Bab
3 :
PINTU kamar
Talitha terbuka. Talitha tak tahu kapan jelasnya ia tertidur karena pusing
memikirkan kasusnya dengan bosnya Gavin. Bos baru Abraham Groups yang tak lain
dan tak bukan adalah Marco Deon!
Gavin
masuk dengan langkah tergesa dan langsung duduk di pinggir kasur adiknya yang
kini tengah tengkurap penuh penderitaan itu.
"Dek,
lo kenapa? Nggak enak badan?" tanya Gavin dengan tatapan ingin tahu.
Talitha bahkan tetap tidak melihat Gavin saking bingungnya dia dengan apa yang
sudah terjadi.
Bayangkan
saja, seenak itu Marco Deon mengekangnya pada pertemuan pertama mereka. Dia itu
sebenarnya orang atau iblis, sih? Apa dia bahkan punya hati? Yang anehnya lagi,
apa-apaan dengan ancaman serta perintahnya yang tak masuk akal itu?
"Ita
capek dan pusing aja, Bang. Udah, deh, Abang masuk kamar aja sono. Serius, Ita
pengin tidur dulu."
"Oke.
Gue sebenernya nggak percaya kalo penyebabnya cuma itu, tapi ya udah, tidur aja
dulu. Istirahat biar besok bisa masuk kuliah." Gavin menghela napas,
kemudian pria berkacamata itu berdiri dan mulai meninggalkan kamar Talitha. Tak
lupa ia menutup pintu kamar adiknya itu kembali.
Baru
berjalan meninggalkan kamar Talitha, ponsel Gavin yang ada di saku celana pria
itu berbunyi. Gavin mengangkat teleponnya kemudian terdengar suara Revan dari
seberang sana.
"Yo,
Vin. Gimana si Ita?"
"Entah,
Van. Gue juga bingung dia kenapa. Gue curiga kayaknya ada terjadi sesuatu pas
dia berdiri di luar sendirian," jawab Gavin, kini dia melepas dasinya
sambil berjalan dan membuka pintu kamarnya. Kamar Gavin dominan berwarna
abu-abu plus banyak poster The Beatles.
"Ya
emang dianya ngomong apa sama lo?"
"Dia
nggak mau ngasih tau. Dia cuma bilang kalo dia lagi nggak enak badan
gitu."
"Ya
udahlah, tunggu aja. Mungkin besok dia udah mau cerita. Bikin khawatir banget
tuh bocah. Oh ya, Vin, gilee… Lo ninggalin gue sendiri di sini! Suasananya,
kan, agak berat satu ton gitu semenjak si Ita manggil nama Pak Dirut. Gue cuma
bisa unjuk gigi buat nyengir sana-sini. Mana si Veroksin ngetawain gue lagi! Kamvret
banget asli. Temenin gue napa, Nyet."
"Nyat
nyet nyat nyet! Elo tuh yang monyet! Bhahaha, ya udahlah. Nggak apa-apa, lo
tunjukin aja gigi lo. Mumpung gigi lo bagus. Gue capek banget mau ke sana lagi.
Kalo lo bosen, ya pulang aja. Jangan pacaran aja yang lo pikirin."
"Ya
terus cewek gue yang di sini mau gue kemanain, Bro? E—eeeh, sialan lo!
Veroksin! Gue sumpahin kena virus Ebola lo!"
Gavin
mengernyitkan dahinya sejenak, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Lha, rupanya
di seberang sana Revan masih sempat berdebat dengan Vero yang terdengar terus
meledek Revan.
"Hahaha—ya
udah Revanyeeet, pulang aja kenapa, sih? Daripada lo bacot di sana. Tinggalin
aja cewek lo yang di situ. Wong cewek lo juga ada dua lusinan. Atau mungkin
satu rim?"
"Lo
kira kertas HVS?!"
"Ya
badannya juga ceking-ceking banget kayak kertas. Diet kali ya mereka buat
lo?" kata Gavin sambil geleng-geleng kepala. "Gue heran kenapa mereka
bisa tergila-gila sama cowok yang nggak mau cuci kaos kaki macem lo. Tiap dua
hari sekali, kaos kakinya malah lo buang karena nggak mau nyucinya. Entah
berapa total kaos kaki yang udah lo buang."
