Bab
6 :
Nganterin
Buku Aldo
******
HARI
INI, Nadya dan Gita ikut makan di kantin bersama Fara,
Tari, dan yang lainnya. Mereka makan bersama-sama di salah satu meja yang ada
di kantin. Saat itu, semua teman Nadya sedang tertawa dan bersenda gurau sembari
membahas apa saja yang sedang trend saat itu, tetapi tiba-tiba
mereka terdiam. Nadya yang sedang makan itu lantas berhenti dan mengalihkan
pandangannya ke teman-temannya.
Nadya
lantas mendapati teman-temannya itu sedang senyum-senyum tak jelas dan
tiba-tiba mereka semua bangkit; mereka berdiri membawa mangkuk mereka. Mata
Nadya berkedip berkali-kali—menatap penuh dengan tanda tanya—saat melihat Fara
mengedipkan sebelah mata padanya. Nadya kontan menatap mereka semua satu per
satu. "Kalian kok berdiri? Udah selesai, ya?"
Nadya
menatap Gita dan sialnya Gita malah mengacungkan jempol padanya. Nadya kaget,
tetapi cewek itu semakin kaget bukan main saat Tari mendorong Gita dan mengajak
teman-teman yang lain untuk menjauh dari Nadya sembari cekikikan. Nadya kontan
berdiri—tangannya bertumpu di meja—dan matanya membulat penuh. Nadya berteriak,
"Eh, tunggu!!! Gitaaa!!!"
Kok
aku ditinggal, sih...
"Hai, Nad."
Nadya
terperanjat, cewek itu langsung melihat ke asal suara dan menganga. Di depannya
ada Aldo yang sedang memegang semangkuk bakso; cowok itu tersenyum padanya dan mulai
duduk di kursi yang ada di seberangnya. Aldo mulai memegang sendoknya untuk
memakan bakso dan cowok itu kini menatap Nadya lagi.
"Nad?"
Nadya
melebarkan mata. "A—Aldo? Kamu...sejak kapan ada di sini? Kamu nggak makan
sama temen-temen kamu?"
Aldo
tersenyum manis dan terkekeh pelan. Nad, kamu itu ada-ada aja.
Tadi, kan, Fara dan yang lainnya pergi karena liat aku dateng ke meja kalian
buat ngehampiri kamu.
"Aku
baru aja datang, Nad. Pengin duduk sama kamu aja. Makan bareng, yuk?" jawab
Aldo santai. Nadya tercengang—mulutnya masih terbuka sedikit—dan cewek itu
mengedipkan matanya berkali-kali, lalu kembali menutup mulutnya. Setelah itu,
ia mengangguk dan mencoba untuk duduk kembali meskipun jantungnya berdebar. Ini
pertama kalinya ia makan bareng Aldo di sekolah, apalagi ini di kantin.
Orang-orang lantas melihat ke arah mereka dan semuanya pada senyum-senyum nggak jelas!
Banyak orang yang mulai berbisik-bisik, bahkan teman-teman Aldo yang ada di
ujung sana mulai bersorak sekaligus bersiul.
"Cihuuy!!!"
"Yihiiii!"
"Akhirnya,
si kece tancap gas, Bung!!"
Pipi
Nadya merona bukan main. Habislah Nadya, apakah Nadya bisa menghabiskan
makanannya dengan baik? Rasa laparnya jadi hilang entah ke mana! Perutnya malah
terasa geli seolah-olah ada ribuan kupu-kupu yang sedang beterbangan di
perutnya. Aldo kini sedang memakan mie yang ada di dalam mangkuk baksonya
dengan lahap. Sepertinya, Aldo...sedang lapar. Yah, Aldo
memang mudah lapar, 'kan?
Nadya
melipat bibirnya sejenak, kemudian cewek itu mengambil sendoknya dan
perlahan-lahan mulai makan kembali.
Saat
Nadya sedang makan, tiba-tiba jempol Aldo memegang sudut bibir Nadya. Jempol
cowok itu mengusap pelan sudut bibir Nadya. Hal itu berhasil membuat mata Nadya
membulat, cewek itu langsung menatap Aldo dengan ekspresi kagetnya.
