Chapter 4 :
Discharged
******
Violette:
AKU meneguk ludahku. Apa-apaan
ini?!
Aku menggeleng, lalu aku langsung
mendekat ke arahnya.
"Club? K—Kau... Ya ampun, kau sekarang
parah sekali," ujarku dengan nada yang dramatis. Justin hanya memutar bola
matanya. Aku terus berjalan dengan cepat; aku menyamakan langkahku dengan
langkahnya.
Namun, sialnya dia hanya diam.
"Justin, bukankah kau tadi
sedang tidur di rumahmu? Kau mengusirku, ingat? Apa kau mengikutiku? Hey!!! Dengar
aku!!!" teriakku karena sepertinya dia tak mengacuhkanku. Dia malah terus
meninggalkanku. Aku lagi-lagi berteriak, "JUSTIN!!!!!!!"
Dia lalu berhenti.
Aku berlari mendekatinya dan aku
terhenti ketika dia tiba-tiba berbicara dengan nada bekunya seperti biasa,
"Aku tak tidur, Vio. Aku mengusirmu karena kau terlalu berisik. Jangan
membuat keributan lagi di sini atau kau kukeluarkan dari pekerjaanmu."
Sial. Aku sampai bosan mendengar
ancamannya itu.
"Lagi pula, bukan urusanmu
apakah aku mengikutimu atau tidak," lanjutnya.
Aku terdiam. Mendadak aku merasa kalau
pipiku memanas. Aku merona, ya? Shit! Apa-apaan ini? Mr.
Sialan Alexander benar-benar tak bisa ditebak. Seberapa dingin bola mata
karamelnya itu? Baru kali ini aku merasa bahwa warna karamel itu warna
yang 'dingin'. Selama ini aku merasa bahwa warna biru lautlah
yang terlihat dingin.
Sial. Apakah ini merupakan
satu-satunya kelainan yang dimilikinya? Jika iya, aku akan tertawa sepuasnya.
Namun, mengapa aku sempat
memerah? Damn.
Akhirnya, dia kembali berjalan. Dia
sudah meninggalkanku lagi. Aku berdecak, kembali meneriakinya, lalu berlari
mengejarnya. Itu sebenarnya dia sedang berjalan atau berlari, sih?!
Aku terus mengikutinya hingga kami
sampai di depan sebuah club. Oh, Tuhan. Club ini
besar sekali! Ini tidak terlalu jauh dari lorong tadi, tetapi mengapa aku baru melihatnya?
Tanpa sadar, aku menganga. Langkahku
terhenti sejenak. Namun, dalam waktu yang singkat itu, aku sadar bahwa Justin
hanya terus berjalan meninggalkanku.
Sialan!
"Justin!! Justin, wait! Apa
yang mau kau lakukan di sini?!!" teriakku. Aku berlari dengan kencang.
Aku sebenarnya tak peduli dengan tatapan orang-orang yang mulai tertuju padaku,
tetapi ketika aku melihat bahwa ternyata ada yang menatapku dengan tatapan
jijik, aku mulai mencoba untuk memperhatikan penampilanku.
Oh, ya Tuhan. Aku memang kelihatan
seperti penghuni rumah sakit jiwa yang berhasil kabur. Dengan kaki tanpa
alas, baju kerja yang sudah tak rapi lagi, dan—ugh—ternyata rambutku
berantakan juga. Selain itu, hal yang tambah memperjelas bahwa aku terlihat
seperti orang gila di sini adalah: aku mengejar-ngejar seseorang seperti sedang
mengejar pencuri. Sial, apa jangan-jangan aku ini memang gila?
Aku menggigit bibirku, merasa malu
bukan main. Namun, aku akhirnya menggelengkan kepalaku, mencoba untuk
mengabaikan tatapan semua orang. Aku berlari lagi dan memanggil Justin hingga
akhirnya kakiku membawaku ke sebuah tempat yang ketika aku dipersilakan masuk,
aku sontak ternganga. Ini. Benar-benar. Club.
Musik yang bernada tak jelas mulai
berdengung di telingaku hingga jantungku ikut berdegup tak keruan. Suara musik
ini terlalu keras.
Aku meneguk ludahku.
"Argh—berisik sekali di
sini..." bisikku sembari mengerutkan dahi; aku menutup kedua telingaku.
Aku menatap ke depan lagi dan mendapati bahwa Justin ternyata telah hilang dari
pandanganku. Aku tercengang, lalu mengedipkan mataku berkali-kali bak orang
tolol. Aku kemudian berlari lagi dan menyelip-nyelip di antara kerumunan
orang-orang yang sedang berdansa. Setelah itu, aku memanjangkan leherku demi
mencari keberadaannya. Setelah lama aku mencari, gotcha! Aku
mendapatkannya.
Namun, aku mengernyitkan dahi.
