Bab
9 :
PESAWAT
yang
dinaiki oleh Chintya akan landing sebentar lagi. Saat pertama kali
Deon mendengar bahwa Chintya sedang on the way ke Indonesia, sejujurnya pria
itu agak heran. Entah dari mana Darwin mengetahuinya. Deon sudah tahu bahwa
Chintya akan datang ke Indonesia, tetapi tak ia sangka akan secepat ini.
Benar
saja. Malam itu, setelah Deon diberitahu oleh Darwin, Chintya tiba-tiba menghubungi
Deon. Dari suaranya…Chintya terdengar begitu bahagia. Chintya berkata bahwa ia
akan sampai di Jakarta besok. Obrolan singkat itu berakhir dengan Chintya yang
meminta Deon untuk menjemputnya besok.
Jadi,
saat ini Deon sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput Chintya.
Sudah beberapa menit berlalu dan pasti sahabatnya itu sudah sampai. Deon
melihat jam tangannya, lalu pergi ke tempat di mana Chintya akan muncul bersama
dengan penumpang lainnya.
Seperti
biasa, bandara itu ramai sekali. Deon berdiri di salah satu sudut, lalu membuka
kacamatanya dan menyipitkan mata, mencari Chintya. Tak lama kemudian, ia
melihat seorang perempuan cantik yang melambaikan tangan seraya meneriakkan
namanya.
"Deoooon!!"
Deon
tersenyum simpul. Dia tak sadar bahwa sedari tadi orang-orang di sekitarnya
menahan teriakan ketika melihatnya. Dia tampan; dia mantan aktor dan model terkenal
dari Taiwan. Agaknya, ada banyak orang yang memfotonya sedari tadi.
Chintya
berlari sembari menarik kopernya, mendekati Deon. Chintya pun mendapatkan
banyak perhatian dari orang-orang yang ada di sana karena dia juga seorang
model dari Taiwan. Selain itu, dia juga baru debut sebagai aktris.
Chintya
adalah perempuan yang cantik, tinggi, seksi, dan modis. Hari ini, dia
menggunakan dress di atas lutut. Dress yang bermotif
bunga-bunga berwarna pink. Dress itu pas sekali di tubuhnya.
Dia juga memakai short jeans jacket untuk menutupi bahunya
yang terbuka. Dalam sekali lihat pun, mungkin orang sudah bisa menduga bahwa
dia adalah seorang model.
Chintya
membuka kacamatanya dan melepas kopernya begitu saja. Dia langsung memeluk Deon
di dalam keramaian itu, membuat banyak pasang mata tertuju lagi pada mereka. Banyak
orang yang langsung kecewa. Mungkin mereka berpikir, 'Kenapa Tuhan malah
nyatuin orang yang sama-sama hampir sempurna gitu? Sungguh nggak adil buat orang
yang biasa-biasa aja!'
Chintya
memang selalu manja pada Deon. Awalnya, sikap manja itu ia sengaja,
tetapi lama-lama malah jadi kebiasaan. Ia memeluk leher Deon dengan erat bagai
sudah bertahun-tahun tak berjumpa. Ia tertawa, lalu menghirup wangi dari ceruk
leher Deon yang memabukkan.
"Deon, I
miss you!" ujarnya, lalu senyumnya merekah. "Kamu kangen nggak
sama aku?"
Deon
menjauhkan dirinya dengan pelan dari Chintya, lalu tersenyum. "Iya, kangen.
Soalnya, kamu itu sahabatku, Chintya."
Chintya
mendadak bersungut-sungut; bibirnya mengerucut. Sesungguhnya, bukan itu jawaban
yang dia inginkan. Namun, Deon selalu menjawabnya seperti itu. "Deon, kamu
selalu bikin suasana hati aku jadi buruk kalo kamu ngucapin itu. Kamu selalu nggak
paham sama isi hati aku."
Deon
menyatukan alis. "Jadi, kamu mau aku jawabnya gimana?"
Chintya
mengeratkan lagi pelukannya di leher Deon dan wajahnya memerah. "Jangan
bilang ‘kangen’ atau ‘sayang’ dengan embel-embel sahabat gitu. Aku tahu kalo
rasa sayang kamu mungkin lebih dari itu, Deon. Akulah satu-satunya perempuan
yang kamu sayangi, ‘kan? Karena itulah, aku nggak bisa jauh dari kamu. Aku akan
ada di sini selama yang aku bisa."
Deon
melepas tangan Chintya yang ada di lehernya dengan pelan. Pria itu mengernyitkan
dahinya, lalu tersenyum miring. "Kamu baru debut jadi aktris. Kamu yakin
mau ninggalin itu?"
Sambil
menghela napas, Chintya pun menjawab Deon dengan manja, "Kan itu demi kamu.
Apa pun akan aku lakuin kalo itu demi kamu."
Deon
tersenyum. "Kamu nggak perlu ngelakuin apa pun, Chintya. Aku cukup bisa
ngatur semuanya sendirian. Kamu cuma perlu ngejalanin hidup kamu dengan baik.
Jangan buat aku jadi khawatir."
Nah,
ini dia. Sikap protektif Deon yang diam-diam selalu Chintya nantikan. Chintya
beranggapan bahwa Deon mencintainya karena sikap protektif itu. Chintya selalu
beranggapan bahwa Deon takkan pernah memberikan perhatian itu kepada perempuan
lain selain dirinya.
