Chapter 11 :
That
Kind of Marriage Proposal
******
Author:
MATA
Violette membelalak;
tubuhnya menegang dan napasnya seolah tersekat.
‘Menjadi istriku’? ‘Dalam jangka waktu dekat’?
Apa Justin sudah gila?!
Locardo—paman Justin—terlihat sama
terkejutnya dengan Violette. Sementara itu, tatapan mata Justin semakin tajam;
dia tetap bersikap seperti biasanya seolah tak terganggu sama sekali.
“Apa katamu? Menikah?!!” teriak
Locardo sembari mengernyitkan dahinya.
Justin hanya menatap Locardo dengan
tajam.
“Ya.”
“Dengan gadis ini? KAU SUDAH
GILA?!!! APA TIDAK ADA GADIS LAIN YANG LEBIH BAIK?! Tuhan, kau—aku bisa
mencarikan gadis yang lebih baik untukmu, jadi kau tak perlu menikahi—"
Mata Justin menyipit.
“Who do you think you are?” tanya Justin dengan sarkastis. Mendengar
pertanyaan Justin itu, Locardo sontak merasa seperti tersambar petir; mata
Locardo membeliak.
Setelah itu, Justin melanjutkan,
“Kau pikir berapa banyak hal yang kulakukan untuk perusahaanmu? Selama kau
pimpin, perusahaan itu bahkan nyaris bangkrut; perusahaan itu memiliki banyak
utang.” ujar Justin. Locardo kontan memelototi Justin. Perkataan Justin yang
tajam itu begitu menusuknya.
“Alexander Enterprises bisa menjadi
sebesar ini karena aku melakukan berbagai hal untuk memperbaikinya.” Justin
bernapas samar. “Jadi, kau pikir aku tak bisa memilih calon istriku sendiri?
Ini hidupku, Locardo, dan aku mau dia. Aku tak ingin berdebat
lebih jauh soal ini.”
Locardo mengepalkan tangannya.
Rahangnya mengeras; dia menggertakkan giginya. Dia menatap Justin dengan penuh amarah.
Dia betul-betul tak tahu apa gerangan yang masuk ke pikiran Justin hingga
Justin memutuskan masa depannya seceroboh ini.
Locardo tampak berang tatkala
berkata, “Kau perlu diberi pelajaran.”
Justin hanya diam. Ekspresi wajahnya
tampak datar.
“Kau dengar aku,” ujar Locardo. “Akulah
founder Alexander Enterprises. Aku tahu seluk beluknya. Aku bisa
menghancurkannya kapan saja, jadi sebaiknya kau jangan macam-macam.”
Justin mengangkat sebelah alisnya.
“Alexander Enterprises sudah banyak
mengalami perubahan. Itu tak akan hancur dalam sekejap mata. Lagi pula, kau
pikir aku akan diam saja?” jawab Justin tajam. “Tidak lama lagi, aku akan
menikah dengannya. Dia adalah executive assistant-ku. Aku sudah
mengenalnya dari kecil.”
Mata Locardo membelalak.
Jadi, selama ini...
Locardo meneguk ludahnya; ia
mencoba untuk kembali tenang.
“Sebentar. Kau…sudah mengenalnya
sejak kecil?” tanya Locardo, mencoba untuk memastikan pendengarannya.
Justin mendengkus. “Yes. She’s
been my friend since I was young.”
Mata Locardo kontan memelotot. “Oh
Tuhan. Mengapa kau tak memberitahuku lebih awal? Aku telah memarahi kalian
berdua tanpa tahu kebenarannya! Sebentar—apa kau bisa fokus bekerja bila istrimu
adalah executive assistant-mu sendiri?”
“Hm,” deham Justin.
Kini, tubuh Locardo tidak terasa
tegang lagi; rasa marahnya telah menghilang. Dugaannya selama ini salah.
Ternyata, gadis itu bukanlah gadis jalang seperti yang ada di pikirannya. Gadis
itu adalah teman Justin dari kecil sekaligus executive assistant Justin
yang sekarang. Locardo akhirnya menundukkan kepalanya. Diam-diam, ia merasa
sangat lega.
Saat menatap Justin kembali,
Locardo pun menghela napas.
“Baiklah. Kapan kau akan menikah?”
tanya Locardo dengan ekspresi serius. Violette langsung membulatkan matanya. Sebentar,
sebentar!!! Mengapa jadi seperti ini? Ini—ini seriuskah? Mereka akan menikah?!!
“Aku masih banyak pekerjaan bulan
ini. Mungkin bulan depan,” jawab Justin dengan suara rendahnya.
Jantung Violette serasa jatuh ke
perut. BULAN DEPAN?! JUSTIN INI BICARA APA, SIH?!
“Jaga kesehatanmu dan selesaikan
pekerjaanmu secepat mungkin,” ujar Locardo. “Aku akan membantu persiapan
pernikahan kalian. Namun, apa kau yakin mau melaksanakannya secepat ini?”
“Hm.” Justin hanya berdeham. Namun,
dehamnya itu justru membuat Violette menggeram di belakangnya. Justin pasti
sudah gila!
Locardo mengangguk pasrah.
“Ya sudah. Aku pergi dulu,” ujar
Locardo. Pria tua itu berbalik, ingin pergi dari sana. Namun, mendadak ia
berhenti melangkah seolah teringat akan sesuatu. Ia lantas menoleh kepada
Violette, lalu berjalan mendekati Violette.
“Ah, aku lupa. Siapa namamu?” ujarnya
seraya mengulurkan tangannya di depan Violette.
Melihat itu, Justin bergeser
sedikit agar Violette bisa sedikit maju ke depan.
Lagi-lagi mata Violette membulat.
Dengan cepat, Violette menoleh kepada Justin, ingin meminta sebuah ‘petunjuk’. Namun,
Justin hanya mengangguk padanya; Justin menyuruhnya untuk menjabat tangan
Locardo. Violette spontan meneguk ludahnya.
Dengan geragap, Violette pun mulai
menoleh kepada Locardo dan menjabat tangan Locardo.
“Violette Morgan,” jawab Violette.
Locardo memperhatikan Violette dari
atas hingga ke bawah, lalu kembali ke wajahnya. Locardo pun mengangguk.
“Baiklah. Senang bertemu denganmu.
Jaga Justin baik-baik,” ujar Locardo. “Kau sebagai perempuan juga tidak boleh
ke luar rumah tanpa izinnya dan tidak boleh pergi ke mana pun tanpa dia, kau
dengar itu?”