Justin sedang dikelilingi oleh
banyak perempuan. Tiga orang—oh, bukan—lima orang, sepertinya. Salah
satu dari perempuan itu tampak sedang menawarkan sebuah minuman kepadanya, lalu
Justin mengambil minuman itu. Perempuan yang lainnya tampak menggeliat bagai
cacing kepanasan di dekat Justin, ada yang duduk di pangkuannya sambil memegangi
dada serta bagian tubuh Justin yang lainnya. Aku menggeram dan mendekat ke arah
mereka.
Apa-apaan yang sedang Justin
lakukan ini?
"Justin! Apa yang kau lakukan
di sini, eh? Kau itu sedang sakit! Kau—"
Dia mengangkat wajahnya, menatapku,
lalu menaikkan sebelah alisnya padaku.
"Hanya duduk diam dan tunggu
aku. Kau boleh melakukan apa pun."
Mataku membelalak. "Kau pikir
aku sepertimu? Kau gila! Apa maksudmu dengan perempuan-perempuan ini?!"
teriakku, menunjuk ke arah perempuan-perempuan itu dan mulutku terbuka karena
keheranan sendiri. Hal yang membuatku mengernyitkan dahi adalah: para perempuan
itu hanya tertawa saat melihatku. Justin pun hanya tersenyum miring padaku.
"Bukankah kau juga suka yang
seperti ini?" kata Justin tiba-tiba padaku.
Sesuatu terasa seperti menohok jantungku. Berengsek! Aku
tidak pernah sekali pun menyukai hal yang seperti ini! Sial. Dia itu temanku,
tetapi dia bertingkah seolah-olah tidak pernah mengenalku.
Bahkan, aku terlihat seperti orang
yang tidak waras di sini, aku terlihat seperti sedang memaksanya.
Aku menggeletukkan gigiku dan
tertunduk, menghela napas sebanyak mungkin agar gemuruh di jantungku mereda.
"Kau ternyata tak lebih dari
bajingan yang ada di jalanan, Justin," ujarku dingin, lalu aku
berbalik dan meninggalkannya.
Aku duduk di dekat bar
counter, lalu memesan segelas air putih di sana. Mata bartender itu
yang melihat ke arahku seraya mengernyitkan dahi karena mendengar aku memesan
air putih. Namun, aku tak peduli. By the way, laki-laki di sini
sepertinya sialan semua. Ha—okay, mereka sudah berjenggot, tetapi masih
tak tahu diri. Seharusnya jam segini mereka sudah berada di rumah bersama
istri dan anak mereka…bukan berada di sini.
Aku mendengkus, lalu meraih air
putih itu dengan cepat ketika air putih itu diberikan oleh sang bartender. Hal
itu membuat bartender itu tercengang melihatku. Aku pun
meneguk air putih itu sampai habis. Well, perjalanan hari ini
seratus kali lipat lebih melelahkan dan menyebalkan. Aku haus sekali. Aku
bahkan jadi diperhatikan oleh semua orang karena keadaanku yang super kacau
serta tanpa high heels.
Oh, please. Seseorang! Adakah orang yang
kasihan padaku dan mau mengantarkanku pulang? Masalahnya aku lelah sekali...
Sesekali aku melirik Justin yang
masih ada di tempatnya tadi. Aku memperhatikannya dengan saksama. Dia mulai
meraba-raba tubuh perempuan-perempuan itu. Aku mengerutkan hidungku karena
jijik. Justin terlihat mabuk berat. Aku kemudian melihat dia diajak oleh
perempuan-perempuan itu ke lantai dansa dan dia pun menari dengan salah seorang
perempuan. Tubuh perempuan itu meliuk di dekat tubuhnya, menempel hingga
benar-benar mendesak. Tubuh mereka hanya dibatasi oleh helaian pakaian yang
mereka kenakan. Oh, kurasa itu juga salah karena pakaian para
perempuan itu tidak pantas disebut sebagai pakaian. Meski baju sehari-hariku
adalah kaus santai dan celana piama—apabila tidak sedang di kantor—aku merasa
kalau bajuku lebih menawan. Setidaknya bajuku tidak kekurangan bahan.
Beberapa saat kemudian, aku melihat
Justin mencium salah satu dari perempuan itu. Aku kontan menggelengkan kepalaku
ketika melihat adegan itu. Aku memalingkan wajahku sebab kurasa aku tak sanggup
melihat seseorang yang kukenali ada di ujung sana dan sedang berciuman. Aku mengenalnya,
tetapi mendadak dia terasa asing bagiku. Aku tak tahu mengapa Justin jadi
seperti ini. Hal yang kulakukan sejak tadi hanyalah untuk melindungi temanku,
apalagi dia itu sekarang adalah bosku. Percayalah, aku hanya ingin dia
kembali menjadi Justin yang kukenal. Aku tak terima melihat dia jadi seperti ini.
