Chapter
3 :
Elysian
******
5
TAHUN YANG LALU
“LANGSUNG
ke
UKS saja, ya, Harin. Ruangannya tidak Ibu kunci,” ujar Bu Mari saat Harin
bertemu dengannya di koridor beberapa saat yang lalu. Berhubung kepala Harin
sakit saat itu, mungkin karena bergadang semalam, Harin berencana untuk meminta
obat dan beristirahat di UKS. Namun, tahu-tahu ia berpapasan dengan Bu Mari, guru
yang biasa menjaga UKS, di koridor. Tentu saja, Harin langsung menegurnya dan
berkata bahwa ia ingin pergi ke UKS.
“Memangnya
tidak apa-apa, Bu, kalau saya langsung ke sana?” tanya Harin, dahi gadis itu
agak berkerut. Ia agak segan sebab di UKS biasanya agak sepi.
“Tidak
apa-apa, Harin, pergilah ke sana. Langsung ambil saja obatnya dan beristirahatlah.
Kau tahu yang mana obatnya, ‘kan?” tanya Bu Mari seraya tersenyum.
Ah,
ya. Seminggu yang lalu, Harin pergi ke UKS dengan masalah yang sama.
Akhir-akhir ini, dia sering bergadang karena para guru di kelasnya agaknya sedang
kompak mengadakan ulangan harian. Meski Harin anak yang pintar, dia tidak
belajar setiap hari. Namun, kalau sudah ujian…dia bisa belajar hingga lupa
waktu. Ia tak bisa belajar setiap hari karena kegiatannya di sekolah sudah
cukup melelahkan. Ia adalah Ketua OSIS di sekolahnya, ia juga merupakan seorang
Ketua Kelas. Oleh karena itu, dia tidak bisa belajar setiap hari.
Namun,
guess what? Dia tetap menjadi siswi top di sekolah itu. Dia sering ikut Olimpiade
Matematika, dia juga selalu juara satu di kelasnya. Singkat kata, dia adalah
siswi yang sangat berprestasi di bidang akademik.
Harin
pun mengangguk. “Baik, Bu. Saya istirahat di sana, ya, Bu. Sudah diizinkan oleh
guru di kelas saya.”
Bu
Mari lalu tersenyum dan mengangguk. “Oke. Titip UKS, ya. Ibu mau ke Ruang
Kepala Sekolah dulu. Ibu dipanggil ke sana.”
“Baik,
Bu,” jawab Harin, lalu gadis itu menunduk dengan sopan. Bu Mari pun menepuk
pundak Harin sejenak, lalu pergi meninggalkan Harin. Ia mulai berjalan ke Ruang
Kepala Sekolah.
Harin
pun kembali berjalan. Lurus terus…hingga akhirnya ia sampai di depan Ruang UKS.
Ia lantas membuka pintu Ruang UKS itu, lalu masuk ke sana setelah menutup
pintunya kembali.
Ruang
UKS itu…ternyata memang sedang sepi.
Tidak
ada
seorang pun di sana.
Harin
bernapas lega. Syukurlah. Ia lebih senang jika tempat istirahatnya hening. Ia tak
harus khawatir ini itu; ia tak harus takut membangunkan seseorang ataupun takut
orang lain akan mengganggu waktu istirahatnya. Dia benar-benar harus minum obat
sakit kepala dan tidur.
Harin
mulai membuka lemari obat-obatan di UKS itu dan mencari obat sakit kepala yang
waktu itu pernah Bu Mari berikan padanya. Lemari yang menyimpan obat sakit
kepala itu tergantung cukup tinggi di dinding, jadi Harin mesti mendongak dan
berjinjit untuk mencari obatnya.
Tiba-tiba
saja, pintu Ruang UKS itu terbuka. Terbukanya tidak santai; Harin yakin barusan
pintu itu dibuka dan didorong dengan cepat hingga menimbulkan bunyi yang keras.
Harin kontan menoleh ke pintu itu.
Di
sana, Harin melihat seorang pemuda. Wajah pemuda itu tampak lebam di daerah
bibir dan tulang pipinya. Ada darah di sudut bibir pemuda itu.
Pemuda
itu berdiri di ambang pintu seraya memperhatikan Harin dengan bola matanya yang
kelam.
Ah.
Bukankah
itu…
…Jeon
Jungkook?
Selaku
Ketua OSIS, Harin kenal pemuda itu. Dia adalah anak dari pemilik sekolah swasta
ini. Dia itu berandal, tetapi karena parasnya yang tampan, dia sangat populer
di sekolah. Dia juga tak pernah mendapat masalah apa pun; dia tak pernah
dihukum walau dia berandal. Bagaimana mungkin orang-orang berani menghukumnya
saat dia adalah anak dari pemilik sekolah ini?
Harin—yang
merupakan Ketua OSIS—pun sebenarnya tahu bahwa Jeon Jungkook seharusnya menjadi
anak yang bermasalah di sekolah, tetapi karena Harin orangnya tidak berapi-api,
Harin pun membiarkannya. Sama seperti Kepala Sekolah dan para guru, OSIS pun
tak ingin berurusan dengan Jeon Jungkook. Lebih kepada…yah…dibiarkan
saja. Jeon Jungkook akan tetap mendapatkan masa depan yang cerah meskipun dia
berandal di masa SMA-nya.
Jeon
Jungkook tidak pernah mem-bully orang lain. Pemuda itu juga tidak pernah
menyalahgunakan kekuasaan ayahnya terhadap sekolah itu. Kata ‘berandal’ yang
dimaksudkan untuk Jeon Jungkook itu lebih kepada…dia sering bertengkar.
Dia akan menghabisi setiap orang yang mengganggunya. Dia juga hobi balap motor
liar. Jadi, sebetulnya tak ada alasan bagi warga sekolah ini untuk benar-benar membencinya.
Harin
bukan orang yang berkoar-koar mau menuntut keadilan atau apa pun itu; dia juga
tak ada dendam pada Jeon Jungkook, jadi dia diam saja. Bisa dibilang, dia tak
begitu memedulikan keberadaan Jeon Jungkook, apalagi Jeon Jungkook juga tak
sekelas dengannya.
Well,
meskipun
Harin menjabat sebagai Ketua OSIS, dia memilih untuk menjalaninya dengan normal
saja. Dia enggan mencari masalah yang tidak perlu. Dia hanya ingin lulus dari
sana dengan prestasi terbaik, lalu kuliah di jurusan yang dia inginkan. Simpel.
