Chapter
3 :
Austin
Rivera
******
BEGITU
mendengar
teriakan yang amat kencang itu, semua orang langsung berlari ke asal suara,
yaitu kamar rombongan Thomas. Vila itu besar, tetapi apabila ada yang berteriak
sekencang itu, semua orang pasti bisa mendengarnya. Apalagi, saat ini vila itu
sedang sepi karena mereka masih dalam suasana berduka. Tidak ada yang berisik,
tidak ada yang menghidupkan TV, tidak ada yang lasak juga. Jadi, suara teriakan
rombongan Chris tentu bisa terdengar dengan jelas. Kamar-kamar yang mereka
tempati di vila itu juga tidak ada yang kedap suara.
Saat para peserta beserta Pelatih
Andrew dan Dokter Gray sampai di kamar itu, mereka semua heboh menanyakan, ‘Ada
apa?! Mengapa kalian berteriak?’ atau ‘Apa yang terjadi?!’ dan
Thomas langsung menunjuk ke kamar mandi dengan wajah yang pucat. Mata Thomas
melebar ketakutan, tangannya bergetar; ia sudah terduduk di lantai. Thomas merasa
bagai tercekik saat mengatakan, “I—itu—itu—Lucas—”
Ibarra
mematung di depan pintu kamar mandi dengan mata yang melebar sempurna.
Sementara itu, Chris—yang juga terjatuh di lantai seperti Thomas—kontan
menunjuk kamar mandi itu dan berteriak, “Lucas!!! Di sana!! Lucas—di
kamar mandi—”
Mendengar
itu, dengan secepat kilat Pelatih Andrew berlari dan memasuki kamar mandi itu.
Dokter Gray dan beberapa peserta lain juga mengikutinya. Alangkah terkejutnya
mereka semua saat melihat Lucas yang telah tergantung di kamar mandi.
Ada yang berteriak, ada yang langsung mundur ketakutan, dan ada yang mematung
di tempat—shock berat—seperti Ibarra.
Lucas
gantung diri di kamar mandi itu.
Ibarra
menggeleng tak percaya. Dengan wajah pucatnya itu, Ibarra terus komat-kamit.
Tubuhnya menegang. “Tidak mungkin… Tidak mungkin… Tidak mungkin…
Tidak—”
Dari
semua peserta yang ada di sana, Ibarralah paling akrab dengan Lucas. Lucas
orangnya tidak neko neko; dia orang yang baik dan paling lurus kelakuannya
ketimbang peserta-peserta yang lain. Ibarra yang dari kecil dibiasakan untuk ‘selalu
bersikap baik’ oleh kedua orangtuanya, terutama dia sifatnya agak ‘kaku’
begitu, sangat lega saat menemukan orang seperti Lucas di Tim Sonoma.
Saat
mengikuti kegiatan latihan mandiri ini pun, hal yang bisa membuatnya jauh lebih
tenang adalah karena di kegiatan ini ada Lucas. Ia pikir, selama latihan
mandiri ini, ia bisa berada di sekitar Lucas karena kepribadian mereka sangat
cocok.
Namun,
apa ini?
Lucas…gantung
diri?
Mengapa?!!
Apa
yang membuat Lucas gantung diri di sana?!! Dia tidak menunjukkan tanda-tanda
depresi atau apa pun itu!
Pelatih
Andrew dan Dokter Gray langsung berusaha untuk menurunkan tubuh Lucas. Mereka
berdua—dibantu oleh Keith dan Kane—mulai mengevakuasi Lucas, menggotong Lucas
ke tengah ruangan. Lucas dibaringkan di lantai kamar itu dan Dokter Gray
langsung memeriksanya. Semua peserta mulai mengerumuni jenazah Lucas.
Begitu
memeriksa napas dan denyut nadi Lucas, Dokter Gray langsung menatap mereka
semua dan menggeleng dengan penuh penyesalan. Semua orang di ruangan itu kontan
terlihat takut dan terpukul. Wajah mereka tampak tegang dan memucat. Ada yang
masih menggeleng tak percaya, ada pula yang langsung tertunduk karena
pikirannya kacau. Beberapa dari mereka langsung memikirkan hal yang sama.
