Chapter
2 :
Kei
Arashi
******
“KAU
mau
ke mana, Gin? Sekarang sedang hujan, lho!” ucap Ai ketika ia melihat Gin
yang sedang membuka pintu depan rumah mereka. Ruang depan rumah mereka itu
telah dijadikan sebagai bar sehingga untuk sampai ke pintu depan, kau harus
melewati bar terlebih dahulu. Namun, walau pintu depan masih tertutup, suara
hujan deras yang jatuh ke genting rumah tentulah bisa terdengar dengan
sangat jelas.
Tatkala Gin sudah membuka pintu depan
rumah mereka, terlihatlah air hujan di luar sana; hujan itu turun dengan begitu
derasnya dari langit gelap malam itu.
“Gin??”
panggil Ai, gadis itu langsung berjalan dengan cepat ke pintu depan demi
mendekati Gin yang kini sedang bergerak memakai mantel tebalnya. Ai mendekati
Gin karena berpikir bahwa mungkin saja Gin tidak mendengarnya karena kuatnya
suara hujan.
Gin
menoleh. Sembari memakai mantelnya, Gin lantas sedikit melebarkan mata tatkala
melihat Ai yang berjalan ke arahnya.
“Oh,
Ai,” ujarnya. “Kau belum tidur?”
“Ini
masih jam delapan malam, buat apa aku tidur secepat itu?” Ai memasang poker face.
Ini memang masih jam delapan malam, tetapi bar milik Gin tutup malam ini.
Makanya, rumah mereka tidak ramai. “Lagi pula, kau mau ke mana hujan-hujan
begini?!”
Pantas
saja bar ditutup malam ini, rupanya Gin ada rencana mau ke luar.
Ai
melihat Gin yang ternyata sedang memegang sebuah payung yang masih tertutup. Dia
seriusan mau ke luar hanya dengan mengandalkan payung? Hujannya deras, lho!
Seharusnya dia tidak usah pergi dulu!
“Dasar
bocah. Justru lebih bagus kalau kau tidur cepat,” ujar Gin seraya menggeleng
tak habis pikir. “Tidur sana. Kau, kan, masih dalam masa pertumbuhan.”
Ai
berdecak kesal. “Siapa yang kau panggil bocah, oi! Masa pertumbuhan apanya?
Pertumbuhan rambut?!”
Sekarang
giliran Gin yang memasang poker face, ekspresi wajahnya betul-betul datar.
“Siapa lagi bocah di sini kalau bukan kau? Kan kau yang suka menghabiskan nasi di
panci sampai-sampai tak menyisakanku sedikit pun.”
“Gin,
aku sudah 22 tahun!! Bocah apa yang umurnya 22 tahun?!” protes Ai dengan suara
kencang. Gadis itu lantas berjinjit, berencana untuk semakin mendekati Gin dan memanjat
tubuh ayah angkatnya itu; dia mau mengapit kepala Gin dengan kedua tangannya.
Namun, rencana Ai itu gagal total karena Gin langsung memegang kepala gadis itu
dan menekannya agar tetap berada di tempat. Hal itu membuat Ai jadi tak bisa
maju mendekati Gin dan hanya bisa mengulurkan kedua tangannya ke depan, mendayung-dayungkan
tangannya di udara karena tubuh Gin tak bisa ia capai. Ya…mau bagaimana lagi?
Soalnya Gin sudah tahu isi otaknya Ai itu seperti apa.
“G—GIN!!!
LEPAAS! GINNNN!!!” teriak Ai kencang seraya masih terus
mendayung-dayungkan tangannya ke depan, sementara kepalanya dicengkeram dan
ditahan di tempat oleh Gin hingga ia tak bisa maju sama sekali.
Gin
menyeringai. Cengkeramannya pada kepala Ai tampak semakin kuat hingga membuat
Ai mengaduh kesakitan. “Mau apa kau, hmm? Kau pasti mau mencekik leherku, ‘kan?
Bocah Tengil.”
“OIII!!!”
teriak Ai lagi. Kedua tangannya kini mencengkeram lengan kekar milik Gin,
mencoba untuk melepaskan tangan Gin dari kepalanya. “LEPAAAS! Baiklah—baiklah!!
Ampun! Sakiiiit!! Sudah, aku tidak jadi memanjat tubuhmu!!! Lepaskan aku!!”
Gin
tersenyum penuh kemenangan. Pria itu pun melepaskan cengkeramannya pada kepala
Ai, menyisakan gadis itu yang mulai merintih, mengusap-usap kepalanya, serta mengernyitkan
dahinya karena merasa sakit. Dia langsung merapikan rambut berwarna vermillion-nya
yang malam itu hanya digerai.
Gin
lalu berkata, “Aku pergi dulu. Hiroshi baru pulang dari luar kota dan ingin
mentraktir kami makan malam, katanya.”
Meski
masih mengernyitkan dahi dan memajukan bibirnya ke depan karena merajuk, Ai tetap
menoleh kepada Gin dan bertanya, “Hujan-hujan begini?”
“Iya,
soalnya besok dia mau pergi ke luar kota lagi. Jadi, dia cuma punya waktu malam
ini,” jawab Gin. Pria itu pun mengacak rambut Ai seraya tersenyum. “Kau diam di
rumah saja dan tidurlah. Kunci semua jendela dan pintu.”
Kemungkinan
Gin akan pulang besok pagi, mengingat biasanya pertemuan dengan Hiroshi dan
teman-temannya yang lain akan selalu berakhir dengan minum bir seraya mengobrol
tentang banyak hal.
Namun,
tiba-tiba saja—bagai tersambar petir—ekspresi Ai berubah. Dia mendadak terlihat
bersemangat, matanya berbinar-binar. “Gin! Kira-kira Hiroshi bawa
oleh-oleh dari luar kota tidak?!”
Kontan
saja pertanyaan itu membuat Gin sedikit melebarkan mata. Dia lalu melihat ke
lain arah dan mulai mengerutkan dahinya; dia sedang berpikir. “Hm…entah juga,
ya.”
Ai
tampak semakin bersemangat. Dia langsung mendekati Gin dan memegangi sedikit
bagian dari mantel Gin, di bagian perut. Mata birunya tampak berkilat seolah
dipengaruhi oleh sesuatu.
Gin
menatap Ai dan mengangkat sebelah alisnya. Wah, ini anak pasti ada maunya,
nih.
Tanpa
tedeng aling-aling, Ai pun lantas mengeluarkan cengiran andalannya,
memamerkan barisan gigi putihnya. “He he he he! Kalau Hiroshi bawa oleh-oleh,
terutama snack, bawa pulang ke rumah, ya!!”
Tuh,
kan.
Ekspresi
wajah Gin langsung datar sedatar-datarnya. “Dasar bocah. Makanan saja yang kau
pikirkan.”
Ai
mencebikkan bibirnya, lalu menjulurkan lidahnya pada Gin. “Lah, bukannya
katamu aku masih dalam masa pertumbuhan?”
Gin
menggeleng tak habis pikir. Hidup bersama dua bocah dengan rambut berwarna vermillion
ini benar-benar sukses menghabiskan seluruh persediaan makanannya. Yang
tadinya dia belanja seminggu sekali, semenjak memungut Ai dan Eric, dia jadi
belanja dua hari sekali. Walau yang satunya sudah mengembara entah ke mana,
yang satu lagi tetap mampu untuk menghabiskan semua makanan di rumah Gin.
