******
Chapter 3 :
Club
******
Violette:
HAHA. Dia bisa sakit juga? Memikirkannya
saja rasanya aku ingin tertawa. Ah...dia manusia juga, ya? Aku baru ingat. Demi
apa pun, memikirkannya meminum obat, tergeletak di kasur sambil berselimut, dan
apa pun itu yang berkaitan dengan orang sakit, itu semua membuatku ingin
tertawa. Ini akan menjadi bahan ejekan yang bagus untuknya.
Setelah diberitahu soal itu, aku jadi
tersenyum geli sendiri.
"Violette?" panggil
manajer personalia itu lagi. Aku terperanjat.
Bloody hell! Mengapa aku jadi senyum-senyum sendiri
di sini? Sial!
"H—Hah? O—Okay, sir. Terima
kasih atas pemberitahuan Anda. Saya permisi ke luar."
Manajer itu mengangguk padaku dan
aku membungkuk sedikit, berpamitan padanya. Setelah itu, aku berjalan ke luar
dan menutup pintu.
Ketika aku sudah berada di balik
pintu, aku mulai menahan tawa. Aku berjalan menjauh sebentar, lalu ketika aku
sudah jauh dari jajaran ruang manajer, aku tertawa sepuasnya. Akhirnya! Tuhan
membalaskan dendamku kepada pria kejam itu. Argh! Sial, aku malah sakit perut
karena terus tertawa.
Setelah aku puas tertawa, akhirnya
aku sampai di dekat lift dan langsung memasukinya, memilih untuk pergi ke
lantai dua, ke divisi marketing. Aku ingin berbicara pada
Megan, menghabiskan waktu bersama Megan dengan bebas pasti akan menyenangkan.
Ketika aku sampai di divisi marketing, seperti
biasa semua orang mulai memberikan tatapan aneh padaku. Aku mengernyit keheranan;
aku merasa bak orang yang berprofesi sebagai mata-mata, tetapi malah jadi
perhatian orang. Namun, aku hanya meneruskan langkahku ke meja Megan dan
kutemukan gadis itu masih fokus pada pekerjaannya. Dia mungkin sedang mencatat
produk-produk yang sedang direncanakan atau sudah dipasarkan.
"Megan!" teriakku ketika
aku sampai di depannya. Aku menepuk bahunya. Dia terperanjat, nyaris jatuh ke
belakang dan mataku terbelalak. Aku langsung menarik tangannya agar ia tak
jatuh.
Megan mengelus dadanya seraya
menatapku dengan mata yang melebar. "God—kau hampir membuatku
terlena—oh, bukan—mati, Vio."
Aku tergelak.
"Jika kau mati, 'kan...tidak
akan ada lagi yang berisik," candaku. Matanya memelototiku dan aku tertawa
keras.
Dia lalu menggeleng dan berdiri
dari duduknya, lalu menghampiri seseorang yang ada di seberang sana. "Aku
pinjam kursimu, Ms. Cathy," ujarnya seenaknya. Ms. Cathy agaknya sedang
menaruh beberapa berkas ke meja temannya dan tiba-tiba kursinya diambil oleh
Megan. Ms. Cathy jelas jadi bersungut-sungut, tetapi Megan tak mengacuhkannya.
Megan malah dengan santainya memberikan kursi itu padaku. Aku cengar-cengir,
merasa kalau tatapan Ms. Cathy padaku seolah mengatakan, 'Duduklah dan
aku akan mengutukmu.'
Aku terus menggigit bibirku selama
aku memandangi Ms. Cathy; aku mematung di sana bak orang tolol. Megan lalu menepuk
pundakku. "Sudahlah, ayo duduk. Biarkan saja Nenek Sihir itu."
Ergh, kau bisa santai, Megan, tetapi aku
tidak. Matanya memelototiku!
Ya ampun.
Aku lalu menggeleng, mencoba untuk mengusir
segala keraguanku. Kutempatkan kursi itu di sebelah Megan dan akhirnya aku mulai
duduk dengan nyaman. Entahlah tatapan Ms. Cathy itu sekarang seperti apa.
"Jadi, mengapa kau
kemari?" tanya Megan, membuatku jadi tersenyum rahasia padanya. Megan
menatapku yang lama tak menjawabnya, kemudian dia membuka kacamatanya sampai ke
hidung, mengernyitkan dahi memperhatikanku yang hanya tersenyum rahasia tatkala
menanggapi pertanyaannya.
"Ada apa denganmu, eh?"
tanyanya sekali lagi.
Aku akhirnya tertawa lepas.
"Hahahah—kau tak tahu, 'kan? Aku
sangat senang hari ini!" Aku mengedipkan sebelah mataku padanya. Dia
tambah mengernyitkan dahinya bingung.
"Ah... Kau menang lotre, ya?"
tebaknya asal. Aku memutar bola mataku.
"Bukan lotre, Megan."
Dia kembali berkutat dengan
berkasnya. Aku tersenyum. "Umm... It's just because...Boss-ku
tidak masuk hari ini dikarenakan sakit."
Megan menatapku dan ia terlihat
kaget. "Sakit? Are you serious?"
Aku tertawa. Tuh, Megan
saja heran, 'kan?
"Yuuup, dan aku bebas!
