******
Chapter
3 :
Alexithymia
******
JULY menatap Elias lekat-lekat.
Ia tersenyum lembut; jempolnya membelai pipi Elias dengan penuh kasih sayang. Ini
kesempatan yang sangat langka. Rasanya ia beruntung sekali bisa membelai
Elias seperti ini. Selama ini, ia tak pernah memiliki kesempatan untuk
menyentuh Elias sama sekali. Ia hanya bisa memandanginya dari jauh, terkadang
mendekatinya dan mengobrol dengannya, memujinya, atau merayunya…tetapi tidak
pernah sedekat ini.
Ah, jadi begini rasanya menyentuh
Elias. Rahangnya sangat tajam…wajahnya sangat tampan.
Besides, he’s so tall.
“Say, Elias,”
ucap July tiba-tiba. “Maukah kau berkencan denganku?”
Namun, tanpa July sangka-sangka,
tepat setelah ia mengatakan itu, Elias langsung menepis tangannya dengan
kuat. Membuat tangannya terempas ke samping. Ia lantas memperhatikan tangannya
yang terempas itu seraya membulatkan matanya. Ia menganga—merasa tak
menyangka—dan spontan ia menoleh kepada Elias lagi. “Just what are you—”
“Aku baru saja menebak-nebak apa yang
ingin kau katakan sambil menyentuhku seperti itu,” jawab Elias. Mata
pemuda itu agak menyipit; ia menyatukan alisnya. “tetapi ternyata tak ada
gunanya aku menebak-nebak seperti itu.”
“What?” July
menggeleng tak percaya. “Aku hanya ingin berkata jujur padamu! I’ve been
waiting for this! Bukankah kau sudah putus dengan Zoya?!”
“Ini akan jadi terakhir kalinya aku
mendengar kau berbicara soal ini, July,” ujar Elias, pemuda itu memperingati
July dengan telunjuknya. “Hentikan semua ini dan ayo berteman seperti biasa.
Aku akan menganggap hal ini tak pernah terjadi.”
Elias langsung berbalik, tetapi July
juga tak kalah cepat. Gadis itu langsung menahan tangan Elias, lalu berlari ke
depan. Ia kini mulai mencegat Elias. “Mengapa kau bersikap seperti aku
melakukan suatu kesalahan?! Aku sudah lama menyukaimu dan sekarang aku
mengajakmu berkencan! Tidak ada yang salah dengan itu, Elias, karena kau tidak punya
pacar sekarang! Setidaknya, beri aku sebuah jawaban!”
Mendengar teriakan July, semua pemuda
yang sedang mandi di danau itu kontan terdiam. Pemuda-pemuda itu ada yang
sedang berenang di danau dan ada juga yang hanya duduk di pinggir danau; mereka
semua tadinya sedang mandi seraya mengobrol dan tertawa. Akan tetapi, begitu
mendengar teriakan July, mereka semua jadi diam dan langsung melihat ke arah
July seraya mengernyitkan dahi.
What the hell happened there just now?
Mereka—Eddie, Hayes, Miller, dan
Jack—sejak tadi tahu bahwa Elias sedang mengobrol dengan July, tetapi kok
tiba-tiba mereka jadi bertengkar begitu?
Merasa bahwa teman-temannya jadi
melihat ke arah mereka, Elias jadi menghela napas. Pemuda itu memijit keningnya
sejenak, lalu menatap July lagi. “July, maafkan aku. Aku tak bisa berkencan
denganmu.”
Mendengar jawaban Elias itu, alis
July menyatu. Ia menggeleng kecil. “Why?”
Elias sedikit tertunduk; pemuda itu
mengembuskan napasnya lewat mulut, lalu ia menatap July lagi. “Karena aku masih
mencintai Zoya. Aku masih ingin bersamanya,” jawab Elias yang kontan membuat
mata July melebar. Elias lalu melanjutkan, “It seems like you asked me to
come here because of this, but actually I wanted to take this opportunity to
talk to Zoya.”
Setelah mengatakan itu, Elias
langsung pergi meninggalkan July. Ia melewati tubuh July begitu saja.
Ketika Elias meninggalkannya, July
kontan berbalik dan menatap punggung Elias tak percaya. Ia menggeleng dan
menganga; matanya melebar. Napasnya terengah-engah. Dahinya berkerut. Ia marah
bukan main; hatinya sakit. Dadanya terasa sesak.
Setelah itu, July menendang ranting
kecil yang ada di dekat kakinya dengan kencang. “FUCK!”
Teriakan July itu kontan membuat
semua pemuda yang ada di sana jadi semakin menatapnya dengan keheranan. July
yang menyadari tatapan mereka semua lantas menoleh dan memelototi mereka, lalu
pergi dari sana seraya mengentak-entakkan kakinya ke tanah.
