Chapter
2 :
September
Fall and You
******
SEPERTINYA,
Fae
butuh sesuatu yang lebih lebar daripada buku cetak.
Kardus, misalnya.
Siaaaaalll!!! Sejak Riel
memperkenalkan dirinya di depan kelas—sekaligus memberitahu semua orang bahwa
dia bertetangga dengan Fae—dan duduk di kursi yang ada di sebelah kanan Fae,
pemuda itu terus saja memperhatikan Fae. Well, sebenarnya tempat duduk
Riel tidak benar-benar ada di sebelah Fae; barisan kursi Fae dan barisan kursi
Riel dipisahkan oleh satu barisan lainnya. Jadi, ada orang lain di
tengah-tengah mereka. Kursi yang Riel duduki pun sedikit lebih di depan
daripada kursi Fae.
Namun, itu tidak menghentikan Riel
sama sekali. Pemuda itu justru duduk menyamping, menghadap serong ke belakang,
lalu ia menumpukan sikunya di meja. Kepalanya bersandar pada telapak tangannya
dan ia memperhatikan Fae seraya tersenyum manis. Kedua matanya melengkung
seolah-olah ikut tersenyum.
Dia bahkan sesekali melambaikan
tangannya kepada Fae! Sialaaaan!
Fae malu sekali. Dia menggigit
bibirnya; dia jadi gelisah bukan main. Dia hanya bisa menghalangi pandangan
Riel dengan meletakkan satu buku cetak di samping kepalanya. Kakinya
bergerak-gerak gelisah; ia meneguk ludahnya. Aduuuh, apa-apaan, sih, si Tukang
Gombal itu? Menghadaplah ke depan sana, jangan ke aku!!!
Ketika Fae sesekali
mengintip—mencoba untuk melihat apakah Riel sudah menghadap ke depan atau
belum—Fae justru mendapati Riel mengedipkan sebelah matanya pada Fae.
Oh, ya Tuhaaaan!!
Fae jadi menghadapi situasi itu di
sepanjang jam pelajaran. Sial, tangannya jadi pegal karena terus-menerus
menutupi salah satu sisi wajahnya dengan buku cetak. Keadaan itu terus bertahan
sampai akhirnya bel istirahat pun berbunyi.
Fae langsung duduk bersandar di
kursinya dan ia menghela napas lega.
******
Sifat
ramah yang dimiliki oleh Riel Orion ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Sejak
bel istirahat berbunyi hingga sekarang—sepuluh menit sudah berlalu—Fae masih duduk
bersandar di kursinya. Namun, bedanya kini ia duduk sembari memperhatikan Riel
yang sekarang sudah ada di depan sana; pemuda itu sedang duduk di pinggiran
meja seraya mengobrol dan tertawa bersama teman-teman sekelas mereka. Sosoknya
yang berambut oranye dan memakai kemeja berwarna putih itu terkena sinar
matahari yang menembus jendela kelas, hal itu membuat sosoknya tampak begitu
bercahaya.
He looks so…breathtaking.
Hampir
semua anak-anak di kelas merasa sangat penasaran dengan Riel. Begitu Riel
memperkenalkan dirinya di depan kelas beberapa jam yang lalu, banyak sekali
anak-anak yang langsung kagum akan ketampanan wajahnya. Banyak juga yang
langsung menanyakan ini itu, bahkan sampai menanyakan perihal Riel sudah punya
pacar atau belum. Pemuda itu hanya menjawab, ‘Ah, aku belum punya pacar,
setidaknya untuk saat ini. Namun, sebentar lagi aku akan punya pacar.’
…dan
jawaban itu langsung membuat seisi kelas heboh, padahal Riel adalah orang yang
baru saja mereka kenal.
Selain
parasnya yang tampan, sifat ramahnya Riel itu juga sangat disenangi oleh seisi
kelas. Dia supel, baik, dan enak kalau diajak ngobrol. Dia cukup humoris
dan gampang tertawa. Wajah tampannya, tawa lepasnya, senyum manisnya, kesederhanaannya,
semua daya tarik itu sukses membuatnya langsung dikerumuni oleh banyak orang.
Bagai sebongkah gula yang langsung mampu menarik ribuan semut.
He’s
a social butterfly.