Bebas, fellas! Woohoo!!" teriakku sembari mengangkat
tanganku ke atas bak monyet yang sedang kegirangan. Aku baru tersadar dan malu
sendiri ketika tatapan semua orang mulai tertuju kepadaku. Oh
shit. Jangan menjadi gila di sini, Violette.
Terakhir, kutatap Megan dan
kutemukan dia juga menggelengkan kepalanya saat melihatku, wajahnya seolah
menyiratkan kekecewaan yang besar padaku. Atau mungkin itu ekspresi datarnya? Hmm,
entahlah.
"Well, sepertinya dia kejam sekali, ya?
Padahal dia tampan," ujar Megan.
Aku memutar bola mataku.
"Percuma tampan kalau sifatnya
kejam," balasku, lalu Megan menatapku dengan antusias. "But Vio,
orang yang tampan dan kejam itu adalah orang yang biasa kugemari di
film-film! Ahhhh, orang-orang yang seperti itu malah membuatku
penasaran, kau tahu?! Kalau begitu, aku saja yang menjenguknya ke
rumahnya!" teriaknya dan aku kembali memutar bola mataku.
"Pergilah dan kau akan diusir
atau mungkin dilemparnya ke tong sampah," ujarku dengan ekspresi datar.
Megan ternganga; matanya terbelalak.
"APAA? DIBUANG KE TONG
SAMPAH?!" teriaknya, lalu aku mengangguk cepat agar Megan tidak banyak
bertanya lagi. Aku takut orang-orang di ruangan ini jadi mengusir kami dari
sini karena teriakan Megan. Setelah itu, ekspresi Megan kembali normal. Dia
kembali menatap berkasnya. "Ah, tidak masalah jika dia yang
melakukannya," sambung Megan. Aku kontan terlonjak, kemudian aku membuang
napas sebanyak mungkin karena aku ingat Megan kalau memang segila itu.
"Well, Meg, terserahmu saja."
Megan tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya, dari siang hingga sore
hari, aku hanya menghabiskan waktu bersama Megan. Justin tidak menghubungiku
untuk menyelesaikan apa-apa, pekerjaanku kemarin juga sudah selesai. Aku tak
tahu harus mengerjakan apa karena executive assistant juga merupakan
jabatan yang baru untukku. Aku dan Megan lalu memandangi Ms. Cathy yang terus
bersungut-sungut di sana hingga akhirnya dia mendapatkan kursi pengganti. Aku
membantu Megan dalam pekerjaannya, lalu kami makan siang bersama. Tak terasa
sekarang sudah sore.
"Apakah kau tidak mau
menjenguk boss-mu—eh, siapa namanya?"
Aku memutar bola mataku.
"Justin Alexander, Meg. Kau sudah lebih lama bekerja di perusahaan ini
daripada aku dan kau masih tak tahu siapa nama CEO-nya."
"Nah, itu dia. Apakah kau tak
mau menjenguk Mr. Alexander, eh? Kau executive assistant-nya,
Vio."
"For what? Aku tidak mau menjenguk orang
seperti dia," kataku sembari mengedikkan bahu.
Megan memutar bola matanya dengan
dramatis. "Hei... Mungkin saja jika kau ke sana, dia akan berubah sikap
kepadamu, 'kan? Atau bisa jadi kalian akan melakukan hal yang romantis di sana.
Misalnya, emm...ketika kau membuatkan bubur untuknya di dapurnya,
dia akan memelukmu dari belakang, lalu ketika kau mengompresnya, dia akan
menarikmu untuk tidur bersamanya—"
WHAT THE HECK.
Dengan cepat aku menutup mulut
Megan. Apa-apaan yang sedang ia katakan? Dia sedang bermimpikah? HA. Mana
bisa orang sekejam Justin tiba-tiba jadi manis seperti yang ada di khayalannya.
Oh, Tuhan, memikirkannya saja rasanya perutku sudah mual. Membayangkan Justin
yang bersikap semanis itu, perutku jadi mual sendiri. Sial.
"Jangan melawak, Meg,"
ujarku.
Megan tertawa. "Memangnya
siapa yang sedang melawak? Sudahlah, cepat jenguk dia!"
teriaknya dan mataku terbelalak.
Tiba-tiba saja ada suara yang
kukenal...seperti suara Bos Marketing, terdengar memanggil
Megan.
"Megan, bisa kau antarkan
produk ini ke tempat yang kita datangi kemarin? Cepat, ya."
Megan langsung berdiri dan berjalan
ke arah Bos Marketing kami—maksudku, dulu dia juga bosku,
tetapi sekarang sudah tidak—dan mengambil produk yang lumayan banyak itu dengan
cepat. Megan menatapku ketika bosnya sudah pergi.
"Vio, aku pinjam motormu
sebentar, oke?! Sebentar saja," ujarnya, lalu tanpa mengatakan apa pun dia
mengambil kunci motorku yang saat ini memang tengah terletak di atas mejanya. Aku
tadi memang membawa kunci motorku dan tanpa sadar aku meletakkannya di atas
meja Megan saat kami sedang mengobrol. Dia lalu pergi dari hadapanku sebelum
aku bisa berkata apa-apa. Aku masih ternganga, memandanginya seraya keheranan
sendiri.