Violette meneguk ludah. Buset, kejamnya...
“A—Ahh...ya, sir.” Violette
tersenyum, tetapi mulai ada keringat dingin yang muncul di pelipisnya. Ia
mengangguk dengan kaku.
Jabatan tangan itu pun terlepas.
Locardo mulai menatap Justin.
“Kalau begitu, aku pergi dulu.” Ia menepuk pundak Justin dan pergi dari sana.
Setelah Locardo pergi, Violette
langsung menghadap ke arah Justin.
“Kau gila?! Bagaimana mungkin kau
bilang kita akan menikah? Kita bahkan belum lama bekerja bersama, sir!
Lagi pula, mengapa kau memutuskan hal ini sendirian? Kau pikir menikah itu mudah?
Aku belum siap!! Nathan belum ada dan aku tak mungkin menikah begitu saja
tanpanya! Kita baru berpacaran, bagaimana bisa kau yakin untuk menikahiku? Kau mau
mempermainkanku, ya? Atau mungkin kau kasihan padaku karena keadaanku seperti
ini?! Jangan bercanda!” teriak Violette, dia mengoceh tanpa henti.
Menyadari banyaknya kejanggalan
yang sedang ia hadapi, Violette tiba-tiba menangis. Ia langsung mendorong bahu
Justin, lalu berlari ke kamar Justin.
“Violette!”
Violette hanya menangis; ia tak
mengacuhkan panggilan itu. Ketika sampai di dalam kamar Justin, ia langsung
mengambil tas beserta baju kerjanya—yang sebelumnya ia pakai—lalu ia memasukkan
baju kerjanya itu ke tasnya. Ujung matanya menangkap tubuh maskulin Justin yang
kini telah bersandar di ambang pintu kamar.
“Kau mau ke mana?” tanya Justin seraya
menatap Violette dengan mata menyipit.
Violette berhenti, dia menatap
Justin sejenak.
“Pulang,” jawab Violette dengan
tegas, lalu ia keluar dari kamar Justin—melewati tubuh Justin begitu saja—dan
pergi dari unit apartemen itu.
Violette turun ke lantai bawah
melalui lift. Selama di lift, ia masih menangis. Ia menyeka air matanya
berkali-kali.
Tanpa Violette sadari, lift itu
sudah sampai di lobby. Violette langsung keluar dari lift itu, lalu
menyeberangi area lobby…dan akhirnya melewati pintu gedung apartemen
itu. Sesampainya di luar, ponselnya berbunyi.
Dengan agak malas, Violette pun mengambil
ponsel itu dari dalam tasnya dan ia melihat ada sebuah pesan masuk.
Itu adalah pesan dari nomor yang
tak dikenal.
From: +1-646-564-2477
Pamanmu semakin tersiksa, lho. Wah,
aku bahkan tak tahu di mana dia sekarang. Oh, wait, aku bukan penculiknya, aku
hanya berteman dengannya. Namun, ternyata dia pindah. Ah, tidak mengasyikkan,
bukan? Aku jadi tidak tahu juga pamanmu ada di mana.
Melihat pesan ini, mendadak
Violette melupakan permasalahannya dengan Justin tadi. Tanpa memikirkan apa
pun, ia langsung mengetikkan sebuah balasan untuk nomor itu dengan mata yang memelotot.
Rahangnya mengeras.
To: +1-646-564-2477
Siapa kau.
Sent.
Violette menunggu balasan pesan itu
seraya menahan emosinya. Ia saat ini masih berada di trotoar. Namun, ternyata
pesan itu dibalas dengan cepat.
Violette langsung membuka pesan itu.
From: +1-646-564-2477
Elika.
Jantung Violette mendadak seolah
berhenti berdegup. Ia lupa bernapas; matanya membelalak dan dadanya sesak.
Rasanya seperti ada orang yang sedang mencekiknya hingga ia tak bisa berkata
apa pun. Tubuhnya gemetar.
Elika…?
Mengapa Elika? Apa yang salah
dengan Elika dan apa hubungan perempuan itu dengan semua ini?
Violette menggeleng, ia sama sekali
tak percaya. Ia memijat keningnya, merasa frustrasi. Bahkan, ponselnya nyaris
saja terjatuh dari genggamannya.
Dua menit kemudian, akhirnya
Violette mulai sedikit bisa menguasai dirinya. Ia mulai berjalan di trotoar
itu, bermaksud untuk pulang. Namun, ia terus kepikiran soal isi pesan itu.
Nama Elika terus terngiang di telinganya, berulang-ulang bagai bisikan setan
yang mampu merusak mentalnya.
Jujur saja, di sepanjang jalan,
kedua mata Violete terus melebar karena tak menyangka. Tubuhnya sedikit oleng; ia
hampir menabrak orang lain beberapa kali. Pikirannya melayang ke mana-mana dan
air matanya jatuh begitu saja tatkala memikirkan bagaimana keadaan Nathan
sekarang. Nathan agaknya terus dipindahkan. Apakah tubuh Nathan luka-luka?
Apakah Nathan disiksa? Ya Tuhan...!
Violette berteriak kencang;
berkali-kali ia berjongkok karena merasa frustrasi.
Namun, apa biang masalahnya
sehingga Nathan yang diambil? Violette sebenarnya salah apa? Selain itu, apa hubungannya
dengan Elika?
Apa masalah Elika sebenarnya? Violette
cuma tahu kalau Elika itu ‘mungkin’ memiliki hubungan spesial dengan Justin...
Tiba-tiba, ada sebuah mobil yang berhenti
di dekat Violette. Namun, sayangnya…Violette sedang tak memedulikan apa pun
saat ini. Ia hanya terus berjalan sembari menangis; isi kepalanya dipenuhi
dengan kekhawatiran terhadap Nathan.
Justin keluar dari mobil itu dengan baju
kaus putih polos dan celana training yang tadi dia pakai di
apartemennya.
Justin mulai bersuara, “Violette.”
Violette berhenti melangkah. Gadis
itu mengusap air matanya, lalu menoleh ke belakang. Tak ayal, matanya
membeliak.
“Ju—stin...? Mengapa kau ada di sini?”
Justin menyipitkan matanya, lalu
mendekati Violette. Sementara itu, Violette masih bisa kelihatan terkejut,
padahal gadis itu baru saja menangis.
