Prolog
:
Taiwan,
24 Januari 1994
Rumah
Keluarga Abraham
KAKI
anak laki-laki itu bergetar. Sebuah pemandangan yang baginya lebih mustahil daripada
membalikkan bumi dan langit kini ada di depannya. Bagaikan ada petir di siang
bolong yang menggelegar di ruangan itu, membuat jantungnya bak berhenti
berdegup dan matanya membulat sempurna. Kegelapan seakan menyelimuti ruangan
itu meskipun malam belum tiba.
Anak
laki-laki itu hilang akal, matanya melebar dan pandangannya kosong. Mainan
pemberian ibunya jatuh begitu saja ke lantai seolah tangannya tak sanggup lagi memegang
mainan itu. Mata anak itu menatap tak percaya ke satu arah.
Ekspresi
wajahnya berubah nelangsa, wajahnya pucat, dan air matanya sudah siap meluncur.
"Ma…ma?”
Ibunya.
Bertelanjang dada di pangkuan seseorang yang bukan ayahnya. Mencium satu sama
lain dan terhenti ketika anak itu masuk ke ruangan. Anak itu kini menangis. Ia terduduk
dan menutup mata beserta wajahnya, lalu mulai menangis semakin kencang.
Mata
ibunya kontan memelotot, tak menyangka bahwa ia akan akan dilihat oleh anaknya,
dan ia tak mampu bergerak. Air matanya jatuh tatkala ia menyadari betapa
bejatnya dia terlihat di mata anak laki-lakinya. Ia turun dari pangkuan pria
itu, lalu dengan langkah tertatih-tatih ia menghampiri anaknya. Ia terperanjat
ketika ia justru melihat anaknya berteriak lebih kencang saat ia dekati. Ia
segera mengambil bajunya di lantai hanya untuk sekadar menutupi dadanya. Baju
itu tidak ia pakai sama sekali; baju itu ia gunakan hanya untuk menutupi
dadanya seraya menghampiri anak tersebut yang meraung-raung, terus
memanggil-manggil ibunya.
"Sayang,
Mama bukan—"
"JANGAN DEKAT-DEKAT!!!"
teriak anak itu. Sembari menangis, wanita itu tetap mendekati anaknya, berusaha
untuk menggapai tubuh anaknya.
"Sayang—"
Anak itu dengan
cepat berdiri dan melangkah mundur, menjauhi ibunya. "Mama—itu siapa,
Mama? Kenapa Mama sama orang itu, Mama? Dia bukan Papa! Mama jahat sama Papa,
Mama jahat! Sama Papa, sama aku! Mama nggak sayang sama Papa lagi, ya? Mama
nggak sayang sama Arco lagi?"
Wanita
itu mendadak merasa seperti tercekik, dadanya terasa sesak dan air matanya
jatuh lebih deras. Dengan berjuta kepedihan, ia berlari menghampiri tubuh anak
kandungnya itu dan memaksa anak itu untuk berada di dalam pelukannya. Ia duduk
di sana seraya mendekap tubuh anak itu dan mengecup kepala anak itu berkali-kali
dengan pilu. Anak itu memberontak keras. "LEPASIN ARCO!!! MAMA
JAHAT!! MAMA JAHAT!!! MAMA JAHAT!!!!!!"
"Maafin
Mama, Sayang, tolong maafin Mama…"
"TIDAK!!
ARCO NGGAK MAU! PAPA SAYANG SAMA MAMA DAN SAMA ARCO, ARCO TAHU!!"
Berontakan
keras itu menunjukkan bahwa tak ada lagi tempat untuk ibunya di dalam hatinya. Tak
ada lagi bagian dari dirinya yang menyukai ibunya; semua penilaiannya telah
berubah.
Wanita itu terkejut.
Serena terkejut bukan main. Ia dibenci oleh anaknya sendiri. Tuhan, tidak ada
yang lebih menyakitkan daripada ini. Dia kotor. Dia juga dibenci oleh anaknya.