Teman-teman Elias yang melihat July
itu sekarang jadi menatap satu sama lain. Mereka saling bertanya, ‘Ada apa
dengannya?’, tetapi ujung-ujungnya mereka semua tetap tak mengerti dan
hanya mengedikkan bahu.
Sementara itu, Zoya—yang
memperhatikan semua adegan itu dari jauh—kini hanya menunduk dan pergi dari
tempat itu. Sebetulnya, ia tak mendengar apa pun yang July dan Elias bicarakan,
tetapi ia juga tak ingin tahu. Sepertinya, demi ketenangan hatinya, ia tidak
perlu tahu.
******
Inez dan Zoya sedang duduk di depan
tenda. Ada tiga orang yang menempati tenda itu, yaitu Inez, Zoya, dan Sophia.
Akan tetapi, Sophia belum selesai mandi, jadi Sophia belum ada di sana.
Ada empat tenda yang mereka bangun di
tempat itu. Di tenda pertama ada Inez, Zoya, dan Sophia. Di tenda kedua ada
July, Becca, Miller, dan Eddie. Di tenda ketiga ada Elias, Hayes, dan juga
Jack. Sementara itu, tenda keempat adalah tenda khusus untuk logistik.
Inez dan Zoya sedang mengobrol,
tetapi Zoya tak membicarakan tentang Elias dan July sama sekali. Zoya tak ingin
Inez berpikir bahwa ia betul-betul memperhatikan Elias; Zoya tak ingin
Inez jadi berpikir seperti itu.
“Kau serius melihat foto seperti itu
di rumahnya Mr. Parker?” tanya Inez pada Zoya. Inez menghadap ke Zoya seraya
mengernyitkan dahinya.
Zoya lantas mengangguk. “Iya. Fotonya
agak unik. Mungkin Mr. Parker dulunya adalah aktor pentas.”
Inez memiringkan kepalanya. Alisnya
menyatu. “Apakah fotonya kusam? Maksudku…apakah kelihatan seperti foto lama?”
Zoya mengerutkan dahinya, mulai berpikir.
“Hm…iya, sih. Itu adalah foto lama, tetapi tak mungkin selama itu juga,
‘kan? I mean, itu pasti kostum. Bukan seragam sungguhan.”
“Maybe,” jawab
Inez. Gadis itu mengangguk. “Itu yang paling masuk akal. Lagi pula, aku juga
melihat sesuatu di tempatku mandi tadi.”
Zoya menyatukan alis. Ia menatap Inez
dengan penasaran. “Kau melihat apa?”
“Hm…” Inez berpikir keras. Keningnya
berkerut. Setelah itu, Inez menggeleng. “Aku tak tahu bagaimana cara
mendeskripsikannya dengan benar, tetapi…tadi, di rumah tempat aku menumpang
mandi, aku melihat seorang anak kecil.”
Zoya mengangkat sebelah alisnya, lalu
berkata, “There’s nothing wrong with that, tho?”
Inez mengedikkan bahu. “Well, seharusnya
begitu. Aku melihatnya saat melewati sebuah kamar. Kamarnya terbuka, jadi aku
refleks melihat ke dalam. Ada seorang anak laki-laki yang terbaring di kamar
itu.”
Zoya hanya diam. Dia mulai
mengerutkan dahi dan mendengarkan Inez dengan saksama.
Sesaat setelah itu, mata Inez agak
menyipit. Gadis itu melihat ke lain arah, seolah-olah otaknya kembali
membayangkan apa yang tadinya telah ia lihat. “Anak itu…sepertinya sedang
sakit. Tubuhnya luka-luka. Ia berbaring di kasurnya, tetapi dia terus melihat
ke langit-langit sembari ketakutan. Matanya itu… Dia terlihat takut,” ujar
Inez. “Tubuhnya kurus, seperti tidak pernah diberi makan; dia tidak terurus.
Wajahnya pucat. Akan tetapi, saat pemilik rumah itu—kedua
orangtuanya—memergokiku memperhatikan anaknya, mereka berkata padaku bahwa
anaknya hanya sedang sakit.”
Mata Zoya melebar. Napas Zoya sempat
tertahan di tenggorokan. Dengan hati-hati, Zoya membuka suara, “Kau…serius?”
Akan tetapi, Inez tiba-tiba
menggeleng. Ia langsung menepuk-nepuk pundak Zoya dan tersenyum; dia
seolah-olah ingin mengalihkan pikiran mereka berdua. “Sudahlah. Jangan
dipikirkan. Kita datang ke sini untuk bersenang-senang. Mungkin pikiranku saja
yang berlebihan.”
