Bab
3 :
Adek
Zavie Galau
******
ZAVIE
akhirnya
pergi lagi ke halaman belakang rumahnya: ke taman bunga hydrangea itu.
Kucing putih itu masih ada di sana. Kali ini, Zavie keluar diikuti oleh Coco.
Kucing berwarna coklat itu berlari mengikuti Zavie begitu dia melihat Zavie
berlari ke halaman belakang rumah.
Zavie membawa satu mangkuk kecil
makanan kucing dan satu mangkuk kecil air minum. Tadi, saat Zavie
bercerita pada mamanya bahwa kucing putih itu ternyata masih ada di sana, ujung-ujungnya
dia menangis. Suara tangisnya tidak kencang, tetapi air matanya tak kunjung
berhenti. Dia terlihat sangat sedih; pikirannya ke mana mana. Berkali-kali dia
usap air matanya, tetapi air matanya deras sekali. Zavie enggak pernah
sekepikiran itu dengan sesuatu, bahkan ketika memikirkan hadiah ulang tahun apa
yang bakal Kak Atlas kasih buat dia tahun lalu.
Berarti,
kucingnya cemaleman kelaperan. Berarti, kucingnya cemaleman kedinginan.
Berarti, kucingnya cemaleman cendirian. Cemaleman. Javi udah jahat banget
karena ninggalin kucingnya cendirian di luar.
Memikirkan
itu, Zavie jadi menangis sesenggukan di depan Mama. Lantas, Mama pun mulai berjongkok
di depan Zavie, lalu membelai puncak kepala anak itu. Mama menghela napas, lalu
berkata, “Ya udah, biar Mama siapin dulu makanan sama minumannya. Zavie kasih
makan kucingnya, ya.”
Begitu
mendengar ucapan Mama, tangisan Zavie pun perlahan-lahan mulai berhenti. Namun,
napasnya masih tersendat-sendat saat menjawab, “He—he-em, Ma—ma… J—Javi
b—ba…wa…makanan—nya…”
Mama
pun tersenyum lembut, lalu mengangguk. Wanita paruh baya itu mulai berdiri,
lalu berjalan ke dekat rak gantung dapur untuk mengambil toples makanan Coco.
Ia menuangkan makanan kucing itu ke sebuah mangkuk kecil, lalu bergerak lagi
untuk menuangkan air putih ke mangkuk kecil yang lain. Setelah semuanya siap,
ia pun mendekati Zavie dan memberikan kedua mangkuk itu kepada Zavie.
“Ini.
Bawanya pelan-pelan, ya. Udah dulu nangisnya. Kalo Adek nangis, nanti makanan
sama airnya tumpah.”
“U—ung,”
jawab Zavie seraya mengangguk. Mama mengusap air mata Zavie pelan-pelan, lalu
berkata, “Ya udah, gih. Nanti kucingnya tambah laper.”
Zavie
langsung mengangguk cepat. Si kecil yang mukanya celemotan air mata dan ingus
itu mulai berbalik—meninggalkan Mama—lalu pergi ke halaman belakang rumah
mereka. Coco, yang kebetulan baru lewat di dapur, ujung-ujungnya jadi ikut
berlari. Dia tak mau ketinggalan apa pun yang dilakukan oleh tuannya.
Jadi,
di sinilah Zavie sekarang: di depan taman bunga hydrangea. Ia meletakkan
mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa itu di permukaan tanah, lalu berjalan
mendekati kucing putih itu. Ia mulai masuk ke rumpun tanaman hydrangea itu
dan meraih kucing tersebut agar keluar dari sana.
Begitu
berhasil membawa kucing itu keluar, Zavie pun langsung meletakkan kucing itu di
depan mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa. Tak ayal, kucing itu pun mulai
makan dengan lahap.
Zavie
dan Coco kini sama-sama memperhatikan kucing itu.
Ya
ampun…
Kucingnya
laper banget….
Ah,
bagaimana ini? Menyadari betapa laparnya kucing itu, mata Zavie jadi
berkaca-kaca lagi. Rasa bersalah semakin menggerogotinya. Dia mulai mewek,
tetapi cepat-cepat dia menghapus air mata yang telah menggenang di pelupuk
matanya itu.
