Chapter
3 :
Not
a Telenovela
******
KATANYA,
suatu
saat kau akan menemukan seseorang yang bisa melihat jiwamu. Antara dia
yang bisa melihat jiwamu, kau yang bisa melihat jiwanya, atau bahkan keduanya.
Jika kesempatan itu jatuh padamu, saat kau menatap mata orang itu, kau
seolah-olah akan menemukan kaca yang merefleksikan jiwanya. Isi hatinya.
Siapa dirinya.
Hea
tidak tahu siapa yang pertama kali membuat gagasan itu. Kata-kata itu bisa jadi
benar, tetapi bisa jadi juga hanyalah mitos.
Namun,
agaknya itu bukan mitos belaka, kalau dalam kasus Hea.
Sekitar
dua bulan yang lalu, sebelum api neraka di hidupnya benar-benar membakarnya, Hea
pernah bekerja di sebuah restoran. Itu adalah satu-satunya restoran yang ada di
desa tempat Hea tinggal. Restoran itu cukup luas; menu restoran itu adalah
makanan-makanan khas Korea. Namun, berhubung penduduk di desa itu tidak banyak,
pelanggan di restoran itu biasanya tidak terlalu ramai.
Sore
itu, sekitar jam lima, Hea berdiri di balik meja kasir seperti biasanya. Hea
ingat bahwa si pemilik restoran sedang menghidupkan lagu lawas yang berjudul
“How Can I Tell Her” oleh Lobo sore itu. Hea memakai seragam restoran yang
berupa kemeja merah dan topi merah. Sebenarnya, seragam itu tidak
penting—mengingat tempat itu hanyalah restoran biasa yang juga bertengger di
desa—tetapi pemilik restoran itu mungkin ingin melihat sesuatu yang…terlihat
lebih formal dan seragam.
Hea
kira, hari itu akan berjalan seperti biasanya. Pekerjaannya akan berakhir pada
jam setengah enam sore, lalu ia akan pulang dan menghadapi dua monster biadab
yang ada di rumahnya. Kehidupannya, masa depannya, semuanya terlihat gelap,
tetapi setidaknya ia bisa bernapas dengan tenang saat berada di restoran.
Namun,
dugaannya salah. Hari itu tidak akan berjalan seperti biasanya.
Soalnya,
tiba-tiba ada tiga pemuda yang masuk ke restoran itu. Meja kasir Hea selalu
ada di samping pintu—maksudnya, saat kau masuk melalui pintu, meja kasir itu
akan ada di sebelah kirimu—jadi Hea tak bisa melihat penampakan ketiga pemuda
itu saat mereka masih di luar restoran. Tahu-tahu, mereka sudah muncul dari
pintu yang ada di samping Hea.
Pelanggan
lainnya juga seperti itu, sih, tetapi yang kali ini Hea sebetulnya agak kaget. Soalnya,
biasanya tidak ada anak muda yang datang ke restoran sore-sore begitu.
Jangankan anak muda, pria dan wanita paruh baya pun jarang datang ke restoran
jam segitu karena mereka sudah tahu kalau restoran itu akan tutup.
Tiga
pemuda itu muncul, lalu menoleh kepada Hea. Hea bisa melihat rupa ketiga
pemuda itu dengan jelas. Satunya berambut pendek dan memakai topi baseball, satunya
memakai hoodie berwarna biru tua, dan yang satu lagi…
…memakai
jeans jacket.
Hea
tidak pernah melihat ketiga pemuda itu. Namun, saat melihat pemuda yang terakhir,
mata Hea mendadak melebar.
Tidak,
Hea tidak tahu apa sebabnya. Tiba-tiba tubuhnya mematung. Matanya enggan
beralih. Napasnya sempat tertahan.
Seperti
ada sebuah angin yang berembus di depan mata Hea. Angin yang entah
datang dari mana, melewati Hea begitu saja, bagaikan menghantam wajahnya.
Menyadarkannya bahwa sesuatu sedang terjadi. Sesuatu sedang menghampirinya.