Setelah dia ke luar, aku pun
bersandar di kursi yang tengah aku duduki. Well, sekarang aku harus
melakukan apa? Pulang? Rumahku jauh dan motorku tak ada. Ini sudah senja. Naik
taksi? Lantas motorku bagaimana?
Menjenguk Justin? Ergh—itu pilihan
terburuk.
Namun, demi Tuhan, sebenarnya jika
dipikir-pikir, aku ini executive assistant-nya dan tadi aku tak
mengetahui kabarnya sama sekali. Sebaiknya, sebagai gantinya, aku bisa
menjenguknya sebentar. Namun, aku sangat takut dan malas bertemu dengan pria
itu. Jika tidak mengingat fakta bahwa dia adalah bosku, lebih baik aku
pulang. Namun, rumah Justin tidak begitu jauh dari sini. Jika aku pergi ke sana
dengan menaiki taksi dan menjenguknya, Megan bisa mengantarkan motor itu
langsung ke rumah Justin. Aku bisa memberitahu alamatnya. Dengan begitu, aku
bisa melakukan sesuatu di sela-sela menunggu Megan pulang.
Okay, sepertinya aku memang harus
menjenguk Justin.
Aku pun langsung mengangguk dengan yakin
dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Bersiap-siap
untuk mendapatkan cacian dari Justin lagi. Aku pun keluar dari perusahaan dan mulai
mencari taksi.
******
Setelah sampai di depan gedung
apartemen yang Justin tinggali, aku berjalan ke lift yang ada di ujung lobi,
lalu mengingat-ingat di lantai berapa apartemen Justin berada. Menekan tombol
23—lantai di mana apartemen Justin berada—aku pun hanya berdiri di dalam sana,
menunggu lift itu berbunyi pertanda bahwa aku sudah sampai.
Ketika sudah sampai, aku lantas
keluar dari kubikel lift tersebut dan mulai berjalan ke pintu nomor...tunggu,
aku harus mengingat-ingat di mana pintu kamar Justin. Di sini ada banyak sekali
pintu, astaga! Yang mana? Yang mana ini? Astaga, aku bisa
salah pintu!
Aku mencoba untuk mengingat-ingat
lagi; aku menyatukan alis dan memejamkan mataku. Aku mengelus daguku dan
akhirnya aku pun mengingatnya. Pintu nomor lima dari lift, sebelah kiri!
Ah... Akhirnya.
Aku menekan sebuah bel yang ada di
samping pintunya. Tiga kali dengan berjeda dan dia belum membukanya. Aku pun menekan
belnya lagi sebanyak dua kali, lalu ketika aku ingin menekan bel itu sekali
lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan aku menoleh ke depan. Aku mendapati sosok
Justin yang kini sedang mengernyit heran padaku. Pintu itu hanya terbuka
sedikit, lalu Justin nyaris saja menutupnya kembali kalau saja aku tidak
mencegahnya. Aku menahan pintu itu dengan tanganku.
"Untuk apa kau kemari?"
tanyanya dingin dan aku memutar bola mataku.
"Makanya, buka dulu pintunya!
Biar aku jelaskan!" teriakku kesal, lalu akhirnya dia membuka
pintunya. Huh, lelah sekali menahan pintu itu agar tidak
tertutup. Masalahnya, Justin sedari tadi terus mencoba untuk mendorongnya agar
pintu itu tertutup kembali.
Ketika pintu itu terbuka lebar, dia
menaruh jemarinya di dalam kantung celana piama-nya.
"Jadi, ada apa?"
tanyanya.
Aku berdecak. "Tidak
membiarkanku masukkah?" tanyaku dengan jengkel. Dia hanya memandangku seraya
menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak," jawabnya dengan santai.
Sialan.
"HEI! BIARKAN AKU MASUK, EH?!
AKU LELAH JUGA KEMARI!"
"Aku tidak menyuruhmu
kemari," jawabnya enteng. Kontan mataku terbelalak.
Ya memang benar, sih.
"Okay, Mr. Alexander yang terhormat. Aku
kemari untuk menjengukmu." Aku mengaku.
Dia mengangkat sebelah alisnya
lagi. Masih dengan tenang.
"Ya sudah, sekarang cepat
pulang."
WHAT? APA—APA KATANYA?
"AKU BARU SAMPAI, SIR!"
"Ya, tetapi kau sudah
menjengukku, 'kan? Sekarang pulanglah," perintahnya, lalu
dia mencoba untuk menutup pintunya lagi. Aku lantas kembali menahan pintu itu
agar tidak tertutup. "Tunggu!! Tunggu dulu! PLEASE, JUSTIN!!!"
Dia akhirnya membuka pintunya lagi
dan mendengkus. Aku mengembuskan napas lega. Dia diam di depanku dan sedetik
kemudian dia berbalik, berjalan memunggungiku dengan santai, dan pergi dari
hadapanku. Eh? Berarti aku boleh masuk, nih?
Aku terkikik dan masuk, lalu
menutup pintunya. Tiba-tiba dia berbalik, tangannya masih betah berada di dalam
saku celananya.
"Jangan mengacau di apartemenku,"
peringatnya. Aku mengernyitkan dahi, lalu aku memutar bola mataku. Astaga,
siapa juga yang mau mengacau di rumahnya?