Sialnya,
mendadak Coco malah mau ikut makan di mangkuk itu. Kelakuan Coco yang
tak-tau-situasi itu jadi mengganggu momen sedihnya Zavie. Orang lagi sedih, eh si
Coco malah sibuk mau ikut makan. Zavie—yang tadinya hampir menangis—sekarang
jadi sibuk menarik badan dan ekor Coco berkali-kali supaya Coco tidak ikut
makan di mangkuk itu. Dasar Coco, padahal di rumah keljaannya makan telus!
Coco
mungkin tahu kalau itu adalah makanannya. Lagi pula, kucing rata-rata memang lapar
terus, ‘kan? Perut mereka cuma sejengkal, tetapi makannya mungkin bisa sebakul.
Saat
kucing putih itu telah menghabiskan makanannya (dan sudah minum juga), Zavie
pun tersenyum lembut. Dengan penuh kasih sayang, Zavie mulai mengelus-elus
kepala hingga badan kucing itu. “Udah kenyang, ya?”
Kucing
itu sempat mendengkur, lalu menjawab, “Meow…”
“Hehe…”
Zavie tertawa kecil, agak terharu. Namun, beberapa saat kemudian…bocah itu
terdiam. Tatapan matanya mulai terlihat sedih lagi.
“Kamu
kemaren kok nggak dijemput, ya…” tanya Zavie, lebih seperti berbicara pada
dirinya sendiri.
“Meow…?”
“Huh…”
Zavie mengembuskan napasnya dengan berat. Kalau saja Zavie kenal pemilik kucing
ini atau pernah bertemu dengan kucing ini sebelumnya, niscaya permasalahannya
tidak akan sesulit ini. Lagian, kok bisa, sih, ada orang yang lupa menjemput
kucing secantik ini? Coco saja sampai naksir saking cantiknya.
Manucia
zaman cekarang emang udah gila cemua, pikir Zavie.
Zavie
menghela napas. Ya sudah, deh. Kali ini, Zavie akan menemani kucing putih ini.
Walau sampai sore pun, Zavie akan menemaninya. Setidaknya sampai Zavie melihat
kucing putih itu dijemput oleh pemiliknya.
“Ciiiip,
deh! Ayo kita main! Javi temenin kamu, ya, campe kamu dijemput!!” teriak
Zavie dengan girang. Dia pun mulai mengajak dua kucing itu bermain lari-larian.
Ia bahkan sempat masuk ke rumah dan mengambil bola karetnya untuk dimainkan
bersama dua kucing itu. Induk ayam yang kebetulan lagi lewat di sana—lagi
mencari makan bersama anak-anaknya—pun tak sengaja terkena lemparan bola karet
itu sampai dia mengamuk pada Zavie karena telah membahayakan anak-anaknya.
Zavie enggak suka dikejar induk ayam, soalnya induk ayam biasanya garang
banget. Kucing Zavie pun enggak mau membela kalau Zavie sudah punya masalah dengan
induk ayam. Enggak mau ikut campur, deh, pokoknya. Biasanya, yang berani ngelawan
induk ayam itu di daerah sini cuma kucing oranye punya Pak RT.
Namun,
lupakan soal induk ayam.
Pada
hari itu, Zavie sama sekali tak menyangka bahwa hingga senja tiba,
…pemilik
kucing putih itu ternyata tak datang juga.
Saat
langit sudah berwarna oranye seperti ikan salmon, langkah Zavie pun terhenti.
Dia tahu bahwa jika warna langit sudah terlihat seperti warna ikan salmon yang sering
Papa makan di sushi, maka dia harus pulang. Jadi, dia pun mulai melihat
ke sekeliling…
…dan
tidak menemukan seorang pun.
Tidak
ada siapa pun yang menuju ke sana.
Tidak
ada siapa pun yang menjemput kucing putih itu.
Jantung
Zavie mendadak langsung berdegup kencang. Rasa sedih kembali menghampirinya.
Tubuh kecilnya mulai bergetar…dan napasnya mulai tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca.
Seraya
mengepalkan tangannya, Zavie pun berlari ke rumah. Zavie menaiki tangga
dan langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang. Pintu belakang rumahnya
itu ada di dapur, jadi begitu Zavie melewati pintu itu, ia jelas langsung berada
di dapur. Coco mengikutinya dari belakang.
Zavie
langsung menangis kencang. Ia berteriak di dapur itu, memanggil mamanya dengan
putus asa. “MAMAAAAA…! MAMAAAA!! MAAAA!! HUAAAAA...”