Dua detik setelah itu, Justin pun
mulai membuka suara.
“Aku mengkhawatirkanmu...”
Mendengar kalimat itu, Violette
malah membalikkan tubuhnya. Dia berencana untuk kembali berjalan. Tidak, dia
tidak percaya Justin mengkhawatirkannya. Kalau Justin memang memikirkannya,
niscaya Justin takkan merencanakan pernikahan mereka secepat ini.
Namun, tiba-tiba saja ada sebuah
tangan yang mencekal lengan Violette. Tangan Justin yang lebih besar dan kuat
darinya, yang akhir-akhir ini sering menyentuhnya, kini mencengkeram
lengannya dengan kuat. Tangan itu kemudian menarik lengannya hingga ia
berbalik.
Violette terkejut ketika sepasang
bola mata berwarna lelehan emas itu menyergapnya, menguncinya di dalam sebuah
penjara yang tak bisa dihancurkan.
“Jangan menangis lagi,” perintah Justin
dingin. “Aku tak suka melihatmu menangis sendirian sembari berjalan. Ayo kita
bicara.”
Violette jadi melongo. Namun, satu
detik setelah itu, Justin langsung menarik Violette agar masuk ke mobilnya.
Pria itu lalu membukakan pintu mobilnya untuk Violette, lalu mendorong tubuh
Violette dengan pelan agar gadis itu duduk di jok penumpang depan. Violette
hanya memandangi seluruh pergerakan Justin hingga Justin masuk ke mobil dan menghidupkan
mesin mobil itu.
Saat mobil itu sudah berjalan, Violette
pun mulai menghadap ke arah Justin.
“Justin...”
“Hm?” Justin hanya menjawab Violette tanpa
menoleh. Violette menggigit bibirnya.
“Kau...serius dengan pernikahan?
Maksudku, aku—”
Justin mengembuskan napasnya samar.
“Kau mau melakukan apa bila aku tak serius? Menusukku dengan pisau? Atau...”
Mata Violette kontan membulat. “TIDAK!
Ya Tuhan, itu mengerikan!”
Justin tersenyum miring.
“Aku serius,” jawab Justin.
“Makanya, ayo kita bicarakan ini. Jangan kabur begitu saja seperti
tadi.”
Pipi Violette langsung memerah.
Gadis itu refleks menunduk. Ergh...malunya!
“Oh ya. Ceritakan padaku
tentang orang yang menerormu itu,” lanjut Justin.
Violette terkesiap. Dia serta-merta
kembali menoleh kepada Justin. Waduh. Mengapa Justin tiba-tiba mau membahas
soal ini? Apa karena Violette tadi marah? Atau…
Violette kini menatap wajah Justin
dengan lekat. Menatap hidung mancung pria itu dari samping, bibirnya yang
tampak lembut, wajahnya yang terukir dengan sempurna...
Violette menghela napas.
Mungkin, dia memang harus
menanyakan hal itu pada Justin.
Violette pun menunduk. Gadis itu
menggigit bibirnya sejenak, merasa gelisah.
“Justin...” panggilnya kemudian.
“Hm?”
“Kau...sebenarnya ada hubungan
apa...dengan Elika?”
Justin hanya diam. Hal ini membuat Violette
jadi menggigit bibirnya; Violette takut salah bicara.
Namun, akhirnya Justin menjawab.
“Aku ada masalah waktu itu. Dia partner
seksku saat itu.”
“Masalah tentang Hillda, ya?” tanya
Violette.
Justin menghela napas, tidak
menoleh pada Violette sama sekali.
“Ya,” jawab Justin. Violette
mengangguk-angguk. Setelah itu, Justin melanjutkan, “Aku sedang kacau saat itu
karena masalah pemusnahan Red Lion dan juga masalah Hillda. Jadi, aku melakukan
beberapa hal yang mungkin takkan kau sukai. Apa kau pernah mendengar rumor
bahwa aku adalah seorang bajingan?”
Violette meneguk ludahnya. Gadis
itu menunduk...lalu mengangguk pelan.
“Iya.”
“Jadi, apa kau menolak untuk bersama
dengan seorang bajingan, Nona?” tanya Justin.
Violette terperanjat. Dia langsung
menggeleng saat ia menatap Justin kembali.
“T—Tidak—tidak, sir, bukan
begitu,” jawab Violette panik. “Lagi pula, aku tahu bahwa kau sedang ada
masalah saat itu.”
Menyadari siapa Elika
sebenarnya, Violette pun jadi goyah. Ia meruntuhkan niatnya untuk memberitahu
Justin bahwa Elika mungkin terlibat perkara penculikan Nathan. Justin mungkin
akan sangat marah meski Elika kini sudah tak tahu di mana si pelaku itu.
Namun, apakah Justin benar-benar
tidak tahu? Masalahnya, Justin itu orang yang sangat...jenius. Di mata
Violette, Justin itu selalu cerdas. Tebakan pria itu tak pernah meleset.
Violette mengerjap ketika suara
berat dan rendah Justin kembali terdengar di telinganya.
“Mulai sekarang, kau harus latihan.”
Violette sontak mengerutkan dahi.
Gadis itu memiringkan kepalanya karena heran mendengar perkataan Justin.
“Latihan? Latihan apa, sir?”
“Masih tak tahu?” ujar Justin, sukses
membuat dahi Violette semakin berkerut. Justin bernapas samar, lalu
melanjutkan, “Berlatih untuk menjadi seorang istri yang bisa melayani suaminya
dengan baik dan bisa tahu waktu jika di kantor.”
HAH? Tahu waktu?! Apa-apaan??!
Pipi Violette mendadak merona—dunianya
serasa berputar—tatkala memikirkan betapa genitnya dia di dalam kata-kata
Justin tadi. Betapa Justin sangat…OH SIAL.
“HEI! Apa maksudmu tahu waktu?!!
Memangnya apa yang akan kulakukan di kantor?!” teriak Violette tak terima.
“Kau selalu pandai melakukan apa
pun di dalam kantor, melebihiku. Jadi, kuharap kau bisa tahu waktu. Jika tidak,
pekerjaanku tidak akan selesai karena terus meladenimu, Mrs. Alexander
yang Terhormat.”
Pipi Violette semakin merona. Gadis
itu meneguk ludahnya; napasnya tersekat di tenggorokan. Jantungnya berdetak
kencang.
Mrs. Alexander...?