Apa
lagi ini?!
Mengapa
Lucas tiba-tiba menggantung dirinya sendiri?! Tadi dia baik-baik saja!!
“Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi?” Pelatih Andrew menggeleng tak menyangka. Ia
betul-betul tak habis pikir; wajahnya terlihat begitu panik saat ia menoleh
kepada Thomas, Chris, dan juga Ibarra. “Bukankah tadi dia baik-baik saja?!!”
Chris
tertunduk, kini otaknya betul-betul terganggu karena dia sudah dua kali
menyaksikan kematian di vila itu. Ibarra masih memandangi jenazah Lucas
dengan tubuh yang mematung. Maka dari itu, akhirnya Thomaslah yang menjawab
pertanyaan dari Pelatih Andrew. Wajah Thomas pucat. Ia menjawab dengan suara
yang bergetar; ia terbata-bata.
“Kami—kami
bertiga baru sampai…di kamar ini. A—aku tadi ingin—aku hanya ingin buang air
kecil.” Thomas menunduk dan menggeleng tak percaya. Alisnya bertaut. “Begitu
kubuka pintu kamar mandi…Lucas—Lucas sudah tergantung…di sana…”
Meski
terlihat penuh dengan penyesalan, Dokter Gray tetap lanjut memeriksa jenazah
Lucas. Ada luka lebam di bagian belakang leher Lucas. Ada air liur di sudut
kanan mulut Lucas; lidahnya terjulur kurang lebih 1 cm. Dokter Gray lalu
memeriksa lidah Lucas itu dan ia menemukan adanya luka robek di sana. Luka itu
lumayan panjang, mungkin mencapai 3 cm.
“Dia
meninggal karena bunuh diri,” ujar Dokter Gray dengan nelangsa,
mengonfirmasikan penyebab kematian Lucas. “Dia memang menggantung dirinya
sendiri di kamar mandi itu.”
Semua
orang di sana semakin terlihat kacau. Tidak ada yang bersuara. Mereka tertunduk,
penuh akan trauma dan penyesalan. Russel bahkan sampai terduduk di ranjang;
pemuda itu membungkuk dan memijat keningnya frustrasi.
Dokter
Gray telah memastikan bahwa ini adalah kasus bunuh diri.
Namun,
pertanyaannya adalah: mengapa Lucas melakukan ini?
Well,
mereka
memang tidak begitu mengenal Lucas dengan baik; mereka belum lama kenal dengan
Lucas. Akan tetapi, kalau dilihat-lihat…Lucas bukanlah pemuda yang sedang
depresi. Dia bahkan semangat untuk memenangkan olimpiade renang ini. Apakah selama
ini Lucas menyembunyikan rasa sakitnya dengan sangat rapat? Namun, tetap
saja itu tak masuk akal. Dilihat dari mana pun juga, Lucas…baik-baik saja!
Apakah orang-orang yang mau bunuh diri memang tidak ada tanda-tandanya sama
sekali? Tidak mungkin! Mereka pasti memberikan sebuah pertanda.
Beberapa
detik kemudian, di tengah-tengah suasana yang keruh itu, Pelatih Andrew
mulai membuka suara.
“Ayo
kita hubungi keluarganya sekarang.”
Pelatih
Andrew pun mencari keberadaan ponsel Lucas. Setelah menemukan ponsel Lucas yang
ternyata ada di kantung celana pemuda itu, Pelatih Andrew langsung
mencoba untuk membuka kunci layarnya. Akan tetapi, ternyata ponsel itu
dilindungi oleh password. Pelatih Andrew pun mencoba untuk mencari cara
lain.
Namun,
sepertinya…hanya ada satu cara yang tersisa, yaitu membukanya dengan Face
ID.