"Jangan
buka aib orang, oi. Ck. Lo sekarang lagi mode emak-emak? Ya udah, deh. Gue
cabut, nih. Ehm—diem-diem, mumpung cewek gue lagi ngambil minum," kata
Revan. Sejenak kemudian, pria itu berbicara kembali, "Oi, Vin, gue
ke rumah lo, ya. Males pulang ke kost."
Revan
yang malang. Punya orangtua kaya, tetapi memilih untuk nge-kost sendirian
di tempat yang dekat dengan kantor. Untungnya, fasilitas kost-nya
lumayan bagus, seperti kamar hotel.
"Ck.
Ngerepotin gue aja lo," ujar Gavin. "Sampe di sini sepuluh menit atau
gue kunci pintu."
"Woi,
Nyet! Emang lo kira Jakarta gimana hah? Gue bawa mobil, Man. Lo tau jalan
macet. Maen kunci aja lo. Sabar dikit ngapa, Say."
"Masuk
kuburan sana lo! Jijay gue astaga. Ya udah, gue tutup teleponnya."
"Sip,
Bro."
******
Talitha
mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk sebab ia baru saja bangun tidur.
Gadis itu terdiam sejenak dan otaknya kembali mengingat apa yang telah terjadi
tadi malam. Sontak dia menghela napas dan tubuhnya jadi lemas. Dia mengerang
dan mengacak rambutnya sendiri karena kesal. Sial, kok bisa, sih, ada
orang seperti itu? Bagaimana nasib Gavin nantinya sebagai bawahan pria yang
sifatnya tidak masuk akal itu?
Dengan
mata yang masih setengah tertutup dan rambut yang berantakan, Talitha pun turun
dari tempat tidurnya dan berjalan ke luar kamar dengan langkah yang agak oleng
karena baru bangun tidur. Ia bahkan masih menguap berkali-kali. Serampangan dan
acuh tak acuh adalah sifat nomor satu Talitha. Dia termasuk jenis orang yang
tak peduli dengan trend. Talitha turun ke bawah—masih memakai piamanya—dan
langsung menuju ke dapur. Sampai di dapur, dia langsung mencari keberadaan kulkas.
Mengambil salah satu botol yang berisi air dingin dan langsung menenggaknya dengan
cepat bak orang kehausan.
Tak
lama kemudian, Talitha melihat Gavin lewat di ruang keluarga (tempat di mana
keluarga Talitha biasanya menonton TV). Talitha yang ada di dapur memang bisa
melihat ke ruang keluarga secara langsung karena posisinya berhadapan. Talitha
langsung bertanya dengan santai, "Bang, Mama sama Papa mana?"
Gavin
langsung menatap Talitha dan menggeleng tak habis pikir. "Dek, coba lo cuci
muka dulu sana. Kok jadi gue yang malu liat lo. Mama sama Papa ke pasar
tadi."
"Oh,"
kata Talitha. Setelah itu, Talitha terkejut melihat ada sosok pria lain yang
ikut menunjukkan dirinya di ruang keluarga dan mulai duduk di sofa depan TV
bersama Gavin.
"Lah,
Bang Revan?! Weleeeh, kapan Abang ke sini? Abang nginep di sini, ya,
semalem?"
Revan
melihat ke arah Talitha dan langsung memelotot. "Astaga, Ta! Liat rambut
lo, tuh! Kayak Mak Lampir, serius!!"
Talitha
berdecak. Ha, susah kalau berhadapan dengan Gavin dan Revan.
Yang satu cerewet, yang satu lagi suka mengejek. Dengan malas, Talitha pergi ke
kamar mandi dan mencuci mukanya, lalu menggosok gigi. Biasanya, dia tak semalas
ini, tetapi problem semalam sukses membuatnya bad mood.
Semoga saja Marco Deon itu nanti tak memarahi Gavin atau menegur
Gavin karena masalah Talitha semalam.
"Bang,
kita nggak punya sarapan, ya?" tanya Talitha tak lama kemudian, yang
membuat Gavin dan Revan hanya menatapnya dengan cengiran.
