Bab
2 :
TALITHA berjalan dengan sedikit tergesa ke ruang tengah. Piamanya terlihat begitu besar di tubuhnya dan dengan cepat gadis itu mengikat rambutnya sembarangan. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah satu: mencari mamanya yang jam segini biasanya ada di ruang tamu. Ini sudah jam tujuh malam dan jam delapan malam nanti ia akan pergi bersama Gavin ke pesta anniversary Abraham Groups. Ia harus bersiap-siap, tetapi karena kebodohannya dalam ber-makeup, dia malah tak kunjung bisa bersiap-siap dari tadi.
Mungkin meminta
tolong dengan mamanya adalah keputusan yang terbaik. Gavin sedang
mandi dan apabila ia tak bersiap-siap juga, ia mungkin akan digantung oleh
Gavin. Dang.
"Ma!"
teriak Talitha, langkahnya dipercepat saat kedua matanya menemukan sosok mamanya
yang duduk di ruang tengah (ruang keluarga), sedang menonton TV. Talitha bergegas menghampiri mamanya.
"Ma!!"
Mamanya
mengernyitkan dahi, lalu langsung menoleh kepada Talitha. "Apa, Ta? Jangan
berisik, udah malem!"
Mata
Talitha melebar, ia rupanya tidak peduli bahwa sekarang sudah malam. Ia langsung
duduk di sebelah mamanya begitu ia sampai.
"Ngapa
lagi?" tanya mamanya, kini sepenuhnya menatap dengan heran kepada Talitha,
satu-satunya anak perempuannya. "Papa tidur, nggak usah berisik gitu.”
Talitha
mengangguk cepat, kemudian otaknya kembali memikirkan tujuan awalnya tadi.
Gadis itu langsung memberikan mamanya tatapan yang memelas. "Tolongin Ita,
dong, Ma. Yaa? Ita nggak bisa pake makeup, sumpah! Itu tadi Ita
pinjem punya Mama, tapi tetep nggak ngerti pakenya gimana. Perasaan tiap dipake
malah jadi ondel-ondel."
"Lho,
kamu jadi, ya, ikut abangmu ke pesta itu? Gaunnya mana?"
"Jadi,
dong. Orang Bang Gavin nggak punya pasangan, hahahaha!" Talitha tertawa
keras sampai-sampai mamanya menggeleng. "Kamu itu kok malah doain abangmu nggak
punya jodoh."
Talitha
tertawa lagi. "Halah, Ma, Bang Gavin juga kayak gitu. Gimana mau punya
cewek kalo dia selalu bawa Ita ke mana-mana? Orang-orang nyangka kalo Ita nih
ceweknya. Oh, ya, Ma, gaunnya tadi udah dibeliin sama Bang Gavin. Tolong
bantuin Ita siap-siap, ya, Ma?"
Akhirnya,
mamanya mengangguk. Hal itu membuat Ita jadi gembira.
"Ya
udah, ayo cepet,” ujar mamanya.
Mama
Talitha berdiri dan langsung pergi ke lantai atas di mana kamar Talitha berada.
Sementara mamanya berjalan duluan, Talitha menoleh ke kiri—ke arah di
mana dapur dan kamar mandi berada—dan menemukan Gavin yang telah berdiri di
sana dengan hanya memakai handuk di pinggangnya.
"Lho, Dek,
lo belum siap-siap?!" teriak Gavin, matanya melebar.
Talitha
hanya cengar-cengir. "Tunggu, Bang, sabar-sabar." Talitha memasang
wajah sok tak berdosa. Gavin mengerutkan dahi.
Akhirnya,
Talitha mengerjap dan melebarkan matanya. Ia ingat kalau sekarang sudah jam
tujuh lewat!
"Tunggu,
ya, Bang!! Tunggu!! Ita siap-siap bentar, oke?! Tunggu, Bang! Abang pake baju
aja dulu!!" teriaknya cepat dan langsung berlari ke lantai atas.
Hal
itu membuat Gavin jadi menggeleng sendiri, merasa bahwa ia memiliki seorang
adik perempuan yang tak kunjung menemukan titik kedewasaan. Walau Gavin sendiri
pun bingung, apakah ia sudah benar-benar dewasa untuk bisa dicontoh oleh
Talitha? Dia terkadang bersikap sok dewasa, tetapi itu langsung diejek oleh
Talitha. Yah, jelas saja karena Talitha tahu bahwa Gavin bukanlah orang yang
seperti itu.
Sebentar.
Bukankah itu artinya Ita menganggap Gavin belum dewasa?
"Tuh
anak emang minta dijotos. Abangnya kok dianggep kayak anak-anak," omel
Gavin tiba-tiba. Dia pun lanjut berjalan ke kamarnya.
******
"Duh,
Bang! Gimana, nih?" Talitha menatap Gavin dengan gelisah. Matanya sesekali
melihat ke luar jendela; ia melihat betapa banyaknya mobil-mobil yang parkir di
dekat mereka, yakni di sebuah hotel ternama. Dari dalam mobil-mobil itu keluar
pasangan-pasangan yang kelihatan mempesona dan juga serasi,
tampak seperti pasangan yang begitu sempurna. Ada yang masih muda dan ada juga
yang sudah berumur.
Gavin
menatap Talitha sembari melepas sabuk pengamannya. "Udah, nggak apa-apa.