Apa aku egois? Hah.
Kini, kulihat dia menciumi leher
perempuan itu. Kulihat perempuan itu mendesah kenikmatan. Aku merasa dadaku
tiba-tiba jadi sesak. Aku bahkan tercengang saat menyadari bahwa dadaku terasa
sesak ketika melihat adegan itu.
Aku meringis. Aku langsung
berpaling, membuang wajahku agar tak melihat adegan itu lagi.
Namun, beberapa saat kemudian, aku sedikit
melirik ke arah Justin kembali dan yang kutemukan adalah sama: mereka masih
bercumbu dan malah semakin—err—panas. Aku menghela napasku. Dua detik
kemudian, aku menggigit bibirku dan akhirnya aku memilih untuk berdiri. Aku
ingin keluar dari club ini. Aku berjalan ke luar dengan sulit—menyelip
di antara kerumunan—dan aku mengaduh kesakitan setiap kali ada bahu seseorang
yang menabrakku dengan keras. Aku sekarang sudah sampai di pintu dan aku pun
menghela napasku. Aku melirik ke arah Justin lagi yang sekarang sudah ada di
dekat bartender. Aku bisa melihatnya tanpa harus mengangkat
leherku. Aku melihatnya dan—astaga!
Dia terjatuh! Para perempuan itu
berusaha untuk menolongnya. Aku kontan pergi ke sana, menyelip dengan cepat.
Aku sampai di sana beberapa saat kemudian dan aku langsung berjongkok untuk
meraih Justin. Tanpa memedulikan tatapan semua orang termasuk tatapan dari para
wanita itu, aku langsung mengangkat tubuh Justin, tangannya kutaruh di bahuku
dan aku mengangkat tubuhnya. Dengan susah payah, aku berhasil berdiri seraya mengangkat
tubuhnya yang lebih besar dariku itu. Tubuhnya sangat oleng dan aku nyaris
beberapa kali terjatuh. Aku mengatur napasku agar terus bisa kuat untuk menahan
tubuhnya, padahal aku tahu kalau aku sekarang sedang lelah. Namun, aku tetap
mengusahakan diriku untuk berjalan dengan pelan, menyelip, dan mendorong
orang-orang agar memberikan jalan untuk kami. Aku menahan amarahku saat ada
yang protes padaku karena aku menyelip dengan sembarangan sebab sungguh, ini
bukan sembarangan. Aku hanya melakukannya semampuku karena ini sangat
menyesakkan. Aku kesulitan.
Ketika sampai di luar club, aku
berjalan menjauh dari gedung itu dan mulai beranjak ke pinggir jalan. Aku
mengernyitkan dahi, lalu menatap Justin yang tubuhnya terus oleng.
"Justin—hey! Apakah
kau memiliki uang? Di mana dompetmu? Aku tak memiliki uang, tetapi aku harus
mengantarmu dengan taksi. Hey!" teriakku. Kudengar dia
hanya bergumam. Ergh, sialan. Rasa sesak di dadaku hilang, tetapi tergantikan
dengan rasa kesal yang tidak main-main. Aku hampir tak mengerti dengan
perasaanku sendiri.
"Hei!! Oh ayolah, Justin,
di mana dompetmu? Aku tak memiliki uang, sungguh!" teriakku sekali lagi,
lalu aku meraba-raba kantung jasnya. Dia tiba-tiba menjauh dariku.
"Stay a...way," ujarnya sembari memperingatiku
dengan jari telunjuknya. Aku berdecak kesal dan memutar bola mataku.
"Well, berikan uangmu." Aku membuka
telapak tanganku, menyodorkannya ke depan dadanya. Dia mengernyitkan dahinya
seolah merasa heran kepadaku. Aku mengangkat sebelah alisku kesal. Hah. Dia
ini mabuk atau tidak mabuk tenyata sama saja menyebalkannya.
"Justin, aku tidak sedang
bercanda! Kau mau kutinggalkan di sini, eh? Pulanglah bersama
wanita-wanita jalang itu dalam keadaan mati berdiri."
Dia hanya menatapku dengan mata
yang menyipit.
"Aku lebih se…nang," jawabnya
dengan terbata karena dia sedang mabuk. Dia tiba-tiba memijit keningnya sendiri.
Aku langsung mendekat ke arahnya, tetapi dia menolakku. Aku mendengkus dan
berkacak pinggang di depannya. Aku memutar bola mataku dan sesaat kemudian, dia
nyaris jatuh. Aku langsung menangkapnya dan merangkulnya kembali.
Okay, tidak ada pilihan lagi. Aku harus
membawanya pulang dengan berjalan kaki. Terserah dengan apa yang akan dia
katakan ketika dia sadar. Kemungkinan dia tak akan ingat. Eh, apa
dia akan ingat? Soalnya, Justin ini, kan...makhluk jenius...