Ya Tuhan—ya Tuhan!! Apakah doa yang
Megan ucapkan waktu Violette sakit kemarin akan menjadi kenyataan? Selain
itu, ini keluar dari mulut Justin sendiri, lho! Seorang CEO muda dan kaya
yang terkenal dingin, tetapi sangat tampan dan misterius itu...betul-betul
mau menikahi Violette?
Violette tak tahu bahwa panggilan
Mrs. Alexander itu akan sangat berdampak besar baginya. Pikirannya menyeberang
jauh hingga ke masa depan. Jika melahirkan anak Justin, lalu menua bersama
Justin—oh Tuhan! Violette rasanya ingin membuang mukanya ke laut
saja! Rencananya besok pagi, mungkin. Ini memalukan sekali!
“Memutuskan untuk diam, hm?”
tanya Justin seraya tersenyum miring.
Violette membisu. Ia hanya terus menunduk
dan bibirnya memutih karena terus ia gigit dengan kuat. Pikirannya berkelana jika
mendengarkan satu kata sederhana itu.
Violette mulai bersandar pada jok
dan menggeleng frustrasi. Ah, kalah lagi. Dia memang tak bisa
menang melawan Justin...mungkin untuk selamanya.
Pada akhirnya, Justin hanya
menatapnya sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan hingga akhirnya mereka
sampai di gedung apartemen tempat Justin tinggal.
Setelah turun dari mobil, Justin langsung
menggandeng Violette. Pria itu seolah ingin melindungi Violette…atau mungkin
tak ingin Violette kabur lagi darinya. Seperti biasa, banyak orang yang langsung
terpesona dengan ketampanan CEO itu. He
living there is a blessing, though.
Genggaman tangan Justin tak bisa
Violette lepaskan; pria bertubuh tegap itu seperti sebuah eksistensi yang
sangat teguh dalam melindungi sekaligus memegang tangan Violette. Saat Violette
menatap ke depan, punggung Justin terlihat lebar dan kukuh.
Justin menggandeng Violette hingga mereka
sampai di lantai atas. Tatkala mereka akhirnya sampai di dalam unit apartemen
Justin, Justin langsung menutup pintunya kembali dan membawa Violette masuk ke
kamarnya.
Justin melepaskan tangan Violette
dan membiarkan Violette mengaduh kesakitan di tengah kamar, sementara dia
menutup pintu kamar kembali.
Violette meneguk ludahnya dan
menatap Justin. Gadis itu masih memegangi pergelangan tangannya.
“Mengapa terburu-buru sekali, sih?” tanya
Violette. Justin mendekati Violette dan melempar asal kunci mobilnya di sofa
yang ada di kamar itu.
Setelah itu, saat Violette tersadar,
tiba-tiba Justin telah memegang kedua tangannya dengan erat. Kontan mata Violette
membeliak; gadis itu langsung menatap tepat ke kedua mata Justin.
Namun, tatapan Justin yang intens itu
untuk kesekian kalinya sukses mengunci tubuh Violette. Violette langsung
mematung; keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.
“Aku sangat khawatir kau tak
mau menerimaku...” ujar Justin dengan suara rendahnya yang terdengar
sangat seksi. Violette meneguk ludahnya dengan susah payah.
“Mene—rimamu?” tanya Violette
dengan gugup.
“Jadilah istriku, Violette,” ujar
Justin dengan lirih. Ia menatap Violete dengan sangat lekat. Sinar dari
kedua matanya seakan sanggup melelehkan tubuh Violette. “Jadilah istriku dan
jadilah wanita yang akan melahirkan beberapa Alexander Junior.”
Violette tercengang. Matanya tak
berkedip sama sekali. Tangannya bergetar.
Be—beberapa Alexander Junior?!
“A—"
“Kumohon pikirkanlah. Aku mau kau
yang mendampingiku.” Justin bernapas. “Menikahlah denganku,
Violette.”
Mata Violette melebar. Ini adalah
proposal pernikahan yang agak...unik.
“A—Aku... Justin, aku—kau melihat
apa dariku? Kita berpacaran belum lama. Apa kau betul-betul percaya...padaku?”
tanya Violette heran.
“Violette. Kau pikir aku sudah
mengenalmu berapa lama? Kau adalah satu-satunya orang yang bersamaku sejak di
Red Lion hingga saat ini. Kalaupun kita tidak menikah, kau adalah bagian yang
terpenting dalam hidupku. Tidakkah itu berlaku sama untukmu? Selain itu, aku
tak ingin mendengarmu bertanya seperti, ‘kau melihat apa dariku?’ atau
sebagainya. Hargai dirimu,” jawab Justin dingin.
Violette mengerutkan
dahi—berpikir—dan ia mengalihkan pandangannya dari Justin.
“T—Tapi…apa maksudmu tadi? Beberapa Alexander
Junior?” tanya Violette kemudian.
“Hm,” deham Justin. “Kalau kau
sanggup melahirkan sepuluh Alexander Junior.”
Violette kontan menganga. Pipinya
merona, pikirannya melanglang buana. Ia sontak memelototi Justin walaupun
kenyataannya pipinya semakin merona. “Justin!! Banyak sekali!!!”
Justin tersenyum miring. Pria itu
malah mengangkat sebelah alisnya. “Tidak boleh?”
“Kau mau membuat tim sepak bola?!!”
teriak Violette.
“Tim sepak bola ada sebelas orang,
setahuku. Aku hanya minta sepuluh,” jawab Justin. “Nonaku ternyata nakal
sekali.”
“HEI!!! Bukan begitu—" Violette
menunduk dan mendadak ucapannya terputus. Akhirnya, karena merasa sangat malu, Violette
pun memberontak; dia mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Justin. Entah
karena malu atau apa, tenaganya jadi besar dan akhirnya ia terlepas dari
Justin. Ia pun berdiri membelakangi Justin.
Justin tetap memandangi Violette
dengan lekat meski gadis itu kini membelakanginya. Violette menyatukan kedua
tangannya dan meremas jemarinya. Pipi Violette terlihat semerah delima.
“Aku—aku belum siap, Justin,” ujar
Violette, gadis itu menunduk dan memejamkan matanya. “Aku belum mau menikah.”
Violette bisa merasakan Justin yang
mulai melangkah mendekatinya. Satu detik kemudian, ada sepasang tangan kekar yang
memeluk pinggang Violette dari belakang.
“Please…” Napas Justin berembus dengan
lembut di dekat telinga Violette. “You don’t want me?”
