******
Bab
8 :
"KAK
Alfa?" panggil Talitha dengan mata melebar. Gadis
itu merasa kaget dan heran. Wah, kok mereka bisa kebetulan bertemu begini?
Lagi
pula, mengapa Alfa selalu menghubunginya atau mencoba berinteraksi dengannya
saat ia sedang bersama Deon?
Aaaah, mati.
Ia ingat juga kalau Deon sedang ada di sini sekarang.
"Siapa
kamu?"
tanya Deon langsung kepada Alfa.
Jantung
Talitha serasa baru saja dipukul dengan benda tumpul. Talitha menganga, lalu
dengan perlahan... gadis itu menoleh kepada Deon.
Benar
saja, mata Deon menggelap dan menyipit tajam. Dengan langkahnya yang terlihat perlahan
dan menakutkan itu, dia mendekati sosok Alfa.
Talitha
semakin menganga. Ia langsung berusaha untuk menghentikan Deon, "De—"
"Kamu
Alfa itu? Suara kamu dengan suara Alfa yang di telepon itu
sama. Kamu Alfa itu?" tanya Deon dengan angkuh.
Talitha
berdecak dan langsung menarik tangan Deon, tetapi Deon mengempaskan tangan
Talitha begitu saja.
"Oi,
Deon, udah! Berhenti, Deon! Kak Alfa itu nggak—"
"Apa
kalian emang sering ketemu di sini?" tanya Deon, matanya mulai menatap
Talitha tajam. "Oh...atau dari tadi kamu emang ada rencana untuk ketemu
dia? Makanya, kamu malah ke sini dan bukannya nunggu aku di
depan kampus kamu?"
Mata
Talitha memelotot. Gadis itu langsung menyatukan alisnya; ia marah bukan
kepalang. "Eh, asal tebak aja kamu, ya! Aku ke sini sendiri dan nggak ada
janji sama sekali dengan Kak Alfa. Aku baru liat dia, begitu juga dia. Jangan
asal ngomong kamu!" teriak Talitha. Gadis itu mulai mendekati Deon lagi,
bermaksud untuk menarik tangan Deon sebelum Deon mengamuk lagi dan membuat
orang-orang mengerumuni mereka. Namun, Deon mengangkat tangannya; ia mengisyaratkan
dengan tegas bahwa itu tak perlu. Talitha kontan menganga.
Deon
melihat ke arah Alfa lagi.
"Siapa
kamu sebenarnya dan apa hubungan kamu sama Talitha," tanya Deon sembari menatap
Alfa tajam. Alfa mengernyitkan dahinya.
Seiring
dengan tatapan mata Deon yang semakin tajam, Alfa akhirnya membuka mulut.
"Aku seniornya Ita, tapi kami beda fakultas. Kami cuma temenan selama
ini."
Alis
Deon terangkat sebelah.
"Oh?
Kamu pikir aku percaya? Nyatanya, kamu selalu ngehubungi Talitha dan ngganggu
dia,” ujar Deon sinis.
Talitha
menggeleng saat mendengar ucapan Deon; gadis itu mengepalkan tangannya.
"Oi, Deon! Kak Alfa itu nggak pernah—"
"DIAM
KAMU!!!" teriak Deon pada Talitha dengan penuh amarah. "Mulai
dari sini, ini urusan aku. Ternyata kamu emang sulit buat dipercaya."
Mata
Talitha membeliak. Ia mulai ingin membuka mulut setelah semua keberanian itu
muncul, tetapi suara Alfa menghentikannya.
"Maaf,"
ujar Alfa dengan penuh wibawa. "aku pikir seorang calon
suami nggak bakal sejahat ini ke calon istrinya. Seprotektif apa pun kamu,
kalau kalian memang udah punya hubungan yang serius, seharusnya kamu tetap
hormati perasaan calon istri kamu. Bagiku, kamu udah kasar ke Ita.”
Deon
melangkah lagi, semakin mendekati Alfa. Tiap ketukan langkahnya terasa bagaikan
detik kematian bagi Talitha. Deon lantas berkata dengan sinis, "Aku nggak
minta pendapat kamu. Sadar diri, semua ini terjadi karena kamu udah nyoba
ngusik milikku."