Di
sisi lain, Deon tak sadar bahwa sikap protektif itu mempengaruhi Chintya. Pria
itu hanya menjaga apa yang penting baginya. Chintya adalah sahabatnya dari
kecil, jadi gadis itu juga berharga baginya. Namun, tidak lebih dari itu.
Chintya
mengangguk pelan. Sebelah tangan gadis itu meraih kopernya, sementara sebelah
tangannya lagi memeluk lengan Deon. Mereka mulai berjalan bersama, pergi dari
sana.
Chintya
kemudian menatap Deon yang lebih tinggi darinya itu dengan mata yang berbinar.
"Kamu ganteng banget pake baju direktur."
Deon
menatap Chintya dengan mata yang menyipit, lalu ikut berkomentar. "Baju kamu
betul-betul terbuka seperti biasa."
Chintya
tertawa kecil. "Aku sayang kamu, Deon."
"Hm,"
deham Deon. Ia seakan telah mendengar Chintya mengucapkan kalimat itu ribuan
kali. "Kamu mau aku anterin ke rumah orangtua kamu?"
"Iya,
aku udah lama nggak ketemu sama mereka. Aku berkarier sendirian di Taiwan,
sementara kedua orangtuaku ada di Indonesia. Well, sebenernya itu nggak
terlalu buruk kalo ada kamu. Tapi pas kamu pergi, aku jadi ngerasa bete banget.
Taiwan jadi terasa asing," ujar Chintya sembari mengedikkan bahu.
Deon
mendengkus. "Kamu milih buat jadi aktris di sana, sementara kamu orang asli
Indonesia. Menurut kamu, itu salah siapa? Lagian, Chintya... aku nggak
sepenuhnya orang Indonesia."
"Iyaa,
sih, tapi…aku…maunya ada kamu..." jawab Chintya malu-malu.
Deon
hanya tersenyum simpul. "Kamu ini ada-ada aja."
Saat
mereka sudah sampai di mobil, Chintya memasukkan kopernya ke bagasi (dibantu
oleh Deon). Setelah itu, mereka berdua pun masuk ke mobil. Chintya
memasang seat-belt, kemudian ia menatap Deon dan mendapati bahwa
pria itu sedang menelepon seseorang sambil memasang seat-belt-nya. Pria
itu menunggu panggilan telepon itu diangkat; ponselnya sudah ia tempelkan ke
telinganya.
Beberapa
saat setelah Deon menyalakan mesin mobilnya, tampaknya telepon itu diangkat.
Deon mulai membawa mobilnya menjauhi tempat parkir itu tatkala pria itu
berkata, "Halo."
Chintya
memperhatikan Deon dengan saksama; ia menatap Deon dengan penuh penantian. Cukup
lama Deon terdiam. Namun, ketika mobil itu mulai berjalan dengan santai di
jalan raya, Deon kembali berbicara.
"Ada
tugas apa hari ini? Bilang sama aku tugas apa yang harus kamu kumpulin hari
ini."
Hah?
Kamu? Deon berkata...kamu? Dengan siapa pria itu berbicara? Siapa yang sedang
ia telepon? Chintya memperhatikan Deon seraya menyatukan alisnya. Ia sungguh
ingin tahu siapa orang yang sedang berbicara dengan Deon itu. Tak pernah ia
melihat Deon berbicara seperti itu pada seseorang, kecuali dirinya. Pria itu
tampak berbeda.
Apa...yang
tak Chintya ketahui tentang Deon? Mengapa rasanya kali ini agak...berbeda?
"Aku
udah." Deon kelihatan berbicara lagi. "Aku jemput kamu jam enam sore
nanti. Tunggu aku di kampus. Jangan ke mana-mana. Kamu harus makan sekarang
juga atau aku suruh seseorang ke sana buat mastiin kamu makan. Jangan pancing
emosiku."
Mata
Chintya membelalak.
Talitha? Deon
menelepon seorang perempuan? Selain itu…apa? Deon sampai segitunya
untuk memastikan perempuan itu makan? Siapa perempuan itu? Chintya yakin selama
ini dialah perempuan yang paling dekat dengan Deon. Tidak pernah ada yang
menggantikan posisinya selama ini. Jadi, apa-apaan ini? Siapa Talitha itu?!
Deon
orangnya memang posesif, tetapi tak pernah seposesif itu. Deon juga sangat protektif,
tetapi tak seekstrem itu. Tatapan matanya jadi sangat tajam ketika perintahnya
sepertinya dibantah oleh perempuan itu.
Apa-apaan
ini?
Ada...perempuan
lain yang Deon pedulikan?
Talitha...?
Di
sepanjang jalan, Chintya hanya membuang muka; dia melihat ke luar melalui
jendela yang ada di sisinya. Dahinya berkerut. Dia tak ingin marah dengan Deon
sekarang karena ia baru sampai. Jika ia marah, itu akan merusak suasana.
Dada
Chintya terasa sesak, berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalanya. Tangan
Chintya terkepal. Ekspresi wajahnya tampak sangat kesal; ia masih tak percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar.
Dia
sayang pada Deon. Perasaannya itu tulus. Dia bahkan rela melakukan apa saja
untuk Deon. Namun, ternyata…perkiraannya salah. Dia kira, hanya dialah
satu-satunya perempuan untuk Deon.
Chintya
ingin melihat perempuan yang bernama Talitha itu. Dia kesal, dia marah,
dan dia tak terima. Dia jadi mendengki. Ia ingin percaya bahwa ini semua
hanyalah salah paham, tetapi rasa cemburu telah lebih dulu menguasai dan
membakar dirinya. Sungguh, ia tak ingin Deon pergi darinya. Dia tak mau.