Sebenarnya,
kalau bukan karena sifat penggoda yang melekat pada pemuda itu (plus insiden
tank top kemarin), Fae juga akan sangat kagum padanya. Fae hanyalah
manusia biasa yang pasti akan tertarik dengan apa pun yang bersinar terang
seperti Riel. Pemuda itu bersinar; ia tampak dekat, tetapi entah mengapa juga terasa
jauh. Namun, ciri-ciri seperti inilah yang biasanya digemari oleh banyak orang,
terutama perempuan. Biasanya, kau akan mengagumi dan menginginkan sesuatu yang
tak mampu kau gapai.
Yah,
biarlah. Riel pasti akan menjadi populer dalam waktu yang sangat singkat.
Fae
menghela napas. Ia lalu mengalihkan pandangannya dari Riel dan mulai bergerak.
Ia bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke pintu kelas, berencana untuk
pergi ke kantin. Mengingat jam istirahat mereka tidaklah lama dan ia belum
makan siang, ia tak bisa terus-menerus memandangi Riel.
Tatkala
Fae sudah keluar dari kelas, gadis itu pun berjalan di koridor seraya berpikir.
Makan
apa, ya, hari ini? Di kantin lauknya apa saja, ya?
Sepertinya, Fae harus beli susu stroberi juga. Eh, sebentar. Enggak usah, deh. Stroberi
mengingatkannya dengan tank top berwarna pink. Sial.
“Fae!!”
Kontan
saja Fae membulatkan mata. Wajahnya menegang; langkahnya terhenti. Tubuhnya
mematung di tengah-tengah koridor.
Fae
kenal suara ini. Setidaknya sejak kemarin.
Orang
yang
memanggilnya itu terdengar sedang berlari kecil di belakang sana demi
menghampirinya. Langkah kaki orang itu terdengar semakin mendekat…hingga
akhirnya Fae merasa bahunya ditepuk dengan pelan.
“Hai,
Fae,” sapa orang itu. Sepertinya, orang itu kini sudah benar-benar berdiri di
samping Fae. “Mau ke kantin, ya?”
Fae
kontan menoleh ke kanan dan ia menemukan Riel di sana, sesuai dugaannya.
Riel tengah memiringkan kepalanya seraya memamerkan senyum manisnya.
Sial.
Wajah tampan Riel membuat pipi Fae nyaris saja merona, tetapi Fae ingat bahwa
dia sedang kesal dengan si Jamur ini dan dia juga sedang berusaha untuk
menghindarinya mati-matian.
Jujur
saja Fae masih malu dengan kejadian tank top kemarin.
Akhirnya,
Fae mendengkus. “Iya. Buat apa kau ke sini?!”
Riel
langsung memasang ekspresi wajah yang tak berdosa; pemuda itu membulatkan
matanya lucu dan menjawab, “Tidak ada. Hanya ingin pergi ke kantin bersamamu.”
Fae
tersentak. Buat apa mereka ke kantin bersama-sama?! Nanti orang-orang
kembali memberikannya tatapan aneh, sama seperti tadi pagi ketika Riel
mengumumkan—kepada semua orang di kelas—bahwa mereka berdua tetanggaan. Fae
sejak awal memang tidak memiliki teman sehingga perhatian yang berlebihan
seperti itu tentu akan membebaninya.
Fae
berdecak, ia langsung melepaskan dirinya dari Riel dan berencana untuk berjalan
kembali. “Tidak mau. Aku mau ke kantin sendirian.”
“Ett—ett
ett ett, sebentar, dong,” ujar Riel, pemuda itu langsung menarik lengan Fae
agar Fae kembali berada di sampingnya. Hal ini membuat Fae kontan menatap Riel
seraya membulatkan matanya; gadis itu jadi keheranan setengah mati. Riel lalu
melanjutkan, “Perginya sama-sama, dong, Cantik. Punya tetangga kok galak
banget, sih.”
Jelas
saja Fae jadi kesal bukan main. Gadis itu menggeram. “Aku tidak ada kewajiban
untuk tidak galak dengan tetangga, terutama kalau tetangganya menyebalkan
sepertimu!”
