Chapter
3 :
Calm
and Deep Ocean
******
MATA
Mei
melebar.
Pada
momen itu, debaran jantung Mei terdengar sangat aneh. Debarannya kencang sekali.
Di hadapannya, dia melihat Akashi Roan Kaiser—dengan seluruh pesona dan
kekuasaannya—tengah duduk bersantai sambil menatapnya dengan lekat.
Memenjarakannya di dalam dunia yang dikelilingi dengan warna merah.
‘Pemandangannya
juga bagus’?
Tidak,
bukannya Mei mau percaya diri atau bagaimana, tetapi mengapa saat mengatakan
itu, Akashi menatap Mei? Dia ingin meminum kopinya—gelas kopi itu hampir
menempel ke bibir seksinya—tetapi dia justru menatap Mei dengan intens seraya
tersenyum miring. Tatapannya seakan bisa menembus jiwa Mei.
Yes,
he outright smirked then and there.
Selain
itu, lengan kemeja Akashi
digulung hingga ke siku; Mei bisa memandang lengan Akashi yang berotot,
berurat, dan menarik itu. Ada urat-urat nadi yang menonjol dari lengan bawahnya.
Mei tahu semuanya. Bukan karena Mei memperhatikan setiap
gerakan pria itu (sekali lagi, tentu saja tidak), tetapi karena...pesona pria
itu sudah di luar nalar.
Sial.
Sepertinya, pipi Mei merona. Ada bisikan di belakang kepala Mei yang hampir
menyuruhnya untuk mendekati Akashi sekarang juga dan menyentuh otot—
Oke,
tidak. Tidak. Tahan dulu. Akashi mungkin tidak bermaksud seperti itu; Mei
mungkin hanya salah paham.
Iya,
hanya salah paham.
Akashi
kini sedang meminum kopi, tetapi matanya konsisten menatap Mei dengan sangat
lekat. Sangat dalam. Penuh dengan misteri yang sukar untuk Mei
pecahkan.
Dia
sedang mengawasi Mei.
Seolah-olah
dia ingin memberitahu Mei bahwa Mei ada di dalam radarnya. Memastikan
bahwa Mei ada di dalam daftar pantauannya; bahwa dia menyadari keberadaan
Mei dan akan mengawasinya.
Kou
pernah bilang pada Mei bahwa terkadang imajinasi Mei itu terlalu aktif dan Mei
menyetujuinya. Itu cukup luar biasa mengingat dia bisa berpikiran aneh saat
ekspresi wajahnya benar-benar blank.
Akan
tetapi, seluruh tindakan yang Akashi lakukan itu betul-betul obvious.
Betul-betul mudah untuk disadari. Itu jelas-jelas bukan imajinasi Mei belaka.
Pria berambut merah itu seolah sengaja memberi tahu Mei bahwa dia sedang
memperhatikan Mei dengan motif tersembunyi. Dia seolah sengaja menatap Mei
dengan lekat, berbicara soal ‘pemandangan’, dan tersenyum miring.
Karena
tak ingin terlihat sangat terpengaruh dengan semua gerakan Akashi, Mei
pun mulai berdeham—dan berharap suaranya tidak serak—sebelum mengatakan, “O—Oh,
begitu. That’s kinda strange, but okay. Good for you, then.”
Akashi
tertawa kecil. “Anehnya bagaimana?”
Masih
dengan ekspresi datar, Mei pun menjawab, “Kau kelihatan kaya. Café ini,
kan, bukan tempat yang mewah. Agak aneh saja melihat orang dengan penampilan
sepertimu ada di sini.”
Kali
ini, suara tawa Akashi bisa Mei dengar dengan jelas. Oh, lord. Rasanya
seperti para malaikat berkumpul dan melemparkan suara-suara indah mereka untuk
membuat tawa milik Akashi. It was so heavenly. “Itu terdengar seperti
kau mau mengusirku, Mei.”
Kalau
saja Mei bisa merekam suara tawa itu untuk alarmnya.
Okay,
that was borderline creepy, Mei.
Sebentar.
Nanti dulu kagumnya. Respons dulu!
Mata
Mei melebar. “Tidak, maksudku bukan—"
“It’s
okay, Mei,” ujar Akashi seraya memiringkan kepalanya. Lagi-lagi,
pria itu tersenyum miring. “I like feisty.”