Setelah itu, dia berlalu dari
hadapanku dan tak lagi terjangkau oleh pandangan mataku.
Tinggallah aku yang masih berada di
ruang tamunya, tempat di mana dua hari yang lalu kami bekerja bersama-sama dan
terakhir dia jadi marah padaku. Oh ya, dia masih marah atau tidak? Kalau
dilihat dari sikapnya tadi...sepertinya dia biasa-biasa saja.
Aku melihat ke sekeliling ruangan
dan oh Tuhan! Ini berantakan sekali! Ada puntung rokok di mana-mana.
Botol wine juga berserakan di atas meja. Sebenarnya apa yang
sedang dia kerjakan dalam dua hari belakangan? Aku tercengang dan menutup
mulutku dengan sebelah tanganku. Apa dia baru saja berpesta?
Aku berjalan ke depan, melangkahi
botol-botol yang terjatuh ke lantai dan puntung-puntung rokok yang berserakan
itu. Aku berusaha untuk mengikuti ke arah mana Justin berjalan tadi. Aku
mengernyitkan dahi, lalu aku berjalan lagi dan ternyata aku menemukan sebuah
pintu. Pintu kamar?
Aku membukanya perlahan dan masuk.
Aku tahu ini agak lancang, tetapi entah mengapa aku santai saja saat melakukan
ini. Apakah karena Justin merupakan teman lamaku?
Setelah berhasil masuk, aku pun
menutup pintu kamar itu kembali. Berjalan perlahan, aku melihat kalau kamarnya
ternyata tidak terlalu berserakan. Namun, ada banyak puntung rokok di asbak
yang ia letakkan di atas nakasnya. Aku pun menoleh ke ranjang; aku lantas melihatnya
tidur mengarah ke samping sambil berselimut. Dia demam atau apa? Aku langsung
menggulung lengan jasku, lalu berkacak pinggang. Aku akan merapikan ini semua.
Mataku sakit sekali melihat keadaan ruangannya yang kotor dan bau rokok seperti
ini. Dia juga tidak boleh berada di dalam kondisi udara yang seperti ini! Dia
akan tambah sakit!
Dasar CEO gila. Dia bisa disiplin
dalam pekerjaan, tetapi mengapa tak memedulikan dirinya sendiri? Hell. Aku
langsung saja berjalan ke dekat nakas yang ada di samping tempat tidurnya dan
mengambil asbak itu. Aku sempat melihat sebuah sapu di dapur tadi dan aku rasa
aku ingin menyapu sekarang.
"Bukankah sudah kubilang
padamu jangan mengacau? Keluar dari kamarku atau kau kukeluarkan dari
pekerjaanmu," ujarnya masih dengan nada yang terdengar begitu dingin.
Aku memutar bola mataku.
"Jadi, kau menyuruhku untuk hanya duduk diam di ruang tamu? Aku di sini
untuk menjengukmu, sir."
Dia terbatuk. "Keluar,
Vio."
"Tidak sebelum aku
selesai, sir."
"Keluar dari sini atau
undurkan dirimu. Aku bisa melakukan apa pun sekarang juga dengan
pekerjaanmu."
Ancaman ini lagi.
Sialan. Kalau dia bukan temanku,
aku sudah pergi sejak tadi!
Aku menaruh asbak itu kembali ke
atas nakas dan berkacak pinggang. "Lagi pula, mengapa kau tidak
mengabariku bahwa kau sakit, hah?! Apa?! Karena aku bukan
siapa-siapamu? Aku ini executive assistant-mu, Justin!! Aku tidak enak
jika ada orang yang menyadari bahwa aku tidak tahu soal apa yang telah terjadi
padamu! AKU AKAN DICAP SEBAGAI EXECUTIVE ASSISTANT YANG LALAI KALAU
BEGITU!!!"
"Kau memang lalai,"
jawabnya santai.
Oh sial. Hah.
"AKU TIDAK—ARGH!!! PERCUMA
BERBICARA DENGAN ORANG GILA!!!" Ups. Aku langsung menutup
mulutku dengan sebelah tanganku. Mati aku! Keceplosan begitu saja... Aduh,
sial.
"Apa kau bilang?" tanyanya. Dia
bertanya dengan pelan, tetapi suaranya terdengar mengintimidasi. Dia terduduk
dari posisi tidurnya dan menatapku seraya mengangkat sebelah alisnya. Dia
langsung menatapku dengan tatapan kejam dan penuh dengan intimidasi khas
dirinya. Aku langsung meneguk ludahku.
"Ahh...tidak—tidak, aku
hanya err...bernyanyi, sir."
Mampuslah aku!
"Keluar."
"Tidak," bantahku, aku lalu
mengambil asbak itu lagi. "Lagi pula, kau sakit apa, eh? Demam? Apa yang
kau lakukan dengan puntung rokok sebanyak ini?! Bahkan semua ruanganmu jadi bau
rokok! Ergh—hidungku benar-benar tak tahan menciumnya!!!"
"Aku bergadang menyelesaikan
pekerjaanku." Dia menjawab dengan enteng. Mataku terbelalak. Bergadang
menyelesaikan pekerjaannya? Mengapa dia tidak memberitahuku? Tunggu, terakhir
kali aku bertemu dengannya, bukankah pekerjaan itu sudah selesai semua?