Aku terus membawanya berjalan,
meski terkadang mataku nyaris terpejam karena aku mengantuk. Aku lelah sekali.
Aku kadang tersadar ketika tiba-tiba kami nyaris terjatuh dan mataku sontak kembali
terbuka. Langkahku saat ini mungkin lambat sekali. Namun, akhirnya setelah
kurang lebih satu jam—aku yakin sekarang sudah jam satu malam—kami pun sampai
di depan gedung apartemennya. Aku membawanya masuk, menaiki lift, lalu akhirnya
aku sampai di depan pintu apartemennya.
Namun, tak lama setelah aku sampai
di sana, aku mengernyitkan dahi. Ada suara langkah kaki seseorang yang mendekat
ke arah kami. Aku semakin gusar dan akhirnya aku menoleh ke samping kananku.
Aku menyatukan alis tatkala mendapati
bahwa ada seseorang yang berdiri di sana. Kini, orang itu menatapku dengan
tatapan yang tajam.
"Siapa k—kau?" tanyaku,
suaraku terbata-bata. Orang itu—yang merupakan seorang peria paruh baya—tampak kembali
melangkah dan kini dia semakin mendekat ke arahku. Dia berhenti melangkah
ketika posisinya sudah berada dua langkah di depanku.
"Apa yang kau lakukan padanya di larut
malam seperti ini?" tanya orang itu tajam.
Dia adalah pria yang memiliki jenggot
di rahangnya dan rambutnya mulai memutih. Dia memakai kemeja dan jas yang rapi.
Aku mengernyitkan dahi.
"Siapa...kau?" Aku
bertanya balik kepadanya.
"I'm Locardo Alexander."
Aku terperanjat. Alexander?
Wait.
Mataku melebar. "Jangan
katakan bahwa kau adalah—"
"Kau benar. Aku pamannya," jawab
pria itu sembari masih menatapku dengan tatapan yang tajam.
Dia menyilangkan tangannya di depan
dada. Aku meneguk ludahku. Ternyata, ini pamannya Justin...
"Justin tidak pernah ke luar
sampai larut malam seperti ini, apakah kau tahu soal
itu?" tanyanya dan aku menyatukan alisku kebingungan. Bukankah Justin
sudah berubah menjadi 'Bad Guy'? Lantas mengapa Paman Locardo
bilang bahwa dia tak pernah pulang selarut ini? Apakah Justin yang tak mau
mengaku kepada pamannya?
"Jika kau tahu, TINGGALKAN
TEMPAT INI!" perintahnya dengan suara yang kuat, membuatku terperanjat.
Aku mulai panik. "T—Tetapi aku—aku
tidak melakukan apa—"
"Tidakkah kau mendengarku?
PERGI DARI SINI!!" teriaknya padaku.
Aku kontan memejamkan mataku karena
aku begitu terkejut dengan teriakannya.
"Sekarang pergilah,"
ujarnya lagi, mendekatiku dan langsung menarik tubuh Justin dengan kasar
dariku. Aku terdorong. Pria itu membawa Justin ke dekat pintu dan dia
mendorongku lagi dengan tangannya, lalu melanjutkan, "Pergi atau kau akan
kulaporkan kepada polisi. Kau hanyalah perempuan jalang yang berusaha untuk
mendekati keponakanku."
Mataku lantas membelalak. Justin
hanya menggumam tak jelas sembari berusaha melepaskan pegangan tangan pamannya.
Aku mengepalkan tanganku. Mataku
menatap paman Justin dengan tajam.
"Tuan, dengarkan aku. Aku bukanlah wanita
jalang. Aku adalah executive assistant-nya dan aku hanya berusaha
untuk membawanya pulang ketika aku menemukan dia sedang mabuk di dalam club. Hanya
itu. Kumohon jaga ucapanmu," pintaku penuh dengan
ancaman. Aku mengucapkannya dengan tegas.
"Executive assistant? Sejak kapan kau dipekerjakan? Okay. Mulai
hari ini, kukeluarkan kau dari pekerjaanmu. Jangan pernah datang untuk bekerja
lagi. Pergi dari sini!" usirnya, lalu aku terperanjat. Aku tiba-tiba
merasa ciut dan lemah, kakiku terasa seperti seonggok jelly. Aku
mendadak lupa bernapas dan aku menggeleng, berkali-kali menarik dan
mengeluarkan napasku dengan cepat.
Aku—aku tidak bisa berhenti
bekerja! Aku membiayai kehidupan Pamanku dan kehidupanku sendiri! Ya
Tuhan, bencana apa lagi ini?
"But Mr. Locardo!" teriakku.
"Aku tidak melakukan apa pun pada Justin!! Aku tidak bisa kehilangan
satu-satunya pekerjaanku!!"
"AND DO YOU THINK I CARE?! NOW
GET OUT OF HERE!!!"