Saat
menyadari bahwa ternyata waktu istirahatnya takkan setenang yang ia duga, Harin
pun menghela napas pelan dan memalingkan wajahnya. Kembali mencari obat sakit
kepala di lemari itu.
Harin
mendengar Jungkook melangkah masuk.
“Bu
Mari
ke mana?”
Ah.
Agaknya, ini adalah pertama kalinya Harin mendengar suara Jeon Jungkook.
Tanpa
menoleh, Harin pun menjawab, “Beliau sedang pergi ke Ruang Kepala Sekolah.”
Tidak
ada jawaban dari Jungkook. Bertepatan dengan itu, Harin akhirnya menemukan obat
yang dia cari. Gadis itu langsung mengambil satu tablet dan menutup pintu
lemari gantung itu kembali.
Sebetulnya,
ini adalah pertama kalinya Harin berada sedekat ini dengan Jeon Jungkook. Mereka
selama ini seperti orang asing, padahal masih satu angkatan. Akan tetapi, kembali
lagi ke kenyataan bahwa: Harin bukan orang yang terlalu memedulikan hal
itu. Dia adalah gadis yang tenang. Composed.
Oleh
karena itu, meskipun dari sudut matanya Harin bisa melihat Jungkook yang sudah
menggeret salah satu kursi di ruangan itu dan duduk di sana, Harin hanya diam
dan langsung berjalan ke arah dispenser. Gadis itu langsung menadah air minum
dari sana, lalu meminum obat yang telah ia ambil.
“Kau
Seo Harin, ‘kan?” ucap Jungkook tiba-tiba. “Ketua OSIS.”
Harin
menghabiskan air di dalam gelas itu sambil membatin.
Ternyata
dia tahu.
Setelah
meletakkan gelasnya di wastafel yang ada samping dispenser, Harin pun menjawab
Jungkook, “Masih, untuk saat ini.” Soalnya, sekarang aku sudah kelas tiga.
“Kau
sakit?”
Harin
mengernyitkan dahinya, lalu menoleh kepada Jungkook. Mengapa Jungkook bertanya
seperti itu padanya?
“Bukankah
semua orang datang ke UKS karena sedang sakit?” tanya Harin seraya menaikkan
sebelah alisnya.
“Akhirnya,
kau melihat ke arahku,” jawab Jungkook seraya tersenyum miring. Pemuda
itu duduk seraya menyilangkan tangannya di depan dada.
Dia
ini sedang bicara apa, sih? Tadi aku sudah melihatnya saat dia berdiri di
ambang pintu.
Harin
menghela napas. Dia ingin menyudahi percakapan ini karena sejak tadi tujuannya
ke sini adalah ingin meminum obat dan beristirahat. “Bu Mari mungkin
sebentar lagi akan kembali. Kalau kau ingin cepat, semua obatnya ada di dalam
lemari. Aku tidur dulu.”
“Apa
kau bisa menahan sakit kepalamu setidaknya selama lima menit?” tanya
Jungkook tiba-tiba, membuat Harin—yang baru saja mau berjalan ke salah satu ranjang
UKS itu—kontan menoleh kepadanya lagi.
“Mengapa
kau tahu bahwa aku sedang sakit kepala?” tanya Harin. Alisnya menyatu.
Jungkook
memiringkan kepalanya. “Kau tadi membawa obat sakit kepala, Nona Ketua
OSIS.”
Oh.
Pemuda
itu melihat semuanya.
Akhirnya,
Harin pun menghadap sepenuhnya ke arah Jungkook. Gadis itu menghela napas. “Alright.
Ada apa dengan lima menit?”
“Aku
ingin meminta tolong padamu,” jawab Jungkook.
Harin
kembali mengernyitkan dahinya. “Tolong apa?”
“Tolong obati aku. Bisa?” tanya Jungkook
seraya tersenyum.
Sebentar.
Apa?
Harin
mendengkus. “Tidak bisa.”
“Aku
tak mengerti bagaimana cara mengobatinya,” ujar Jungkook. Dia menatap Harin
dengan lekat. “Aku ingin masuk ke kelas setelah ini. Setidaknya luka di wajahku
harus dibersihkan.”
“Tidakkah
kau pernah datang ke sini sebelumnya? Kalau sudah pernah, seharusnya kau sudah
tahu obatnya yang mana saja dan bagaimana cara Bu Mari mengobatimu,” jawab
Harin seraya mengangkat alisnya.
Jungkook
menggeleng pelan. “Tidak pernah. Luka di wajahku tidak pernah separah ini, jadi
aku belum pernah datang ke sini sebelumnya.”
Harin
hanya diam. Sesungguhnya, dia tak mau membantu Jungkook. Bukan apa, Jungkook
adalah orang asing baginya. Mengobati wajah orang asing…rasanya akan sangat
aneh. Suasananya akan canggung setengah mati.
Karena
Harin hanya diam, Jungkook pun kembali bertanya dengan mata yang sedikit melebar
polos. “Bisa tolong aku?”
Harin
langsung membuang wajahnya. “Tidak bisa. Aku mau istirahat.”
“Ya
sudah. Kalau begitu, aku tak bisa kembali ke kelas. Aku akan tidur di sini
saja. Boleh aku tidur di sampingmu?” tanya Jungkook.
Kedua
mata Harin kontan membeliak. Gadis itu lantas kembali menoleh kepada Jungkook. “Apa?”
“Boleh
aku tidur di sampingmu, Nona Ketua OSIS?” tanya Jungkook sekali lagi
seraya memiringkan kepalanya. “Aku tak bisa kembali ke kelas dengan wajah yang
seperti ini.”
“Mengapa
harus di sampingku? Ada banyak ranjang lain di UKS ini!” Harin tiba-tiba
meninggikan suaranya. Dia yang biasanya tenang, kini jadi kebingungan sendiri
tatkala menghadapi Jeon Jungkook. Ternyata, Jeon Jungkook orangnya cukup
menyebalkan.
“Supaya
kau merasa bersalah saat melihat wajahku,” jawab Jungkook enteng. Pemuda itu
mengedikkan bahunya.
Harin
mengurut keningnya. Pusing sendiri. “Kau ini sebenarnya mau apa, sih…”
Jungkook
tersenyum miring. “Aku mau Nona Ketua OSIS mengobatiku. Boleh?”
Akhirnya,
Harin berhenti memijit keningnya. Gadis itu berkacak pinggang—menatap Jungkook
dengan mata yang menyipit tajam—lalu menghela napasnya.