Anehnya, tubuh kedua anak itu bukannya gemuk; tubuh mereka justru tumbuh dengan
proporsional. Rasanya kurang bisa diterima oleh akal sehat, tetapi mungkin saja
Gin sudah memungut anak-anak ajaib.
Meskipun
begitu, akhirnya Gin hanya mengulurkan jari telunjuknya untuk mendorong kening
Ai ke belakang dengan pelan. “Suatu saat aku akan mencari seseorang untuk
menghilangkan black hole di dalam perutmu itu. Bisa-bisa suatu hari
nanti kau akan memakanku kalau persediaan makanan di rumah kita sudah
benar-benar habis.”
Ai
tertawa keras, tak tanggung-tanggung kepalanya sampai mendongak. Dia lalu
menatap Gin dan menjawab, “Malas, ah! Dagingmu mungkin alot, soalnya kau sebentar
lagi akan menjadi om-om tua!”
Sontak
saja Gin jadi kesal. Ekspresi pria itu langsung berubah; keningnya berkerut.
Dia berdecak dan langsung menjewer telinga Ai. “Siapa yang kau sebut om-om,
hah?! Dasar bocah tidak sopan!!”
“A—AAAAH!!
HUAAA!” teriak Ai, memegangi lengan Gin seraya mengaduh kesakitan. “Bercanda!!
Aku bercanda—ampun!!! GIINN!!”
Gin
lalu melepaskan tangannya dari telinga kiri Ai dan kembali berdecak. “Ya sudah.
Aku pergi dulu. Nanti aku bawa ke rumah kalau Hiroshi bawa oleh-oleh.”
Ai
yang sedang mengusap-usap telinganya itu mendadak langsung melebarkan matanya. Dia
menatap Gin dengan antusias. Matanya kembali berbinar-binar; mulutnya terbuka
lebar. “SIIIP! HORE! Bawa yang banyak, ya!!”
Gin
langsung memasang poker face. “Sudah minta, malah tidak tahu diri.”
Ai
tertawa kencang.
Gin
mendengkus, lalu pria itu tersenyum. Sebetulnya, meskipun dia bilang begitu,
dia yakin bahwa Hiroshi pasti akan membawa oleh-oleh. Hiroshi—yang pekerjaannya
memang selalu bolak-balik ke luar kota itu—juga kenal dengan Ai; Hiroshi
tahu bahwa Ai orangnya memang suka makan. Makanya, tiap mengajak Gin ke luar
buat nongkrong, dia pasti akan memberikan sebuah bingkisan kepada Gin
dan berkata, ‘Ini, oleh-oleh untuk para bocah di rumahmu. Si Ai apa kabar?’
Gin
pun menepuk pundak Ai dua kali dengan pelan, lalu berbalik dan berkata, “Kunci
semua pintu dan jendelanya.”
Ai
tersenyum lebar—dia senang sekali—lalu mengacungkan jempolnya dan menyahut,
“Okeee!!!”
Gin
mulai memasang sepatu botnya dan membuka payung yang sedang ia pegang. Ia lalu
memosisikan payungnya dengan benar di atas kepalanya dan berlari ke luar,
tetapi sambil berlari ke luar pagar, ia tetap menyempatkan dirinya untuk
berteriak, “Kunci semua pintu dan jendela, Ai!!!”
Ai
tertawa kecil. Ia lalu balas berteriak, “Iya, iyaaa!!!!”
Ai
melihat Gin—yang sedang berlari, lalu belok ke kanan itu—seraya tersenyum. Ketika
sosok Gin sudah tak terlihat lagi di matanya, Ai pun mundur ke belakang dan
menutup pintu rumah mereka.
Setelah
pintu utama rumah itu ditutup, suara hujan mulai sedikit teredam. Meskipun
suaranya masih terdengar keras dari atas genting, tetapi tidak seberisik saat
pintu rumah terbuka.
Ai
lalu bergerak mengunci pintu rumah itu; Ai memasang palang pintunya. Setelah
pintu rumah itu terkunci, ia lalu bergerak ke samping, menuju ke
jendela-jendela yang ada di area bar, lalu mengunci semua jendela-jendela itu.
Setelah memastikan seluruh jendela telah terkunci, Ai pun mematikan lampu bar,
lalu mulai berbalik dan masuk ke bagian tengah rumah mereka.
Saat
Ai sampai di bagian tengah rumah yang ada meja makannya—sebelum masuk ke kamar—Ai
memutuskan untuk membiarkan lampu ruang tengah itu hidup. Ia akan mematikan
lampu itu nanti, ketika ia sudah benar-benar mau tidur. Untuk saat ini,
berhubung dia lagi sendirian di dalam rumah, dia hanya ingin berbaring-baring
saja di dalam kamarnya sampai akhirnya nanti dia mengantuk.
Namun,
tatkala Ai baru saja belok dan mau masuk ke kamarnya, mendadak ia mendengar
pintu depan rumahnya diketuk.
Suara
ketukan pintu itu terdengar dengan jelas meskipun di luar sedang hujan. Ai
langsung menoleh ke kiri—ke arah pintu depan—dan mengernyitkan dahi. Siapa?
Apa Gin meninggalkan sesuatu?
Ai
lantas menuju ke pintu depan, gadis itu melangkah dengan cepat. Ia membuka
palang pintu depan itu dan langsung membuka pintunya seraya berkata, “Ya?
Siapa—”
Ketika
pintu depan itu sudah terbuka separuh, Ai mulai mengangkat wajahnya untuk menatap
orang yang sedang berdiri di depan pintunya itu. Akan tetapi, betapa
terkejutnya Ai tatkala mendapati bahwa ternyata,
…yang
berdiri di depan pintunya saat itu bukanlah Gin.
Itu
adalah Kapten Divisi Satu Shinsengumi.
Kei
Arashi.
Pemuda
itu tampak masih memakai seragam Shinsengumi miliknya. Seragam berwarna hitam itu
tampak lumayan basah akibat terkena air hujan. Ia agaknya baru saja berlari
dari jarak yang lumayan dekat…sebab bajunya tidak sepenuhnya basah. Rambut pria
itu juga agak basah; ada tetesan air hujan yang jatuh ke pipi hingga melewati
rahangnya yang tajam. Akan tetapi, di kegelapan malam itu, di suasana hujan
itu, mata merah miliknya bercahaya terang seperti mata predator. Ia
tengah menatap Ai dengan mata merahnya itu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Kontan
saja Ai menyatukan alis. Gadis itu mengerutkan dahinya; ia lantas berbicara
seraya meninggikan suaranya, “Kau?! Buat apa kau ke sini?”
Mendengar
sambutan Ai yang sama sekali tidak ramah (dan justru kasar) itu, Kei lantas
jadi mengernyitkan dahinya kesal dan berdecak. “Kau tidak bisa menyambut tamu
dengan benar, ya, Gadis Barbar?!”
Mendengar
hinaan itu, Ai kontan jadi ikut-ikutan kesal. “Siapa juga yang bertamu
malam-malam begini?! Bar kami tutup! Apa kau tidak waras?! Atau kau ada urgensi
mau melahirkan?!”