Ayo, ntar ada Revan juga di sana." Gavin menyemangati Talitha.
Talitha
menatap Gavin dan mengangguk cepat.
Setelah
itu, mereka berdua turun dari mobil setelah sebelumnya Talitha melepas sabuk
pengaman yang terpasang di tubuhnya. Gavin menggandeng Talitha masuk ke lobi
hotel itu, menuju ke resepsionis. Talitha melongo sendiri tatkala melihat
betapa mengerikannya kemewahan dan fasilitas hotel itu. Talitha tidak mendengar
sama sekali apa yang sedang dibicarakan abangnya dengan resepsionis yang
berpakaian batik itu sampai akhirnya Gavin membawa Talitha naik lift.
Talitha
hanya diam, tangannya memegang lengan Gavin sampai bunyi ding dari
lift itu membuatnya mengerjap. Mereka akhirnya keluar dari lift, lalu menuju ke
salah satu pintu yang telah dijaga oleh dua orang penjaga yang berpakaian rapi.
Gavin menyerahkan sesuatu seperti sebuah undangan kepada para penjaga itu dan
penjaga itu pun membukakan pintu untuk mereka berdua. Setelah pintu itu
terbuka, Talitha langsung menganga; mulutnya terbuka luar biasa lebar. Gavin
masuk membawa Talitha yang matanya sekarang melebar.
Talitha
langsung mencengkeram lengan Gavin dengan kuat hingga membuat Gavin mengaduh
kesakitan. "Astaga, Bang... Sumpah, ini keren!!" Talitha berdecak
kagum, sementara Gavin hanya menggeleng melihatnya. Pria itu terkikik sendiri
melihat tingkah adiknya.
Gavin
memang mengakui bahwa aula yang disewa untuk pesta ini luar biasa besar dan
elegan. Semuanya serba mewah, serba berkilauan. Pelayan-pelayan yang
berkeliling membawakan minuman itu bahkan secantik model.
Gorden berwarna krem membentang di seluruh permukaan dinding,
peralatan-peralatan yang digunakan juga bukan main mewahnya. Tidak heran jika
orang-orang di dalamnya juga luar biasa elegannya.
Gavin
mendengar seseorang memanggil namanya dari kejauhan dan ia sontak melihat jauh
ke depan sana; ia memanjangkan lehernya demi mencari siapa yang memanggilnya.
Talitha masih menganga melihat ke sekeliling, sementara Gavin sibuk mencari
keberadaan orang yang sedang memanggilnya. Gavin akhirnya menemukan Revan di
ujung sana, pria itu memanggil namanya sembari mendatanginya. Gavin melambaikan
tangannya pada Revan, ia juga menarik Talitha untuk lebih mendekat kepada
Revan. Talitha tersentak sampai akhirnya ia menyadari bahwa Gavin sudah bertos
ria dengan Revan.
"Yo,
Bro! Kapan nyampe?" tanya Revan seraya menepuk singkat
pundak Gavin. Gavin balas menepuk keras pundak Revan hingga Revan mengaduh
kesakitan.
"Baru
aja, lo udah dari tadi?" tanya Gavin dan Revan mengangguk.
"Gue
kira lo udah di sini, Nyet," celetuk Revan. “soalnya lo, kan, jomblo.”
Mata
Gavin kontan memelotot.
"Kampret
lo, Van. Gue baru nyampe, Nyet, jangan ngajak ribut lo," ujar Gavin, tetapi
Revan hanya tertawa.
Tiba-tiba
Revan melihat ke samping Gavin dan mata pria itu melebar saat melihat Talitha
di sana. Revan sontak memeluk Talitha kuat-kuat hingga Talitha merasa tubuhnya
seakan remuk—atau bahkan jadi penyok—karena tubuh Revan yang besar. Revan lebih
tinggi daripada Gavin. Revan adalah tipe lelaki bertubuh proporsional yang tak
heran menjadi playboy cap kapak dari semasa sekolah. Tubuh Gavin
juga tak kalah bagus, tetapi Revan lebih tinggi daripada Gavin.
"ITAAAA!!! ADEK
AJAIB GUE!" teriak Revan bak semut yang baru saja berjumpa dengan
sebongkah gula. Talitha membuka mulutnya lebar-lebar, nyaris muntah karena Revan
terus memeluk tubuhnya dengan kencang. Mulut Talitha sudah seperti mulut ikan
yang termonyong-monyong karena kehabisan napas.
"ADUH,
BADAN GUE, BANG!! BADAN GUE!! BADAN INDAH GUE REMUK, BANG!!" teriak
Talitha putus asa. Revan tertawa kencang, tawanya membahana sekali hingga
akhirnya pria itu melepaskan tubuh Talitha. Tubuh Talitha langsung oleng,
nyaris jatuh. Ia merasa seakan nyawanya baru saja dicabut, lalu dikembalikan
lagi.
"Lo
dateng, Dek??!" tanya Revan dengan antusias.
Talitha
mengangguk. "Ya datenglah, Bang. Kalo nggak dateng, nggak mungkin udah
mencogok di sini."
"Amit-amit,
dah, Ta, kok lo keliatan kayak bocil banget dah." Revan tertawa lagi.
"Lo
jangan nggodain Adek gue, deh, Van. Jijay gue." Gavin memutar bola
matanya, tetapi dilihatnya sekarang Talitha malah berusaha untuk meraih kepala
Revan. Gavin kontan membulatkan matanya.