Layaknya ketika jarum panjang dan jarum pendek sama-sama bertemu di jam
dua belas tepat, angin itu seakan memberitahu Hea bahwa:
…inilah
momennya.
Momen
yang tidak tahu akan berakhir sampai mana. Seperti ketika ada arc yang
dimulai dalam sebuah buku, tetapi tidak tahu akan berakhir di chapter berapa.
Apakah
sampai halaman terakhir buku itu?
…atau
selesai sebelum mencapai halaman terakhir?
Hea
tidak salah mengira. Jelas tidak. Soalnya, pemuda itu pun…
Menatapnya
dengan
intens.
Begitu
dia menemukan sosok Hea, dia langsung memberikan Hea tatapan yang sama.
Tatapannya begitu dalam.
Seakan-akan
mereka sudah saling kenal, padahal tidak sama sekali. Bagaimana mungkin hal itu
terjadi?
Seolah-olah
mereka melihat ke cermin…
Pemuda
itu tampan. Tubuhnya cenderung kurus; dia tidak terlalu tinggi, tetapi juga
tidak pendek. Wajahnya mulus, kulitnya tampak halus dan lembut. Akan tetapi,
pembawaannya tidak mengkomplemen wajahnya. Dia terlihat penuh misteri. Dia
terlihat ‘tajam’. Tatapannya langsung bisa menembus hingga ke jiwa Hea.
Pemuda
itu memakai celana dan jaket jeans. Di balik jaket jeans-nya, dia
terlihat memakai sebuah kaus polos yang berwarna putih. Rambutnya berwarna
hitam dan cukup panjang (tetapi tidak gondrong). Maksudnya, dia bisa mendorong
bagian poninya ke belakang kalau dia mau.
Hea
bertatapan dengannya selama beberapa detik. Mereka fokus pada satu sama
lain, menerawang hingga ke jiwa, dan melupakan apa pun yang ada di
sekitar mereka seakan semua orang hanyalah angin lalu.
Hea
tak ingat apa-apa sampai tiba-tiba salah satu dari pemuda itu mulai mengajaknya
berbicara. Pemuda yang memakai topi baseball.
“Umm…Nona?
Apakah di sini menyediakan sup ayam ginseng?”
Hea
tersentak. Gadis itu langsung menatap pemuda bertopi baseball itu dan
mengerjap. Matanya melebar. “Ah—ya, itu adalah salah satu menu kami.”
Cepat-cepat
Hea mengambil kertas menu yang ada di mejanya, lalu memberikan kertas itu
kepada si pemuda. “Ini menunya. Silakan dilihat-lihat dahulu.”
Benar.
Pemuda-pemuda ini memang konsumen baru. Hea berusaha mati-matian untuk
tidak menoleh lagi kepada sang pemuda yang ada di paling kanan, pemuda yang
tadi bertatapan dengannya. Namun, dari ujung matanya, Hea bisa merasakan bahwa
pemuda itu masih memperhatikannya dengan lekat.
“Oke.
Aku mau sup ayam ginseng. Bagaimana dengan kalian?” tanya pemuda bertopi baseball
itu ke teman-temannya. Pemuda yang ada di tengah—yang memakai hoodie—langsung
meraih menu itu dan membacanya sebentar, lalu berkata, “Ayam goreng saus
pedas.”
“Bagaimana
denganmu, Jimin?” tanya pemuda bertopi baseball itu lagi.
Mau
tidak mau, Hea harus kembali menatap pemuda itu.
Oh.
Jadi, namanya adalah Jimin.
Seperti
yang Hea duga, saat Hea kembali menatap pemuda itu, pemuda itu masih tetap
memperhatikannya. Menatapnya dalam. Tak sedikit pun pemuda itu mengalihkan
pandangan darinya, bahkan saat si pemuda bertopi tengah menanyakan sesuatu.
Pemuda
bernama ‘Jimin’ itu tentu bisa mendengarkan pertanyaan dari temannya, tetapi
dia tetap menatap Hea. Hanya mulutnya saja yang mulai membuka suara, “Samakan
saja denganmu.”