Kontan
saja Mama berlari ke dapur dengan ekspresi panik. Mama langsung berjongkok di
depan Zavie dan menyeka air mata anak bungsunya itu dengan cepat. Dengan
khawatir, Mama pun berkata, “Lah, kenapa, Dek? Heh—astaga, kenapa? Ada
apa? Hei! Kenapa? Bilang sama Mama! Kok tiba-tiba nangis lagi??!”
“MAMAAA…!”
Zavie menangis sesenggukan. “M—MA—MAAA…!”
“Iyaaaa…ini
Mama. Kenapa, Nak?” tanya Mama, dia masih terdengar panik. Astaga, ini Papa
sama Atlas belum pulang. Kalau sudah pulang, mungkin semuanya jadi berkumpul di
dapur gara-gara mendengar tangisan Zavie.
“Mamaaa…”
Zavie mengusap air matanya sendiri dengan kaus yang ia pakai. Ingusnya mulai keluar.
Napasnya tersendat-sendat sampai Zavie mengeluarkan suara ‘Hik, hik’ sambil
menangis.
“Adek
kenapa, sih? Ada luka??” tanya Mama khawatir. Biasanya, Zavie jarang terluka
sebab halaman belakang rumah sudah sering dibersihkan oleh Papa. Mengingat
Zavie selalu main di sana, Papa jadi rajin memastikan kalau tidak ada benda
tajam apa pun yang tertinggal di sana, seperti pecahan kaca atau potongan kayu
yang tajam.
Zavie
menggeleng. “Enggaaak, Mamaaaa…”
Mama
lantas mengernyitkan dahi. “Jadi, kenapa nangis?!”
“Kuciiiing,
Maaaa…” jawab Zavie, matanya masih mengeluarkan air mata. “Kucing
putihnya…belum dijemput campe cekarang, Maa… Yang punya kucingnya belum dateng
juga, Ma… Ini udah core… Kucingnya kacian, Ma…”
Mata
Mama membulat.
Oalah…
Dahi
Mama berkerut. Jujur saja, Mama juga mulai merasa kasihan dengan kucing itu.
Akan tetapi, bagaimana pun juga…kucing itu ada pemiliknya. Kalau tidak ada,
mengapa kucing itu memakai kalung? Masa iya kucing liar pakai kalung?
Mama
mulai menghela napas.
“Jadi,
Adek maunya gimana?” tanya Mama dengan sabar.
Zavie
menghentikan tangisnya. Pelan-pelan, si kecil itu mulai menyeka air mata
beserta ingusnya dengan bajunya sendiri. Baju itu sampai basah karena air mata
dan ingusnya. “Boleh nggak, Ma, kucingnya Javi ambil aja?”
Situasi
tiba-tiba jadi hening.
Mama
diam selama beberapa detik.
Namun,
berbeda dengan apa yang Zavie harapkan, ternyata…
…Mama
menggeleng.
Mama
menolak permintaan Zavie.
“Jangan
dulu. Takutnya ntar pemiliknya nyariin. Mungkin pemiliknya belum tau aja kalo
kucingnya ada di sini,” jawab Mama.
Mendengar
jawaban dari Mama, tak ayal Zavie kembali menangis. Kali ini, tangisannya
terdengar begitu pilu.
Astagaaa…
Kalo ditinggal lagi, nanti kucingnya cendirian lagi. Kelaperan lagi. Javi
kacian cama kucingnya… Nanti kucingnya pingcan…
“Mamaaaa…
Kita ambil aja, yaaa, Ma? Hmmm?” rayu Zavie sekali lagi. Dia merengek-rengek
seraya mencengkeram tangan Mama. “Kacian, Ma… Kucingnya cemaleman cendirian di
luar… Kelaperan, kedinginan, kecepian… Kucingnya nanti cakit, Ma…”
Memikirkan
kucing itu yang kedepannya mungkin akan meringkuk karena sakit membuat Zavie
semakin menangis. Air matanya tak terbendung.
Mama
kembali menghela napas.
“Adeeek,
denger dulu. Mama juga kasian sama kucingnya, tapi kita nggak boleh ambil punya
orang sembarangan. Itu kucing orang, Dek,” jawab Mama dengan prihatin; alis
Mama nyaris menyatu.
Zavie
langsung melebarkan matanya. “Terus kalo kucingnya nggak dijemput-jemput
gimana, Maaa…?”
Mama
terdiam. Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah dan mata Zavie yang sembap.
Pipinya basah karena air mata. Napasnya tak beraturan. Kausnya juga basah
karena sudah dipakai untuk mengelap air mata serta ingusnya berkali-kali.