Riel
memajukan bibirnya sejenak, ia tampak berpikir. “Oh ya? Padahal biasanya
tetanggalah yang nantinya akan banyak membantumu. Membantu mengambilkan jemuran
pakaian dalammu, misalny—”
Mata
Fae kontan terbelalak, mulutnya menganga, dan ia serta-merta menutup mulut Riel
dengan kedua tangannya. Merasa panik bukan kepalang, Fae pun langsung meneriaki
Riel. “RIEL!!! KAU—”
Namun,
saat Fae menutup mulut Riel dengan kedua tangannya, telapak tangannya malah dijilat
oleh Riel. Fae kontan terlonjak, jantungnya terasa seolah nyaris lepas
dari tempatnya dan langsung mencelus ke perut.
“AP—”
“Hmm.
Manis,” komentar Riel seraya menjilat bibirnya. Ia tersenyum miring.
“Harusnya tadi tutupnya pakai bibir saja.”
Pipi
Fae langsung memerah sempurna. Ia kini terlihat seperti kepiting rebus,
telinganya memanas. Darahnya seakan mendidih hingga kepalanya berasap. Refleks
ia langsung berteriak, “DASAR MESUM!!!!”
Namun,
anehnya Riel justru tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak; tawanya tampak
begitu lepas. Meskipun pipi Fae masih merona, meskipun jantung Fae masih
terasa seakan berhenti berdetak, meskipun Fae masih panik bukan kepalang, ujung-ujungnya
tanpa sadar Fae kembali mengagumi sosok Riel.
Saat
tertawa lepas seperti itu, Riel…tampak seperti malaikat tanpa sayap. Ia
tampak seperti makhluk yang benar-benar turun dari surga dan tak memiliki dosa.
Padahal, aslinya dia mesum minta ampun.
Setelah
puas tertawa, Riel akhirnya kembali menatap Fae. Dia tersenyum sangat manis,
lalu kakinya mulai melangkah mendekati Fae. Saat Riel mendekat padanya, entah
mengapa Fae seakan tak mampu bergerak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya
enggan melarikan diri dari Riel. Ada sesuatu di dalam dirinya yang
memerintahkannya untuk tetap diam di tempat dan menunggu Riel. Dia tak
tahu apakah itu perwujudan dari keinginannya sendiri atau hanya imajinasinya
belaka.
Ketika
Riel sampai tepat di hadapannya, pemuda itu mulai meraih sebelah tangan Fae dan
menggenggamnya dengan lembut. Pemuda itu masih tersenyum kepada Fae. Setelah
itu, suara pemuda itu pun kembali terdengar.
“Ke
kantinnya sama-sama, ya?”
Fae,
yang tadinya sibuk memperhatikan tangannya yang sedang digenggam oleh Riel,
kini perlahan mengangkat kepalanya dan melihat tepat ke wajah Riel yang begitu memesona.
Kedua bola mata berwarna coklat milik pemuda itu tampak begitu jernih. Binarnya
begitu indah dan mengagumkan. Wajahnya begitu mulus, kulitnya juga tampak
lembut dan bercahaya. Rambut berwarna oranye miliknya terlihat begitu halus dan
bervolume. Fluffy. Apabila kau menyisir rambut Riel dengan jemarimu, itu
pasti akan terasa sangat…menakjubkan.
Nyaman.
Fae
terpukau. Ia mendadak lupa dengan situasi yang sedang ia hadapi; ia seharusnya
mengatakan ‘tidak’, tetapi ia justru diam saja. Pikirannya lari ke mana-mana. Hal
itu membuat Riel akhirnya terkekeh. Tak membuang waktu, ia langsung membawa Fae
bersamanya. Menggandeng Fae, berjalan berdampingan dengan Fae ke kantin.
“Tunjukkan
jalannya, ya, Fae. Aku anak baru di sekolah ini, jadi aku belum tahu di mana
letak kantinnya,” ujar Riel seraya tersenyum.
Mendengar
ucapan Riel, spontan Fae tersadar kembali. Ia yang masih berjalan bergandengan
dengan Riel itu kini langsung menggelengkan kepalanya; ia menjemput
kesadarannya kembali dan langsung beradaptasi dengan situasi yang sedang ia
hadapi. Ia pun menarik tangannya dari genggaman Riel dengan sekuat tenaga.
“Lepaskan
tanganku! Apa yang kau lakukan?!” teriak Fae dengan kesal. Akan tetapi, semakin
ia menarik tangannya, semakin pula Riel mengeratkan genggamannya.