Was—was
he flirting with Mei just now?
Tidak,
pipi Mei tidak memerah karena kalimat itu. Sama sekali tidak.
“Seleramu
agak aneh, kalau begitu,” komentar Mei. Betul-betul tak mengizinkan dirinya
untuk kalah dengan pesona Akashi. Dia harus melawan spesimen sempurna di
depannya ini kalau dia tak mau jatuh cinta. “Kupikir, pria sepertimu akan
menyukai sifat yang lembut dan elegan.”
Tiba-tiba
tubuh Akashi yang seksi dan maskulin itu bergerak. Pria itu kembali memajukan
tubuhnya…lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja. Tatapannya terus fokus
pada Mei. Dia menyatukan jemari tangannya—di depan wajahnya—lalu tersenyum
miring saat berkata, “Pria…sepertiku? Memangnya aku seperti apa, Mei?”
Sial.
Sial. This fucking ikemen looking ass bitch—
Akashi
pasti tahu bahwa Mei sedang malu, ‘kan? He definitely knew it and was
basking in it!
Mei
sudah menutupi rasa malunya sebisa mungkin. Apa masih ketahuan? Soalnya, pria
itu terlihat sangat terhibur dan sangat menikmatinya!
Kali
ini, pipi Mei betul-betul memerah dan Mei tak mampu menahannya lagi tatkala
berkata, “Kau mau menggodaku, ya?”
Akashi
spontan tertawa.
Dia
tertawa lepas.
“Forgive
me. I just enjoyed talking with you. Couldn’t help myself,”
ujar Akashi. Tawanya kini sudah berhenti dan hanya menyisakan senyuman di
wajahnya. “tetapi serius, aku sedikit penasaran.”
Kau
itu sempurna.
Oke,
tak mungkin Mei bilang begitu, ‘kan?
“Well…”
Mei
berhenti sebentar, memilih kata-kata yang harus ia ucapkan. Setelah itu, dengan
ekspresi datarnya, ia berkata, “Kau terlihat seperti pria yang sukses di segala
bidang. Mungkin statusmu tinggi atau sesuatu seperti itu. Wajahmu juga…”
Akashi
memiringkan kepala, lalu menumpukan pipinya di kepalan tangan kanannya. Sial, entah
mengapa Mei mendadak melihat ada bunga-bunga dan kupu-kupu imajiner yang jadi
latar belakang sosok Akashi. Jika Akashi berada di dalam dunia komik, dia jelas
merupakan karakter utama prianya.
“Wajahku…?”
Akashi bertanya, dalam posisi itu, seraya tersenyum miring. Dia menunggu
lanjutan kalimat Mei.
Oke,
ini tidak bisa ditoleransi lagi.
Mei
langsung mendengkus. Matanya menyipit. “Kau menikmati ini, bukan? Aku
tidak akan melanjutkannya, kalau begitu.”
Akashi
tertawa lagi. “Okay, Princess. I won’t do it again. Please continue.”
Wait.
Prin…cess?
Pria
tampan ini agaknya benar-benar sedang menggoda Mei.
Pipi
Mei lagi-lagi merona, but of course, pride was always a sin.
“Sisanya
kau cari tahu saja sendiri,” ujar Mei. “Apa kau tidak pernah berkaca,
Akashi-kun? Kau mau kupinjamkan kaca?”
Akashi
menegakkan kepalanya, lalu kedua alisnya terangkat; dia merasa geli dengan
respons yang Mei berikan. He was amused. “Baru kali ini ada yang
memanggilku dengan akhiran -kun. Ternyata, aku cukup menyukainya.”
Oke,
dasar orang tampan yang (sepertinya) kaya raya.
Namun,
serius. Akashi tak pernah mendapatkan reaksi seperti itu. Reaksi dari
Mei, kata-kata Mei, tergolong selalu to the point. Omongan gadis itu
sangat tajam, sadis, berani, dan terus terang. Ditambah lagi, dia
mengatakan semua itu dengan ekspresi datar.
Akhiran
-kun di belakang nama Akashi? Terdengar seperti teman sepermainan saja. Hal itu
membuat Akashi jadi kaget, hampir tak menyangka, sekaligus terhibur.
Ternyata, Mei tak begitu menganggapnya sebagai orang asing lagi.