“Oke,”
sahut si pemuda bertopi. “Dua porsi sup ayam ginseng dan satu porsi ayam goreng
saus pedas.”
Hea
menatap pemuda bertopi itu, lalu mengangguk. “Baik. Minumannya?”
“Air
putih saja.”
Hea
mengangguk lagi. Dia pun mengulurkan tangannya, menunjuk kursi-kursi restoran
yang sebenarnya saat ini kosong semua. “Baik. Silakan duduk di mana pun yang
Anda sukai. Pesanannya akan segera kami siapkan.”
“Oke.”
Pemuda yang bertopi dan ber-hoodie itu menjawab secara bersamaan, lalu
mereka berjalan ke deretan kursi restoran. Namun, pemuda yang paling ujung,
yang namanya Jimin itu, tampak hanya diam. Matanya masih menatap Hea
saat dia mulai bergerak. Akan tetapi, ketika dia sudah berjalan selangkah,
akhirnya dia berhenti menatap Hea. Dia mulai mengikuti teman-temannya ke depan
sana, ke deretan meja dan kursi pelanggan yang posisinya ada di depan Hea.
Sialnya,
pemuda yang bernama Jimin itu justru mengambil kursi yang menghadap ke
Hea. Kursi yang memungkinkan mereka untuk melihat satu sama lain. Meskipun
posisi Jimin agak jauh, wajah pemuda itu tetap menghadap ke Hea. Hea bisa
melihat wajah pemuda itu dari jauh.
Ini
sedikit tidak masuk akal. Mereka menarik satu sama lain tanpa alasan yang
logis. Hanya berbekal dengan suara di belakang kepala yang mengatakan, ‘Ada
sesuatu tentangnya yang mirip denganmu. Kau mengenali getarannya.’
Seperti
melihat dirimu, atau mungkin bagian dirimu, di tubuh orang lain.
Sayangnya,
itu bukan bagian yang baik untuk diceritakan. Itu juga bukan bagian yang manis untuk
ditelan. Sepertinya, ketertarikan mereka justru disebabkan oleh sesuatu yang
buruk. ‘Bagian diri’ yang dimaksud pun…mungkin adalah bagian yang rusak. Tercela.
Abnormal.
Jadi,
sepanjang sore itu, sejak Jimin duduk di depan sana sampai akhirnya pesanannya
diantar oleh waitress, bahkan ketika dia sedang makan pun, matanya
sering mengawasi Hea. Sesekali dia akan menatap dan merespons teman-temannya,
sesekali dia akan tertawa saat berbicara santai dengan teman-temannya, tetapi
matanya tetap menemukan Hea dari waktu ke waktu. Jangankan dia, Hea pun
melakukan hal yang sama.
Sekitar
lima belas menit kemudian, para pemuda itu pun mulai bangkit dari duduk mereka.
Ketiganya lantas menghampiri Hea untuk membayar pesanan mereka. Setelah
membayar, mereka pun mulai berjalan ke luar restoran, kecuali Jimin.
“Jim,
ayo,” ajak pemuda yang memakai hoodie. Namun, seakan ingin membuat
jantung Hea hampir terlepas dari tempatnya, pemuda bernama Jimin itu justru
berdiri di depan Hea, lalu menoleh kepada teman-temannya dan berkata,
“Tunggu sebentar. Ada yang mau kutanyakan ke Nona ini.”
Si
pemuda ber-hoodie itu pun mengangguk. “Oke. Jangan lama-lama, ya.”
Tatkala
kedua temannya sudah keluar dan menunggunya di halaman restoran, Jimin pun
mulai menoleh kepada Hea.
Saat
itulah, jantung Hea seakan berhenti berdetak.
Ah.
Mereka akan berbicara. Mereka akhirnya…akan benar-benar berbicara.
Hea
meneguk ludahnya.
