Sunday, April 27, 2025

Petualangan Detektif Zavie (Bab 3: Adek Zavie Galau)

 


******

Bab 3 :

Adek Zavie Galau

 

******

 

ZAVIE akhirnya pergi lagi ke halaman belakang rumahnya: ke taman bunga hydrangea itu. Kucing putih itu masih ada di sana. Kali ini, Zavie keluar diikuti oleh Coco. Kucing berwarna coklat itu berlari mengikuti Zavie begitu dia melihat Zavie berlari ke halaman belakang rumah.

            Zavie membawa satu mangkuk kecil makanan kucing dan satu mangkuk kecil air minum. Tadi, saat Zavie bercerita pada mamanya bahwa kucing putih itu ternyata masih ada di sana, ujung-ujungnya dia menangis. Suara tangisnya tidak kencang, tetapi air matanya tak kunjung berhenti. Dia terlihat sangat sedih; pikirannya ke mana mana. Berkali-kali dia usap air matanya, tetapi air matanya deras sekali. Zavie enggak pernah sekepikiran itu dengan sesuatu, bahkan ketika memikirkan hadiah ulang tahun apa yang bakal Kak Atlas kasih buat dia tahun lalu.

Berarti, kucingnya cemaleman kelaperan. Berarti, kucingnya cemaleman kedinginan. Berarti, kucingnya cemaleman cendirian. Cemaleman. Javi udah jahat banget karena ninggalin kucingnya cendirian di luar.

Memikirkan itu, Zavie jadi menangis sesenggukan di depan Mama. Lantas, Mama pun mulai berjongkok di depan Zavie, lalu membelai puncak kepala anak itu. Mama menghela napas, lalu berkata, “Ya udah, biar Mama siapin dulu makanan sama minumannya. Zavie kasih makan kucingnya, ya.”

Begitu mendengar ucapan Mama, tangisan Zavie pun perlahan-lahan mulai berhenti. Namun, napasnya masih tersendat-sendat saat menjawab, “He—he-em, Ma—ma… J—Javi b—ba…wa…makanan—nya…

Mama pun tersenyum lembut, lalu mengangguk. Wanita paruh baya itu mulai berdiri, lalu berjalan ke dekat rak gantung dapur untuk mengambil toples makanan Coco. Ia menuangkan makanan kucing itu ke sebuah mangkuk kecil, lalu bergerak lagi untuk menuangkan air putih ke mangkuk kecil yang lain. Setelah semuanya siap, ia pun mendekati Zavie dan memberikan kedua mangkuk itu kepada Zavie.

“Ini. Bawanya pelan-pelan, ya. Udah dulu nangisnya. Kalo Adek nangis, nanti makanan sama airnya tumpah.”

“U—ung,” jawab Zavie seraya mengangguk. Mama mengusap air mata Zavie pelan-pelan, lalu berkata, “Ya udah, gih. Nanti kucingnya tambah laper.”

Zavie langsung mengangguk cepat. Si kecil yang mukanya celemotan air mata dan ingus itu mulai berbalik—meninggalkan Mama—lalu pergi ke halaman belakang rumah mereka. Coco, yang kebetulan baru lewat di dapur, ujung-ujungnya jadi ikut berlari. Dia tak mau ketinggalan apa pun yang dilakukan oleh tuannya.

Jadi, di sinilah Zavie sekarang: di depan taman bunga hydrangea. Ia meletakkan mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa itu di permukaan tanah, lalu berjalan mendekati kucing putih itu. Ia mulai masuk ke rumpun tanaman hydrangea itu dan meraih kucing tersebut agar keluar dari sana.

Begitu berhasil membawa kucing itu keluar, Zavie pun langsung meletakkan kucing itu di depan mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa. Tak ayal, kucing itu pun mulai makan dengan lahap.

Zavie dan Coco kini sama-sama memperhatikan kucing itu.

Ya ampun…

Kucingnya laper banget….

Ah, bagaimana ini? Menyadari betapa laparnya kucing itu, mata Zavie jadi berkaca-kaca lagi. Rasa bersalah semakin menggerogotinya. Dia mulai mewek, tetapi cepat-cepat dia menghapus air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya itu.

Sialnya, mendadak Coco malah mau ikut makan di mangkuk itu. Kelakuan Coco yang tak-tau-situasi itu jadi mengganggu momen sedihnya Zavie. Orang lagi sedih, eh si Coco malah sibuk mau ikut makan. Zavie—yang tadinya hampir menangis—sekarang jadi sibuk menarik badan dan ekor Coco berkali-kali supaya Coco tidak ikut makan di mangkuk itu. Dasar Coco, padahal di rumah keljaannya makan telus!

Coco mungkin tahu kalau itu adalah makanannya. Lagi pula, kucing rata-rata memang lapar terus, ‘kan? Perut mereka cuma sejengkal, tetapi makannya mungkin bisa sebakul.

Saat kucing putih itu telah menghabiskan makanannya (dan sudah minum juga), Zavie pun tersenyum lembut. Dengan penuh kasih sayang, Zavie mulai mengelus-elus kepala hingga badan kucing itu. “Udah kenyang, ya?”

Kucing itu sempat mendengkur, lalu menjawab, “Meow…”

“Hehe…” Zavie tertawa kecil, agak terharu. Namun, beberapa saat kemudian…bocah itu terdiam. Tatapan matanya mulai terlihat sedih lagi.

“Kamu kemaren kok nggak dijemput, ya…” tanya Zavie, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Meow…?”

“Huh…” Zavie mengembuskan napasnya dengan berat. Kalau saja Zavie kenal pemilik kucing ini atau pernah bertemu dengan kucing ini sebelumnya, niscaya permasalahannya tidak akan sesulit ini. Lagian, kok bisa, sih, ada orang yang lupa menjemput kucing secantik ini? Coco saja sampai naksir saking cantiknya.

Manucia zaman cekarang emang udah gila cemua, pikir Zavie.

Zavie menghela napas. Ya sudah, deh. Kali ini, Zavie akan menemani kucing putih ini. Walau sampai sore pun, Zavie akan menemaninya. Setidaknya sampai Zavie melihat kucing putih itu dijemput oleh pemiliknya.

“Ciiiip, deh! Ayo kita main! Javi temenin kamu, ya, campe kamu dijemput!!” teriak Zavie dengan girang. Dia pun mulai mengajak dua kucing itu bermain lari-larian. Ia bahkan sempat masuk ke rumah dan mengambil bola karetnya untuk dimainkan bersama dua kucing itu. Induk ayam yang kebetulan lagi lewat di sana—lagi mencari makan bersama anak-anaknya—pun tak sengaja terkena lemparan bola karet itu sampai dia mengamuk pada Zavie karena telah membahayakan anak-anaknya. Zavie enggak suka dikejar induk ayam, soalnya induk ayam biasanya garang banget. Kucing Zavie pun enggak mau membela kalau Zavie sudah punya masalah dengan induk ayam. Enggak mau ikut campur, deh, pokoknya. Biasanya, yang berani ngelawan induk ayam itu di daerah sini cuma kucing oranye punya Pak RT.

Namun, lupakan soal induk ayam.

Pada hari itu, Zavie sama sekali tak menyangka bahwa hingga senja tiba,

…pemilik kucing putih itu ternyata tak datang juga.

Saat langit sudah berwarna oranye seperti ikan salmon, langkah Zavie pun terhenti. Dia tahu bahwa jika warna langit sudah terlihat seperti warna ikan salmon yang sering Papa makan di sushi, maka dia harus pulang. Jadi, dia pun mulai melihat ke sekeliling…

…dan tidak menemukan seorang pun.

Tidak ada siapa pun yang menuju ke sana.

Tidak ada siapa pun yang menjemput kucing putih itu.

Jantung Zavie mendadak langsung berdegup kencang. Rasa sedih kembali menghampirinya. Tubuh kecilnya mulai bergetar…dan napasnya mulai tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca.

Seraya mengepalkan tangannya, Zavie pun berlari ke rumah. Zavie menaiki tangga dan langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang. Pintu belakang rumahnya itu ada di dapur, jadi begitu Zavie melewati pintu itu, ia jelas langsung berada di dapur. Coco mengikutinya dari belakang.

Zavie langsung menangis kencang. Ia berteriak di dapur itu, memanggil mamanya dengan putus asa. “MAMAAAAA…! MAMAAAA!! MAAAA!! HUAAAAA...”