Riel
tertawa renyah. Pemuda itu masih melihat ke depan, tidak melihat ke arah Fae
yang sedang memberontak itu sama sekali. Riel lalu menjawab, “Sudah, tunjukkan
saja jalannya. Jangan dilepaskan.”
Fae
menganga. “Kau gila?! Apa yang akan murid-murid lain katakan nantinya?!!”
Riel
mengedikkan bahunya tak peduli. “Mereka sudah tahu kok kalau kita bertetangga.”
“Mana
ada tetangga yang berpegangan tangan!” protes Fae.
“Ada,
kalau tetangganya saling cinta,” jawab Riel, dia menoleh kepada Fae dan
tersenyum manis.
HAH?
Saling cinta apanyaaa?!!!
Fae
kembali menganga, ia menggeleng tak habis pikir meskipun wajahnya merona.
Namun,
berusaha untuk tetap fokus, Fae pun berdecak dan kembali menarik tangannya.
“Sudahlah, lepaskan aku!”
Riel
menghela napas. Pemuda itu menghadap ke depan, tetapi kali ini ekspresi
wajahnya tampak sangat kecewa. Ia kelihatan bad mood. “Ya ampun, Fae. Kau
ini cantik, tapi sayang…”
Fae
spontan menyatukan alisnya. “Sayang kenapa?!”
“Sayangnya,
kau galak sekali dengan calon pacarmu sendiri,” jawab Riel sembari tersenyum
lebar. Ia mengedipkan sebelah matanya kepada Fae.
Jelas
saja Fae langsung merona bukan main. Mulutnya terbuka lebar begitu pula
matanya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Bunyinya bertalu-talu. Napasnya
tertahan.
Apa-apaan?!
Siaaaaal! Dia sedang dipermainkan!
“Kau
ini raja gombal atau bagaimana?!! Apa kau selalu menggombali setiap perempuan
yang kau temui?!” tanya Fae, suaranya masih tinggi. “Lama-lama perutku mual
mendengar gombalanmu!”
“Tidak
juga. Aku hanya menggombali tetanggaku,” jawab Riel. “Soalnya selimut tetangga
memang selalu lebih hangat.”
Fae
memutar bola matanya. “Jadi, kalau tetanggamu itu bapak-bapak tua, kau mau
menggombalinya juga?”
Riel
tertawa kencang. “Maksudku tetanggaku yang sekarang. Lagi pula, belalaiku tidak
suka beradu dengan sesama belalai. Keras soalnya. Tidak enak.”
Fae
kembali merona dan dia langsung menepuk pundak Riel dengan sangat kencang.
“DASAR JAMUR ORANYE MESUM! APA YANG SEDANG KAU BICARAKAN?!!”
“Wah,
ternyata kau menjulukiku Jamur Oranye, ya? Menarik,” Riel melihat ke
sampingnya—ke arah Fae—dan tersenyum miring. “tetapi biar jamur begini, kau
tertarik juga, ‘kan? Soalnya, tadi di kelas kau sempat memperhatikanku.”
Astaga,
mampus! Ketahuan!! Sompreeeet!
Pipi
Fae tambah merona. Rasanya pipinya itu sampai terasa panas. Dia langsung
mengalihkan pandangannya, lalu memejamkan matanya kuat-kuat. Dia melipat
bibirnya. Matilah dia!
Sementara
itu, Riel terkekeh. Pemuda itu lantas kembali menghadap ke depan dan bernapas
dengan lega. Seakan seluruh bebannya hilang begitu saja. Ia tampak rileks.
Namun,
tiba-tiba Riel teringat sesuatu. Ia lantas kembali bertanya kepada Fae, “Oh,
ya, Fae. Rumahmu itu terbuat dari kayu, ‘kan?”
Fae,
yang tadinya tak mau melihat Riel karena malu, kini spontan menoleh kepada Riel
karena mendengar Riel menanyakan soal rumahnya. Fae mengernyitkan dahi. “I—iya.
Memangnya kenapa?”
Riel
mengangguk-angguk. “Kamar mandinya ada di setiap kamar atau hanya ada satu?”
Fae
semakin mengernyitkan dahinya. “Ada satu di dekat dapur. Memangnya ada apa,
sih?!”
Riel
tersenyum. “Tidak ada. Rencananya aku mau mengintipmu mandi nanti sore.”