“Baiklah.
Lima menit saja.”
Mendengar
jawaban Harin, Jungkook pun tersenyum.
“Terima
kasih, Nona Ketua OSIS.”
Harin
mulai melangkah ke area depan lagi dan membuka lemari obat-obatan. Kali ini,
Harin membuka lemari yang berdiri dan bersandar pada dinding, bukan lemari yang
tergantung. Lemari itu berwarna putih dan sedikit lebih tinggi daripada tubuh
Harin.
Saat
telah mengambil obat untuk luka serta kasa, Harin pun menutup lemari itu dan
mulai menghampiri Jungkook yang ternyata sejak tadi tengah memandanginya.
Setelah
sampai di hadapan Jungkook, tanpa ba bi bu lagi, Harin langsung berlutut di
depan Jungkook. Kedua lututnya bertumpu di lantai.
Untungnya,
kedua kaki Jungkook sedikit terbuka, jadi Harin bisa lebih mendekat ke tubuh
pemuda itu. Karena Jungkook memiliki tubuh yang tinggi, sulit untuk mencapai
wajah Jungkook jika Harin duduknya agak jauh dari pemuda itu.
Posisi
mereka saat ini sangat dekat.
Dekat,
sampai-sampai Harin bisa mendengar napas mereka berdua. Ruang UKS itu
sepi dan kecanggungan yang Harin rasakan pun jadi memperkeruh suasana.
Apalagi,
Jungkook juga menunduk…dan menatap wajah Harin dengan lekat. Dia sedang menunggu
untuk diobati.
Saat
berada dekat dengan Jungkook seperti ini, Harin…bisa melihat wajah Jungkook
dengan jelas.
Pemuda
itu memang tampan.
Luka-luka
itu tak mampu menutupi eloknya parasnya. Dia memiliki hidung yang mancung,
kedua mata yang tajam seperti elang, dan rahang yang tegas. Bola matanya
berwarna coklat tua, warna yang tampak gelap dan memikat. Warna gelap
itu seakan mampu menarikmu masuk ke sana…lalu tenggelam dan tak mampu
kembali lagi.
Akibat
kontur wajahnya yang tajam, ia terlihat maskulin, percaya diri, dan berkarisma.
Ia tampak penuh dengan vitalitas.
Bahunya
juga lebar. Tubuhnya bagus; dia tinggi, berotot, dan terlihat sangat kuat.
Dadanya bidang. Dia memiliki daya tarik yang sangat tinggi.
Melihat
sosoknya yang seperti ini, Harin jadi semakin paham mengapa semua wanita
memujanya.
Tidak,
Harin tidak bodoh. Harin tahu bahwa Jeon Jungkook itu tampan. Gadis itu pernah
melihat Jungkook beberapa kali dari jauh, tetapi karena ia orangnya agak cuek,
ia pun tak memperhatikan rupa Jungkook sampai detail.
Namun,
ketika dilihat dari dekat seperti ini…ternyata Jeon Jungkook memang diberkati
oleh Tuhan. Tuhan benar-benar serius saat menciptakan Jungkook.
“Ayo,
Nona,” ujar Jungkook pelan. Ada sebuah jenaka yang tersirat di
kedua matanya. “Nanti lima menitnya habis…”
Harin
mengerjap. Gadis itu sedikit malu karena ketahuan memperhatikan wajah Jungkook,
tetapi ia langsung kembali menguasai dirinya. Ia pun mulai bergerak
membersihkan luka di wajah Jungkook.
Jungkook
tersenyum miring.
“Apa
yang kau lakukan sampai bisa terluka seperti ini?” tanya Harin pelan.
Sungguh,
suasana saat itu sepi sekali. Hanya Harin, Jungkook, napas mereka,
getaran yang tercipta di antara mereka, serta suara detak jantung Harin.
Pelan-pelan…Harin mengusap wajah Jungkook, membersihkan wajah tampan
pemuda itu dengan hati-hati. Sebenarnya, tangan Harin sedikit bergetar,
ada keraguan di setiap gerakannya sebab ia sedang menyentuh wajah
seorang pemuda yang asing baginya.
Jungkook
bernapas samar. “Aku berkelahi dengan beberapa siswa dari sekolah lain.”
Saat
Harin ingin membersihkan luka di sudut bibir Jungkook, tangan Harin
sempat terhenti di udara. Ia memperhatikan luka itu dengan dahi yang berkerut.
Tiba-tiba ia jadi bingung dan gugup setengah mati. Ia takut ia tak sengaja
menyentuh sesuatu yang salah.
Namun,
tiba-tiba Jungkook menarik pergelangan tangannya. Menyuruhnya untuk tetap
melanjutkan kegiatan itu. “Aku tidak akan menggigit jemarimu.”
Pipi
Harin sontak merona. “Aku bukan takut digigit!”
Jungkook
tersenyum miring. “Jadi, takutnya sama apa, dong?”
Harin
berdecak. Dia tak ingin merespons Jungkook, jadi dia langsung kembali pada
aktivitasnya. Dia berusaha untuk tak gelisah walau sedang membersihkan sudut
bibir Jungkook.
“Kalau
kau terus-menerus berkelahi, suatu hari nanti kau akan kehilangan gigimu atau
mungkin…tulang wajahmu akan retak,” ujar Harin. “Jangan terlalu sering
berkelahi.”
“Hm…
Baru kali ini Ketua OSIS perhatian padaku,” jawab Jungkook seraya tersenyum. Pemuda
itu tampak terhibur.
Harin
yang mendengar itu kontan terhenti dari aktivitasnya dan langsung menoleh
kepada Jungkook seraya menyatukan alis. “Aku serius.”
Jungkook
tertawa kecil.
“Iya,
Harin.”
Mata
Harin melebar.
Jeon
Jungkook…memanggil Harin dengan nama panggilannya.
Mereka
saling menatap.
Karena
tak ingin terus-menerus berada di dalam ketegangan itu, Harin pun
mengerjap. Dia mencoba untuk menguasai dirinya kembali, lalu mulai mengobati
luka-luka di wajah Jungkook.
Tatkala
sedang menutup luka Jungkook dengan kasa, Harin pun bertanya, “Jadi, kau tadi
melewatkan kelas hanya untuk berkelahi dengan siswa dari sekolah lain?”
