Chapter
3 :
Bleached
White Hair
******
RASA
penasaran
membuat kucing terbunuh. Baiklah, peribahasa itu biasanya digunakan untuk
memberitahu adanya bahaya kalau kau mencari tahu sesuatu lebih dalam
atau melakukan percobaan yang tidak-perlu-dilakukan, tetapi ketahuilah, manusia
pada dasarnya selalu kurang puas. Omong-omong soal melakukan
‘percobaan’, seharusnya Kanna mendengar pesan ibunya. Seharusnya Kanna lebih
berhati-hati. Seharusnya Kanna tidak mendekati Riley sama sekali malam
itu dan menjalani hidupnya seperti biasa.
Oke, pesan ibunya itu tidak salah
sama sekali. Itu wajar karena keselamatan adalah hal yang utama.
Namun,
meski mematuhi ibunya adalah keputusan yang terbaik, Kanna tentu tak
bisa membiarkan Riley menggigil kedinginan di taman malam-malam begitu,
terutama penampilannya saat itu terlihat sangat menyedihkan. Entah mungkin
karena wajahnya yang tampan atau terlihat polos, intinya bagi Kanna saat
itu Riley terlihat suci. Riley terlihat seperti orang baik yang mungkin kebetulan
sedang ada masalah.
Selain
itu, Kanna juga tahu bahwa jika dia tidak mendekati Riley malam itu…maka kisah
di antara mereka takkan pernah dimulai. Berbagai cerita yang mungkin
akan muncul, berbagai perubahan hidup yang akan Kanna alami…semuanya
takkan terjadi bila Kanna tidak mendekati Riley. Hidupnya akan kembali seperti
biasa. Monoton dan melelahkan. Kerja, kerja, dan kerja. Sampai di sini, Kanna
mulai bingung mana yang terbaik dan mana yang tidak.
Hadirnya
Riley jujur saja membuat Kanna merasa lebih bersemangat. Seperti mendapatkan
motivasi baru. It’s a breath of fresh air; it’s exciting.
Baru,
berbeda, dan menyenangkan.
Namun,
sesuatu yang baru itu kini sedang menangis di depan Kanna.
Kanna
masih belum sempat menutup pintu. Ruang tamu rumah itu gelap, hanya dibantu
oleh cahaya bulan yang sangat terang dari luar. Kanna baru sadar juga bahwa
tadi lampu teras pun mati.
Kanna
masih berjongkok di dekat pintu, berhadapan dengan Riley yang tengah duduk
bersimpuh.
Riley
masih memegang tangan Kanna ketika Kanna mulai mengusap air mata pemuda itu.
Usapan Kanna terasa sangat pelan…dan hati-hati. Tatapannya begitu sarat
akan simpati. Mendadak ia ikut sedih.
“It’s
okay, Riley…” bisiknya. “Jangan menangis…”
Riley
pelan-pelan mengarahkan tangan Kanna agar berada di pipinya. Ia mulai
memejamkan mata, lalu menggesekkan pipinya ke telapak tangan Kanna; ia ingin merasakan
sentuhan Kanna itu lebih dalam.
“Your
hand is warm…” puji Riley dengan suara lirih. “Aku
suka.”
Melihat
pemandangan yang seperti itu, pipi Kanna kontan bersemu merah.
Sial.
Untuk
sesaat, Kanna memang membenarkan perkataan sang ibu di dalam kepalanya. Namun,
melihat Riley yang seperti ini, Kanna sekali lagi jadi ingat mengapa ia
membawa Riley masuk ke rumahnya begitu saja.
Riley
terlihat seperti anak anjing yang telantar. Anak anjing yang langsung
mampu merebut hatimu saat pertama kali kau menemukannya.
Suaranya
saat mengatakan ‘suka’ itu…lirih sekali. Serak…rendah…dan seksi.
Oh,
ya Tuhan. Kanna harus bisa menguasai dirinya sendiri. Takutnya malah dia yang
akan menyerang Riley terlebih dahulu.
Tidak,
sih. Kanna tidak seberani itu, sebenarnya. Pikiran Kanna saja yang
kadang-kadang lebih maju dua langkah.