WHAT
THE HECK?!!
Kontan
saja pipi Fae jadi memerah sempurna bak kepiting rebus, lalu ia menarik
tangannya dengan sekuat tenaga agar terlepas dari genggaman Riel. Ia
langsung berteriak dengan kencang, “KAU!!! AKU AKAN MEMBUNUHMU JIKA KAU
BENAR-BENAR MELAKUKANNYA!!!!”
…lalu
Fae berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan Riel yang tertawa terbahak-bahak
di koridor itu.
******
Sepulang
sekolah, Fae berjalan berdua dengan Riel. Begitu bel pulang sekolah berbunyi,
Riel langsung menyusul Fae dan berjalan di samping gadis itu, mengajaknya untuk
pulang bersama. Awalnya Fae menolak, mengingat betapa banyaknya Riel sudah
menggombalinya dan membuatnya malu dalam dua hari belakangan. Pemuda itu
berhasil membuat pipi Fae merona berkali-kali hanya karena berbicara dengannya.
Antara malu, kesal, dan terpesona. Hal itu membuat Fae jadi malas dekat-dekat
dengannya; Fae takut salah tingkah lagi. Mengontrol emosi serta ekspresinya
mendadak jadi hal yang paling sulit untuk dilakukan tatkala Riel adalah lawan
bicaranya.
Akan
tetapi, menolak tukang gombal seperti Riel bukanlah perkara yang mudah. Ada
saja hal yang dia ucapkan yang sukses membuat Fae jadi lupa tujuan awal gadis
itu, yaitu menolaknya. Riel seakan bisa memanipulasi seluruh kata-katanya
dengan berbagai cara agar Fae jadi lupa menolaknya dan akhirnya malah
melakukan apa yang pemuda itu inginkan.
Yah,
Fae juga tak memperdebatkan soal ‘pulang bersama’ itu lebih jauh. Lagi pula,
rumah mereka bersebelahan; mereka searah. Tidak ada salahnya juga pulang
bersama-sama. Hanya saja, mungkin Fae harus menahan kegelisahan serta rasa malunya
saat banyak murid yang memperhatikan mereka pulang berdua. Riel langsung
terkenal di hari pertama ia masuk sekolah; pemuda itu langsung menjadi idola.
Ini wajar saja mengingat SMA mereka berada di desa dan gedungnya juga tidak
terlalu ‘wah’ seperti sekolah yang ada di kota-kota. Hanya ada satu SMA di desa
mereka, jadi muridnya juga tidak banyak. Paling-paling isinya adalah
orang-orang dari desa ini dan juga dari desa-desa sebelah. Namun, gedung SMA
itu sebenarnya bisa dibilang cukup besar dan masih bertingkat meskipun tidak
sebesar sekolah-sekolah yang ada di kota.
Jadi,
di sinilah Fae, berjalan berdua—berdampingan—dengan Riel. Di bawah langit sore serta
cuaca yang berangin itu, mereka berdua berjalan kaki bersama-sama menyusuri
jalan aspal yang agak kecil. Suasana sore itu terasa begitu damai, begitu
indah, dan begitu menyejukkan. Fae meremas tali tas ranselnya, gadis itu
berjalan seraya menunduk. Memperhatikan kerikil serta rumput-rumput kecil yang
tumbuh di pinggir jalan beraspal itu.
Perlahan-lahan
Fae menoleh ke kanan, lalu sedikit mendongak. Ia menatap wajah Riel; pemuda itu
lebih tinggi darinya sekitar 20 cm. Tatkala menatap Riel, Fae sedikit
melebarkan matanya.
Angin
yang berembus sore itu menerbangkan beberapa helai rambut Riel. Rambutnya
terlihat bergoyang tatkala terkena embusan angin, sesekali tiupan angin itu sukses
memperlihatkan sedikit bagian keningnya yang tertutupi oleh poni. Rambutnya
tampak begitu lembut, begitu indah, dan begitu cocok untuk dirinya.
Meskipun awalnya Fae merasa aneh dengan warna oranye itu—karena menganggap
bahwa Riel mau ikut-ikutan idol K-Pop—kini Fae justru
jadi…terpana saat melihatnya. Wajah Riel yang tampan dan mulus, rambut oranye
miliknya yang tertiup angin sepoi-sepoi, senyum tipisnya tatkala menatap ke
depan, bola mata coklatnya yang jernih dan sesekali berkedip dengan perlahan, kemeja
putihnya yang semakin membuatnya tampak bersinar di bawah langit sore…
Dia
seolah tidak nyata.