Kontan saja Mama berlari ke dapur dengan ekspresi panik. Mama langsung berjongkok di depan Zavie dan menyeka air mata anak bungsunya itu dengan cepat. Dengan khawatir, Mama pun berkata, “Lah, kenapa, Dek? Heh—astaga, kenapa? Ada apa? Hei! Kenapa? Bilang sama Mama! Kok tiba-tiba nangis lagi??!”

“MAMAAA…!” Zavie menangis sesenggukan. “M—MA—MAAA…!”

“Iyaaaa…ini Mama. Kenapa, Nak?” tanya Mama, dia masih terdengar panik. Astaga, ini Papa sama Atlas belum pulang. Kalau sudah pulang, mungkin semuanya jadi berkumpul di dapur gara-gara mendengar tangisan Zavie.

“Mamaaa…” Zavie mengusap air matanya sendiri dengan kaus yang ia pakai. Ingusnya mulai keluar. Napasnya tersendat-sendat sampai Zavie mengeluarkan suara ‘Hik, hik’ sambil menangis.

“Adek kenapa, sih? Ada luka??” tanya Mama khawatir. Biasanya, Zavie jarang terluka sebab halaman belakang rumah sudah sering dibersihkan oleh Papa. Mengingat Zavie selalu main di sana, Papa jadi rajin memastikan kalau tidak ada benda tajam apa pun yang tertinggal di sana, seperti pecahan kaca atau potongan kayu yang tajam.

Zavie menggeleng. “Enggaaak, Mamaaaa…”

Mama lantas mengernyitkan dahi. “Jadi, kenapa nangis?!”

“Kuciiiing, Maaaa…” jawab Zavie, matanya masih mengeluarkan air mata. “Kucing putihnya…belum dijemput campe cekarang, Maa… Yang punya kucingnya belum dateng juga, Ma… Ini udah core… Kucingnya kacian, Ma…”

Mata Mama membulat.

Oalah…

Dahi Mama berkerut. Jujur saja, Mama juga mulai merasa kasihan dengan kucing itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga…kucing itu ada pemiliknya. Kalau tidak ada, mengapa kucing itu memakai kalung? Masa iya kucing liar pakai kalung?

Mama mulai menghela napas.

“Jadi, Adek maunya gimana?” tanya Mama dengan sabar.

Zavie menghentikan tangisnya. Pelan-pelan, si kecil itu mulai menyeka air mata beserta ingusnya dengan bajunya sendiri. Baju itu sampai basah karena air mata dan ingusnya. “Boleh nggak, Ma, kucingnya Javi ambil aja?”

Situasi tiba-tiba jadi hening.

Mama diam selama beberapa detik.

Namun, berbeda dengan apa yang Zavie harapkan, ternyata…

…Mama menggeleng.

Mama menolak permintaan Zavie.

“Jangan dulu. Takutnya ntar pemiliknya nyariin. Mungkin pemiliknya belum tau aja kalo kucingnya ada di sini,” jawab Mama.

Mendengar jawaban dari Mama, tak ayal Zavie kembali menangis. Kali ini, tangisannya terdengar begitu pilu.

Astagaaa… Kalo ditinggal lagi, nanti kucingnya cendirian lagi. Kelaperan lagi. Javi kacian cama kucingnya… Nanti kucingnya pingcan…

“Mamaaaa… Kita ambil aja, yaaa, Ma? Hmmm?” rayu Zavie sekali lagi. Dia merengek-rengek seraya mencengkeram tangan Mama. “Kacian, Ma… Kucingnya cemaleman cendirian di luar… Kelaperan, kedinginan, kecepian… Kucingnya nanti cakit, Ma…”

Memikirkan kucing itu yang kedepannya mungkin akan meringkuk karena sakit membuat Zavie semakin menangis. Air matanya tak terbendung.

Mama kembali menghela napas.

“Adeeek, denger dulu. Mama juga kasian sama kucingnya, tapi kita nggak boleh ambil punya orang sembarangan. Itu kucing orang, Dek,” jawab Mama dengan prihatin; alis Mama nyaris menyatu.

Zavie langsung melebarkan matanya. “Terus kalo kucingnya nggak dijemput-jemput gimana, Maaa…?”

Mama terdiam. Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah dan mata Zavie yang sembap. Pipinya basah karena air mata. Napasnya tak beraturan. Kausnya juga basah karena sudah dipakai untuk mengelap air mata serta ingusnya berkali-kali.

Melihat keadaan Zavie yang kacau begitu, Mama jadi merasa dilema. Mama kasihan dengan kucing itu—apalagi Zavie juga kelihatan sangat sedih—tetapi bagaimanapun juga…Mama tak mau mengambil kucing punya orang.

Ujung-ujungnya, Mama tetap teguh pada pendiriannya.

“Jangan diambil. Kita tunggu dulu pemiliknya,” kata Mama dengan tegas.

Zavie kontan terkejut. Matanya membulat dan napasnya tertahan tatkala mendengar jawaban dari Mama. Ternyata, Mama tidak berubah pikiran. Mama tetap tidak memperbolehkan Zavie untuk mengambil kucing itu.

Karena merasa kecewa, Zavie pun jadi semakin mewek. Bocah berbau matahari itu pun langsung berbalik dan meninggalkan mamanya. Dia pergi ke teras belakang rumahnya, lalu berdiri di sana sambil menatap ke taman bunga hydrangea. Di sana ada kucing putih itu; kucing itu sedang menjilat-jilat tubuhnya sendiri. Namun, tatkala sadar bahwa ada makhluk yang sedang memperhatikannya dari atas (dari teras rumah panggung itu), perlahan-lahan kucing itu pun melihat ke arah Zavie.

Saat mata mereka bertemu, Zavie spontan menangis sesenggukan. Dia tertunduk, bahunya jatuh, dan berkali-kali ia mengusap air matanya dengan lengannya sendiri. Namun, air matanya tak kunjung mau berhenti.

Ia jadi galau di sana, di teras belakang rumahnya, sambil terus memandangi kucing itu.

 

******

 

Kegalauan Zavie yang memprihatinkan itu bertahan hingga empat hari lamanya.

Dalam empat hari itu, Zavie jadi sangat murung. Dia jadi pendiam. Anak kecil yang biasanya aktif lari sana lari sini, aktif kepoin tetangga, aktif mengikuti tarian atau menyanyikan lagu opening Crayon Shin-chan, aktif mencari tahu kegiatan Kak Atlas, sekarang jadi sering duduk di teras belakang rumah sambil memandangi kucing putih yang ada di taman bunga hydrangea. Namun, entah mengapa kucing itu pun tak pernah pergi dari sana; dia selalu menunggu kedatangan Zavie.

Zavie akhir-akhir ini hanya bergerak saat memberi makan kucing itu dan menemaninya di taman bunga hydrangea. Saat senja tiba, Zavie pun akan memandangi kucing itu dari teras belakang rumah sambil merenung. Menatap kucing itu dengan nelangsa.

Zavie tidak selera makan. Setiap kali disuruh makan, ia hanya mau makan beberapa suap, itu pun karena dipaksa oleh mamanya. Dia menghabiskan waktunya, dari pagi sampai sore, hanya untuk menemani kucing putih itu dan bersedih hati. Dalam empat hari ini, dia sudah pergi ke rumah tetangga-tetangga yang ada di sekitar sana, tetapi tak ada orang yang mengaku bahwa kucing itu adalah milik mereka. Seolah-olah…kucing itu datang dari tempat yang sangat jauh.

Zavie masih ingat dengan jelas bagaimana dia menanyai para tetangga sambil membawa kucing putih itu. Dia akan mengangkat kucing itu dan menunjukkan muka kucing itu ke semua orang.

“Tanteee, ini kucing punya Tante bukan?”

“Ooooom, Om kenal cama kucing ini nggak?”

“Kakek, ini kucing punya kakek bukan?”

“Mbaaak, mbak kenal orang yang punya kucing ini?”

Zavie benar-benar berjuang.

Di sisi lain, kegalauan Zavie itu bukan tak disadari oleh Mama. Seperti sore ini, saat Mama sedang mengaduk semur ayam yang ia masak di kuali. Melalui pintu belakang rumah yang terbuka, Mama bisa melihat Zavie yang lagi-lagi sedang duduk di teras belakang sambil memandang ke arah taman bunga hydrangea. Bahu anak kecil itu tampak turun; ia merenung dengan ekspresi sedih seolah-olah baru saja ditinggal oleh pujaan hati.

Tiba-tiba saja, saat Mama sedang terdiam karena memperhatikan Zavie, Mama mendengar sebuah suara.