Riley
akhirnya membuka mata. Kedua matanya yang berair itu kini menatap Kanna
dengan tatapan memohon.
“Aku
tidak akan meninggalkanmu begitu saja, Riley…” Kanna mencoba untuk menenangkan
Riley seraya tersenyum. “Kau tidak perlu sekhawatir itu. Aku baik-baik saja.
Jangan menangis lagi, ya?”
Riley
diam sejenak. Pemuda itu menatap Kanna dengan begitu intens. Begitu
dalam…seolah mampu menembus jiwa Kanna. Ia seakan tengah mencari
sesuatu di balik mata Kanna.
Sesaat
kemudian, akhirnya ia mengangguk pelan. “Hm. Baik, Kanna. I’ll listen
to you.”
‘I’ll
listen to you.’
Kanna
melebarkan mata. Jawaban itu entah mengapa terdengar aneh di telinganya.
Mengapa Riley menjawabnya seolah-olah ia baru saja memberikan sebuah perintah?
Akan
tetapi, akhirnya Kanna menggeleng. Ia tak ingin terlalu banyak berpikir. Lagi
pula, saat ini keadaan Riley lebih penting. Mungkin, apa yang ia lakukan
tadi—pulang terlambat tanpa memberikan informasi sebelumnya—telah men-trigger
sesuatu di dalam diri Riley yang tak ia ketahui.
Then
again, Riley itu telantar. ‘Ditinggalkan sendirian’ mungkin
telah menjadi masalah yang besar untuknya.
Kanna
tersenyum lembut. Pipinya masih memerah. Gagasan itu membuatnya sontak ingin
lebih…memperhatikan Riley. Ia tak tahu keinginannya ini benar atau salah,
tetapi…
Riley
agaknya terlalu berharga untuk dibiarkan.
Belum
sempat Kanna merespons ucapan Riley, tiba-tiba saja Riley kembali bersuara.
Suaranya masih lirih…dan tatapannya pada Kanna masih sama. Namun, kali
ini…
…Riley
tersenyum lembut.
“You
are very warm and kind, Kanna…”
Saat
Riley mengatakan itu, tak tahu apa sebabnya, Kanna mulai memperhatikan rambut
Riley. Di antara cahaya rembulan yang sangat terang malam itu, rambut putih
Riley tampak begitu bersinar. It glows in the dark. Rambutnya terlihat
indah, lembut…
Tanpa
sadar, Kanna tak kunjung berpaling. Matanya fokus memandangi rambut
Riley...dengan kagum.
Riley
begitu elok.
Pipinya
juga terasa lembut di tangan Kanna…
Saat
telah kembali ke kenyataan—berhenti mengagumi rambut Riley—Kanna pun akhirnya
bersuara.
“Terima
kasih, Riley. Kau juga sangat baik dan hangat.”
Mendengar
pujian itu, kedua mata Riley mendadak berbinar. Senyumnya semakin merekah.
“Benarkah? Aku senang mendengarmu berpikir seperti itu. Aku ingin kau berpikir
baik tentangku…”
Namun,
Kanna tiba-tiba mengerutkan dahi. “Kau sangat baik, Riley. Namun, kupikir
sebaiknya kau tidak mengatakan sesuatu seperti itu kepada orang yang baru saja
kau temui.”
Mata
Riley melebar. Ia terlihat sangat polos. So pure. “Sesuatu…seperti apa,
Kanna?”
“Semuanya.
Semua yang kau katakan tadi,” jawab Kanna langsung. Gadis itu menatap Riley
dengan khawatir. “Tidak seharusnya kau mengatakan itu pada orang yang baru saja
kau temui.”
Riley
menunduk. Tatapan matapan mendadak jadi nelangsa. Kelopak matanya agak turun;
ia terlihat begitu menyesal sekaligus sedih.
“Maafkan
aku. I shouldn’t do this, should I? I don’t want to annoy you. I’m sorry.”
Mata
Kanna spontan membeliak. “No, no! Kau tidak menggangguku. Aku hanya
terkejut. Aku tak menyangka bahwa kau akan benar-benar menungguku dan takut aku
meninggalkanmu.”
