell Inside My Head
******
HEA
mendorong
pisau yang ia gunakan untuk menggores bagian pergelangan tangannya itu ke
bawah, bergerak untuk menciptakan sobekan yang lebih lebar. Tatkala darah dari
pergelangan tangannya itu benar-benar memuncrat dalam jumlah yang besar,
menciptakan pendarahan yang masif, tepat saat itu jugalah Hea terbaring di lantai
kamarnya. Ia berbaring menyamping. Tangan kurus Hea tergeletak di depan
kepalanya dan ia bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana darah terus mengucur
keluar dari pergelangan tangannya.
Mata
Hea telah kehilangan binarnya sepenuhnya. Kelopak matanya sudah setengah
tertutup. Penglihatannya mulai kabur. Berbayang-bayang. Sementara itu, darah
terus mengucur dari pergelangan tangannya. Tubuh Hea terdiam kaku dan tak
berdaya; ia tak memiliki tenaga untuk bergerak lagi.
Sebentar
lagi.
Sedikit
lagi.
Beberapa
saat lagi, aku akan menyusul Ibu.
Kedua
mata Hea hampir saja tertutup tatkala samar-samar Hea mendengar ketukan di
jendelanya. Ketukan itu agaknya…bukan hanya sekali. Akan tetapi, bisa jadi itu
hanyalah halusinasi Hea belaka sebab telinga gadis itu saat ini terasa
berdengung. Ia sudah tak percaya lagi pada pendengarannya. Semua suara sudah
tak bisa ia dengar dengan normal. Matanya tak mampu melihat segala sesuatu
dengan jelas, telinganya pun tak mampu mendengar segala suara dengan jelas.
Semuanya kabur. Berdengung. Ganda. Mengalami distorsi. Entah mana yang benar.
Ketukan
di jendelanya itu terdengar semakin keras, tetapi tubuh Hea sudah tak kuasa
untuk merespons apa pun yang ada di balik jendela itu. Hea tetap berada di
posisinya, kedua matanya kembali memaksa untuk terkatup sepenuhnya tatkala
tiba-tiba ada sebuah teriakan yang masuk ke telinganya. Teriakan itu terdengar lebih
kencang daripada suara-suara lain di telinganya.
“HEA!!!”
Sesaat
setelah teriakan itu terdengar, Hea benar-benar tak tahu lagi apa yang terjadi
pada dirinya. Hal terakhir yang Hea ingat adalah: ia merasa bahwa ada seseorang
yang menarik bahunya ke samping, membuatnya berbaring telentang dengan gerakan
cepat. Dari pandangan mata Hea yang kabur dan berayun-ayun itu, Hea
melihat orang itu terus mengguncang-guncang tubuh Hea, menarik tangan Hea yang
mengucurkan darah, dan tampaknya ia terus meneriakkan nama Hea meskipun
suaranya tak bisa Hea dengar dengan jelas. Wajah orang itu berbayang-bayang di
pandangan mata Hea; teriakan orang itu juga mulai terdengar menjauh, tetapi Hea
bisa melihat kedua mata orang itu yang agaknya terbuka lebar. Orang itu
terlihat panik dan kalut.
Namun,
Hea sepertinya kenal siapa orang itu.
Orang
itu adalah Park Jimin.
Ah…apa
pemuda itu tadi melompat masuk ke kamar Hea melalui jendela? Jadi, dialah orang
yang mengetuk jendela kamar Hea tadi.
Oh,
ya… Jendela kamar Hea tidak terkunci.
Hea
tak lagi terpikir untuk melakukan apa pun, termasuk mengunci jendela kamarnya. Tak
ada satu pun benda yang Hea sentuh, kecuali pisau. Gadis itu hanya ingin
mati.
Suara
teriakan Jimin mulai menghilang perlahan di telinga Hea. Saat Hea merasa bahwa
tubuhnya mulai diangkat ke atas, kesadaran Hea pun semakin menipis.
Setelah
itu, semuanya menjadi gelap.
******
Kedua
kelopak mata Hea pelan-pelan bergerak. Kelopak mata itu bergetar, lalu mulai
terbuka perlahan…hingga akhirnya terbuka sepenuhnya.
Ketika
kedua matanya sudah terbuka, Hea pun mengerjap. Satu kali. Dua kali. Sinar
matahari seakan langsung memelesat masuk ke matanya dan Hea kontan mengernyitkan
dahi.
Tunggu.
Mengapa…ada
cahaya matahari?
Bukankah…seharusnya
Hea sudah berhenti berurusan dengan dunia? Dunia ini termasuk bumi, bulan, bintang,
dan matahari, bukan?