Mata
Alfa jadi menyipit. Milik?
"Aku
nggak ngizinin kamu buat ngeliat, negur, apalagi teleponan dan semacamnya,"
lanjut Deon. Pria itu kini menarik kerah kemeja Alfa; ia memelototi Alfa dengan
keji. "Sialan."
Alfa
mengernyitkan dahinya dan mencoba untuk melepaskan cengkeraman Deon dengan sekuat
tenaga. Banyak orang yang memperhatikan mereka dan mereka semua mulai panik.
Talitha dengan cepat menarik tangan Deon agar pria itu melepaskan cengkeraman
mautnya dari Alfa. Gadis itu panik dan langsung meneriakkan nama Deon berkali-kali
agar Deon menyudahinya saja. Setelah cengkeraman Deon terlepas, Talitha
langsung menarik tangan Deon dan mengajak pria itu masuk ke mobilnya. Talitha
berusaha untuk membuka pintu mobil itu sendiri sembari menarik Deon yang
tubuhnya serasa mengeras karena dipenuhi dengan amarah. Pria itu
benar-benar ingin meninju wajah Alfa. Talitha memasukkan Deon di jok pengemudi
dan gadis itu akhirnya memutari mobil untuk pergi ke sisi mobil yang satunya.
Sebelum
masuk ke mobil, ia menyempatkan diri untuk menatap Alfa dan Alfa balas menatapnya.
Ia lantas cengengesan dan menggaruk tengkuknya.
"Ehehe—maaf, ya, Kak. Maaf bangeeett. Dia orangnya emang gitu. Ita duluan,
ya, Kak."
Alfa
melihat sosok Deon di dalam mobil itu yang sedang menatapnya tajam. Meski
sulit, Alfa tetap memaksakan senyum simpulnya pada Talitha ketika matanya
kembali menatap gadis itu.
"Iya,
nggak apa-apa. Kamu hati-hati, ya, Ta," pesan Alfa.
Talitha hanya
tersenyum dan mengangguk. Gadis itu pun masuk ke mobil dan mendapati Deon yang
sedang mengacak rambutnya frustrasi.
"Aduh,
Deon, kamu nih kenapa, sih? Ngapain coba ribut-ribut di tempat
umum?!! Bisa nggak sifat posesif kelewatan kamu itu ditahan dikit?! Apa perlu
kujotos dulu biar sifat posesifnya lenyap gitu? Emang stress nih
anak euy..." cerocos Talitha. Deon mengepalkan tangannya dan mengeraskan
rahang.
Pria
itu menatap Talitha dengan tajam. "Kalo kamu nggak ngasih dia kesempatan,
dia nggak bakal terus-terusan deketin kamu. Kamu itu kelewatan, Talitha."
Talitha
menyatukan alis, "Ha? Aku? Eh, denger ya, aku sama Kak Alfa itu cuma
temenan. Mungkin emang temen deket, tapi kami nggak pernah sejauh apa yang kamu
pikirin! Aku jadi malu sama dia tau nggak! Ngasih kesempatan? Wuih, kayak kami udah
pacaran on-off aja. Kamu, tuh, yang berlebihan! Dasar gila
kamu," ujar Talitha kesal. Dilihatnya tatapan mata Deon tetap tajam ketika
pria itu mulai menghidupkan mesin mobil dan keluar dari area Sean Café.
Gigi
Deon bergemeletuk dan darahnya serasa mendidih. Dia marah sekali. Kalimat-kalimat
Alfa tadi terngiang-ngiang di telinganya hingga membuatnya merapal kata sialan berkali-kali.
Ketika semua emosi itu terasa memenuhi kepalanya, pria itu pun memukul roda
kemudinya dengan kuat. Hal itu sukses membuat Talitha terperanjat; mata gadis
itu membulat karena terkejut.
Mata
Deon menggelap. Ia mengerem mobilnya dan mobil itu kontan terhenti. Jantung
Talitha serasa jatuh dari tempatnya dan dia tahu kepalanya akan terbentur jika
dia tidak memakai sabuk pengaman. Ia langsung menatap Deon dan menemukan mata
Deon yang sedang menatapnya dengan penuh intimidasi. Deon mendekatinya, lalu
pria itu itu mencengkeram dagunya dengan kencang. Talitha mengerang kesakitan.
