Simple-Shot
One :
A
Wolf in Disguise
******
CAHAYA
dari sebuah lampu jalan yang menerangi jalanan gelap itu terlihat mulai
berbayang-bayang di mata Kyungju. Bak belum makan seharian, menderita anemia,
kelelahan, atau sejenis itu; pandangan matanya tidak fokus. Kyungju yakin
matanya masih berfungsi dengan baik, setidaknya hingga tadi sore, tetapi entah
mengapa cahaya dari lampu itu kini terlihat blur. Memudar.
Kyungju
segera memalingkan mata.
Tatkala
kedua netra hitam kecoklatannya kembali menatap jalan, napasnya spontan kembali
normal. Ada sebuah rasa lega yang tiba-tiba mencuat ke permukaan tatkala
matanya tak lagi menatap cahaya dari lampu jalan; rasa silau agaknya membuat
Kyungju refleks menahan napas, terutama saat mengetahui bahwa pandangannya
mulai mengabur entah apa sebabnya.
Atau
mungkin…Kyungju mulai terbiasa dengan kegelapan hingga membuatnya lebih bisa
bernapas dengan lega tatkala berada di dalam kegelapan.
Jalanan
itu gelap. Beberapa titik di sepanjang jalan itu memiliki lubang yang berair.
Kondisi aspalnya basah akibat hujan yang melanda kota tadi sore. Namun, di
sinilah Kyungju, cukup gila untuk berada di tengah jalanan sepi yang diapit
oleh dua bukit. Bukit tersebut dipenuhi oleh pepohonan lebat dan sebetulnya
hanya orang-orang yang mau keluar kota sajalah yang melintasi jalan tersebut.
Kyungju mungkin adalah manusia gila yang berada di sana malam-malam dengan
hanya berjalan kaki.
Namun,
tidak. Kyungju sesungguhnya tidak mau berada di sini. Mentalnya memang sedang terguncang
selama beberapa bulan terakhir, tetapi dia yakin dia belum gila. Jaketnya
basah, ada bercak darah di beberapa sisinya. Kyungju mengangkat lengannya dan mulai
menggeser lengan jaketnya ke atas, menampilkan lengannya yang dipenuhi dengan lebam.
Gadis itu lantas menatap lebam-lebam itu dengan tatapan nanar.
“Kyungju,”
panggil Jun yang sejak tadi tengah berjalan di sebelahnya. Mereka berdua
berjalan perlahan, baru saja menuruni bukit penuh pepohonan tinggi yang berada
di sebelah kiri mereka. Suasana malam itu terasa begitu sepi dan begitu
gelap. Di langit tidak terlihat ada bintang sama sekali, hanya ada bulan
sabit yang menjadi saksi dari kegilaan yang telah Kyungju alami hari ini. Suara
jangkrik pun tak terdengar sama sekali.
Kyungju
menurunkan lengan jaketnya kembali. Dia menatap ke depan dan melihat mobil Jun
yang terparkir di sana. Mobil itu berada kurang lebih sejauh tiga puluh langkah
dari posisi mereka sekarang.
“Hm?”
deham Kyungju, menyahut panggilan dari Jun. Helaan napas Kyungju terdengar,
caranya menyahut itu terdengar seperti orang yang sudah letih. Sangat
letih. Wajahnya juga pucat.
“Mengapa
kau baru meneleponku sekarang?” tanya Jun. Pemuda bertubuh tinggi yang
berlesung pipi itu kemudian menggeleng. “Tidak, bukan. Mengapa kau
setuju untuk menemuinya di sebuah bukit?”
Mendengar
pertanyaan itu, napas Kyungju jadi sedikit tertahan. Degupan jantungnya seakan
berhenti sejenak; ada sebuah pisau yang seolah menusuk jantungnya. Dadanya
terasa sesak. Pedih. Tatapan matanya jadi terlihat sendu.
Menahan
tangis, Kyungju pun tertunduk.
“Aku
tidak tahu, Jun,” ujar Kyungju tatkala berhasil menemukan suaranya.
Namun, suara yang keluar jadi terdengar sedikit bergetar. “Aku…bahkan tidak
mengerti sebabnya.”
Terdengar
Jun menghela napas.
“Kyungju,
kau benar-benar sudah dimanipulasi,” ujar pemuda itu. “Otakmu sudah tak
mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena Cheolmin.”
Air
mata Kyungju akhirnya jatuh, tetapi Kyungju langsung mengusapnya dengan
jemarinya yang tampak luka-luka. “Iya, Jun. Namun, ketika berhadapan dengannya,
ketika mendengarkan kata-kata dari mulutnya, mendadak aku
berpikir bahwa semua yang dia katakan itu benar.”
“Itulah
yang dinamakan manipulasi, Kyungju,” ujar Jun. “Kau dikendalikan. Dipengaruhi.