“Aku
pergi sebentar untuk mengikuti balapan,” jawab Jungkook. Pemuda itu
tersenyum simpul. “Namun, ketika aku sudah sampai di sana, mereka langsung
menyerangku karena tak terima dengan kemenanganku di pertandingan sebelumnya.”
Mata
Harin melebar. Ia menatap Jungkook, lalu berkata, “Jadi…apa yang terjadi
pada mereka sekarang?”
“Entah,”
jawab Jungkook. “Mereka semua terkapar di sana dan aku pergi.”
Astaga.
Ada-ada
saja.
Harin
menggeleng pelan—merasa tak habis pikir—lalu gadis itu mulai menutup
luka Jungkook yang terakhir. Setelah selesai, ia pun menghela napas lega dan
mulai menjauhkan wajahnya dari Jungkook.
“Sudah
selesai,” ujar Harin. “Usahakan jangan berkelahi seperti itu lagi bila kau tak
ingin wajahmu rusak.”
“Sepertinya…belum
lima menit,” ujar Jungkook, sebelah alisnya terangkat.
Harin
mengerutkan dahinya. “Memangnya kau pikir lima menit itu seberapa lama?”
Jungkook
tertawa kecil.
Mereka
masih bertatapan selama beberapa detik. Harin belum bangkit dari duduknya.
Tak
lama kemudian, Jungkook mulai membuka suara.
“Harin,”
katanya.
“Ayo pulang bersamaku.”
Kedua
mata Harin membulat.
Pulang…bersama
Jeon Jungkook?
Apa
pemuda itu…serius?
Harin
benar-benar kaget, terus terang saja. Mereka tidak dekat; mereka sekadar tahu
akan keberadaan satu sama lain. Mereka baru bercakap-cakap beberapa menit
yang lalu. Pulang bersama adalah sebuah perkembangan yang terlalu cepat
meskipun Harin tahu bahwa sepertinya Jungkook melakukan itu sebagai
bentuk terima kasih.
Harin
menghela napasnya, lalu berdiri dan meninggalkan Jungkook. Ia menuju ke lemari
obat-obatan. “Tidak perlu.”
Ketika
sedang menaruh kembali obat-obatan dan kasa itu, Harin mendengar Jungkook
berkata, “Nanti aku antar pulang, ya?”
Harin
menghela napas (lagi), lalu menutup lemari itu dan berdiri menghadap ke arah
Jungkook. “Tidak perlu, Jungkook. Kembalilah ke kelasmu. Aku mau istirahat.”
******
Harin
kira Jungkook akan menyerah.
Ternyata tidak.
Oke,
mengingat bagaimana Jungkook memaksa Harin untuk mengobatinya di UKS tadi saja
seharusnya sudah bisa menjadi acuan bahwa Jungkook orangnya agak pemaksa.
Sepertinya, pemuda itu memiliki prinsip bahwa apa yang ia inginkan harus
ia dapatkan saat itu juga.
Jam
sekolah hari ini telah berakhir; bel pulang sekolah sudah berbunyi. Murid-murid
di kelas Harin mulai membereskan barang-barang mereka; guru yang mengajar
mereka tadi sudah keluar dari kelas.
Tadi
Harin sempat tidur di UKS kurang lebih selama dua jam. Saat Harin terbangun, Bu
Mari sudah ada di ruangan itu. Bu Mari tersenyum pada Harin dan memeriksa tubuh
gadis itu sejenak. Setelah memastikan bahwa dirinya telah sembuh, Harin pun
pamit kepada Bu Mari untuk kembali ke kelas.
Jadi,
saat semua murid di kelas itu sedang mengemas barang-barang mereka, tiba-tiba
Harin dikejutkan dengan suara teriakan tertahan para perempuan. Reaksi
itu agaknya bersahut-sahutan, baik dari dalam kelas Harin maupun dari luar. Mereka
seakan tengah melihat seseorang yang tak seharusnya berada di sana.
Harin
melihat semua teman sekelasnya melihat ke satu arah, yakni ke pintu
masuk kelas.
Kontan
saja Harin melihat ke arah yang sama karena penasaran. Harin menoleh seraya
menyatukan alisnya.
Hal
yang Harin temukan adalah:
Di
sana ada Jeon Jungkook.
Jeon
Jungkook berdiri bersandar di ambang pintu, lengkap dengan tas yang pemuda itu
bawa di sebelah bahunya. Ia menatap tepat ke kedua mata Harin.
Memperhatikan Harin dari jauh dengan lekat. Ia seolah mengurung Harin
melalui tatapannya.
Jungkook
menunggu Harin di pintu kelas!
Mata
Harin membelalak. Pikiran Harin langsung ke mana-mana. Sebentar, perasaan
tadi tawarannya sudah kutolak! Mengapa dia ada di sini?
Satu
kelas itu—kelas Harin—lama-lama jadi terdiam. Perlahan-lahan…teriakan-teriakan
tertahan itu juga berhenti. Mereka semua diam seolah menunggu apa yang
akan terjadi. Mereka betul-betul ingin tahu. Mengapa Jeon Jungkook ada di depan
kelas mereka?
Kelas
itu sekarang jadi hening.
Beberapa
detik kemudian, Jungkook mulai membuka suara.
“Rin,”
panggil
Jungkook. “Ayo pulang.”
…tunggu.
Pemuda
itu…memanggil Harin dengan…apa?
‘Rin’…?
Belum
pernah ada orang yang memanggil Harin seperti itu. Gadis itu
kaget bukan main. Mulutnya sampai sedikit terbuka.
Di
sisi lain, Harin sadar bahwa teman-teman sekelasnya mulai melihat ke arahnya.
Semua orang menoleh kepadanya! Ada yang menyatukan alis, ada juga yang matanya
membulat.
Sedikit
informasi:
semua orang tahu bahwa Jeon Jungkook itu tampan, tetapi dia berandal.
Semua orang juga tahu bahwa sekolah ini milik ayahnya.
Jadi,
bayangkan saja. Tiba-tiba, pemuda itu datang ke kelas mereka, bersandar di
ambang pintu seakan menunggu seseorang, lalu mengajak Seo Harin pulang
bersamanya.
Benar!
Pemuda
populer itu mendekati Seo Harin, anak emas di sekolah itu! Apalagi,
Jungkook memanggil Harin dengan panggilan ‘Rin’ seolah-olah mereka sudah
sangat dekat. Sejak kapan mereka berdua dekat?
Ini
fenomenal.