"Aldo?"
Aldo
tersenyum manis, sangat manis. "Kuah baksonya muncrat ke
situ waktu kamu makan mie, Nadya."
Wajah
Nadya memerah seperti kepiting rebus. Napas Nadya mendadak tertahan; jantungnya
kembali berdegup kencang. Tubuhnya saat ini terasa sangat ringan seperti kelopak
bunga dandelion yang kapan saja dapat terbang tinggi menuju ke
angkasa.
Nadya
meneguk ludahnya. "Makasih, ya, Aldo."
Saat
Nadya merasa bahwa cewek-cewek di kantin mulai heboh, berbisik-bisik, dan
bersiul untuk menggoda mereka berdua, Aldo justru mengangguk pada Nadya dan
malah memberikan dua bakso dari mangkuk cowok itu ke mangkuk Nadya.
Aldo
kok bisa, sih, cuma ngangguk gitu? Aldo sadar nggak, ya, kalo kita diliatin...
Nadya
memiringkan kepalanya, ia kini sadar bahwa Aldo baru saja memasukkan dua bakso
ke dalam mangkuknya. "Lah, kok malah dikasih ke aku, Aldo?"
"Biar
kamu makan yang banyak, Nad," ujar Aldo sembari tersenyum. "Yuk,
makan lagi."
Nadya
tercengang sebentar, kemudian ia mengangguk. Cewek itu mengatakan, 'Makasih
ya, Aldo' dengan lembut, lalu mulai memakan baksonya lagi. Kini mereka
berdua sama-sama sedang memakan bakso. Sesekali Nadya menatap Aldo dan
tatapannya dibalas oleh Aldo. Tatapan mata Aldo begitu lembut; senyuman Aldo
yang sangat manis tiap kali ia menatap Nadya itu sukses membuat Nadya jadi
kikuk.
Nadya
heran, Aldo ini kurang apa, sih? Dia hampir sempurna. Hanya saja Nadya ingin
tahu... Apa, sih, kekurangan Aldo? Siapakah Aldo yang sesungguhnya? Apa, sih,
yang membuat Aldo melakukan hal-hal seperti ini bersama Nadya dan terus
terlihat nyaman? Semua itu masih menjadi misteri di benak Nadya. Akan tetapi, sebenarnya…Nadya
benar-benar menikmatinya. Entah mengapa, Nadya merasa sangat nyaman ketika ia
berada di dekat Aldo. Jantung Nadya juga selalu berdebar tak keruan ketika ia
sedang bersama cowok itu. Intinya, Nadya merasa sangat bersemangat tiap kali
Aldo ada di dekatnya. Nadya...mulai terbiasa. Ia perlahan merasa bahwa kini ada
satu orang lagi yang bisa melalui hari-hari bersamanya selain Gita. Kini ada
seseorang yang membuatnya jadi semakin bersemangat tiap kali pergi ke sekolah,
menantikan apa yang akan terjadi di sekolah setiap harinya.
Kalau
suatu hari nanti Aldo memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, Nadya tak
tahu apa yang akan terjadi padanya. Apakah Nadya akan merasa sangat sedih?
Apakah Nadya akan merasa kehilangan? Memikirkannya saja sudah bisa membuat
Nadya jadi lesu.
Ternyata, Aldo benar-benar sudah masuk ke dunia Nadya dan...membuatnya nyaman.
"Em...
Aldo," panggil Nadya, cewek itu berhenti memasukkan makanan ke dalam
mulutnya. Tangannya masih memegang sendok. Saat Aldo menatapnya, Nadya berusaha
untuk memandangi bola mata Aldo—yang jernih itu meskipun itu—tidak baik untuk
jantungnya.
"Hm?"
deham Aldo lembut.
Lembutnya
suara Aldo itu berhasil membuat tubuh Nadya bergetar dan pipinya langsung
merona. Akan tetapi, Nadya berusaha untuk kembali berbicara meski mungkin agak
terdengar seperti sedang memaksakan diri. "Aku...pinjem buku latihan
Bahasa Indonesia kamu boleh nggak?"