Interesting.
“Apakah
kau selalu datang ke café ini sendirian, Mei?” tanya Akashi. Matanya
masih menatap Mei tanpa berpaling dan ia tersenyum.
Ekspresi
Mei betul-betul datar saat mengatakan, “Aku tak mau mendengar itu dari
seseorang yang juga datang ke sini sendirian, Akashi-kun.”
Akashi
lagi-lagi tertawa.
“Forgive
me, Mei.
That’s not what I meant. Maksudku, apakah kau tidak memiliki seseorang?
Teman…atau…” Akashi menatap Mei dengan saksama. Dia lalu tersenyum miring;
suaranya sengaja diturunkan dengan menggoda. “pacar?”
Mata
Mei melebar.
Oh,
Tuhan. Mei cukup tahu apa maksud pertanyaan itu; dia sudah
dewasa.
Akashi
was definitely enjoying this. He asked in a very, very seductive way.
Goddammit.
“Kadang-kadang,
aku ke sini bersama rekan kerjaku. Teman sekantor,” jawab Mei.
Akashi
memiringkan kepalanya. “Bagaimana dengan pacar?”
Boleh
tidak kalau Akashi saja yang jadi pacar Mei?
Oke,
bukan. Bukan begitu. Please restrain yourself, Mei.
Mei
mulai berpikir. Apakah Mei harus memberitahukan soal ‘pacar’ kepada
Akashi? Soalnya, status Mei saat ini adalah: dia baru putus karena
diselingkuhi. Rasanya…masalah itu agak personal. Seperti…too much
information.
Akashi
doesn’t need to know that.
Namun,
jika Mei tanya lagi kepada dirinya sendiri, sepertinya akan aman-aman saja
apabila dia memberitahu hal itu kepada Akashi. Tidak ada ruginya juga untuk
mereka berdua, ‘kan? Soalnya, memang seperti itu kenyataannya. Untuk apa juga
berbohong?
Lagi
pula, Akashi memang ‘bertanya’.
Baiklah,
sepertinya tidak masalah.
“Aku
tidak punya pacar, Akashi,” jawab Mei. Dia menatap balik ke kedua mata Akashi.
Namun,
Akashi tiba-tiba mengerutkan dahinya. “Mengapa? Tidakkah kau terlalu cantik
untuk menjadi single?”
Pipi
Mei. Benar-benar. Tidak. Merona.
Itu
pujiannya sungguhan atau sekadar mau merayu Mei saja?
Terkutuklah
Akashi dan seluruh kesempurnaannya.
“Tidakkah
kau terlalu tampan untuk menanyakan hal itu pada gadis biasa sepertiku? I
don’t believe that’s any of your business, Akashi-kun,” ujar
Mei dengan mata menyipit.
Biasanya, mulut Mei hanya akan menimbulkan masalah.
Namun, Akashi hanya tertawa. Dia agaknya jadi banyak tertawa hari ini.
“I
can honestly say that evading any kind of flirting whatsoever seems to be a
skill of yours, Mei,” ujar Akashi. “Kau selalu bisa
membalasku.”
Mei
akhirnya mendengkus.
“Aku
memang single, soalnya aku baru putus dengan kekasihku beberapa hari
yang lalu.”
Mendengar
jawaban Mei, Akashi lantas sedikit mengerutkan dahinya. “Kok bisa?”
Mei
meminum vanilla milkshake-nya sejenak—dia hampir lupa dengan minumannya
sendiri—lalu menatap Akashi lagi dan berkata, “Dia selingkuh dengan perempuan
lain.”
Akashi
kontan mengangkat kedua alisnya. Pria itu tampak terkejut. “Seriously? Your
boyfriend is one hell of a stupid person.”
Mata
Mei melebar. Rasa gugupnya sontak naik ke permukaan; pipinya mulai memanas.
Sial, ini sudah sore, ‘kan? Iya, ini sudah sore. Mei harus pulang sekarang
juga. Dia harus pulang ke rumah sebelum dia membanting dirinya sendiri
ke pelukan Akashi secara impulsif.
Is
he serious or just smooth talking?
Well, Haruki
memang bodoh, sih, tetapi bukan bodoh di bagian sana. Soalnya, Mei memang punya
kekurangan juga.