Di
tiga detik pertama, Jimin hanya diam; mereka hanya menatap mata satu sama lain
dengan lekat. Akan tetapi, pada detik keempat, tiba-tiba saja…
…Jimin
tersenyum lembut.
Pemuda
itu pun mulai membuka suara.
“Hai.
Siapa namamu?”
Napas
Hea sempat tertahan. Akan tetapi, tiga detik kemudian, Hea akhirnya membuka
mulutnya.
“Hea.
Song Hea.”
Ah,
there it is. Seharusnya Hea menutup dirinya. Seharusnya Hea menutup
pintu menuju dunianya dengan rapat. Namun, sesuatu tentang pemuda itu
membuatnya merasa kalau…semuanya akan baik-baik saja. Agaknya, mereka memiliki
kesamaan yang tidak-tahu-apa-itu hingga Hea merasa kalau dia masih berada di zona
aman.
Jimin
mengangguk, lalu mengulurkan tangannya. “Park Jimin. Salam kenal, Hea.”
Ketika
mereka bersalaman, tatapan mata mereka tak lepas dari satu sama lain. Meski
rasanya berat sekali untuk berbicara, Hea tetap berusaha untuk menjawab Jimin,
“Salam kenal.”
“Aku
baru datang ke desa ini sekitar satu bulan yang lalu. Menjaga rumah ibuku
karena dia pergi ke kota lain untuk bekerja,” ujar Jimin. “Di mana rumahmu?”
Langsung
menanyakan alamat, ya?
“Satu-satunya
rumah yang ada di dekat kincir angin kayu,” jawab Hea.
Mata
Jimin melebar. “Ahh, rumah itu. Aku tahu. Kau sudah lama tinggal di sana?”
“Sudah
dari kecil,” jawab Hea. “Di mana rumahmu?”
“Rumah
Ibu Gyeonghui. Kau tahu?” jawab Jimin.
“Ah.”
Kini giliran mata Hea yang melebar. “Iya, aku mengenalnya. Jadi, sekarang dia bekerja
di kota lain?”
“Hmm.”
Jimin mengangguk. Pemuda itu lalu tersenyum. “Dia adalah ibuku.”
Wah.
Kalau dipikir-pikir, Nyonya Gyeonghui memang tak pernah kelihatan lagi akhir-akhir
ini. Rumah Nyonya Gyeonghui ada di depan jalan; Hea biasanya akan melewati
jalanan depan rumahnya saat pergi atau pulang dari restoran. Biasanya, Hea akan
melihat Nyonya Gyeonghui sedang duduk di teras atau menyiram bunga di sekitar
halaman rumahnya dengan wajah masam.
Nyonya
Gyeonghui memang terlihat tidak ramah. Namun, agaknya sifat itu tidak menurun
ke anaknya.
“Oh…”
Hea mengangguk pelan. “Begitu.”
“Kau
punya ponsel?” tanya Jimin.
Hea
menggeleng. “Tidak punya. Kenapa?”
“Aku
ingin meminta nomor ponselmu,” jawab Jimin. “tetapi ya sudah, tidak apa-apa
kalau kau tak punya ponsel. Kalau aku mendatangi rumahmu sesekali, apakah tidak
apa-apa?”
Apa
yang baru saja pemuda ini katakan?
Hea
tidak menjawab. Entah karena terlalu kaget atau mungkin…tidak tahu harus
menjawab apa. Gadis itu tidak ingin Jimin melihat kekacauan di rumahnya.
Melihat bagaimana dia diperlakukan oleh dua pria sinting di rumahnya, melihat
bagaimana hancurnya dirinya…dia tak ingin Jimin melihat seluruh aib itu. Meski
ia merasakan getaran yang sama dari Jimin, ia tetap tak mau Jimin
melihat aibnya lebih dahulu.
“I
will take that as a yes,” kata Jimin seraya memiringkan
kepalanya. Melihat mulut Hea yang sedikit terbuka (dia agak tercengang karena
ucapan Jimin barusan), Jimin pun tersenyum. “Baiklah, Hea. Obrolan kita sampai
di sini dahulu, ya. Teman-temanku sedang menunggu di luar. Kuharap kita akan
sering bertemu. Senang bertemu denganmu.”