Aldo
mengangkat kedua alisnya. "Iya, boleh kok, Nad. Emangnya ada apa?"
Nadya
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sore ini, aku ada kegiatan belajar
kelompok. Aku mau belajar Bahasa Indonesia bareng Gita dan temen-temen yang
lain di rumahnya Vina. Buku catatan Bahasa Indonesia aku ada, tapi buku
latihanku…nilainya nggak semuanya seratus. Nggak bisa jadi referensi yang tepat
buat belajar."
Aldo
terkekeh pelan. Cowok itu kemudian mengangguk dan mengacak rambut Nadya pelan
hingga membuat Nadya lagi-lagi kaget. Setelah itu, cowok itu tersenyum lagi
pada Nadya.
"Iya,"
ujar Aldo. "pinjem aja. Nanti kukasih di kelas. Selama itu kamu, aku
nggak bakal keberatan."
Rasanya
rona merah di wajah Nadya sudah sampai ke telinga. Lidah Nadya terasa kelu. Untuk
meneguk ludah pun terasa sangat sulit.
"Oh
ya, nanti pas kerja kelompoknya kamu berangkat sama siapa?" tanya Aldo
dengan mata yang sedikit membulat ingin tahu. Nadya lantas terseret kembali ke
dunia nyata, lalu cewek itu menjawab, "Sama Gita, Aldo."
Aldo
mengangguk, kemudian cowok itu mengelus pundak Nadya dengan pelan dan kembali
mengambil sendoknya. Sebelum kembali makan, Aldo tersenyum lembut pada Nadya dan
berucap, "Ya udah. Hati-hati, ya, Nad. Jangan pulang terlalu malem. Aku
bakal telepon kamu."
Nadya
merasa perutnya seolah digelitik lagi. Debaran jantungnya itu kini serasa
menyebar ke seluruh sel-sel tubuhnya. Wajahnya terasa sangat panas, tetapi ia
berusaha untuk mengangguk dan berkata:
"Iya.
Makasih, ya, Aldo."
******
Gita
menurunkan Nadya di depan rumah Aldo dan tiba-tiba Gita mengeluarkan ponselnya
dari dalam saku. Gita membaca SMS yang masuk ke ponselnya selagi Nadya berdiri
di dekatnya. Nadya sedang menganga karena melihat betapa bagus dan besarnya
rumah Aldo.
Rumah
itu berwarna putih. Memiliki pilar yang besar dan kokoh, berpagar besi berwarna
hitam yang tinggi dan ditutupi fiber berwarna hitam. Rumah itu terlihat sangat
indah; Nadya masih bisa melihat keindahan rumah itu dengan jelas meskipun ini
sudah malam. Nadya tahu bahwa ayahnya Aldo itu adalah seorang pengusaha dari
Perancis—semua orang di sekolah juga tahu soal itu—tetapi sepertinya ayahnya
Aldo itu bukan hanya seorang pengusaha, melainkan seorang konglomerat. Rumah
itu luar biasa megah. Nadya sampai meneguk ludahnya sendiri. Termangu
memikirkan, 'Kapan, ya, bisa ngumpulin uang dan punya rumah kayak gini?
Nadya
spontan menoleh ke belakang—ke arah Gita—saat Gita mendadak berbicara dengan
terburu-buru, "Nad, gue duluan, ya? Gue disuruh cepet-cepet pulang sama
Mama."
Mata
Nadya kontan membeliak. "Yah, Git, terus gue balik sama siapa, dong?"
Nadya mulai panik. Cewek itu meremas tali tas selempangnya dengan kuat.
Gita
mengembuskan napasnya dan tersenyum. Cewek itu menepuk pundak Nadya sebentar, lalu
mulai bersiap untuk mengendarai motornya. "Santai aja, Nad. Gue udah SMS
Aldo kok. Dia udah mau keluar, tuh. Nanti lo pulang sama dia, oke?"
Mata
Nadya sontak kembali membulat. Tentu hal itu membuat jantungnya mulai berdebar.
Wajah Nadya tampak tegang dan cewek itu kontan berteriak saat Gita tiba-tiba pergi
meninggalkannya setelah meneriakkan kalimat, 'Dadah, Nad!'