Karena
tidak senang dengan perhatian semua orang yang langsung tertuju kepadanya,
Harin pun cepat-cepat membereskan barang-barangnya dan langsung memasang
tasnya. Setelah itu, Harin berlari ke pintu depan kelas, menghampiri Jungkook
yang tengah menunggunya di sana.
Setelah
sampai di ambang pintu, Harin pun melewati Jungkook dan langsung berjalan
mendahuluinya. Jungkook ikut bergerak; pemuda itu mengikuti Harin dari
belakang.
Tidak
butuh waktu lama hingga pemuda itu akhirnya berjalan di sebelah Harin. Semua
orang yang juga sedang berjalan di koridor itu tentu saja memperhatikan mereka
berdua sambil menahan teriakan. Beberapa perempuan kontan melebarkan mata seraya
menutup mulut mereka dengan sebelah tangan. Tentu saja, semua orang kaget saat melihat
pemandangan itu.
Murid
top sekolah, Seo Harin, jalan berdua dengan Jeon Jungkook?
Rasanya
seperti menyatukan air dan minyak.
Sambil
berjalan di sebelah Harin, Jungkook mulai kembali berbicara, “Pulang bersamaku,
ya?”
Harin
menghela napas. Gadis itu menatap Jungkook, lalu menggeleng. “Tidak usah,
Jungkook, tidak apa-apa. Aku biasanya pulang naik bus sekolah.”
Meskipun
kaget setengah mati dengan apa yang Jungkook lakukan padanya hari ini, Harin
tetap berusaha untuk tetap tenang. Dia menolak Jungkook dengan halus.
Tatkala
sampai di depan sekolah, mereka berdua sama-sama melihat bahwa bus sekolah
sudah menunggu di sana. Harin biasanya naik bus itu untuk pergi dan pulang
sekolah.
Jungkook
mendengkus.
Harin lantas menoleh kepada Jungkook. Sembari tersenyum tipis, Harin pun berkata, “Aku duluan, ya, Jungkook.”
Tanpa
membuang waktu, Harin langsung berlari mendekati bus itu dan naik ke sana.
Setelah ada di dalam bus, Harin berjalan ke belakang—mencari jok penumpang yang
kosong—dan ia sempat melihat ke luar melalui jendela bus itu.
Tampaklah
Jungkook yang berada jauh di depan sana, tengah berdiri seraya menyilangkan
dada. Jungkook memperhatikan Harin dengan lekat; mata Jungkook sedikit menyipit.
Tatapan pemuda itu kembali memenjarakan Harin dari jauh.
Harin
meneguk ludahnya. Gadis itu mengerjap, lalu langsung mengalihkan pandangannya.
Ia kembali mencari jok yang kosong, lalu duduk di jok itu.
Jeon
Jungkook benar-benar tak bisa diprediksi.
Namun,
satu hal yang Harin tak tahu adalah: dugaannya mengenai Jungkook yang ‘agak’
pemaksa itu sebenarnya salah. Pemuda itu bukan hanya ‘agak’ pemaksa.
Dia
memang pemaksa.
Namun,
sepertinya…baru Harin seoranglah yang berkali-kali sukses menghindari
paksaannya.
Maka
dari itu, dia mendapatkan sebuah solusi. Sebuah alternatif.
Dia
akan mengikuti bus itu dari belakang secara diam-diam,
…hingga
bus itu sampai di rumah Harin.
******
Setelah
semua hal yang terjadi di hari itu, Jeon Jungkook jadi sering memperhatikan
Harin. Terkadang, Jungkook menemukan Harin tanpa sengaja saat ia melewati
perpustakaan; Jungkook melihat Harin sedang duduk dan belajar di perpustakaan
itu. Terkadang pula, Jungkook melihat Harin makan di kantin bersama
teman-temannya. Intinya, Jungkook menjadi lebih ‘sadar’ akan keberadaan Harin.
Sekitar
satu minggu kemudian, tatkala semua murid dikumpulkan di aula sekolah, Jungkook
melihat Harin naik ke panggung yang ada di aula itu. Gadis itu dipanggil naik
ke panggung karena telah berhasil memenangkan Olimpiade Matematika tingkat
provinsi. Dia naik ke panggung, lalu menerima hadiah dari sekolah berupa sebuah
piala berwarna emas. Gadis itu lalu menyampaikan kata-kata terima kasihnya di
podium. Saat berbicara di atas panggung, dia terlihat tenang, berwibawa, dan
percaya diri. Dia juga tersenyum saat mengucapkan terima kasih.
Di
sana, di atas panggung itu, Jungkook benar-benar melihat sosok perempuan yang sangat
bersinar. Perempuan yang cantik, pintar, kreatif, dan menginspirasi. She’s
so peaceful and perfect. Sangat berbeda dari Jungkook.
Jika
Seo Harin bersinar bagaikan matahari,
…maka
Jeon Jungkook bagaikan malam kelam yang dipenuhi dengan burung gagak.
Namun,
entah mengapa, perbedaan itu menarik Jungkook kepada Harin seperti magnet.
Their
differences draw him to her. He is attracted to her because of the ways they
are unlike each other.
Namun,
yang membuat Jungkook semakin tertarik adalah: Harin juga memiliki beberapa
kebiasaan lucu di balik sikap tenangnya. Suatu ketika, Jungkook pernah masuk ke
perpustakaan tanpa Harin ketahui. Jungkook lalu melihat Harin—yang sedang duduk
di perpustakaan itu—sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak
ada siapa pun yang melihatnya, Harin pun mengeluarkan sebuah snack potato
chips dari dalam tasnya dan memakan snack itu sambil mengerjakan
tugasnya.
Di
perpustakaan sekolah itu dilarang membawa makanan. Jungkook yang tak pernah
menginjak perpustakaan itu—kalau bukan karena menguntit Harin—pun tahu soal
itu. Di balik sikap composed-nya, Harin terkadang bisa melakukan sesuatu
yang lucu.
Selain
memperhatikan Harin di perpustakaan, Jungkook juga jadi sering tiba-tiba nimbrung
saat Harin dan teman-temannya makan di kantin. Pemuda itu akan datang secara
tiba-tiba—membawa makanannya—lalu duduk di sebelah Harin dan tersenyum kepada
Harin. Sesekali ia akan ikut mengobrol bersama Harin dan teman-temannya,
membuat teman-teman Harin jadi kikuk dan malu-malu. Soalnya, mendadak mereka
jadi sering mengobrol dengan si tampan yang sangat populer di kota mereka. Jeon
Jungkook adalah seorang pembalap yang terkenal di seluruh komunitas balap motor
liar; dia sangat populer di banyak tempat, terutama di kalangan pemuda pemudi. Selain
terkenal karena jago balapan motor, dia juga terkenal karena dia merupakan ahli
waris konglomerasi bisnis yang tidak asing lagi di negara itu, yakni JA
International.