Talitha
terlihat seperti monyet yang sedang berusaha untuk memanjat tubuh Revan yang
jauh lebih tinggi darinya!
"Ta—Ta!
Ita!! Jangan, jangan!!" teriak Gavin, berusaha untuk
meraih dan melepaskan Talitha dari tubuh Revan, padahal Revan sendiri tengah
tertawa terbahak-bahak karena perlakuan Talitha. Hello, mereka
sedang berada di dalam pesta, 'kan?
"Bang
Revan ngatain gue bocil, nih! Awas lo, ya, Bang!" protes Talitha, kemudian
ia melepaskan tubuh Revan. Revan tergelak lagi.
Diam-diam
Gavin tertawa. Hal itu membuat Talitha jadi memelototinya. Risiko punya
dua abang yang stress, pikir Talitha.
Tak
lama kemudian, suasana kembali netral. Talitha menoleh ke kiri dan ke kanan…sampai
akhirnya tatapannya berhenti lagi di Revan. "Bang, lo dateng ke sini sama
siapa?" tanya Talitha dan Revan kembali melihat ke arahnya.
"Sama cewek
baru Abang."
"Halah,
bagi dia mah, cewek udah jadi kayak ikan asin kepala batu. Gue
heran kenapa cewek-cewek bisa nempel sama monyet geblek kayak
dia." Kenyinyiran Gavin telah kembali.
Talitha
tertawa seperti kesetanan. Revan dan Gavin sama stress-nya. Cocok
sekali kalau disatukan.
Revan
menjotos kepala Gavin singkat, tetapi ujung-ujungnya pria itu malah
cengar-cengir dan mengapit lengan Gavin. "Vin, ke deket ketua direksi lain
yok. Mereka nungguin, tuh. Lo lama banget soalnya," ajak Revan.
Gavin
mengernyitkan dahi. "Lah, nungguin gue?" Gavin bernapas. "Ya mau
gimana lagi. Kan gue datengnya ama Ita. Lo tau sendirilah, Ita nggak bisa
dandan. Jadinya, Mama yang bantuin dia. Lagian, gue nggak telat, 'kan? Belum
dimulai juga acaranya."
"Ya
emang, sih. Tapi, kan...lo tau dah dirut kita kayak gimana.
Ayo, deh." Revan menarik Gavin lagi, kemudian Revan menatap Talitha.
"Ta,
lo gimana? Mau ikut apa mau ngapain?" tanya Revan dan belum sempat Talitha
menjawabnya, pertanyaan itu justru dijawab oleh Gavin duluan.
"Ya
jelas ikutlah!! Gue bunuh lo, Van, kalo lo nyuruh gue ninggalin Adek gue di
sini. Mati lo di tangan gue."
Talitha
menghela napas. Gavin...mulai, deh, overprotective-nya.
Revan
terkikik geli. "Iya, deh...Abang Ganteng," ujarnya
sembari mengejek Gavin. "Gue juga takut, sih, kalo Ita di
sini sendirian. Ntar malah ilang."
Akhirnya,
Revan juga menarik Talitha, menyuruh Talitha untuk bergandengan tangan dengan
Gavin. Revan tahu kalau Gavin tengah berpura-pura seolah-olah Talitha
adalah pasangannya. Revan sudah hafal dengan kebiasaan Gavin.
Tak
lama kemudian, mereka bertiga sampai di kerumunan ketua direksi yang lain.
Gavin bersalaman dengan akrab sebagai sesama ketua direksi, begitu juga Revan.
"Oh,
ini pacar kamu, Vin? Manis, ya..." ujar seorang wanita dengan rambut yang
disanggul. Sepertinya, wanita itu berumur tiga puluhan. Talitha hanya
mengangguk dengan sopan ketika perempuan itu memujinya dan akhirnya bersalaman
dengannya.
"Ah...
Iya, Mbak Rei, ini pacar saya," ujar Gavin dengan akrab,
kemudian mereka tertawa bersama. Oh, sepertinya wanita itu memang akrab dengan
Gavin.
Talitha
mendengar pembicaraan mereka, tetapi tidak terlalu menyimaknya. Mereka berbicara
tentang perjalanan ke pesta itu, tentang pekerjaan, dan lain-lain. Talitha
hanya tersenyum dan bersikap selayaknya apa yang ia perankan saat ini.
Tiba-tiba
terdengar suara tepuk tangan yang meriah. Suara tepuk tangan itu mulai memecah
suasana. Membuat semua ketua direksi jadi mengalihkan pandangan mereka ke ujung
ruangan, di mana ada sebuah panggung yang superbesar di sana. Ada podium
dan microphone di tengah-tengah panggungnya. Suasana jadi
semakin riuh.
Talitha
melihat seorang pria bertubuh tegap yang tengah menaiki panggung dari samping. Pria
itu mengenakan setelan jas rapi yang berwarna putih. Sejak pria itu datang, keadaan
jadi semakin riuh. Jauh lebih riuh daripada sebelumnya. Talitha melebarkan
matanya tatkala melihat pria itu yang luar biasa tampan meskipun baru dilihat
dari samping (pria itu masih berjalan ke podium). Dagunya lancip dan hidungnya
mancung. Rambutnya tertata rapi dan kulitnya tampak luar biasa halus. Dia
terlihat seperti orang asing yang datang ke Indonesia.