Fae
menatap Riel dengan takjub, tatapannya seakan mengatakan, ‘Ah…ternyata…ada
manusia yang…seindah ini…’
Fae
mengedipkan matanya dengan sangat…perlahan. Memperhatikan sosok Riel
yang ada di sampingnya itu sembari berjalan.
Mengapa
Fae tiba-tiba mendapatkan tetangga seperti Riel dan mereka jadi…sering
berinteraksi seperti ini?
Mengapa…Riel
bersikap seperti ini padanya, padahal mereka baru mengenal satu sama lain?
Ah,
tidak. Mungkin ini karena Riel orangnya memang supel. Fae bukan kasus spesial.
“Fae,
kita pergi ke pohon favoritku, yuk.”
Fae
mengerjap. Ia menatap Riel—yang tiba-tiba mengatakan itu—lalu pemuda tersebut menoleh
ke arahnya dan tersenyum. Fae, yang tadinya sedang memperhatikan Riel, kontan jadi
agak panik. Astaga, dia ketahuan sedang memperhatikan Riel, dong?
Namun,
mencoba untuk mengesampingkan kepanikannya, Fae pun mulai mengernyitkan dahi.
“Pohon…favoritmu?”
“Mm-hmm.”
Riel berdeham seraya mengangguk mengiyakan. Pemuda itu masih tersenyum. “Yuk.”
Fae
jadi semakin bingung. Pohon favorit? Di dekat sinikah? Lho, tunggu dulu.
Bukannya Riel baru pindah ke sini?
Tidak
membuang waktu, Riel pun langsung menggenggam tangan Fae dan mengajaknya untuk berjalan
lebih cepat. Gerakan Riel yang menggenggam tangannya itu sukses membuat Fae
lagi-lagi kaget, gadis itu langsung menatap bahu Riel yang sedang berjalan di
depannya, membelakanginya. Namun, meskipun dari belakang, Fae bisa melihat
pemuda itu yang kini tengah tersenyum dengan antusias. Dia terlihat…bersemangat.
Tak
lama kemudian, mereka berbelok dan melewati sebuah jembatan kayu kecil. Riel
tetap menuntun Fae tatkala melewati jembatan kayu itu. Setelah melewati
jembatan itu, sampailah mereka di sebuah lahan yang lumayan luas, yang di
tengah-tengahnya tumbuh sebuah pohon ginkgo besar.
Ini
adalah satu-satunya pohon ginkgo yang ada di desa ini.
Pohon
itu besar. Batangnya cukup tinggi dan jangkauan ranting serta daun-daunnya bisa
dibilang sangat luas. Kau bisa mengajak keluargamu berpiknik di bawahnya karena
jangkauan rantingnya yang luas seperti pohon lindung. Berhubung sekarang adalah
bulan September dan di Korea Selatan sedang musim gugur, seluruh daun yang
tumbuh di pohon ginkgo itu jadi berwarna oranye.
Persis…seperti
warna rambut Riel…
Fae
mendongak, matanya memandangi seluruh bagian dari pohon itu, lalu ke sekeliling
lahan yang ada di sana. Daun-daun dari pohon ginkgo itu berjatuhan hingga
menutupi tanah. Angin sore kala itu berembus di sekitar ranting pohon; angin itu
menggoyangkan ranting-ranting pohon itu beserta daun-daunnya. Hal tersebut membuat
pohon itu jadi terlihat semakin indah. Semakin menyejukkan hati. Semakin damai
dan menenangkan…
Fae
tahu pohon ini, tetapi dia jarang ke sini. Waktu kecil dahulu, sepertinya dia
pernah main ke sini, tetapi seiring bertambahnya usianya, dia jadi jarang main
ke luar rumah.
Riel
lantas mengajak Fae untuk semakin mendekat ke pohon itu sembari masih bergandengan
tangan. Riel berjalan di depan Fae, jadi gadis itu hanya bisa memandangi
punggung Riel dari belakang. Kemeja putih Riel tampak bergerak pelan karena
tertiup angin.