Seperti
saat ini. Jungkook tiba-tiba menghampiri meja di mana Harin dan teman-temannya
sedang makan. Mengenali wangi parfum Jungkook—yang khas itu—Harin pun langsung
menoleh dan mendapati Jungkook yang sudah bergerak untuk duduk di sebelahnya.
Setelah
duduk dengan benar di samping Harin, Jungkook pun menatap Harin seraya
tersenyum simpul. Pemuda itu memiringkan kepalanya dan berkata, “Aku duduk di
sini, ya.”
Meski
hal ini sudah sering terjadi, tetap saja teman-teman Harin tercengang saat
memperhatikan Jungkook. Ini benar-benar seperti keajaiban.
“Masih
banyak kursi yang kosong selain di sini, Jungkook,” jawab Harin seraya
mengerutkan dahinya.
Jungkook
tersenyum miring, lalu mulai memakan makanan yang ia bawa. “Di sini saja tidak
apa-apa.”
Menghela
napas, Harin pun tiba-tiba memperhatikan wajah Jungkook. Ada sebuah luka lebam
di area tulang pipi pemuda itu. Harin sedikit melebarkan matanya. “Kau berkelahi
lagi, ya?”
Jungkook
menoleh sejenak kepada Harin, lalu lanjut makan. “Hm.”
“Bukankah
waktu itu aku sudah memperingatimu?” ujar Harin. Gadis itu menyatukan alisnya. “Kau
mau tulang pipimu retak?”
“Tidak.”
“Jadi,
mengapa kau masih berkelahi?”
“Aku
tak sengaja terkena pukulannya, Cantik.”
Mata
Harin membulat. Karena pipinya mulai terasa agak memanas, Harin pun memalingkan
wajahnya dan langsung pura-pura mengaduk supnya. “Dasar tukang berkelahi.”
Menoleh
kepada Harin, Jungkook tertawa kecil. Harin lucu sekali kalau sedang mengomel
seperti itu. Orang yang biasanya terlihat sangat tenang, sekarang sedang
mengomeli Jungkook. Ini terasa begitu…menyenangkan.
Di
sisi lain, teman-teman Harin jadi menganga melihat adegan itu. Ini…mereka
pasti pacaran, nih! Masa iya obrolan mereka semanis ini?
“Rin?”
panggil Jungkook. Matanya menatap Harin dengan sangat lembut. Teduh.
“Hm?”
sahut Harin, gadis itu baru saja memakan wortel yang ada di supnya. Ia lalu
menoleh kepada Jungkook.
Jungkook
tersenyum.
“Mau
tidak sama aku?”
Kontan
saja teman-teman Harin jadi membulatkan mata. Mereka semua terperanjat. Ada
yang menutup mulutnya dengan kedua tangan, ada juga yang sibuk menepuk-nepuk
pundak teman yang duduk di sebelahnya seraya menganga.
Seriusan,
nih, Harin ditembak di depan mereka??!
Namun,
kontras dengan apa yang mereka harapkan, ternyata Harin langsung mengalihkan
wajahnya dan memasang ekspresi datar. “Tidak mau.”
Waduh.
Jeon Jungkook, si bad boy populer itu, ditolak mentah-mentah!
Mendengar
jawaban dari Harin, Jungkook sedikit mengangkat kedua alisnya. “Kenapa?”
Dengan
blak-blakan, Harin menghela napasnya dan menjawab, “You’re not worth
it. Kau terlihat seperti pengkhianat. Aku sering melihatmu menggoda banyak
perempuan.”
Jungkook
terdiam.
Well,
Jungkook
memang sering iseng menggoda balik perempuan yang menggodanya. Akan tetapi, entah
mengapa…tiba-tiba ada sebuah percikan rasa senang yang muncul di hati
Jungkook. Soalnya, dari kalimat Harin itu…
…Jungkook
bisa menyimpulkan bahwa Harin juga memperhatikannya.
Ternyata,
bukan hanya Jungkook yang ‘lebih’ menyadari keberadaan Harin. Harin pun
demikian.
Jungkook
tersenyum miring.
“Benarkah?
Seingatku, aku hanya iseng,” jawab Jungkook.
“Sama
saja,” balas Harin. “Tidak ada kata iseng. Itu adalah kebiasaan seorang
pembohong dan pengkhianat.”
Jungkook
mendengkus. “Iya, deh, iya. Aku pengkhianat. Nanti boleh kuantar pulang?”
******
Sore
itu, Harin benar-benar pulang bersama Jungkook. Sebetulnya, hari itu adalah
pertama kalinya Jungkook mengantar Harin pulang, soalnya selama ini Harin
selalu menolak ajakan Jungkook. Namun, kali ini agaknya Harin mengalah.
Tadi,
sebelum motor itu berjalan, Jungkook langsung menarik kedua tangan Harin hingga
Harin benar-benar jadi memeluknya dari belakang. Jungkook hanya berkata, ‘Jangan
memegang jaketku saja. Nanti jatuh.’
Mata
Harin melebar, tetapi akhirnya dia mengangguk. Dia ingat bahwa Jungkook itu seorang
pembalap. Bisa jadi Jungkook memang berkendara dengan sangat cepat, jadi Harin
akan membuang nyawanya sendiri apabila tidak benar-benar memeluk Jungkook.
Namun,
kenyataannya tidak begitu. Saat membawa Harin, Jungkook berkendara dengan sangat…pelan.
Sangat santai. Seolah dia sedang membawa benda yang mudah pecah.
Atau
mungkin, dia hanya tak ingin cepat-cepat sampai.
Tatkala
sampai di sebuah jalan besar, Jungkook dan Harin menyadari bahwa di sana sedang
macet. Oleh karena itu, Jungkook pun berbelok ke arah lain. Ke sebuah jalan
kecil.
Namun,
saat mereka masuk ke jalan itu, tiba-tiba ada sekumpulan motor dari belakang
yang menyusul mereka. Dengan cepat, motor-motor itu telah ada di samping
kanan dan kiri mereka. Kumpulan motor itu kini mendahului motor Jungkook dan
berhenti di depan sana, bergerombol untuk mencegat Jungkook.