Cintanya pada Deon sangatlah besar. Dia sepenuhnya yakin bahwa
dialah yang paling mencintai Deon di dunia ini. Takkan ada yang bisa
mengalahkannya. Dia adalah perempuan yang bisa menjaga Deon. Selama ini, Deon
dan dirinya juga saling mendukung.
Dia
meyakini semua itu. Namun, pada akhirnya dia tak mengatakan apa pun pada Deon.
******
Talitha
menarik ponselnya dari telinga kanannya dan menganga.
"Ye
ileh..." ujarnya, ketika mengetahui sambungan telepon itu terputus. Deon
memutuskan sambungan telepon itu setelah memaksanya untuk makan sambil
marah-marah. Padahal, Talitha sudah ngemil snack kelewat
banyak tadi pagi, ia juga makan kue yang biasa lewat di depan rumah kalau di
pagi hari.
Basuki,
yang tadinya mendengar pembicaraan Talitha di telepon, mulai histeris dan
menarik ponsel Talitha dari empunya. Talitha melihat Basuki seraya menyatukan
alis. Mata Basuki tampak berbinar saat dia ingin tahu keadaan sambungan telepon
itu. Namun, ketika ponsel itu sampai di tangannya, ternyata sambungan telepon
itu sudah terputus. Padahal, dia sangat ingin berbicara dengan Pangeran Marco Deonnya. Mana
tahu pangerannya itu naksir dengannya dan berpindah dari Talitha ke dirinya, 'kan?
Hahaha! Dia rela, deh, diposesifin sama Abang Deon.
Namun,
apa-apaan ini? Sambungan teleponnya malah mati.
"Etdah bocah..."
ujar Basuki, ia menaruh ponsel Talitha dengan kesal di atas meja seraya
memandang Talitha dengan jengkel, "Au ah."
Namun
Talitha malah tertawa keras. Gadis itu memegang perutnya yang terguncang akibat
tertawa terlalu keras. "Kamvreeeettt!! Elo yang bocah! Kok malah au
ah pula, wong yang matiin itu pangeran lo kok! HUANJIIIRRRR
BHAHAHAHAHA LU NGIKUTIN IKLAN, ‘KAN?!! Yang ‘Budiiiiiiiiii’ itu!"
"Serah
lo, Tai. Bikin kezel aja lo," jawab Basuki.
"Nana, kan, eksis, nggak kayak lo. Nich, ya, Itaik Anyuk yang Kayak Kunyuk, setidaknya
Nana lebih pinter dandan daripada lo. Harusnya Pangeran Deon melirikku, bukan
melirikmu."
"Ceileh
si Bencong," ujar Talitha ketika ia baru berhenti tertawa. "mendadak
kata-katanya jadi bagus gitu. Nggak apa-apalah kalo gue nggak eksis. Daripada
lo? Pagi mager, siang laper, malem baper."
"Bocah
laknat." Mata Basuki memelotot. Cowok jadi-jadian itu mengibaskan
tangannya yang gemulai di depan Talitha. "Masih mending gue laper pas
siang doang. Gini-gini gue pengin langsing, niich, biar wow di
mata Pangeran Deon. Nah elu? Pagi, siang, malem, kerjaannya cuma nyalak,
ngakak, abis itu laper. Makanya loe jadi kayak kunyuk terus. Iyuuh."
"Wah,
minta digampar nih anak," ujar Talitha sembari tertawa. Basuki mulai lari untuk
menyelamatkan diri; dia mulai menertawai Talitha habis-habisan. Talitha mulai
melepas sebelah sepatunya untuk dilempar ke kepala Basuki.
"Ita?"
Talitha,
yang baru saja ingin melempar sepatunya (dengan posisi sebelah tangannya
terangkat ke atas sambil memegang sepatu), kini terhenti. Dia belum selesai
tertawa, tetapi ia tetap menoleh karena merasa terpanggil. Saat ia menoleh
kepada orang yang memanggilnya, masih tersisa cengiran di wajahnya.
Mata
Talitha sedikit melebar tatkala melihat orang itu. Itu adalah Adlan…dan Gilang.
Mereka adalah teman-teman Alfa. Talitha kenal mereka.
Talitha
menurunkan tangannya. "Eh, Kak Adlan toh."
Adlan
mengangguk dan tersenyum simpul.
"Ngapain,
Ta? Kok lempar-lemparan gitu?"
Talitha
menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia lalu memakai sepatunya dan nyengir kuda.
"Gak ada, Kak. Lagi pengen membasmi spesies makhluk bernama bencong dari
dunia ini."
Tanpa
Talitha kira, Gilang tertawa terbahak-bahak. Pria berkacamata itu memang selalu
lebih error daripada teman-teman Alfa yang lain. Dari luar dia
tampak jenius, padahal dalamnya kriminal. Gilang memegangi perutnya karena tak
berhenti tertawa mendengar kekonyolan Talitha yang sebenarnya agak memaksa.
Terlihat sekali bahwa Talitha sedang berusaha untuk menyembunyikan alasan
sebenarnya mengapa dia main lempar-lemparan.
Ah,
selera Alfa rupanya junior cewek yang semrawut dan humoris seperti ini.
Alfa banget. Kalau Alfa yang banyak diam itu suka sama cewek
yang pendiam juga, kan...enggak lucu. Krik banget. Namun,
kalau Alfa yang banyak diam itu bertemu dengan Talitha yang stress ini...pasti
hidupnya bakal lebih asyik dan berwarna. Yeah, man, Gilang setuju
kalau Alfa suka dengan Talitha. Sip dah pokoknya.
