******
Bab
6 :
DEON
membukakan pintu apartemennya, membiarkan Talitha masuk terlebih dahulu. Kepala
Talitha pusing bukan main. Dunianya serasa berputar. Tubuhnya tak mau diajak
kompromi; dia tak sanggup berdiri dengan benar.
Sebenarnya,
Talitha terkejut bukan main saat mendengar Deon mengajaknya pergi ke apartemen
pria itu. Namun, Talitha sudah terlalu malas untuk menjawab. Dia kedinginan dan
gemetar. Talitha sempat kagum ketika melihat mewahnya unit apartemen Deon, tetapi
dia tak seberisik biasanya karena dia sedang tidak enak badan.
Talitha
berusaha untuk berjalan meskipun agak terhuyung. Ini terjadi karena yang ia
rasakan kini bukan hanya kedinginan lagi, melainkan juga sakit kepala yang luar
biasa. Tadi saat Deon menginterupsinya untuk menyuruhnya masuk, Talitha
mengangguk dan ingin melewati tubuh Deon yang ada di depan pintu, tetapi ia
terhuyung.
Tubuh
Talitha akhirnya menyerah; ia nyaris saja terjatuh. Spontan mata Deon membulat
dan ia menangkap tubuh Talitha. Kepala Talitha akhirnya bersandar pada dada
bidang Deon.
Kedua
alis mata Deon kini menyatu. Ia menatap Talitha dengan khawatir. Dilihatnya
Talitha mulai memejamkan mata; Talitha mengernyitkan dahi seolah sedang menahan
sakit kepala. Wajah gadis itu pucat.
"Apa
yang terjadi dengan kamu, Talitha?!" tanya Deon. Dengan cepat,
ia memegang kedua lengan Talitha, memeganginya agar tidak jatuh. Ia akhirnya tersadar
bahwa suhu tubuh Talitha ternyata sangat tinggi. Deon mendengkus.
"Sial, Talitha,
kamu demam! Kenapa kamu diam saja?!" teriak Deon. Ia kemudian dengan cepat
merangkul Talitha; ia menuntun Talitha masuk ke kamarnya sembari mengumpat.
Pria
itu mendudukkan Talitha di ranjangnya, lalu ia menghampiri lemari pakaiannya
yang berukuran besar. Ia mengambil sebuah handuk putih dan memberikannya kepada
Talitha. Dengan lesu, Talitha mulai melihat ke arahnya.
Gadis
itu menghela napas. "Aku nggak apa-apa, Deon."
"Kamu
masih sanggup menyelaku, bahkan saat kamu lagi demam tinggi kayak gitu?
Kamu luar biasa," komentar Deon. Talitha
mengernyitkan dahinya.
Namun,
tiba-tiba Deon mengangkat tubuh Talitha dan membuat gadis itu berdiri. Dia menuntun
Talitha lagi untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Mandi
dan keramas rambut kamu dengan air hangat. Aku akan mencarikan kamu baju
ganti," perintahnya singkat.
Talitha
berdecak. "Daripada kamu jadi sulit begini, lebih baik—"
"JANGAN
MEMBANTAHKU!" bentak Deon.
Mata
Talitha membeliak. Untuk yang kesekian kalinya, dia dibentak oleh Deon. Dia
sungguh tak mengerti mengapa dia terjebak dengan pria seperti Deon. Mengapa bisa
ada benang merah yang menghubungkannya dengan Deon? Bagaimana mungkin Tuhan
memutuskan untuk mempertemukan mereka berdua?
Itu
bukan pertemuan klise, melainkan pertemuan yang aneh. Suatu ikatan yang
tak tahu akan menuntun mereka berdua sampai mana. Setelah menggaruk kepalanya
yang sesungguhnya tak gatal, akhirnya Talitha menutup pintu kamar mandi itu
ketika punggung tegap Deon meninggalkannya. Entah apa yang dilakukan oleh Deon
karena yang dapat Talitha dengar adalah Deon menelepon seseorang dan memerintah
orang tersebut dengan kesal. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.
Tak
lama kemudian, ketika Talitha sedang memakai handuk (sudah selesai mandi),
pintu kamar mandi di belakangnya diketuk oleh seseorang. Talitha tahu itu adalah
Deon dan dia refleks mendekat ke pintu itu tanpa membukanya.
Setelah
itu, terdengarlah suara Deon yang agak redam. "Ini baju ganti kamu."
Talitha
mengernyitkan dahi dan ia menggaruk kepalanya lagi. Ia harus membuka pintunya
atau tidak?
Namun,
jika tidak dibuka...
"Talitha, buka
pintunya," pinta Deon dengan lembut meski helaan napas Deon agak terdengar
di telinga Talitha. Talitha jadi bingung sendiri.
"I—iya,
bentar," jawab Talitha pada akhirnya. Gadis itu membuka pintu kamar mandi
dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Dia ingat bahwa tubuhnya sekarang
hanya mengenakan handuk.
Begitu
dia menatap Deon, dia mendapati pria itu melihatnya dengan mata yang agak
menyipit. Deon sudah berganti pakaian; pria itu memakai kaus polo dan celana jeans
pendek. Pria itu lalu memberikan sebuah kotak padanya dan dia meraih kotak
itu seraya menyatukan alis.