Pipi Violette semakin merona. Ia merasa
telinganya panas sekali karena napas Justin bertiup dengan lembut di sana.
Astaga, siapa pun tolong selamatkan
Violette!
“A—ku… Aku belum siap, Justin, aku—aku
belum mau.” Violette tetap teguh pada pendiriannya.
“Aku mencintaimu...”
Violette terkesiap. Justin—Justin
barusan—apa?
Oh, demi Tuhan, ungkapan cinta itu
sungguh di luar prediksi Violette. Tubuh Violette mematung. Justin membuat
Violette jadi tak bisa berpikir jernih.
Akhirnya, Violette menghela
napasnya.
“Biarkan aku berpikir terlebih dahulu,
Justin,” ujar Violette kemudian.
Setelah itu, Violette melepaskan
kedua tangan Justin yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu langsung berjalan mendekati
ranjang dan terduduk di lengan ranjang itu. Pikirannya dipenuhi dengan rasa
takut terhadap pernikahan. Violette selalu beranggapan bahwa pernikahan sakral;
pernikahan itu tidak boleh main-main. Pernikahan harus dipikirkan dengan matang.
Violette ingin masa depannya tetap terjamin saat ia menikah.
Pikiran Violette kalut.
Violette kemudian merasa bahwa
Justin mulai ikut duduk di sampingnya. Tiba-tiba, karena posisi duduk Violette
agak menyerong ke kanan, lagi-lagi Violette merasa pinggangnya dipeluk dari
belakang. Itu adalah pelukan yang sangat nyaman, tetapi agak kontras dengan
situasi yang sedang mereka hadapi.
Justin membenamkan wajahnya di antara
helai rambut Violette.
“Kumohon...” ujar Justin, suaranya
terdengar sangat lembut. “Hm?”
Tuhan. Astaga!!! Mengapa
Justin jadi seperti ini?!!
“Pernikahan itu tidak boleh
dilaksanakan sembarangan, Justin,” ujar Violette. “Kau harus merencanakannya
matang-matang! Ini bukan hal sepele! Ini penentu masa depan kita—ya Tuhanku—ini
akan menjadi masa depanku dan masa depanmu, Justin. Kumohon jangan membuat
keputusan seenaknya!” teriak Violette.
Air mata Violette jatuh dan
lagi-lagi ia melepaskan pelukan Justin. Ia kini berjalan ke dekat jendela kamar
Justin, lalu berdiri di sana sembari menyilangkan tangannya di dada. Bagaimana
bisa Justin bersikap seolah ini adalah hal yang sepele?
Untuk yang kesekian kalinya,
langkah pelan Justin itu terdengar di telinga Violette. Violette memejamkan
matanya, lalu kedua tangan yang berotot itu kembali melingkar di pinggangnya.
Violette dapat mencium wangi maskulin Justin di sekelilingnya sejak pria itu
kembali mendekapnya dengan hangat.
“Aku tak pernah melakukan hal yang
tak berguna, Violette,” jawab Justin dengan suara beratnya. “apalagi membuat
keputusan seenaknya. Jadi, jika aku bahkan sangat menginginkannya,
apakah itu termasuk ‘seenaknya’?”
Mata Violette membulat.
Justin...memang tak pernah
melakukan hal yang tak berguna. Justin takkan pernah melakukan hal yang tak
perlu ia lakukan. Jadi, jika pernikahan ini adalah sesuatu yang Justin
inginkan, berarti...
“Aku tak punya apa-apa, Justin. Apa
kedepannya kau takkan menyesal bila memiliki istri sepertiku? Kau adalah pria
yang memiliki kekuasaan. Banyak wanita yang menggilaimu. Selain itu, kau bilang
aku tidak seksi, ‘kan?!! Jadi, bagaimana mungkin aku tidak khawatir bila
menjadi istrimu?!!!” teriak Violette.
Justin tersenyum.
“Aku hanya ingin memiliki seorang istri
yang kucintai, lalu keturunanku yang terlahir dari rahimnya.”
Justin bernapas samar. Setelah itu, tiba-tiba dia berbicara dengan dingin,
“Coba tebak apa yang akan kulakukan bila aku bekerja dengan gadis-gadis yang cantik
dan seksi, tetapi aku selalu teringat dengan istriku yang bodoh—dan banyak
bicara—yang kebetulan satu ruangan denganku?”
Violette tercengang. Pipinya langsung
memerah padam.
“Kau masih ingin menolakku?”
tanya Justin dengan lirih.
Aduh. Violette harus jawab
bagaimana, coba?
Karena Justin terus mendesaknya,
Violette pun akhirnya memejamkan matanya. Dia berpikir keras.
Sesaat kemudian, kelopak matanya
kembali terbuka. Dia mulai menghela napas.
“Beri aku kesempatan untuk
berpikir, Justin,” ujar Violette, lalu ia melepaskan pelukan Justin. Violette
berjalan mendekati ranjang lagi, lalu berbaring menghadap ke dinding. Posisi
itu membuatnya jadi membelakangi Justin hingga yang bisa Justin lihat sekarang hanyalah
punggungnya.
Violette mencoba memejamkan matanya
kuat-kuat; ia berusaha untuk tidur, tetapi nyatanya ia masih berpikir keras. Kalau
ia tidur, mungkin esok pagi ia akan merasa sedikit lebih tenang.
Tak lama kemudian, Violette merasa bahwa
kasur yang sedang ia tiduri itu mulai bergerak, pertanda kalau ada seseorang
yang ikut naik ke ranjang dan berbaring di sebelahnya. Tiba-tiba, tubuhnya
diselimuti dengan selimut tebal, lalu ada sepasang tangan kekar yang memeluknya
dari belakang. Pria yang sedari tadi telah berulang-ulang memeluknya itu kini kembali
memeluknya dengan posesif.
Karena pelukan yang terasa sangat
nyaman itulah, Violette akhirnya bisa tertidur sampai pagi.
******
“Bagaimana?” Suara seorang perempuan terdengar
dari telepon yang digenggam oleh seorang pria di dalam sebuah ruangan yang
terlihat kusam dan berdebu.
“Kau mengaku kalau kau hanya
berteman denganku? Sialan! Bukankah itu akan memperlambat pergerakan mereka?” protes
pria itu.