"Lha,
temen sendiri kok mau dibasmi, Ta?" Adlan tersenyum pada Talitha dan
menggeleng. Talitha—dengan tanpa malu—malah tertawa terbahak-bahak di depan para
senior yang berbeda fakultas dengannya itu.
Suara
tawa Talitha membuat Adlan ikut tertawa. Setelah puas tertawa, Adlan dan Gilang
sadar bahwa Basuki telah mendekat ke arah mereka. Mereka semua jadi menoleh
kepada Basuki sejenak.
Namun,
dua detik setelah itu…Adlan melihat kembali ke arah Talitha dan tersenyum.
"Ita
tadi dapet salam dari Kak Alfa," ujar Adlan, "Tadi, Kak Alfanya mau
ke sini, tapi dia dipanggil dosen. Jadi, dia bilang ke Kakak buat nyampein
salamnya ke Ita."
Talitha
melebarkan matanya. Mulutnya berbentuk 'o' dan ia mengangguk saja. "Oke,
Kak. Salam balik aja, ya, buat Kak Alfa. Haha."
Adlan
tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, dia mengajak Gilang untuk pergi dari
sana. Sambil berjalan melewati Talitha, Gilang menyodorkan kepalan tangannya di
depan Talitha; ia ingin melakukan fist bump dengan Talitha. Otak Talitha
butuh waktu untuk connect, tetapi ketika ia paham, ia pun memukul
kepalan tangan Gilang dengan kepalan tangannya sendiri. Setelah itu, Gilang
memberikan jempol padanya dan berlalu bersama Adlan.
Talitha
cuma bisa nyengir. Basuki menepuk pundaknya hingga membuat Talitha
menoleh padanya.
Mata
Talitha langsung memelotot. "Nah, di sini lo, Bencong!"
"Eh
si Kunyuk nich," ujar Basuki. "udah, dech, ejek-ejekannya. Kak Alfa
masih sering nelepon lo yah?"
Talitha
mengernyitkan dahi.
"Entah,
ya," jawab Talitha. "Kayaknya udah jarang semenjak Deon sering banget
meriksa HP gue. Kalo udah sama si Sableng satu itu, semuanya bakal diperiksa.
HP gue digeledah tiap hari. Hacep abis."
Basuki
tertawa kencang. "Kalo Kak Alfa suka banget sama elo gimana, Say? Eh,
jarang-jarang nich, ya, elo bisa dapetin yang kayak Kak Alfa. Ada gosip kalo dia
itu bakal pindah universitas, lho, karena mau ambil jurusan Teknik Penerbangan!
Udah pasti bakal jadi pilot, tuh. Kan lo jadi enak nantinya. Dapet suami pilot.
Udah Kak Alfa alim, baik, manis pula. Calon suami idamannn! Senyumnya itu, lho,
njiiiir. Kamvretlah, yang manis-manis emang susah dilupaiiiiinnn
aaaaahhh..." desah Basuki. Talitha mulai ngakak.
"Ya
udah, lo datengin aja Kak Alfa sono, Nyong. Ngerasa kayak nonton film XXX aja
gue denger desahan hebat," ujar Talitha, lalu ia tergelak tambah kencang.
Basuki menempeleng kepalanya keras-keras. Ampun dah, si Kunyuk
mesum ini ngomong jorok di kampus, bro!
"LOE
SADAR GAK SICH KALO KITA LAGI DI KAMPUS?! Idiiw. Please, dech, Itaik
Anyukku, maksud gue tuh gini: kalau lo sama Kak Alfa, biar Pangeran
Deon untuk gue ajaaachhh... Yihhaaaaa! Asyik asyik, joss!" teriak Basuki
penuh kemenangan.
"Si
kamvret..." ujar Talitha, ekspresi wajahnya sontak jadi datar. "Cuci
muka lo sana!"
******
Rahang
Deon mengeras. Matanya menatap tajam sesuatu yang ada di depan sana, di balik
kaca depan mobilnya. Menghalangi dirinya untuk turun dari mobil ketika ia
sampai di depan gedung apartemennya. Para wartawan itu lagi. Kilatan dari
kamera-kamera itu seolah bisa menembus kaca mobilnya. Mereka berhasil mengambil
ratusan foto yang menampakkan wajah Deon di dalam mobil. Seolah tak puas,
mereka juga mengetuk-ngetuk jendela mobil Deon. Ini selalu terjadi di mana pun
Deon berada meskipun Deon tidak lagi bekerja di dunia entertainment. Deon
sudah sepenuhnya berhenti dari dunia itu dan sudah tidak ingin lagi membahasnya
meskipun ia menikmati pekerjaan itu beberapa waktu sebelumnya. Talitha—yang ada
di samping Deon—kini menatap ke jendela yang ada di sisinya dan di sana juga
ada banyak wartawan yang mengetuk-ngetuk jendela itu dengan tak sabar. Talitha refleks
menjauhkan wajahnya dari jendela itu dan menganga.
Gadis
itu kontan menggeleng. "Widiiih, jadi ini toh yang dirasain sama orang
terkenal? Alamakjang... Enak banget nyiram muka orang-orang ini rasanya. Kayak
nggak ada kerjaan aja, bruh!"
Talitha
sudah mulai jengkel. Ia berdecak. Ia lalu menatap Deon, ingin meminta izin pada
Deon agar Deon membolehkannya keluar dan menyiram para wartawan ini. Namun,
saat melihat Deon, Talitha langsung menyatukan alis.