Pria
itu kini menghadap ke depan; dia memegangi microphone, lalu
baru saja mau berbicara di atas sana, tetapi saat itu pula mata Talitha
terbelalak. Talitha merasa tubuhnya menegang dan ia spontan berteriak sembari
menunjuk ke arah pria yang ada di atas panggung itu.
"MARCO
DEON!!"
Talitha
berteriak kuat hingga seisi aula itu mendadak terdiam. Suara Talitha menggema
ke seluruh sudut ruangan. Mata Gavin kontan terbelalak; pria itu menatap
Talitha heran, begitu juga dengan Revan.
Talitha
tidak salah, 'kan? Itu Marco Deon, model dari
Taiwan!! Mengapa pria itu bisa ada di acara anniversary Abraham Groups?!
"Ita—sssttt, lo
kenapa? Pelanin suaranya, Dek! Yang di depan itu Dirut!" bisik Gavin. Demi
Tuhan, dia tak mengerti mengapa Talitha tiba-tiba bisa berteriak sekencang itu
dan mengapa Talitha bisa tahu nama direktur utama mereka?
Semua
orang di aula itu jadi melebarkan mata, melihat betapa beraninya seorang gadis
berteriak di tengah-tengah acara. Gadis itu juga dengan tidak sopannya menyebut
nama 'Dirut bin Kejam' mereka. Revan mencoba untuk mencairkan suasana,
sementara Gavin mencoba untuk menenangkan Talitha.
Mata
Talitha memelotot, dia langsung menghadap ke arah Gavin. "Bang, itu Marco
Deon, Bang!! Itu model terkenal dari Taiwan yang digilai sama si
Basuki!!! Masa Abang nggak inget, sih? SUMPAH, BANG, ITU MODEL TERKENAL!! APA
KATA ABANG?! DIA DIRUT DI SINI?! JADI, BENERAN, NIH, DIA KE INDONESIA??? BUSET
DAHH, YANG ASLI TERNYATA LEBIH GANTENG DARIPADA YANG DI FOTO, CUWK!!!!" teriak
Talitha kencang hingga memekakkan telinga Gavin. Semua orang yang mendengar
teriakan Talitha itu ikut memelotot; jantung mereka serasa dipukuli dengan besi
hingga berdebum, merasakan takut yang luar biasa apabila Dirut mereka mengamuk
saat itu juga.
Namun,
selain rasa takut, hal yang saat ini ada di pikiran Gavin dan karyawan lainnya
adalah: bos mereka itu model dari Taiwan?
Ini
berita yang mengejutkan. Namun, sayangnya sekarang bukan saatnya untuk
memedulikan hal itu. Sekarang, yang lebih penting adalah: mengurusi
Talitha!
Gavin
menutup mulut Talitha, tetapi adiknya itu malah memberontak kuat. Gavin membawa
paksa Talitha keluar dari aula pesta itu. Gavin menyeretnya ke luar, sementara
Revan mulai kembali tersenyum sana-sini untuk mencairkan suasana dan membiarkan
bos besar mereka kembali melanjutkan acara pembukaan. Ketika Gavin berhasil
membawa Talitha ke luar hingga pintu besar aula itu tertutup di belakang
mereka, Talitha pun melepaskan genggaman tangan Gavin. Talitha tak peduli
dengan penjaga pintu yang tengah memperhatikan mereka; Talitha tetap berteriak,
"Bang, kita kok ke luar, sih?!! Pestanya belom selesai, Bang!! Gue pengin
liat Marco Deon lebih jelas!!!"
Gavin
menutup mulut Talitha lagi, membawa Talitha menjauh ketika Gavin mendengar
Talitha mengucapkan nama 'Marco Deon' lagi. Ketika
sudah agak jauh dari lokasi pintu itu, barulah Gavin melepaskan tangannya dari
mulut gila Talitha.
"Ita, please. Iya,
gue juga nggak nyangka kalo dia itu model yang digilai si Basuki. Sialnya gue
juga baru inget kalo dia itu model yang digilai si Basuki. Tapi di sini dia itu
bos gue. Dia itu direktur utama perusahaan gue. Lo bisa dimarahin, Ta, kalo lo nggak
sopan kayak tadi. Lo cari mati?"
Talitha
terdiam. Ia kontan mengunci mulutnya sendiri. Oh, iya juga, ya.
Duh, mati.
Talitha
sampai teriak seperti itu tadi... Aduh, tamatlah riwayat abangnya.
Gavin
menghela napas. "Ditahan, oke? Ntar lo juga yang malu, Dek. Gue nggak mau
kalo lo diketawain ntar."
Talitha
mengembuskan napasnya samar.
"Maaf,
Bang. Refleks tadi," ujar Talitha kelewat pelan, sudah
seperti berkumur-kumur. Gavin mengernyitkan dahi, merasa tak bisa mendengar
suara Talitha.
"Hah?"
"Maaf.
Lagian, harusnya lo meduliin diri lo sendiri, Bang. Kan harusnya lo marah ke
gue karena otomatis yang malu itu elo,” ujar Talitha dengan penuh penyesalan.
Gavin
menghela napas lagi. "Gue nggak malu. Gue takut lo kenapa-napa aja.