“Bukankah akan lebih menarik bila
waktunya kita ulur-ulur dengan kesalahpahaman? Kau juga harus terus berpindah
tempat. Mereka akan kesulitan—walaupun mereka mengerahkan segala kekuatan polisi—bila
kau terus berpindah tempat. Aku ingin ini menjadi menarik; aku juga tak akan
berhenti sebelum aku mendapatkan priaku,” ujar si perempuan di seberang sana.
“Damn, Elika. Jadi, kau menyuruhku untuk berperan
di dalam permainanmu? Dasar perempuan sinting!” Pria itu tertawa.
Perempuan yang ada di seberang sana
juga tertawa. “Selicik apa pun kau, aku lebih licik darimu, Welton. I
love games.”
“Sialan. Baiklah, akan kuikuti
permainanmu. Jangan mengecewakanku, Elika.”
Gadis itu tertawa sinis. “Ya.
Ini akan menyenangkan.”
Welton tersenyum miring. Ia melihat
sekali lagi ke arah Jonathan yang tubuhnya tergantung tak berdaya di sudut
ruangan, lalu tertawa sarkastis.
“Gadis Red Lion itu sangat lambat.
Aku tak sabar hingga dia datang kemari!” teriaknya, lalu ia memutuskan
sambungan telepon itu.
******
Bulu mata lentik milik Violette
tampak bergerak samar. Dua detik kemudian, kelopak matanya terbuka…lalu menampilkan
kedua matanya yang berwarna biru. Sinar matahari agaknya telah masuk melalui celah
jendela kamar yang tak tertutupi gorden. Sinar itu membuat kedua mata Violette menyipit.
Ia sedikit bergerak untuk meregangkan otot-ototnya, tetapi…ada sesuatu yang
menahannya.
Di depannya, ada sebuah tubuh yang
besar dan maskulin, yang tampak jauh lebih kuat darinya. Tubuh itu mengunci seluruh
pergerakannya. Pinggangnya dipeluk erat.
Mata Violette membelalak ketika ia
melihat apa yang ada di depannya. Di sana, ia melihat wajah damai Justin yang
sedang tertidur. Wajah Justin berada tepat di depan wajahnya. Violette tertegun
untuk beberapa saat. Wajah Justin itu...terlihat damai sekali.
Violette meneguk ludahnya; gadis itu mulai berpikir.
Jadi, semalam mereka tidur berdua dengan
posisi seperti ini?
Sontak pipi Violette merona.
Violette kembali meneguk ludahnya.
Pelan-pelan, gadis itu mencoba untuk bangkit. Ia perlahan-lahan berusaha untuk melepaskan
tangan Justin dari pinggangnya, lalu meletakkan tangan Justin di permukaan
kasur. Setelah berhasil terlepas dari Justin tanpa mengeluarkan banyak bunyi,
Violete pun menggigit bibirnya; ia mencoba untuk keluar dari selimut, lalu
menurunkan kakinya. Dengan hati-hati, Violette pun berdiri…lalu berbalik dan membenarkan
selimut di tubuh Justin.
Violette memandangi Justin—yang
tertidur dengan damainya—dari atas. Ini adalah...pria yang ingin menikahi
Violette? Ini adalah...calon suami Violette?
Pipi Violette lagi-lagi merona.
Setelah berhasil menguasai dirinya,
Violette pun berjalan ke arah jendela dan mulai menyibak gorden. Sinar mentari pun
masuk dengan leluasa ke kamar itu.
Violette pergi ke kamar mandi.
Gadis itu mencuci mukanya sejenak, lalu berjalan ke luar kamar. Dia mau pergi
ke dapur.
Dia memeriksa kulkas yang ada di
dapur dan ya Tuhan, kulkas itu kosong. Apakah Justin selalu makan di luar?
Hanya ada beberapa minuman, roti tawar, buah, dan selai kacang di dalam kulkas
itu. Violette mengambil roti tawar dan selai kacang itu, lalu meletakkannya di
piring. Ia kemudian menoleh ke atas dan membuka rak gantung dapur, memeriksa
rak itu satu per satu dan akhirnya menemukan satu toples bubuk kopi. Violette mengembuskan
napasnya lega. Ia mulai menyiapkan secangkir kopi untuk Justin, lalu roti dengan
selai kacang untuk sarapan pagi mereka berdua. Selagi mempersiapkan segalanya,
Violette mendengar ada suara langkah kaki yang menuju ke kamar mandi dapur dan
ia pun menoleh. Ternyata, Justin baru saja masuk ke kamar mandi itu dan mencuci
muka.
Mengapa Justin mencuci muka di kamar
mandi dapur? Kan di kamarnya ada kamar mandi.
Violette kembali meneruskan
kegiatannya sampai akhirnya ia merasakan keberadaan Justin di dekatnya. Justin
berdiri di sebelahnya; kedua tangan pria itu bertumpu di kitchen counter.
Matanya terus mengikuti seluruh pergerakan Violette.
“Calon istri yang ideal,” puji
Justin tiba-tiba dan pipi Violette kontan memerah. Violette mendadak jadi tak
fokus. Justin kemudian melanjutkan, “Bangun lebih dulu, hmm? Tadi
malam tidurnya sampai menimpaku.”
Pergerakan Violette terhenti
seketika; pipinya semakin memerah seperti kepiting rebus. Dia malu sekali!
Menghela napas, Violette pun mencoba
untuk bersabar.
“Ayo sarapan,” ujar Violette, lalu
gadis itu pergi ke meja makan. Justin mengikutinya.
Violette meletakkan semua yang
telah ia siapkan itu di atas meja. Justin menatapnya, lalu memiringkan kepala.
“Terima kasih, Sayang.”
SIALAN.
Walaupun jantungnya serasa nyaris tercelus
ke perut, Violette tetap berusaha untuk duduk di seberang Justin dan mulai
makan. Justin meminum kopinya sejenak, lalu menatap Violette lagi.
“Hari ini aku ada jadwal latihan
di gym. Kau tidak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Justin.
Violette yang hampir menelan roti tawarnya itu langsung menoleh kepada Justin.
“Hm? Oh...ya,” jawab Violette. “Tidak
apa-apa.”
Justin mengangguk. “Sehabis
sarapan, aku akan mandi dan bersiap-siap. Maukah kau memilihkan bajuku dan
menjatah rokok yang kubawa?”
Violette menelan rotinya, lalu mengerjap
berkali-kali. Mengapa mendadak ia merasa aneh dengan perintah Justin ini?
Namun, pada akhirnya ia menjawab,
“Ya, Justin.”