Kei
kembali berdecak, lalu ia memilih untuk berhenti mendebat Ai sebab jika ia
terus-terusan menjawab gadis itu, niscaya mereka akan bertengkar di depan pintu
ini sepanjang malam. Kei lantas mengulurkan tangannya, memberikan sebuah bingkisan
berbentuk kotak yang ada di sebelah tangannya kepada Ai. Ai langsung melihat bingkisan
itu dan mengernyitkan dahi; Ai bahkan baru sadar bahwa pria itu sejak tadi tengah
memegang sebuah bingkisan.
“Ini.
Danna memesannya dari temanku. Kupikir aku akan membantu temanku untuk
mengantarkan ini kepada Danna, sekalian aku mau minum di bar ini. Aku
tidak tahu kalau barnya tutup malam ini,” jelas Kei.
Ai
mengangkat alisnya, lalu gadis itu menatap Kei. “Apa ini? Bukan bom, ‘kan?!”
Kei
spontan kembali berdecak kesal. “Ya makanya, setidaknya biarkan aku masuk dahulu
agar bisa kujelaskan! Sampai kapan kau akan membiarkanku berdiri di depan
rumahmu, hujan-hujan begini?!”
Ai
lantas mengerutkan dahinya dan cemberut karena kesal. Seraya mendengkus, ia pun
membuka pintu rumahnya semakin lebar dan berbalik. “Iya, iya. Masuklah cepat.”
Setelah
diberikan izin oleh Ai, Kei pun lantas masuk ke rumah itu. Berhubung bagian
depan rumah itu adalah bar, maka begitu masuk ke sana melalui pintu depan, kau
akan langsung berada di dalam bar.
Begitu
berada di area bar itu, Kei lantas mengikuti Ai yang mulai duduk di salah satu
kursi pelanggan. Jadi, area bar itu sebetulnya tidak terlalu sempit, tetapi
tidak terlalu luas juga. Jika kau berdiri di pintu depan, maka kau akan
langsung bisa melihat bar counter beberapa langkah dari posisimu. Di
depan bar counter itu tersusun kursi-kursi bar yang tinggi sebanyak
empat buah. Kursi itu berwarna coklat kehitaman.
Di
balik bar counter itu ada sebuah ruangan untuk bartender. Biasanya
yang berdiri di sana adalah Gin atau Shin.
Namun,
kursi yang diduduki Ai sekarang bukanlah kursi tinggi yang ada di depan bar counter.
Ai duduk di salah satu kursi pelanggan yang berbaris dengan teratur di
dalam bar itu. Ada sekitar sepuluh meja persegi yang tersusun di dalam bar itu
dan di tiap-tiap mejanya terdapat dua buah kursi.
Ai
duduk di salah satu kursi dari meja persegi yang ada di tengah-tengah ruangan.
Tatkala melihat Ai duduk di sana, Kei pun lantas melangkah mengikuti Ai ke meja
itu dan duduk di seberangnya.
Begitu
duduk berhadapan dengan Ai, Kei pun meletakkan bingkisan berbentuk kotak yang
sedang ia pegang itu di atas meja. Kotak itu ditutupi dengan sebuah kain
berwarna merah muda yang diikat membentuk pita.
“Jadi,
apa ini?” tanya Ai sekali lagi.
Kei
tidak langsung menjawab. Pria itu mulai bersandar di kursi, membiarkan tubuhnya
rileks, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Setelah itu, pria itu
mulai mengembuskan napasnya dan berkata, “Itu isinya imagawayaki. Danna
memesannya pada salah satu temanku tadi sore.”
“Imagawayaki?”
Ai
melebarkan matanya. Itu adalah panekuk berisi pasta kacang merah. Gin adalah
penggemar nomor satu kacang merah. Jadi, wajar saja Gin memesan kue itu. “Kok
Gin tidak memberitahukannya padaku?”
Kei
menatap Ai; ekspresi wajahnya datar dan ia mendengkus. “Ya mungkin kalau dia memberitahukannya
padamu, pasti kau akan menghabiskan semua—oi!!”
Kei
langsung tersentak tatkala ia melihat Ai yang sudah membuka kotak itu dan mulai
memakan imagawayaki yang ada di dalamnya. Entah sejak kapan kotak itu
sudah terbuka; agaknya, Ai membuka ikatan kain serta penutup kotaknya dengan
sangat cepat begitu mengetahui bahwa isinya adalah imagawayaki. Terlepas
dari apa pun rasa pasta yang ada di dalam panekuk itu, Ai pasti akan memakannya
karena pada umumnya dia tidak membenci makanan apa pun selagi masih bisa
dimakan dan tidak membuatnya keracunan.
“Oi,
Gadis Barbar! Pelan-pelan!!” Kei meninggikan suaranya; tubuh pria itu sampai
maju ke depan tatkala melihat Ai yang langsung memakan kue itu dengan lahap.
“Tidak
apa-apa. Aku lapar soalnya,” jawab Ai sekenanya.
Kei
mendengkus lagi. Ia menatap Ai yang sedang makan itu dengan dahi yang berkerut.
Ia menggeleng tak habis pikir. “Apa kau tidak takut dimarahi Danna? Nanti
dia malah menyalahkanku!”
Dengan
mulut yang penuh dan pipi yang menggelembung, Ai pun menjawab, “Tak apa, nanti
Gin bisa beli lagi.” Ai pun menelan kue yang sudah ia kunyah barusan. Dalam
waktu singkat, satu imagawayaki sudah lenyap dan masuk ke dalam
perutnya.
Akan
tetapi, saat Ai baru saja mau mengulurkan tangannya untuk mengambil satu imagawayaki
lagi, mendadak gadis itu mengerutkan dahinya.
Ai
mengerjap pelan, dua kali. Kepalanya mendadak terasa pusing.
Perlahan
Ai memundurkan tubuhnya. Sebelah tangannya yang tadi terjulur ke depan karena
mau mengambil imagawayaki itu kini refleks ia tempatkan di dahinya. Ia
memijit dahinya, merasakan pusing yang teramat sangat. Tatapannya pada kotak
kue yang ada di atas meja itu mendadak jadi kabur; semuanya terlihat
berbayang-bayang.
“Kok…kepalaku…”
gumam Ai pelan, ia mencoba untuk mengerjapkan matanya berkali-kali, memfokuskan
pandangannya, tetapi semakin lama semuanya terlihat semakin kabur.
Berputar-putar. Dunia seakan terlihat seperti kumpulan lingkaran abstrak tanpa
warna yang semakin lama semakin tidak jelas. Ai kehilangan kendali tubuhnya;
tubuhnya mulai terasa oleng. Dunianya terasa berayun ke kiri dan ke kanan.
Hingga
akhirnya, tanpa bisa dicegah, tubuhnya lantas kehilangan kendali sepenuhnya.
Semuanya anggota tubuhnya mendadak terasa seakan tak berfungsi dan ia pun terjatuh
ke lantai. Bunyi berdebum dari tubuhnya yang menghantam lantai itu
terdengar cukup kencang ditambah dengan bunyi kursi yang terdorong karena ia
jatuh ke samping. Gadis itu terjatuh ke lantai dan tergeletak dalam posisi
menyamping; kedua matanya masih mampu melihat ke arah Kei yang sedang duduk di
depannya.