"Jangan. Coba-coba. Ngelakuin
apa pun sama dia. Aku bakal selidiki dia. Aku nggak akan segan-segan ngelakuin
apa aja supaya kalian berdua menderita kalo kamu nggak ngikutin kata-kata aku.
Ingat itu, Talitha. Kamu itu milikku dan bakal selalu jadi milikku!!"
Talitha menganga.
"Aku
bener-bener nunggu kapan permainan kamu ini berakhir, Deon," ujar Talitha dengan
kesal, lalu gadis itu mengalihkan pandangannya. Ia tak ingin melihat wajah Deon
untuk sementara waktu.
******
"Woi,
Fa."
Alfa
tersentak tatkala seseorang menepuk pundaknya. Kedua matanya yang semula terus
mengikuti mobil Deon itu kini mengerjap; dia lantas menoleh ke belakang.
Keempat temannya sudah ada di sana dan terheran-heran melihatnya. Adlan,
temannya yang menepuk pundaknya tadi, mengernyitkan dahi.
"Ngapain
lo bengong aja? Yok masuk," ajak Adlan dan Alfa pun mengangguk. Mereka
semua pun masuk ke café. Jadi, sebenarnya Alfa datang ke café
bersama teman-temannya, tidak sendirian. Namun, teman-temannya pergi ke
tempat fotokopi dulu untuk meng-copy tugas kuliah. Alfa tidak
ada perlu di tempat fotokopi itu, jadi ia memutuskan untuk
pergi lebih dahulu ke café. Akan tetapi, ia malah bertemu Talitha.
Alfa
dan teman-temannya duduk di meja yang paling ujung. Posisi pojok memang
paling enak buat ngumpul. Kursi di café itu per mejanya
hanya ada dua, jadi mereka memanggil pelayan café untuk menambah
kursinya. Tak mungkin mereka menarik kursi dari meja lain ketika café sedang
penuh seperti ini. Beberapa saat kemudian, pelayan yang lainnya datang untuk mencatat
pesanan mereka. Setelah sudah duduk dengan tenang, mereka pun mulai menghela
napas. Sebetulnya, teman-teman Alfa itu malas ngerjain tugas kuliah; mereka
terus-terusan mengeluh. Dari antara mereka semua, hanya Alfa dan Adlanlah yang jarang
mengeluh soal tugas kuliah. Well, kalau Alfa mah…udah enggak
heran lagi. Itu cowok rajin dan alim seratus persen.
Gah. Alfa itu orang yang berbudi banget, deh. Kalau kata
teman-temannya, Alfa itu calon imam idaman. Udah baik, alim, pinter, manis
pula.
"Lo
ngapa, Fa?" tanya Gilang, salah satu teman Alfa yang berkacamata. Dia
minus lima bukan karena rajin baca buku, tapi karena rajin nonton film barat di
malam hari sambil mematikan lampu kamarnya. Namun, tatkala Alfa menoleh
kepadanya, dia berhenti sebentar karena pesanan mereka sudah datang.
Gilang
meminum hot cappuccino-nya, kemudian dia menatap Alfa lagi. Adlan,
Vino, dan Nathaniel kini juga menatap Gilang dengan penuh rasa ingin tahu.
"Lo
kenapa tadi?" tanya Gilang santai. "Kita, kan…tadi lama di
tempat fotokopi. Ngapain lo di depan café?”
Alfa
mendengkus. Semua temannya kini menatapnya dengan lekat.
"Lo
abis berantem?" tanya Nathaniel sembari mengangkat alis.
Alfa
meminum caramel macchiato-nya dengan santai. "Iya."
Adlan
nyaris memuntahkan es frappuccino-nya ketika mendengar itu. Alfa
berantem? Serius, nih?
Vino
menganga. Nggak biasanya Alfa si alim itu berantem.
"Bercanda
lo," ujar Vino sembari menggeleng. Vino meminum kopi hitamnya. Dia pencinta
kopi hitam kelas kakap.
"Lha
iya serius," jawab Alfa santai. "Gue tadi ketemu Ita."