Lagian, kayaknya salah gue juga, deh, ngajakin lo ke sini. Siapa sangka kalo dirut
itu ternyata model terkenal," ujar Gavin. Pria itu lalu mengacak rambut
Talitha. Talitha menggeleng cepat, memegangi lengan Gavin.
"Nggak,
kok, Bang, nggak. Lo nggak salah kok! Gue yang ngacauin, hehehe. Ya udah, lo
balik aja ke pesta. Gue tunggu di sini, oke? Gih!"
Talitha menarik-narik Gavin.
Gavin
melepaskan tangan Talitha. "Nggak. Lo nggak boleh gue tinggal sendirian.
Bahaya."
Talitha
berdecak. "Udah sana, ih! Nggak enak sama ketua direksi lain! Udah pergi
aja sana, gue tungguin di sini."
"Ita!! Nggak.
Pokoknya nggak boleh!" teriak Gavin, mengancam Talitha dengan
telunjuknya. Dia tahu bahwa anak ajaib seperti Talitha tidak akan takut dengan
kata-kata.
"UDAH
SANA!!!!" Akhirnya Talitha berteriak dan mendorong-dorong tubuh Gavin yang
jauh lebih besar darinya itu ke pintu aula pesta. Talitha berusaha untuk
mendorong Gavin dengan kencang meski berkali-kali Gavin mengomeli Talitha.
Setelah
tubuh Gavin berhasil masuk ke dalam, pintu itu pun tertutup dan menyisakan
ocehan singkat Gavin di dalam sana. Namun, akhirnya ocehan Gavin berhenti dan
itu menghasilkan senyuman yang lebar di wajah Talitha.
Hah, akhirnya
berhasil juga.
******
Langkah
kaki Deon yang teratur itu terlihat menuju ke salah satu sudut aula pesta. Balutan
jas elegan itu tampak begitu pas di tubuhnya; semua pakaian akan terlihat
begitu sempurna saat melekat di tubuhnya. Sosoknya bagaikan karya seni terbaik
ciptaan Tuhan. Kulitnya, wajahnya, dan bentuk tubuhnya seolah dipasangkan dengan
begitu serasi. Kontur wajahnya membuatnya terlihat sangat tegas;
rahangnya tajam. Jas berwarna putih itu berhasil membuatnya terlihat lebih
bersinar daripada berpuluh lampu kristal yang tergantung di atas ruangan.
Deon
mendekati sebuah kerumunan. Kumpulan direktur.
"Pak
Deon?" sapa seorang pria paruh baya—seorang direktur—tatkala
Deon menghampiri mereka. Deon tetap berjalan ke arah kerumunan itu dan ia mulai
menatap pria itu sembari tersenyum tipis. Pria paruh baya itu merunduk hormat
kepada Deon dan begitu Deon sampai, pria itu pun mengajak Deon untuk bersalaman.
"Bagaimana pestanya?"
tanya Deon, sekadar ingin mengobrol dengan para direktur itu. Akhirnya, semua
direktur yang ada di sana mulai menatapnya dan mereka semua agak terkejut; mereka
semua langsung merunduk hormat dan memasang ekspresi wajah yang terlihat senang
di depan Deon. Bukan berarti mereka tidak senang, tetapi mereka hanya terkejut
dengan kehadiran Deon di dekat mereka. Satu per satu dari mereka mulai menjabat
tangan Deon.
"Ah...ya,
Pak, pestanya betul-betul menyenangkan. Ini luar biasa, Pak," jawab salah
satu dari mereka. Deon mengangguk samar sembari tersenyum. Sebenarnya, umur
Deon jauh lebih muda daripada mereka, tetapi tekanan saat
berada di dekat Deon memang besar.
Hal
itu membuat orang-orang jadi rela untuk tunduk begitu saja.
"Semua
bawa pasangan masing-masing?" ujar Deon, kemudian dia tertawa renyah.
Mereka semua malah tertawa. Tahulah, tawa khas bapak-bapak pebisnis. Namun, sebenarnya
ada dua orang ibu-ibu juga.
"Ya,
Pak. Bagaimana dengan Pak Deon?" tanya salah satu dari mereka. Deon
tersenyum dan menggeleng samar, kemudian mengatakan, "Ah...saya belum
punya pasangan."
Semua
direktur itu lagi-lagi tertawa, menyadari bahwa ternyata Deon orangnya sedikit
fleksibel. Deon sedikit memberikan humor kepada mereka.
Salah
satu ibu-ibu direktur itu mulai berbicara, "Tapi bagaimana mungkin Pak
Deon belum punya pasangan? Bapak orangnya ganteng. Ganteng sekali malah, hahaha!"
Lagi-lagi
para direktur itu tertawa. Deon juga ikut tertawa renyah.
Tiba-tiba
ponsel Deon berbunyi. Deon menyatukan alisnya, kemudian ia mencari keberadaan
ponsel itu di balik jasnya, tepatnya di dalam saku kemejanya. Ketika melihat
siapa yang memanggilnya, Deon pun menatap para direktur itu.
"Nikmati
pestanya, ya? Saya mau angkat telepon dulu," ujar Deon. Pria
itu menempelkan ponselnya di telinganya, lalu menjauh dari para direktur itu.
"A—ya,
Pak. Ya," jawab beberapa dari direktur itu, melihat Deon yang terburu-buru
mengangkat telepon.
Deon
berjalan keluar dari aula pesta itu. Setelah ia benar-benar keluar dari pintu
aula, ia langsung berjalan ke kiri, menjauh dari pintu itu dan berdiri di
koridor.