Kontan
saja Pelatih Andrew semakin terlihat getir. Ia mencengkeram ponsel itu sejenak,
sebisa mungkin menguatkan dirinya sendiri. Setelah itu, dengan terpaksa…ia pun
mengarahkan layar ponsel itu ke wajah Lucas yang telah tiada.
Kunci
layar ponsel itu pun terbuka. Dokter Gray dan para peserta yang ada di sana
tertunduk saat menyaksikan kejadian itu. Pelatih Andrew menarik dan
mengeluarkan napasnya dengan berat. Ada sesuatu yang seolah menekan dadanya.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Pelatih Andrew pun mulai mencari nomor
telepon keluarga Lucas di ponsel itu.
Akan
tetapi, ternyata…
…nomor
telepon keluarga Lucas tidak ada di ponsel itu.
Sudah
bolak-balik Pelatih Andrew men-scroll kontak di ponsel itu, tetapi nomor
ponsel keluarga Lucas tidak kunjung ia temukan. Tak ada satu pun kontak dengan
nama atau embel-embel ‘Ibu’, ‘Ayah’, ‘Tante’, ‘Paman’, dan semacamnya. Lucas
agaknya tidak menyimpan nomor telepon keluarganya sama sekali.
Akan
tetapi, tiba-tiba saja Ibarra bersuara. Ibarra, yang sejak tadi hanya mematung,
mendadak meneguk ludahnya dan bersuara. Dia sukses menengahi apa yang Pelatih
Andrew lakukan saat itu; dia memecah fokus Pelatih Andrew yang sedang
kebingungan. Kebingungan karena tak bisa menemukan nomor telepon keluarga
Lucas.
“Lucas…
Lucas pernah berkata padaku…bahwa dia yatim piatu. Dia sebatang kara,” ujar
Ibarra dengan tangan yang terkepal. Matanya menatap Pelatih Andrew, lalu ia
kembali meneguk ludahnya. “Dia tidak punya siapa-siapa.”
Semua
orang yang ada di sana kontan tercengang bengang, terutama Pelatih Andrew. Pria
itu langsung menatap Ibarra dengan mata yang membulat.
Namun,
Ibarra hanya diam. Dia tidak mengulangi perkataannya sama sekali.
Mereka
semua jadi saling tatap. Dahi mereka berkerut.
Lucas…sebatang
kara?
******
Keesokan
harinya, pemakaman Lucas pun dilaksanakan di Sonoma. Hari itu mereka
semua—sepuluh orang yang tersisa—ikut menghadiri pemakaman Lucas dengan pakaian
yang berwarna hitam. Pakaian mereka rapi, tetapi wajah mereka benar-benar
terlihat keruh. Saat berdiri di samping makam Lucas, ada yang sempat menangis,
ada yang tertunduk dengan alis yang menyatu, ada yang terlihat lemas
seakan-akan pikirannya terus terganggu, dan ada juga yang ‘kelihatan’
memandangi makam Lucas, padahal sesungguhnya pandangan matanya kosong.
Usai
pemakaman Lucas, tatkala mereka semua mulai berjalan keluar dari area pemakaman
itu, Pelatih Andrew dan Dokter Gray langsung mengumpulkan semua peserta. Mereka
akhirnya berkumpul di dekat mobil Keith.
Setelah
beberapa detik terdiam, Pelatih Andrew pun mulai berbicara, “Ayo hentikan
latihan mandiri ini. Kalian semua pasti sudah memikirkan ini, bukan? Bahwa kita
harus berhenti.”
Semua
orang hanya diam. Dokter Gray memperhatikan mereka satu per satu.
Beberapa
peserta perlahan mulai mengangguk.
Akhirnya,
Russel sendirilah yang menjawab Pelatih Andrew. “Iya. Ayo pulang. Sejak awal, tetap
lanjut berlatih di sana setelah kematian Bryant itu sungguh tidak
normal. Perasaanku sudah tidak enak sejak saat itu, tetapi banyak yang kontra
denganku.”