Duuh,
Gita nih... Terus gimana, dong...
Tiba-tiba
saja pagar rumah itu terbuka. Nadya spontan berbalik; kedua alisnya terangkat.
Ada seorang satpam yang sedang membuka pagar itu. Ketika pagar itu telah terbuka
separuh, tampaklah sosok Aldo di sana yang tengah berdiri dan langsung
menghampiri Nadya.
Nadya
sedikit tercengang ketika melihat Aldo berdiri di dekat pagar
itu, yakni sesaat sebelum Aldo menghampirinya. Aldo tersenyum padanya; cowok
itu memakai t-shirt putih dan memakai kalung berliontin simbol infinite
di lehernya. Ternyata Aldo memang selalu memesona bagaimanapun style-nya
dan di mana pun cowok itu berada.
Setelah
Nadya sadar, rupanya sekarang cowok itu sudah ada di depan Nadya. Nadya
mengerjap dan meneguk ludahnya gugup. Ia sekarang jadi mudah sekali gugup
ketika melihat atau berdekatan dengan Aldo. Cinta memang selalu bisa membuat
semuanya terasa sulit. Bahkan untuk menatap mata orang yang kita sukai pun,
kita akan sangat gugup. Jatuh cinta itu hanya membutuhkan waktu yang singkat,
apalagi kepada orang seperti Aldo yang semakin hari sikapnya malah semakin
membuat jantung Nadya berdebar.
Aldo
mendekap Nadya sejenak dengan sebelah tangannya, kemudian cowok itu memegang
bahu Nadya. Hal itu membuat pipi Nadya kontan merona dan ia menatap Aldo dengan
mata yang membulat penuh. Sementara itu, Aldo menatap Nadya dengan lembut. Senyumnya
merekah. Mereka diam; selama beberapa detik, mereka hanya saling memandang.
Degupan
jantung Nadya menggila. Aldo... Aldo barusan memeluknya! Meskipun
kejadiannya sangat cepat dan Aldo melakukannya dengan spontan, Nadya tetap
terkejut. Nadya bahkan tak sempat memikirkan apa pun.
Sesungguhnya,
tadi waktu kerja kelompok, cewek-cewek yang ikut belajar semuanya menggoda
Nadya dan berkata bahwa wajah Nadya sekarang terlihat lebih bersinar. Nadya
terlihat lebih 'hidup'; binar di mata Nadya terlihat sangat indah. Nadya sampai
berteriak—berkali-kali memohon pada mereka—untuk berhenti meledeknya. Namun,
cewek-cewek itu justru menambahkan: ‘Wajah lo jadi kayak gitu karena lagi dimabuk
cinta, Nad.’
Setelah
merasa pipinya memanas, Nadya mulai meneguk ludahnya dan langsung mengalihkan
wajah. Cepat-cepat Nadya membuka ritsleting tasnya dan merogoh tas itu untuk mengambil
buku latihan milik Aldo. Untung saja buku Aldo bisa dikembalikan hari ini, itu
pun Nadya menanyakan alamat Aldo terlebih dahulu sebelum ke sini. Bila
dikembalikan besok, takutnya Nadya lupa.
Setelah
berhasil menemukan buku Aldo, Nadya pun langsung menatap Aldo dan menyerahkan
buku itu. "Ini, Aldo. Makasih, ya, udah minjemin buku kamu."
Aldo
meraih buku itu dari tangan Nadya. Saat buku itu sudah ada di tangan Aldo,
Nadya tersenyum. Cewek itu melihat wajah Aldo yang tampak begitu rupawan meski
hanya mengandalkan cahaya lampu dari rumah itu, lampu dari rumah para tetangga,
sekaligus lampu jalanan kompleks.
Aldo
mengangguk. Cowok itu kemudian berdeham dan berkata, "Iya, Nadya.
Sama-sama."
Nadya
tersenyum semakin lebar. Saat Nadya sedikit melihat ke area halaman rumah Aldo,
cewek itu mengernyitkan dahi. Ada lumayan banyak orang di halaman tersebut;
mereka terlihat seperti sedang berpesta. Itu seperti pesta anak muda.