Deon
menghela napas. Itu adalah panggilan dari ayahnya.
Betapa
marahnya Deon saat ia baru sampai di Jakarta. Alasan ia pergi ke Jakarta adalah
untuk menggantikan ayahnya sebagai direktur utama di Abraham Groups karena
ayahnya terkena penyakit jantung. Begitu ia sampai di Jakarta, ia mendapat
telepon bahwa ayahnya lagi-lagi masuk rumah sakit. Secepat mungkin ia langsung
menjenguk ayahnya dan ternyata benar, ayahnya tengah terbaring di ranjang rumah
sakit dengan wajah yang pucat dan tubuh yang terlihat sangat lemah. Deon
benar-benar marah ketika melihat kondisi ayahnya dengan mata kepalanya sendiri.
Ini
pasti ada hubungannya dengan wanita sialan itu. Bukankah penyakit ayah tidak separah
ini? Biasanya, kesehatan mental ayah akan terganggu apabila bertemu dengan
wanita itu, jadi ia akan mudah sakit. Sekarang ke mana wanita sialan itu?
Deon
pun pergi dari rumah sakit itu dengan berapi-api meski ia tak tahu ke mana ia
harus melampiaskan semua kemarahannya. Ia tak tahu ibunya ada di mana. Dia
begitu sayang kepada ayahnya. Ibunya sering pergi-pergi entah ke mana sewaktu
ia kecil, jadi ia lebih sering bersama ayahnya. Diasuh oleh ayahnya. Itu
sebabnya Deon begitu membenci Serena—ibunya—yang mengkhianati ayahnya. Ayahnya
tak pantas menerima semua rasa sakit itu.
Sekarang,
apa yang akan Deon dengar dari ayahnya? Ayahnya menelepon...
Deon
mengembuskan napasnya samar. Mungkin lebih kepada…mencoba untuk menenangkan
diri sendiri.
"Ya,
Pa."
"Gimana
pestanya, Deon? Kamu menikmatinya juga, 'kan? Jangan cuma menyelenggarakannya
saja, Nak. Nikmatilah."
Deon
mengeraskan rahang. "Deon nikmati, Pa, Deon menikmatinya. Harusnya
Papa mengkhawatirkan diri Papa sendiri. Papa bahkan nggak ngasih tau Deon di
mana wanita itu. Papa sakit, jadi lebih baik Papa berhenti khawatir sama orang
lain!"
"Deon...
Papa bisa jelasin ke kamu nanti..."
Deon
mengusap rambutnya frustrasi, lalu ia mendengkus. Sungguh, rasanya emosinya
terbuang percuma. Deon langsung menutup telepon itu dan
tangannya yang tengah memegang ponsel itu langsung jatuh kembali ke sisi
tubuhnya. Ia mencengkeram ponselnya dengan kuat hingga jemari tangannya
memutih. Semua uratnya serasa mau keluar karena rasa marah yang luar biasa.
Deon
mencoba untuk menurunkan bahunya (sejak tadi tanpa sadar bahunya menegang), lalu
ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Ia mencoba untuk
mengeluarkan seluruh emosinya melalui udara yang ia keluarkan. Setelah merasa sedikit
tenang, ia pun mencoba untuk kembali berpikir dengan normal.
Deon
menaruh ponsel itu kembali ke saku kemejanya dan berbalik, menuju ke pintu aula
kembali. Ketika ia baru mau berbelok—ia bahkan tak sadar bahwa tadi ia melewati
belokan koridor ini—ia melihat seorang gadis yang tengah berdiri di sana seraya
melihat-lihat ponsel.
Mata
Deon sedikit menyipit. Koridor itu agak gelap karena hanya ada lampu kristal berwarna
krem yang menerangi sekeliling koridor. Ah, itu adalah gadis yang tadi. Gadis
yang berteriak saat ia berdiri di panggung. Gadis yang mengenali bahwa dirinya
adalah Marco Deon, model asal Taiwan.
Mengapa
dia ada di sini? Ke mana pasangannya?
Deon
menghampiri gadis itu dan mata Deon memperhatikannya dengan lekat.
"Apa yang
kamu tunggu di sini?" tanya Deon singkat dan gadis itu tersentak.
Gadis itu menoleh kepada Deon dan begitu ia tersadar, ia langsung merunduk
hormat pada Deon. Dari ekspresi wajahnya, agaknya dia begitu terkejut sekaligus
takut pada Deon. Deon tahu bahwa mungkin gadis itu takut karena sudah membuat
kekacauan di pesta tadi.
Gadis
itu tergagap-gagap. "Sa—saya—saya…saya nggak lagi nunggu siapa-siapa,
Pak. Maafkan saya."
Deon
mengangkat alis. "Maaf?"
Gadis
itu terperanjat. "Y—ya, Pak, tadi saya lancang sekali sudah mempermalukan
Bapak. Saya hanya kaget."
Deon
menghela napas samar dan mengangguk.
"Di
mana pasanganmu, laki-laki yang bersamamu tadi?" tanya Deon sekali lagi
dan gadis itu membulatkan matanya.
Gadis
itu buru-buru mengatakan, "Oh, iya, Pak, Abang saya tadi sudah masuk ke
dalam au—"
Lah, mati!