Setelah
itu, tanpa menunggu respons dari Hea, Jimin pun langsung pergi ke luar,
menyusul teman-temannya. Pemuda itu berjalan santai—mendekati kedua temannya—lalu
melakukan high five dengan mereka.
Ketiganya
pun akhirnya pergi dari area restoran itu, meninggalkan Hea yang tercengang
sendirian di meja kasir.
Namun,
keadaan itu tak bertahan lama. Momen yang terasa seperti sebuah
permulaan buku itu harus berakhir. Buku dongeng itu seolah langsung tertutup dan
tiba-tiba saja buku itu terbakar. Soalnya, sekitar lima menit kemudian, Hea
mendengar suara teriakan ayahnya dari luar restoran.
“HEA!”
“KEMARI
KAU, PELACUR SIALAN!!”
“KELUAR
SEKARANG!!!”
Kontan
saja semua penghuni restoran itu keluar dari persembunyian mereka. Sang pemilik
restoran, para waiter dan waitress, semuanya mulai muncul dan
berkumpul di area depan, di dekat Hea. Mereka semua seakan memanjangkan leher
mereka demi bisa melihat ke halaman restoran.
“Eh,
ada apa? Ada apa?”
“Hea,
apakah itu ayahmu?”
“Ada
apa ini?”
Hea
langsung bergerak, dia berdiri di depan pintu, dan wajahnya memucat. Tubuhnya
mematung seolah dipaku di tempat. Mulutnya terbuka dan napasnya
tertahan. Ludahnya seakan kering; ia mulai takut setengah mati. Lehernya serasa
tercekik.
Iya.
Itu memang ayahnya.
Pria
paruh baya itu terlihat berang di depan sana. Dia juga terlihat mabuk;
tangan kirinya memegang sebotol minuman keras.
Para
waitress restoran itu mulai heboh. Ada yang menutup mulut mereka dengan
sebelah tangan karena merasa takut, ada yang agak mundur ke belakang seraya
melebarkan mata, dan ada juga yang wajahnya memucat. Sementara itu, sang
pemilik restoran—Pak Inho—terlihat heran setengah mati dengan kemunculan
ayahnya Hea. Dia memandangi ayah Hea dengan alis yang menyatu dan dahi yang
berkerut. Mulutnya sedikit terbuka.
Tak
membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ayah Hea masuk melalui pintu depan restoran.
Suaranya yang besar itu langsung sukses membuat keributan.
“Pak,
ada apa ini?! Mohon tenang dulu!!” teriak Pak Inho.
“HEA!!”
Ayahnya Hea langsung menghampiri Hea—yang tanpa sadar mulai mundur ke
belakang—lalu pria paruh baya itu mengamuk; dia berlari ke arah Hea dan berhasil
membuat jantung semua orang di sana serasa berhenti berdegup. Hea kontan
berteriak.
“TIDAK!!
AYAH—AYAH, AMPUNI AKU!! AYAH!!! AYAH, KUMOHON!! AKU MINTA MAAF!! MAAFKAN
AKU, AYAH!!!”
Secara
refleks, Hea semakin mundur ke belakang dan menghalangi kepalanya dengan kedua
tangannya sendiri. Air matanya mengalir deras, wajahnya tampak penuh dengan teror.
Namun, sang ayah jelas tidak memedulikan semua itu. Untuk berpikir dengan jernih
saja mustahil karena selain otaknya memang sinting, dia juga sedang
dalam pengaruh alkohol.
Beberapa
orang mulai mencoba untuk menghentikan ayah Hea, termasuk sang pemilik restoran.
Namun, seakan digerakkan oleh iblis, ayahnya Hea tetap berhasil mendekati Hea
dan langsung menjambak rambut Hea dengan kencang. Dia menyerang Hea dengan
membabi buta. Topi merah yang Hea kenakan terjatuh begitu saja di lantai.