Aldo
memperhatikan Nadya; cowok itu sedikit melebarkan matanya tatkala memperhatikan
Nadya yang sedang mengernyitkan dahi.
"Kenapa,
Nad?" tanya Aldo sembari separuh berbalik untuk mengikuti arah pandang
Nadya.
Nadya
menggeleng, cewek itu kembali menatap Aldo. "Itu...apa, Aldo? Ada pesta,
ya?"
Aldo
menoleh ke halaman rumahnya sejenak, lalu berkata, "Oh, itu."
Aldo
bernapas samar saat berbalik lagi menghadap Nadya. Cowok itu tersenyum dan
memegang lengan Nadya pelan. "Biasa, mereka memang selalu datang ke sini
tiap malam Sabtu. Ada Rian sama Adam juga, mereka barbecue-an di
sana. Memang agak dibuat kayak disko-diskoan gak jelas, sih. Lampunya
warna-warni."
Aldo
suka ikut pesta anak muda kayak gitu, ya?
Nadya
diam.
Itu
adalah sebuah hal yang tak terduga. Nadya sama sekali tak tahu—tentu saja—dan
Nadya mulai berpikir bahwa Aldo itu mungkin memiliki banyak rahasia. Kemungkinan
banyak sekali sesuatu tentang Aldo yang tak Nadya ketahui,
banyak sekali sesuatu tentang Aldo yang masih menjadi pertanyaan di benak
Nadya.
Memang, sih, semua
yang ikut pesta itu sepertinya cowok. Nadya tahu bahwa Aldo memang jarang
kelihatan bergaul dengan cewek. Akan tetapi, apa benar Aldo tak pernah...dekat
dengan seseorang selain Nadya? Nadya mendadak ingin tahu hal itu meskipun ia sadar
bahwa ia tak berhak mencampuri urusan Aldo. Aldo belum tentu mencintainya.
Tapi
kalo cuma nanya...apa salah, ya?
"Nad,"
panggil Aldo, membuat Nadya tersentak. Aldo lalu tersenyum dan melanjutkan,
"aku anter kamu pulang, ya. Udah malam."
Nadya
hanya bisa tersenyum simpul dan mengangguk pelan.
******
Aldo
mengusap kening Nadya dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel di
wajah Nadya. Aldo memiringkan kepalanya, menatap wajah Nadya dari dekat dengan
intens. Aldo tersenyum lembut saat melihat wajah Nadya yang sedang tertidur
dengan nyenyaknya.
Aldo
perlahan mendekatkan wajahnya ke kening Nadya dan mencium kening cewek itu dengan
lembut. Bibirnya menempel untuk beberapa saat di kening Nadya; cowok itu
memejamkan mata hingga akhirnya ia melepaskan bibirnya dan kembali tersenyum.
Mereka
masih setengah jalan dan Nadya sudah tertidur. Hari ini pasti terasa sangat
melelahkan bagi cewek itu. Lagi pula, Aldo lumayan tahu bahwa para cewek di
kelasnya itu tidak akan 'hanya' belajar saja. Pastilah ada waktunya untuk
berbincang, bercanda, dan lain-lain.
"Nad,
kamu ini udah tidur aja," ujar Aldo sembari menatap Nadya dengan lekat. "Tidur
di mobil nggak akan terasa nyaman, lho, Nad."
Hening
sejenak, kemudian Aldo berbicara lagi dengan pelan di depan wajah Nadya yang
tampak lucu saat tertidur, "Aku sayang kamu, Nad."
Aldo
tersenyum simpul sejenak, lalu cowok itu kembali duduk tegak di posisinya
sebelumnya. Cowok itu agak menunduk saat mengambil ponselnya yang sedari tadi
terasa bergetar pelan di dalam saku jaket kulit berwarna hijau lumutnya. Ekspresi
wajah Aldo berubah saat ia mengangkat telepon itu; cowok itu menempelkan ponsel
itu ke telinganya.
"Jadi, Sya," ujar
Aldo pada seseorang yang sedang bertelepon dengannya. "ada apa lo nelepon
gue seharian ini?" []
******
No comments:
Post a Comment