Justin tersenyum miring.
“Pintar sekali mengambil hati
suaminya, hmm, Nona?”
Pipi Violette mendadak memerah lagi.
Kali ini, ia kesal pada dirinya sendiri karena terus mengiyakan Justin tanpa
sadar.
“HEI!!” teriak Violette.
Justin tak menghiraukan teriakan
Violette dan mulai memakan roti tawar.
Setelah sarapan, Justin pun mandi
dan Violette mulai menyiapkan bajunya. Berkali-kali Violette ragu karena ia tak
bisa memilihkan baju Justin. Ia tak tahu hari ini mau pakai baju apa. Namun,
pada akhirnya ia mengambil pakaian Justin sesuai kemauannya saja. Hari ini,
Violette ingin Justin membawa rokok dua batang saja. Itu untuk selama Justin pergi
ke gym saja,‘kan? Dua itu sudah banyak!
Justin terus menggodanya sampai
pria itu akhirnya pergi ke gym. Kali ini, pria itu membawa
Ferrari-nya. Kalau dipikir-pikir, mobil Justin itu banyak sekali. Di mana ia
memarkir semua mobil itu?
Violette menghela napas tatkala ia
menutup pintu unit apartemen Justin kembali. Ia gugup bukan main karena terus kena
sekakmat, terus dibuat malu, dan terus dibuat kesal.
Akhirnya, si Perayu Ulung itu pergi
juga.
Violette menghabiskan waktu sekitar
setengah jam untuk merapikan rumah itu; ia menyelesaikan pekerjaan rumah yang
bisa ia kerjakan di sana, lalu mandi. Setelah mandi, ia memakai kembali baju
Justin yang telah ia pakai sebelumnya, berhubung ia tak membawa pakaian.
Setelah selesai berpakaian,
Violette pun duduk di ranjang Justin dan mendengar ponselnya berbunyi. Ia
segera mengambil ponselnya, lalu kembali duduk di ranjang. Ternyata, itu adalah
panggilan telepon dari Megan. Tanpa pikir panjang, Violette mengangkat panggilan
telepon itu.
“Halo?”
“Yeaaaaaaaahhhhh, Violette! Kau di
mana, eh? Ini hari libur! Aku main ke rumahmu, ya?”
Mata Violette kontan membulat.
“J—Jangan!!” teriak Violette panik.
“Eh?” Megan jadi bingung. Setelah itu,
Megan melanjutkan, “Wait... Jangan-jangan CEO kita ada di rumahmu, ya?
Wah...bahaya, nih! Pelan-pelan saja, Violette, jangan langsung tancap ga—"
Mata Violette memelotot dan pipinya
benar-benar merona. Ia ingin memukul Megan dengan sapu sekarang juga.
“Megan! Itu tidak seperti yang kau
pikirkan, astaga!!!” teriak Violette dengan frustrasi.
Megan tertawa kencang. “Jadi?
By the way, kau ada di mana sekarang?”
Violette menghela napas. “Aku di
rumah Justin.”
Mendadak, Megan terdengar sangat girang
di seberang sana.
“WAAAAH, KAN BENAR KATAKU! RESEPMU
APA, SIH, SAMPAI MEMBUAT CEO KITA SANGAT LENGKET PADAMU?”
Violette menganga. “Dia tidak
lengket kepadaku, Meg!! Kau ini bicara apa, sih?! Demi Tuhan!”
Megan tertawa lagi.
“Iya, deh... Jadi, mengapa kau ada
di rumahnya?”
Violette menggigit bibirnya.
Mungkin lebih baik Megan diberitahu saja. Lagi pula, ia memang ingin
meminta saran dari Megan.
Jantung Violette berdegup kencang.
Violette lalu berbisik, “Meg... Kemarin, dia memintaku untuk menjadi istrinya...”
Megan terdiam. Violette tidak
mendengar suara apa pun, padahal kenyataannya…di seberang sana mulut Megan menganga.
Megan sendiri merasa seperti sedang dicekik. Napasnya tersekat di tenggorokan.
“HE WHAATTTT?!!!!!!!!!!” teriak Megan, kencang sekali,
hingga membuat Violette refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya.
“DIA INGIN MENIKAHIMU?! KAU SERIUS?!!
BAGAIMANA CERITANYA?!! CERITAKAN PADAKU, VIOLETTE!!! ASTAGA, KAU BERUNTUNG
SEKALI, EH?!!”
Violette mengernyitkan dahi sembari
menjawab pertanyaan itu karena telinganya sepertinya jadi agak tuli akibat
teriakan Megan.
“Tadi malam…kami bertemu dengan Mr.
Locardo Alexander. Tiba-tiba, dia berkata pada Mr. Locardo bahwa dia ingin
menikahiku bulan depan. Setelah itu, aku marah padanya, tetapi dia…terus memintaku
untuk menikah dengannya. Aku benar-benar terkejut. Mungkin dia bermain-main
saja,” kata Violette sembari mendengkus.
Megan berdecak.
“Violette? Dengar aku. Terima dia.
Terima!!!”
Violette menyatukan alisnya.
“Terima? Apa maksudmu? Mengapa kau—"
“SUDAH KUBILANG, TERIMA DIA!! Menurutku,
tak mudah baginya untuk berbicara manis kepada perempuan. Sudah nyaris dua
tahun aku bekerja di perusahaannya dan yang aku tahu, CEO kita itu selalu
tertutup dan misterius. Dia itu orang yang disiplin dan sangat dingin, bahkan
sebelumnya kukira dia itu sangat mengerikan. Namun, lihatlah. Dia sangat
memercayaimu. Dia bahkan memohon padamu. Tidakkah kau sadar bahwa itu adalah
keterbalikan dari sifatnya? Berarti, dia serius denganmu, Vio. Kau tahu? Sejak
dia berpacaran denganmu, banyak karyawan yang akhirnya bisa melihat wajahnya.
Biasanya, dulu dia nyaris tak terlihat. Banyak karyawan yang tak tahu wajahnya
sama sekali.”
Violette tercengang.
Itu...benar juga.
Violette menunduk dan menggigit
bibirnya. Dia terdiam sejenak.
“Aku akan memikirkannya, Megan,”
ujar Violette kemudian.
Megan menghela napas. Gadis itu
tersenyum di seberang sana.
“Baiklah, aku tahu itu sulit bagimu.