Bukankah dia sudah kubantu? Jadi, apa lagi yang ia kerjakan?
Astaga. Berarti dia menyembunyikan
sebuah pekerjaan dariku dan memilih untuk menyelesaikannya sendirian? Jadi, apa
gunanya aku? Argh, dasar gila! Kalau begini berarti dia sendirilah yang mencari
penyakit!!
"Bukankah kau sudah kubantu?
Lagi pula, MENGAPA KAU MENYELESAIKAN SISANYA SENDIRI, EH? MENGAPA KAU
MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?!! AKU BISA MEMBANTUMU, JUSTIN! KAULAH YANG MEMBUATKU
LALAI, BUKAN AKU!!"
Dia berdecak. "Aku tidak
menyembunyikannya."
Aku mengacak rambutku, stress sendiri
menghadapinya yang superbeku. "Entahlah, aku ingin menyapu," ujarku
pada akhirnya, menyerah menghadapi dirinya. Beribu amukan dariku—seperti yang
selalu kukatakan—selalu kalah dengan satu kata yang berasal dari mulutnya.
Entah kapan aku bisa menang dari sikap dinginnya.
Ketika aku berbalik dan ingin
keluar dari kamarnya menuju ke dapur untuk mengambil sapu, tiba-tiba dia
mencekal lenganku. Kontan aku terperanjat dan menoleh ke samping, ternyata kini
dia sudah berdiri di sampingku dan memegang lenganku dengan kuat. Mataku
terbelalak. "Just—JUSTIN!! Lepas!! WHAT ARE YOU DOING?!!"
Dia hanya diam dan mengambil asbak
yang kupegang, lalu menaruhnya lagi ke atas nakas. Aku menatap semua gerakannya
seraya ternganga, kemudian dia menarikku. Dia menarik lenganku dan menyeretku
agar keluar dari ruangannya. Dia menarikku bak menarik anak kecil lagi.
"Hei!! JUSTIN!! APA INI?! KAU
MAU MENGUSIRKU, YA?!!!!" teriakku dan aku berdecak ketika mendapati bahwa dia
hanya diam di depanku, memunggungiku. Dia tetap menyeretku dan ketika kami
sampai di dekat pintu depan, aku pun terperanjat. Dia rupanya memang mau
mengusirku!
"Kau selalu membantahku,
Violette. Hanya cara ini yang bisa membuatmu keluar." Dia menarik lenganku
lagi. Saat dia membuka pintu itu, aku langsung menggeliat minta dilepaskan,
tetapi dia lebih kuat dariku. Dia mendorong punggungku agar keluar dari pintu,
lalu dia menutup pintunya kembali. Aku langsung tersentak dan berbalik lagi,
menggedor-gedor pintunya dengan kuat, lalu menekan belnya berkali-kali bak
orang yang tak sabaran mau buang air kecil. "Hei!!! BUKA PINTUNYA!!!!
HEI!!!! JUSTIN!!!! AKU BELUM SELESAI!!!!"
Aku terus mengetuk pintunya dan
menekan belnya, tetapi tidak ada jawaban. Kurasa dia sudah berbaring kembali di
dalam kamarnya. Sialaaaannn! Aku mengeluarkan napasku dengan kuat. Aku lelah,
tetapi aku malah tambah dibuat emosi. Namun, saat ini aku tak bisa melampiaskan
emosiku karena Justin sudah tidak ada lagi di depanku. Aku hanya bisa menghela
napas dengan pasrah, mengalah, kemudian aku mengedikkan bahu. Yah, apa
boleh buat. Aku hanya harus pulang.
Aku berjalan dengan langkah yang
lunglai dan masuk ke dalam lift, lalu turun ke lantai bawah.
******
Shit. Tidak ada taksi yang lewat sedari
tadi. Aku sudah menunggu lama di depan gedung apartemen ini.
Dengan napas yang berembus lumayan
kencang, aku merengek karena menahan tangis. Aku pun mengentakkan kakiku tatkala
berjalan di pinggir trotoar. Ya Tuhan!! Aku sudah lelah berada di kantor hingga
sore (meski hanya mengobrol dengan Megan), lelah kemari hanya untuk dibuat
emosi, diusir, lalu sekarang tidak ada taksi. Apa-apaan ini? Mimpi buruk? Aku masih
mengentakkan kakiku di sepanjang jalan, mataku sudah berkaca-kaca karena terus
menahan tangis. Aku lelah sekali! Bukan lelah karena berjalan, tetapi karena mood-ku yang
sedang buruk.
Tiba-tiba aku ingat tentang motorku.
Di mana motorku? Mengapa lama sekali? Oh hell please, Megan,
ini sudah malam! Di mana dia?
Aku mengambil ponselku yang ada di
dalam tasku, lalu langsung mencari nomor telepon Megan di kontakku. Aku
langsung meneleponnya.
Dia mengangkat teleponku itu di
deringan pertama. Aku menghela napasku.
"Halo, Vio? Nanti saja
kuhubungi lagi, oke? Aku masih belum selesai. Nanti motormu kukembalikan. Maaf,
ya," katanya dengan cepat, lalu dia mematikan sambungan telepon itu begitu
saja. Aku tercengang. Aku bahkan belum berbicara sepatah kata pun!! Ya Tuhan,
kurasa aku punya salah dengan orang lain hingga dijatuhi karma yang seburuk
ini.