Dia mengkhianati suaminya hanya karena ingin mendapat perhatian lebih dari
suaminya yang sibuk bekerja. Serena mendongak dan menatap anaknya yang tengah
berdiri; anak itu menangis, tetapi matanya menatap Serena dengan penuh
kebencian.
Serena
menatap anaknya dengan nelangsa. Air matanya berjatuhan ke lantai porselen yang
terasa begitu dingin saat itu.
"Arco
benci sama Mama."
Saat
itulah, Serena merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Rasa sakitnya
langsung menggerogoti seluruh tubuhnya. Dunia serasa berputar di depan matanya;
waktu serasa terhenti. Saat anak laki-lakinya yang selalu ia sayangi di dunia
ini...pergi dari ruangan itu, Serena lantas berteriak kencang. Berteriak…seolah
harapan hidupnya sirna. Ia berteriak sekencang mungkin.
******
21
TAHUN KEMUDIAN
Taiwan,
10 Mei 2015
Keringat
pria itu mengalir turun melalui rahang tegasnya; matanya menatap ke depan dengan
tajam.
Gym memang
tempat berolahraga yang luar biasa, yang biasanya rutin dikunjungi oleh
orang-orang yang ingin memperindah bentuk tubuhnya. Pria bertubuh proporsional
itu terus menjalankan dan menikmati kegiatan olahraganya meskipun hanya ekspresi
seriuslah yang ia tunjukkan. Matanya seperti mata seekor binatang buas.
Seorang
gadis melihatnya dari pintu masuk ruangan gym pribadi milik
pria itu dan gadis itu menggigit bibirnya dengan malu-malu. Ia akan berubah 180
derajat menjadi perempuan centil yang tiba-tiba menyelipkan rambutnya ke
belakang telinga saat melihat pria itu. Ia sangat menyukai pria itu. Jadi, apa
pun akan ia lakukan, termasuk bersikap malu-malu.
"Kamu
di sini?" Gadis itu berkata dengan pelan sembari
menggigit bibirnya.
Pria
itu berhenti dari aktivitasnya dan melepaskan pec deck machine yang
ia gunakan. Ia mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang ada di saku celana
olahraganya dan melihat ke arah gadis itu.
"Hm."
Pria
itu bangkit, berjalan pelan ke kursi panjang yang ada di ujung ruangan, dan
meraih air mineralnya yang ia letakkan di sana. Tubuh tegapnya yang tampak dari
belakang itu benar-benar maskulin dan seksi; otot-ototnya tampak
begitu keras. Tubuhnya begitu proporsional.
"Ada
apa? Kamu
sampe dateng ke sini," ujar pria itu dengan suara maskulinnya.
Gadis
itu mendekat dengan perasaan gembira tatkala pria itu meminum air mineralnya.
"Aku mau ngeliat kamu, emangnya salah, ya? Kita ini sahabatan, ‘kan? Kamu
bilang kamu sayang sama aku."
Pria
itu meletakkan minumannya kembali, lalu ia berbalik dan menatap gadis itu. Ia
menghela napas, lalu tersenyum. "Ya, aku sayang sama kamu karena kamu itu sahabatku,
Chintya."
Pria
itu lalu berjalan melewati Chintya, sembari ia sempat membelai puncak kepala
Chintya.
Chintya
bersungut-sungut begitu pria itu pergi; Chintya langsung menghadap ke arah pria
itu. "Tsk. Kenapa kamu selalu kayak gini, sih?!"
Pria
itu berhenti. Ia berbalik; tubuh tegapnya terlihat bersinar akibat terkena
sinar matahari yang masuk ke ruangan gym saat itu. Membuatnya
terlihat begitu seksi dan berkarisma. Pria itu berkulit putih, tetapi
tidak terlalu putih. Dia memiliki rahang yang kokoh dan tajam, bentuk
matanya juga tajam seperti elang. Dia memiliki tindik di telinga sebelah
kirinya yang ia pasangkan sebuah anting kecil. Tubuhnya kekar dan berotot; sepertinya,
Tuhan betul-betul sedang tersenyum tatkala menciptakannya.