Namun,
Hea masih bernapas. Sinar matahari pun masih datang untuk menyinarinya
sekaligus mengganggunya.
Hea
lantas kembali membuka kedua matanya dengan sempurna. Setelah itu, ada bau yang
mulai masuk ke hidungnya. Bau obat-obatan.
Tunggu
sebentar. Jika dipikir-pikir lagi, tubuh Hea kini agaknya berbaring di atas
sebuah ranjang. Hea bisa berpikir seperti itu sebab tempat ia berbaring saat
ini terasa lebih lembut daripada lantai kamarnya yang dingin. Ruangannya
juga jauh lebih terang dan lebih hangat daripada kamar Hea yang suasananya terasa
mencekam. Tubuh Hea, yang tadinya hampir kehilangan kemampuan untuk merasakan
sesuatu, kini kembali mampu merasakan hangatnya sinar matahari. Mampu
merasakan lembutnya ranjang tempatnya berbaring. Mampu merasakan bahwa tubuhnya
sekarang sedang memakai selimut. Hidungnya pun mampu mencium aroma ruangan
rumah sakit.
Sebentar.
Rumah sakit?
Kontan
saja Hea terperanjat. Ia terduduk di ranjang tempatnya berbaring itu
dengan kedua mata yang membulat penuh. Napasnya tertahan; jantungnya seakan
berhenti berdegup.
Ini
di mana?!
Tepat
ketika Hea sudah terduduk sepenuhnya, gadis itu lantas melihat ada sesosok
pemuda yang juga sedang duduk di hadapannya. Siku pemuda itu bertumpu pada
ranjang Hea. Pemuda itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Akan
tetapi, mungkin karena merasakan pergerakan dari Hea, pemuda itu langsung
membuka wajahnya. Ia spontan menatap Hea; matanya melebar sempurna, lalu
ia berdiri dan langsung mendekati Hea dengan ekspresi wajah paniknya. Ia
langsung mendekati Hea secepat kilat.
“HEA!!”
teriaknya.
Ia langsung memegang kedua bahu Hea dengan sangat erat. Sangat kencang. Kedua
matanya tampak memerah. “Hea, oh Tuhan, apakah kau baik-baik saja?!!”
Hea
mendongak perlahan. Memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya sangat khawatir.
Sangat gentar.
Ekspresi
wajah Hea blank. Gadis itu masih kelihatan minim ekspresi. Ia tampak begitu
lelah dan pucat meskipun masih bernapas.
Hea
bungkam.
Ah,
rupanya Hea telah diselamatkan dari kematian.
Kelopak
mata Hea sedikit turun. Ia memperhatikan wajah pemuda itu dengan sendu selama
beberapa detik.
Setelah
beberapa detik berlalu, akhirnya suara Hea pun mulai terdengar.
“Ji…min...”
“Hmm,”
deham Jimin begitu Hea memanggil namanya. Pemuda itu langsung memegang wajah
Hea dengan kedua tangannya yang agak bergetar, lalu mendekatkan wajahnya ke
wajah Hea. Dia menempelkan kening mereka berdua. Jimin lantas memejamkan kedua
matanya kuat-kuat, alisnya menyatu, dan dahinya berkerut. Napasnya terdengar
memburu. “Syukurlah. Syukurlah. Oh, Tuhan. Syukurlah. Kau masih hidup.”
Setelah
mengatakan itu, Jimin langsung melepaskan wajah Hea dan memeluk tubuh gadis itu
dengan erat. Pelukannya terasa begitu hangat, begitu menenangkan, tetapi
di sisi lain, ada sebuah getaran pada pelukan itu. Getaran yang berasal
dari tubuh Jimin; getaran yang bersumber dari rasa takut. Hea dapat merasakan jantung
Jimin yang berdegup dengan sangat kencang.
“Aku
takut aku tak sempat.” Jimin semakin mengeratkan pelukannya. Ia membenamkan
kepalanya di ceruk leher Hea. “Aku takut aku terlambat. Aku kira aku
takkan bisa melihatmu lagi.”
Tangan
Jimin yang sedang memeluk Hea—dan ada di punggung Hea—itu terasa semakin bergetar.
Sebuah isakan lolos dari bibir Jimin, lalu pemuda itu mulai melepaskan pelukannya.
Ia kembali memegang wajah Hea dengan kedua tangannya; matanya tampak memerah
dan berkaca-kaca. Ia menatap Hea dengan tatapan yang menerawang. Mencoba untuk
mencari jawaban dari kedua mata Hea yang telah kehilangan cahayanya.
Tiga
detik setelah itu, Jimin akhirnya berbicara, “Mengapa, Hea? Mengapa kau
memutuskan untuk pergi secepat ini?”