Pikiranmu jadi kacau. Kau jadi membenarkan seluruh tindakan semena-mena
yang dia lakukan, termasuk menyiksamu, menipumu, berselingkuh darimu,
memeras uangmu, dan bahkan mengajakmu ke sebuah bukit yang sepi
untuk menjadikanmu sebagai objek dari fantasi seksualnya yang gila.”
Kyungju
diam seribu bahasa. Dia sadar seratus persen bahwa Jun telah menyelamatkannya
hari ini. Hal itu bisa terjadi karena Jun adalah salah satu teman Cheolmin; Jun
mengenal Cheolmin dengan baik. Oleh karena itulah, Cheolmin membiarkan Jun ikut
campur.
Jun
adalah satu-satunya teman Cheolmin yang pada akhirnya juga jadi berteman dengan
Kyungju. Dia adalah pemuda yang sangat pintar, sangat objektif, tetapi juga
sangat baik dalam memberikan atensi kepada orang-orang yang membutuhkan. Dia juga
merupakan seorang pengamat yang baik.
Melihat
Kyungju yang hanya menangis, Jun pun melanjutkan, “Mengapa kau baru meneleponku
disaat kau sudah terluka parah?”
Kyungju
menggeleng. “Aku takut…padanya. Aku juga harus mencari momen yang
tepat.”
“Sedikit
lebih lama lagi dan kau akan dipaksanya untuk bersetubuh di tengah-tengah bukit
itu,” timpal Jun. “atau mungkin kau akan dibuat lebih mengenaskan lagi
sampai dia benar-benar terangsang dan menyetubuhimu sambil menyiksamu di sana
hingga kau meninggal, lalu dia akan mengubur jasadmu di bukit itu.”
Perkataan
Jun yang frontal itu kontan membuat napas Kyungju terhenti sejenak. Seluruh
tubuhnya menegang. Seolah ada yang memukul jantungnya dengan keras, membuatnya
sesak dan tak mampu bereaksi apa-apa. Dia tertegun, lalu kontan air matanya
jatuh semakin deras.
“Maafkan
aku,” ujar Kyungju pelan, suaranya sedikit tenggelam karena isakan tangisnya.
“Maaf. Aku tidak tahu harus bagaimana, Jun... Aku merasa seperti berada…di
neraka…”
Tatapan
Kyungju pun jatuh ke bawah, ke arah kedua kakinya yang masih berbalut sepatu
kets. Sepatu itu sangat kotor, kaus kakinya juga berantakan. Penampilannya saat
ini terlihat begitu menyedihkan. Begitu kacau. Kedua kakinya terasa mulai
bergetar seolah selembut jelly. Menangis membuat seluruh tubuhnya nyaris
tak sanggup melakukan apa-apa. Kyungju hanya mampu berpikir:
Mengapa
ini semua terjadi kepadanya?
Apakah
dia pernah melakukan dosa besar yang tidak ia ketahui atau tidak ia ingat?
Yang
ia lakukan selama ini hanyalah hidup dengan baik, lurus-lurus saja…hingga pada
suatu hari ia jatuh cinta.
Apakah
jatuh cinta itu…terasa seperti neraka tanpa akhir seperti ini?
Kata
orang, jatuh cinta itu indah. Membuatmu bahagia.
Namun,
mengapa yang Kyungju rasakan justru sebaliknya?
Ia
bahkan hampir mati.
“Terima
kasih, ya, Jun,” ucap Kyungju pada akhirnya. Ia pun menghapus air
matanya, mencoba untuk mengatur napasnya agar kembali normal. Ia mulai menarik
napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Setengah mati mencoba untuk
tenang, setidaknya untuk sekarang.
Jangan
hancur dulu. Jangan roboh ke tanah dulu. Jangan dulu menangis
sesenggukan hingga tubuh gemetar. Jangan di sini.
Tahan
sebentar. Sebentar saja.
Ayo
pulang terlebih dahulu dan tumpahkan semuanya di rumah saja. Di dalam kamar
mandi. Di sana, menangislah dengan kencang, robohkanlah semua pertahanan yang
ada.
“Terima
kasih karena telah menyelamatkanku,” lanjut Kyungju. “Aku berutang budi padamu,
Jun… Terima kasih, ya.”
Jun
menggeleng. Mereka berjalan dengan sangat pelan, tetapi mobil Jun tampak sudah
dekat. “Tidak perlu. Aku justru kesal karena kau baru menghubungiku ketika kau sudah
terluka parah.”
Kyungju
pun tersenyum tipis. Lemah sekali. “Kau adalah orang yang baik.”
Untuk
sejenak, Jun mengerutkan dahinya. Alisnya naik sebelah. “Aku bukan orang yang baik,
Kyungju.”
“Setidaknya
bagiku kau adalah orang yang baik,” kata Kyungju.