Deon
tengah mencengkeram roda kemudi dengan kencang; Deon tampak murka. Talitha
meneguk ludahnya dan mengelus dada. Mudah-mudahan, para wartawan ini nanti
tidak terkapar semua. Amin, deh.
Deon
mengambil ponsel pria itu yang terletak di atas dashboard. Dengan
ekspresi wajah yang tampak kesal, pria itu mulai menelepon seseorang.
Talitha
terperanjat ketika mendengar Deon langsung membentak orang yang ia
telepon.
"I
told you not to let this happen again, didn't I?! And what just happened? I
can't hold it in like usual because this is the worst! What did you do, exactly?"
"Now
tell them that I will not talk about this anymore. I’m done. I don’t want to
see anything like this again. Even in Taiwan, Indonesia, or any other country I
have to visit, you understand?!" Deon menutup
telepon itu dengan napas memburu. Pria itu mencengkeram ponselnya dengan kuat.
Talitha
menganga.
Glek.
"Gila serem..." ucap
Talitha tanpa sadar, tetapi sialnya ucapannya itu langsung membuat Deon
menatapnya. Dia bermaksud ingin berbisik saja, tetapi suaranya malah terdengar
keras. Kontan saja dia membelalakkan mata; dia pun nyengir sok tak
berdosa ketika Deon menatapnya dengan mata menyipit.
Ya,
biasanya memang ada paparazi, tetapi tak pernah separah ini. Kali ini
paparazinya banyak sekali dan semuanya sangat agresif seolah Deon baru saja
melakukan skandal atau baru saja melakukan the hottest and greatest
comeback seperti Justin Bieber di setiap albumnya. Namun,
ini beda. Entah apa alasannya, Deon diserbu seperti ini, padahal ini sudah agak
lama sejak Deon berhenti.
Deon
menatap Talitha dengan tajam. "Jangan turun sebelum aku yang
membukakan pintu untuk kamu."
Setelah
itu, pria itu keluar dari mobil. Teriakan orang-orang pun makin kencang. Deon
tak diiringi pengawalnya dan tentu saja baju Deon langsung ditarik-tarik. Mereka
terus mendesak Deon, lalu menghadang Deon ketika pria itu ingin membukakan
pintu mobil untuk Talitha. Namun, dengan ekspresi wajah yang terlihat menahan amarah,
Deon tetap mengulurkan tangannya untuk mendorong siapa pun yang menghalanginya
agar ia bisa lewat. Ia menyingkirkan para wartawan yang sibuk menghadangnya dan
mendesaknya itu. Saat ia sudah sampai, ia pun langsung membukakan pintu untuk
Talitha.
Talitha
membuang dan menarik napasnya berkali-kali ketika ia ingin keluar. Ia seolah
mengancang-ancang untuk melangkah di jalan yang penuh duri. Saat ia baru saja mau
turun, tiba-tiba saja Deon menariknya keluar dari mobil itu dengan cepat, lalu
Deon menutup pintu mobil itu kembali.
Talitha
meneguk ludahnya. Matanya melebar dan tak berkedip. Saking lebarnya ia menganga,
mulutnya mungkin bisa dimasuki oleh ratusan lalat. Sejak ia keluar, suara para
wartawan itu terdengar semakin kencang. Ratusan pertanyaan dari para wartawan
itu saling menyusul dan membuat kepala Talitha panas. Rasanya Talitha ingin
menutup telinga dan matanya. Mereka semua membuat Talitha ingin menendang mulut
mereka satu per satu karena tak berhenti bertanya. Selain itu...Deon
menggenggam tangannya dengan kuat karena sedang marah.
Mati.
Jangan sampai emosi Deon meledak-ledak di sini. Talitha tak yakin kalau Deon dahulu
pernah mengamuk di depan wartawan, jadi sekarang sebaiknya image itu
dijaga saja. Bisa gawat kalau Deon mengamuk di sini. Lagipula apa tepatnya
alasan yang membuatnya begitu marah? Punggungnya tampak begitu lebar dan tegap saat
dilihat dari belakang oleh Talitha, tetapi punggung itu tampak menahan gumpalan
kemarahan.
Mereka
berdua terus berjalan dengan tergesa-gesa; mereka ingin cepat masuk ke gedung
apartemen. Deon bahkan tak bisa memarkirkan mobilnya di tempat parkir apartemen
dan memilih untuk meninggalkan mobilnya di luar gedung karena kesesakan ini. Deon
masih mendorong para wartawan yang sedang menghalangi jalannya itu.
Namun,
tiba-tiba ada seorang wartawan yang bertanya dengan suara yang sangat keras.
"Marco Deon! Apakah Anda berhenti karena tak menyukai pekerjaan Anda
sebelumnya?! Atau ada masalah dengan manajer Anda?! Apakah rumor tentang Anda
dengan Chintya Valissisa itu benar?! Selain itu, siapa perempuan ini?!! Apakah
Anda putus dengan Chintya Valissisa karena perempuan ini?! Apakah rumor yang
mengatakan kalau Anda membenci perempuan karena ibu Anda itu benar?"
Sial.
Sial.
Sial!
Deon
berhenti. Deon benar-benar berhenti berjalan.
Pundak
pria itu sedikit bergetar akibat menahan gejolak kemarahan di dadanya dan
Talitha kontan menganga, ia tahu Deon pasti akan memaki wartawan yang tak tahu
diri itu. Mata Talitha melebar. Ia tahu ini. Ia tahu apa yang akan terjadi jika
Deon sudah disinggung masalah ibunya oleh seseorang yang bahkan tak tahu
apa apa.