"Bukannya
aku udah bilang kalo aku sayang sama kamu?" Pria itu
menghela napas, tetapi ia mengucapkan itu dengan tulus.
"Kamu
nggak pernah tau rasa sayang apa yang aku maksud dan rasa sayang apa yang aku
mau dari kamu. Sampe kapan kamu mau nggak ngerti gini, sih?!"
"Chintya
Valissisa!" Ekspresi wajah pria itu itu mendadak
berubah; ia menatap gadis itu dengan tajam. Suaranya mampu menekan habis
orang lain. Namun, ternyata Chintya kali ini balas menatap tajam padanya. Gadis
itu tampak tidak terima.
"Kamu
pergi ke Indonesia?! Jadi, gimana dengan kerjaan kamu di sini?!
Kamu itu seorang model, Deon. Kamu itu terkenal di Asia! Kamu model pria
terbaik di Asia. Setelah semua yang udah kamu raih itu, kamu mau ngebuangnya gitu
aja? Kamu tahu, ‘kan, apa motivasi aku untuk jadi seorang model? Alasan kenapa
aku tinggal di Taiwan—negara asing ini—sementara keluargaku semuanya di
Indonesia? Itu semua karena aku sayang sama kamu, Deon, aku nggak mau pisah
sama kamu! Kamu mau ninggalin aku? Deon, you were born here, in
Taiwan," ujar Chintya, ia mulai mengeluarkan air mata. Ia
betul-betul menangis; wajahnya memerah. Gadis itu menatap Deon dengan putus
asa.
"Chintya,
aku nggak bener-bener mau jadi model, kamu tau itu, ‘kan? I didn't even
know what I was doing and what I'm going to do. Aku cuma berusaha buat
tetep ngejalanin hidup aku. Aku udah ngundurin diri dari agensiku dan kemauanku
udah mutlak. Perusahaan di sana butuh aku."
"Tapi
kamu benci sama ibu kamu, Deon." Chintya berkata dengan sarkastis.
"Aku
bakal beli apartemen di sana. Jadi, aku nggak perlu ketemu sama dia." Deon
menggeram, sketsa yang ia benci itu kembali terlintas di otaknya, berputar
bagaikan kaset rusak yang terus mengganggu akal sehatnya. Deon tahu bahwa dia
tak mungkin terus berada di titik yang sama, terus memikirkan potongan masa
lalu itu hingga menjadi dendam, tetapi ia juga tak bisa meninggalkan masa
lalu itu sebab sosok yang ia benci itu sampai sekarang masih ada di dunia ini.
"Bukannya
karena kebencian kamu itulah kamu tetap tinggal di Taiwan, sementara keluarga
kamu pindah ke Indonesia, tempat ayah kamu lahir?"
"Aku
nggak punya pilihan lain—bukan, aku rasa inilah kesempatan buat aku.
Aku nggak bakal ngebiarin apa pun terjadi lagi. Aku benci kalo orang yang aku sayang
tersakiti." Pria itu menghela napas. Rahangnya mengeras; ia menggeram.
"Tapi
Deon..." Chintya merengek.
Pria
itu menghela napas. Menormalkan kembali ekspresi wajahnya dan berusaha untuk
tetap tenang sebab bila ia tak mengendalikan dirinya, ia bisa saja mencelakai
Chintya. Ia malah akan menyakiti salah satu orang yang berharga baginya. Demi
Tuhan, dia membenci segala bentuk rasa sakit seperti itu. Dia ingin menjauhkan
dirinya dari kata ‘menyakiti orang lain’, tetapi tampaknya tanpa sadar dia
malah lebih mudah dalam menyakiti orang lain. Dia keras dan tidak suka
ditentang. Dia egois.
"Chintya." Deon
mendekat pada Chintya. Berkata dengan suara yang begitu lembut, "aku sayang
sama kamu. Kamu sahabat aku yang paling aku sayang. Jangan khawatir."
"Deon..."