Melihat
keadaan Zavie yang kacau begitu, Mama jadi merasa dilema. Mama kasihan dengan
kucing itu—apalagi Zavie juga kelihatan sangat sedih—tetapi bagaimanapun juga…Mama
tak mau mengambil kucing punya orang.
Ujung-ujungnya,
Mama tetap teguh pada pendiriannya.
“Jangan
diambil. Kita tunggu dulu pemiliknya,” kata Mama dengan tegas.
Zavie
kontan terkejut. Matanya membulat dan napasnya tertahan tatkala mendengar
jawaban dari Mama. Ternyata, Mama tidak berubah pikiran. Mama tetap tidak
memperbolehkan Zavie untuk mengambil kucing itu.
Karena
merasa kecewa, Zavie pun jadi semakin mewek. Bocah berbau
matahari itu pun langsung berbalik dan meninggalkan mamanya. Dia pergi ke teras
belakang rumahnya, lalu berdiri di sana sambil menatap ke taman bunga hydrangea.
Di sana ada kucing putih itu; kucing itu sedang menjilat-jilat tubuhnya
sendiri. Namun, tatkala sadar bahwa ada makhluk yang sedang memperhatikannya
dari atas (dari teras rumah panggung itu), perlahan-lahan kucing itu pun
melihat ke arah Zavie.
Saat
mata mereka bertemu, Zavie spontan menangis sesenggukan. Dia tertunduk, bahunya
jatuh, dan berkali-kali ia mengusap air matanya dengan lengannya sendiri.
Namun, air matanya tak kunjung mau berhenti.
Ia
jadi galau di sana, di teras belakang rumahnya, sambil terus memandangi kucing
itu.
******
Kegalauan
Zavie yang memprihatinkan itu bertahan hingga empat hari lamanya.
Dalam
empat hari itu, Zavie jadi sangat murung. Dia jadi pendiam. Anak kecil yang
biasanya aktif lari sana lari sini, aktif kepoin tetangga, aktif mengikuti
tarian atau menyanyikan lagu opening Crayon Shin-chan, aktif mencari
tahu kegiatan Kak Atlas, sekarang jadi sering duduk di teras belakang rumah
sambil memandangi kucing putih yang ada di taman bunga hydrangea. Namun,
entah mengapa kucing itu pun tak pernah pergi dari sana; dia selalu menunggu
kedatangan Zavie.
Zavie
akhir-akhir ini hanya bergerak saat memberi makan kucing itu dan
menemaninya di taman bunga hydrangea. Saat senja tiba, Zavie pun akan
memandangi kucing itu dari teras belakang rumah sambil merenung. Menatap kucing
itu dengan nelangsa.
Zavie
tidak selera makan. Setiap kali disuruh makan, ia hanya mau makan beberapa
suap, itu pun karena dipaksa oleh mamanya. Dia menghabiskan waktunya, dari pagi
sampai sore, hanya untuk menemani kucing putih itu dan bersedih hati. Dalam
empat hari ini, dia sudah pergi ke rumah tetangga-tetangga yang ada di sekitar
sana, tetapi tak ada orang yang mengaku bahwa kucing itu adalah milik mereka.
Seolah-olah…kucing itu datang dari tempat yang sangat jauh.
Zavie
masih ingat dengan jelas bagaimana dia menanyai para tetangga sambil membawa
kucing putih itu. Dia akan mengangkat kucing itu dan menunjukkan muka kucing itu
ke semua orang.
“Tanteee,
ini kucing punya Tante bukan?”
“Ooooom,
Om kenal cama kucing ini nggak?”
“Kakek,
ini kucing punya kakek bukan?”
“Mbaaak,
mbak kenal orang yang punya kucing ini?”
Zavie
benar-benar berjuang.
Di
sisi lain, kegalauan Zavie itu bukan tak disadari oleh Mama. Seperti sore ini,
saat Mama sedang mengaduk semur ayam yang ia masak di kuali. Melalui pintu
belakang rumah yang terbuka, Mama bisa melihat Zavie yang lagi-lagi sedang duduk
di teras belakang sambil memandang ke arah taman bunga hydrangea. Bahu
anak kecil itu tampak turun; ia merenung dengan ekspresi sedih seolah-olah baru
saja ditinggal oleh pujaan hati.
Tiba-tiba
saja, saat Mama sedang terdiam karena memperhatikan Zavie, Mama mendengar
sebuah suara.
“Ma,
Zavie
kenapa?”