Melihat
Deon, Talitha langsung menatap wartawan itu dengan memasang tampang ngajak ribut.
Aura pemalak mulai keluar dari tubuh Talitha.
"Hoi," ujar
Talitha tajam.
Wartawan
yang masih tampak muda itu menoleh kepada Talitha dan terperanjat. Gila, man, ini
memang tampang sadis pemalak. Mengapa pula pemalak bisa digandeng oleh Marco
Deon?
"Kalo
nanya tuh yang bener ngapa?!" bentak Talitha. "Lagian, kamu—"
Talitha menunjuk wartawan yang sebelumnya bertanya dengan keras itu. "kamu
itu nanya atau nyindir?!! Mulut tuh dijaga dikit kek!! Edan abis
nih orang euy..."
Wartawan
itu jadi kaget bukan main karena dibilang edan.
Setelah
itu, tatkala Talitha baru saja ingin membuka mulutnya lagi, ia dikejutkan
dengan Deon yang mulai mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Deon menggenggam
tangan Talitha semakin erat dan pria itu mendengkus.
Matanya
yang sebenarnya tadi menggelap karena marah, sekarang sudah digantikan oleh
tatapan tajamnya seperti biasa. Dengan penuh penekanan, Deon pun menjawab.
"Aku
berhenti karena keinginan aku sendiri. Aku nggak punya masalah sama manajerku.
Aku adalah penerus Ayahku dan wajar kalo dia minta aku buat nggantiin dia di
usianya yang udah tua." Deon mendengkus lagi. "Aku nggak kencan sama
Chintya Valissisa. Dia itu sahabatku dan aku rasa aku udah cukup sering jelasin
ini di media massa. Kalian wartawan dari Indonesia pasti udah tahu juga soal
ini karena aku pernah ngadain konferensi pers di Taiwan."
Deon
lalu melanjutkan meski kamera-kamera itu terus memotret dirinya yang sedang
memberikan keterangan panjang. "Rumor itu dilebih-lebihkan. Kami deket
karena kami sahabatan. Itu aja."
Tiba-tiba,
mata Deon semakin menyipit saat mengatakan, "Satu lagi: aku nggak
benci sama perempuan. Aku emang punya sedikit masalah sama
Ibuku, tapi ini adalah privasiku. Aku nggak benci sama perempuan karena masalah
Ibuku. Itu sama sekali nggak bener.”
Semua
orang terus merekam dan memotret Deon.
Namun,
ada seorang wartawati yang mulai bertanya, "Jadi, siapa perempuan yang
sekarang sedang bersama Anda ini?!"
Semua
orang mulai heboh kembali. Mereka bertanya sembari mengiyakan pertanyaan
wartawati itu. Talitha mencebikkan bibirnya.
"Eh
kamvret...bikin kesel aja njir," bisik Talitha dengan jengkel. Ia lalu
menatap Deon. "Oi, Deon, kita jalan aja, yok! Cepet—"
"Calon
istriku. Dia calon istriku. Lain kali, aku bakal
marah kalo kalian ngebuat dia nggak nyaman kayak ini. Aku benci keributan ini, apalagi
kalo lagi bawa dia," ujar Deon sembari menatap tajam si wartawati itu.
Talitha
merasa macam diceburkan ke laut.
Ah,
tamat. Tamatlah riwayatnya. Deon memang sudah tidak waras lagi. Jadi, Deon
tampak sangat murka karena hal sepele begitu? Oi, yang benar saja. Macam serius
saja dia mengatakan hal seperti itu. Apa ada besi berkarat yang tersangkut di
otak Deon atau bagaimana? Atau kepalanya habis terbentur? Selain itu, Deon masih
memikirkan soal pernikahan itu, ya?!
Talitha
melihat ke arah para wartawan itu yang kini justru bertepuk tangan sambil
bersorak. Ada yang mengucapkan selamat juga; mereka tak bisa menyembunyikan semangat
mereka. Yang benar saja, Marco Deon yang selama ini tak pernah berkata bahwa ia
punya kekasih di depan media, kini tiba-tiba mengatakan bahwa ia sudah punya
calon istri. Ini benar-benar hebat. Dia aktor—bukan, mantan aktor—yang
selalu penuh dengan kejutan.
Tampang
bodoh Talitha bakal masuk televisi, sepertinya. Si Kunyuk akhirnya masuk
televisi. Talitha benar-benar memasang tampang paling bodoh sepanjang masa
karena apa yang baru saja Deon ucapkan di depan para wartawan itu.
******
Gavin
mendengar pintu ruangannya diketuk dan ia mengerjap.
"Masuk,”
katanya dengan heran. Tadi Pak Zahir sudah masuk untuk memberikan Gavin laporan
susulan hasil kerjanya. Jadi, siapa yang mengetuk pintunya? Apa Pak Zahir
ketinggalan sesuatu?
Namun,
rasanya tidak ada apa pun yang tertinggal.
Sesaat
kemudian, pintu kubikelnya terbuka. Kedua alisnya menyatu, sementara matanya
melebar ketika melihat seorang gadis dengan rok selutut menunduk singkat
padanya dan mendekatinya. Siapa gadis ini?
"Em...Pak
Gavin?" kata gadis itu dengan canggung; wajahnya memerah. Gavin semakin
heran.
"Em…ya,
kamu siapa?" tanya Gavin. Tak ada anggota baru di direksinya beberapa
bulan terakhir, tak ada juga anak magang.