Kali
ini, Gilanglah yang menganga. "Ita anak Fakultas Teknik Sipil itu? Yang
udah PDKT sama lo setahunan ini?"
Vino
menjitak kepala Gilang, "Ya iyalah, siapa lagi? Bego.”
Adlan
menggeleng melihat kelakuan teman-temannya, kemudian dia menatap Alfa dan
bertanya dengan penasaran. "Terus ada apa, Fa?"
Alfa
menjilat bibirnya, cowok itu mengedikkan bahu. "Gue belum cerita sama
kalian, sih. Akhir-akhir ini…gue kalo SMS Ita, pasti nggak dibales. Kalo nggak
salah, kemaren gue ada nelepon dia dan yang ngangkat itu cowok. Dia marah-marah
gak jelas gitu; dia ngebentak gue. Dia bilang…dia calon suaminya Ita."
Vino
menyatukan alisnya, sementara ketiga temannya yang lain kontan tercengang.
"Jadi?"
tanya Adlan lagi.
Alfa
bernapas samar, lalu melanjutkan, "Tadi gue ketemu Ita dan ternyata dia lagi
sama itu cowok. Gue sempet kaget liat mukanya yang ganteng banget. Kayak artis.
Artis-artis yang blasteran gitu," komentar Alfa. Sambil mendengarkan Alfa,
Gilang mulai merapikan jambulnya. Namun, Vino langsung menoyor kepala Gilang
sampai Gilang mengaduh kesakitan.
Alfa
menggeleng. "Ganteng, sih, tapi kayaknya…tuh orang agak…lain. Baru kali
ini gue ketemu cowok posesif setengah mati kayak dia di dunia nyata. Biasanya, kan,
sifat cowok yang kayak gitu cuma ada di novel-novel cewek. Yang gue nggak
suka itu…dia ngebentak-bentak Ita dan dia nuduh Ita seolah-olah Ita itu
kegatelan sama gue gitu. Negative thinking-nya itu keterlaluan. Gue
nggak percaya itu bener-bener calon suaminya Ita."
Vino
mengangkat sebelah alisnya. "Dijodohin kali."
Alfa
mengangguk. "Kayaknya, sih, iya."
Adlan
lantas bertanya, "Tapi tunggu, sejak kapan lo udah dimarahi sama cowok itu
tiap kali lo ngehubungi Ita?"
Alfa
menyipitkan matanya, sedikit berpikir. "Hm…baru beberapa hari ini.”
Gilang
manggut-manggut. "Oh...berarti belum lama. Gue rasa emang dijodohin, tuh. Nggak
mungkin secepet itu, ‘kan?"
"Iya,"
jawab Alfa. Namun, tiba-tiba Vino sedikit memajukan tubuhnya ke arah Alfa, lalu
bertanya dengan serius, "Bentar, gue mau nanya. Lo serius suka, ‘kan, sama
si Ita?"
Alfa
menghela napas. "Iya. Gue suka sama dia."
"Bakal
susah lo. Kelamaan, sih, PDKT-nya. Gue saranin, mulai sekarang lo pepet terus
aja, deh. Hm…tapi kalo kira-kira nggak aman, ya udah berenti aja. Kan itu
keputusan orangtua mereka juga kalo mereka emang dijodohin. Ntar kualat sama
orangtua," ujar Adlan.
"Gue
tau, Adlan," jawab Alfa. "Gue sendiri nggak ngerti juga, sih."
******
Talitha
baru saja sampai di depan rumahnya dan ia mendapati pintu depan rumahnya
terbuka. Namun, saat ia baru saja ingin masuk, tiba-tiba Basuki muncul dari
dalam rumahnya itu dan membuatnya nyaris terjungkal ke belakang. Sambil
mengelus dada, Talitha pun komat-kamit. "Kamvret... Astaga…astaga..."
Basuki ngakak.
Ia kemudian melihat Deon yang ada di depan pagar Talitha; pria tampan itu baru
saja mau masuk ke mobilnya kembali selepas mengantar Talitha.
"ASTAGA
GANTENGNYA... UDAH MO MAGHRIB PUN TETEP SEGER AJA..." ujar Basuki tanpa
malu, dia menyentuh dadanya seraya memberikan Deon tatapan memuja.