Mendengar
perkataan Russel, orang-orang yang mendukung ‘keputusan’ untuk berlatih kembali
di vila Keith itu tampak menunduk. Mereka menyesali keputusan itu; otak mereka mengingat
kembali betapa keras kepalanya mereka waktu itu. Betapa ambisiusnya mereka
waktu itu. Russel kalau bicara memang agak kasar dan ceplas-ceplos, tetapi
dia benar. Setidaknya otaknya lebih normal daripada mereka yang hanya
memikirkan kemenangan. Mereka jadi seolah tertampar.
“Ayo
kita pergi ke vilaku,” ujar Keith tiba-tiba, membuat semua orang lantas menoleh
kepadanya. Keith menghela napas, lalu melanjutkan, “Aku dan keluargaku juga
takkan menempati vila itu untuk sementara waktu, bahkan bisa jadi kedua
orangtuaku akan menjual vila itu karena kemalangan yang telah menimpa Bryant
dan Lucas di sana. Ayo kita pergi ke vila itu dan mengambil barang-barang kita,
lalu pulang ke rumah masing-masing.”
Dengan
pelan, semua orang pun mengangguk.
“Ayo
berangkat sekarang,” ajak Pelatih Andrew. Mereka semua pun mulai bergerak ke
mobil yang mereka tumpangi. Perbedaannya, kali ini Castro membawa mobilnya
sendiri.
Mereka
semua pun pergi ke vila milik Keluarga Saunders itu lagi untuk menjemput
barang-barang mereka. Kini mereka semua memang tak lagi bisa berlatih bersama,
tetapi itu jauh lebih baik daripada harus menyaksikan kematian yang berikutnya.
Kematian Bryant dan Lucas memang dihitung sebagai kecelakaan dan bunuh diri—bukan
pembunuhan—tetapi akibat kejadiannya yang beruntun, mereka jadi berpikir bahwa:
Jika
kita berada di sana lebih lama lagi, mungkin saja akan ada kematian yang
berikutnya.
Mereka
semua tidak mengerti—hell, otak manusia mana yang langsung bisa mencerna
kematian mendadak yang tak masuk akal itu? Mereka masih bisa waras saja sudah
luar biasa. Orang-orang di sekitar mereka terus berbelasungkawa terhadap
kematian Bryant dan Lucas, tetapi tak sedikit juga yang mengkhawatirkan keadaan
mereka. Sejujurnya…Pelatih Andrew juga sudah ditekan oleh para petinggi
asosiasi renang California untuk segera menghentikan latihan mandiri
itu.
Meski
mungkin latihan sendiri-sendiri tak sebagus latihan bersama, setidaknya nyawa
mereka akan lebih terjamin. Latihan sendiri-sendiri masih lebih baik daripada
harus menanggung risiko berupa kematian.
******
Keith
sedang membereskan barang-barang bawaannya bersama Austin di kamar mereka. Namun,
saat memasukkan pakaian-pakaian yang ia bawa ke tas, Keith melihat Austin yang
mendadak terdiam. Austin tengah menunduk; pemuda itu menatap tasnya—dengan
tatapan kosong—dan diam seribu bahasa. Ia sedang melamun dengan wajah yang
murung.
“Austin,”
panggil Keith seraya mengernyitkan dahinya. “What’s wrong?”
Austin
mengerjap. Pemuda itu lantas menoleh kepada Keith, lalu menemukan Keith yang sedang
menunggu jawaban darinya. Namun, alih-alih menjawab Keith, Austin justru
memalingkan wajahnya. Ia kembali menunduk—menatap tasnya—dengan wajah yang
murung. Kelopak matanya sedikit bergetar, ia seolah tengah menahan
sesuatu. Ada berbagai penyesalan yang tersirat di tatapan matanya.
Melihat
Austin yang seperti itu, Keith pun menghela napas.