 

“Ma, Zavie kenapa?”

 

Mama kontan menoleh ke samping dan menemukan anak pertamanya, Atlas, sedang melangkah mendekatinya sambil melihat ke teras belakang rumah. Melihat Zavie.

Saat Atlas telah berdiri di sebelah Mama, Mama pun kembali melihat ke teras belakang dan menjawab, “Nggak tau, tuh, adekmu. Masih galau.”

Atlas menyatukan alisnya. “Galau kenapa?”

Ah, ya. Atlas dan papanya memang belum tahu apa-apa. Namun, setelah empat hari berlalu…ternyata Atlas yang dingin pun mulai menyadari keanehan Zavie. Atau jangan-jangan…Atlas sudah tahu lebih awal dan baru menanyakannya sekarang?

Mama menghela napas. Diam selama dua detik…hingga akhirnya Mama mulai menjawab, “Nggak… Si Coco, kan, akhir-akhir ini sering banget maen sendirian ke taman bunga yang ada di belakang, makanya adekmu penasaran kenapa si Coco ke sana terus. Pas dia cari tau, ternyata ada kucing putih di situ. Kucingnya pake kalung, jadi pasti ada pemiliknya. Dari beberapa hari yang lalu, adekmu udah nungguin pemilik kucing itu buat ngejemput kucingnya, tapi ternyata kucing itu nggak dijemput-jemput. Makanya, adekmu sampe nangis. Dia sempet minta izin ke Mama buat ngambil kucing itu, tapi Mama larang gara-gara takut pemiliknya nyariin. Jadi, dia tambah galau.”

Mendengar penjelasan dari Mama, Atlas mulai mengernyitkan dahinya. Ia pun memandangi Zavie dengan mata yang sedikit menyipit.

            Kucing putih…?

 

******

 

“Javi udah celecai, Ma,” ujar Zavie tiba-tiba saat Mama baru saja mau menyuapinya sesendok nasi. Itu baru suapan keempat dan Zavie sudah ingin menyelesaikan makan malamnya. Zavie menolak suapan itu dan mengalihkan pandangannya dari Mama. Kedua mata Mama kontan membeliak.

“Lho, Dek, baru empat suap—" ucapan Mama langsung terputus karena Zavie tiba-tiba turun dari kursinya dan langsung berjalan meninggalkan ruang makan. Meski Mama telah memanggilnya berkali-kali, Zavie tetap berjalan ke kamarnya dan langsung menutup pintu kamar itu begitu ia masuk ke sana.

Ketiga orang yang tersisa di ruang makan itu jadi sama-sama terdiam. Mereka semua memandang kepergian Zavie dengan heran. Zavie biasanya makan dengan lahap, tetapi beberapa hari ini bocah itu benar-benar tak selera makan. Well, seperti yang sudah diduga, kali ini Papa pun mulai heran.

“Ma, Adek kenapa?” Papa bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Papa liat kayaknya akhir-akhir ini dia murung… Papa ada salahkah?”

Mama menghela napas. Kali ini, bahu Mama pun tampak turun; Mama mulai bingung.

Mama akhirnya menatap Papa, lalu berkata, “Papa inget nggak, waktu itu Zavie pernah bilang ke Papa kalo Coco kayaknya punya temen baru?”

“Hmm, hmm.” Papa mengangguk. “Terus?”

“Itu, ternyata Coco memang dapet temen baru. Kucing putih. Kucing itu ada di belakang rumah, di tanaman hydrangea. Coco rupanya sering main ke situ karena ada kucing itu. Kucingnya pake kalung, jadi Zavie nungguin pemiliknya buat ngejemput kucing itu, tapi ternyata nggak dijemput-jemput.” Mama kembali menghela napas. “Beberapa hari yang lalu, Zavie minta izin ke Mama buat ngambil kucingnya, tapi…Mama larang. Makanya, dia jadi murung gitu. Apalagi, setelah empat hari pun, ternyata kucing itu belum juga dijemput sama pemiliknya.”

Setelah menjelaskan dengan panjang lebar, Mama pun menunduk. Ia terdiam.

Atlas sejak tadi juga hanya mendengarkan ucapan mamanya.

Akan tetapi, lima detik kemudian…tiba-tiba Papa membuka suara.

 

“Ya udah, bawa masuk aja kucingnya. Kan udah beberapa hari ditungguin. Kalo belum dijemput juga, ya berarti memang nggak dicari sama pemiliknya. Harusnya udah nggak apa-apa kalo kita pelihara. Kasian juga kucingnya tidur di luar terus sampe berhari-hari, apalagi si Adek kayaknya udah sayang sama kucing itu.”

 

Kontan saja mata Mama membelalak. Mama menganga.

“Serius, Pa? Boleh?”

Papa tersenyum lembut. Pria paruh baya itu lantas mengangguk. “Iya, serius. Boleh. Bawa aja kucingnya masuk. Kita pelihara aja. Papa nggak mau bocil Papa yang satu itu jadi murung. Kayaknya udah berhari-hari Papa nggak denger celotehannya. Rumah ini jadi sepi banget.”

Mama langsung tersenyum semringah. Ia mengembuskan napasnya lega; matanya berkaca-kaca tatkala menatap Papa. “He-em. Makasih, ya, Pa. Mama udah ngerasa bersalah banget. Hati Mama nggak tenang. Kemaren-kemaren, Mama takut banget mau ngambil kucingnya...”

Papa tertawa kecil. “Ya udah, besok ambil aja kucingnya, Ma. Kasih tau sama Adek.”

Mama pun menghapus air matanya. Wanita paruh baya itu lantas menatap Papa kembali, lalu tersenyum dan mengangguk. “Iya.”

 

******

 

Hari ini hujan.

Ini sudah siang. Namun, bukannya makan atau tidur siang, Zavie malah keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Mama. Mama sedang mencuci pakaian, jadi Mama tidak tahu kalau Zavie diam-diam mengambil jas hujan warna coklatnya di dalam lemari dan pergi ke belakang rumah begitu ia mendengar suara hujan. Zavie ingin pergi menemui kucing putih itu. Hujannya cukup deras dan kucing itu masih ada di luar.

Kucingnya bakal kehujanan. Kucingnya bica cakit! Kucingnya pasti kedinginan, badannya pacti bacah cemua!!

Makanya, di sinilah Zavie. Dia berjongkok di depan tanaman hydrangea itu, memperhatikan si kucing putih yang terduduk di antara daun-daun bunga hydrangea. Mencoba untuk berteduh di bawah rumpun tanaman hydrangea itu. Kucing itu tampak kedinginan; sebagian bulunya mulai basah. Dia terus menjilat-jilat tubuhnya sendiri.

Zavie menatap kucing itu dengan sedih. Kelopak matanya turun tatkala menatap kucing itu. Zavie tampak sangat…lesu. Rasanya dunia ini kayak mau berakhir saja.

Sesaat kemudian, Zavie mulai tertunduk. Dia hanya memikirkan penderitaan kucing itu, padahal sebenarnya dirinya pun sedang berada di bawah hujan.

Kepala kecilnya itu dipenuhi dengan kesedihan sampai-sampai dia tak sadar bahwa hujan mulai turun semakin deras.

Cakit. Cakit banget. Javi enggak mau pulang. Biar Javi kehujanan juga.

Lama Zavie terdiam. Ia terus merenung di sana, berjongkok…sambil menunggu hujan reda. Kadang-kadang ia menunduk, kadang-kadang ia memperhatikan kucing itu dengan tatapan sedih.

Beberapa menit kemudian, saat Zavie sedang menunduk, tiba-tiba saja dia melihat ada sebuah bayangan berbentuk lingkaran gelap di tanah. Tanah di sekitar Zavie itu basah, tetapi tentu saja bayangan itu terlihat dengan jelas. Bayangan itu terlihat seperti…bayangan sebuah payung.

…eh?

Kalau dipikir-pikir…sepertinya kini tak ada air hujan lagi yang menetes di kepala Zavie.

Dengan pelan, Zavie pun akhirnya menoleh. Si kecil itu langsung mendongak karena agaknya…ada orang yang tengah memayunginya dari atas.

Begitu Zavie melihat ke atas, meskipun tubuhnya terasa lemas, perlahan-lahan…mata Zavie melebar.

Soalnya, di sana…

 

…ada Kak Atlas.

 

Orang yang sedang memayunginya…adalah Kak Atlas.

 

Namun, belum sempat Zavie mengatakan apa-apa, tiba-tiba Kak Atlas mulai bersuara.