Gadis
itu—Talitha—spontan menutup mulutnya. Ia langsung memukuli mulutnya
berkali-kali dan tidak berani menatap mata Deon yang terlihat sungguh
mengerikan meskipun tidak dalam keadaan marah. Aduuuuh, siaaaal! Keceplosan! Jadi,
gimana, nih? Apakah pria itu akan marah karena kebohongan konyol yang Talitha
lakukan di pestanya?
Sial,
bagaimana ini?
"Dia abang
kamu?" Aksen Deon memang terdengar seperti orang asing, bukan orang
Indonesia asli. Namun, bukan aksen yang Talitha permasalahkan sekarang. Suara
Deon itu terdengar begitu menyeramkan! Pria itu begitu mengintimidasi Talitha;
ada aura membunuh yang terpancar dari mata pria itu. Dengan cepat Talitha
menatap Deon meskipun menatap mata Deon adalah hal yang menyeramkan. Meskipun
Deon hanya diam, tatapan matanya itu begitu tajam.
"Ah,
Pak, itu—itu...saya...itu..." Astaga! Apa yang harus Talitha
jawab? Ia sudah tertangkap basah berbohong. Setelah dihukum oleh Deon, mungkin
dia akan dihajar habis-habisan oleh Gavin...
"Kamu berbohong?"
Mampus.
Talitha
tidak bisa bicara lagi. Gadis itu menunduk.
"Saya membenci kebohongan,"
ujar Deon sarkastis. Talitha membulatkan matanya meskipun ia masih menunduk.
"Maaf,
Pak..." ujar Talitha, berharap agar direktur utama itu mau memaafkannya.
Talitha kemudian melanjutkan, "Abang saya itu…belum punya pasangan, Pak,
dan dia agak malu kalau nggak bawa pasangan. Jadi, dia bawa saya..."
"Saya
nggak minta kamu untuk menjelaskan." Deon berujar sinis.
"Tapi
Pak..." Talitha memberanikan dirinya untuk menatap Deon. "Tolong
jangan—"
"Saya
akan memecat abang kamu besok. Kasih tau saya
siapa namanya," ujar Deon dan mata Talitha kontan membelalak. Deon pun
melanjutkan dengan nada yang terdengar lebih sinis, "dan juga
namamu."
Talitha
menganga, gadis itu langsung merunduk sembari mengusap kedua tangannya dengan panik.
"Pak!! Pak, tolong, Pak, tolong jangan pecat Abang saya!! Tolong, Pak, hukum
aja saya, apa pun itu hukumannya, tapi tolong jangan pecat dia, Pak. Saya tau kalau
saya nggak sopan, tapi tolong saya, Pak, dia betul-betul—"
"Jadi, apa
yang bisa kamu lakukan?"
Talitha
terdiam. Mata Talitha melebar dan ia berkedip berkali-kali. Benar
juga. Apa yang bisa ia lakukan?
Talitha
meneguk ludahnya, lalu menatap Deon kembali. "Saya—saya..."
"Sebutkan
namanya dan juga namamu," tekan Deon. Talitha jadi frustrasi bukan main.
Sial!
"Nama...nama
Abang saya Gavin Aryadinata dan nama saya…saya Talitha Sava Aryadinata."
Deon
mengangguk. "Baiklah. Saya akan memecatnya besok."
Talitha
terperanjat dan matanya langsung memelotot. "Pak, tolong!!! Tolong jangan,
Pak!!! Tolong. Saya bakal melakukan apa pun, apa pun yang Bapak mau, tapi
tolong biarkan Abang saya tetap bekerja di perusahaan Bapak. Tolong,
Pak..."
"Gimana
ini? Jika saya biarkan, kamu dan abang kamu akan terus berbohong dan saya nggak
butuh karyawan yang suka berbohong."
"Abang
saya bukan orang yang suka berbohong, Pak. Tolong hukum saya aja. Lagian,
sayalah yang setuju untuk ikut ke sini."
"Lalu
kamu mau kalau saya buat hidup kamu menderita?"
Talitha
spontan terdiam. Lidahnya kelu dan pikirannya kacau. Ia tak menyangka kalau
ternyata di sisa hidupnya ia akan menderita. Talitha tak menjawab
satu kata pun selama hampir satu menit.
Deon
mengalihkan tatapannya ke lain arah dan mendengkus samar. "Kalau begitu,
saya aja yang ngehukum kamu," ujar Deon yang berhasil membuat Talitha
kembali melihat ke arahnya yang bertubuh lebih tinggi. Mata Talitha membeliak ketika
menyadari bahwa ternyata kedua mata Deon sudah menatapnya dengan tajam.
"Mulai
sekarang, kamu nggak boleh lepas dari pandanganku." Deon mendadak mengubah
gaya bicara formalnya; tidak ada kata 'saya' lagi di dalam
kalimatnya.
Talitha
menganga, ia kontan bergidik.
Gadis
itu mulai meneguk ludah. "Maksud Bapak?"
"Kamu terikat denganku.
Itu jika kamu mau abang kamu tetap bekerja dan kamu nggak menderita. Kalau kamu
terikat denganku, aku bakal lebih mudah mengontrol kamu. Kamu mungkin akan
menderita. Itu sudah cukup untuk membayar kebohongan kamu. Kamu belum merasakan
sakitnya dibohongi, jadi mungkin kamu nggak tau.”