Walaupun
pipinya merona, Mei tetap berusaha untuk tenang. Dia berdeham, lalu meminum vanilla
milkshake-nya lagi.
Ya,
dia harus pulang sekarang.
Setelah
meletakkan kembali cup vanilla milkshake-nya di atas meja, Mei pun mulai
meraih tasnya dan berdiri. Gadis itu lantas menatap Akashi dari atas dan
berkata, “Baiklah, Akashi. Aku pulang dulu, ya. Ini sudah sore.”
Akashi
lantas menegakkan tubuhnya—dia duduk tegap—dan matanya melebar. “Oh, sudah mau
pulang, ya?”
“Matahari
sudah mau terbenam. I need to take a shower. Doesn't that apply to you as
well, Akashi-kun?” tanya Mei.
Akashi
tertawa kecil. “Suit yourself, my lady. May I offer you a ride?”
Mei
tertegun. Matanya melebar samar.
Ini…aneh.
Meskipun Mei tahu bahwa dia harus segera pulang untuk menghindari Akashi,
meskipun Mei tahu bahwa rumahnya tidak jauh sampai harus diantar pulang oleh
Akashi, meskipun Mei tahu bahwa berduaan saja dengan Akashi justru akan
lebih mendebarkan untuknya, saat mendengar tawaran dari Akashi…
…entah
mengapa Mei tidak bisa menolaknya.
Ternyata,
Mei belum benar-benar bisa menahan dirinya dari godaan duniawi seperti ini.
Sial.
******
Jadi,
saat ini Mei sedang berada di dalam mobil Akashi. Mei, out of nowhere, mengenal
seorang pria asing yang luar biasa, lalu mereka bertemu dalam dua hari
berturut-turut dan akhirnya Mei diantar pulang oleh pria itu.
Great.
Itu
mulai terdengar seperti Mei memberikan dirinya kepada pria asing dengan sangat
mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
Perjalanan
dengan mobil itu sebenarnya cukup menyenangkan meskipun Mei tahu bahwa itu
takkan lama. Mei duduk di jok penumpang depan, di sebelah Akashi, dengan
nyaman. Mobil Akashi sangat sejuk dan wangi. Sebenarnya, wangi tubuh Akashi
tersebar di dalam mobil itu dan tidak, Mei tidak bermaksud untuk mengirupnya
lebih dalam. Namun, ekhem, dia pasti betah kalau berada di dalam mobil
itu sampai malam.
Masuk
ke mobil Akashi berarti juga masuk ke teritorial pria itu. Teritorialnya
dipenuhi dengan wangi tubuhnya. Begitu kau masuk ke teritorial itu, kau
akan merasa seperti dipeluk olehnya karena wangi tubuhnya tersebar di sana.
Mei
betul-betul tidak akan mencari tahu merk parfum apa yang Akashi
pakai.
Namun,
kalau Mei cari di Google, mungkin akan ada sedikit infor—
Ekhem.
Mei
mulai menoleh kepada Akashi yang duduk di sampingnya. Memperhatikan seluruh gerakan
tubuh Akashi yang sangat menggoda; lengan Akashi yang berurat saat
memegang roda kemudi, mata merahnya yang tajam, tubuhnya yang berotot, rambutnya
yang disisir ke belakang, tulang pipinya yang tinggi, rahangnya yang tegas…
…and
not to mention his incredibly chiseled face.
Ya
ampun. Ayo singkirkan pikiran-pikiran yang tidak senonoh, Mei.
Akashi
menggantung jasnya di jok yang ia duduki. Pria itu hanya mengenakan vest di
luar kemeja dan dasinya. Bentuk tubuhnya tercetak jelas dengan pakaian seperti
itu.
Mei betul-betul menahan dirinya untuk tidak
memperhatikan tubuh kekar Akashi secara detail. Akashi bisa memergokinya
dan menikmati situasi di antara mereka seperti tadi.
Akan
tetapi, diam-diam…Mei sesekali menoleh kepada Akashi. Menatap Akashi dengan
intens; memperhatikan wajah Akashi seolah ingin membaca sesuatu.
Namun,
Mei tidak bisa membaca apa pun, kecuali apa yang sudah ia ketahui dalam dua
hari belakangan. Membaca seseorang seperti Akashi tentunya merupakan tugas yang
sulit. Makanya, kesan yang Mei dapatkan selama dua hari ini tentu merupakan
informasi yang luar biasa.