Jemari
tangan Riley pelan-pelan bergerak lagi. Dia mencari jemari tangan Kanna,
lalu menjalin jemari mereka. Digenggamnya tangan Kanna itu dengan lembut, lalu
diarahkannya punggung tangan Kanna ke bibirnya.
Setelah
itu, dia mencium punggung tangan Kanna.
Ciumannya
terasa sangat lembut…selembut kapas. Ciuman kupu-kupu yang sanggup menggelitik
perut Kanna sekaligus membuat jantung Kanna berdegup kencang.
Sepertinya,
ini adalah kali kedua Riley mencium tangan Kanna. Apakah dia…pernah melakukan
ini sebelumnya? Atau mungkin seseorang telah mengajarinya sejak dia kecil? Dia
terlihat seperti…melakukan sesuatu yang sudah-sepantasnya-dilakukan. Layaknya
mengikuti pendidikan karakter di sekolah. It feels so natural.
“You
are my precious angel, Kanna. My savior. You believed in
me…so I don’t want to lose you,” ujar Riley. “but I can’t do this, can
I? I’m afraid you might lose interest in me and leave. I don’t want that to
happen…”
Kontan
saja mata Kanna melebar.
Mengapa
Riley berpikir seperti itu?
Dia
takut Kanna kehilangan ketertarikan padanya dan meninggalkannya?
Apakah
ini…merupakan sesuatu yang normal untuk dikatakan kepada orang asing?
Oke, mungkin mereka tidak begitu asing lagi, tetapi mereka baru saja bertemu!
Ada
suara-suara di belakang kepala Kanna yang terus berbisik kepada Kanna.
Suara-suara itu terus memberitahu Kanna bahwa sikap Riley itu aneh, tetapi
Kanna tak ingin memercayainya. Kanna masih ingin percaya kepada Riley. Kanna
masih bersimpati kepada Riley. Meski dia telah mendengar beberapa hal yang janggal,
dia tahu bahwa Riley seperti itu pasti karena sebuah trauma. Sebuah luka.
Agaknya,
ada rasa takut yang masih bersemayam di hati pemuda itu.
Mungkin
saja…itu akan hilang setelah beberapa lama. Mungkin saja, jika Kanna berhasil
meyakinkannya selama beberapa waktu dengan tanpa masalah, Riley akan berhenti ketakutan
seperti itu.
Ya,
waktu akan mengubah segalanya. Itu adalah solusi yang paling tepat.
Ekspresi
Kanna akhirnya normal kembali. Gadis itu meneguk ludahnya, kemudian menggeleng.
“Tidak, Riley, aku bukan orang yang seperti itu.”
Mendengar
jawaban Kanna, ekspresi Riley langsung berubah. Matanya kembali berbinar,
wajahnya tampak segar kembali, seakan merefleksikan kegembiraan di hatinya.
Senyumnya merekah, manis sekali. Dia seakan mampu menerangi malam itu
hanya dengan senyumannya. Mood-nya berubah total.
“Aku
senang sekali, Kanna… Kau selalu membuatku senang. Aku akan membuatmu senang
juga,” ujarnya.
Kanna
tersenyum. Gadis itu pun berdiri seraya mengajak Riley untuk berdiri
bersamanya. “Thank you, Riley.”
Riley
baru saja ingin merespons Kanna saat tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Oh, aku
membuatkanmu makan malam. Aku terus memikirkanmu saat memasak... Berpikir bahwa
kau akan memakannya; kau akan memakan apa yang kubuat untukmu. Itu
membuat jantungku berdebar-debar.”
Kali
ini, giliran mata Kanna yang berbinar-binar. “Benarkah? Kau memasak apa?”
Riley
tertawa kecil. Pemuda itu lalu menggenggam tangan Kanna, mengajak Kanna untuk
berjalan ke meja makan yang ada di dapur. Selagi menyeberangi ruang tamu, Kanna
mulai menghidupkan lampu.
“Mengapa
lampu rumah tidak dihidupkan, Riley?” tanya Kanna. “Aku takkan menyadari
keberadaanmu jika kau tidak duduk di balik pintu.”