Setelah
mereka berdiri di depan pohon tersebut—hanya berjarak sekitar enam langkah dari
batang pohonnya—Riel pun melepaskan tangan Fae. Pemuda itu kembali melangkah
maju sekitar dua langkah, lalu berhenti.
Riel
berdiri di sana seraya mendongak. Pemuda itu memandangi seluruh daun dan
ranting pohon itu yang melambai dengan indahnya karena tertiup angin sore. Ia
tersenyum manis, lalu memejamkan matanya. Ia menikmati suasana di bawah pohon
itu, bunyi daun-daunnya yang saling bergesekan, serta angin
sepoi-sepoinya…dengan sepenuh hati.
Fae
memandangi Riel dari belakang dan gadis itu terdiam di tempat dengan mata yang melebar.
Mulutnya sedikit terbuka. Napasnya seolah tertahan dan matanya enggan berkedip.
Ia enggan memalingkan wajah. Enggan memalingkan pandangan. Enggan waktu berlalu
begitu saja. Enggan kehilangan momen itu; tak ingin ketinggalan terlalu banyak
apabila ia memejamkan matanya untuk berkedip sejenak.
Angin
berembus dengan sedikit kencang—menerpa wajahnya—dan mendadak ia sadar,
…bahwa
ia benar-benar terpukau dengan sosok Riel yang sedang berdiri di depan
sana.
Riel
yang sedang melihat ke atas, Riel yang memejamkan matanya seraya tersenyum
manis, rambut oranye Riel yang tertiup angin, kulit Riel yang lembut dan
bercahaya, kemeja putih Riel, semuanya…
…tampak
begitu indah…
Keindahan
itu seakan bertambah ratusan kali lipat tatkala Riel berdiri di bawah pohon
ginkgo itu. Pohon yang saat ini daun-daunnya berwarna sama persis dengan rambut
Riel.
Riel
dan pohon ginkgo di musim gugur…
…tampak
seperti lukisan yang begitu indah.
Mereka
bagaikan satu kesatuan yang terlampau elok untuk dilewatkan. Riel seakan telah
menjadi satu bagian dengan pohon itu. Seolah ia adalah jiwa yang menunggu di
pohon itu…
Pohon
itu seolah merupakan representasi dirinya. Miliknya.
Fae
memperhatikan Riel untuk waktu yang cukup lama. Tatapannya tanpa sadar jadi lembut
tatkala ia memandangi Riel. Terdiam, takjub…seolah seluruh energinya ia
pusatkan hanya untuk mengagumi sosok Riel yang sedang berdiri di depan sana.
Beberapa
saat kemudian, akhirnya Fae teringat sesuatu.
Ia
masih heran mengapa Riel menyebut pohon ini sebagai ‘pohon favoritnya’,
sementara Riel baru saja datang ke desa ini.
Akhirnya,
Fae mulai memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Ri…el?”
panggil Fae pelan, berusaha semaksimal mungkin agar suaranya tidak terdengar
serak sebab sejak tadi ia hanya diam dan mengagumi Riel dari belakang. “Apakah
kau…pernah ke sini? Karena…kau bilang ini adalah pohon favoritmu…”
Perlahan-lahan
Riel membuka matanya. Pemuda itu mulai menurunkan pandangannya, lalu dengan
pelan ia menoleh ke belakang. Ke arah Fae.
Riel
kemudian memberikan Fae seulas senyuman. Senyuman yang tipis, tetapi
entah mengapa terlihat sangat indah di bawah pohon ginkgo yang daunnya tengah berjatuhan
itu. Namun, meski Fae sedang menunggu jawaban dari Riel, ternyata Riel tidak
menjawab apa-apa. Pemuda itu hanya tersenyum, lalu kembali melihat ke atas.
Memandangi pohon itu dengan kedua bola matanya yang jernih. Memandangi pohon
itu dengan penuh…
…kerinduan.
******
Sesampainya
di rumah, Fae langsung mencari mamanya. Ia meletakkan sepatunya di rak sepatu (yang
ada di dekat pintu), lalu masuk ke rumah dan menoleh ke kanan dan ke kiri
tatkala melewati ruang tamu. Biasanya, jam segini mamanya sudah pulang kerja.