******
"Vin,
kamu dipanggil ke ruangan Pak Dirut. Temui dia sekarang, katanya," kata
Mbak Rei, salah satu ketua direksi, dengan wajah menornya. Dia langsung masuk
saja ke area direksi Gavin, lalu masuk lagi ke ruangan Gavin dan menyampaikan
pesan itu.
Gavin
mengangkat kepalanya tatkala mendengar suara Mbak Rei. Dia lantas terkejut.
"Hah? Pak Dirut, Mbak? Lho...ada apa, ya?"
"Nggak
tau. Duh, beruntung kamu, Vin... Saya malah kepengin liat wajah Pak Dirut
ganteng kita itu lagi, lho... Haha."
"Mbak,
Mbak tadi dikasih tau sama siapa?" tanya Gavin, jujur dia agak panik. Yang
memanggilnya ini Dirut!
"Tadi
pas saya ngambil kertas, tiba-tiba ketemu sama sekretarisnya Dirut. Dia suruh
saya buat manggil kamu. Ntar kamu bisa lapor ke dia di lantai 32 biar dianter
masuk ke ruang Dirut. Emang ada apa, Vin? Kamu ada salah?"
"Duh,
Mbak...saya bingung juga. Ya udah, deh. Makasih, ya, Mbak Rei."
"Yup,"
jawab Mbak Rei sambil mengedipkan sebelah matanya. Setelah itu, wanita itu pergi
dengan diiringi suara ketukan high heels-nya.
Gavin
menghentikan aktivitasnya sebentar (tadi dia sedang mengetik di komputernya)
dan keluar dari ruangannya. Berhubung dia adalah seorang ketua direksi, dia
pamit sebentar dengan anggota direksinya dan akhirnya keluar dari ruangan direksi
pengembangan itu.
Ia
merapikan pakaiannya, lalu menghela napas lewat mulutnya sembari berjalan ke
arah lift. Di dalam lift, Gavin menyilangkan
kedua tangannya di depan dada dan hanya bisa menunggu hingga ia sampai di
lantai 32. Saat sudah sampai di lantai 32, Gavin berjalan di
koridor hingga ia bertemu dengan Sekretaris Dirut yang ternyata sedang
menunggunya di sana.
"Silakan,
Pak Gavin Aryadinata," ujar sekretaris berwajah manis itu sembari membawa
Gavin ke depan sebuah pintu besar. "Pak Direktur Utama sudah menunggu
Bapak."
Dengan
ekspresi heran, Gavin pun menatap sekretaris dirut itu. "Em... Maaf, Bu.
Saya mau tanya. Sebenarnya, ada apa Pak Direktur Utama mau menemui saya, ya,
Bu?"
"Beliau
hanya meminta saya untuk memanggil Pak Gavin ke ruangannya. Mungkin Pak Gavin
akan tahu begitu Bapak masuk ke dalam."
Gavin
menghela napas. "Oke. Terima kasih, Bu."
Sekretaris
itu kemudian mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu, sekretaris itu mengetuk
pintu ruangan Dirut sebanyak tiga kali.
"Pak,
Bapak Gavin Aryadinata sudah datang."
"Masuk
saja." Suara direktur utama itu terdengar begitu
mendominasi. Gavin mengangguk.
Sekretaris
itu lantas membukakan pintu untuk Gavin dan Gavin mulai masuk ke ruangan.
Sekretaris itu merunduk sebentar—memberi hormat kepada Direktur Utama—kemudian
menutup kembali pintu besar itu. Kini hanya tersisa Gavin, suasana tenang di
ruangan itu, dan kedua mata Deon yang ternyata telah menatapnya dengan lekat.
Gavin
merunduk hormat. “Selamat pagi, Pak.”
"Pagi.
Silakan duduk, Pak Gavin," ujar Pak Dirut itu ketika Gavin kembali berdiri
tegak.
Gavin
akhirnya mengangguk, lalu maju ke depan dan duduk di kursi yang disediakan di
depan meja dirut itu.