Gavin
membenarkan kacamatanya pelan ketika gadis itu menyapa, "Selamat siang,
Pak. Saya Kanya Destianti. Saya magang di salah satu direksi yang ada di
perusahaan ini. Saya...saya mau menyampaikan ini pada Bapak—eh!!" Dia baru
saja menyodorkan sebuah amplop kepada Gavin dan amplop itu terjatuh karena
tangannya gemetar. Ia kemudian berjongkok dengan cepat dan kikuk. Ia tampak
ceroboh.
Gavin
baru saja berdiri (ingin membantunya), tetapi gadis itu langsung berteriak untuk
menghentikannya. Gavin terkejut. Namun, beberapa detik kemudian, tiba-tiba
Gavin membuang mukanya. Ketika gadis itu berdiri kembali, dia mengernyitkan
dahinya karena melihat Gavin memalingkan wajah. Apa dia…melakukan suatu
kesalahan hingga membuat Gavin sampai membuang muka?
"Em…Pak
Gavin?" panggilnya dengan canggung.
Gavin
menghela napas dan mengedipkan matanya.
"Kanya,"
panggil Gavin, mencoba untuk berbicara dengan setenang mungkin. Dia takut gadis
itu tersinggung.
"Ya,
Pak? A—ada apa, Pak?!!" Kanya terdengar panik karena terlalu malu.
Gavin
menghela napas lagi.
"Baju
kamu. Kancingnya terbuka. Kamu benerin dulu, biar saya tunggu," ujar Gavin
kemudian. Gavin yakin gadis ini baru lulus kuliah dan masih sangat muda, tetapi
mungkin hanya berbeda empat tahun darinya. Namun, bagaimana cara gadis itu
masuk ke ruangan Gavin, sementara dia bukan magang di direksi Gavin? Dia juga bukan
seorang ketua direksi yang bisa sembarangan masuk ke ruangan ketua direksi
lain. Terus…kok bisa? Jangan-jangan, ini ulah anggota direksinya? Waduh, sialan
sekali anggotanya itu kalau memang benar.
Gadis
itu menganga. Wajahnya merah padam dan ia nyaris menangis. Ini sangat memalukan;
ia nyaris berteriak ketika berbalik dan mengancingkan bajunya. Kok bisa, sih,
kancing bajunya terbuka?
Bikin
malu sajaaaa!
Setelah
selesai mengancingkan bajunya, ia pun tak tahan lagi. Mukanya memerah seperti
kepiting rebus. Ia memilih untuk langsung meletakkan surat itu di meja Gavin
dan menunduk hormat. Ia lalu mohon diri dan berbalik dengan terburu-buru.
Sialnya
gadis itu malah menabrak Revan yang baru saja masuk ke ruangan Gavin. Gadis itu
tampaknya tak melihat jalan lagi.
"Weits." Revan
memegang lengan gadis itu, mencegahnya agar tidak jatuh. Mata Revan agak
membulat karena tabrakan itu, tetapi sebetulnya dia lebih merasa heran daripada
kaget.
Gadis
itu mendongak, ia menatap Revan dan mendadak matanya membulat. Dengan cepat,
gadis itu menunduk hormat. "Maaf, Pak Revan!! Maafkan saya!!"
"Oke.
Nggak apa-apa," ujar Revan santai; dia mengedipkan sebelah matanya pada
gadis itu. Gadis itu langsung pergi dengan pipi yang merona.
Lah...
Sembari
melihat Gavin dan gadis tadi secara bergantian, Revan pun berjalan menghampiri
meja Gavin. "Woi, Nyet, ada apaan, sih?"
Gavin
bahkan masih…belum bergerak. Ia masih menatap kepergian gadis itu dengan
ekspresi kaget bercampur heran. Ia mematung dan tak bisa berkata apa-apa.
Apa...yang baru saja terjadi? Kejadiannya ngebut sekali seperti angin.
"Van,
lo kenal tuh cewek?" tanya Gavin, ia butuh waktu sampai akhirnya ia
menatap Revan.
Revan
menyatukan alis, memajukan bibirnya sedikit...lalu mengangguk. "Iya, gue
kenal. Dia baru magang di direksi gue—eh…udah sekitar lima hari, sih. Kenapa
emangnya?"
Gavin
menganga. Menatap Gavin yang tak mengatakan apa pun, Revan pun mengalihkan
perhatiannya ke meja Gavin. Ada sebuah surat di sana. Gavin melihat pergerakan
Revan yang dengan santainya membuka amplop itu. Di dalam amplop itu ada sebuah surat.
Revan memang suka iseng menyentuh kertas-kertas penting di ruangan Gavin kalau
ia sedang mampir. Gavin mengernyitkan dahinya ketika Revan dengan santainya
membaca surat itu. Namun, tiga detik kemudian, Revan mulai menatap Gavin seraya
mengangkat sebelah alisnya.
"Heeh...
Lo tau nggak ini apaan?" tanya Revan sambil menyeringai.
******
Talitha
masuk ke unit apartemen Deon sambil terengah-engah. Deon baru
saja menutup pintu unit apartemen itu ketika Talitha tiba-tiba menoleh kepadanya.
"Weeeh... Gila kamu!! Serius, aku pasti kena maki, nih, sama fans kamu!
Matilah aku! Kok kamu sebarin, sih? Ntar kalo pernikahannya nggak jadi, kan,
malu sendiri! Adoooh! Emang sableng abis kamu nih!"