Aku langsung berdecak kesal, lalu
aku pun menaruh kembali ponselku ke dalam tas. Aku berjalan lagi dengan kuat
dan cepat—karena merajuk—dan aku merengek di sepanjang jalan. Tak lama
kemudian, aku memasuki sebuah lorong. Hell! Perjalanan dari
kantor hingga ke rumahku saja sudah lumayan jauh, apalagi dari rumah Justin hingga
ke rumahku! Aku tak menjamin kakiku akan baik-baik saja setelah ini. Sialnya
belum ada satu pun taksi yang lewat di hadapanku dan kalau pun ada, pasti
sopirnya tak melihatku, padahal aku sudah melambai-lambaikan tanganku dengan
kuat bak sedang berjumpa dengan seorang artis. Aku bahkan sampai mengejar
taksi-taksi itu, tetapi sopir taksi itu tetap tak melihatku. Ha. Mereka itu
punya mata atau tidak, sih?! Ini tidak masuk akal.
Aku berjalan lagi dan mulai
memasuki sebuah lorong—lorong yang memang selalu kulewati ketika aku pergi ke
kantor atau pulang ke rumahku—dan aku memandangi taman yang ada di samping
lorong ini. Ada sebuah kursi yang panjang di pinggir taman itu dan aku melihat
ada anak-anak yang menangis di sana. Tidak ada ibunya. Anak-anak itu hanya berdua—mereka
duduk di kursi taman itu—dan yang satunya terlihat sedikit lebih besar. Aku
mengernyitkan dahi, kemudian aku menghampiri kedua anak itu.
Salah satu dari mereka yang lebih
besar rupanya baru saja merebut es krim anak yang satunya. Oh, jadi itu
masalahnya.
Aku langsung menghampiri salah satu
dari anak-anak itu—yang sedang menangis—dan berjongkok di depan anak itu.
"Ada apa, hmm?" tanyaku.
Dia tetap menangis, lalu dia mengelap ingusnya.
"Ice cream... My ice
cream!!!!!!" teriaknya
kencang. Aku membulatkan mata. Lantas aku melihat ke sekeliling dan aku
menemukan ada seorang penjual es krim yang berjualan di ujung taman. Aku
langsung tersenyum, berdiri, dan berjalan ke dekat penjual es krim itu.
Aku membeli satu, kemudian aku
kembali lagi ke dekat anak itu. Setelah itu, kuberikan es krim itu kepadanya.
"Ini. Jangan menangis lagi, ya?" rayuku agar bisa menenangkannya. Dia
pun terdiam. Dia memang masih terisak, napasnya masih tersengal-sengal, tetapi
dia tetap mengambil es krim itu dari genggamanku. Setelah itu, dia diam dan menatapku
dengan mata bulatnya dan aku pun tersenyum lembut padanya.
"Ah... Maafkan aku, apakah
anakku nakal padamu? Maafkan aku, Nona!"
Ada suara seorang ibu-ibu yang terdengar
di telingaku dan aku mendongak, mencari keberadaannya. Ternyata dia sudah
menghampiri kami dan dia lekas mengambil kedua anaknya. Aku tersenyum.
"Tidak apa-apa, Nyonya,"
kataku.
Dia mengangguk padaku dan ikut
tersenyum. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini sendirian, hmm? Kau
cantik, aku takut sesuatu akan terjadi padamu."
Aku tertawa dengan canggung.
"Ah...tidak kok, Nyonya."
Lagi pula, cantik? Aku tidak cantik.
Setelah itu, dia pun mengangguk
lagi. "Baiklah. Cepatlah pulang, Nona. Kami duluan, ya? Terima kasih
karena telah memperhatikan anakku."
Aku mengangguk. "Ya, Nyonya.
Sama-sama."
Dia pun pergi menjauh dariku
sembari menggandeng kedua anaknya. Aku menghela napas dan berbalik, lalu
kembali berjalan lurus masuk ke dalam lorong.
Di sini gelap sekali kalau sudah
malam. Aku belum pernah berjalan kaki di sini dan ternyata rasanya jauh lebih
mengerikan. Aku mengusap lenganku karena mendadak aku merasa dingin; napasku
sepertinya mulai mengeluarkan uap.
Aku terus berjalan dan berkali-kali
mengeluarkan napas dinginku yang beruap itu, merasa bahwa seluruh tubuhku kini
jadi kedinginan sekaligus pegal-pegal. Hari ini terasa lebih melelahkan, bahkan
lebih melelahkan ketimbang saat ada Justin dua hari yang lalu.
PLETAK!
Oh, shit!! Kakiku terpelecok dan
aku baru menyadari sesuatu. Sebelah hak high heels-ku patah! Oh
Tuhan, ini menyebalkan!!! Aku merunduk dan langsung melepas sebelah high
heels-ku, menatap heels-nya yang sudah patah dan nyaris
terlepas. Aku mendengkus dan menggeletukkan gigiku.
APA LAGI INI?! MENGAPA NASIBKU
BURUK SEKALI HARI INI?
Sialan. Merasa kesal, aku pun
membuka yang satunya dan kulempar kedua high heels itu asal.