"Baik... Pak
Gavin... Ketua Direksi Pengembangan?" tanya Deon sembari memiringkan
kepalanya. Jemari tangannya bertaut di depan wajahnya, sikunya bertumpu di
meja. Wangi segar dan maskulin dari tubuhnya beserta wangi ruangan itu telah
bercampur menjadi satu.
"Iya,
Saya, Pak Direktur." Gavin menjawab dengan agak heran. Apa yang sebenarnya
sedang terjadi?
Deon
mengangguk dan tersenyum simpul. Ia pun menatap Gavin dengan lebih saksama.
"Bagaimana
pestanya kemarin, Pak Gavin? Bapak datang?" tanya Deon dengan ramah, tetapi
agaknya ada sesuatu yang janggal dari keramahan itu.
Gavin
tertawa renyah...atau malah hambar? "Ah...ya, Pak. Saya datang, tentu
saja."
"Oh,
begitu. Bapak pasti membawa pasangan yang sangat cantik dan terlihat
muda." Deon tersenyum.
Gavin
mulai mengernyitkan dahinya. Mengapa Pak Direktur tahu bahwa pasangan Gavin
terlihat muda? Itu Ita, 'kan?
Namun,
Gavin menjawab dengan rasional. Agak bersilat lidah sedikit, sih. "Iya,
Pak. Memang banyak sekali orang yang suka berpacaran dengan wanita yang awet
muda, termasuk saya."
Mata
Deon menyipit tajam. Jelas dia tahu bahwa itu adalah Talitha, adiknya Gavin. Sekarang,
di hadapannya…Gavin menutupinya dengan cerdik.
"Hm...tapi
saya tau bahwa yang kemarin itu adik Bapak. Ya...meskipun
itu tidak berpengaruh pada saya." Deon
berujar sarkastis, tetapi dia tersenyum.
Mata
Gavin terbelalak. Aduh, mereka ketahuan, ya? Sial, jangan-jangan inilah yang
terjadi pada Ita semalam? Sang Dirut ini berkata bahwa hal itu tak berpengaruh
padanya, tetapi tatapannya tampak begitu sinis!
"Astaga.
Tolong maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya memang terbiasa
meminta Adik saya buat menemani saya kalau ada acara seperti itu.
Yah...maklumlah, Pak...saya belum ada pasangan. Saya susah dapat pasangan, Pak,
apalagi saya hidupnya di zaman sekarang," ujar Gavin, mencoba untuk
mendinginkan suasana dengan sedikit humor.
Namun,
tak disangka-sangka…Deon benar-benar tertawa! Pria dengan kontur wajah yang tajam
dan mengerikan itu sekarang sedang tertawa lepas di hadapan Gavin!
"Benar
sekali, Pak. Bapak benar. Saya juga agak sulit dapat pasangan," ujar Deon
seolah Gavin adalah teman bisnisnya.
Mau
tidak mau, suka tidak suka, segan tidak segan, Gavin pun ikut
tertawa.
Akan
tetapi, sesudahnya Deon melanjutkan, "Saya sebenarnya kecewa mendengar
kebohongan Bapak. Jujur, saya memang marah sekali," ujar
Deon, mendadak matanya menyipit dan berkilat kembali.
Gila,
orang ini punya berapa kepribadian? Kok jadi seram begini, sih?
"Tapi...karena
saya suka Talitha, saya tidak akan memecat Pak Gavin,"
ujar Deon sembari tersenyum penuh arti.
Gavin
langsung terperanjat.
"Pak...
Maaf kalau saya asal tebak atau asal bicara, Pak," ujar Gavin yang dibalas
anggukan oleh Deon. Gavin kemudian melanjutkan, "Bapak...sudah bertemu
Adik saya semalam?"
Mata
Gavin melebar; ia benar-benar ingin tahu. Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya telah terjadi
semalam?
Deon
tersenyum. Pria tampan itu mengangguk. "Iya, benar. Saya bertemu adik Bapak
di koridor semalam. Dia sangat manis," ujar Deon. "Mungkin karena
saya banyak bicara, dia jadi agak stress, ya, tadi malam?" tebak
Deon yang sama sekali tidak meleset.