 

“Dek, ayo pulang.” []

 












******




Wednesday, April 23, 2025

My Man (Bab 9)

 


******

Bab 9 :

 

PESAWAT yang dinaiki oleh Chintya akan landing sebentar lagi. Saat pertama kali Deon mendengar bahwa Chintya sedang on the way ke Indonesia, sejujurnya pria itu agak heran. Entah dari mana Darwin mengetahuinya. Deon sudah tahu bahwa Chintya akan datang ke Indonesia, tetapi tak ia sangka akan secepat ini.

Benar saja. Malam itu, setelah Deon diberitahu oleh Darwin, Chintya tiba-tiba menghubungi Deon. Dari suaranya…Chintya terdengar begitu bahagia. Chintya berkata bahwa ia akan sampai di Jakarta besok. Obrolan singkat itu berakhir dengan Chintya yang meminta Deon untuk menjemputnya besok.

Jadi, saat ini Deon sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput Chintya. Sudah beberapa menit berlalu dan pasti sahabatnya itu sudah sampai. Deon melihat jam tangannya, lalu pergi ke tempat di mana Chintya akan muncul bersama dengan penumpang lainnya.

Seperti biasa, bandara itu ramai sekali. Deon berdiri di salah satu sudut, lalu membuka kacamatanya dan menyipitkan mata, mencari Chintya. Tak lama kemudian, ia melihat seorang perempuan cantik yang melambaikan tangan seraya meneriakkan namanya.

"Deoooon!!"

Deon tersenyum simpul. Dia tak sadar bahwa sedari tadi orang-orang di sekitarnya menahan teriakan ketika melihatnya. Dia tampan; dia mantan aktor dan model terkenal dari Taiwan. Agaknya, ada banyak orang yang memfotonya sedari tadi.

Chintya berlari sembari menarik kopernya, mendekati Deon. Chintya pun mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang yang ada di sana karena dia juga seorang model dari Taiwan. Selain itu, dia juga baru debut sebagai aktris.

Chintya adalah perempuan yang cantik, tinggi, seksi, dan modis. Hari ini, dia menggunakan dress di atas lutut. Dress yang bermotif bunga-bunga berwarna pink. Dress itu pas sekali di tubuhnya. Dia juga memakai short jeans jacket untuk menutupi bahunya yang terbuka. Dalam sekali lihat pun, mungkin orang sudah bisa menduga bahwa dia adalah seorang model.

Chintya membuka kacamatanya dan melepas kopernya begitu saja. Dia langsung memeluk Deon di dalam keramaian itu, membuat banyak pasang mata tertuju lagi pada mereka. Banyak orang yang langsung kecewa. Mungkin mereka berpikir, 'Kenapa Tuhan malah nyatuin orang yang sama-sama hampir sempurna gitu? Sungguh nggak adil buat orang yang biasa-biasa aja!'

Chintya memang selalu manja pada Deon. Awalnya, sikap manja itu ia sengaja, tetapi lama-lama malah jadi kebiasaan. Ia memeluk leher Deon dengan erat bagai sudah bertahun-tahun tak berjumpa. Ia tertawa, lalu menghirup wangi dari ceruk leher Deon yang memabukkan.

"Deon, I miss you!" ujarnya, lalu senyumnya merekah. "Kamu kangen nggak sama aku?"

Deon menjauhkan dirinya dengan pelan dari Chintya, lalu tersenyum. "Iya, kangen. Soalnya, kamu itu sahabatku, Chintya."

Chintya mendadak bersungut-sungut; bibirnya mengerucut. Sesungguhnya, bukan itu jawaban yang dia inginkan. Namun, Deon selalu menjawabnya seperti itu. "Deon, kamu selalu bikin suasana hati aku jadi buruk kalo kamu ngucapin itu. Kamu selalu nggak paham sama isi hati aku."

Deon menyatukan alis. "Jadi, kamu mau aku jawabnya gimana?"

Chintya mengeratkan lagi pelukannya di leher Deon dan wajahnya memerah. "Jangan bilang ‘kangen’ atau ‘sayang’ dengan embel-embel sahabat gitu. Aku tahu kalo rasa sayang kamu mungkin lebih dari itu, Deon. Akulah satu-satunya perempuan yang kamu sayangi, ‘kan? Karena itulah, aku nggak bisa jauh dari kamu. Aku akan ada di sini selama yang aku bisa."

Deon melepas tangan Chintya yang ada di lehernya dengan pelan. Pria itu mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum miring. "Kamu baru debut jadi aktris. Kamu yakin mau ninggalin itu?"

Sambil menghela napas, Chintya pun menjawab Deon dengan manja, "Kan itu demi kamu. Apa pun akan aku lakuin kalo itu demi kamu."

Deon tersenyum. "Kamu nggak perlu ngelakuin apa pun, Chintya. Aku cukup bisa ngatur semuanya sendirian. Kamu cuma perlu ngejalanin hidup kamu dengan baik. Jangan buat aku jadi khawatir."

Nah, ini dia. Sikap protektif Deon yang diam-diam selalu Chintya nantikan. Chintya beranggapan bahwa Deon mencintainya karena sikap protektif itu. Chintya selalu beranggapan bahwa Deon takkan pernah memberikan perhatian itu kepada perempuan lain selain dirinya.

Di sisi lain, Deon tak sadar bahwa sikap protektif itu mempengaruhi Chintya. Pria itu hanya menjaga apa yang penting baginya. Chintya adalah sahabatnya dari kecil, jadi gadis itu juga berharga baginya. Namun, tidak lebih dari itu.

Chintya mengangguk pelan. Sebelah tangan gadis itu meraih kopernya, sementara sebelah tangannya lagi memeluk lengan Deon. Mereka mulai berjalan bersama, pergi dari sana.

Chintya kemudian menatap Deon yang lebih tinggi darinya itu dengan mata yang berbinar. "Kamu ganteng banget pake baju direktur."

Deon menatap Chintya dengan mata yang menyipit, lalu ikut berkomentar. "Baju kamu betul-betul terbuka seperti biasa."

Chintya tertawa kecil. "Aku sayang kamu, Deon."

"Hm," deham Deon. Ia seakan telah mendengar Chintya mengucapkan kalimat itu ribuan kali. "Kamu mau aku anterin ke rumah orangtua kamu?"

"Iya, aku udah lama nggak ketemu sama mereka. Aku berkarier sendirian di Taiwan, sementara kedua orangtuaku ada di Indonesia. Well, sebenernya itu nggak terlalu buruk kalo ada kamu. Tapi pas kamu pergi, aku jadi ngerasa bete banget. Taiwan jadi terasa asing," ujar Chintya sembari mengedikkan bahu.

Deon mendengkus. "Kamu milih buat jadi aktris di sana, sementara kamu orang asli Indonesia. Menurut kamu, itu salah siapa? Lagian, Chintya... aku nggak sepenuhnya orang Indonesia."

"Iyaa, sih, tapi…aku…maunya ada kamu..." jawab Chintya malu-malu.

Deon hanya tersenyum simpul. "Kamu ini ada-ada aja."

Saat mereka sudah sampai di mobil, Chintya memasukkan kopernya ke bagasi (dibantu oleh Deon). Setelah itu, mereka berdua pun masuk ke mobil. Chintya memasang seat-belt, kemudian ia menatap Deon dan mendapati bahwa pria itu sedang menelepon seseorang sambil memasang seat-belt-nyaPria itu menunggu panggilan telepon itu diangkat; ponselnya sudah ia tempelkan ke telinganya.

Beberapa saat setelah Deon menyalakan mesin mobilnya, tampaknya telepon itu diangkat. Deon mulai membawa mobilnya menjauhi tempat parkir itu tatkala pria itu berkata, "Halo."

Chintya memperhatikan Deon dengan saksama; ia menatap Deon dengan penuh penantian. Cukup lama Deon terdiam. Namun, ketika mobil itu mulai berjalan dengan santai di jalan raya, Deon kembali berbicara.

"Ada tugas apa hari ini? Bilang sama aku tugas apa yang harus kamu kumpulin hari ini."

Hah? Kamu? Deon berkata...kamu? Dengan siapa pria itu berbicara? Siapa yang sedang ia telepon? Chintya memperhatikan Deon seraya menyatukan alisnya. Ia sungguh ingin tahu siapa orang yang sedang berbicara dengan Deon itu. Tak pernah ia melihat Deon berbicara seperti itu pada seseorang, kecuali dirinya. Pria itu tampak berbeda.