Talitha
langsung memasang ekspresi wajah datar.
"Lo
sama aja kayak ortu gue. Kalo udah liat Deon, beuuuh, langsung lupa sama
gue," ujar Talitha jengkel. "Lagian, lo kok ada di sini, sih?
Bukannya lo udah balik tadi?"
Basuki
mendorong kepala Talitha dengan telunjuknya—menjauhkan kepala Talitha—dan
tatapan matanya masih belum lepas dari mobil Deon. Mobil itu baru saja pergi.
"Ah, ganggu aja lo, tadi pemandangannya bagus banget duhhhh. Sekseehhhh."
Basuki
cengar-cengir tak karuan, badannya mulai meliuk-liuk seperti jentik-jentik.
Talitha berdecak; gadis itu memutuskan untuk langsung masuk ke rumahnya daripada
harus pusing melihat Basuki yang lagi enggak waras mentang-mentang baru saja ketemu
idolanya.
Ketika
dia masuk, dia melihat Revan tiba-tiba lewat di ruang tamu dan dia kontan menganga.
Talitha
berdecak. "Ni rumah kayaknya jadi tempat penampungan warga
tunawisma," komentarnya.
Revan
mengakak, begitu juga dengan Basuki yang baru saja masuk kembali.
"Gila,
Ta, jangan blak-blakan gitu, dong," ucap Revan, lalu pria itu tertawa
menggelegar. "kan sekali-sekali aja Abang nginep di sini."
"Iya,
Nana jugaaah," timpal Basuki.
Talitha
menggeleng, ekspresi wajah Talitha jadi datar lagi.
"Jijay,"
ujar Talitha. "Sekali-sekali, tapi nyatanya datang nyaris tiap hari! Ampun
dah, orang yang deket sama gue kok gendeng semua..."
"Lo
jadi ratu gendengnya yaach,” ucap Basuki.
"Njir.
Eh, tapi iya juga, sih,” jawab Talitha yang membuat Revan spontan memiting batang
leher gadis itu kuat-kuat sambil ngakak.
Ujung-ujungnya,
Talitha dan Basuki pun tertawa terbahak-bahak.
******
Selepas
makan malam, mereka semua duduk di ruang tamu, termasuk mama dan papa Talitha. Namun,
tiba-tiba ada suara ketukan di pintu depan.
Basuki
dengan dramatisnya langsung memeluk Mama Talitha. "Hantu, Maaa! Hantuuu!"
teriaknya.
Alhasil,
Gavin mendorong kepala Basuki dengan telunjuknya hingga Basuki merengek.
"Apaan
dah, masa hantu bertamu," kata Gavin. Revan, dan kedua orangtua
Talitha mengakak, begitu juga Talitha. Gavin kemudian menoleh kepada
Talitha dan berkata, "Dek, buka pintunya gih," ujarnya pada Talitha.
Talitha
lantas berlari ke pintu depan dan membuka pintu itu.
"Iya,
siapa?" ujarnya ramah.
Ketika
pintu terbuka, yang terlihat di sana adalah seorang wanita. Mungkin...seumuran dengan
Gavin. Tanpa Talitha sadari, baik Revan, Gavin, maupun Basuki, mereka semua sudah
ada di belakangnya. Revan membulatkan kedua matanya saat melihat sosok wanita
itu.
Revan
sontak berteriak, "VEROKSIN?!!"
Ha?
Veroksin?
Oh...yang
kata Gavin selalu berkelahi dengan Revan itu, ‘kan?
'Whahaha,
kok ke sini, ya?! Hahaha!' pikir Talitha.
"Vero?
Kenapa?" tanya Gavin dengan mata yang melebar. Nggak biasanya Vero
ke sini, pikirnya.
Wanita
yang disebut sebagai Vero itu terlihat memelototi Revan, kemudian dia beralih
menatap Gavin. Dengan senyum manisnya, dia menyerahkan sebuah map kepada Gavin.
"Ini, Vin. Biasa, titipan dari divisi lo."
"Oh…"
ujar Gavin sembari melihat-lihat isi map itu. "Lo nggak perlu sampe
nganterin ke sini kali, Ver."