Jungkook
menghentikan motornya.
Orang-orang
itu langsung beramai-ramai turun dari motor mereka. Mereka semua memakai
pakaian yang berwarna gelap; beberapa dari mereka membawa kayu pemukul.
Salah
satu dari mereka mulai berteriak, “Turun kau, keparat!”
Mata
Harin membeliak. Harin langsung menatap Jungkook, tetapi wajah Jungkook tidak begitu
terlihat karena sedang memakai helm. Harin hanya bisa melihat mata Jungkook
yang menyipit tajam di balik kaca helm itu.
“Turun
sekarang, Jungkook!”
“Iya,
turun kau sekarang!!”
Teriakan
orang-orang itu mulai bersahut-sahutan. Astaga, ada apa ini?! Apakah—apakah hal
inilah yang selalu Jungkook hadapi?
Harin
panik. Gadis itu tanpa sadar semakin memeluk Jungkook dengan erat.
Namun,
tiba-tiba, di antara seluruh teriakan itu, Harin mendengar Jungkook berbicara.
“Rin,”
panggilnya.
“Maaf. Bisakah kau turun sebentar? Aku tidak akan lama.”
Apa?
“Jungkook—”
Harin menggeleng. “Tidak usah. Nanti kau terluka. Jumlah mereka banyak.”
Jungkook
membelai jemari Harin yang sedang memeluknya. “Kau pikir mereka akan
melepaskanku begitu saja? Mereka jelas-jelas mencegat kita.”
Harin
terdiam. Gadis itu menunduk, dahinya berkerut. Ia panik dan bingung. Jungkook
bisa terluka parah!
“Turun
sebentar, ya?” bujuk Jungkook. “Aku akan baik-baik saja.”
Merasa
tidak mampu menolak Jungkook—karena tidak tahu harus bagaimana—Harin pun
akhirnya mengangguk dengan gundah. Dahinya terus berkerut, matanya tampak nelangsa
sekaligus khawatir. Ia turun dari motor Jungkook dengan terpaksa.
Setelah
memberikan helmnya kepada Jungkook, Jungkook pun membuka helmnya sendiri, lalu
turun dari motor itu. Jungkook meletakkan helm mereka berdua di atas motor.
Jungkook
mendekati Harin sebentar, lalu memberikan tasnya kepada Harin. “Pegang tasku
sebentar, ya, Cantik.”
Harin
mengangguk pasrah. Gadis itu meraih tas Jungkook, lalu meletakkan tas itu di
pelukannya.
Jungkook
pun melangkah maju, mendekati gerombolan yang terus berteriak padanya sejak
tadi. Dengan ekspresi dingin serta tatapan yang sangat tajam, Jungkook
terus berjalan ke arah mereka.
Setelah
sampai tepat di depan kawanan pengacau itu, Jungkook pun berhenti melangkah.
Dengan penuh intimidasi, penuh tekanan yang tinggi, Jungkook pun mulai
bersuara.
“Jadi,”
bukanya.
“siapa kalian?”
Salah
satu dari mereka, yang tadi berteriak pertama kali, lantas maju ke depan.
Pemuda itu langsung mendorong bahu Jungkook, tetapi hampir tidak membuat pengaruh
apa-apa terhadap Jungkook.
“Jangan
berpura-pura, keparat.” Pemuda itu menatap Jungkook dengan mata nyalang.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Jungkook; ekspresi wajahnya terlihat berang
dan penuh dengan dendam. Rahangnya mengeras. Urat-urat di lehernya terlihat
dengan jelas tatkala ia menggertakkan giginya. “Kau—APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN
PADA KEKASIHKU DI PERTANDINGAN SEMINGGU YANG LALU, SIALAN? AKU TAK PERNAH
MENGGANGGUMU!”
Mata
Jungkook menyipit. “Kekasihmu? Siapa?”
Satu
pukulan
langsung mendarat di wajah Jungkook. Pemuda itu meninju wajah Jungkook dengan sangat
keras, membuat kepala Jungkook langsung berpaling ke samping. Jungkook
terlihat melihat ke bawah, ke aspal, sementara darah mulai mengalir dari
sudut bibirnya.
“BAJINGAN!
KAU TELAH MEREBUT KEKASIHKU!” teriak pemuda itu.
Ah.
Masalah seperti ini lagi.
Jungkook
menyeka darah yang ada di sudut bibirnya. Ia lalu menoleh kepada pemuda itu dan
menatap pemuda itu dengan sinis. “Jadi, intinya, kekasihmu
meninggalkanmu karena melihatku menang di pertandingan itu?”
Mata
pemuda itu kontan memelotot. Ia langsung hilang akal. Dengan
membabi buta, ia spontan meninju wajah Jungkook berkali-kali. “SIALAN! SIALAN! SIALAN KAU, KEPARAT!
SIALAN!!!! MATI KAU!!!”
Namun,
setelah sukses menghajar Jungkook berkali-kali tanpa ada perlawanan, tiba-tiba
sebelah tangan pemuda itu dicengkeram oleh Jungkook. Jungkook langsung menarik
tangan pemuda itu ke atas; pada dasarnya, Jungkook mengangkat tubuh
pemuda itu dengan sebelah tangannya. Tangan pemuda itu diangkat ke atas hingga
kakinya tidak menapak tanah!
Pemuda
itu sontak membulatkan mata. Namun, sebelum pemuda itu sempat bereaksi apa-apa,
Jungkook langsung membanting tubuh pemuda itu ke aspal. Melemparnya
cukup jauh dari hadapannya.
Kontan
saja semua orang di sana jadi geram. Mereka semua langsung berteriak dan
berlari ke arah Jungkook. Mereka ingin menyerang Jungkook dengan membabi buta; mereka
ingin mengeroyok Jungkook habis-habisan.
Namun,
terjadi sebuah hal yang tak terduga.
Tiba-tiba
saja, Jungkook melihat Harin berdiri di depannya. Gadis itu melindungi
Jungkook yang ada di belakangnya, lalu menghadang seluruh pemuda yang ingin
menyerang Jungkook.
“BERHENTI!!!”
teriak
Harin kencang, mengalahkan seluruh teriakan para pemuda itu.
Para
pemuda itu mendadak berhenti mendekati Jungkook tatkala melihat bahwa
gadis itu tidak hanya sedang berdiri di sana. Gadis itu berdiri melindungi
Jungkook sambil mengulurkan sebelah tangannya ke depan. Gadis itu tengah
menunjukkan layar ponselnya kepada mereka semua.