Tatkala
berjalan semakin dalam—hingga ke belakang—akhirnya Fae menemukan mamanya yang
sedang memotong-motong wortel di dapur. Tanpa berpikir dua kali, Fae langsung
mendekati mamanya. Alis Fae menyatu; ekspresi wajahnya penuh dengan rasa ingin
tahu.
Mendengar
ada langkah kaki yang sedang mendekatinya dengan cepat, mamanya Fae lantas
menoleh ke samping dan ia menemukan Fae di sana. “Ah, Fae. Sudah pulang?”
Begitu
sampai di dekat mamanya, Fae langsung mengangguk dan menjawab, “Iya, Ma. Err—Ma,
ada yang mau kutanyakan.” Fae sedikit menggigit bagian dalam bibirnya. Ekspresi
wajahnya terlihat tak sabar; ia begitu penasaran.
Ia
juga terlihat sedikit bingung.
“Hm?”
Mamanya menoleh sejenak, agak mengangkat kedua alisnya, lalu kembali menunduk
dan memotong-motong wortelnya. “Mau tanya apa?”
“Umm…begini,
Ma. Tetangga sebelah kita itu, kan, punya anak laki-laki. Dia memang seumuran
denganku. Kemarin sore aku sudah bertemu dengannya, sewaktu aku mengangkat
jemuran pakaian, lalu aku bertemu dengannya lagi hari ini di sekolah karena dia
jadi anak baru di kelasku.”
Mamanya
Fae lantas kembali menoleh kepada Fae dan melebarkan matanya. “Oooh, begitukah?
Wah, cepat sekali, ya. Terus bagaimana?”
Fae
mengangguk. “Tadi…kami pulang bersama-sama dan—”
“Tunggu.
Kau pulang bersamanya?” Mama Fae kontan menganga. Akan tetapi, dua detik
kemudian wanita paruh baya itu mulai tersenyum dan menaikturunkan alisnya
dengan jail. “Waduh, sudah mulai dekat saja, nih.”
Mata
Fae kontan membeliak.
“Astaga,
Mama nih!” teriak Fae jengkel. Ia mengentakkan kakinya ke lantai dengan kesal
dan pipinya langsung merona. “Dengarkan aku dulu, Maaaa!”
Mama
Fae spontan tertawa kencang. “Iya, deh, iyaaa. Mama dengarkan. Jadi,
bagaimana?”
Akhirnya,
meskipun agak merajuk karena baru saja digoda oleh mamanya, Fae pun kembali
berbicara, “Umm… Dia itu…namanya Riel. Jadi, tadi Riel itu mengajakku ke
pohon ginkgo yang tak jauh dari rumah kita itu, Ma, yang tumbuh di lahan yang luas
itu.”
Mamanya
Fae mengangguk. “Hm, lalu?”
Fae
melipat bibirnya sejenak, mengerutkan dahinya (agak berpikir), kemudian
melanjutkan, “…lalu dia bilang kalau pohon itu adalah pohon favoritnya.
Sebenarnya, awalnya dia hanya mengajakku untuk pergi ke ‘pohon favoritnya’
dan ternyata dia membawaku ke pohon ginkgo itu. Aku agak heran saja, mengapa
dia menyebut pohon itu sebagai pohon favoritnya? Dia, kan, baru pindah ke desa
ini kemarin. Apa dia pernah datang ke sini?”
Mamanya
Fae lantas mengernyitkan dahi. Membuat Fae jadi yakin bahwa sepertinya mamanya
memiliki rasa bingung yang sama. Sepertinya, mereka memikirkan hal yang sama. Mereka
tidak mengerti.
Akan
tetapi, tanpa disangka-sangka…ternyata dugaan Fae salah total. Mamanya Fae memang
merasa kebingungan, tetapi agaknya…bukan bingung karena Riel. Wanita paruh baya
itu memiringkan kepalanya ke sisi, menatap Fae seakan-akan Faelah yang aneh.
Seakan-akan ada sebuah kejanggalan di dalam diri Fae.
Sekarang, Fae juga jadi mengernyitkan dahinya. Mengapa mamanya menatapnya seperti itu?
Setelah
itu, mamanya Fae pun lantas menjawab pertanyaan Fae. Wanita paruh baya itu kini
benar-benar menghadap ke arah Fae. “Lho, Fae, kau tak ingat, ya? Riel
itu dulu memang pernah jadi tetangga kita.” []
******
No comments:
Post a Comment