Namun,
tepat sebelum kedua mata Ai tertutup sepenuhnya, dalam pandangan matanya yang
kabur itu, Ai sempat melihat wajah Kei. Anehnya, meskipun Ai jelas-jelas sudah terjatuh
di depannya, pria itu sama sekali tidak bergerak; ia tetap duduk dengan tenang
di kursinya.
Di
detik-detik terakhir kesadarannya, Ai melihat bahwa dari atas sana, Kei hanya
memperhatikannya dengan tanpa ekspresi. Namun, perlahan-lahan kedua kelopak
mata pria itu mulai turun; dia mulai menatap Ai dengan dingin. Tatapannya
sangat dalam, sangat elusif, serta sedingin dan sedalam lautan.
…dan
setelah itu, semuanya jadi gelap.
******
Ai
membuka kedua matanya perlahan. Dengan lamban, kelopak matanya mulai terbuka sedikit
dan ia bisa melihat suasana kamarnya yang cukup gelap malam itu. Lampu kamarnya
tidak hidup.
Ah,
ternyata ia ada di dalam kamar.
Anehnya,
samar-samar Ai melihat bahwa sudah ada cahaya bulan yang masuk ke
kamarnya melalui ventilasi jendela. Apakah hujan sudah berhenti? Ai tidak
mendengar suara hujan lagi.
Akan
tetapi, mengapa ia malah melihat area kamar? Bukankah seharusnya yang ia
lihat sekarang adalah langit-langit kamarnya?
Apakah
saat ini ia sedang duduk?
Tatkala
kelopak mata Ai mulai terbuka separuh, mendadak ia kembali diserang oleh sakit
kepala yang begitu hebat. Begitu menyakitkan. Sakit yang luar biasa itu
sukses membuatnya langsung mengerang, mengernyitkan dahi, dan menutup kedua
matanya kembali. Ia refleks langsung mau memegang dahinya, tetapi ketika ia mulai
menggerakkan sebelah tangannya, mendadak ia terdiam.
Tangannya
tidak bisa digerakkan.
Ai
langsung membuka matanya sepenuhnya. Alisnya menyatu.
Ada
yang aneh.
Ai
spontan menoleh ke samping, ke arah tangan kanannya. Tangan yang tadinya mau ia
gunakan untuk memijit dahinya karena diserang oleh sakit kepala yang luar
biasa.
…dan
betapa terkejutnya Ai tatkala melihat bahwa tangannya telah diborgol. Sebelah
gelang borgol itu dipasang di kayu penyusun kepala ranjang, sementara gelang
yang sebelahnya lagi dipasang di pergelangan tangan Ai. Tangan Ai dikunci
di sana.
Mata
Ai kontan membulat. Jantungnya langsung berdegup kencang. Wajahnya menegang;
tubuhnya mematung.
Tangannya…diborgol?
Siapa—siapa yang melakukan ini?!
“Sudah
bangun?”
Mendengar
suara yang berat dan begitu mencekam di dalam kamarnya yang gelap
itu, Ai jelas langsung terperanjat. Wajah gadis itu mulai memucat dan ia langsung
menoleh ke asal suara. Suara itu berasal dari depan kasurnya. Di bagian
kaki kasurnya.
Begitu
Ai melihat ke sana, kedua matanya kembali membeliak. Mulutnya terbuka; jantungnya
seolah berhenti berdegup untuk sejenak. Napasnya tertahan.
Itu
adalah Kei.
Sebentar.
Tadi Ai tidak melihat ada pria itu di sana. Apa tadi Ai tidak melihatnya karena
belum benar-benar membuka mata? Apalagi tadi kepala Ai terasa sakit bukan
main…
Kei
Arashi duduk di depan sana, memperhatikan Ai dengan mata merahnya yang
tajam. Ia duduk di sana seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada;
kedua kakinya juga bersilang. Akan tetapi, ia memandang Ai dengan lekat. Mengunci
Ai dengan tatapannya. Ekspresi wajahnya tampak dingin; matanya menggelap. Ia
membuat suasana di sana jadi terasa begitu mengerikan. Semua oksigen seakan tersedot
ke luar dan menghilang dari kamar itu. Pria itu seakan tengah mengeluarkan aura
berwarna hitam dari tubuhnya dan seluruh aura itu mulai menguar di udara.
Rasanya begitu menyesakkan.
Akan
tetapi, meskipun suasana di dalam kamar Ai malam itu terasa begitu mencekam;
meskipun Kei tampak begitu mengerikan, Ai tetap mengeluarkan penentangan
luar biasa yang sejak tadi sudah bersarang di dalam kepalanya. Oleh karena itu,
meskipun wajahnya pucat dan tegang, Ai tetap melebarkan kedua matanya dan
berteriak kencang kepada Kei. Ia lebih memedulikan kemarahannya daripada rasa
takutnya.
“Kau—APA
YANG KAU LAKUKAN?!!” teriak Ai, ia mulai memberontak kencang; Ai menarik-narik
tangannya yang terikat ke kepala ranjang itu. Meskipun belenggu itu terasa
sangat ketat dan berakhir menyakiti pergelangan tangannya, Ai tetap meneriaki
Kei tanpa ampun. “LEPASKAN AKU!! APA KAU GILA?!! LEPASKAN BORGOL INI, SIALAN!!”
Demi
dunia dan segala isinya, Ai memang tahu kalau Kei membencinya. Akan tetapi,
tidak sampai begini juga, bukan? Permasalahan di antara mereka tidak sebesar
itu sampai harus melakukan tindakan kriminal! Apa pemuda itu berencana untuk membunuh
Ai?
Ah,
sial. Sial! Gin belum pulang! Bagaimana ini? Siapa—siapa yang
akan menolong Ai? Dia mungkin akan dibunuh!!
Terlepas
dari jabatan polisi ataupun jabatan kapten divisi satu yang Kei miliki, pria
itu ternyata adalah psikopat gila. Kalau ia memang berencana untuk membunuh Ai,
berarti ia adalah psikopat sinting. Ia bukan sekadar sadis semata. Oh, astaga,
bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri? Tangannya dikunci dengan borgol!
Ai
mulai memberontak, menendang-nendangkan kakinya ke udara, dan terus menarik
tangannya agar terlepas dari borgol tersebut. Akan tetapi, semuanya tak
membuahkan hasil. Justru pergelangan tangannya jadi semakin lecet; kulitnya
mulai memerah dan mengelupas.
Ai
sadar bahwa matanya memelotot dengan murka tatkala ia kembali melihat ke arah
Kei. “LEPAS, KEPARAT!! Polisi macam apa kau ini?!! Aku tahu kau
membenciku, tetapi apakah kau harus sampai membunuhku?!! LEPASKAN AKU, SEBENTAR
LAGI GIN AKAN PULANG DAN MEMERGOKIMU!!”
“Danna tidak
akan pulang,” jawab Kei dengan suara rendahnya. “setidaknya dalam
waktu dekat.”
Ai
tersentak. Wajahnya semakin menegang.
Dua
detik kemudian, suara Kei kembali terdengar. “Dia pergi menemui teman-temannya,
‘kan?”
Setelah
itu, Ai menyaksikan Kei yang mulai bangkit dari duduknya. Ternyata kursi yang
ia duduki adalah salah satu kursi yang ada di bar. Pria itu menyeretnya ke
dalam kamar Ai dan duduk di sana, menunggu hingga Ai sadar.