Hea
bungkam. Gadis itu tertunduk.
Hea
sesungguhnya tak punya kewajiban untuk memberitahukan segalanya, baik itu
tanggal kematiannya, rencana bunuh dirinya, maupun alasan bunuh dirinya kepada
Park Jimin. Kalau ditelaah lagi, sebenarnya Park Jimin bukanlah siapa-siapa di
dalam kehidupannya. Pemuda itu bukan kerabatnya, bukan kekasihnya, dan juga bukan
temannya. Dia bahkan bukan tetangganya.
Park
Jimin hanyalah seorang pemuda yang Hea temui dua bulan yang lalu, tepat sebelum
Hea berhenti bekerja di sebuah restoran yang ada di kota kecil itu. Kota kecil,
slow city minim penghuni yang ada di Korea Selatan. Kota kecil tempat
mereka tinggal.
Hari
itu, dua bulan yang lalu, Hea bertemu dengan Jimin beserta kedua temannya yang
masuk ke restoran tempat Hea bekerja. Pemuda itu beradu tatap dengan Hea yang sedang
berdiri di balik meja kasir…dan tatapan itu berlangsung selama beberapa detik. Lamanya
tatapan mata itu terasa bagai menemukan sesuatu yang serupa dengan diri
sendiri. Bagai melihat sesuatu yang familier, sesuatu yang juga ada di
dalam diri…
….yaitu
keputusasaan.
Pandangan
mata mereka terkunci; ada sesuatu yang terasa ‘klik’ di benak mereka. Setelah
itu, satu pikiran terlintas di dalam kepala mereka.
Orang
ini memancarkan getaran yang sama.
Mungkin
atas dasar itulah Jimin berinisiatif untuk mengajak Hea berbicara tatkala
membayar tagihan restoran. Saat sudah mengobrol sejenak, akhirnya Hea tahu
bahwa Jimin tinggal tidak jauh dari rumahnya, tetapi juga tidak terlalu dekat
seperti tetangga.
Pemuda
itu tampan, tetapi ternyata di balik wajah tampan itu ia menyimpan banyak luka.
Wajahnya menawan, senyumnya sangat manis, tetapi hatinya memiliki bercak-bercak
hitam di beberapa titiknya. Otak dan mentalnya juga tidak sehat, tidak normal, sama
seperti Hea. Mereka mengenali perasaan itu dan hal tersebut sukses menarik
mereka berdua bagaikan magnet.
Setelah
pertemuan singkat itu, sesekali Jimin akan datang ke rumah Hea. Pemuda itu akan
mengetuk jendela kamar Hea dan mengajak gadis itu keluar. Hea jadi bisa kabur
sebentar dari penderitaan yang seakan merangkak ke seluruh sudut rumahnya.
Setelah itu, dengan menggunakan mobilnya, Jimin akan membawa Hea ke sebuah
lapangan luas—bekas lapangan sepak bola—yang ditumbuhi dengan tanaman
alang-alang di beberapa sudutnya.
Di
sana mereka berdua akan berdiri berdampingan, memandangi langit di lapangan
luas yang penuh dengan tanaman alang-alang itu, lalu menghabiskan waktu mereka hanya
untuk bercerita dan berbagi. Dengan melakukan itu, untuk sesaat mereka dapat
bernapas dengan nyaman. Mereka dapat melepaskan rasa sakit meski hanya sekejap
mata.
Dengan
hubungan yang sulit dijelaskan begitu, jelas Hea tak memiliki kewajiban untuk
memberitahu Jimin soal kematiannya.
Akan
tetapi, mengapa…hati kecil Hea tidak berkata demikian? Mengapa Hea justru tertunduk
dan tak mampu menyalahkan apa yang Jimin katakan?
Jimin
menghela napas, pemuda itu lantas menggeleng dan langsung berbalik. Ia berjalan
untuk menghampiri kursinya tadi, lalu menyeret kursi itu agar lebih dekat
dengan Hea. Setelah duduk kembali di kursi itu, Jimin langsung menatap Hea
kembali dan kedua tangannya langsung memegang tangan kiri Hea. Ia menggenggam
jemari tangan Hea dengan erat, lalu mengelus punggung tangan gadis itu dengan lembut.
Kedua
matanya yang memerah itu kini menatap Hea dengan penuh tanda tanya. “Hea.
Bukankah kau bilang padaku bahwa kau akan bertahan, setidaknya sedikit lebih
lama lagi?”
Hea
masih tertunduk. Masih diam seribu bahasa.