Revan
tampak terus memelototi Vero dengan penuh kekesalan. Sementara itu, Vero tak memperhatikannya.
Vero hanya terkekeh pada Gavin, lalu berkata. "Nggak apa-apa kok, Vin.
Tadi kebetulan lewat kompleks ini karena ngunjungi saudara. Ada saudara yang
tinggal di deket sini soalnya."
Gavin
mengangguk-angguk, kemudian dia tersenyum pada Vero. "Oh, okelah kalo gitu.
Lo gak mau mampir dulu? Sekalian, nih, lagi rame di rumah gue."
"Duh,
kayaknya nggak usah, deh, Vin," tolaknya.
Gavin
mengernyitkan dahi, kemudian pria itu tersenyum jail. Ia menaikturunkan alisnya
di hadapan Vero. "Lo nggak mau nyapa ketua direksi lo nih? Yang paling
ganteng..." ujar Gavin sembari menyikut pinggang Revan. Revan langsung menganga.
"Kamvret lo, Nyet!"
"Halah
Van…Van. Udah, sih, kok berantem terus. Sekali-kali salaman, kan, nggak ada
salahnya. Uhuk-uhuk," ujar Gavin, dia pura-pura batuk sambil nyengir.
Mata
Vero membulat sempurna. Gadis itu langsung menggeleng dan memasang ekspresi
jijik. Dia tampak ogah setengah mati. "Hiiiiii! Males
amet gue salaman sama si tonggos sok playboy kayak dia hiiii! Kamvret,
mau muntah gue."
Hilang
sudah kesopanan Vero di depan kedua orangtua Gavin. Gadis itu mulai bertengkar
dengan Revan, sementara Gavin, Talitha, dan Basuki hanya menertawakan mereka habis-habisan.
Namun, di tengah perkelahian Revan dan Vero, Talitha mendadak terpikir sesuatu.
Matanya langsung menatap Gavin dengan penuh permohonan.
"Bang,
minta duit, dong."
Basuki spontan
ngakak. Talitha memang hampir tak pernah dikasih
orangtuanya uang (untuk bersenang-senang), kecuali uang jajan untuk kuliah. Well,
padahal Talitha itu sudah besar, tetapi saking gebleknya dia di mata kedua
orangtuanya, memegang uang saja dia tak dipercaya. Makanya, kalau Talitha butuh
sesuatu, biasanya dia harus meminta kepada keluarganya terlebih dahulu.
Gavin
melebarkan matanya. "Buat apa?"
"Mau
beli mercon," ujar Talitha. Kontan saja Gavin jadi ngakak.
"Cepetan,
Bang. Mumpung lagi rame, nih. Kan seru kalo maen di halaman. Biar gue beli di
warung depan sama Basuki," ujar Talitha sambil nyengir seolah tak
ada dosa.
"Kena
tangan baru tau rasa," ujar Gavin jengkel.
"Halah,
Bang! Ya nggak mungkinlah! Gue udah gede, nih, njir!" protes Talitha.
Basuki tertawa kencang.
Gavin
berdecak. Akhirnya, pria itu memberikan uang Rp200.000,00 dari kantung celana
pendeknya kepada Talitha. Talitha langsung berteriak bak monyet yang kegirangan,
kemudian dia cepat-cepat pergi ke warung itu bersama Basuki. Memang dasar bocah. Udah
kuliah apa masih SD, sih, sebenarnya?
Ketika
Talitha dan Basuki kembali, Revan dan Vero sudah berhenti beradu mulut. Meski
mereka masih merengut kepada satu sama lain, tetapi mereka tak ribut seperti tadi.
Mereka berdua juga sudah duduk bersama Gavin di halaman.
Talitha
membuka bungkus berisi petasan itu dan berlari masuk ke rumah; dia mau mencari
korek api di dapur. Mamanya kemudian bertanya, "Heh, mau ngapain?"
"Nyari
korek api, Ma, mau mainin mercon tadi,” jawab Talitha cuek. Spontan papa
Talitha tertawa. Sementara itu, mama Talitha mulai menggeleng. "Ampun...
Udah tua bangka, lho, kalian! Tobat ngapa, sih?"
"Udahlah,
Ma, terima aja. Anak kita emang nggak ada yang beres," kata papa Talitha
sembari menggeleng pasrah.