Dia berteriak, teriakannya hampir
memecah gendang telingaku. Aku menangis dan dia memberiku isyarat—dengan
telunjuknya—untuk menyuruhku pergi. Setelah itu, kulihat dia masuk ke dalam unit
apartemen Justin ketika pintunya sudah terbuka. Aku langsung mendekat ketika
pintu itu tertutup dan mencoba untuk mengetuk-ngetuknya; aku berteriak
memanggil nama Mr. Locardo, tetapi tak ada jawaban. Ya Tuhan, aku tak bisa
kehilangan pekerjaanku. Kumohon, aku sudah mengemis untuk Mr. Locardo, tetapi
dia tak kunjung mendengarnya. Sesaat kemudian, aku meneguk ludahku, mengelap
air mataku, dan aku berbalik.
Aku masuk ke dalam lift dan turun
ke lantai dasar, lalu keluar dari gedung apartemen mewah itu. Melihat sejenak
ke belakang, aku akhirnya mengeluarkan air mataku lagi dan pergi dari sana,
menuju ke rumahku. Aku tak peduli aku tak bersepatu atau apa, yang lebih
memusingkanku saat ini adalah: aku kehilangan pekerjaanku.
Bagaimana ini?
Tak lama kemudian, aku sampai di
lorong tempat aku bertemu dengan Seth sebelumnya. Oh, Tuhan, sudah jam berapa
ini? Aku yakin Nathan akan marah padaku, apalagi ketika aku pulang dalam
keadaan kehilangan pekerjaanku.
Tiba-tiba aku mendengar suara
motor—suara motorku!—mendekat ke arahku. Apakah...apakah itu Megan? Oh! Aku
bahkan hampir melupakannya yang tengah membawa motorku. Yang benar saja, dia
baru pulang jam segini? Apakah bensin motorku dia isi ulang? Ha.
Aku langsung berbalik dan kutemukan
bahwa ternyata dia sudah berada di sampingku. Kini, dia mengklaksoniku dan sinar
lampu motor itu sukses menyilaukan mataku. Dia berhenti tepat di sampingku dan
aku mendekatinya, berkacak pinggang di depannya. Dia cengar-cengir sebagai
respons untukku. Aku memutar bola mataku.
"Ke mana kau, hah?! INI
SUDAH MALAM, GODDAMMIT! Kau tahu, aku seperti orang gila
karena high heels-ku patah dan motorku tidak ada!!"
Dia langsung membelalakkan matanya
dengan dramatis dan menatap kakiku. Aku merasa buruk sekali.
Megan berteriak, "OH
TUHANKU—VIO!! APA YANG TERJADI? APAKAH ADA YANG MEMUKULMU? ATAU MENCURI
SEPATUMU KARENA SEPATUMU MANIS? APAKAH KAU HABIS MELAKUKAN SESUATU? ATAU—"
Dengan cepat, aku menutup mulutnya. Aduh—membuat
malu sekali.
"Megan, please, bisakah
kau memelankan suaramu? Ini sudah malam!!" pintaku, aku memperingatinya
dengan bisikan. Dia sibuk memegangi tanganku yang sedang menutup mulutnya itu,
lalu dia mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya, aku pun melepaskannya.
"Okay, okay. Aku mengerti. Ah—ya! Satu lagi, aku
ingin meminta maaf padamu karena aku baru pulang dan—dan kau tahu, AKU BERTEMU
DENGAN SEORANG PRIA TAMPAN DI TEMPAT AKU MENGANTARKAN BARANG TADI! OH TUHAN, DIA
TAMPAN SEKALI! SEMOGA TUHAN MENJODOHKAN KAMI..." teriaknya sembari
menyatukan jemarinya, memohon kepada Yang Maha Kuasa.
Menggeleng dengan ekspresi datar,
aku langsung naik ke atas motor dan menepuk pundaknya. "Sudahlah, ayo
antar aku pulang," ujarku, lalu dia mengangguk walau masih cengar-cengir.
Dia langsung mengegas motorku dengan kuat hingga aku terlonjak ke belakang.
Beruntung aku tadi memegang bahunya. Dia membawaku dengan kecepatan penuh.
Di jalan, aku hanya diam. Pikiranku
masih kacau dan bercampur aduk.
"Vio," ujarnya,
memanggilku. "mengapa kau diam? Jadi, bagaimana? Sepertinya kau menjenguk
CEO kita. Apakah dia memelukmu dari belakang ketika kau membuatkannya
bubur?"
Aku memutar bola mataku.
"Aku memang menjenguknya,
tetapi ya Tuhan, Meg, kumohon berhentilah berpikiran terlalu dramatis. Apakah
kau pencinta drama Korea? Kau kurang dimanja sewaktu kecil?" ujarku, lalu
aku tertawa. Megan berhasil membuatku melupakan semuanya untuk sementara waktu
dan aku merasa kalau pikiranku jadi sedikit lebih tenang.