“Ah…”
Mata Riley melebar. “Iya. Aku lupa. Tadi siang aku mematikan semua lampunya
karena di dalam sudah terang. Pikiranku kacau hingga aku lupa menghidupkan
lampunya kembali…”
Kanna
mengembuskan napasnya, lalu tersenyum. Oalah. “Begitu, ya. Ada-ada saja.
Padahal, kau tak perlu setakut itu.”
Riley
menatap Kanna dengan lembut, lalu tersenyum. “Hm. Terima kasih karena telah
menenangkanku, Kanna.”
Kanna
mengangguk.
Saat
sudah sampai di dapur, Kanna pun menghidupkan lampunya. Dia langsung bisa
melihat meja makan yang ada di sana; di meja itu terdapat beberapa piring dan
mangkuk yang berisi makanan. Semua piring dan mangkuk itu ditutup dengan
penutup kaca.
Riley
dan Kanna mendekati meja itu. Kanna bisa melihat bahwa di sana ada sup sayuran
dengan tahu, ada udang goreng tepung, nasi, dan ada hamburger steak.
Semua bahan untuk memasak menu itu memang ada di kulkas Kanna, tetapi Kanna
lebih terkejut melihat Riley benar-benar memasakkannya hamburger steak. Ia
merasa takjub saat melihat semua lauk yang enak itu. Riley benar-benar pintar
memasak.
Namun,
Riley tiba-tiba berkata, “Sepertinya, aku harus memanaskannya.”
Kontan
saja mata Kanna membulat; gadis itu langsung menoleh kepada Riley. “Tidak,
Riley, tidak usah! Ini salahku karena pulang telat; aku tak mau merepotkanmu
lagi. Ayo makan sekarang.”
Riley
balas menatap Kanna, lalu kedua alisnya sedikit terangkat. “Apakah tidak
apa-apa? Makanannya sudah dingin, Kanna.”
Kanna
menggeleng seraya tersenyum. “Tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah
membuatkan makan malam untukku, Riley. Ayo makan.”
Akhirnya,
Riley pun tersenyum lembut. Matanya memandangi Kanna seakan-akan Kanna adalah
manusia yang paling ia cintai. “Hmm. Ayo.”
Mereka
pun duduk berhadapan. Sama-sama membuka penutup kaca yang menutupi
makanan-makanan itu. Saat melihat hamburger steak buatan Riley secara
langsung, Kanna spontan menganga. Air liur berkumpul di mulutnya dan ia
buru-buru menelan air liur itu. Matanya berbinar-binar. “Huaaaaaaa! Ini
kelihatannya enak sekaliiii!!”
Meski
sudah dingin, aromanya tetap menguar tatkala Kanna membuka penutup kacanya.
Tampilannya juga sempurna.
Kanna
langsung menoleh kepada Riley. “Riley, jujur padaku. Apakah kau dulunya seorang
koki?”
Mata
Riley melebar. Satu detik kemudian, Riley spontan tertawa.
“Bukan,
Kanna. Aku bukan seorang koki,” jawabnya, dia tampak terhibur dengan kekonyolan
Kanna. Setelah itu, dia melanjutkan, “but if you want me to, I’ll become
one.”
Kanna
kontan cemberut. “Kau ini. Aku serius.”
“Aku
juga serius, Kanna…”
Mereka
ujung-ujungnya sama-sama tertawa.
Saat
mulai makan, Kanna berkali-kali mengucapkan, “Mmmmm!!” atau “Uwaaaaah,
ini enak sekaliiii!” seraya memegang pipinya sendiri karena kesengsem. Dia
betul-betul jatuh cinta dengan masakan Riley.
Dengan
Rileynya jug—
Ekhem.
Riley
pun berkali-kali tertawa kecil melihat reaksi Kanna. Pemandangan itu sungguh
membuatnya senang; dia sibuk memperhatikan Kanna sampai hampir tidak menyuap
makanan sama sekali ke mulutnya. Kanna terlihat sangat imut…
Namun,
sekitar dua menit kemudian, Kanna tiba-tiba melebarkan matanya; dia seolah
teringat sesuatu. Jadi, dia pun menelan makanan di mulutnya dengan cepat dan
berkata, “Oh, ya, Riley, kau benar-benar tidak punya ponsel, ‘kan?”