Jimin
meneguk ludahnya dengan sulit. Terasa berat dan pahit; ludahnya seakan tersekat
di tenggorokan. Jimin lalu menghela napasnya dan menggeleng. “Kalau aku tidak
datang ke rumahmu hari ini dan masuk melalui jendelamu, niscaya kau akan pergi,
Hea. Kau akan—”
Jimin
melipat bibirnya, tak sanggup melanjutkan perkataannya sendiri. Pemuda itu
tertunduk dan kembali meneguk ludahnya dengan sulit. Napasnya memburu; tanpa
sadar ia mengeraskan rahangnya. Isi kepalanya mendadak jadi kalut akibat
memikirkan banyak sekali kemungkinan terburuk.
Akhirnya,
Jimin kembali menghela napas. Pemuda itu pun mengangkat kepalanya kembali dan ia
menatap Hea dalam-dalam. Tatapan matanya terlihat sendu.
Ia
tak berharap Hea langsung mau meresponsnya. Ia sudah cukup bersyukur dapat
menyelamatkan Hea sebelum terlambat.
Jimin
lalu berbicara lagi.
“Saat
ini kau sudah ada di ruang rawat inap, Hea. Kau sudah dipindahkan dari IGD. Dua
keparat itu sedang tidak ada di rumah saat aku menemukanmu. Jadi, aku
menggendongmu keluar melalui pintu depan dan langsung membawamu ke rumah sakit,”
ujar Jimin. Penjelasannya itu sukses membuat Hea jadi sedikit melebarkan mata.
Jimin telah menjawab seluruh pertanyaan yang bergumul di benak Hea sejak tadi.
Hea
lantas mengangkat tangan kirinya. Tangan yang tadinya sudah ia gores dan robek
dengan menggunakan pisau. Tangan yang tadinya terus mengucurkan darah.
Sekarang
sobekan di tangan Hea itu sudah dijahit.
Luka-luka
Hea yang ada di lengannya itu juga telah diperban. Semua luka itu ditutupi
perban.
Andai
luka hati juga bisa diobati seperti ini.
Andai
saja obatnya bisa dicari.
Kedua
mata Hea menatap pergelangan tangan kirinya itu dengan sedih. Sedih, kecewa, sakit…
Mata
Hea berkedip beberapa kali. Kini matanya mulai berkaca-kaca.
Bu,
hari ini aku belum jadi ke sana.
Tunggu
aku, ya, Bu.
Air
mata Hea pun akhirnya jatuh. Gadis itu merasa bahwa ada sesuatu yang menohok
jantungnya dengan sangat kuat. Rasa sakitnya itu ternyata sudah
mengantarkannya hingga ke tahap terakhir, yaitu membunuh dirinya
sendiri. Ia hampir mati. Ia seharusnya sudah mati.
Akan
tetapi, Jimin menyelamatkannya.
Tangan
kanan Jimin terangkat ke atas, lalu pemuda itu menggerakkan jempolnya untuk
menghapus air mata Hea. Tatkala Jimin tengah menghapus air mata Hea, gadis itu
pun perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Ia menatap langsung ke kedua
bola mata Jimin yang terlihat begitu jernih di bawah sinar matahari. Bola mata
cokelat gelap milik pemuda itu tengah menatap Hea dengan iba. Penuh pengertian.
Ia seakan bisa merasakan sakit yang Hea rasakan sebab ia dan Hea sejak awal memiliki
kerusakan mental yang sama.
Saat
Jimin menjauhkan tangannya dan menggenggam jemari Hea kembali, Hea pun mulai
duduk bersandar. Tubuh Hea refleks mencari sandaran karena di luar dari semua
yang telah Jimin lakukan, tubuhnya masih tak berdaya. Ia masih kehilangan semua
harapan untuk hidup.
Hea
menatap Jimin dengan mata lelahnya; wajahnya tak memiliki ekspresi. Bagaikan
air yang tak beriak, bagaikan manusia yang telah direnggut seluruh jiwanya.
“Apa
suara bisikan di dalam kepalamu itu semakin mengganggu?” tanya Jimin. Jimin
menyatukan alisnya, ia benar-benar ingin tahu. “Apakah suara itu semakin
terdengar menuntutmu?”
Hea
mendengar seluruh pertanyaan Jimin. Namun, tak disangka-sangka…tiba-tiba Hea tersenyum
miring. Gadis itu tersenyum, tetapi yang bergerak hanya bibirnya.
Ekspresinya masih sama. Tatapan dari kedua matanya masih sama. Akan tetapi, dia
tersenyum.