Gavin
mengernyitkan dahi, kemudian dia mencoba untuk mencerna semuanya. Gavin lantas
merenggangkan alisnya yang bertaut itu, kemudian pria itu mengangguk. "Oh…begitu,
ya, Pak," ujarnya. "Iya, Pak. Dia sepertinya banyak pikiran semalam.
Saya kira ada apa... Ya ampun, ternyata begitu kejadiannya."
Deon
tertawa renyah.
"Apa
boleh saya bertemu dengan dia lagi? Barangkali...saya bisa minta maaf,"
ujar Deon dengan tatapan penuh arti. Tangannya masih bertaut di depan wajahnya.
Dia tersenyum.
Gavin
kontan menggeleng. "Ah, nggak apa-apa kok, Pak. Nanti akan saya jelaskan
ke dia. Nggak perlu repot-repot, Pak."
"Nggak,"
ujar Deon. "Saya harus bertemu dengan dia, Pak Gavin. Saya ngerasa nggak
enak kalau belum minta maaf sama dia."
Gavin
mulai berpikir sejenak.
Hm...
Bagaimana, ya? Gavin tak berani untuk langsung berpikir negatif karena Deon
saat ini bersikap sangat baik kepadanya. Lagi pula, wajar saja kalau seseorang
mau meminta maaf.
Akhirnya,
Gavin pun menjawab, "Baiklah, Pak."
Deon
mengangguk. "Di mana saya bisa ketemu sama dia, Pak
Gavin?"
Gavin
menatap Deon. "Bapak bisa menemui Adik saya di kampusnya. Dia kuliah di UI
dan mungkin dia akan pulang sekitar jam dua siang hari ini."
"Ooh…baik.
Terima kasih banyak, Pak Gavin. Kedepannya…saya harap kita bisa berhubungan
dengan baik seperti ini," ujar Deon sembari berdiri dan Gavin pun kontan
ikut berdiri. Mereka mulai bersalaman.
"Saya
akan mempromosikan Bapak untuk kenaikan gaji," ujar Deon sembari tersenyum
penuh arti. Kedua matanya menatap Gavin dengan fokus, tetapi penuh dengan
rahasia. Gavin tercengang. Ia bahkan tak sempat menjawab Deon (mungkin lebih
kepada tak tahu harus menjawab apa) dan ia hanya tertawa. Setelah itu, yang ia
lakukan hanyalah merunduk hormat, lalu permisi keluar dari ruangan elegan
direktur utama itu.
Setelah
keluar dari sana, ia merasa seakan baru saja keluar dari ruang hampa udara. Ia
masih kurang mengerti. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan
mungkin mengorek informasi dari Talitha.
******
Talitha
dan Basuki baru saja keluar dari area Universitas Indonesia saat itu. Mereka
berjalan ke luar dan seperti biasa mereka berencana untuk nongkrong sebentar.
Barangkali minum es di pinggir jalan atau mungkin...di rumah makan? Kegiatan
sehari-hari yang tak pernah membosankan untuk dilakukan.
"Bas,
traktirin gue napa," ujar Talitha yang sukses membuat Basuki mencibir
seraya memutar bola matanya.
"Nana
lagi nggak ada duit, Cyiiiin. Lupa bawa duit. Masa lo ngga inget? Yah orang
Nana ajah mau minum es rencananya pake duit lo dulu."
"Kamvret,
makin hari lo makin jadi bencong." Ita tergelak. "Ya elah, kenapa
kita harus ditakdirkan menjadi orang miskin begini?"
"Gue
udah hampir jadi wanita tulen keleees. Sekarang status gue adalah Banci Kece
Badai," balas Basuki dengan penuh bangga. "Lagian, lo doang kali yang
miskin di rumah lo. Minta duit sana sama Bang Gavin! Jabatannya udah tinggi
gitu."
"Duit
Bang Gavin udah sering gue curi, Bung," ujar Talitha. "Bisa berabe kalo
gue mintain terus. Abisnya, dia tau kalo duit yang gue minta itu pasti cuma
buat jajan."
Namun,
sebelum Basuki sempat menjawab, tiba-tiba Talitha bersuara lagi,
"Eh, BTW, kalo status lo sekarang adalah Banci Kece
Badai, berarti kalo disingkat jadi BANGKAI, ya?" ujar Talitha, kemudian
dia tertawa kencang.