"Cepat
ganti baju kamu. Habis itu makan dan minum obat," perintah Deon.
Talitha
menganga. Gadis itu sebetulnya ingin bertanya mengapa dia harus berada di
apartemen Deon seolah tak ada orang di rumahnya yang bisa mengurusinya. Namun,
tatapan tajam Deon membuatnya berdecak kesal dan memilih untuk masuk kembali ke
kamar mandi.
Talitha
lantas membuka kotak itu. Betapa terkejutnya dia tatkala mendapati bahwa di
dalam kotak itu ada satu setel piama dan…satu setel dalaman? Dalaman juga ada?!
Buset!
Ini
semua baru. Kapan Deon mempersiapkannya? Apa sewaktu dia marah-marah di telepon
tadi? Luar biasa. Benar-benar membuat Talitha jadi menggeleng sendiri, tak
habis pikir. Siapa yang dia suruh untuk membeli barang-barang seperti ini? Meski
dipenuhi dengan berbagai pertanyaan di otaknya, Talitha akhirnya memutuskan
untuk memakai pakaian itu tanpa peduli apa pun. Soalnya, kepalanya masih pusing.
Setelah
selesai berpakaian, Talitha keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk putih
yang Deon berikan tadi. Gadis itu tak melihat keberadaan Deon. Ke mana dia?
Baru
saja Talitha ingin berbalik, mendadak ia mendengar suara berat Deon memenuhi ruangan.
Deon ternyata baru masuk ke kamar itu.
"Duduklah.
Kamu harus makan," ujar Deon. Di tangan Deon sudah ada nampan yang berisi
semangkuk sup dan nasi. Ada juga teh hangat di nampan itu.
Talitha
terdiam. Walau ia tak seharusnya memikirkan soal ini sekarang, tetapi...apa Deon
membuatkan bubur itu? Atau tidak?
"Duduk sekarang, Talitha.”
Talitha
membelalakkan mata. Gadis itu tersadar dan langsung duduk di pinggiran ranjang.
Sesungguhnya, dia tak selera makan karena kepalanya pusing. Namun, Deon dan
segala perintahnya itu telah ada di depan Talitha, duduk di depan Talitha dan
menaruh nampan itu di atas nakas.
"Makan,
sedikit aja nggak apa-apa. Supaya kamu bisa minum obat." Deon berkata dengan
lembut. Talitha sedikit tertegun.
Sungguh menawan
sekali Deon dengan suara lembutnya itu. Ini agak mengejutkan, sebenarnya. Mengapa
Deon harus bertransformasi menjadi yang orang sekeji itu, padahal
Deon bisa bersikap selembut ini? Ini begitu disayangkan. Deon adalah orang yang
benar-benar lembut seandainya semua masa lalunya tak terus menghantuinya.
Talitha
akhirnya mengangguk. Entah mengapa sulit sekali mau membantah Deon saat Deon
berbicara dengan lembut seperti itu. Tanpa bisa Talitha kira, Deon mulai menyuapinya.
Pria itu menyuapinya dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Sosok
Deon mendadak berubah 180 derajat. Deon yang ada di depannya ini adalah Deon
yang penuh kasih. Sungguh kasihan. Dia adalah pria yang baik, hanya saja
hatinya rapuh hingga dia membangun temboknya sendiri secara paksa.
"Kenapa
kamu suapin aku?" tanya Talitha pelan. Napasnya terasa hangat. Itu
membuatnya sadar bahwa dia benar-benar sedang demam tinggi.
Deon
bernapas samar. Ia meniup nasi hangat yang sudah ada potongan wortelnya itu.
"Kalau
aku biarkan, mungkin kamu nggak bakal mau makan,” kata Deon sembari menyuapi
Talitha lagi. Talitha membuka mulutnya, menerima makanan itu.
Talitha
ingin melihat Deon berubah. Entah mengapa ia ingin melihat pria itu berubah.
Namun, ia tak tahu bagaimana caranya. Lagi pula, ia tak memiliki hubungan yang serius
dengan Deon. Hubungan asli, tetapi tanpa cinta? Sama saja bukan hubungan.
"Minum
obat kamu sekarang," perintah Deon singkat setelah makanan dan minuman
Talitha habis. Pria itu memberikan obat kepada Talitha dan Talitha meminumnya
tanpa ada bantahan.
Talitha
langsung berbaring begitu ia selesai minum obat. Ia sungguh tak tahan, kepalanya
pusing sekali. Tubuhnya lemah karena sedang demam. Ia tak mau tahu tentang apa
pun lagi dan langsung berbaring tanpa persetujuan ataupun perintah dari Deon.
Deon menghela napas, kemudian menutupi tubuh Talitha dengan selimut tebal yang
ada di ranjangnya itu. Pria itu mulai duduk di kursi yang ada di samping
ranjang, kursi yang ia persiapkan ketika Talitha mandi.
Diperhatikannya
Talitha dengan saksama hingga ia mendengar napas Talitha berembus dengan teratur.