Mama
kontan menoleh ke samping dan menemukan anak pertamanya, Atlas, sedang
melangkah mendekatinya sambil melihat ke teras belakang rumah. Melihat Zavie.
Saat
Atlas telah berdiri di sebelah Mama, Mama pun kembali melihat ke teras belakang
dan menjawab, “Nggak tau, tuh, adekmu. Masih galau.”
Atlas
menyatukan alisnya. “Galau kenapa?”
Ah,
ya.
Atlas dan papanya memang belum tahu apa-apa. Namun, setelah empat hari berlalu…ternyata
Atlas yang dingin pun mulai menyadari keanehan Zavie. Atau jangan-jangan…Atlas
sudah tahu lebih awal dan baru menanyakannya sekarang?
Mama
menghela napas. Diam selama dua detik…hingga akhirnya Mama mulai menjawab, “Nggak…
Si Coco, kan, akhir-akhir ini sering banget maen sendirian ke taman bunga yang
ada di belakang, makanya adekmu penasaran kenapa si Coco ke sana terus. Pas dia
cari tau, ternyata ada kucing putih di situ. Kucingnya pake kalung, jadi pasti
ada pemiliknya. Dari beberapa hari yang lalu, adekmu udah nungguin pemilik
kucing itu buat ngejemput kucingnya, tapi ternyata kucing itu nggak dijemput-jemput.
Makanya, adekmu sampe nangis. Dia sempet minta izin ke Mama buat ngambil kucing
itu, tapi Mama larang gara-gara takut pemiliknya nyariin. Jadi, dia tambah
galau.”
Mendengar
penjelasan dari Mama, Atlas mulai mengernyitkan dahinya. Ia pun memandangi
Zavie dengan mata yang sedikit menyipit.
Kucing putih…?
******
“Javi
udah celecai, Ma,” ujar Zavie tiba-tiba saat Mama baru saja mau menyuapinya sesendok
nasi. Itu baru suapan keempat dan Zavie sudah ingin menyelesaikan makan
malamnya. Zavie menolak suapan itu dan mengalihkan pandangannya dari Mama. Kedua
mata Mama kontan membeliak.
“Lho,
Dek, baru empat suap—" ucapan Mama langsung terputus karena Zavie
tiba-tiba turun dari kursinya dan langsung berjalan meninggalkan ruang makan. Meski
Mama telah memanggilnya berkali-kali, Zavie tetap berjalan ke kamarnya dan
langsung menutup pintu kamar itu begitu ia masuk ke sana.
Ketiga
orang yang tersisa di ruang makan itu jadi sama-sama terdiam. Mereka semua
memandang kepergian Zavie dengan heran. Zavie biasanya makan dengan lahap,
tetapi beberapa hari ini bocah itu benar-benar tak selera makan. Well, seperti
yang sudah diduga, kali ini Papa pun mulai heran.
“Ma,
Adek kenapa?” Papa bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Papa liat
kayaknya akhir-akhir ini dia murung… Papa ada salahkah?”
Mama
menghela napas. Kali ini, bahu Mama pun tampak turun; Mama mulai bingung.
Mama
akhirnya menatap Papa, lalu berkata, “Papa inget nggak, waktu itu Zavie pernah
bilang ke Papa kalo Coco kayaknya punya temen baru?”
“Hmm,
hmm.” Papa mengangguk. “Terus?”
“Itu,
ternyata Coco memang dapet temen baru. Kucing putih. Kucing itu ada di belakang
rumah, di tanaman hydrangea. Coco rupanya sering main ke situ karena ada
kucing itu. Kucingnya pake kalung, jadi Zavie nungguin pemiliknya buat
ngejemput kucing itu, tapi ternyata nggak dijemput-jemput.” Mama kembali
menghela napas. “Beberapa hari yang lalu, Zavie minta izin ke Mama buat ngambil
kucingnya, tapi…Mama larang. Makanya, dia jadi murung gitu. Apalagi, setelah
empat hari pun, ternyata kucing itu belum juga dijemput sama pemiliknya.”
Setelah
menjelaskan dengan panjang lebar, Mama pun menunduk. Ia terdiam.
Atlas
sejak tadi juga hanya mendengarkan ucapan mamanya.
Akan
tetapi, lima detik kemudian…tiba-tiba Papa membuka suara.