Pemuda
itu berdiri. Ia mulai melangkah dengan amat perlahan, mendekati sisi
ranjang. Suara langkah kakinya terdengar bagai gong kematian di telinga Ai. Tubuh
pemuda itu yang tinggi kini tampak semakin menjulang di kegelapan malam. Cahaya
bulan membuat bayangannya terlihat semakin besar dan menyeramkan.
Ai
refleks memundurkan tubuhnya, menggeser tubuhnya ke belakang meskipun ia tahu
bahwa punggungnya hanya akan menabrak kepala ranjang. Ai melihat seluruh
pergerakan Kei; gadis itu memperhatikan Kei yang sedang mendekat ke arahnya—ke
sisi kanan ranjang—dengan mata yang membulat karena panik. Napasnya memburu.
Dengan terbata, ia pun berbicara, “Da—dari mana kau—”
Kei
berhenti melangkah. Posisi pria itu kini berada tepat di sisi ranjang. Hanya
tinggal satu langkah lagi jika ia ingin mencapai kepala ranjang.
Di
kegelapan malam itu, saat tubuh tegap pria itu memunggungi cahaya bulan,
Ai melihat pria itu tersenyum miring kepadanya.
“Aku
datang ke rumahmu begitu kulihat Danna berlari ke luar.”
Kontan
saja kedua mata Ai membulat sempurna.
Jangan-jangan…
Jangan-jangan
semua ini sudah Kei rencanakan?
Sebentar.
Kalau begitu, kue itu—
“Aku
menaruh obat di dalam kue itu. Tidak ada pesanan kue atau apa pun. Akulah yang
menyiapkannya.” Kei memiringkan kepalanya. Pria itu menjawab dengan lugas
seolah bisa membaca pikiran Ai. Dia pun menatap Ai dengan dingin. “Aku tahu
bahwa kau akan langsung memakannya di depanku.”
Ai
menggeleng tak percaya. Mulutnya menganga, jantungnya berdegup dengan sangat
kencang. Napasnya memburu dan dadanya sesak. Dia seakan baru saja selesai
berlari sejauh beberapa kilometer.
Namun,
mendadak rasa marah kembali menguasai Ai. Ini jelas-jelas merupakan perbuatan
kriminal. Kei, yang merupakan seorang polisi andalan, sekarang tengah berencana
untuk berbuat jahat kepadanya. Ini sinting. Kei bahkan sudah merencanakan
semuanya sejak awal!
“KAU
SUDAH TIDAK WARAS!! LEPASKAN AKU! APA SALAHKU PADAMU? KITA MEMANG SELALU BERTENGKAR,
TETAPI APAKAH PERMASALAHAN KITA SESERIUS ITU?!” teriak Ai.
Tiba-tiba
Kei kembali bergerak. Pria itu mulai naik ke ranjang dan hal itu spontan
membuat mata Ai kembali terbelalak. Ai langsung bergerak ke kiri, berusaha
sebisa mungkin untuk menjauhinya, tetapi mendadak sebelah kakinya ditarik
dengan kencang oleh Kei.
Ai
kontan terseret kembali ke posisinya semula. Kini ia justru mengangkangi Kei;
kedua kakinya ada di sisi kanan dan kiri tubuh Kei karena Kei tadi menarik
kakinya sekaligus memosisikan kakinya di sana. Kei mulai mendekati Ai,
merundukkan tubuhnya dan mengunci Ai dari atas.
Ai
langsung menggeleng kencang. Ia mulai menendang-nendang tubuh Kei; air mata
mulai menggenang di pelupuk matanya. Kedua tangannya terus ia tarik hingga
pergelangan tangannya terluka, tetapi tetap saja gagal. Ia terus mencoba
untuk menendang Kei, tetapi tangan Kei yang kuat dan kekar itu dengan sigap
mencengkeram kedua kakinya agar tetap diam.
Ini
gawat. Dia harus berteriak dan meminta tolong.
Akan
tetapi, sebelum sempat meneriakkan apa pun, tiba-tiba Ai merasa ada sesuatu
yang lembut dan basah menempel di bibirnya.
Kedua
mata Ai kembali membulat sempurna.
Kei—Kei
mencium bibirnya!
Ai
langsung mencoba untuk mengalihkan wajahnya ke kanan agar ciuman Kei terlepas,
tetapi hal itu berhasil Kei cegah dengan memegang bagian belakang kepalanya. Ai
terisak dan dalam waktu yang singkat, ciuman itu berubah menjadi liar.
Ai
berusaha keras untuk menendang Kei, menjauhkan wajahnya dari Kei, memberontak
secara brutal, tetapi semua usaha itu digagalkan begitu saja oleh Kei. Ai
betul-betul putus asa karena jauh di dalam benaknya, ia tahu bahwa kemungkinan
untuk selamat dari Kei sangatlah kecil; mengingat Kei adalah pria yang terkuat
di Shinsengumi.
Bukankah
Kei mau membunuhnya? Mengapa pria itu justru menciumnya seperti ini? Apa
jangan-jangan dia berencana untuk melecehkan Ai terlebih dahulu sebelum ia
bunuh?
Akhirnya,
usaha terakhir Ai adalah dengan menggigit bibir Kei yang sedang menciumnya. Ia
menggigit bibir Kei dengan sekuat tenaga. Akibat gigitannya itu, ciuman Kei
mendadak berhenti.
Kei
menjauhkan wajahnya dari wajah Ai, lalu mengelap bibirnya yang berdarah akibat
gigitan Ai. Namun, bukannya marah pada Ai, pria itu justru menyeringai.
Melihat
seringai itu, emosi Ai langsung semakin tersulut. Ia menggeram dan dalam hatinya
ia mengutuk Kei habis-habisan. Ia membenci Kei setengah mati. Ia ingin membunuh
pria itu sekarang juga. Matanya memelototi Kei dengan penuh angkara. “BAJINGAN!!
MAU APA KAU?! APA KAU MAU MELECEHKANKU DAHULU SEBELUM AKHIRNYA MEMBUNUHKU?!
TERKUTUK KAU, SIALAN!!”
Kei
hanya mendekati Ai dan mengangkat dagu Ai dengan jari telunjuknya. Mata
berwarna merah gelapnya menatap Ai dengan intens. “Aku tidak
melecehkanmu.”
Kontan
saja Ai menendang tubuh Kei, tetapi Kei berhasil menghentikan tendangan itu
dengan sebelah tangannya. Ai langsung kembali berteriak, “APA LAGI KALAU BUKAN
ITU?!!”
Ai
melihat Kei yang mendadak langsung melepas cravat yang ada di lehernya. Seperti
semua kapten Shinsengumi, Kei mengenakan dasi atau cravat putih di
lehernya; cravat itu menggunakan kunci berwarna kuning dan dimasukkan
ke dalam rompi hitamnya. Jaket Shinsenguminya yang memiliki kerah itu berwarna
gelap, tidak dikancing, dan panjang hingga ke paha, seperti jas mantel. Jaket itu dihiasi dengan gesper emas dan
kancing. Kei selalu menggulung bagian lengan jas tersebut sehingga terlihat ada
manset merah gelap yang ujungnya berbentuk segitiga di kedua tangannya. Celana
panjang hitam yang Kei kenakan itu ditopang oleh ikat pinggang berwarna coklat
dengan gesper perak. Di pinggul kirinya biasanya ada katana yang terikat di
sana, tetapi hari ini Kei tidak membawa katana itu, entah apa sebabnya.