"Jangan
mulai, Talitha. Kamu pasti bakal nikah sama aku," jawab
Deon tajam. Tatapan matanya seolah memperingati Talitha. Rahangnya mengeras;
dia tak ingin dibantah.
"Heleh
Deon…Deon. Terserah kamu aja dah. Entah apa yang nyangkut di kepala ganteng kamu
itu. Kubur aja aku hidup-hidup, biar kamu puas sekalian. Nih
sableng satu kalo dibilangin susah banget."
"Kepala
ganteng?" tanya Deon, pria itu menyatukan alis seraya
memiringkan kepalanya. Lagi-lagi, pria itu tak mengerti dengan bahasa Talitha.
Talitha yang tadinya kesal plus capek, malah jadi tertawa terbahak-bahak.
Sepanjang
hari, yang Talitha lakukan adalah ngakak, ngakak, dan ngakak.
Kalau tidak ngakak, ya…menyalak atau makan, seperti tak ada beban di dalam
hidupnya. Kalau lagi kesal, dikasih lawakan dikit bakal ngakak. Lagi
marah, ujung-ujungnya ngakak. Lagi capek, ngakak. Lagi boker
pun, dia ngakak. Tunggu kepalanya putus dulu baru berhenti ngakak.
"Etdah
bocah," ujar Talitha. "makanya
jangan kaku banget jadi manusia."
"Aku
nggak kaku, setauku," ujar Deon. "Kamu aja yang selalu ngeluarin
istilah-istilah aneh."
Talitha
jadi mengakak setengah mati. Astaga, kok ada, ya, orang kayak begini? Punya
berapa kepribadian, sih, dia? Kadang galak, kadang imut, kadang lucu, kadang suka
ngerayu, kadang suka nggerepe, kadang baik banget, dan kadang malah jahat banget, macam
bisa menelan manusia. Dia agaknya suka berubah-ubah, seperti
bunglon saja.
"Ah,
entahlah, aduh—" Talitha memegangi perutnya yang mulai sakit karena terus
tertawa. Melihat Deon yang kebingungan begitu adalah lawakan yang paling lucu
baginya. Ia kemudian melanjutkan, "Pokoknya, kalo aku dikejer fans-mu, kujewer
kamu ntar. Ngambil tindakan kok gak mikir gitu. Aku yang dikatain kayak kunyuk
sama Mamaku aja masih bisa mikir. Kamu masih sehat? Mudah-mudahan, kamu cepet
sembuh, deh,” ledek Talitha.
Deon
menghela napas.
"Aku
nggak sakit, Talitha," jawabnya. "Ayo. Kamu bilang, kamu mau ngambil
apel buat Mama di rumah, 'kan? Di kulkas ada banyak. Lebih steril daripada
usulan aneh kamu yang pengin beli itu di pasar ikan."
Deon
mengungkapkan alasan mengapa mereka pergi ke apartemen Deon, yaitu karena ingin
mengambil apel untuk mamanya Talitha. Wanita paruh baya itu tiba-tiba menelepon
ketika mereka sedang di jalan tadi.
"Heh!
Jangan salah, lho, Deon, ada kok yang jualan buah di pasar ikan modern!! Aku
pernah beliii!!!" teriak Talitha ketika ia berlari ke dapur dan mulai membuka
kulkas.
Deon
menyusulnya dengan santai, lalu pria itu bersandar di kitchen counter ketika
Talitha sedang mengeluarkan semua apel itu dari kulkas.
Talitha
berdecak kagum sembari menggeleng. "Mantap, bruh… Gede-gede...
Warbyazah."
"Kamu
bertingkah kayak nggak pernah ngeliat apel yang besar," ujar Deon sembari
menggeleng. Pria itu mengernyitkan dahinya. "Sebenernya, yang sableng itu
kamu, bukan aku."
Talitha
mendadak menatap Deon, lalu mencebikkan bibir sejenak. "Ye ileee, malah
ngeledekin orang nih anak. Apa banget coba. Kuraba-raba baru tau rasa."
Deon
mengerjap. Setelah itu, Deon menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa
nggak kamu lakuin aja?"
Talitha
spontan menganga. Ia menatap Deon tak percaya; ia nyaris terjungkal ke belakang
saat Deon mengatakan itu.
"Pak,
Bapak sehat?" tanya Talitha dengan dramatis.
Deon
langsung mendengkus kasar ketika mendengar panggilan 'Pak' itu,
jadi Talitha buru-buru minta maaf. Dia tahu Deon benci dipanggil seperti itu
olehnya.
Namun,
Talitha tiba-tiba berdecak. "Lagian, ngapain, sih, malah nyuruh orang
ngeraba-raba badan kamu? Kamu mulai suka digerepe-gerepe, ya? Atau
jangan-jangan…kamu penggemar pornografi? Kalo gitu, kita sama."
Deon
menghela napas. Ia memejamkan matanya sesaat dan membukanya lagi.
"Aku nggak semesum kamu, Talitha."
Talitha
tertawa keras bak kesetanan. Dia memang tak pernah punya malu.
Namun,
Talitha terkejut ketika tiba-tiba Deon mendekatinya. Deon menutup pintu kulkas itu,
lalu mengimpit tubuh Talitha; Deon membuat Talitha jadi bersandar pada kulkas
itu dan terjebak di sana.
Deon memiringkan kepalanya. Pria itu lalu menatap Talitha dengan penuh arti. "Tapi kalo kamu mau aku mesum di sini, bukan berarti aku nggak bisa.” []
No comments:
Post a Comment