“Ya
udah, bawa masuk aja kucingnya. Kan udah beberapa hari ditungguin. Kalo belum dijemput
juga, ya berarti memang nggak dicari sama pemiliknya. Harusnya udah
nggak apa-apa kalo kita pelihara. Kasian juga kucingnya tidur di luar terus sampe
berhari-hari, apalagi si Adek kayaknya udah sayang sama kucing itu.”
Kontan
saja mata Mama membelalak. Mama menganga.
“Serius,
Pa? Boleh?”
Papa
tersenyum lembut. Pria paruh baya itu lantas mengangguk. “Iya, serius. Boleh.
Bawa aja kucingnya masuk. Kita pelihara aja. Papa nggak mau bocil Papa yang
satu itu jadi murung. Kayaknya udah berhari-hari Papa nggak denger celotehannya.
Rumah ini jadi sepi banget.”
Mama
langsung tersenyum semringah. Ia mengembuskan napasnya lega; matanya berkaca-kaca
tatkala menatap Papa. “He-em. Makasih, ya, Pa. Mama udah ngerasa
bersalah banget. Hati Mama nggak tenang. Kemaren-kemaren, Mama takut banget mau
ngambil kucingnya...”
Papa
tertawa kecil. “Ya udah, besok ambil aja kucingnya, Ma. Kasih tau sama Adek.”
Mama
pun menghapus air matanya. Wanita paruh baya itu lantas menatap Papa kembali,
lalu tersenyum dan mengangguk. “Iya.”
******
Hari
ini hujan.
Ini
sudah siang. Namun, bukannya makan atau tidur siang, Zavie malah keluar dari
rumah tanpa sepengetahuan Mama. Mama sedang mencuci pakaian, jadi Mama tidak
tahu kalau Zavie diam-diam mengambil jas hujan warna coklatnya di dalam lemari
dan pergi ke belakang rumah begitu ia mendengar suara hujan. Zavie ingin pergi
menemui kucing putih itu. Hujannya cukup deras dan kucing itu masih ada di
luar.
Kucingnya
bakal kehujanan. Kucingnya bica cakit! Kucingnya pasti kedinginan, badannya pacti
bacah cemua!!
Makanya,
di sinilah Zavie. Dia berjongkok di depan tanaman hydrangea itu, memperhatikan
si kucing putih yang terduduk di antara daun-daun bunga hydrangea. Mencoba
untuk berteduh di bawah rumpun tanaman hydrangea itu. Kucing itu tampak
kedinginan; sebagian bulunya mulai basah. Dia terus menjilat-jilat tubuhnya
sendiri.
Zavie
menatap kucing itu dengan sedih. Kelopak matanya turun tatkala menatap kucing
itu. Zavie tampak sangat…lesu. Rasanya dunia ini kayak mau berakhir saja.
Sesaat
kemudian, Zavie mulai tertunduk. Dia hanya memikirkan penderitaan kucing itu,
padahal sebenarnya dirinya pun sedang berada di bawah hujan.
Kepala
kecilnya itu dipenuhi dengan kesedihan sampai-sampai dia tak sadar bahwa hujan
mulai turun semakin deras.
Cakit.
Cakit banget. Javi enggak mau pulang. Biar Javi kehujanan juga.
Lama
Zavie terdiam. Ia terus merenung di sana, berjongkok…sambil menunggu hujan
reda. Kadang-kadang ia menunduk, kadang-kadang ia memperhatikan kucing itu
dengan tatapan sedih.
Beberapa
menit kemudian, saat Zavie sedang menunduk, tiba-tiba saja dia melihat ada
sebuah bayangan berbentuk lingkaran gelap di tanah. Tanah di sekitar
Zavie itu basah, tetapi tentu saja bayangan itu terlihat dengan jelas. Bayangan
itu terlihat seperti…bayangan sebuah payung.
…eh?
Kalau
dipikir-pikir…sepertinya kini tak ada air hujan lagi yang menetes di kepala
Zavie.
Dengan
pelan, Zavie pun akhirnya menoleh. Si kecil itu langsung mendongak karena agaknya…ada
orang yang tengah memayunginya dari atas.
Begitu
Zavie melihat ke atas, meskipun tubuhnya terasa lemas, perlahan-lahan…mata
Zavie melebar.
Soalnya,
di sana…
…ada
Kak Atlas.
Orang
yang sedang memayunginya…adalah Kak Atlas.
Namun,
belum sempat Zavie mengatakan apa-apa, tiba-tiba Kak Atlas mulai bersuara.
“Dek,
ayo
pulang.” []
No comments:
Post a Comment