Talitha ngakak di
dapur tatkala mendengar perkataan papanya.
"Waduh…ngakak pula
dia," ujar mama Talitha lagi. Talitha sontak berlari ke luar rumah sembari
membawa korek api, tetapi ternyata mama dan papanya juga ikut ke luar rumah karena
ingin melihat petasan-petasan itu.
Setelah
itu, tak lama kemudian...
Duar!
Beberapa
kali suara ledakan petasan itu terdengar. Vero yang baru datang pun kini sudah
ikut bermain bersama mereka. Mereka semua serasa berubah menjadi anak-anak, tak
ada lagi yang dewasa saat itu. Talitha dan Basuki pun jongkok-jongkok di tanah
tatkala menghidupkan petasannya. Gavin sedari tadi malah ikut gila, dia terus-terusan
menjaili Revan dengan petasan. Dia tadi menceramahi Talitha perkara takut
Talitha main petasan sampai terkena tangan, tetapi gebleknya, malah dia
dan Revanlah yang kejar-kejaran dan lempar-lemparan petasan sampai-sampai
diteriaki oleh mama Talitha karena berbahaya. Mama Talitha sampai hampir shock melihat
kelakuan anak-anak lajangnya itu. Itu mereka sudah bekerja, lho! Talitha juga
sudah kuliah! Mereka bukan anak SD lagi, ya Tuhan!
Revan
dan Vero mendadak lupa kalau mereka tak akur. Kini mereka malah bermain bersama-sama
sembari tertawa. Enak sekali melihat mereka berdua akur, tetapi kemarin-kemarin
hal itu memang mustahil terjadi. Basuki dengan suara bancinya itu juga
membuat kehebohan hingga papa Talitha jadi sakit perut karena terus-menerus tertawa.
Selain itu, Talitha juga berkali-kali dijewer oleh Gavin kalau-kalau Talitha
jahil menyuduk pantatnya dengan ranting pohon mangga di depan rumah mereka.
Belum lagi kalau Talitha sudah menggunakan jurus andalannya, yaitu memanjat
tubuh orang lain tatkala dia sedang berkelahi.
Saat
Talitha baru saja ingin menghidupkan petasan lagi, ponselnya yang ia letakkan
di saku celananya tiba-tiba berbunyi. Dia langsung meraih ponselnya itu dan menatap
layarnya.
Sayang
calling...
HA?
SAYANG?!
Sejak
kapan Talitha punya kontak pakai nama sayang-sayangan?!
"Bjir,
apaan nih sayang-sayang weh..." ujar Talitha sembari menggeleng tak habis
pikir. "Hacep bruh..."
Dengan
tampang ngajak ribut, Talitha pun mengangkat telepon itu.
"Hoi,
siapa ini—"
"Talitha."
Mata
Talitha kontan terbelalak. “Lah, Deon?! Wakwaaaw! Jadi kamu, toh, si Sayang-Sayang
ini? Nah elah astaga."
"Kalo
nggak gitu, kamu bakal terus ngasih aku nama Deon Sableng di ponsel kamu, ‘kan?
Jelasin sama aku apa arti sableng itu sekarang."
Mati. Tidak mungkin,
‘kan, dijelaskan?
Talitha
tertawa canggung. "Ah—haha…nggak kok. Artinya itu...um...Sekseh
Warbyazah."
"Aku
makin nggak ngerti," ujar Deon.
Talitha ngakak habis-habisan.
Dia sampai memukul-mukul petasan yang sedang ia pegang itu ke tanah hingga
petasan itu bengkok sana-sini.
"Ya
udah, deh," ujar Talitha, mulai berusaha untuk menghentikan tawanya.
"Jadi, kamu kenapa nelepon? Kalo cuma mau nanyain Kak Alfa, aku tutup. Aku
males ladenin sifat posesif kamu."
"Kamu
lagi apa?" tanya Deon.
Mata
Talitha melebar. Deon…ternyata hanya ingin tahu Talitha sedang apa.