Akashi
adalah orang yang gentle, ramah, dan tenang. Reaksi serta ekspresinya
tidak berlebihan, tidak juga kurang. Layaknya samudra, dia tenang dan indah,
tetapi di sisi lain, dia tampak begitu dalam dan misterius.
Seperti
ada sesuatu di dalam dirinya yang 99 persen masih tersembunyi di dasar.
Entah
apa itu.
Meskipun
Akashi sempat melontarkan beberapa rayuan kepada Mei, kesan Mei pada Akashi
tetap tidak berubah. Mungkin, aksi-aksi rayuan yang seksi itu hanyalah nol koma
sekian persen dari seluruh hal yang Akashi simpan.
Di
balik mata berwarna merahnya itu, seolah-olah ada kegelapan yang
tak berujung. Kegelapan yang mungkin akan menenggelamkan Mei
selamanya.
Namun,
meski sudah mendapat kesan yang seperti itu, Mei belum ada niat untuk
betul-betul menolak keberadaan Akashi.
Pria
itu terlalu sempurna untuk dibiarkan.
Well,
the dangerous and mysterious ones are always the most attractive.
Setelah
beberapa detik memperhatikan Akashi, Mei pun mulai bersuara.
“Akashi.
Apakah kau merupakan anak seorang raja, bangsawan, atau sesuatu sejenis itu?”
Akashi
sontak tertawa renyah. Perjalanan yang tadinya terasa tenang dan
menyenangkan, kini jadi semakin menyenangkan karena suara tawa Akashi.
Iya,
iya! Mei tahu kok kalau pertanyaannya sangat konyol. Mei tahu banget! Akan
tetapi, melihat respons Akashi yang hanya tertawa dan tidak menjawab
apa-apa, Mei jadi sangat malu. Dia merasa seperti orang idiot; pipinya kontan
memanas.
Namun,
berdeham satu kali, Mei pun langsung menormalkan ekspresinya lagi dan berkata,
“K—Kalau begitu, apakah kau memimpin sesuatu? Apa saja, pokoknya
memimpin sesuatu. Do you? Kau terlihat seperti salah satunya.”
Aura
kebangsawanan serta kepemimpinanmu kuat sekali, soalnya. Itulah
yang mau Mei sampaikan.
“Hmm…
Pemimpin, ya?” Akashi menatap ke depan, lalu tertawa kecil. “Maksudmu
seperti Power Rangers? Ranger Merah adalah pemimpinnya.”
Kontan
saja ekspresi Mei jadi betul-betul datar karena merasa kesal. “Aku
serius, Akashi-kun.”
Akashi
lagi-lagi tertawa.
Kalau
begini, Mei rekam sajalah suara tawanya itu. Biar dia tahu rasa.
Namun,
sebelum Akashi sempat menjawab pertanyaan itu, ternyata mereka sudah sampai di
samping apartemen Mei. Mei—yang kebetulan melihat ke luar jendela saat
itu—kontan memberitahu Akashi, “Oh, ini apartemenku, Akashi. Kau bisa
menurunkanku di sini.”
Akashi
sedikit memiringkan kepalanya—melihat ke arah yang sama—lalu matanya sedikit
melebar. “Ah, oke. Tunggu sebentar, biar aku berbelok sedikit.”
Mei
menolak. “Tidak, tidak perlu. Aku bisa turun di si—”
“I
will drop a woman off right in front of her house, my lady,” jawab
Akashi. “to ensure her safe return.”
Sial.
Mudah-mudahan warna merah di pipi Mei tersamarkan oleh sinar matahari yang
sudah berwarna oranye.
He’s
so damn perfect. That’s illegal.
Tahan,
Mei. Sebentar lagi kau akan turun.
Ketika
sudah sampai tepat di depan apartemen Mei, Akashi pun menghentikan mobilnya. Pria
itu baru saja ingin keluar—ingin membukakan pintu mobil untuk Mei—tetapi Mei
langsung menghentikannya. “Tidak perlu, Akashi. Aku tidak ingin merepotkanmu
lebih dari ini.”
“Kau
tidak akan pernah merepotkanku, Mei.”
Stupid,
heart, calm the fuck down.