Jun
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans hitamnya yang
sobek di bagian lutut, lalu bernapas samar. “Tidak bagiku.”
Mendengar
Jun yang teguh pada pendiriannya, Kyungju pun menoleh ke arah pemuda itu
sejenak, lalu tersenyum. Tatkala Kyungju melihat ke depan kembali, satu
pertanyaan pun lolos dari mulut Kyungju.
“Memangnya
kejahatan apa yang sudah kau lakukan?”
Jun
memiringkan kepalanya; ia mengerutkan dahinya lagi karena berpikir. “Hmm…biar
kuingat. Aku pernah memakai narkoba.”
Mendengar
itu, Kyungju hanya mengangguk mengerti. Dia sebetulnya tidak heran. Jun satu circle
dengan Cheolmin.
Melihat
Kyungju yang hanya mengangguk seolah memahaminya, Jun pun tertawa pelan. Agak
menggeleng karena sedikit merasa geli. “Why? Kau anggap itu hal yang biasa?”
Kyungju
menatap Jun sejenak, lalu ia kembali memandangi jalan aspal yang ada di bawahnya.
Kyungju pun tersenyum; senyuman Kyungju itu tampak tulus. Kedua kelopak matanya
turun, tatapannya jadi sarat akan kesenduan.
“Setidaknya
kau tidak melakukan hal yang gila pada perempuan…seperti apa yang Cheolmin
lakukan padaku, Jun…” ungkap Kyungju. Ia terdengar begitu nelangsa.
Begitu sakit. Beberapa bulan berpacaran dengan Cheolmin sukses membuatnya
nyaris gila. Ia nyaris kehilangan segalanya, termasuk kesehatan fisik dan
mentalnya. Dia sudah pernah berpikir ingin mati saja daripada terus-menerus
diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki. Dibuat ketakutan setiap
harinya, dibuat merasakan sakit hati setiap harinya… Ini neraka yang bersembunyi
di balik kata ‘cinta’.
Namun,
tiba-tiba Kyungju mendengar langkah Jun terhenti. Kyungju yang menyadari hal itu
pun jadi sedikit melebarkan mata. Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang lurus
ke depan dan mendapati mobil Jun yang jaraknya tinggal empat langkah lagi. Setelah
itu, barulah dia menoleh ke samping kanannya, ke arah Jun yang mendadak
berhenti melangkah.
Malam
ini Jun memakai kaus dan jeans yang berwarna hitam, tetapi ada sebuah
kemeja kotak-kotak berwarna ungu yang terikat di pinggangnya. Dia memakai
sepatu olahraga berwarna putih; rambut dirty blonde-nya yang pendek itu
tertata rapi. Tubuhnya proporsional. Akan tetapi, kini tatapan matanya terlihat
berbeda.
Secara
perlahan, senyuman Jun terbit. Bibirnya membentuk senyuman tipis, tetapi
manis. Senyuman itu entah mengapa sukses mengirimkan sebuah kejanggalan di
benak Kyungju. Mata pemuda itu menatap Kyungju lurus-lurus, lalu pelan-pelan
kelopak mata pemuda itu mulai setengah tertutup seolah ikut tersenyum.
“Kyungju,”
panggil
Jun. Suaranya terdengar begitu dalam. Di malam yang gelap dan sepi itu,
suaranya terdengar seolah bergema. Itu panggilan biasa, tetapi entah
mengapa terdengar mencekam. Kyungju tanpa sadar mengerutkan dahinya; mata Kyungju
melebar dan ia menahan napas. Kakinya terasa kaku. Ia merasa seakan-akan tengah
berada di depan seekor hewan buas, padahal yang ada di depannya saat ini hanyalah
Jun. Temannya. Orang yang sudah menyelamatkannya dari kematian.
Jun
pun tertunduk sejenak dan terkekeh. Ia melakukan itu seraya mengusap leher
bagian belakangnya, seolah ada yang membuatnya heran bercampur gemas, geli, dan
sebagainya. Setelah itu, Jun menatap Kyungju lagi. Namun, kali ini dia tersenyum
dengan ramah. Senyuman yang biasa ia berikan pada Kyungju. Senyuman itu tidak
terasa janggal. Jun telah berdiri dengan tegap dan menatap Kyungju dengan
tatapan biasanya.
Namun,
entah mengapa Kyungju merasa bahwa ini belum berakhir.
Dua
detik kemudian, Jun pun memiringkan kepalanya. Dengan tatapan dan senyuman yang
masih sama, Jun pun mulai bersuara kembali.
“Lebih
baik kau tidak berpikiran seperti itu,” ucapnya pada Kyungju.
“karena aku juga mampu melakukan hal yang sama dengan apa yang Cheolmin
lakukan padamu, Kyungju-ya.” []
******
No comments:
Post a Comment