“Apakah
kau menyesal karena memutuskan untuk tetap berlatih di sini kemarin?” tebak
Keith tepat sasaran. Pertanyaan dari Keith itu seolah memberikan sekakmat pada
Austin. Austin serta-merta tersentak; matanya melebar penuh dan
tubuhnya menegang setelah mendengar pertanyaan itu.
Austin
membungkuk. Bahunya tampak turun. Ia semakin larut dalam penyesalan.
Namun,
tidak. Keith tidak mencoba untuk berbicara ataupun bertanya lagi. Suasana di
antara mereka juga sangat suram saat itu; mereka masih bingung, menyesal,
kecewa, tak percaya, trauma…rasanya isi kepala mereka jadi kusut tak
keruan.
Mereka
agaknya masih kesulitan dalam memahami dan menerima situasi rumit yang sedang
terjadi. They can’t wrap their head around the situation. Otak mereka
sedang berjuang untuk memproses apa yang telah terjadi. Insiden itu terasa
seperti peluru yang memelesat entah dari sudut mana dan tiba-tiba sudah
menembus jantung mereka. Secepat dan semudah itu, seperti membalikkan telapak
tangan. Terus terang saja, jauh di dalam benak mereka, mereka semua sempat
berpikir:
Bagaimana
jika yang mati selanjutnya adalah aku?
Kematian
Bryant dan Lucas terasa tak masuk akal, terasa tak natural, terasa seperti
disebabkan oleh faktor eksternal yang hanya-Tuhan-yang-tahu, tetapi
kenyataannya…kematian mereka memang disebabkan oleh diri mereka sendiri. Namun,
mengapa kematian mereka…terlalu tiba-tiba?
Well,
meskipun
ada yang janggal, tetap saja penyebab kematian Bryant dan Lucas itu adalah
sebuah fakta yang harus semua orang telan bulat-bulat. Percaya tidak percaya,
mereka harus membenarkan fakta itu.
Anehnya,
meski faktanya sudah ada di depan mata, mengapa otak mereka belum bisa
menerimanya?
Austin
meneguk ludahnya. Jakunnya naik turun saat melakukan itu. “Kalau aku tak bersikeras
untuk tetap berlatih di vila ini—dan berujung memprovokasi peserta lain—maka
Lucas…” Napas Austin tertahan, pemuda itu menggeleng. “Lucas…mungkin tidak
akan mati.”
Keith
menunduk. Ekspresi wajahnya juga penuh dengan penyesalan.
Ah,
ternyata Austin benar-benar menyalahkan dirinya sendiri.
Mereka
sama-sama diam. Sama-sama merenung. Sama-sama menyesal, takut, dan tertekan.
Lama mereka terdiam, hingga kemudian Keith mulai berbicara.
“Aku…tak
ingin membandingkan penyesalanmu dengan penyesalanku, Austin, tetapi…” Keith
tersenyum pahit. Pedih. “Dua kematian itu terjadi di dalam vila milik
keluargaku.”
Austin
mematung. Pemuda itu langsung menoleh kepada Keith dan melihat Keith
yang juga terlihat begitu menyesal, takut, dan sakit dalam waktu yang
bersamaan. Agaknya, selama beberapa hari ini…Keith telah menahan semuanya.
Benar.
Dua kematian itu terjadi di vila milik keluarganya. Dia pulalah yang menawarkan
vila itu untuk menjadi tempat mereka berlatih bersama.
Rasa
bersalah serta rasa takut pastilah menyerang Keith habis-habisan; penyesalan
dan ketakutannya pasti jauh lebih besar daripada Austin. Hari-hari yang
Keith jalani pasti terasa bagai disiksa di neraka.
Dua
temannya mati di vilanya. Kecelakaan dan bunuh diri di vilanya.
Seolah-olah…vilanya itulah yang bermasalah.
Mungkin
kedepannya akan ada orang yang menuduh Keith membunuh kedua temannya sendiri.
Austin
akhirnya menunduk. Kelopak matanya sedikit bergetar; matanya mulai memerah.
Tangannya terkepal.