Mei
berdeham, menyembunyikan rona merah terkutuk yang tampaknya muncul dengan mudah
di wajahnya hari ini. “Tidak usah, Akashi. Tetaplah di sini. Aku tidak apa-apa.”
Akhirnya,
Akashi pun menurutinya.
Mei
lantas melepaskan seat belt-nya, lalu menoleh kepada Akashi. “Terima
kasih atas tumpangannya, Akashi.”
Akashi
mengangguk. “Hmm. You’re welcome, Mei. It was a pleasure spending
time with you today.”
The
pleasure was all mine, you fucking sexy creature—
Mei
meneguk ludahnya; dia mulai gugup. Namun, dia tetap berusaha untuk merespons
Akashi dengan tenang dan normal. “Aku duluan, ya, Akashi. Hati-hati
dalam perjalanan pulangmu.”
Akashi
kembali mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Thank you, Mei. Looking
forward to meeting you next time.”
Oh, so
there ‘is’ a next time.
Mei
mengangguk. Tak menghiraukan rengekan di belakang kepalanya yang terus menyuruhnya
untuk tetap berada di dekat Akashi.
“Hm.
Well, then.” Respons Mei akhirnya sesingkat itu.
Mei
pun beranjak keluar dari mobil Akashi. Dia menutup pintu mobil itu kembali,
lalu melambaikan tangannya kepada Akashi dengan pelan.
Akashi
tersenyum; pria itu ikut melambaikan tangannya kepada Mei. Ia lalu melihat Mei
yang mulai berbalik dan berjalan ke arah tangga apartemennya.
Akashi
memperhatikan apartemen itu dengan saksama. Lokasinya, gedungnya,
suasananya; seluruh detailnya. Dilihatnya Mei yang sedang menaiki tangga
menuju ke lantai dua apartemen itu.
Setelah
sampai di lantai dua, Mei pun berjalan sejenak dan akhirnya sampai di depan
salah satu pintu. Dia membuka kunci pintu itu, lalu masuk ke sana dan menutup
pintunya kembali.
Oh.
Jadi,
dia tinggal di unit nomor dua dari tangga.
Akashi
tersenyum miring.
Dia
memang menunggu di sana. Memperhatikan dan mengawasi Mei dari dalam
mobil. Setidaknya sampai dia melihat di mana unit apartemen Mei.
Saat
telah melihat segala hal yang ingin dia ketahui, dia pun mengembuskan
napasnya samar.
Dia
lalu tertawa kecil. “Such a cute baby doll.”
******
Akashi
turun dari mobil hitamnya. Setelah mengantar Mei pulang, pria itu langsung
mengendarai mobilnya menuju ke suatu tempat. Kini, langit sudah gelap.
Mobil
itu berhenti di depan sebuah hotel bintang lima.
Akashi
tidak memakai jasnya. Jas itu menggantung di lengannya tatkala sepatu berwarna
hitamnya menjejak tanah. Ia lalu berdiri dan menutup pintu mobilnya.
Saat
ia turun, ada delapan orang pria yang sudah berbaris di depannya.
Delapan pria itu menyambutnya dengan menunduk hormat; empat orang
berbaris di kanan dan empat orang lagi berbaris di kiri. Mereka semua memakai
pakaian serba hitam, dilengkapi dengan topi fedora.
Meski
cuaca tampak baik-baik saja tadi sore, kini agaknya cuacanya mulai mendung. Ada
beberapa kilat yang sudah muncul di langit sejak tadi. Suara gemuruh petir
terdengar sesekali.
Kedelapan
pria yang berbaris di depan Akashi itu mulai bersuara. Mereka berbicara dengan
tegas.
“Selamat
datang, Boss.”
Akashi
hanya mengangguk singkat. “Hm.”
Setelah
itu, salah satu dari kedelapan pria itu mulai maju ke depan dan menghadap ke
Akashi. Dia masih menunduk hormat, tetapi kini ia meletakkan sebelah tangan
kanannya di dada. Di atas jantung.
Lantas,
dia pun mulai berbicara. Melaporkan sesuatu kepada Akashi dengan suara
yang tergolong pelan, tetapi terdengar sangat jelas.
“Thank
you for your hard work, Boss,” ujarnya. “Persiapan
sudah selesai. Dia sudah ada di dalam. In the underground.” []
No comments:
Post a Comment