Meskipun Inez terlihat tersenyum
manis di hadapannya, Zoya masih belum bisa mengalihkan pikirannya. Dahi Zoya
berkerut. Sampai saat ini pun, ketika Inez tengah menyambut Sophia—yang baru
saja selesai mandi itu—dengan sukacita, Zoya tetap saja kepikiran.
Apakah anak itu akan baik-baik saja?
******
Sesuai dengan apa yang telah mereka
siapkan tadi sore, malam ini mereka semua barbecue-an dan menghidupkan
api unggun. Api unggun itu dihidupkan di tengah-tengah, di depan tenda mereka.
Beberapa dari mereka ada yang makan di ujung sana—di dekat alat barbecue—seraya
mengobrol dan ada juga yang makan di depan tenda, menghadap ke api unggun.
Sementara itu, orang-orang yang telah selesai makan juga duduk di depan tenda,
ada yang bermain gitar sembari bernyanyi, ada juga yang hanya duduk dan
mengobrol.
Zoya duduk di depan tendanya
sendirian. Ia sudah selesai makan dan memutuskan untuk kembali ke tenda. Inez
dan Sophia masih ada di ujung sana, mereka makan sambil mengobrol dan tertawa di
dekat alat barbecue bersama Becca.
Zoya melihat ke depan. Ia
memperhatikan api unggun itu seraya melamun. Pikirannya kosong; ia melihat api
itu yang seolah sedang melambai padanya. Malam itu suasananya terasa hangat,
terutama ada suara nyanyian yang diiringi oleh gitar. Suara nyanyian itu
terdengar sedikit mengecil di telinga Zoya sebab pikirannya sedang
kosong. Matanya fokus menatap api unggun itu.
Hah. Apa dia tidur saja, ya?
Tiba-tiba, dengan samar-samar, Zoya
mendengar ada bunyi gemerusuk dari samping kanannya. Itu seperti bunyi langkah
seseorang; orang itu tengah mendekatinya. Belum sempat menoleh ke asal
suara, mendadak Zoya merasa bahwa ada sebuah kehangatan yang menyentuh lengan
kanannya. Menempel pada tubuhnya.
Ada seseorang yang baru saja duduk di
sebelahnya.
Tubuh orang itu hangat. Hangat
sekali. Lengan Zoya menempel dengan lengan orang itu. Baju yang sedang orang
itu kenakan pun terasa sangat lembut dan tebal. Apakah orang itu sedang memakai
jaket?
Selain itu, aroma tubuhnya...
Zoya hafal aroma itu.
Aroma yang dahulu sering sekali
Zoya hirup.
Zoya kontan menoleh ke
samping. Melihat orang yang sedang duduk di sebelahnya.
…dan benar saja.
Itu adalah Elias.
Mata Zoya melebar. Ia refleks sedikit
menjauhkan wajahnya, lalu berkata, “E—Elias? Apa yang kau lakukan di
sini?”
Elias perlahan menoleh kepada Zoya. Kedua
mata pemuda itu tampak memantulkan cahaya berwarna jingga yang berasal dari api
unggun. Ia menatap Zoya dengan lembut, intens, dan penuh dengan
keinginan.
Namun, karena tak ingin terjebak di
dalam mata indah milik Elias yang seakan mampu menghisap jiwa itu, Zoya
pun menggeleng. Ia kembali menatap ke depan dan berbicara dengan ketus, “Pergi
dari sini. Aku tak ingin melihatmu.”
Akan tetapi, bukannya pergi, Elias
justru meraih tangan Zoya dan menggenggam tangan gadis itu dengan erat. Zoya
yang merasakan itu kontan membelalakkan mata, ia langsung kembali menoleh
kepada Elias dan memprotes, “Apa yang kau—”
“Sebentar
saja,” ujar Elias dengan suara yang sangat lembut. Pemuda itu mencium
punggung tangan Zoya, lalu menyatukan jemari mereka. “Aku rindu.”
Mendengar itu, pipi Zoya hampir saja
merona. Sebelum semburat merah itu terlihat di mata Elias, ia langsung membuang
muka. Ia menatap ke depan lagi. “Jangan bicara sembarangan. Aku melihatmu
berbicara dengan July tadi sore.”
Kini gantian Elias yang melebarkan
mata. Akan tetapi, dua detik setelah itu…Elias langsung tersenyum. Ia senang
karena Zoya masih merasa cemburu. Ia pun membelai jemari Zoya dan hal
itu refleks membuat Zoya kembali menatapnya. Mereka kini jadi menatap satu sama
lain.
Karena jarak mereka yang begitu dekat,
Zoya bisa merasakan napas Elias yang hangat. Elias sedang tersenyum lembut
padanya. Seharusnya Zoya marah; seharusnya Zoya kesal karena Elias mengabaikan
perkataannya. Akan tetapi, gadis itu terhipnotis oleh tatapan mata Elias
dan senyuman lembut Elias saat itu.