Apa...yang tak Chintya ketahui tentang Deon? Mengapa rasanya kali ini agak...berbeda?

"Aku udah." Deon kelihatan berbicara lagi. "Aku jemput kamu jam enam sore nanti. Tunggu aku di kampus. Jangan ke mana-mana. Kamu harus makan sekarang juga atau aku suruh seseorang ke sana buat mastiin kamu makan. Jangan pancing emosiku."

Mata Chintya membelalak.

Talitha? Deon menelepon seorang perempuan? Selain itu…apa? Deon sampai segitunya untuk memastikan perempuan itu makan? Siapa perempuan itu? Chintya yakin selama ini dialah perempuan yang paling dekat dengan Deon. Tidak pernah ada yang menggantikan posisinya selama ini. Jadi, apa-apaan ini? Siapa Talitha itu?!

Deon orangnya memang posesif, tetapi tak pernah seposesif itu. Deon juga sangat protektif, tetapi tak seekstrem itu. Tatapan matanya jadi sangat tajam ketika perintahnya sepertinya dibantah oleh perempuan itu.

Apa-apaan ini?

Ada...perempuan lain yang Deon pedulikan?

Talitha...?

Di sepanjang jalan, Chintya hanya membuang muka; dia melihat ke luar melalui jendela yang ada di sisinya. Dahinya berkerut. Dia tak ingin marah dengan Deon sekarang karena ia baru sampai. Jika ia marah, itu akan merusak suasana.

Dada Chintya terasa sesak, berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalanya. Tangan Chintya terkepal. Ekspresi wajahnya tampak sangat kesal; ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Dia sayang pada Deon. Perasaannya itu tulus. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk Deon. Namun, ternyata…perkiraannya salah. Dia kira, hanya dialah satu-satunya perempuan untuk Deon.

Chintya ingin melihat perempuan yang bernama Talitha itu. Dia kesal, dia marah, dan dia tak terima. Dia jadi mendengki. Ia ingin percaya bahwa ini semua hanyalah salah paham, tetapi rasa cemburu telah lebih dulu menguasai dan membakar dirinya. Sungguh, ia tak ingin Deon pergi darinya. Dia tak mau. Cintanya pada Deon sangatlah besar. Dia sepenuhnya yakin bahwa dialah yang paling mencintai Deon di dunia ini. Takkan ada yang bisa mengalahkannya. Dia adalah perempuan yang bisa menjaga Deon. Selama ini, Deon dan dirinya juga saling mendukung.

Dia meyakini semua itu. Namun, pada akhirnya dia tak mengatakan apa pun pada Deon.

 

******

 

Talitha menarik ponselnya dari telinga kanannya dan menganga.

"Ye ileh..." ujarnya, ketika mengetahui sambungan telepon itu terputus. Deon memutuskan sambungan telepon itu setelah memaksanya untuk makan sambil marah-marah. Padahal, Talitha sudah ngemil snack kelewat banyak tadi pagi, ia juga makan kue yang biasa lewat di depan rumah kalau di pagi hari.

Basuki, yang tadinya mendengar pembicaraan Talitha di telepon, mulai histeris dan menarik ponsel Talitha dari empunya. Talitha melihat Basuki seraya menyatukan alis. Mata Basuki tampak berbinar saat dia ingin tahu keadaan sambungan telepon itu. Namun, ketika ponsel itu sampai di tangannya, ternyata sambungan telepon itu sudah terputus. Padahal, dia sangat ingin berbicara dengan Pangeran Marco Deonnya. Mana tahu pangerannya itu naksir dengannya dan berpindah dari Talitha ke dirinya, 'kan? Hahaha! Dia rela, deh, diposesifin sama Abang Deon.

Namun, apa-apaan ini? Sambungan teleponnya malah mati.

"Etdah bocah..." ujar Basuki, ia menaruh ponsel Talitha dengan kesal di atas meja seraya memandang Talitha dengan jengkel, "Au ah."

Namun Talitha malah tertawa keras. Gadis itu memegang perutnya yang terguncang akibat tertawa terlalu keras. "Kamvreeeettt!! Elo yang bocah! Kok malah au ah pula, wong yang matiin itu pangeran lo kok! HUANJIIIRRRR BHAHAHAHAHA LU NGIKUTIN IKLAN, ‘KAN?!! Yang ‘Budiiiiiiiiii’ itu!"

"Serah lo, Tai. Bikin kezel aja lo," jawab Basuki.

"Nana, kan, eksis, nggak kayak lo. Nich, ya, Itaik Anyuk yang Kayak Kunyuk, setidaknya Nana lebih pinter dandan daripada lo. Harusnya Pangeran Deon melirikku, bukan melirikmu."

"Ceileh si Bencong," ujar Talitha ketika ia baru berhenti tertawa. "mendadak kata-katanya jadi bagus gitu. Nggak apa-apalah kalo gue nggak eksis. Daripada lo? Pagi mager, siang laper, malem baper."

"Bocah laknat." Mata Basuki memelotot. Cowok jadi-jadian itu mengibaskan tangannya yang gemulai di depan Talitha. "Masih mending gue laper pas siang doang. Gini-gini gue pengin langsing, niich, biar wow di mata Pangeran Deon. Nah elu? Pagi, siang, malem, kerjaannya cuma nyalak, ngakak, abis itu laper. Makanya loe jadi kayak kunyuk terus. Iyuuh."

"Wah, minta digampar nih anak," ujar Talitha sembari tertawa. Basuki mulai lari untuk menyelamatkan diri; dia mulai menertawai Talitha habis-habisan. Talitha mulai melepas sebelah sepatunya untuk dilempar ke kepala Basuki.

 

"Ita?"

 

Talitha, yang baru saja ingin melempar sepatunya (dengan posisi sebelah tangannya terangkat ke atas sambil memegang sepatu), kini terhenti. Dia belum selesai tertawa, tetapi ia tetap menoleh karena merasa terpanggil. Saat ia menoleh kepada orang yang memanggilnya, masih tersisa cengiran di wajahnya.

Mata Talitha sedikit melebar tatkala melihat orang itu. Itu adalah Adlan…dan Gilang. Mereka adalah teman-teman Alfa. Talitha kenal mereka.

Talitha menurunkan tangannya. "Eh, Kak Adlan toh."

Adlan mengangguk dan tersenyum simpul.

"Ngapain, Ta? Kok lempar-lemparan gitu?"

Talitha menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia lalu memakai sepatunya dan nyengir kuda. "Gak ada, Kak. Lagi pengen membasmi spesies makhluk bernama bencong dari dunia ini."

Tanpa Talitha kira, Gilang tertawa terbahak-bahak. Pria berkacamata itu memang selalu lebih error daripada teman-teman Alfa yang lain. Dari luar dia tampak jenius, padahal dalamnya kriminal. Gilang memegangi perutnya karena tak berhenti tertawa mendengar kekonyolan Talitha yang sebenarnya agak memaksa. Terlihat sekali bahwa Talitha sedang berusaha untuk menyembunyikan alasan sebenarnya mengapa dia main lempar-lemparan.

Ah, selera Alfa rupanya junior cewek yang semrawut dan humoris seperti ini. Alfa banget. Kalau Alfa yang banyak diam itu suka sama cewek yang pendiam juga, kan...enggak lucu. Krik banget. Namun, kalau Alfa yang banyak diam itu bertemu dengan Talitha yang stress ini...pasti hidupnya bakal lebih asyik dan berwarna. Yeah, man, Gilang setuju kalau Alfa suka dengan Talitha. Sip dah pokoknya.

"Lha, temen sendiri kok mau dibasmi, Ta?" Adlan tersenyum pada Talitha dan menggeleng. Talitha—dengan tanpa malu—malah tertawa terbahak-bahak di depan para senior yang berbeda fakultas dengannya itu.

Suara tawa Talitha membuat Adlan ikut tertawa. Setelah puas tertawa, Adlan dan Gilang sadar bahwa Basuki telah mendekat ke arah mereka. Mereka semua jadi menoleh kepada Basuki sejenak.

Namun, dua detik setelah itu…Adlan melihat kembali ke arah Talitha dan tersenyum.

"Ita tadi dapet salam dari Kak Alfa," ujar Adlan, "Tadi, Kak Alfanya mau ke sini, tapi dia dipanggil dosen. Jadi, dia bilang ke Kakak buat nyampein salamnya ke Ita."

Talitha melebarkan matanya. Mulutnya berbentuk 'o' dan ia mengangguk saja. "Oke, Kak. Salam balik aja, ya, buat Kak Alfa. Haha."