Gadis itu sudah tertidur. Deon melihat jam dinding dan ternyata hari sudah hampir
malam. Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel.
Matanya
menyipit; ia mencari asal bunyi ponsel itu hingga akhirnya ia sadar bahwa bunyi
ponsel itu berasal dari dalam tas Talitha yang terletak di sofa kamarnya. Deon
berdiri dan menghampiri tas itu. Setelah Deon membuka tas itu, ia meraih ponsel
tersebut dan mengernyitkan dahi. Ia bisa membuka kunci ponsel itu dengan mudah
karena tak ada password atau pattern yang
melindunginya. Deon melihat ada tiga pesan masuk. Tanpa berpikir dua kali, pria
itu pun membuka ketiga pesan itu.
From: Kak
Alfa
Malem,
Ita ;)
From: Basuki
Nana Dalem
Ta,
lo udah nyampe? Minta jemput Bang Gavin aja deh cyin, biar lo cepet sampe.
Busnya kan lamaa
From: Bang
Gavin
Dek,
lo kok belum nyampe rumah? Lo ke mana? Hujan nih! Udah tau badan gak kuat
dingin, masih aja pulang lambat! Gue juga baru nyampe nih dan Mama nyariin elo.
Lo kejebak hujan apa gimana?
Baru
saja Deon selesai membaca pesan terakhir itu—dan ternyata pesan itulah yang
baru sampai tadi—ponsel Talitha mendadak berbunyi, menandakan ada sebuah panggilan
yang masuk. Deon mengernyitkan dahinya tatkala menatap layar ponsel itu.
Bang
Gavin calling...
Deon
mengangkat panggilan itu, lalu menempelkan ponsel tersebut di telinganya.
Setelah
itu, terdengarlah suara Gavin yang sedang dalam mode ibu-ibu cerewetnya. "Dek,
lo di mana?! Biar gue jemput. Sekarang udah malem tau nggak? Hujan lagi! Aduh,
punya adek kok kelayapan terus."
Deon
mulai menjawab Gavin dengan suara rendahnya. "Dia aman sama saya,
Pak Gavin. Saya tadi udah jemput dia dan sekarang dia ada di apartemen
saya."
Gavin
kontan terdiam. Meski bunyi gemerusuk tetap terdengar dari seberang sana,
Gavin hanya diam. Dia tengah mematung di seberang sana. Gavin terdiam selama
beberapa detik, bahkan suara napasnya tak terdengar.
Setelah
itu, dengan gagap Gavin menjawab, "I—ini...Pak Deon?"
Deon
bernapas samar. "Iya, Pak Gavin. Ini saya. Talitha lagi sama saya."
"A—" Kata-kata
Gavin terputus hingga Deon mulai mendengar bunyi gemerusuk lagi. Namun,
agaknya kali ini bunyi itu tercipta karena ponsel Gavin diambil orang lain. Setelah
itu, mendadak terdengar suara seorang wanita paruh baya.
Deon
mengernyitkan dahinya ketika mendengar wanita itu berteriak.
"Siapa
kamu?!! Ke mana kamu bawa anak saya?!! Bawa dia pulang!!! Siapa kamu? Apa yang
udah kamu lakuin ke anak saya?!!!"
Deon
mengerjap.
"Ma...udah,
Ma. Itu bosnya Gavin. Udah, Ma." Terdengar suara
Gavin samar; Gavin agaknya tengah membujuk wanita paruh baya itu.
Setelah
itu, terdengar helaan napas berat. "Kamu ini satu, Vin. Kenapa
kamu nggak bilang sama Mama kalo adek kamu—"
"Ma,
aku aja baru tau kalo Ita pacaran sama Pak Bos dan aku juga belum sempet minta penjelasan
dari Ita..."
Deon
hanya mendengarkan mereka berdua.
Setelah
itu, Deon angkat bicara, "Maaf, Bu. Saya belum beritahu ibu
dan juga ayahnya Talitha dengan baik. Saya minta maaf. Saya nggak macam-macam sama
Talitha. Saya cuma ngerawat dia karena dia lagi demam."
Terdengar
mama Talitha mulai mendengkus.
"Astaga.
Itu anak emang ada-ada aja kelakuannya..."
Mendengar
komentar mama Talitha terhadap anak gadisnya sendiri, Deon lantas tersenyum
tipis dan menunduk. Deon mulai rileks; ia memasukkan sebelah tangannya ke saku
celana pendeknya.
Lagi-lagi
Mama Talitha terdengar menghela napas. "Ya udah. Maafkan saya, ya,
Pak Direktur. Saya betul-betul minta maaf karena udah ngebentak Bapak
sembarangan tanpa tau alasan Bapak."
Deon
mengangguk meski dia tahu mamanya Talitha takkan bisa melihatnya.
Mamanya
Talitha berbicara lagi, "Tolong jaga anak saya, ya, Pak, sampai
Bapak ngantar dia pulang nanti. Em… Nanti sekalian Bapak mampir ke rumah, ya...
Ngobrol-ngobrol sama calon menantu, kan, enak..." Mama Talitha tertawa.
Mata
Deon melebar. Namun, beberapa detik kemudian…ekspresi wajah pria itu jadi lembut.