Basuki
mulai menolak kepala Talitha dengan kuat sampai Talitha hampir oleng. Namun,
Talitha justru tertawa semakin kencang. "Sialan loooo Itaik Anyuk!!!"
Mereka
masih berisik, padahal mereka sedang berjalan. Akan tetapi, tiba-tiba Talitha
melihat sesuatu dari ujung matanya. Dia melihat seorang laki-laki yang agaknya
baru turun dari mobil dan orang itu tampak bersinar. Otomatis Talitha penasaran
dan langsung melihat ke arah orang itu.
Orang
itu ternyata memang bersinar; dia banyak dihadiahi bisik-bisik dari perempuan
yang ada di sepanjang jalan.
Setelah
Talitha melihat orang itu dengan lebih jelas, Talitha kontan membulatkan
matanya. Mati! Orang itu adalah orang yang sangat tak ingin ia lihat sekarang!
Sial,
kalau melihat posisi orang itu, berarti Talitha akan melewatinya sebentar lagi!
"Buset,
Bas! Cepet, yok, jalannya!" ajak Talitha sembari menunduk dan menarik
lengan Basuki agar dia berjalan dengan cepat.
"Oi
oi oi oi! Lo kenapa, sih? Ada apaan, sih, Taaaa?
Aduh, sakittt! Lengan mulus akooeeh!" teriak Basuki, dia merengek kepada
Talitha yang menarik lengannya dengan begitu keras dan memaksanya untuk
berjalan cepat-cepat.
"Udah,
diem aja dulu!! Gue nggak mau diliat oleh seseorang," ujar Talitha dengan panik;
dia berbisik pada Basuki.
"Aduh,
emangnya siapa, sih?!!" Basuki mulai kesal.
Dari
ujung Talitha sudah menutupi wajahnya dengan buku-buku tebalnya. Kini Talitha
mulai melewati laki-laki ber-sunglasses itu sembari berjalan dengan
cepat. Ia menutup matanya kuat-kuat, mengerutkan dahinya, dan mengembuskan
napasnya berkali-kali; ia berdoa agar keberadaannya tidak diketahui. Entah
mengapa dia yakin bahwa orang itu datang ke sini untuk mencarinya.
"Hello, Talitha."
Mati.
Ini tidak serius, 'kan? Astaga...ketahuankah?! Talitha kontan
berhenti melangkah. Gadis itu merutuki dirinya sendiri di dalam hati dan menempeleng
kepalanya sendiri seperti orang gila. Setelah itu, dengan sangat perlahan...dia
pun berbalik.
Benar
saja, itu adalah Deon. Pria itu membuka kacamatanya dan berjalan ke arah
Talitha yang kini hanya bisa nyengir. Cengiran yang
dipaksakan.
"Eh,
Bapak. Ha ha... Apa kabar, Pak?" ujar Talitha dengan tawa hambarnya serta
dengan ekspresi yang seolah mengatakan, ‘Tolong, bawa gue kabur dari
sini.’
"OH
MY GOD!!! OH MY WOW!!!! MARCO DEOOOOOON!!!!!! ASTAGA, ASTAGA!! NGGAK BISA NAPAS,
ASTAGA!!! ASTAGA, NAPASKU!! NAPASKU!!! KIPAS MANA KIPAS?!!! MARCO DEON?! INI
BENERAN MARCO DEON?!! APAKAH KITA BERJODOH SEHINGGA KITA BERTEMU DI SINI
SECEPAT INI? YA TUHAN, MARCO DEOOOOONNNNN!!! HUAAAAAAAAAAAAAA!!!!" teriak
Basuki histeris. Dia mulai fangirling. Eh, lupa. Dia aslinya
cowok. Punya burung. Jadi, yang benar itu fanboying.
Astaga.
Bonus derita: dia lupa bahwa Basuki ada di sini.
Penggemar fanatik Marco Deon ada di sini. Double sial. Oke,
mana paparazzi? Mungkin saja Talitha bisa numpang eksis lewat
Marco Deon yang sedang berdiri menunggunya di depan kampus.
"Marco
Deon!!"