Karena
tak ingin ditelan oleh rasa takut serta rasa sesal yang menyelimuti
mereka berdua, Austin pun mendengkus. Ia lantas berdiri, lalu berkata dengan lantang
seolah-olah ingin memecah ketegangan itu. “Aku ke dapur dulu. Mau
minum.”
Keith
mendongak, menatap Austin dengan kurang bertenaga—akibat pikiran yang kacau—lalu
ia mengangguk pelan. Dilihatnya Austin sudah memunggunginya dan menuju ke pintu
kamar. Mungkin Austin ingin keluar dari kesesakan itu dan pergi ke dapur untuk
minum supaya pikirannya tenang. Supaya kepalanya terasa agak dingin.
Setelah
Austin pergi, Keith pun menghela napas dan kembali mem-packing barang-barangnya.
Meski tak bersemangat, dia dan teman-temannya harus pergi dari vila ini hari
ini juga. Tak ada ba bi bu lagi; tak ada bantahan, alasan, ataupun tawaran
lagi. Harus selesai sampai di sini.
Sepuluh
menit berlalu sejak kepergian Austin dan kini Keith telah selesai mem-packing
barang-barangnya. Ia juga telah merapikan kamar itu, tetapi Austin belum
juga kembali. Mengapa lama sekali? Bukankah Austin hanya ingin minum?
Dapur memang ada di lantai satu, tetapi tidak sejauh itu juga sampai harus
menghabiskan waktu selama sepuluh menit.
Apakah
Austin mampir ke kamar teman-teman mereka yang lain? Kalau memang benar begitu,
rasanya agak aneh, soalnya Austin sendiri belum selesai membereskan
barang-barangnya. Pemuda itu tahu bahwa mereka harus pergi dari vila ini
secepatnya, jadi tak ada alasan baginya untuk ‘bermain’ ke kamar teman-teman
yang lain. Lagi pula, semua orang pasti sedang mem-packing barang-barang
mereka juga.
Apalagi…Austin
terlihat sangat menyesali kejadian ini. Tidak mungkin dia akan membuang waktu.
Keith
mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang sedikit mengganggu perasaannya. Ia agak
penasaran dengan apa yang Austin lakukan. Mereka harus cepat pergi dari vila
ini.
Keith
lantas berdiri dan berjalan ke pintu kamar. Saat sudah berdiri di ambang pintu
itu, Keith pun mulai memanggil Austin. Dia membesarkan suaranya. “Austin?”
Karena
tidak ada jawaban, Keith pun mulai berteriak, “Austin!”
Namun,
masih tidak ada jawaban dari Austin. Apa dia tidak dengar, ya?
Menghela
napas, Keith pun mulai berjalan di koridor lantai dua. Koridor itu sepi karena
hanya Keith sendirilah yang ada di sana. Keith mulai berjalan menuruni tangga,
lalu menyeberangi ruang tamu agar sampai di sayap kanan lantai satu vila
itu. Ketika sudah sampai di area sayap kanan, Keith pun kembali berjalan
sebentar; dia mulai menuju ke dapur.
Ketika
sudah sampai di depan pintu dapur—baru saja mau belok dan masuk ke dapur itu—Keith
lantas berkata, “Austin, what the hell took you so long? Kita harus
cepat pergi dari—”
Tiba-tiba
langkah Keith terhenti. Tepat di ambang pintu dapur.
Mata
Keith langsung membulat sempurna. Wajahnya langsung tegang; napasnya
tertahan di tenggorokan. Jantungnya serasa berhenti berdegup. Dadanya
sesak, lehernya seakan tercekik.
“AUSTIN!!!!”
teriak
Keith kencang, ia panik setengah mati. Rasa takut telah membuat wajahnya
memucat, ia langsung berlari memasuki dapur dengan secepat kilat.
“AUSTIN!!!!”
Keith terduduk di tengah-tengah dapur. Dia bersimpuh di samping tubuh Austin...yang sudah tergeletak di lantai dengan mulut yang berbusa. []
No comments:
Post a Comment