Saat
Hea ditarik paksa oleh ayahnya, diseret ke pintu masuk, sang pemilik
restoran juga menyusul ayah Hea dengan cepat. Dia mencoba untuk menghentikan
ayah Hea dengan berkata, “Pak, tolong lepaskan Hea. Tolong tenang dulu. Kalau
tidak, saya akan menelepon polisi.”
“TIDAK
USAH IKUT CAMPUR!! INI URUSAN KELUARGAKU DAN ANAK INI TIDAK MEMATUHI PERINTAHKU!!”
hardik ayah Hea.
Semua
orang yang ada di restoran itu pun akhirnya terdiam di sana dengan mata
melebar. Ada yang matanya berkaca-kaca
dan ada juga yang panik. Mereka semua memperhatikan Hea yang ditarik ke luar
oleh ayahnya seraya menjerit dan menangis kencang. Gadis itu terus memohon
ampun kepada ayahnya.
Tatkala
posisi mereka berdua sudah agak jauh dari restoran, sang ayah pun mulai mencaci-maki
Hea.
“ANAK
TIDAK TAHU DIRI! ANAK SEPERTIMU TIDAK PANTAS PERGI KE LUAR! MEMANGNYA PEKERJAAN
APA YANG BISA KAU LAKUKAN? MENGERJAKAN PEKERJAAN RUMAH SAJA TIDAK BECUS!! SUDAH
KUBILANG, DIAM SAJA DI RUMAH, LAYANI AKU DAN DAEJUNG DENGAN BAIK!! KODRAT
PEREMPUAN ADALAH MENJADI BUDAK BAGI LAKI-LAKI!!!”
Tubuh
Hea mulai lemas. Hanya air matanya yang bersinambung jatuh ke tanah; air matanya
menetes tanpa henti. Dia tahu bahwa kata ‘melayani’ yang ayahnya maksud adalah:
…bersedia
untuk diperkosa.
Dijadikan
tempat sampah untuk sperma mereka berdua yang menjijikkan.
Perut
Hea langsung mual.
Jadi,
pada hari itu, sesampainya di rumah, ayah Hea langsung membanting tubuh Hea ke
lantai ruang tamu. Pria paruh baya yang penampilannya seperti jembel itu langsung
memerkosa Hea di sana. Di depan televisi yang masih menyala. Ia juga
sempat meneriaki Daejung, memanggil Daejung untuk bergabung dengannya. Bersama-sama
meniduri pelacur sialan, pelacur rendahan, pelacur gratisan, yang bernama
Hea.
Hea
pingsan di tengah-tengah persetubuhan nista itu. Pakaiannya robek dan
berserakan di mana-mana. Ada banyak sekali sperma yang dikeluarkan di berbagai area
tubuhnya. Di pahanya, di perutnya, di payudaranya, dan di wajahnya. Dia
mengangkang; tubuhnya terlihat kaku.
Setelah
puas mengentak-entakkan alat kelaminnya di tubuh adiknya sendiri, Daejun pun
menyeret tubuh adiknya itu ke kamar mandi dengan tampang tak berdosa. Dia
memandikan Hea seraya tersenyum manis…seolah-olah apa yang ia lakukan itu merupakan
hal yang sangat mulia. Dia baik sekali, bukan? Dia sudah membuat adiknya
keenakan, lalu memandikan adiknya dengan lembut seperti ini?
Kurang
baik apa lagi dia?
Ayah
mereka masih ada di ruang tamu. Tidak memakai pakaian sehelai pun. Pria paruh
baya itu sedang duduk di sofa, lanjut meminum alkoholnya seraya menonton TV.
Sementara
itu, kini Daejung mulai memakaikan pakaian kepada Hea yang sedang telanjang
bulat. Setelah semuanya selesai, ia pun membaringkan Hea di kasur, lalu
menyelimuti Hea seperti tidak terjadi apa-apa.