Kanna
harus menanyakan ini, mengingat bagaimana resahnya Riley tadi saat Kanna telat
pulang.
Riley—yang
sedang mengunyah makanannya itu—mulai menoleh kepada Kanna. Pemuda itu lalu
menjawab, “Apa yang kubawa saat pertama kali kau menemukanku adalah semua
barang yang kupunya. Ada apa, Kanna?”
Ah,
itu
tandanya Riley hanya memiliki sepasang piama berwarna putih yang waktu itu ia
pakai.
Kanna
pun meletakkan sendok yang ia pegang itu ke piringnya, tetapi tangannya masih
memegang tangkai sendok itu. Ia menunduk dan mengernyitkan dahinya. Agaknya, ia
sedang berpikir keras.
“Umm…”
Ia sedikit menggigit bibirnya, lalu mengangkat wajahnya lagi untuk menatap
Riley. “Itu…aku…punya sedikit tabungan. Bagaimana kalau aku…membelikanmu
sebuah ponsel? Dengan begitu, aku bisa memberimu kabar kalau aku pulang
telat…”
Mata
Riley melebar. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Riley selama lima detik
lamanya.
Lima
detik itu terasa bagai satu tahun untuk Kanna; dia gugup sekali. Apakah dia
terlalu ‘maju’? Apakah dia berlebihan?
Agaknya,
bukan Riley saja yang mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan kepada
orang yang baru dia temui. Kanna juga sama; Kanna malah ingin membelikan sebuah
ponsel untuk orang yang baru dia temui.
Kanna
pasti sudah hilang akal.
Namun,
kegugupan Kanna langsung hilang ketika tiba-tiba Riley tersenyum padanya.
Senyuman pemuda itu terlihat sangat lembut, penuh kasih, dan pengertian.
Mata berwarna mint-nya tampak begitu indah.
Ah,
tidak. Kanna tidak berlebihan. Riley memang…pantas mendapatkan itu.
Suara
Riley pun mulai terdengar.
“Aku…akan
sangat senang jika aku tetap bisa terkoneksi denganmu saat kau jauh dariku,
Kanna,” jawabnya. “tetapi…apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu?”
Diam-diam,
Kanna mengembuskan napasnya lega. Untunglah. Ternyata, Riley menyukai idenya.
Kanna
lantas tersenyum. Dia kini mulai menatap Riley dengan penuh keyakinan.
“Kau
hanya perlu melakukan dua hal. Dua saja,” ujar Kanna. Gadis itu berbicara
dengan serius meskipun masih ada senyuman di wajahnya. “Aku mau kau tidak mengkhianatiku
dan tidak jahat padaku.”
Mata
Riley lagi-lagi melebar. Namun, dua detik kemudian, pemuda itu menyatukan
alisnya. Dia menggeleng pelan.
“I
know it’s hard for you to trust me, someone whom you just met,”
ujarnya. “tetapi bagaimana mungkin aku mengkhianatimu dan jahat padamu, sedangkan
aku begitu takut kau akan meninggalkanku?”
Riley
tiba-tiba bangkit dari duduknya. Pemuda itu mulai mendekati Kanna yang duduk di
seberangnya. Mata Kanna sudah membeliak saat melihat pemuda itu tiba-tiba
mendekatinya, tetapi tentu saja itu belum selesai. Soalnya, ketika pemuda itu
sampai di dekat Kanna, tiba-tiba saja…
…pemuda
itu berlutut.
Dia
pun mulai meraih tangan kanan Kanna. Sedikit menunduk, lalu mencium punggung
tangan Kanna dengan lembut.
Kanna
memperhatikan seluruh adegan itu tanpa berkedip.
Mata
Kanna terbuka lebar. Gadis itu lupa bernapas. Benar-benar tercengang dan
mematung di kursinya.
Akan
tetapi, sebelum Kanna sempat bereaksi, suara Riley yang dalam dan lembut
itu kembali mengalun di telinganya.
“Mulai
hari ini, senyummu dan kebahagiaanmu adalah prioritasku, Kanna.”