Dia tertawa.
"Jadi?" tanyanya dan aku
tersentak. Sial, masih ditanya juga?
Dia masih excited dan
aku langsung menepuk bahunya.
"Yah—tidak melakukan apa
pun," ujarku dan aku tertunduk. Aku menghela napasku dengan perlahan dan
menjilat bibir bawahku. Dia sedikit menoleh ke arahku yang sedang duduk di
belakangnya.
Aku lalu melanjutkan, "Kau
tahu? Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku."
Mendadak motor itu berhenti; Megan
mengerem motornya dengan sangat kuat. Tubuh kami terdorong ke depan dan mataku membulat
karena kaget.
"APAA?!! KAU DIPECAT?!!
MAKSUDKU—MAKSUDKU BAGAIMANA BISA? APA SALAHMU?!!!" Megan berteriak
histeris. Aku mengaduh kesakitan, mengetahui bahwa gendang telingaku rasanya
bagai ingin pecah dan aku kembali menghela napas setelah itu. Dia sedikit memutar
tubuhnya dan menatapku lewat ujung mata kirinya.
"Aku tak mengerti,"
ujarku seraya merundukkan kepala, lalu Megan menutup mulutnya dengan kedua
tangannya secara dramatis. Kacamatanya hampir saja terlepas karena tersenggol
oleh tangannya sendiri. Aku mendengkus.
"KATAKAN PADAKU, VIO!! KAU—APA
YANG AKAN NATHAN KATAKAN NANTI?! YA AMPUN, SEBAIKNYA MALAM INI KAU DI RUMAHKU
SAJA, AKU TAKUT KAU DIMARAHI NATHAN," tawarnya dengan suara yang kencang,
lalu dia memegang bahuku. Aku menoleh padanya.
"AYOLAH! NANTI KITA CARI
PEKERJAAN LAGI. NAMUN, KATAKAN PADAKU APA SEBABNYA KAU
DIPECAT? APAKAH JUSTIN SI TAMPAN ITU YANG MEMECATMU? DAMN..." Dia
berteriak histeris. Oh, hell, Meg, kau masih saja bisa
menyebutnya sebagai pria tampan, padahal dia itu menyebalkan.
Aku memutar bola mataku.
"Tolong jangan katakan bahwa
dia tampan, Meg," kataku seraya menghela napasku lelah. "Well, aku
tak mengerti. Aku pulang dari rumahnya dengan cara diusir dan—"
"DIUSIR?!!!" teriak Megan.
Aku memutar bola mataku lagi,
mengembuskan napasku lewat mulut. "Meg, biarkan aku bercerita dulu,"
ujarku dan dia dengan cepat cengar-cengir lagi. Aku menggeleng.
"Aku pulang jalan kaki karena
kau bilang kau masih ada urusan. Aku kesulitan saat mau memberhentikan taksi,
entah kenapa sopirnya tidak melihatku. Aku berjalan lagi dan aku menolong
anak-anak yang ingin membeli es krim lalu ongkosku untuk pulang jadi habis. Aku
bahkan tak ingat jumlah uang yang kubawa. Setelah itu, aku bertemu dengan taksi
dan sialnya aku sadar bahwa aku tak punya uang. Aku lanjut berjalan lagi dan
hak high heels-ku patah. Tak lama kemudian, aku bertemu dengan Seth
yang sedang mabuk—dia mau menyerangku—dan tiba-tiba sudah ada Justin. Aku tak
mengerti bagaimana caranya Justin mendadak bisa ada di sana, tetapi dia
benar-benar menghabisi Seth. Aku menanyainya dan tanpa sadar aku mengikutinya,
lalu kami sampai di sebuah club. Di sana dia benar-benar...okay, dia
bajingan. Ketika aku mau pulang dan meninggalkannya, sialnya dia tiba-tiba
terjatuh karena mabuk. Aku membopongnya, membawanya pulang, lalu ternyata aku
bertemu dengan pamannya ketika kami sampai di depan pintu unit
apartemennya."
Megan mengangkat kedua alisnya.
"Mr. Locardo Alexander, ya?" tanya Megan kepadaku. Aku
mengangguk. Well, wajar saja Megan tahu, soalnya dia sudah
lama bekerja di perusahaan itu dan dulunya, sebelum Justin memimpin, Mr.
Locardolah CEO di sana. Namun, dia tidak sedingin Justin.
"Ya," jawabku. "dan
dia mengira bahwa akulah penyebab dari semua itu. Maksudku, dia kira akulah
yang membuat Justin jadi mabuk malam-malam begitu. Kurasa dia tak tahu bahwa
Justin berkelakuan seperti bajingan dan dia malah menyalahkanku. Aku dipecat
karena hal itu."
"Ya Tuhan, Violette...