Adlan tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, dia mengajak Gilang untuk pergi dari sana. Sambil berjalan melewati Talitha, Gilang menyodorkan kepalan tangannya di depan Talitha; ia ingin melakukan fist bump dengan Talitha. Otak Talitha butuh waktu untuk connect, tetapi ketika ia paham, ia pun memukul kepalan tangan Gilang dengan kepalan tangannya sendiri. Setelah itu, Gilang memberikan jempol padanya dan berlalu bersama Adlan.

Talitha cuma bisa nyengir. Basuki menepuk pundaknya hingga membuat Talitha menoleh padanya.

Mata Talitha langsung memelotot. "Nah, di sini lo, Bencong!"

"Eh si Kunyuk nich," ujar Basuki. "udah, dech, ejek-ejekannya. Kak Alfa masih sering nelepon lo yah?"

Talitha mengernyitkan dahi.

"Entah, ya," jawab Talitha. "Kayaknya udah jarang semenjak Deon sering banget meriksa HP gue. Kalo udah sama si Sableng satu itu, semuanya bakal diperiksa. HP gue digeledah tiap hari. Hacep abis."

Basuki tertawa kencang. "Kalo Kak Alfa suka banget sama elo gimana, Say? Eh, jarang-jarang nich, ya, elo bisa dapetin yang kayak Kak Alfa. Ada gosip kalo dia itu bakal pindah universitas, lho, karena mau ambil jurusan Teknik Penerbangan! Udah pasti bakal jadi pilot, tuh. Kan lo jadi enak nantinya. Dapet suami pilot. Udah Kak Alfa alim, baik, manis pula. Calon suami idamannn! Senyumnya itu, lho, njiiiir. Kamvretlah, yang manis-manis emang susah dilupaiiiiinnn aaaaahhh..." desah Basuki. Talitha mulai ngakak.

"Ya udah, lo datengin aja Kak Alfa sono, Nyong. Ngerasa kayak nonton film XXX aja gue denger desahan hebat," ujar Talitha, lalu ia tergelak tambah kencang. Basuki menempeleng kepalanya keras-keras. Ampun dah, si Kunyuk mesum ini ngomong jorok di kampus, bro!

"LOE SADAR GAK SICH KALO KITA LAGI DI KAMPUS?! Idiiw. Please, dech, Itaik Anyukkumaksud gue tuh gini: kalau lo sama Kak Alfa, biar Pangeran Deon untuk gue ajaaachhh... Yihhaaaaa! Asyik asyik, joss!" teriak Basuki penuh kemenangan.

"Si kamvret..." ujar Talitha, ekspresi wajahnya sontak jadi datar. "Cuci muka lo sana!"

 

******

 

Rahang Deon mengeras. Matanya menatap tajam sesuatu yang ada di depan sana, di balik kaca depan mobilnya. Menghalangi dirinya untuk turun dari mobil ketika ia sampai di depan gedung apartemennya. Para wartawan itu lagi. Kilatan dari kamera-kamera itu seolah bisa menembus kaca mobilnya. Mereka berhasil mengambil ratusan foto yang menampakkan wajah Deon di dalam mobil. Seolah tak puas, mereka juga mengetuk-ngetuk jendela mobil Deon. Ini selalu terjadi di mana pun Deon berada meskipun Deon tidak lagi bekerja di dunia entertainment. Deon sudah sepenuhnya berhenti dari dunia itu dan sudah tidak ingin lagi membahasnya meskipun ia menikmati pekerjaan itu beberapa waktu sebelumnya. Talitha—yang ada di samping Deon—kini menatap ke jendela yang ada di sisinya dan di sana juga ada banyak wartawan yang mengetuk-ngetuk jendela itu dengan tak sabar. Talitha refleks menjauhkan wajahnya dari jendela itu dan menganga.

Gadis itu kontan menggeleng. "Widiiih, jadi ini toh yang dirasain sama orang terkenal? Alamakjang... Enak banget nyiram muka orang-orang ini rasanya. Kayak nggak ada kerjaan aja, bruh!"

Talitha sudah mulai jengkel. Ia berdecak. Ia lalu menatap Deon, ingin meminta izin pada Deon agar Deon membolehkannya keluar dan menyiram para wartawan ini. Namun, saat melihat Deon, Talitha langsung menyatukan alis.

Deon tengah mencengkeram roda kemudi dengan kencang; Deon tampak murka. Talitha meneguk ludahnya dan mengelus dada. Mudah-mudahan, para wartawan ini nanti tidak terkapar semua. Amin, deh.

Deon mengambil ponsel pria itu yang terletak di atas dashboard. Dengan ekspresi wajah yang tampak kesal, pria itu mulai menelepon seseorang.

Talitha terperanjat ketika mendengar Deon langsung membentak orang yang ia telepon.

"I told you not to let this happen again, didn't I?! And what just happened? I can't hold it in like usual because this is the worst! What did you do, exactly?"

"Now tell them that I will not talk about this anymore. I’m done. I don’t want to see anything like this again. Even in Taiwan, Indonesia, or any other country I have to visit, you understand?!" Deon menutup telepon itu dengan napas memburu. Pria itu mencengkeram ponselnya dengan kuat.

Talitha menganga.

Glek.

"Gila serem..." ucap Talitha tanpa sadar, tetapi sialnya ucapannya itu langsung membuat Deon menatapnya. Dia bermaksud ingin berbisik saja, tetapi suaranya malah terdengar keras. Kontan saja dia membelalakkan mata; dia pun nyengir sok tak berdosa ketika Deon menatapnya dengan mata menyipit.

Ya, biasanya memang ada paparazi, tetapi tak pernah separah ini. Kali ini paparazinya banyak sekali dan semuanya sangat agresif seolah Deon baru saja melakukan skandal atau baru saja melakukan the hottest and greatest comeback seperti Justin Bieber di setiap albumnya. Namun, ini beda. Entah apa alasannya, Deon diserbu seperti ini, padahal ini sudah agak lama sejak Deon berhenti.

Deon menatap Talitha dengan tajam. "Jangan turun sebelum aku yang membukakan pintu untuk kamu."

Setelah itu, pria itu keluar dari mobil. Teriakan orang-orang pun makin kencang. Deon tak diiringi pengawalnya dan tentu saja baju Deon langsung ditarik-tarik. Mereka terus mendesak Deon, lalu menghadang Deon ketika pria itu ingin membukakan pintu mobil untuk Talitha. Namun, dengan ekspresi wajah yang terlihat menahan amarah, Deon tetap mengulurkan tangannya untuk mendorong siapa pun yang menghalanginya agar ia bisa lewat. Ia menyingkirkan para wartawan yang sibuk menghadangnya dan mendesaknya itu. Saat ia sudah sampai, ia pun langsung membukakan pintu untuk Talitha.

Talitha membuang dan menarik napasnya berkali-kali ketika ia ingin keluar. Ia seolah mengancang-ancang untuk melangkah di jalan yang penuh duri. Saat ia baru saja mau turun, tiba-tiba saja Deon menariknya keluar dari mobil itu dengan cepat, lalu Deon menutup pintu mobil itu kembali.

Talitha meneguk ludahnya. Matanya melebar dan tak berkedip. Saking lebarnya ia menganga, mulutnya mungkin bisa dimasuki oleh ratusan lalat. Sejak ia keluar, suara para wartawan itu terdengar semakin kencang. Ratusan pertanyaan dari para wartawan itu saling menyusul dan membuat kepala Talitha panas. Rasanya Talitha ingin menutup telinga dan matanya. Mereka semua membuat Talitha ingin menendang mulut mereka satu per satu karena tak berhenti bertanya. Selain itu...Deon menggenggam tangannya dengan kuat karena sedang marah.

Mati. Jangan sampai emosi Deon meledak-ledak di sini. Talitha tak yakin kalau Deon dahulu pernah mengamuk di depan wartawan, jadi sekarang sebaiknya image itu dijaga saja. Bisa gawat kalau Deon mengamuk di sini. Lagipula apa tepatnya alasan yang membuatnya begitu marah? Punggungnya tampak begitu lebar dan tegap saat dilihat dari belakang oleh Talitha, tetapi punggung itu tampak menahan gumpalan kemarahan.

Mereka berdua terus berjalan dengan tergesa-gesa; mereka ingin cepat masuk ke gedung apartemen. Deon bahkan tak bisa memarkirkan mobilnya di tempat parkir apartemen dan memilih untuk meninggalkan mobilnya di luar gedung karena kesesakan ini. Deon masih mendorong para wartawan yang sedang menghalangi jalannya itu.