******
Keesokan
harinya, Kanna dan Riley benar-benar pergi ke toko elektronik untuk membeli
ponsel. Sebenarnya, toko itu tak terlalu jauh dari kompleks perumahan tempat
Kanna tinggal. Hanya perlu sedikit ke luar, ke jalan besar. Jalan itu juga
biasa Kanna lewati kalau mau pergi ke kantor. Jadi, sekarang Kanna berjalan
bersama Riley di jalan besar itu. Kanna memakai pakaian kantornya; biasanya, dia
memakai jas dan rok yang berwarna hitam. Di sisi lain, Riley memakai hoodie berwarna
navy, celana training berwarna putih, dan sepatu olahraga milik
Kanna—sepatu berwarna putih—yang waktu itu dibelikan oleh ibunya, tetapi tak
pernah ia pakai karena kebesaran.
Huh.
Untung
saja, Kanna punya banyak pakaian yang oversize. Dia harus membelikan
Riley beberapa pakaian saat weekend nanti.
Ya.
Itu ide bagus. Dia akan membelikan Riley baju, celana, dan pakaian dala—
Oh.
Pipi
Kanna langsung memerah.
Kanna
mendadak teringat sesuatu. Tadi malam, ia dan Riley tidur bersama. Not in a
dirty definition, but still. They slept together. Kanna ingat bagaimana
Riley tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya dan memanggilnya saat ia sedang
memasang selimut. Satu detik setelah ia menyahut panggilan itu, pintu kamarnya
pun dibuka oleh Riley.
Saat
sosok Riley yang tampan itu terlihat di ambang pintu, Kanna pun mendengar
pemuda itu berbicara.
“Can
I sleep with you?”
Ah,
damn. Bagaimana mungkin pipi Kanna tidak merona setelah mendengar
permintaan itu? Namun, meskipun pipinya merona dan jantungnya berdebar tak
keruan, Kanna akhirnya mengangguk. Mengiyakan Riley.
Sial.
Dia lemah sekali kalau menyangkut Riley. Riley ini pakai mantra apa, sih? Dia jadi
seperti kena pelet begini.
Sekarang,
di sepanjang jalan besar yang tengah mereka lewati, ramai sekali orang yang
lalu-lalang. Namun, kebanyakan dari mereka pasti akan menoleh kepada
Riley. Bagaimana tidak? Riley itu mencolok sekali kalau dibawa ke luar saat
terang benderang seperti ini. Rambut pemuda itu berwarna putih. Wajahnya
tampan. Kulitnya halus. Pakaian yang ia kenakan juga cocok sekali di tubuhnya.
Tentu saja, banyak orang yang langsung menoleh kepadanya atau memberikannya second
glance. Ada juga anak-anak SMA yang saling berbisik-bisik sambil menatap
Riley dengan kagum. Mulut mereka terbuka; mereka sampai menoleh ke belakang
tatkala Riley sudah melewati mereka.
Riley
terlihat seperti seorang idola yang menyasar dan berjalan-jalan di kota.
Aduh.
Untung saja, Kanna duluan yang memungutnya. Rasanya seperti
mendapat harta karun dadakan, haha.
Setelah
sampai di toko elektronik yang dimaksud, mereka pun langsung memilih ponsel
yang cocok untuk Riley. Sebenarnya, Riley menolak untuk memilih dengan alasan
bahwa ia akan menerima apa pun yang Kanna beri. Namun, Kanna tentu saja menentangnya;
Kanna ingin Riley mendapatkan ponsel yang sesuai dengan kebutuhannya.
Akhirnya,
mereka memilih ponsel Riley bersama-sama.
Saat
telah mendapatkan sebuah ponsel yang cocok, Kanna pun membeli ponsel itu; dia
juga membelikan SIM Card untuk Riley. Sang penjual lantas menyiapkan semuanya,
lalu memberikan Kanna sebuah totebag yang berisi ponsel itu serta
seluruh perlengkapannya. Riley pun berinisiatif untuk mengambil totebag itu
dari tangan Kanna, tak ingin membuat Kanna membawa belanjaan itu. Kanna sudah
sangat baik padanya.
“Terima
kasih,” ujar sang penjual ketika Kanna dan Riley mulai beranjak keluar dari
toko itu.
Kanna
akan mengantar Riley pulang terlebih dahulu, lalu dia akan pergi ke kantor.