Chintya memeluk Deon erat, mencium aroma tubuh pria itu yang tetap memabukkan
meskipun sudah bercampur dengan keringat. Chintya memejamkan matanya dan bibirnya
mengerucut seperti anak manja di dalam pelukan Deon. "Aku pasti bakal nyusul
kamu ke sana. Pasti!"
Deon
tersenyum dan ia melepaskan tubuh Chintya perlahan, didapatinya bibir Chintya
mengerucut sebal seperti anak-anak yang sedang merajuk di hadapannya.
Anak-anak dengan sejuta cintanya.
"Ya
udah," jawab Deon pada akhirnya.
Ponsel
yang ada di dalam saku celana Deon itu berdering. Dengan segera pria itu
mengambil ponselnya, lalu menerima panggilan yang baru saja masuk.
"Mr.
Deon. The flight is ready for tomorrow. Everything was settled."
Tatapan
mata pria itu perlahan menjadi tajam; rahangnya mengeras lagi. Dia memang lahir
di Taiwan, tetapi perjalanan ke luar negeri yang sering dilakukannya membuatnya
nyaris selalu berbicara dengan bahasa Inggris.
"Okay.
Thank you for everything."
Jakarta,
Ibu Kota Indonesia. Dia berangkat ke Jakarta besok dengan penerbangan
internasional. Siap menjalankan hidup baru sebagai penerus perusahaan otomotif
milik ayahnya, tak peduli apa yang akan ia hadapi dan temui di sana. Yang
jelas, ia ke sana dengan tekad untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya,
meringankan beban ayahnya yang kini begitu membutuhkannya. Telepon dari ayahnya
satu minggu yang lalu—yang mengatakan bahwa ayahnya mau pensiun karena sakit—telah
membuatnya bereaksi cepat.
Ia
tidak akan membiarkan ayahnya menderita lagi.
Tekadnya
untuk hidup sukses di Taiwan telah ia raih, bekerja sebagai model sejak kecil setelah
lulus dari Harvard University. Ia ditinggal di Taiwan oleh keluarganya dua
puluh tahun yang lalu, memilih untuk tetap tinggal di sana bersama neneknya karena
ia muak melihat wajah ibunya. Ibunya masih mengikuti ayahnya ke
Indonesia setelah kejadian itu. Mereka baru bercerai satu tahun kemudian.
Deon
diselimuti kebencian yang mendalam terhadap ibunya.
Papa itu terlalu baik, ia selalu berpikir demikian. Ayahnya
masih memaafkan ibunya, bahkan masih sempat menerima ibunya kembali selama dua
tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai karena terus-menerus
bertengkar. Ternyata luka ayahnya tak semudah itu untuk sembuh meskipun
memutuskan untuk menerima ibunya kembali.
Persetan
dengan hubungan ibu-anak, dia malah jadi tak tahu apa yang harus ia lakukan di
dunia ini. Ia seorang pria yang cerdas, tetapi dia buta akan tujuan hidupnya hanya
karena dua hal, yaitu trauma dan kebencian.
Dia
lepas kontrol ketika mendengar sebuah pengkhianatan. Ia membangun pribadi yang
kejam dalam dirinya. Kepribadiannya jadi sedikit tidak masuk akal. Dia selalu
berpikir di luar akal sehat, kekejaman dan otoriternya membuat banyak orang
takut kepadanya, tetapi dia selalu dihormati karena hal itu. Dia juga tidak mudah
percaya lagi kepada siapa pun; dia membenci kebohongan.
Chintya
adalah pengecualian. Chintya sudah menjadi temannya sejak kecil, sejak sebelum
kejadian laknat itu terjadi. Tidak ada perempuan lain yang dekat dengannya,
kecuali Chintya Valissisa. Chintya tidak pernah mengkhianatinya.
Setidaknya itulah yang Deon percayai sampai sekarang. Ia hanya harus bersiap
jika suatu hari nanti ia terpaksa bertemu dengan wanita laknat bernama Serena
itu di Indonesia, tepatnya di Jakarta.
Dialah
sang pemimpin baru Abraham Groups, Marco Deon Abraham. []
No comments:
Post a Comment