Namun, tiba-tiba ada seorang wartawan yang bertanya dengan suara yang sangat keras. "Marco Deon! Apakah Anda berhenti karena tak menyukai pekerjaan Anda sebelumnya?! Atau ada masalah dengan manajer Anda?! Apakah rumor tentang Anda dengan Chintya Valissisa itu benar?! Selain itu, siapa perempuan ini?!! Apakah Anda putus dengan Chintya Valissisa karena perempuan ini?! Apakah rumor yang mengatakan kalau Anda membenci perempuan karena ibu Anda itu benar?"

Sial.

Sial.

Sial!

Deon berhenti. Deon benar-benar berhenti berjalan.

Pundak pria itu sedikit bergetar akibat menahan gejolak kemarahan di dadanya dan Talitha kontan menganga, ia tahu Deon pasti akan memaki wartawan yang tak tahu diri itu. Mata Talitha melebar. Ia tahu ini. Ia tahu apa yang akan terjadi jika Deon sudah disinggung masalah ibunya oleh seseorang yang bahkan tak tahu apa apa.

Melihat Deon, Talitha langsung menatap wartawan itu dengan memasang tampang ngajak ribut. Aura pemalak mulai keluar dari tubuh Talitha.

"Hoi," ujar Talitha tajam.

Wartawan yang masih tampak muda itu menoleh kepada Talitha dan terperanjat. Gila, man, ini memang tampang sadis pemalak. Mengapa pula pemalak bisa digandeng oleh Marco Deon?

"Kalo nanya tuh yang bener ngapa?!" bentak Talitha. "Lagian, kamu—" Talitha menunjuk wartawan yang sebelumnya bertanya dengan keras itu. "kamu itu nanya atau nyindir?!! Mulut tuh dijaga dikit kek!! Edan abis nih orang euy..."

Wartawan itu jadi kaget bukan main karena dibilang edan.

Setelah itu, tatkala Talitha baru saja ingin membuka mulutnya lagi, ia dikejutkan dengan Deon yang mulai mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Deon menggenggam tangan Talitha semakin erat dan pria itu mendengkus.

Matanya yang sebenarnya tadi menggelap karena marah, sekarang sudah digantikan oleh tatapan tajamnya seperti biasa. Dengan penuh penekanan, Deon pun menjawab.

"Aku berhenti karena keinginan aku sendiri. Aku nggak punya masalah sama manajerku. Aku adalah penerus Ayahku dan wajar kalo dia minta aku buat nggantiin dia di usianya yang udah tua." Deon mendengkus lagi. "Aku nggak kencan sama Chintya Valissisa. Dia itu sahabatku dan aku rasa aku udah cukup sering jelasin ini di media massa. Kalian wartawan dari Indonesia pasti udah tahu juga soal ini karena aku pernah ngadain konferensi pers di Taiwan."

Deon lalu melanjutkan meski kamera-kamera itu terus memotret dirinya yang sedang memberikan keterangan panjang. "Rumor itu dilebih-lebihkan. Kami deket karena kami sahabatan. Itu aja."

Tiba-tiba, mata Deon semakin menyipit saat mengatakan, "Satu lagi: aku nggak benci sama perempuan. Aku emang punya sedikit masalah sama Ibuku, tapi ini adalah privasiku. Aku nggak benci sama perempuan karena masalah Ibuku. Itu sama sekali nggak bener.”

Semua orang terus merekam dan memotret Deon.

Namun, ada seorang wartawati yang mulai bertanya, "Jadi, siapa perempuan yang sekarang sedang bersama Anda ini?!"

Semua orang mulai heboh kembali. Mereka bertanya sembari mengiyakan pertanyaan wartawati itu. Talitha mencebikkan bibirnya.

"Eh kamvret...bikin kesel aja njir," bisik Talitha dengan jengkel. Ia lalu menatap Deon. "Oi, Deon, kita jalan aja, yok! Cepet—"

"Calon istriku. Dia calon istriku. Lain kali, aku bakal marah kalo kalian ngebuat dia nggak nyaman kayak ini. Aku benci keributan ini, apalagi kalo lagi bawa dia," ujar Deon sembari menatap tajam si wartawati itu.

Talitha merasa macam diceburkan ke laut.

Ah, tamat. Tamatlah riwayatnya. Deon memang sudah tidak waras lagi. Jadi, Deon tampak sangat murka karena hal sepele begitu? Oi, yang benar saja. Macam serius saja dia mengatakan hal seperti itu. Apa ada besi berkarat yang tersangkut di otak Deon atau bagaimana? Atau kepalanya habis terbentur? Selain itu, Deon masih memikirkan soal pernikahan itu, ya?!

Talitha melihat ke arah para wartawan itu yang kini justru bertepuk tangan sambil bersorak. Ada yang mengucapkan selamat juga; mereka tak bisa menyembunyikan semangat mereka. Yang benar saja, Marco Deon yang selama ini tak pernah berkata bahwa ia punya kekasih di depan media, kini tiba-tiba mengatakan bahwa ia sudah punya calon istri. Ini benar-benar hebat. Dia aktor—bukan, mantan aktor—yang selalu penuh dengan kejutan.

Tampang bodoh Talitha bakal masuk televisi, sepertinya. Si Kunyuk akhirnya masuk televisi. Talitha benar-benar memasang tampang paling bodoh sepanjang masa karena apa yang baru saja Deon ucapkan di depan para wartawan itu.

 

******

 

Gavin mendengar pintu ruangannya diketuk dan ia mengerjap.

"Masuk,” katanya dengan heran. Tadi Pak Zahir sudah masuk untuk memberikan Gavin laporan susulan hasil kerjanya. Jadi, siapa yang mengetuk pintunya? Apa Pak Zahir ketinggalan sesuatu?

Namun, rasanya tidak ada apa pun yang tertinggal.

Sesaat kemudian, pintu kubikelnya terbuka. Kedua alisnya menyatu, sementara matanya melebar ketika melihat seorang gadis dengan rok selutut menunduk singkat padanya dan mendekatinya. Siapa gadis ini?

"Em...Pak Gavin?" kata gadis itu dengan canggung; wajahnya memerah. Gavin semakin heran.

"Em…ya, kamu siapa?" tanya Gavin. Tak ada anggota baru di direksinya beberapa bulan terakhir, tak ada juga anak magang.

Gavin membenarkan kacamatanya pelan ketika gadis itu menyapa, "Selamat siang, Pak. Saya Kanya Destianti. Saya magang di salah satu direksi yang ada di perusahaan ini. Saya...saya mau menyampaikan ini pada Bapak—eh!!" Dia baru saja menyodorkan sebuah amplop kepada Gavin dan amplop itu terjatuh karena tangannya gemetar. Ia kemudian berjongkok dengan cepat dan kikuk. Ia tampak ceroboh.

Gavin baru saja berdiri (ingin membantunya), tetapi gadis itu langsung berteriak untuk menghentikannya. Gavin terkejut. Namun, beberapa detik kemudian, tiba-tiba Gavin membuang mukanya. Ketika gadis itu berdiri kembali, dia mengernyitkan dahinya karena melihat Gavin memalingkan wajah. Apa dia…melakukan suatu kesalahan hingga membuat Gavin sampai membuang muka?

"Em…Pak Gavin?" panggilnya dengan canggung.

Gavin menghela napas dan mengedipkan matanya.

"Kanya," panggil Gavin, mencoba untuk berbicara dengan setenang mungkin. Dia takut gadis itu tersinggung.

"Ya, Pak? A—ada apa, Pak?!!" Kanya terdengar panik karena terlalu malu.

Gavin menghela napas lagi.

"Baju kamu. Kancingnya terbuka. Kamu benerin dulu, biar saya tunggu," ujar Gavin kemudian. Gavin yakin gadis ini baru lulus kuliah dan masih sangat muda, tetapi mungkin hanya berbeda empat tahun darinya. Namun, bagaimana cara gadis itu masuk ke ruangan Gavin, sementara dia bukan magang di direksi Gavin? Dia juga bukan seorang ketua direksi yang bisa sembarangan masuk ke ruangan ketua direksi lain. Terus…kok bisa? Jangan-jangan, ini ulah anggota direksinya? Waduh, sialan sekali anggotanya itu kalau memang benar.