Kalau dia membiarkan Riley pulang sendirian, takutnya Riley akan hilang atau
diculik orang. Kanna tak mau hal itu terjadi.
Di
dalam perjalanan, Riley mulai membuka kotak ponsel itu dan meraih ponselnya.
Kanna melihat semua itu dan tertawa kecil. Sepertinya, Riley sangat menyukai
ponsel barunya. Bagian belakang ponsel itu—casing-nya—berwarna oranye.
Syukurlah kalau Riley menyukainya.
Kanna
akhirnya melihat ke depan dan tersenyum. Gadis itu mengembuskan napasnya dengan
lega. Dia tahu kalau Riley sedang memainkan—atau mungkin mengotak-atik—ponsel
itu.
Beberapa
saat kemudian, Riley tiba-tiba berkata, “Kanna, boleh aku melihat ponselmu? Aku
ingin meminta nomormu sekaligus menyimpan nomorku di ponselmu.”
Kanna
kontan menoleh kepada Riley dan tertawa. “Haha, langsung, nih?”
Riley—yang
saat itu juga sedang menatap Kanna—lantas tersenyum gembira. Matanya
melengkung, nyaris tertutup, seolah ikut tersenyum. Wajahnya berseri-seri saat
menyahut, “Mmm-hmm!”
Kanna
pun tertawa kecil. Riley sungguh menggemaskan! Aaah, Kanna bahagia sekali
rasanya. Pagi-pagi sudah disuguhi wajah tampan serta senyum Riley yang sangat
manis. Riley yang sedang bahagia…terlihat begitu memikat. Kau pasti akan ikut
bahagia ketika melihatnya bahagia. Senyumannya serta wajahnya yang berseri-seri
itu akan membuatmu bersemangat.
Kanna
mulai merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya. Saat ponsel itu ada di
tangannya, ia pun memberikannya kepada Riley dan berkata, “Ini.”
“Terima
kasih, Kanna.”
“Hmm!”
jawab Kanna dengan bersemangat. Kanna langsung kembali melihat ke depan,
membiarkan Riley melakukan apa yang pemuda itu inginkan.
Di
sisi lain, Riley tengah mengetikkan sesuatu di ponsel Kanna. Mengotak-atik
ponsel itu sejenak, kemudian melihat ponselnya sendiri. Ponsel Kanna ada di
tangan kirinya, sementara ponselnya sendiri ada di tangan kanannya.
Ketika
ia melihat ponselnya sendiri, di layar ponsel itu ada sebuah program yang
sedang running. Di tengah-tengah layarnya terdapat notifikasi, semacam task
progress yang diberitahu oleh program itu.
You’re
logged in successfully!
Transfer
Data: success.
Verification:
success.
Your
devices are now connected.
Sebuah
senyuman muncul di wajah Riley tatkala melihat notifikasi itu. Kelopak
matanya sedikit turun; tatapannya terasa begitu asing dan begitu dingin.
Senyuman itu pun…
…pelan-pelan
berubah menjadi seringai tipis.
Namun,
ekspresi itu hilang dari wajahnya dalam waktu yang sangat cepat. Begitu
singkat seolah-olah hanya dalam waktu satu kedipan mata. Seolah-olah
tidak pernah ada. Seolah-olah kau hanya salah lihat.
Ekspresi
itu tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Riley
mulai menoleh kepada Kanna dan tersenyum dengan sangat manis. Sangat
ramah. Senyumannya seakan menambah cahaya di wajahnya. Ia kemudian mengulurkan
tangan, bermaksud untuk mengembalikan ponsel Kanna.
Kanna
yang menyadari gestur itu—dia bisa melihat pergerakan Riley dari ujung
matanya—lantas menoleh kepada Riley. Mata Kanna sedikit melebar. “Oh. Sudah
selesai, ya?”
Dengan
nada yang begitu bersahabat, Riley pun menjawab, “Hmm! Sudah. Terima kasih,
Kanna. Kuharap kita bisa sering mengobrol saat kita berjauhan. Aku akan
menggunakan ponsel yang kau berikan dengan sangat baik.” []
No comments:
Post a Comment