Betapa harmonisnya keluarga Talitha. Betapa hangatnya sikap mama Talitha...dan hati
Deon jadi terasa perih. Tak pernah ada seorang ibu yang bersukacita ingin
mengobrol dengannya. Tak pernah ada sosok ibu yang memberinya perhatian ataupun
omelan seperti itu sejak dia kecil.
Begitu
dia sadar akan hal itu, air matanya jatuh.
Ada
lembing yang seolah menohok dadanya hingga dadanya terasa sesak. Deon mendongak
dan menghela napas. Membiarkan air mata itu jatuh, lalu tanpa sadar rahangnya
mengeras. Ia butuh melampiaskan seluruh kekecewaannya. Namun, ia menahan semua
itu karena ia ingat bahwa ia sedang bertelepon.
"Pak
Direktur?" panggil mama Talitha di seberang sana dengan
heran karena Deon tak bersuara sedari tadi. Hal itulah yang sontak membuat Deon
langsung mengusap air matanya. Deon mengerjap, kemudian pria itu tersenyum.
"Iya. Mama nggak perlu manggil aku dengan sopan gitu.
Panggil aku Deon aja, Ma."
Oh
astaga. Bibir Deon agk bergetar tatkala menyebutkan kata 'Mama' itu. Ia
tak pernah memanggil seseorang seperti itu lagi sejak 21 tahun yang lalu. Ia merasa
marah tiap kali ia mendengar panggilan 'Mama' dan kali ini mama
Talitha membuatnya mengucapkan kata 'Mama' itu dengan nelangsa.
Ia yakin bahwa mama Talitha adalah seorang wanita yang cerewet, tetapi penuh dengan
kasih sayang. Seorang wanita yang mungkin juga punya kepribadian yang unik
seperti Talitha. Berdiri tegak untuk keluarganya. Memberi
kehangatan untuk keluarganya. Tanpa Deon sadari, Deon bersikap biasa saja seolah
ia sudah menjadi bagian dari keluarga Talitha. ‘Memiliki’ keluarga yang harmonis...membuat
seluruh beban di hati Deon seakan menghilang. Ia merasa bagai manusia yang
terlahir kembali.
Sementara
itu, di seberang sana mamanya Talitha tertawa kencang. Wanita itu jadi tersipu karena
Deon terdengar begitu imut saat berbicara seperti itu padanya. "Aduh...
Iya, Deon. Akhirnya, Mama bakal punya menantu… Hahaha! Si Gavin sama Ita menjomblo
terus soalnya. Mama kira Mama dulunya ada salah apa gitu, sampe anak-anak Mama nggak
laku... Wahahaha."
Terdengar
Gavin mulai protes kepada mamanya. Namun, secara mengejutkan…Deon justru tertawa
lepas. Pria itu tertawa terbahak-bahak di telepon. Seumur hidupnya, dia tak
pernah benar-benar merasa senang seperti ini.
"Nanti
aku ke sana, Ma, sambil nganterin Talitha. Nggak kok, Ma, Mama nggak ada salah.
Aku juga nggak pernah punya pasangan sebelum ketemu sama Talitha."
Mama
Talitha berteriak histeris, "Aaah, senengnyaa! Talitha beruntung
banget punya kamu. Ya udah, ntar jangan lupa ke sini, ya, Sayang. Papanya
Talitha juga mau kenalan sama pacar Talitha, tuh, katanya."
Deon
terkekeh.
"Ya
udah. Tidur jangan macem-macem, ya. Kalian belum nikah soalnya. Si kunyuk satu
itu juga masih kuliah," lanjut mama Talitha.
Tak
ayal, Deon kembali tertawa terbahak-bahak. Mendengar Talitha diejek
begitu oleh keluarganya sendiri…sungguh menggelikan baginya.
"Iya,
Ma," jawab Deon santai.
"Ya
udah. Mama tutup dulu teleponnya. Jagain Ita, ya, menantu kesayangan
Mama."
Mata
Deon membulat. Menantu kesayangan?
Deon
padahal belum bertemu keluarga Talitha dan sudah dibilang menantu kesayangan.
Apa karena mamanya Talitha baru merasa punya calon menantu? Ah, tetapi tak
mungkin langsung dibilang menantu kesayangan juga kalau hanya itu alasannya.
Meskipun dia dan Talitha tidak berpacaran seperti seharusnya, Talitha telah membawa
banyak hal baru untuknya. Ia sering kali tersenyum palsu, tetapi akhir-akhir
ini dia mulai tertawa. Sejak bertemu dengan Talitha, ia menyadari betapa
bahagianya menampilkan semua ekspresi itu tanpa kepalsuan. Mengobrol dengan
Gavin waktu itu saja sudah membuatnya tertawa lepas. Sekarang, dengan mama
Talitha juga begitu.
Meskipun
ia tak tahu bagaimana cara mencintai orang lain seperti seharusnya... Meskipun
ia tak tahu mengapa dia begitu ingin Talitha berada di sisinya untuk
membantunya... Meskipun ia hanya tahu bagaimana cara mempertahankan miliknya...