“AKU
SUDAH MENELEPON POLISI!!!” teriak Harin. “HENTIKAN SEMUA INI!! PAMANKU ADALAH
SEORANG POLISI DAN DIA SEDANG MENUJU KE SINI!!!”
Para
pemuda itu bisa melihat bahwa ternyata di layar ponsel itu ada sosok seorang pria.
Layar itu sedang menampilkan video call!!! Selain itu, di dalam video
call tersebut…pria itu tampak memakai seragam polisi dan sedang duduk di
dalam mobil. Ada suara sirene mobil polisi yang terdengar sangat kencang
dari video call itu!!
“Ah,
aku tahu jalan itu. Aku akan segera ke sana, Harin. Untuk kalian semua, bocah-bocah
keparat, tunggu di sana!!!!” teriak pamannya Harin
dari seberang sana.
“CEPAT,
PAMAN, NANTI MEREKA KABUR! TANGKAP SAJA MEREKA-MEREKA INI!!” teriak Harin.
“Okeeee,
siap!” jawab pamannya Harin, lalu panggilan video itu pun
dimatikan.
Kontan
saja
semua pemuda yang ada di sana berlari terbirit-birit. Pemuda yang tadi
dibanting ke aspal oleh Jungkook pun langsung berdiri dan berlari terseok-seok
ke motornya. Mereka semua langsung panik dan terpontang-panting. Pemuda yang ‘kekasihnya-direbut-oleh-Jungkook’
itu sempat berteriak, “KITA AKAN MENYELESAIKAN INI, JUNGKOOK!!”, lalu ia dan
teman-temannya langsung mengegas motor mereka dan kabur dari sana dengan
kecepatan tinggi.
Setelah
motor mereka sudah jauh di depan sana—bahkan suaranya pun sudah terdengar sangat
jauh—Harin pun akhirnya menghela napas lega. Bahunya sampai jatuh;
kerutan di dahinya langsung hilang. Ia mulai menghirup oksigen di sana sebanyak
mungkin. Rasa sesak di dadanya perlahan-lahan hilang.
Namun,
tiba-tiba saja…Harin mendengar sebuah tawa kecil.
Harin
kontan berbalik. Ia pun menemukan Jungkook…yang sedang tertawa kecil. Jungkook
tertawa pelan, tetapi kelihatannya pemuda itu benar-benar terhibur. Seakan-akan
kejadian barusan terasa begitu menggelikan baginya.
Harin
langsung menyatukan alis. “Kok malah tertawa, sih?!”
Mendengar
Harin bertanya seperti itu, Jungkook justru tertawa semakin keras. Ia tertawa
di hadapan Harin.
Setelah
puas tertawa, Jungkook pun menatap Harin dengan mata yang menyiratkan jenaka. “Wah,
sepertinya aku harus berhati-hati, nih. Gadis yang kusuka ternyata merupakan
keponakan seorang polisi.”
Harin
memasang ekspresi datar. “Ha? Kau bicara apa coba?”
Jungkook
kembali tertawa.
Harin
berdecak. Gadis itu pun langsung mendekati Jungkook dan memeriksa wajah
Jungkook. Matanya membeliak tatkala melihat wajah Jungkook yang penuh akan luka
karena menerima banyak pukulan. “Kok pukulannya tak kau hentikan, sih? Astaga,
wajahmu jadi memar-memar semua!”
Harin
mendengkus. Ia mulai mengusap darah yang mengalir di sudut bibir Jungkook. Ia juga
menyentuh memar-memar yang ada di wajah Jungkook dengan pelan.
“Jungkook,
beritahu aku alamatmu,” ujar Harin lirih. “Kau naik taksi saja, ya?
Nanti Pamanku akan membantu membawakan motormu.”
Saat
tatapan mata Harin sampai ke kedua mata Jungkook, Harin kontan terdiam.
Mata Harin melebar.
Ternyata…sejak
tadi Jungkook terus memperhatikannya. Menatapnya dengan begitu lekat.
Begitu intens. Begitu dalam.
Pemuda
itu tersenyum lembut.
Setelah
bertatapan selama tiga detik, tiba-tiba saja…
Jungkook
mencium Harin.
Tepat
di bibirnya.
Ciuman
itu awalnya sangat lembut. Mesra…dan penuh kasih. Jungkook seakan
ingin mencicip dan meneliti bibir Harin. Hal ini membuat Harin—yang
tadinya terkejut bukan main—perlahan-lahan mulai menerima ciuman Jungkook dan
memejamkan matanya.
Namun,
sepuluh detik kemudian, ciuman itu jadi semakin dalam. Jungkook mulai melumat bibir
Harin, menggigit bibir Harin, lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut Harin.
Melilit lidah Harin dengan lidahnya. Sebelah tangannya menarik tubuh Harin ke
dalam pelukannya, sementara sebelah tangannya lagi memegang kepala Harin agar gadis
itu terus mendongak dan menerima ciumannya.
Saat
ciuman itu terasa semakin menuntut, Harin kontan mengerutkan dahi. Tangannya
mulai mencengkeram seragam Jungkook di bagian dada. Ia belum pernah berciuman
sebelumnya, jadi ciuman seintens ini tentu membuatnya kaget dan terengah-engah.
Bibirnya terus menerus dilumat oleh Jungkook, bahkan Jungkook sempat mengisap
lidahnya. Mereka bertukar saliva.
Satu
menit kemudian, Jungkook pun melepaskan ciuman itu. Wajah mereka sangat dekat.
Bibir mereka masih nyaris menempel; Harin dapat merasakan hangatnya napas
Jungkook di kulit wajahnya.
Pipi
Harin memerah. Matanya sayu. Ia jadi lemah akibat ciuman panas itu. Itu
adalah ciuman pertamanya, tetapi ciuman itu terasa sangat…liar.
Jungkook
terus memperhatikan seluruh reaksi Harin. Merekam pemandangan itu dan
menyimpannya di dalam otaknya. Ia menatap Harin dengan penuh…hasrat. Penuh
keinginan. Penuh…
…cinta.
Aah,
Jungkook sangat menginginkan gadis ini.
Jungkook
lantas tersenyum miring. Pemuda itu membelai bibir Harin yang lecet karena
ciumannya, lalu berbisik.
“Pacaran,
yuk.”
[]
No comments:
Post a Comment