Dengan sekuat tenagaku, aku membuang mereka bersamaan dengan segenap
emosiku. "SIAAAAAAALLLLL!!!!!"
Tiba-tiba ada sebuah taksi yang lewat
di depanku. Aku langsung melambaikan tanganku. Taksi itu pun berhenti di
depanku, tetapi sontak aku teringat sesuatu. Aku langsung mengecek dompetku dan
SIAL LAGI. UANGKU HABIS KARENA MEMBELIKAN ANAK-ANAK TADI ES KRIM...
Kumohon, Tuhan, ampuni
dosaku. Andaikan saja ada hujan uang saat ini...
Dengan gaya orang tolol, aku lantas
cengar-cengir dan menggaruk tengkukku—yang tidak gatal itu—sembari mengatakan
'tidak jadi' kepada sopir taksi itu. Sopir taksi itu pun hanya berlalu bersama
taksinya.
Whew. Untung saja dia tak marah padaku...
Sialan dengan hari ini. Semuanya
terjadi dan menimpaku begitu saja. Aku bagaikan terjatuh saat sedang menggali sebuah
lubang, lalu tertimpa tanah. Menciut bagaikan kertas origami bekas di pinggir
jalan, aku merasa malu sekali.
Aku akhirnya berjalan dengan kaki
telanjang. Rokku pendek selutut dan ini benar-benar menyakitkan sebab angin
malam mulai menusuk tubuhku. Aku berjalan dengan wajah yang ditekuk dan kurasa
wajahku memerah karena menahan amarah, tangis, dan juga rasa malu. Semuanya
bercampur aduk!!
Saat sudah masuk jauh ke lorong, mendadak
aku merasa bahwa ada seseorang yang mengikutiku. Aku mengernyitkan dahi; aku
tahu aku diikuti. Dulu aku sudah terbiasa melakukan berbagai taktik untuk melawan
musuh sewaktu menjadi anggota Red Lion, jadi tentu saja aku tahu bila aku
sedang diikuti ataupun sedang terancam. Aku langsung menyatukan alisku untuk
fokus sembari terus berjalan. Aku tahu orang itu terus mengikutiku.
Ketika sampai di dekat jalan yang
lumayan sempit, aku pun berhenti. Namun, sepertinya dia terus berjalan untuk
mendekatiku. Aku langsung berbalik dan menendang perutnya.
"Mau apa kau, hah?"
tanyaku dan aku berdiri tegap lagi. Dia terduduk di bawah dan mulai tersenyum
miring padaku. Aku mengernyitkan dahi dan dia langsung berdiri.
Ya ampun, ini
Seth. Tetanggaku!! Dia adalah tetanggaku yang suka
mabuk-mabukan dan aku sangat risi karena dia selalu mendekatiku. Entahlah, aku hanya
tak ingin berurusan dengannya. Namun, ketika dia tak mabuk...dia sebetulnya merupakan
orang yang baik.
"Hah... Kau menendangku, ya?
Ayolah, Vio... Kita bisa bersenang-senang," ujarnya, lalu dia mendorongku
hingga tubuhku terimpit ke batang pohon besar yang ada di pinggir jalan kecil
itu. Dia mendekapku dan sial! Aku ingin muntah tatkala mencium aroma bajunya
yang bau alkohol!
"Seth—kau mabuk!! Menjauhlah
dariku!!"
"Hei, kita bisa
bersenang-senang... Come on, Baby, you are so beautiful... Do you know
that, hmm?" katanya dengan nada yang menyebalkan.
Aku menggeliat minta dilepaskan,
lalu memegangi lengannya agar aku bisa mendorongnya. Aku juga mencoba untuk
mendorong dadanya. SIAL! Mengapa dia kuat sekali? Tidak
biasanya aku kalah dengan pria, kecuali dengan Justin! Ada apa ini? Apa karena
Seth sedang mabuk?
"Kau tidak akan bisa
kabur, Vio..."
"SETH!!! OH PLEASE,
C'MON SETH! YOU'RE OUT OF YOUR MIND!!! SETH!!!!! KAU—"
"What a bastard."
Aku terlonjak saat tiba tiba ada
suara orang lain yang terdengar di telingaku. Suara siapa itu? Mengapa
terdengar familier? Aku langsung menoleh ke samping, begitu juga Seth.
"JUSTIN?!!!" teriakku. Oh, pantas saja
kata-kata yang tadi itu terdengar menyebalkan. Namun, mengapa Justin bisa ada
di sini?!!
"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI,
JUSTIN?!!" teriakku, tetapi Justin tak sedikit pun menoleh ke arahku. Dia
hanya memberikan tatapan dinginnya kepada Seth. Setelah itu, kulihat Seth
tersenyum miring, melepaskan pegangannya dariku. Tubuhku nyaris saja oleng,
tetapi aku berhasil berdiri dengan tegap kembali. Aku mengembuskan napasku
dengan lega, lalu menarik oksigen sebanyak mungkin. Sial, aku hampir mati,
kurasa.
Seth langsung maju mendekati Justin
yang berdiri sekitar empat meter di samping kami. Lumayan jauh, tetapi Seth masih
berusaha untuk mendekati Justin dengan langkahnya yang oleng. Justin hanya
berdiri diam di sana tanpa ekspresi.