Meskipun ia bertemu dan mengurung Talitha di genggamannya dengan cara yang tak
logis... Talitha harus tetap bersamanya, tak boleh hilang darinya, barang
sedetik pun dan dalam keadaan apa pun.
"Iya,
Ma," ujar Deon sebelum sambungan telepon itu akhirnya terputus.
******
Talitha
terbangun dan menemukan dirinya terbaring di ranjang Deon. Ia menyipitkan
matanya karena silau; gorden jendela kamar Deon terbuka dan sinar mentari langsung
menerangi kamar. Talitha lantas memegang tenggorokannya yang terasa kering.
Ah...dia
ingat. Dia demam semalam.
"Sudah
bangun?"
Talitha
menoleh ke asal suara. Matanya—yang semula malas terbuka—kini jadi membulat sempurna
begitu mendapati Deon di sana, berdiri dengan shirtless di
pintu kamar. Talitha langsung terduduk.
Talitha
menatap Deon tanpa berkedip. Ia menatap Deon dari atas ke bawah dan tanpa sadar
dia berdecak kagum sendiri, kegirangan seperti monyet. Deon menyatukan alisnya.
"WIDIH
MAK... Seksinya ckckck... Maknyos euy..."
Tanpa
punya urat malu, Talitha bertepuk tangan sendiri. Dia tergelak dan matanya
masih menatap otot-otot di tubuh maskulin Deon dengan antusias.
"Pantesan
kamu dikatain mamamu jomblo terus," ujar Deon sembari menyipitkan
matanya. "Ternyata mata kamu selalu lapar."
Talitha
mendadak melongo.
"Oi—kok
kamu tau kalo Mama aku suka ngatain aku gitu?! Wah, jangan-jangan—"
"Mama
kamu nelepon semalam. Dia nanyain kamu,” jawab Deon santai.
Mata
Talitha kontan terbelalak, dia langsung beranjak turun dari kasurnya dan
berdiri. Gadis itu terbirit-birit mengambil ponselnya yang ternyata ada di sofa.
Sambil memeriksa ponselnya, gadis itu pun berbicara dengan cemas, "Terus
kamu bilang gimana?! Dia marahin kamu nggak?!! Lagian, kok kamu main
angkat-angkat aja, sih!! Ntar kita diinteroga—"
"Mama
kamu udah tau kalau kita pacaran, Talitha. Nanti aku bakal nganterin kamu
sekalian kenalan sama orangtua kamu."
Mata
Talitha memelotot lagi. Mulutnya menganga. Tubuhnya mematung.
"Oi—Deon,
kok kita jadi kayak pacaran serius gini toh? Ah, udah, deh, nggak
usah. Ntar aku pulang sendiri aja dan jelasin semuanya ke Mama—"
“—dan
kamu mau bilang kalau kita pacaran bohongan? Terus kamu mau jelasin ke abang
kamu dan semuanya kalau kamu terpaksa menjadi milikku karena kebohongan
kalian?" ujar Deon sarkastis. Deon memiringkan kepalanya ke sisi dan tatapannya
jadi tajam.
Lidah
Talitha mendadak kelu. Ah...iya. Bisa berabe urusannya.
Meskipun Talitha tak sepenuhnya salah, pasti yang dihajar oleh
mamanya adalah Talitha juga.
Lagi
pula, Deon memberinya pilihan yang sulit. Ah, ini memang gila. Dari awal semua
ini memang gila.
Talitha
memijit keningnya. Ini benar-benar memusingkan.
Setelah
itu, Talitha mulai merasa ada langkah kaki yang mendekatinya. Begitu ia sadar,
dahinya mendadak dipegang oleh seseorang. Talitha mendongak dan mendapati Deon
di sana. Pria itu tengah memegang dahi Talitha.
"Panas
kamu udah turun. Ayo sarapan dan—" ucapan Deon terputus dan ia melihat ke
bawah, ke otot perutnya.
Di
sana ada tangan Talitha yang tengah meraba otot perutnya itu dengan antusias.
Deon
menatap Talitha dan wajah gadis itu dipenuhi dengan rasa kagum. Talitha bahkan nyaris
mengeluarkan air liurnya.
Deon
mengernyitkan dahinya tipis. "Tangan kamu, Talitha. Perasaanku tadi kamu
lagi pusing mikirin apa kata mama kamu. Sekarang otak kamu malah ganti
jalur."
Talitha
mendadak ngakak. "Gila, ya, Deon, pantesan aja Basuki nge-fans berat
sama kamu! Hahahah! Ternyata aslinya lebih seksi!! Aduh, kayaknya aku beruntung, nih,
bisa nggrepe-grepe kamu duluan bhahahah!!"
Deon
memejamkan matanya, menghela napas, lalu membuka matanya lagi. "Aku nggak
pernah ketemu perempuan segila kamu," komentar Deon, ia menyentil
dahi Talitha. "dan aku nggak ngerti apa itu nggrepe-grepe atau
apalah itu."
Talitha
tambah tertawa bak kesetanan. "Halaaaah, polos amat, sih? Kita
sesama jomblo harus tau istilah-istilah itu seenggaknya."
"Aku
sama kamu udah nggak jomblo lagi, setahuku," ujar Deon.