Jika
orang yang ada di hadapan Hea sekarang bukanlah Park Jimin, maka orang itu
pasti akan bergidik. Jimin sedikit melebarkan matanya, kemudian pemuda itu
melihat Hea yang mulai mengarahkan tatapannya ke depan. Benar-benar ke
depan, bukan ke arah Jimin. Hea menatap lurus dari posisinya saat
ini, yaitu tepat ke arah pintu masuk ruang rawat inapnya.
Senyuman
Hea kini berubah menjadi senyuman tipis. Senyumannya itu sangat tipis,
tetapi masih kentara. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Wajahnya juga tidak memiliki
rona.
“Hea…”
panggil
Jimin pelan. Ia menunggu jawaban Hea.
Diam
selama tiga detik…hingga akhirnya Hea pun mulai merespons Jimin.
Akan
tetapi, gadis itu sama sekali tak menoleh ke arah Jimin. Ia masih memandang
lurus ke depan.
“Jimin.”
Hea bernapas samar. Senyuman tipis itu
masih setia menghiasi wajah pucatnya, tetapi itu bukanlah jenis senyuman yang
mengajakmu untuk ikut tersenyum. Senyuman itu justru merupakan jenis senyuman
yang akan membuatmu jadi kasihan dan menangis. Senyuman itu terlihat menyakitkan.
Pedih.
Jimin
mengangguk. “Iya, Hea. Katakan padaku.”
“Jimin…”
panggil Hea lagi. Ia berucap perlahan-lahan…dengan suara yang lirih. “meskipun
bisikan itu telah mengganggu atau menuntutku, aku yakin bahwa kali ini…bukan
bisikan itu yang membuatku ingin mengakhiri hidupku. Aku sendirilah yang
ingin mati.”
Mendengar
itu, Jimin pun tertunduk. Rahangnya mengeras. Dahinya berkerut. Matanya kembali
memerah, lalu mata itu mengerjap sebanyak dua kali. Ia tengah menahan
getir. Ia terlihat frustrasi karena sialnya…ia tahu apa yang Hea maksud.
Ia paham seutuhnya.
Setelah
itu, tanpa menunggu respons darinya, Hea pun kembali berbicara. Masih tanpa
semangat. Tanpa harapan. Tanpa motivasi.
“Aku
memerangi isi kepalaku setiap saat, Jimin,” ujar Hea. Gadis itu meneguk
ludahnya dengan susah payah. Ia seakan tengah menelan seluruh kepahitan di
dalam hidupnya. “tetapi aku akhirnya sadar bahwa isi kepalaku tidak akan kacau
apabila kehidupanku sedikit lebih baik. Kekacauan di dalam kepalaku
tidak akan ada apabila aku sedikit lebih baik.”
Jimin
kembali menatap Hea.
Hea
lalu melanjutkan, “Aku sudah menyimpan terlalu banyak hal di dalam kepalaku dan
akhirnya aku kehilangan kewarasanku sendiri.”
“Hea,”
panggil Jimin pada akhirnya. “Tidakkah kau sadar bahwa kau dan aku memiliki satu
sama lain? Sejak awal, seharusnya kau membiarkanku membantumu. Seharusnya kau
biarkan aku—”
“Katakan padaku,
Jimin,” potong Hea. Perlahan-lahan…akhirnya gadis itu menoleh kepada Jimin. Mata
mereka pun bertemu. Di antara cahaya matahari yang masuk melalui jendela
ruangan rawat inap itu, mereka tampak fokus kepada satu sama lain.
Tatapan
itu penuh dengan rasa sakit. Rasa sakit yang bercampur dengan iba serta
afeksi.
“Katakan
padaku,” lanjut Hea lagi. Namun, kali ini gadis itu pelan-pelan mulai
memiringkan kepalanya ke sisi.
Hea…tersenyum
lagi pada Jimin. Namun, kedua mata gadis itu berkaca-kaca. Ada air mata yang
menggenang di pelupuk matanya.
“Ketika
aku membuka mataku untuk melihat dunia yang kita tinggali ini, neraka
yang ada di dalam kepalaku terasa semakin menjadi-jadi, Jimin. Aku
selalu berpikir bahwa mungkin saja…jika aku berhenti melihat dunia, maka
neraka di kepalaku akan hilang,” ujar Hea. Dia menggeleng pelan, matanya
melebar tak habis pikir, tetapi senyumnya masih ada. Ia agaknya betul-betul
sudah kehilangan segalanya, termasuk sebagian besar kewarasannya. “Jadi, tolong
katakan padaku, Jimin… Mengapa tatkala aku hampir saja mencicipi kematian,
hatiku berkata padaku bahwa setelah aku mati nanti…aku tetap takkan melihat
surga?” []
******
No comments:
Post a Comment