Sungguh, aku minta maaf..." ujar Megan, menggelengkan kepalanya tatkala menatapku.
Megan langsung memelukku. Aku balas memeluknya dan aku merasa sedikit nyaman
ketika berada di pelukannya. Megan mengusap punggungku dan mataku berkaca-kaca.
Aku memeluknya semakin erat, mencengkeram bajunya dan aku menangis dengan pelan
di pelukannya. Dia terus mengusap punggungku dan menenangkanku.
Setelah itu, dia menghidupkan
kembali motorku dan kami pergi ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, dia pun
turun dan aku pulang membawa motorku sendiri. Megan memelukku dan menenangkanku
lagi, kemudian dia meminjamkan salah satu high heels-nya kepadaku
tanpa kuminta. Aku awalnya menolak, tetapi dia bilang dia prihatin melihat
kakiku. Aku memang terlihat kacau sekali.
Aku akhirnya pulang sendirian
dengan mengendarai motorku.
Aku melihat jam yang tersemat di
tangan kiriku dan ternyata ini sudah jam dua lebih lima belas menit. Aku terkejut
dan mulai mempercepat motorku. Aku sampai di rumah dan memarkirkan motorku di halaman,
lalu aku langsung berlari dan membuka pintu. Pintu depan kami memiliki dua
kunci. Satu kunci asli dan satu lagi kunci duplikat. Aku dan Nathan
masing-masing memegang satu. Aku memutar kuncinya, lalu membuka pintu itu.
Ketika aku menutup pintu itu kembali, aku berbalik dan langsung terkejut bukan
main. Nathan sudah ada di depanku. Lebih tepatnya, dia masih
duduk di sofa yang ada di depan TV, tetapi dia tidak sedang menonton. Oh sial.
Dia pasti marah karena aku pulang kelewat larut bahkan hampir subuh.
"Dari mana saja, Vio?"
tanyanya, nadanya terdengar seperti menginterogasiku. Aku meneguk ludahku dan
tertunduk. Mengernyitkan hidungku, aku lantas berpikir keras. Aku menggigit
bibirku.
"Aku...aku bermain di
rumah Megan dan aku tertidur. Maaf, Nathan. Aku...aku tidur dulu," ujarku
dengan cepat, lalu aku langsung berjalan ke kamarku. Aku yakin Nathan tengah
menatapku dengan tatapan curiga. Namun, aku hanya langsung masuk ke kamar dan
berbaring tengkurap di atas kasurku. Aku pun menangis hingga akhirnya aku
tertidur dan bermimpi tentang sepasang mata karamel yang kembali menyiksaku.
******
Aku terbangun ketika tiba-tiba ada
suara deringan ponsel. Aku mengusap wajahku ketika kuketahui bahwa bunyi itu
berasal dari ponselku yang kuletakkan di samping bantalku. Ponsel itu berbunyi
pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Aku berdecak sendiri karena aku belum
lama tidur. Hey, aku tertidur jam setengah empat pagi tadi dan
aku harus terbangun sekarang? Lagi pula, siapa yang mengirimiku pesan sepagi
ini? Operator? Oh hello, jika benar, aku akan mendatangi
kantor operator itu nanti.
Aku membuka pesan itu seraya
mendengkus.
From: +1-646-855-9235
Apakah sopan membuat boss-mu sampai mengirimi
pesan kepadamu, Vio?
Datang sekarang atau undurkan
dirimu.
Aku terlonjak; aku langsung
terduduk di kasurku.
Hah, apa ini Justin? Kalau ini
Justin, dari mana dia bisa mendapatkan nomor ponselku?! APA DIA PENGUNTIT?!
To: +1-646-855-9235
Ini kau? KATAKAN PADAKU DARI MANA
KAU MENDAPATKAN NOMOR PONSELKU.
Setelah kukirimkan itu, aku pun
menyimpan nomornya dan mengubah namanya.
From: Mr. Sok Mengatur
Dari temanmu. Aku beri waktu dua
puluh menit sampai kau kemari. Jangan membantah.
Aku kontan membulatkan kedua mataku.
Aku sudah dipecat! Di mana akan kutaruh wajahku jika aku pergi ke sana lagi?
Aku tahu kalau pemecatanku itu bukan dilakukan oleh Justin, tetapi tetap saja
aku sudah dipecat. Aku sontak meremas ponselku, dadaku sesak lagi tatkala
memikirkan bahwa aku sekarang telah kehilangan pekerjaanku. Ditambah, aku juga
masih menyembunyikan ini semua dari Nathan...
To: Mr. Sok Mengatur
Aku tidak memiliki urusan lagi
denganmu, sir.
From: Mr. Sok Mengatur
Ini adalah perintah untukmu, Vio.
Bukan aku yang memecatmu. Kau tak perlu menuruti perintah dari orang lain
selain aku.
Waktumu sudah berkurang tiga menit.