Kini dia sudah mengerti apa itu jomblo.
Talitha
menganga. Ini orang...ternyata memang serius menganggap Talitha sebagai
pacarnya.
"Jangan
sekali-kali kamu SMS-an sama si Alfa-Alfa sialan itu lagi atau
kamu akan tahu akibatnya."
Talitha
mendadak terkesiap. Bagai tersambar petir, tubuh Talitha menegang.
"Maksud
kamu...Kak Alfa?" tanya Talitha.
"Aku
nggak suka lihat milikku diusik orang lain dan kamu yang paling tau itu, Sayang."
Deon tersenyum manis, tetapi mengapa terasa agak…sarkastis?
Talitha
mengernyitkan dahi, matanya nyalang, dan ia mulai mengomel.
"Hah? ‘Sayang’?!! Udah, deh, Deon,
kamu itu kayaknya punya dua kepribadian, ya? Ganteng, tapi gilanya nggak
ketulungan. Lagian, nih, ya, aku emang selalu SMS-an sama Kak Alfa dalam
setahun terakhir ini. Meskipun jomblo gini, aku ada deket juga sama kakak
tingkat dari fakultas lain. Kamu aja yang baru nongol langsung marah-marah nggak
jelas," ujar Talitha sembari berdecak.
Mata
Deon langsung menyipit tajam. Talitha yang menyadari itu hanya mendengkus dan
bersikap cuek. "Udah, deh, jangan marah-marah. Lagian,
kita ini—“
"Jangan
pernah SMS-an atau berhubungan apa pun lagi sama dia. Aku
udah hapus nomor dia dari ponsel kamu. Jangan dekat-dekat sama laki-laki
lain, Talitha!! Aku nggak suka itu dan sekali aku bilang jangan, maka
jangan pernah kamu lakukan. Atau aku bakal ngelakuin sesuatu ke abang-abang
kamu."
Talitha
menggeram. Emosinya naik sampai ke ubun-ubun. "BISA NGGAK, SIH, JANGAN
SANGKUTIN APA PUN KE ABANG-ABANGKU? SEKARANG KAMU IKUT NGANCEM BANG REVAN?!
KAMU INI SINTING, YA?! DIA NGGAK ADA HUBUNGANNYA!!”
"Apa
salahnya sinting kalau untuk mempertahankan pacar sendiri?
Mungkin aku bakal berhenti pakai ancaman-ancaman kayak gitu kalau kita udah
saling mencintai," ujar Deon dengan angkuh; tatapan matanya mengintimidasi
Talitha.
"Enak
aja kamu!!" teriak Talitha. “Ini maksa aku ceritanya? Oh, kalo gitu aku
juga bakal terus maksa kamu. Sampe kamu muak," sinisnya.
Deon
mendengkus. "Selama kamu nggak dekat dengan laki-laki lain, aku nggak
bakal muak sampai kapan pun. Mudah bagiku untuk menyingkirkan laki-laki
sialan itu," ujar Deon sembari memegang dagu Talitha. Tatapan matanya mengerikan.
Kalimatnya terasa begitu menusuk dan melukai Talitha dari dalam secara perlahan.
Merasa
kesal, Talitha lantas mendorong tubuh shirtless Deon dengan kuat.
"Udah
ah!! Males aku ngeladeni kamu!!" teriak Talitha sembari berjalan ke kamar
mandi dengan tergesa-gesa. Lebih baik dia mandi daripada harus berdebat dengan
Deon.
******
"Ma,
Ita pulang."
Talitha
mengetuk pintu rumahnya sambil harap-harap cemas. Ia tak tahu apa yang akan
terjadi. Ia pun tak yakin dengan apa yang akan Deon katakan nanti. Deon itu
selalu mengancamnya dan setelah semua yang terjadi, ia tak percaya kalau Deon
akan berbaik hati. Pasti bakal ada gebrakan baru, nih.
Deon
bahkan membuat Talitha sampai tidak kuliah hari ini. Alasannya simple. Menurutnya,
Talitha harus izin karena belum sembuh total. Dia mengamuk ketika Talitha
memaksa untuk kuliah. Satu hal lagi: dia ingin menemui orangtua Talitha hari
ini juga. Bukannya bekerja, dia malah ingin berkunjung ke rumah Talitha.
Entahlah
Gavin kerja atau tidak.
Tak
lama kemudian, pintu rumah itu terbuka. Terlihatlah sosok mama Talitha di sana.
Wanita paruh baya itu menatap Talitha, kemudian dia melihat seorang pria
supertampan yang berdiri di samping Talitha.
Mama
Talitha kontan menganga. Wajah mamanya itu langsung berseri-seri; ia terlihat
sangat antusias. Takjub bukan main tatkala melihat sosok lelaki itu.
Itu
pasti calon menantunya sekaligus direktur utama Abraham Groups, tempat di mana anak
sulungnya bekerja. Mama Talitha jelas langsung tercengang; matanya tak
berkedip.
Pria
itu tampan. Luar biasa tampan.