Ketika Seth sampai di sana, Seth
langsung saja mencoba untuk memukuli Justin. Berkali-kali, tetapi semua
pukulannya bisa ditangkis oleh Justin. Semua pukulannya gagal dan akhirnya
Justin membalasnya dengan satu kali pukulan yang langsung membuat Seth terjatuh
di aspal. Aku menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Namun, aku tak heran
karena Justin dulunya adalah mantan anggota Red Lion, sama sepertiku. Dulu
Justin adalah orang yang selalu diandalkan oleh ketua kami. Aku hanya
tercengang saat melihat tetanggaku sudah terkapar di jalan. Apa yang
akan Pamanku katakan nanti?
"Ju—Justin, di—dia itu
tetanggaku," ujarku dengan gagap. Dia hanya menghela napas samar dan
menaruh kembali tangannya di dalam saku celananya. Dia sekarang sudah memakai
jas. Dia sudah rapi, tidak seperti ketika di apartemennya tadi. Tadi, di
rumahnya, dia hanya memakai kaus putih polos dan celana piama panjang yang berwarna
abu-abu. Dia terlihat imut dan polos sekali kalau berpenampilan seperti itu.
Namun, ketika dia sudah memakai jas, sosoknya jadi terlihat berubah 180 derajat.
Kekejamannya terlihat semakin kentara.
"Pantas saja tingkah lakunya
sama sepertimu." Dia berujar seenaknya. Kontan mataku terbelalak. Dengan
langkah yang seperti kesetanan—dan napas yang berembus bak banteng yang
mengamuk—aku lantas mendekatinya yang sekarang sudah berbalik berjalan
memunggungiku dengan santai. Aku langsung menghampirinya dengan cepat dan hell! Mengapa
aku masih tak bisa menyamakan langkahku dengan langkahnya?
"APA KAU BILANG? SAMA
DENGANKU?!! KATAKAN SEKALI LAGI, MR. ALEXANDER!"
"Hmm."
SIALAN!!
"JUSTIN!!!!!" teriakku
dan aku berlari lagi sekencang mungkin hingga akhirnya aku sampai di depannya,
menghadang jalannya dengan kedua tanganku yang terbentang lebar. Aku berada
tepat di hadapannya. Namun, dia hanya menaikkan sebelah alisnya padaku.
Tanpa berkata apa pun, dia lantas melewati
tanganku—yang sedang menghadangnya itu—lalu dia berjalan dari samping. Aku
lantas membulatkan mataku.
Dia sudah melewatiku dan sudah
berjalan di depanku lagi. SIALAN!
"HEI, JUSTIN!!!!!! Oh
shit," umpatku sembari berdecak. Aku langsung berlari lagi.
Sekarang aku telah berjalan di dekatnya, mungkin hanya satu jengkal di
belakangnya karena aku mendekatinya hingga nyaris menempel. "HEI, TUNGGU
AKU!!! Setidaknya ceritakan padaku mengapa kau bisa ada di sini!!!"
Dia hanya diam.
"JUSTIN! KAU DENGAR AKU
TIDAK, SIH?! BAGAIMANA CERITANYA KAU BISA ADA DI SINI, HAH?! BUKANKAH
KAU SEDANG BERGELUT DENGAN SELIMUTMU DI DALAM KAMARMU?!"
Dia berbalik, lalu menatapku dengan
tatapan dinginnya.
"Diam, Violette. Apakah sopan
mengatakan bahwa atasanmu bergelut dengan selimutnya? Selain itu, jangan
membuatku malu dengan kau yang berjalan menggunakan kaki telanjangmu serta
tanpa kendaraan."
Aku memelototinya karena kesal; aku
benar-benar dibuat dongkol. "MOTORKU— ERGH. Okay. Cukup
dengan itu. Hak sepatuku patah DAN AKU TAK BISA NAIK TAKSI KARENA UANGKU HABIS.
SUDAH PUAS, MR. ALEXANDER?"
"Aku puas jika kau diam,"
jawabnya singkat. Sialan. Bukankah tadi dia mengejekku seolah-olah ingin
mendengar penjelasan dariku? Jadi, apa ini? Tanggapan sialan seperti ini selalu
kudapatkan darinya ketika aku mencoba untuk menjelaskan. Dia ini manusia atau
bukan, sih?
Akhirnya, karena naik pitam
sendiri, aku pun diam. Aku sudah lelah dan aku tak mau semakin lelah hingga pingsan
di jalan hanya karena melawan dirinya.
Setelah lama berjalan, aku pun
tersadar. Mengapa aku mengikutinya?
Oh. Ini karena aku marah padanya tadi.
"Karena kau sudah dengan
lancangnya mengikutiku, kau harus mengikutiku sampai aku selesai," ujarnya.
Aku membelalakkan mata. Dia bahkan
berbicara tanpa repot-repot berbalik untuk menatapku.
"H—Hah?! Ke mana?!!!"
teriakku kaget.
"Ke sebuah club yang
ada di dekat sini."
What? A Club?!
APA LAGI YANG AKAN PRIA INI
LAKUKAN, EH? Mengapa semua yang ia lakukan selalu sukses
membuatku emosi bukan main?! []
******
No comments:
Post a Comment