Mataku membelalak. Awalnya,
mataku memang sempat berkaca-kaca; aku terharu karena menyadari bahwa dia tak setuju
untuk memecatku dan dia menyuruhku untuk kembali bekerja. Namun, pada kalimat
terakhir, aku mendadak merasa kalau bokongku seakan sedang tertusuk jarum. Aku
terlonjak dan langsung berlari ke kamar mandi. Syukurlah! Aku
mendapatkan kembali pekerjaanku! Nathan, aku tidak akan mengecewakanmu!
"YUHUUUUUUU!!!!!!!" teriakku, memelesat masuk ke kamar
mandi sembari menaikkan tanganku ke atas, setelah sebelumnya aku mengambil
handukku. Oh shit, ini tinggal tujuh belas menit, man! Apakah
sempat?!
Eh...tunggu. Tunggu
sebentar.
INI NAMANYA SAMA SAJA!! Dia berkata
bahwa jika aku terlambat, aku disuruh untuk mengundurkan diri. INI SUDAH PASTI
TIDAK AKAN SEMPAT! Dia hanya mengerjaiku!! Ini gila!
Namun, masih ada satu harapan jika
aku bisa bergerak secepat kilat dan selaju roket. Haha. Tunggu
aku, Mr. Sialan Alexander.
Hei, aku baru sadar. Untuk apa dia
mencari nomor ponselku—yang kuyakin pasti dari Megan—itu? Dia mencariku,
padahal dia itu sangat kejam dan tak mau tahu tentangku? Hmm, agak aneh.
Untuk apa? Ditambah lagi, aku
terkejut dengan isi pesannya. Dia memaksaku. Aku masih tak memercayainya karena
dia itu manusia es yang terkuat, menurutku. Dia tidak seperti itu. Apakah itu
karena pengaruh alkohol tadi malam? Apakah...dia memakan makanan basi hari ini
dan dia jadi kurang waras?
HAHA. Aku tertawa sendiri tatkala
membayangkannya memakan makanan basi.
Setelah selesai, dengan secepat
kilat aku memakai pakaianku—seperti robot—dan well, aku tak
tahu mengapa aku bisa secepat ini. Gila, ini seperti embusan angin. Setelah
itu, aku merapikan rambutku, mengambil tasku, dan keluar mengambil high
heels-ku yang lain sambil berlari hingga membuat Nathan hampir menumpahkan
kopinya. Aku keluar dari rumah dan langsung menghampiri motorku. Aku memasang
helm dan tanpa peduli apa pun lagi, aku memelesat dengan kecepatan penuh.
CEPAT, VIO! KAU TIDAK ADA WAKTU
LAGI!
Aku menatap jam tanganku dan
ternyata hanya tersisa sembilan menit lagi! Sialaaaaan!!!!!
Setelah berusaha mengendarai
motorku seperti pembalap, aku akhirnya sampai di tempat parkir perusahaan. Aku
pun turun dan menaruh helmku di motor. Setelah itu, aku langsung berlari
terbirit-birit masuk ke dalam perusahaan. Melalui lobi, lalu ke ujung—ke dekat
lift—dan naik ke lantai tiga belas. Aku sungguh merasa gusar hingga aku
menggigit kukuku sendiri di dalam lift.
Akhirnya, pintu kubikel lift itu
terbuka. Aku menghela napas lega dan langsung berlari lagi ke dekat pintu CEO
dan langsung mengeluarkan napasku lewat mulut. Merapikan pakaianku, aku pun
mengetuk pintu CEO itu. Tiga kali.
"Sir," panggilku.
"Masuk."
Aku membuka pintu itu, lalu masuk
dan menutup pintu itu kembali. Aku berbalik dan menemukan Justin sedang duduk
di kursinya. Ia menatapku dengan kepala yang memiring ke sisi, sikunya bertumpu
pada meja. Aku tertunduk, berdiri dengan jarak enam meter di
depannya.
Dia lalu membuka suara,
"Kau terlambat 45 detik."
HECK. Dia menghitung sampai ke
detik-detiknya? Dia ini robot atau manusia? Dia menghitung waktuku kemari?
Peduli sekali dia? Apakah dia memang menunggu agar aku mengundurkan diriku
sendiri?
"HEI!! ITU HANYA 45 DETIK!!!"
teriakku. "Kumohon, Justin, biarkan aku bekerja. Aku tahu kau berkuasa,
tetapi tak sepantasnya kau sampai seperti itu!"
Dengan dinginnya dia berkata,
"Aku menerapkan kedisiplinan dengan tegas di sini, Vio."
"KEJAAAMMMM!!!!" teriakku
tak terima. Dia malah menaikkan sebelah alisnya.
Dia lalu mengedikkan bahu.
"Kembalilah bekerja. Antarkan berkas ini ke beberapa manajer
bawahanku." []
******
No comments:
Post a Comment