"Halo,
Ma," sapa Deon dengan ramah, pria itu kini bersalaman dengan mama Talitha
dan dia langsung mencium punggung tangan mama Talitha dengan sopan. Deon tampak
begitu tulus saat melakukan itu. Dia seolah benar-benar sedang bertemu dengan ibu
mertuanya.
Talitha
sampai heran sendiri saat melihat kelakuannya.
Is
he exhibiting two distinct and separate identities or something?
Talitha
tak mengerti.
"Ayo
masuk, Sayang. Ayo, Ta, ke belakang gih sana. Siapin minuman buat Deon. Aduuhhh,
calon menantu Mama ganteng banget, sih," puji Mama Talitha sembari
menepuk-nepuk rahang Deon yang terlihat sangat tajam dan tegas.
Talitha
mencibir. "Yeee ileh, ketemu menantu malah lupa sama anak. Ini, nih, Mama
yang aneh."
Mama
Talitha langsung tertawa terbahak-bahak. Kalau Deon…
Wah? Pria
itu terkekeh.
"Welehh...
Ketawa lagi dia. Emang seneng banget liat aku menderita," komentar
Talitha. Setelah menggeleng singkat, Talitha pun masuk ke rumahnya dan langsung
pergi ke dapur. Dia mulai mendengar mamanya mengajak Deon masuk ke rumah.
"Pa!
Gavin! Ini, nih, Deonnya udah dateng," teriak mama
Talitha kencang; ia terdengar sangat bahagia. Lho, bentar, bentar. Papanya
tak masuk kerja?! GAVIN JUGA?!
Memangnya
tak takut dipecat oleh Deon? Maksud Talitha, Gavin itu, kan…jelas tahu
kalau yang datang itu bosnya!! Dia cari mati atau bagaimana, sih?!
Talitha
membawa teko yang berisi sirop serta beberapa gelas ke ruang tamu. Ia juga
membawa bolu coklat yang ada di dalam kulkas dan kue-kue
kering yang selalu mamanya simpan di lemari makan.
Di
dalam perjalanannya menuju ke ruang tamu, Talitha bertemu dengan Gavin. Mata Talitha
langsung memelotot, lalu ia berbisik dengan kesal kepada abangnya.
"Bang,
lo kok gak kerja, sih?! Yang dateng itu Deon, Bang! Dirut
elo!! Lo cari mati?!"
Gavin
menghela napas; ia langsung mendekati Talitha dan membisikkan sesuatu ke
telinga Talitha. "Gue juga mau kerja, tapi Pak Deon alias pacar lo,
tuh, Dek, yang ngelarang gue kerja. Dia bilang dia pengin ketemu sama semua
orang yang ada di rumah kita. Widih, serius, lo kayak mau dipinang aja!
Jangan-jangan lo udah ngapa-ngapain sama dia, ya? Ngaku! Hebat
bener lo baru kenal udah bisa—"
“Kamvret,
Bang, jangan ngomong gitu ngapa, sih?!! Asem, nggak mungkinlah
gue ngapa-ngapain sama dia! Omongan lo nggak jelas banget
sumpah!" bisik Talitha, dia tampak marah. "Terus—apa? Kapan dia
ngelarang lo kerja?!"
Gavin
mendengkus dan mengedikkan bahunya. "Tadi pagi dia nelepon gue dan wiih—dia
nggak manggil gue pake 'Pak Gavin' lagi. Dia manggil gue Abang!
Sialan, kaget gue serius."
Spontan
saja Talitha tertawa bak kesetanan. Gavin bahkan sampai harus menutup mulut
adiknya itu dengan paksa.
"SERIUS
LO?!" teriak Talitha. "ASTAGA HAHAHAH!!"
Gavin
menjewer telinga Talitha dan menutup mulut adiknya itu lagi.
"Ita, sst!! Kamvret,
jangan keras-keras ngapa, sih, Dek?! Ntar kedengeran sama Deon!
Kalo kedengeran, bisa jadi dia pecat gue beneran dan dia mutusin elo!"
Talitha
tertawa lagi. "Nah, elo juga udah manggil dia pake 'Deon' hahaha!!
Emang tumpeh-tumpeh kalian nih... Nggak tanggung-tanggung lagi. Gue nggak
tau mau ngomong apa," ujar Talitha seraya menggeleng.
"Ya
habisnya walaupun dia bos gue, dia bakalan jadi adek ipar gue juga, 'kan? Apa
salahnya gue juga manggil dia dengan namanya?" Gavin kembali mengedikkan
bahu.
Talitha
menganga. Sialan nih Abang, pikirnya. Andaikan abangnya itu
tahu kalau ia dan Deon bukanlah pasangan yang akan memiliki‘happy ending’
seperti itu, soalnya mereka hanya berpura-pura pacaran.
Akhirnya,
Talitha dan Gavin mulai berjalan bersama dan sampai di ruang tamu. Papa Talitha
sudah duduk di sana dan sudah mengobrol santai dengan Deon.
Gavin
duduk di sofa kecil sendirian. Talitha meletakkan minuman dan kue-kue yang ia
bawa itu ke atas meja, lalu ia mendapati bahwa mama dan papanya tengah menatapnya
dengan bangga.
Ah...