Sepertinya…karena
agenda malam ini sudah ia rencanakan.
Ketika
Ai baru saja ingin menendang tubuh Kei lagi, dengan cepat Kei langsung
mencengkeram kedua kaki Ai dan melingkarkan kedua kaki gadis itu hingga ke
belakang tubuhnya. Dalam hitungan detik, Kei langsung mengikat kedua kaki Ai,
menyatukan kedua kaki gadis itu di belakang tubuhnya dengan menggunakan cravat
putih miliknya.
Ai
sempat berteriak, “Ah!!” tatkala merasakan sakit yang luar biasa begitu
Kei mengencangkan ikatan terakhirnya. Dengan gerakan Kei yang secepat kilat
itu, kaki Ai sukses melingkari pinggang Kei dan terikat di belakang tubuh pria
itu.
Menyadari
keadaan yang semakin gawat itu, Ai jelas langsung berteriak. Ia langsung ingin
meminta tolong kepada siapa pun yang mungkin saja lewat di sekitar rumahnya
meskipun ia tahu bahwa rumah Gin itu letaknya jauh dari rumah-rumah lain. Gin
tidak tinggal di area permukiman warga yang ramai. Namun, Ai tak mau menyerah. “TOLONG!!!!
TOLONG AK—HMM!!!”
Teriakan
Ai itu kontan terputus karena Kei tiba-tiba kembali mencium bibirnya. Namun,
kali ini sedikit berbeda. Kei langsung menciumnya dengan ganas. Langsung
meraup bibirnya dengan rakus, melumatnya dengan liar, lalu memasukkan
lidahnya ke mulut Ai. Ai kontan merintih; ada setetes air mata yang mulai
keluar dari sudut matanya. Sementara
itu, Kei langsung melilitkan lidahnya dengan lidah Ai, mengisapnya, lalu
sesekali menggigit-gigit kecil bibir Ai. Ia seakan tak berniat untuk melepaskan
Ai barang sedetik pun, bahkan tak memberikan Ai waktu untuk bernapas ataupun
berpikir. Pria itu terus melumat bibir Ai dengan tak sabar, penuh hasrat,
seakan tak ada hari esok. Seakan-akan esok hari ia akan mati atau Ai akan
hilang dari muka bumi ini.
Beberapa
lama kemudian, Kei pun melepaskan ciumannya. Bunyi kedua bibir yang basah itu
terdengar begitu erotis tatkala ciumannya terlepas. Ai yakin saat ini mungkin
bibirnya sudah bengkak.
Ai
kembali terisak, air matanya sudah membasahi pipinya. Ia lalu mencoba untuk
menarik napas—meski napasnya memburu karena baru saja berciuman dengan Kei—dan
menggelengkan kepalanya. “Mengapa? Mengapa kau melakukan ini
padaku?!”
Tiba-tiba
Kei langsung menempelkan keningnya ke kening Ai. Tatapan mata berwarna merah
gelap milik pria itu langsung berserobok dengan tatapan mata Ai. Dengan suara
rendahnya, pria itu berbisik, “Kaulah yang membuatku melakukan semua
ini. Aku hanya ingin membuatmu mengerti bahwa caramu melihatku itu salah.”
Ai
menatap Kei tak percaya; gadis itu betul-betul merasa heran. Kedua alisnya
menyatu dan ia menggeleng samar. “Aku? Kau bilang ini salahku?” Ai
menganga. Ia langsung menjauhkan wajahnya dari wajah Kei dan berteriak, “MEMANGNYA
APA YANG PERNAH KULAKUKAN PADAMU, HAH?!!! AKU TIDAK MENGERTI!!”
Kei
menggeram. Ia mengeraskan rahangnya dan langsung mencengkeram dagu Ai dengan
sebelah tangan kekarnya. Pria itu kemudian meninggikan suaranya, memandang Ai
dengan mata yang melebar dan penuh dengan intimidasi. “KAU MEMANG SELALU
TAK MENGERTI!”
Mendengar
teriakan Kei, Ai langsung tersentak. Ia kaget melihat Kei yang tiba-tiba
membentaknya. Kedua matanya melebar.
Kei
kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Ai hingga hanya berjarak satu jengkal. “Kau
pikir untuk apa aku repot-repot menyiapkan kue itu, membayar orang untuk
mencarikan obatnya, lalu menunggu hingga kau ditinggal sendirian di
dalam rumah?”
Kedua
mata Ai semakin melebar.
Kei…melakukan
semua itu?
“Kau—” Ai menggeleng tak percaya. “Kau gila.
Ada sesuatu yang salah dengan otakmu. Lepaskan aku. LEPASKAN AKU SEKARANG!!”
teriak Ai sembari menarik-narik tangannya yang masih terikat.
“Aku
tahu kalau biasanya di tanggal-tanggal segini bar kalian akan tutup. Bar akan
tutup karena Danna akan pergi berkumpul bersama teman-temannya. Teman Danna,
Hiroshi itu, hanya akan pulang dari luar kota di tanggal segini,” ujar Kei.
Ai
menganga. Kei sampai tahu sejauh itu? Ai saja tak begitu memperhatikan
semua itu selama ini!!
Kalau
begitu, sejak kapan Kei merencanakan semua ini?!
Kei
lalu semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ai hingga bibir mereka nyaris
bersentuhan. Wajah Ai memucat.
“Inilah
satu-satunya cara agar kau mengerti,” ujar Kei terakhir kalinya sebelum
akhirnya ia mencium bibir Ai lagi. Dengan cepat, ciuman itu kembali memanas.
“Hmm!!”
rintih
Ai saat Kei melumat bibirnya dengan kasar. Kei langsung membuka jaket hitamnya
dan melemparkan jaket itu ke sembarang arah hingga jatuh ke lantai. Ia kini
hanya memakai rompi serta kemeja putihnya yang tergulung di bagian lengan.
Setelah itu, ia semakin mengimpit tubuh Ai ke kepala ranjang dan mengunci tubuh
Ai dengan tubuhnya yang gagah. Sebelah tangannya yang kekar itu mencengkeram
salah satu kayu penyusun kepala ranjang, sementara sebelah tangannya lagi
tengah memegangi rahang Ai hingga ke bagian belakang telinganya. Membuat gadis
itu diam di tempat dan tetap menerima ciuman panasnya.
Kei
melilit lidah Ai dengan lidahnya, pria itu mengerang tatkala mendengar
Ai tanpa sengaja mengeluarkan suara “Hng!” saat lidahnya bermain di
dalam mulut gadis itu. Kei mengeraskan rahang; ia mengumpat di dalam hati. Sial.
Dia bisa-bisa gila.
Sementara
itu, Ai memang benar-benar tak dibiarkan untuk istirahat. Ciuman Kei itu membabi
buta, begitu beringas dan tak terkontrol. Ai terus-terusan merintih dan
menggeliat minta dilepaskan, tetapi Kei mengimpit tubuhnya dengan begitu kuat.
Tubuhnya mulai kehabisan tenaga.
Beberapa
saat kemudian, Kei melepaskan ciumannya. Pria itu beralih menciumi leher Ai,
menghirupnya, lalu menggigitnya kecil.