Perempuan memang agak sensitif soal pernikahan.”
Violette hanya diam.
“Namun, Vio... Bagaimana dengan
Nathan?” tanya
Megan tiba-tiba.
Violette mendadak menghela napas
berat. Ia langsung merasa lesu. “Belum ada kabar, Megan. Itulah mengapa aku jadi
sulit menerima proposal pernikahan dari Justin. Nathan tidak ada, Meg...”
Mata Violette berkaca-kaca. Megan
menghela napas.
“Jika memang dalam waktu dekat kau
akan menikah, Nathan diwakilkan saja. Kau tahu, Ayahku menganggapmu sebagai
anaknya juga.”
Ya, Violette sudah sangat dekat
dengan Megan, bahkan keluarga Megan terasa seperti keluarganya sendiri.
Namun, Violette hanya diam. Berat
baginya untuk melakukan itu. Kalau dia menikah, dia ingin Nathan ada di sana.
Tak lama kemudian, Violette
menghela napas. Tiba-tiba, ada sebuah panggilan masuk di ponselnya; panggilan
itu membuatnya melebarkan mata.
Itu...panggilan telepon dari…
Justin?
“Siapa itu? Sepertinya, ada
panggilan yang menunggu,” ujar
Megan. “Calon suami, yaaaaaa?”
Pipi Violette langsung merona.
“Diamlah!!!”
Megan tertawa kencang.
“Ya sudah, nanti kita sambung lagi.
Lebih baik kau angkat dulu telepon darinya,” ujar Megan. “Aku tutup
dulu, ya, Vio? Aku turut berbahagia.”
Violette tersenyum lembut. Panggilan
telepon dengan Megan pun terputus.
Setelah itu, Violette langsung menjawab
panggilan telepon dari Justin.
“Halo, sir?”
“Masih memanggilku ‘sir’?” tanya Justin dengan suara seksinya di
seberang sana.
“J—Jadi?”
“Panggil aku dengan panggilan yang
lebih manis,” perintah
Justin. “Sayang, misalnya.”
Pipi Violette kontan merona bukan
main.
“Aku tak bisa!” teriak Violette. Terdengar
Justin menghela napas di seberang sana.
Eh? Apa Justin…kecewa?
“Kau sudah mandi?” tanya Justin kemudian.
“Sudah.” Rona merah di pipi
Violette belum hilang.
“Kau ganti baju tidak? Jangan pakai
baju yang sama lagi. Ambil saja kausku.”
Ya ampun, ketahuan. Violette memang
tak bisa menyembunyikan apa pun dari pria itu.
Violette menggigit bibirnya. “I—Iya.”
Tiba-tiba, Violette mendengar suara
tawa seorang perempuan dari seberang sana. Sepertinya, perempuan itu ada di
samping Justin. Di dekat Justin.
Suara itu… Violette mengenalinya.
Alis Violette menyatu. Namun, begitu
dia sadar, matanya kontan membeliak.
“Justin,” panggil Violette dengan tegas.
“Hm?”
“Pulang. Sekarang juga.”
“What’s wrong?”
“Kubilang pulang sekarang!!!”
teriak Violette, lalu gadis itu langsung mematikan panggilan telepon itu.
Violette mencengkeram ponselnya dan menunduk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetar
karena marah.
Itu...Elika.
******
Justin menaruh ponselnya di dalam
saku celananya dan berdiri.
“Mau pergi ke mana, sir?”
“Kau menyembunyikan sesuatu,
Elika,” ujar Justin dingin. “Untuk apa kau ke sini menemuiku?”
Elika tertawa renyah.
“Ah...memangnya aku bisa menyembunyikan
apa darimu, sir?” Elika berdiri, berjalan mendekati Justin pelan-pelan...lalu
memeluk Justin dari belakang. Otot yang ada di balik kaus Justin itu sangat
terasa di lengan Elika.
“Tentu saja, aku kemari karena ingin
menemuimu, sir,” bisik Elika dengan sensual. Perempuan itu lalu
menggigit bibirnya dengan gerakan yang sangat seksi.
Justin hanya mendengkus. Dengan
gerakan yang tak terlalu kuat, Justin pun melepaskan pelukan Elika dan pergi
begitu saja.
Elika tersenyum.
“You just touched my hand, sir...
God, I miss that touch,” ujar
Elika dengan lirih ketika Justin sudah jauh darinya. Dia tersenyum seraya
memegangi lengannya yang baru saja disentuh oleh Justin.
******
Justin mengendarai mobilnya dengan
cepat; dia sudah pergi dari gym.
Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Selama di mobil, ekspresi wajahnya hanya datar. Dia terlihat bagai air yang
tenang, tak ada ombak sedikit pun.
Elika meneleponnya berkali-kali,
tetapi Justin tak mendengar panggilan telepon itu karena ponselnya sedang berada
dalam silent mode. Setelah sampai di gedung apartemen yang ia tinggali—dan
sudah memarkir mobilnya—Justin pun langsung masuk ke lobi, naik
lift...dan akhirnya sampai di depan pintu unit apartemennya. Justin membuka
pintu itu dengan password, lalu masuk.
Belum sempat Justin menutup pintu
itu kembali, dahi pria itu tiba-tiba berkerut. Ia merasa ada sesuatu yang
menyentuh bibirnya. Ia menyipitkan mata; ia tahu kalau itu adalah Violette.
Gadis itu sedang mencium seraya memeluk lehernya.
Ciuman Violette agaknya selalu
bersifat tiba-tiba.
Violette terus melumat bibir Justin
dan Justin hanya diam; Justin menerima ciuman itu.
Tujuh detik kemudian, Violette pun melepaskan
ciuman serta pelukan itu. Dia memandangi Justin dengan sepasang mata yang sudah
mengeluarkan air mata.
Justin hanya mengernyitkan dahinya.
“Jangan menemuinya lagi,” ujar
Violette. “Jangan pernah bertemu dengan Elika lagi!!! Kau bilang kau
ingin menikah denganku, ‘kan?! Fine! Jadi, menurutmu bagaimana
perasaan calon istrimu ketika mendengar suara tawa perempuan lain di
sampingmu—sedang bersamamu—saat kau jauh dariku?”
Mata Justin melebar.
Dalam kata-kata itu, Violette
secara tak langsung memberitahu Justin bahwa dia menerima Justin. Dia setuju
menikah dengan Justin.
Justin pun tersenyum miring.
[]
No comments:
Post a Comment