Gadis itu menganga. Wajahnya merah padam dan ia nyaris menangis. Ini sangat memalukan; ia nyaris berteriak ketika berbalik dan mengancingkan bajunya. Kok bisa, sih, kancing bajunya terbuka?

Bikin malu sajaaaa!

Setelah selesai mengancingkan bajunya, ia pun tak tahan lagi. Mukanya memerah seperti kepiting rebus. Ia memilih untuk langsung meletakkan surat itu di meja Gavin dan menunduk hormat. Ia lalu mohon diri dan berbalik dengan terburu-buru.

Sialnya gadis itu malah menabrak Revan yang baru saja masuk ke ruangan Gavin. Gadis itu tampaknya tak melihat jalan lagi.

"Weits." Revan memegang lengan gadis itu, mencegahnya agar tidak jatuh. Mata Revan agak membulat karena tabrakan itu, tetapi sebetulnya dia lebih merasa heran daripada kaget.

Gadis itu mendongak, ia menatap Revan dan mendadak matanya membulat. Dengan cepat, gadis itu menunduk hormat. "Maaf, Pak Revan!! Maafkan saya!!"

"Oke. Nggak apa-apa," ujar Revan santai; dia mengedipkan sebelah matanya pada gadis itu. Gadis itu langsung pergi dengan pipi yang merona.

Lah...

Sembari melihat Gavin dan gadis tadi secara bergantian, Revan pun berjalan menghampiri meja Gavin. "Woi, Nyet, ada apaan, sih?"

Gavin bahkan masih…belum bergerak. Ia masih menatap kepergian gadis itu dengan ekspresi kaget bercampur heran. Ia mematung dan tak bisa berkata apa-apa. Apa...yang baru saja terjadi? Kejadiannya ngebut sekali seperti angin.

"Van, lo kenal tuh cewek?" tanya Gavin, ia butuh waktu sampai akhirnya ia menatap Revan.

Revan menyatukan alis, memajukan bibirnya sedikit...lalu mengangguk. "Iya, gue kenal. Dia baru magang di direksi gue—eh…udah sekitar lima hari, sih. Kenapa emangnya?"

Gavin menganga. Menatap Gavin yang tak mengatakan apa pun, Revan pun mengalihkan perhatiannya ke meja Gavin. Ada sebuah surat di sana. Gavin melihat pergerakan Revan yang dengan santainya membuka amplop itu. Di dalam amplop itu ada sebuah surat. Revan memang suka iseng menyentuh kertas-kertas penting di ruangan Gavin kalau ia sedang mampir. Gavin mengernyitkan dahinya ketika Revan dengan santainya membaca surat itu. Namun, tiga detik kemudian, Revan mulai menatap Gavin seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Heeh... Lo tau nggak ini apaan?" tanya Revan sambil menyeringai.

 

******

 

Talitha masuk ke unit apartemen Deon sambil terengah-engah. Deon baru saja menutup pintu unit apartemen itu ketika Talitha tiba-tiba menoleh kepadanya. "Weeeh... Gila kamu!! Serius, aku pasti kena maki, nih, sama fans kamu! Matilah aku! Kok kamu sebarin, sih? Ntar kalo pernikahannya nggak jadi, kan, malu sendiri! Adoooh! Emang sableng abis kamu nih!"

"Jangan mulai, Talitha. Kamu pasti bakal nikah sama aku," jawab Deon tajam. Tatapan matanya seolah memperingati Talitha. Rahangnya mengeras; dia tak ingin dibantah.

"Heleh Deon…Deon. Terserah kamu aja dah. Entah apa yang nyangkut di kepala ganteng kamu itu. Kubur aja aku hidup-hidup, biar kamu puas sekalian. Nih sableng satu kalo dibilangin susah banget."

"Kepala ganteng?" tanya Deon, pria itu menyatukan alis seraya memiringkan kepalanya. Lagi-lagi, pria itu tak mengerti dengan bahasa Talitha. Talitha yang tadinya kesal plus capek, malah jadi tertawa terbahak-bahak.

Sepanjang hari, yang Talitha lakukan adalah ngakak, ngakak, dan ngakak. Kalau tidak ngakak, ya…menyalak atau makan, seperti tak ada beban di dalam hidupnya. Kalau lagi kesal, dikasih lawakan dikit bakal ngakak. Lagi marah, ujung-ujungnya ngakak. Lagi capek, ngakak. Lagi boker pun, dia ngakak. Tunggu kepalanya putus dulu baru berhenti ngakak.

"Etdah bocah," ujar Talitha. "makanya jangan kaku banget jadi manusia."

"Aku nggak kaku, setauku," ujar Deon. "Kamu aja yang selalu ngeluarin istilah-istilah aneh."

Talitha jadi mengakak setengah mati. Astaga, kok ada, ya, orang kayak begini? Punya berapa kepribadian, sih, dia? Kadang galak, kadang imut, kadang lucu, kadang suka ngerayu, kadang suka nggerepe, kadang baik banget, dan kadang malah jahat banget, macam bisa menelan manusiaDia agaknya suka berubah-ubah, seperti bunglon saja.

"Ah, entahlah, aduh—" Talitha memegangi perutnya yang mulai sakit karena terus tertawa. Melihat Deon yang kebingungan begitu adalah lawakan yang paling lucu baginya. Ia kemudian melanjutkan, "Pokoknya, kalo aku dikejer fans-mu, kujewer kamu ntar. Ngambil tindakan kok gak mikir gitu. Aku yang dikatain kayak kunyuk sama Mamaku aja masih bisa mikir. Kamu masih sehat? Mudah-mudahan, kamu cepet sembuh, deh,” ledek Talitha.

Deon menghela napas.

"Aku nggak sakit, Talitha," jawabnya. "Ayo. Kamu bilang, kamu mau ngambil apel buat Mama di rumah, 'kan? Di kulkas ada banyak. Lebih steril daripada usulan aneh kamu yang pengin beli itu di pasar ikan."

Deon mengungkapkan alasan mengapa mereka pergi ke apartemen Deon, yaitu karena ingin mengambil apel untuk mamanya Talitha. Wanita paruh baya itu tiba-tiba menelepon ketika mereka sedang di jalan tadi.

"Heh! Jangan salah, lho, Deon, ada kok yang jualan buah di pasar ikan modern!! Aku pernah beliii!!!" teriak Talitha ketika ia berlari ke dapur dan mulai membuka kulkas.

Deon menyusulnya dengan santai, lalu pria itu bersandar di kitchen counter ketika Talitha sedang mengeluarkan semua apel itu dari kulkas.

Talitha berdecak kagum sembari menggeleng. "Mantap, bruh… Gede-gede... Warbyazah."

"Kamu bertingkah kayak nggak pernah ngeliat apel yang besar," ujar Deon sembari menggeleng. Pria itu mengernyitkan dahinya. "Sebenernya, yang sableng itu kamu, bukan aku."

Talitha mendadak menatap Deon, lalu mencebikkan bibir sejenak. "Ye ileee, malah ngeledekin orang nih anak. Apa banget coba. Kuraba-raba baru tau rasa."

Deon mengerjap. Setelah itu, Deon menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa nggak kamu lakuin aja?"

Talitha spontan menganga. Ia menatap Deon tak percaya; ia nyaris terjungkal ke belakang saat Deon mengatakan itu.

"Pak, Bapak sehat?" tanya Talitha dengan dramatis.

Deon langsung mendengkus kasar ketika mendengar panggilan 'Pak' itu, jadi Talitha buru-buru minta maaf. Dia tahu Deon benci dipanggil seperti itu olehnya.

Namun, Talitha tiba-tiba berdecak. "Lagian, ngapain, sih, malah nyuruh orang ngeraba-raba badan kamu? Kamu mulai suka digerepe-gerepe, ya? Atau jangan-jangan…kamu penggemar pornografi? Kalo gitu, kita sama."

Deon menghela napas. Ia memejamkan matanya sesaat dan membukanya lagi. "Aku nggak semesum kamu, Talitha."

Talitha tertawa keras bak kesetanan. Dia memang tak pernah punya malu.

Namun, Talitha terkejut ketika tiba-tiba Deon mendekatinya. Deon menutup pintu kulkas itu, lalu mengimpit tubuh Talitha; Deon membuat Talitha jadi bersandar pada kulkas itu dan terjebak di sana.

Deon memiringkan kepalanya. Pria itu lalu menatap Talitha dengan penuh arti. "Tapi kalo kamu mau aku mesum di sini, bukan berarti aku nggak bisa.” []
















******


Chintya:



Deon in casual clothes:



So cuteeee





My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...