“Ah!!”
teriak
Ai tatkala Kei mengisap lehernya dengan kuat. Setelah mengisapnya, Kei juga
menggigit lehernya di beberapa bagian. “Ke—i!! Hentikan!! Ah!! Kumohon hentikan!!!”
Ai
yakin lehernya sudah lecet dan luka di beberapa bagian. Ai menangis.
Dengan
cekatan, Kei langsung membuka separuh kancing piama yang sedang Ai kenakan. Hal
ini membuat kedua mata Ai kontan memelotot; ia langsung menggeleng dengan kencang
dan berteriak, “JANGAN!!! KUMOHON, KUMOHON SUDAHI INI, KEI!!”
Namun,
seakan tak menghiraukan teriakan dan permohonan dari Ai, Kei justru memajukan
tubuhnya ke arah kepala ranjang, di samping kepala Ai. Pria itu mulai membuka
borgol penahan tangan Ai yang sebelah kanan, lalu menurunkan borgol itu
sehingga tangan Ai sekarang terikat di bagian bawah kepala ranjang. Hal
ini harus ia lakukan jika ia ingin menurunkan posisi borgolnya; borgol
itu terpasang dengan ketat di sana karena kayu penyusun kepala ranjang
itu berukuran besar.
Ai
langsung panik. Ia menggeleng dengan wajah yang pucat. “Kei—Kei—sudah,
tolong, kumohon. Kumohon!!”
Akan
tetapi, percuma saja. Kei justru melanjutkan kegiatannya; pria itu beralih ke
tangan Ai yang satunya lagi dan sekarang kedua tangan Ai telah terikat di
bagian bawah kepala ranjang.
Setelah
melakukan itu, Kei langsung menarik kaki Ai, menyeretnya ke bawah hingga
akhirnya Ai terbaring di kasurnya.
Ternyata
ia menurunkan belenggu borgol itu agar Ai bisa berbaring di bawah
kungkungannya. Terjebak di dalam kuasanya. Berbaring telentang di bawah
kurungan tubuhnya.
“Kei,
kumohon…”
Ai menangis; gadis itu sadar bahwa sekarang sudah tak ada cara lagi untuk
menyelamatkan dirinya sendiri, kecuali dengan memohon kepada Kei. Agaknya, dia benar-benar
akan digagahi. Dia akan diperkosa.
“Kumohon,
Kei… Kumohon lepaskan aku. Aku minta maaf…” Ai sampai-sampai meminta
maaf, berpikir bahwa mungkin saja Kei melakukan semua ini karena Ai sering
bertengkar dengannya tempo hari. “Kei, tolong lepaskan aku. Aku berjanji tidak
akan bertengkar denganmu—”
Mata
Ai memelotot tatkala mendadak Kei membuka seluruh kancing piamanya, lalu
membuka piama itu ke dua sisi dalam sekali sentakan. Ai terperanjat; ia
langsung memperhatikan tubuhnya sendiri yang kini sudah hampir bertelanjang
dada di bawah Kei. Wajah Ai langsung menegang, ia panik bukan main. “KEI!!!!”
Namun,
saat ia melihat wajah Kei, ia menemukan kedua mata Kei yang menggelap. Kedua
mata pria itu rupanya telah mengunci Ai sejak tadi. Ai langsung bergidik
tatkala tatapan matanya berserobok dengan tatapan mata Kei. Dalam sekejap,
tatapan mata pria itu langsung mampu memenjarakan Ai. Ia merasa seperti seekor
kelinci yang terjebak di bawah kungkungan singa yang sedang menerkamnya.
Tubuhnya bergetar. Di bawah cahaya bulan yang remang-remang, mata Kei yang
semerah darah itu menatapnya bagai predator.
Pria
itu menatap wajah Ai, lalu turun…dan turun lagi…hingga ke perut Ai.
Setelah itu, tatapannya naik lagi dan berhenti di kedua payudara Ai.
Malam
itu Ai mengenakan bra berwarna merah muda. Bra itu membungkus
payudaranya yang bulat. Bulat sempurna; cantik dan sintal. Tubuh Ai itu
padat dan berisi, tetapi pinggangnya ramping. Kulitnya putih, dagingnya tampak
sangat kenyal,
…terutama
di bagian payudaranya.
Indah.
Dengan
cepat Kei langsung meremas payudara Ai itu dan ia merundukkan tubuhnya agar
bisa mencium bibir Ai. Kembali dilumatnya bibir Ai itu dengan kasar; tangannya
juga ikut meremas payudara Ai dengan penuh semangat.
Payudara
itu ternyata pas sekali di tangannya. Bulat, padat, dan ukurannya pas.
Meskipun padat, tatkala diremas, payudara itu terasa begitu lembut dan
kenyal.
Kei
kontan menjauhkan wajahnya—melepaskan ciumannya—lalu mengumpat, “Sial, Ai!!”
Tidak
menghiraukan Ai yang terus menangis, Kei lantas menaikkan bra yang Ai
kenakan, mendorongnya ke atas dalam waktu sekejap mata. Membuat kedua payudara
Ai terlepas begitu saja dari dalam bra-nya dan bergoyang dengan sensual.
Ai kembali berteriak kencang.
Seakan
telah dikuasai oleh nafsu, Kei langsung mengisap puting payudara Ai yang
sebelah kanan dengan kuat. Menariknya, menggigitnya, lalu sesekali lidahnya memutari
puting Ai. Tak tanggung-tanggung, Kei menggunakan sebelah tangannya lagi untuk
meremas payudara Ai yang sebelah kiri.
“Ah!!
K—Kei!
Henti—ahh!!! Hng—h!! Ah!! To—long—hngh!! Tolong hentikan!!! KEI!!”
teriak Ai, tubuhnya menggeliat tak keruan di bawah Kei. Gadis itu mencoba untuk
melepaskan diri meskipun tubuhnya telah terimpit dengan kuat di bawah tubuh Kei.
Kei kini benar-benar telah menimpa tubuhnya dan itu membuat ruang gerak Ai jadi
semakin hilang. Pergerakannya terbatas; ia terkunci sepenuhnya.
Ai
terus menangis, memohon seraya berteriak, hingga kemudian Kei melepaskan
dirinya. Ai sedikit berhenti menangis; ia kira pria itu telah mengabulkan
permintaannya untuk menghentikan semua ini. Sekarang Kei tengah duduk tegak,
pria itu memperhatikan Ai dengan mata yang berkabut. Kejantanannya terlihat
berdiri tegak dan keras di balik celana seragamnya itu; ia betul-betul
sudah hilang akal.
Tiba-tiba
Kei membuka ikatan kaki Ai yang ada di belakang tubuhnya. Ai mulai bernapas dengan
lega dan berhenti menangis. Ia kira ia benar-benar akan dilepaskan. Akan
tetapi, setelah ikatan di kakinya itu terlepas dan kakinya terjatuh di ranjang,
semua harapannya langsung sirna.
…karena
Kei justru menarik celananya.
Kontan
mata Ai terbelalak. Dengan satu gerakan yang secepat kilat, celana piama Ai beserta
celana dalamnya sudah terlempar ke lantai. Ternyata Kei melepaskan ikatan
itu bukan karena ingin menyudahi kegiatan ini, tetapi karena ingin melepaskan
celana Ai.
Pria
itu justru ingin melanjutkan kegiatannya.
“TIDAK!!!”
teriak Ai. Tangisannya yang tadi sempat berhenti itu kini jadi semakin kencang.