"Eh,
serius? Itu Marco Deon yang main drama Catch You, My Superhero itu,
'kan? SIALANN!!! KEJAR DIAAA!!! YA TUHAN!!! YA TUHAN!!!!!"
"AAAAA
DEON!!!!"
"WUAAAA!!
WUAAAAAAA!!"
Ratusan
kilatan kamera ponsel mulai memotret Deon. Ditambah lagi, dia datang ke kampus Talitha
dengan jasnya. Talitha yakin bahwa sekarang ini masih jam kerjanya Deon.
Dia itu adalah bosnya abang Talitha!! Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?
Siapa yang memberitahunya soal di mana Talitha kuliah?
Sebelah
tangan Marco Deon tampak menghalangi matanya dari kilatan kamera. Pria itu mengernyitkan
dahi. Basuki juga mulai mencoba untuk meraihnya. Sementara itu, Talitha—yang
menggaruk kepalanya tatkala melihat situasi kacau itu—tiba-tiba
merasa tubuhnya ditarik ke depan. Dia ditarik oleh Deon!!
Kontan
saja mata Talitha membeliak. Deon menariknya dan memaksanya untuk masuk ke mobil
pria itu. Dengan cepat ia menjalankan mobilnya agar terhindar dari banyaknya
orang-orang yang berusaha untuk memegangi mobilnya. Basuki juga mengejar mobil
itu karena keheranan melihat Talitha ditarik oleh Deon. Mobil itu akhirnya berjalan
dengan kecepatan tinggi.
Tak
membuang waktu, Talitha pun langsung menatap Deon. "Pak, ap—"
"Jangan panggil aku Bapak, Pak, atau apa pun itu yang terlalu formal. Kamu bisa panggil
aku Deon. Aku udah bilang bahwa kamu itu sekarang terikat denganku. Jangan
bilang kamu lupa?" tanya Deon. Dia mulai menoleh kepada Talitha dan
tersenyum miring.
Orang
ini sudah gila. Sialnya dia mengingat ucapan gilanya itu semalam. Bagaimanapun
juga, terikat dengannya hanya karena sebuah kebohongan itu tetap tidak masuk
akal bagi Talitha. Berulang-ulang Talitha memikirkannya dari semalam, itu
tetaplah tak bisa diterima oleh akal sehat.
"Oke,
Pak—"
"Jangan panggil aku
seperti itu, Talitha!" Deon meninggikan suaranya.
Talitha
kontan terperanjat.
Apa...yang...?
Rahang
Deon mengeras. Dia kini kembali menatap Talitha.
"Panggil
aku Deon. Cukup begitu," perintah Deon kemudian.
Talitha
menghela napas.
"Oke,
Deon. Jadi, kenapa kamu kayak dikejer-kejer hantu dan ngeharusin aku untuk
terikat sama kamu? Apa ada sesuatu yang ngebuat kamu tertarik untuk ngejadiin
orang lain sebagai milik kamu? Aku nggak percaya ini terjadi cuma karena
kebohonganku sama Bang Gavin."
"Gimanapun
juga, kamu harus percaya," jawab Deon.
Talitha
memutar bola matanya. "Kamu udah gila, ya? Terserah apa kata kamu, turunin
aku di sini sekarang juga."
"Kamu
ternyata memang sulit diatur," ucap Deon. "Apa kamu akan tetap
serampangan begitu kalau aku jadi pacar kamu?"
"Dengar
ya, Pak Deon," ujar Talitha dengan penuh penekanan. Dia
sengaja menggunakan 'Pak' karena ingin berbicara pada Deon dengan sarkastis.
"Cukup semalem aja kamu ancam aku. Cukup semalem aja aku nerima kekejaman
kamu. Sekarang, aku sadar sepenuhnya kalau itu nggak mungkin kulakukan."
Deon
menatap Talitha dengan penuh amarah. "Jangan bikin
aku benar-benar jadi marah, Talitha."
Talitha
menghela napas. "Begini, Pak Deo—"
"Talitha!!" teriak
Deon, tiba-tiba ia mengerem setelah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Aku nggak
pernah main-main dengan ucapanku," ujar Deon. Matanya menatap
Talitha tajam. Dia kini mulai memajukan tubuhnya ke arah Talitha, mendekati
wajah Talitha dengan perlahan. "Aku akan memecat kakakmu."