Selain
itu, Talitha juga sadar bahwa ada yang berbeda. Suara Deon terdengar begitu
lembut...dan serak. Dia seperti seseorang yang tengah berbicara denganmu sebelum
tidurnya. Talitha sampai heran; tumben sekali Deon berbicara dengan lembut dan
santai seperti itu. Biasanya, dia terdengar tegas dan menyeramkan. Bawaannya
mau memerintah terus.
"Aku…lagi
maen mercon, nih, bareng Bang Gavin, Bang Revan, Kak Vero, dan Basuki. Ada Mama
sama Papa juga lagi nontonin."
"Pantes
aja kedengaran rame," ujar Deon lagi. "Jangan
terlalu lasak, Talitha. Aku nggak mau kamu jatuh atau luka karena kena petasan.
Kalo main jangan sampe lupa diri."
Nah,
meskipun suaranya lembut, Deon mulai memberikan perintah lagi.
"Iya,
deh, iya." Talitha memutar bola matanya. "By the way anyway
busway, kamu lagi apa?" tanya Talitha balik.
Deon
terkekeh. Iya, benar, jika Talitha tak salah dengar, iblis menyeramkan itu kini
terkekeh pelan. Hal itu membuat hati para pendengarnya jadi meleleh. Ah…andaikan
Deon seperti itu terus...pasti Talitha sudah jatuh cinta dari pandangan
pertama.
"Apa
hubungannya sampe ke busway?" ujar Deon. "Aku…lagi
baring-baring aja."
Talitha
mengangguk-angguk. "Udah mandi belum, tuh?"
"Sudah,
Sayang," jawab Deon dengan santai.
Pipi
Talitha tanpa sadar merona, tetapi Talitha langsung menggeleng; gadis itu mencoba
untuk mengabaikannya.
"Kamu
nih hobi banget, ya, pake sayang-sayang." ujar Talitha. "Kayak udah
tau pacaran aja kamu. Belajar dari mana, sih? Sampe ngganti nama kamu sendiri jadi
‘Sayang’ di kontak aku. Bikin geli aja." Tawa Talitha jadi membahana.
"Aku
lumayan ngerti semenjak pacaran sama kamu, ‘kan," jawab
Deon lembut.
Astaga,
Talitha, jangan melayang...
Talitha
lantas menganga. "Lagian, kapan kamu megang HP aku? Kok bisa ngubah nama kamu
sendiri? Jangan- jangan…pas aku lagi di rumah papa kamu tadi, ya? Dasar.”
"Bagiku,
aku ada hak buat ngatur semua barang punya kamu karena kamu itu milikku,” ujar
Deon tegas.
Talitha
berdecak. "Hadeh… Mulai lagi, deh, si mas ganteng," ujar
Talitha dengan sarkastis.
"Jangan
matikan teleponnya, Talitha, " ujar Deon. "
Aku mau denger kamu."
******
Deon
berjalan ke ruang tengah. Di sana ada papanya yang sedang menonton acara
televisi. Deon malam ini memang tidur di rumah papanya, bukan di apartemennya.
Tadi ketika pulang dari café, Talitha sempat datang ke rumah
itu karena disuruh papa Deon. Papa Deon mau menanyakan rencana pertunangan Deon
dan Talitha. Ketika melihat Talitha untuk yang kedua kalinya, papanya Deon
langsung setuju dengan rencana pertunangan itu karena dia suka dengan Talitha.
Gadis itu humoris; dia sanggup membuat papa Deon tertawa berkali-kali. Maka
dari itulah, Deon baru mengantar Talitha pulang saat sudah sore.
Selain
itu, papa Deon menyuruh Deon untuk tidur di rumahnya malam ini.
Ketika
sampai di ruang tengah, Deon mulai duduk di sofa yang sama dengan papanya.
"Ada apa, Pa?"
"Kamu
udah makan?" tanya papanya. Mata Deon menyipit.
"Aku nggak
yakin Papa manggil aku cuma buat nanyain itu," ujar Deon,
ia menatap papanya seraya memiringkan kepala.
Papa
Deon tertawa renyah. "Kamu yakin kamu dengan Talitha bakal aman,
Deon?"
Deon
mengernyitkan dahi.
Papa
Deon—Darwin—kemudian melanjutkan, "Soalnya, Chintya lagi di jalan mau ke Indonesia." []
******
No comments:
Post a Comment