Iya, deh, iya. Mungkin mereka kira Talitha memang membuktikan omongannya—Talitha
pernah bilang kalau dia nanti bakal dapat cowok yang ganteng—padahal ini
kasusnya beda.
Talitha
kemudian langsung menatao Deon. Tatapan lembut Deon itu seolah mengatakan, "Duduk
di sampingku, Sayang."
Wanjeeeer!
Gak gitu juga kali Bambang!!
Sial. Seberapa
besar Deon telah menarik perhatian kedua orangtua Talitha?
Berdecak
pelan, Talitha akhirnya menyerah dan duduk di samping pria itu.
Papa
Talitha mulai berbicara kembali, "Jadi…udah berapa lama kamu kenal sama Ita,
Deon? Papa nggak nyangka kalo Ita dapet pacar yang sempurna kayak kamu."
Deon
terkekeh. Pemandangan yang paling menawan dan mampu melelehkan seantero jagat.
"Baru akhir-akhir ini, Pa, tapi Talitha sejak awal udah bisa narik
perhatianku. Dia bisa ngebuat aku jadi langsung bergantung sama dia. Aku jadi
ngerasa ada yang aneh kalau nggak sama dia."
Waduh,
Mak, hoeeek! Bergantung pada Talitha si cewek stress yang
tak tahu malu ini?
Talitha
merinding, perutnya jadi mual sendiri. Apa-apaan yang sedang pria posesif itu
katakan?! Wah, itu Deon kayaknya lagi kesurupan. Pasti karena kebanyakan akting
drama romantis, nih, makanya dia jadi terbiasa mengucapkan kalimat-kalimat
manis!
Namun,
mama Talitha justru terpesona. Mamanya dengan teganya malah terpesona oleh
kalimat romantis Deon. Wanita paruh baya itu bahkan sampai menepuk pundak suaminya
karena salah tingkah saat melihat sikap Deon. Deon benar-benar menarik hati.
Papa
Talitha lantas tertawa terbahak-bahak; ia tampak bahagia bukan main. Ia seolah baru
saja menyaksikan sebuah kejadian yang seharusnya takkan terjadi dalam seribu
tahun.
Ya,
ya, ya. Talitha tak menjomblo lagi itu adalah kabar gembira yang hanya
datang satu milenium sekali. Ha.
"Jadi,
gimana ceritanya kamu bisa datang ke Indonesia, Deon?" tanya Papa Talitha
lagi.
Kini
Deon mulai memeluk pinggang Talitha dengan posesif. Membuat Talitha lantas
mengernyitkan dahinya. Akan tetapi, hal itu membuat mama Talitha jadi senang
bukan main.
Sementara
itu, Gavin sedari tadi hanya melongo. Buset dah, ini dia lagi menyaksikan
apa, sih, sebenarnya?! Selain itu, ada hal buruk lagi.
Dia
dilangkahi oleh adiknya, coy.
Talitha
memang benar-benar kurang ajar.
Deon
tertawa renyah. Wajahnya tampak berseri-seri. "Um… Sejak kecil aku udah jadi
model di Taiwan, Pa. Terus waktu umur belasan sampai terakhir kali sebelum
datang ke sini, aku sempet beberapa kali main drama," ujar Deon, dia
terlihat agak canggung tatkala menceritakan hal itu. "Aku dipanggil ke
Indonesia karena Papaku sakit. Papa minta aku buat nggantiin dia sebagai
direktur utama Abraham Groups."
Papa
Talitha melebarkan matanya, ekspresi wajahnya mulai serius. "Papa kamu
sakit?"
"Iya,
Pa. Papaku sakit jantung. Sekarang masih belum pulih total,” jawab Deon sembari
tersenyum tipis.
Baik
Gavin, Talitha, maupun Mama dan Papa Talitha, semuanya kaget mendengar bahwa papa
Deon ternyata menderita sakit jantung.
"Kamu
harus banyak bersabar, ya, Deon," ujar Mama Talitha. "Kami akan bantu
kamu sebisa kami kalau kamu perlu bantuan. Semoga papa kamu cepet sembuh, ya, Sayang.
Kami siap bantu kamu kapan pun."
"Kami
ada di sini, Deon. Kami udah nganggap kamu sebagai keluarga kami juga sekarang.
Papa harap hubungan kamu sama Ita baik-baik aja sampai kalian ke
pelaminan," ujar Papa Talitha.
Gavin
mengangguk.
Mata
Talitha kontan membeliak. "Papa apa-apaan, sih?!! Deon ini baru dateng ke
sini, lho, Pa, dan hubungan kami juga belum lama! Pelaminan apa—"
"Iya,
Pa. Pasti. Aku bakal jaga Talitha sampai kapan pun. Aku bisa mastiin kalau
Talitha adalah calon istriku karena aku punya rencana untuk ngelamar dia dalam
waktu dekat."
Talitha
kontan menganga. Mama Talitha, Papa Talitha, dan Gavin juga langsung menganga.
"Kamu
setuju, ‘kan, Sayang?" bisik Deon dengan lirih di telinga
Talitha; pria itu tersenyum seraya membelai kepala Talitha.
HAH?
APA-APAAN INI?!! []
******
No comments:
Post a Comment