“TIDAK, KEI!! HENTIKAN!! KUMOHON HENTIKAN!!! TOLONG HENTIKAN!!!!”
Ai
terus menendang tubuh Kei sekencang mungkin, seolah-olah sedang mempertaruhkan
nyawanya, dan ia terus menangis dengan kencang. Ia putus asa.
Namun,
Kei berhasil menangkap kedua kaki Ai dengan mudah dan langsung kembali mengikat
kedua kaki gadis itu di belakang tubuhnya.
“Kei—tolong
dengar aku…” Ai menggeleng; ia sedikit bangkit—hingga separuh duduk—dan
ia memohon di depan Kei, “Tolong sudahi ini, hm? Kau adalah seorang
polisi dan—”
“Aku
tidak akan menyudahi ini, Ai,” potong Kei dingin. Nadanya terdengar
begitu tajam. Ia menatap Ai dengan penuh penekanan. “Hanya ini yang bisa
membuatmu mengerti. Setelah ini, hubungan antara kau dan aku pasti akan berbeda.”
Kei
mulai membuka ikat pinggangnya dengan satu sentakan yang mudah. Ia langsung
menyingkirkan ikat pinggang itu dan mulai membuka kancing beserta ritsleting
celananya. Setelah itu, Kei sedikit menurunkan celana dalamnya dan membebaskan
kejantanannya dari sana. Begitu terbebas, kejantanan itu langsung terlihat
berdiri tegak, menegang sempurna. Kejantanan milik Kei tampak telah
terangsang sepenuhnya; kejantanan itu terlihat begitu besar dan berurat. Mata Ai
kontan memelotot. “KEI—”
Belum
sempat Ai menyelesaikan ucapannya, Kei langsung menyergap Ai dan mencium
bibirnya dengan penuh hasrat. Penuh gairah. Rahang pria itu mengeras dan
lehernya tampak berkeringat. Seraya mencium Ai, ia langsung menyentuh vagina
Ai dengan jemari tangan kanannya. Membuat Ai kontan membulatkan mata lagi
dan mengerang dengan kencang di dalam ciuman mereka.
Tanpa
ba bi bu, Kei langsung memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina Ai. Pria
itu langsung menggerakkan jemarinya dalam tempo yang cepat di dalam sana, mengocoknya,
lalu menekan klitoris Ai dengan kuat. Ai kontan melepaskan ciuman Kei dan
berteriak kencang, “AH!!! Hnghhh!!! K—Kei—ahh!!! Hangh!!!”
Mendengar
desahan yang refleks keluar dari mulut Ai, Kei lantas menggeram. Pria itu
menggertakkan giginya. Ia langsung mencumbu leher Ai dan menggigit leher
gadis itu keras-keras hingga nyaris berdarah. Ia pun mengunci tubuh Ai dengan
semakin kuat di bawahnya, lalu mengangkat bokong Ai agar mempermudah akses
kejantanannya ke dalam liang sanggama Ai.
Ai
tersentak saat tubuh bagian bawahnya diangkat. Melihat Kei yang semakin membuka
paha Ai agar benar-benar mengangkanginya, Ai langsung menganga dan menggeleng dengan
kencang hingga kepalanya terantuk berkali-kali dengan kepala Kei yang masih
bersarang di lehernya. Pria itu masih menciumi lehernya. “Kei—Kei, Kei!!
Kei—jangan!! Kalaupun kau tak membunuhku, kita tetap akan menyesali ini!!
JANGAN!! KEI!!!”
Akan
tetapi, tanpa peringatan apa pun, Kei lantas mengarahkan kejantanannya ke
lubang senggama Ai dan mendorongnya hingga masuk ke dalam sana.
Benar.
Dia
langsung mendorongnya.
Ai
kontan menjerit. Dia berteriak dengan sangat kencang. Matanya membulat sempurna.
Sesuatu—sesuatu
sepertinya telah robek di bawah sana!
Sakit—sakit
sekali!! Sangat sakit!!! Kei seakan merobek vagina-nya dengan
satu dorongan yang begitu kuat. Sejak tadi Ai sadar bahwa…meskipun dia berada
di dalam situasi yang membuatnya stress, meskipun dia sedang memiliki
kegelisahan serta ketakutan yang tinggi, genitalnya sedikit bereaksi dan agak
basah akibat sentuhan dari Kei. Namun, meskipun agak basah, bukan berarti itu
akan mengurangi rasa sakit luar biasa yang ditimbulkan oleh dorongan dari
kejantanan Kei.
Darah
mengalir keluar dari vagina Ai. Gadis itu menangis sesenggukan. Ia terus
merintih kesakitan dan kini ia mulai mengutuk nasibnya sendiri.
Mengapa
aku harus mengalami hal seperti ini?
Mengapa
pria ini memerkosaku?
Apa
salahku, Tuhan? Apa salahku padanya?
Mendengar
tangisan Ai, Kei mulai berinisiatif untuk menciumi pipi gadis itu dengan
lembut. Memberikan ciuman kecil pada pipinya, pelipisnya, kedua matanya yang
mengeluarkan air mata, hidungnya, serta bibirnya.
“Maafkan
aku,” ujar Kei dengan lirih. Suaranya terdengar serak,
tetapi seksi. “Kau akan segera mengerti.”
Kejantanan
Kei sudah ada di dalam vagina Ai sepenuhnya, terbenam seutuhnya di dalam
sana. Ukurannya yang besar membuat Ai merasa sangat penuh; kejantanan
itu seakan-akan menusuk sampai ke perutnya. Namun, bukan itu fokus Ai sekarang.
Ai terus saja menangisi keadaannya dan mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Ia
begitu terpukul. Begitu terluka. Begitu nelangsa.
Ini
karena ia masih tak mengerti mengapa Kei melakukan semua ini padanya. Ia justru
semakin membenci Kei dari lubuk hatinya. Ia juga jijik dengan dirinya sendiri
karena sudah ternoda.
Setelah
itu, semuanya terjadi di depan mata Ai dengan begitu cepat. Kedua mata Ai yang
berlinang air mata hanya bisa memandangi seluruh kejadian saat itu seperti
tayangan kaset yang sudah buram. Mulai dari tubuh perkasa Kei yang perlahan mulai
bangkit dan akhirnya bergerak mendorong kejantanannya dengan penuh gairah, lalu
Kei yang menciumi seluruh tubuh Ai dengan hasrat yang melambung tinggi, Kei
yang meraba seluruh tubuh Ai dan meremas payudara sintalnya itu dengan sensual,
sampai akhirnya Kei yang merobek seluruh pakaian Ai dan menggagahinya dengan
brutal. Selama itu pula, Ai hanya bisa menangis.
Gadis
itu meratapi kemalangannya sendiri.
Mengapa
hal sekeji ini harus menimpa dirinya yang tak pernah melakukan apa-apa pada
Kei?
Mengapa
dirinya harus dikotori seperti ini?
Apakah
dia pernah bersikap murahan di depan laki-laki?
Mengapa
pria ini tidak menghargainya sebagai seorang perempuan?
Terlebih
lagi…
Setelah
ini semua berakhir, apa yang akan terjadi padanya?
Bagaimana—bagaimana
jika Gin tahu?
…dan…bagaimana…jika…
…Eric
tahu? []
******
No comments:
Post a Comment