Talitha
menggeleng dengan cepat, matanya melebar penuh. Mendadak Talitha jadi ingin
protes. "Pak, sepertinya ini berlebihan. Bagaimana mungkin saya
terikat dengan Bapak? Saya—"
"Karena
hanya itu satu-satunya cara agar kamu berhenti berbohong!" Deon berteriak.
Talitha
terperanjat.
Apakah
pria itu sudah gila? Mengapa masalah sekecil ini jadi begitu besar? Segitu bencinyakah pria
itu dengan sebuah kebohongan? Apakah dia memiliki sebuah trauma atau sesuatu sejenis
itu? Ini tak masuk akal. Talitha menarik napasnya; ia mencoba untuk berbicara kepada
Deon tanpa harus berteriak.
"Pak,
itu nggak mungkin. Itu nggak bisa diterima logika. Itu bukanlah jenis hukuman
yang bisa Bapak timpakan kepada saya."
"Jadi,
hukuman apa yang kamu mau? Menurutku, pilihan yang kedua adalah memecat abang
kamu. Nggak ada hukuman yang lain lagi…sebab hukuman yang lain sepertinya terlalu
ringan untuk seorang pembohong," ujar Deon. "Berhentilah memanggilku
dengan sebutan formal. Sekarang kamu sudah menjadi milikku dan nggak ada yang
bisa mengubah keputusanku. Bagiku, nggak ada yang namanya logika untuk seorang
pembohong."
Talitha
merasa bagai telah melakukan dosa yang besar sekali. Mau bagaimana lagi? Nasi
sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan ketika logika
tidak bisa bermain. Lagi pula, sejujurnya berbohong itu memang tak bisa
diterima logika, terutama ketika di luar sana masih ada cara lain selain
berbohong. Yah, sudahlah. Daripada Gavin dipecat? Mungkin ini adalah salah satu
nasib buruknya.
"Baik,
Pak. Saya terima."
Setelah
mengatakan itu, Talitha langsung mengerang di dalam hati. Ah, bencana lagi. Dia
harus fokus kuliah dan apa-apaan ini? Ini seperti melakukan perjanjian
dengan iblis. Tanggung jawabnya berat sekali.
Deon
mulai mendekat kepada Talitha dan kini Talitha menunduk. Tekanan selama berada
di bawah pengawasan mata Deon yang tajam itu serasa bisa menundukkannya. Membuat
kakinya lemas. Ini terjadi karena Deon memang memiliki aura yang mengerikan.
Bagaimana mungkin Talitha membuat kesalahan seperti ini hingga harus terikat
dengan Deon? Marco Deon, model yang digilai Basuki sekaligus direktur utama di
perusahaan tempat Gavin bekerja!
Demi
Tuhan, otak Talitha bahkan tak bisa berpikir apa-apa tatkala menghadapi
kegilaan ini. Semuanya serasa keluar dari batas, melewati batas logis.
"Kamu nggak bisa melarikan
diri," ucap Deon, kemudian Talitha merasa kalau tekanan pada
tubuhnya mendadak hilang ketika ia melihat Deon telah berjalan meninggalkannya.
Punggung tegap dan lebar milik pria itu terlihat begitu adikuasa.
Dia
menawan, tetapi sekeji iblis.
Talitha
menarik napas dengan rakus dan mengeluarkannya keras-keras. Dia bagai baru saja
dibekap dengan bantal. Tekanan yang Deon berikan ternyata sebesar itu hingga tanpa
sadar dia menahan napasnya sendiri.
"Ta, lo kenapa? Itu
Pak Dirut kok ada di luar, ya?"
Talitha
menatap dengan lunglai ke arah Gavin; Gavin yang tengah berjalan mendekatinya
sembari melihat ke arah Deon yang tadi berpapasan dengannya. Akhirnya, Gavin
mulai menatap Talitha dan dengan cepat menghampiri adiknya itu.
"Lo
kenapa, Dek? Sakit? Kan udah gue bilang jangan ada di luar—"
"Bang,
pulang, yok. Ayok pulang, gue capek banget," potong Talitha sembari
menyingkirkan tangan Gavin yang sedang mencoba untuk mengecek dahi Talitha.
Gavin
mengernyitkan dahinya. "Lho, kenapa? Emangnya lo abis ngapain?"
Talitha
langsung berjalan meninggalkan Gavin, ke arah lift. "Nggak tau gue, Bang.
Yok, pulang aja dulu."
"Ita—ta!
Iya, deh, iya!! Tunggu gue!!" Gavin langsung menghampiri Talitha yang
berjalan dengan cepat ke arah lift dan akhirnya mereka berdua masuk ke lift
itu. Setelah itu, mereka turun ke lobi dan langsung pulang.
Gavin
mengirimkan sebuah SMS kepada Revan ketika mengendarai mobil.
To: Revanyet
Van,
gue cabut yak. Si Ita capek, dia lemes banget. Kayaknya dia sakit.
Di
sisi lain, Talitha langsung membuka aplikasi Twitter-nya dan membuat
sebuah tweet baru.
Talitha
Sava Aryadinata @itaimoet
Buset.
Ngeri banget nasib gue... Gara-gara sebuah kebohongan (T_T)
Malam
itu, begitu sampai di rumah, Talitha langsung ngacir ke kamarnya
dan berbaring telungkup. Dia langsung tertidur begitu saja. []
******
No comments:
Post a Comment