Keesokan
harinya, tatkala dua orang polisi tiba-tiba datang ke rumah mereka—mungkin karena
mendapat laporan dari Pak Inho—ayahnya Hea bisa menjawab para polisi itu dengan
tenang. Tanpa masalah. Walau polisi memeriksa bagian dalam rumah mereka hingga masuk
ke kamar Hea pun, pada akhirnya polisi tidak menemukan apa-apa. Apalagi,
ayahnya Hea dan Daejung mampu menjelaskan semuanya dengan baik.
Menjelaskan
bahwa mereka baik-baik saja.
Bahwa
Hea baik-baik saja.
Bahwa
laporan itu seratus persen salah.
Soalnya,
Hea tampak tertidur di kasurnya dengan nyaman. Tidak ada luka sedikit pun di
tubuhnya. Gadis itu tampak bersih; dia berbaring di sana bagaikan seorang
putri.
Para
polisi itu pun keluar dari rumah Hea tanpa menemukan kejanggalan apa pun. Tanpa
kecurigaan sama sekali. Mereka langsung memberitahu Pak Inho bahwa Hea
baik-baik saja.
Namun,
sejak saat itu, Hea tidak pernah masuk kerja lagi.
Daejunglah
yang mengantarkan surat resign Hea ke restoran. Pak Inho sempat curiga,
tetapi Daejung—dengan segala muslihatnya—selalu bisa mempengaruhi orang lain.
Selalu bisa meyakinkan orang lain. Padahal, sama seperti ayahnya, dia adalah setan
paling keji yang mampu memerkosa semua gadis di desa itu kalau dia mau. Akan
tetapi, sialnya…pilihannya jatuh kepada adik kandungnya sendiri. Kalau
targetnya adalah orang yang serumah dengannya, kebejatan yang ia lakukan akan
sukar tercium oleh orang sekitar, bukan?
Ah,
bagi Daejung, begini saja sudah oke. Dunia ini nikmat sekali.
Di
sisi lain, meski Hea kira semuanya telah berakhir, ternyata chapter-nya
dengan Jimin belum selesai sampai di sana. Seperti yang pemuda itu katakan, ia
akan mendatangi rumah Hea sesekali. Sesekali juga, ia akan membawa Hea
ke luar rumah—secara diam-diam—dan mengajak Hea ke sebuah lapangan luas yang
ada di ujung desa. Mereka akan mengobrol di sana, sesekali tertawa kecil, dan menceritakan
setiap kegetiran yang mereka alami. Saat mereka berdua berdiri di samping satu
sama lain, memandang langit di lapangan luas yang penuh dengan tanaman
alang-alang itu, untuk sesaat mereka berdua dapat bernapas dengan nyaman.
Pada
akhirnya, Jimin pun mengetahui semua penderitaan Hea. Semua hal sinting yang
Hea alami. Namun, Hea tidak tahu banyak tentang Jimin. Mereka memang bercerita
tentang kepahitan-kepahitan hidup yang mereka alami, tetapi sebenarnya…cerita
Hea sendirilah yang terkesan paling detail.
Jimin
hanya selalu bercerita bahwa dia merasa sendirian di dunia ini. Dia
bilang, mungkin dia akan menceritakan lukanya lain kali sebab dia tak
ingin semakin membebani pikiran Hea.
Tiap
kali Jimin harus mengantarkan Hea kembali ke rumah itu, hati Jimin serasa
hancur. Seolah-olah ada sebuah tangan hitam yang masuk ke tubuhnya dan meremas
hatinya hingga remuk. Tak peduli apa pun hubungan di antara mereka, setiap
orang yang memiliki hati nurani pasti takkan tega meninggalkan Hea sendirian.
Namun, Hea selalu tersenyum tipis padanya—senyum itu tampak begitu lemah—dan
berkata, “Tidak apa-apa, Jimin.”
Lihat,
ini bukanlah telenovela yang umumnya akan memasang wanita cantik atau
bernasib sedih dengan happy ending sebagai tema dasarnya.
Ini
adalah realita,
…yang
tidak tahu bagaimana ending-nya. []
No comments:
Post a Comment