Talitha
kini benar-benar membulatkan matanya.
"APA
MAU KAMU SEBENARNYA?! Ini semua maksudnya apa, sih?!!" teriak
Talitha, dia jadi merasa dipermainkan.
Akhirnya,
Deon menghela napas. Dia agak mundur dan kembali ke posisinya semula. "Baiklah,
kalau kamu mau tau. Aku ingin kamu membantuku. Aku ingin menunjukkan
kepada seseorang bahwa aku memiliki seorang kekasih, bukan, calon
istri. Calon istri yang kupedulikan," ujar Deon dengan rahang yang
mengeras dan tatapan mata yang tajam.
Talitha
menganga. Matanya sekarang terlihat seakan nyaris keluar, terlepas dari
soketnya.
Namun,
di luar ekspektasi Deon, gadis itu dengan gilanya malah tertawa kencang.
"APA KATAMU?! HAHAHAHAHA!!!! Jadi, kamu ngancam aku karena masalah
percintaan?!!! HAHAHAHAHAH!!" tawa Talitha terdengar menggelegar di mobil.
Namun, akhirnya dia berhenti tertawa karena dia ingat betapa menakutkannya
Deon.
Aaaaak, matilah
Talitha. Mungkin dia akan dibentak oleh Deon lagi?
Namun,
tanpa disangka-sangka…Deon tidak menjawabnya secara langsung. Pria itu kembali
menghidupkan mesin mobilnya dan mobil itu pun berjalan kembali.
"Mungkin
aku memilih kamu karena kamu adalah orang yang cuek; kamu nggak peduli dengan
tanggapan orang lain. Keluargaku agak bermasalah, jadi aku perlu seseorang
seperti kamu yang nggak akan terbebani dengan masalah keluargaku," ujar
Deon, matanya menyipit tajam tatkala melihat jalanan.
Deon
kemudian melanjutkan, "Mungkin kamu sedikit menarik dan kebetulan kamu
memancing emosiku waktu itu. Kalau nggak kuancam begitu, mungkin kamu akan
melupakan apa yang sudah terjadi malam itu, 'kan? Lagi pula, kebetulan
sekali…aku memang membenci kebohongan."
Talitha
mengernyitkan dahinya, merasa heran. "Kamu itu direktur, tapi bicaramu kok
seenak membalikkan telapak tangan, ya? Coba kamu pikirin dulu apa yang barusan kamu
bilang itu. Kamu pikir aku mau jadi calon istri pura-pura kamu? Ya nggaklah!
Lagian, nggak mungkin keluargamu percaya, wong kamu juga baru
datang ke Indonesia." Talitha tertawa lagi. Dia mulai bicara dengan sedikit non-formal.
Deon
tersenyum miring, kemudian dia menoleh kepada Talitha. Dia memiringkan
kepalanya.
"Abang
kamu sudah tau semua yang aku bilang ke kamu tadi malam,
kecuali tentang kamu yang terikat denganku. Aku yakin jauh di dalam hati kamu,
kamu nggak mau abang kamu dipecat," ujar Deon yang sukses membuat
Talitha melongo. "Jadi, kamu nggak punya pilihan
lain," lanjut Deon dengan penuh penekanan.
"Sumpah...aku
nggak ngerti. Duh. Terus kamu sekarang mau maksain aku lagi? Lagian, kok harus
aku, sih?!" Talitha memprotes. Otaknya memang butuh waktu yang lebih untuk
bisa sinkron dengan keadaan.
"Kan udah
aku bilang kalau aku tertarik sama kamu." Deon mendengkus. "Lagi
pula, apa yang udah kuputuskan untuk jadi milikku…selamanya akan tetap jadi
milikku, Talitha."
Deon
tersenyum miring, ia menoleh kepada Talitha lagi. Sorot matanya terasa begitu
tajam tatkala memperhatikan gadis itu.
"Maka
dari itu, seharusnya kamu nggak membohongi orang sepertiku." []
******
No comments:
Post a Comment