Rasanya…nyaman
sekali. Begitu menenangkan…
Perlahan-lahan, Elias mengangkat
tangannya yang satu lagi; ia mulai menyelipkan beberapa helai rambut Zoya ke
belakang telinga gadis itu. Ia membelai-belai rambut Zoya seraya berkata dengan
suara lirih, “Zoe, tadi sore July mengajakku berkencan. Aku sudah
menolaknya.”
Mata Zoya membulat. Gadis itu langsung
ingin memalingkan wajah—karena ia tak ingin Elias melihat ekspresi
terkejutnya—tetapi Elias menahan wajahnya. Tangan Elias mulai memegang pipi
sebelah kirinya; Elias mengelus pipinya itu dengan lembut.
Karena tidak ada pilihan lain selain tetap
menatap Elias, akhirnya Zoya pun meneguk ludah. Matanya mengerjap beberapa
kali. Napasnya tertahan; denyut jantungnya terasa aneh. Dadanya agak sesak.
July…mengajak Elias kencan?
Jadi…selama ini July…menyukai Elias?
Rasanya jantung Zoya bagai tertusuk puluhan
jarum. Rasa sakit, cemburu, dan sedih…semuanya mendadak merayap masuk dan
mengubrak-abrik hatinya.
Namun, ia dan Elias sudah putus. Ia
tak berhak marah…
Akhirnya, setelah lumayan lama
terdiam, ia pun menjawab Elias.
“Mengapa…kau
menolaknya?”
Elias memiringkan kepala, lalu sedikit
mengernyitkan dahinya. “Aku yakin kau ingat bahwa aku masih ingin kau kembali
padaku.”
Mendengar itu, Zoya langsung
menyingkirkan tangan Elias dari pipinya dan memalingkan wajah. “Aku tidak mau.”
“Sayang…”
panggil Elias. Pemuda itu menyentuh dagu Zoya, lalu mengarahkan wajah gadis itu
agar kembali melihat ke arahnya. “Aku minta maaf. Tolong maafkan aku, Zoe.
Aku benar-benar minta maaf.”
Zoya hanya diam. Napas Elias yang
wangi dan hangat itu sedikit menerpa wajahnya. Wajah mereka saat ini begitu
berdekatan. Jemari Elias kembali membelai pipi Zoya. “Aku minta maaf, hm? Waktu
itu…aku marah padamu karena aku cemburu. I love you so much and I’m scared
of losing you.”
Diam sejenak. Mereka hanya saling menatap.
Ada beberapa hal yang terekam di otak Zoya saat itu: degupan jantung
yang saling bersusulan, getaran yang saling meraih, tatapan mata yang
saling memenjarakan…
Hingga akhirnya, Elias kembali
berkata, “Aku minta maaf, Sayang. Kita balikan, ya? Jangan siksa
aku seperti ini, kumohon…”
Akan tetapi, meskipun masih terdiam
selama tiga detik ke depan, Zoya pada akhirnya tetap menggeleng. Ia masih teguh
pada pendiriannya. “Tidak, Elias.”
Melihat Zoya yang masih menolaknya,
masih keras kepala, dan masih belum sepenuhnya memaafkannya, akhirnya Elias
pun menghela napas. Ia tahu Zoya takkan semudah itu untuk digoyahkan. Zoya itu
tidak gampang dibujuk, jadi ia harus bersabar dan berusaha lebih ekstra agar
Zoya mau kembali padanya. Maka dari itu, Elias memilih untuk diam. Ia tak
menjawab apa pun; ia hanya menatap Zoya dengan lembut dan sendu. Jemarinya
mulai turun ke leher Zoya dan menetap di sana.
Degupan jantung Zoya menggila.
Ludahnya mendadak sulit untuk diteguk. Ia lupa bernapas. Sementara itu, napas
Elias yang hangat itu terasa semakin…menyentuh wajahnya. Perlahan-lahan,
wajah Elias mendekat. Tatapan mata Elias benar-benar sukses memenjarakannya. Genggaman
tangan Elias semakin erat; jemari Elias yang ada di lehernya pun terasa hangat…
Tatkala hidung mereka telah bersentuhan,
sebelum Elias benar-benar mencium bibirnya, Zoya spontan memalingkan
wajah. Ia menoleh ke kiri dan langsung memejamkan matanya kuat-kuat. Tidak, dia
tidak boleh berciuman dengan Elias. Akal sehatnya akan hilang; ia akan goyah. Ia
takkan bisa melarikan diri lagi apabila Elias telah mencium bibirnya.
Lagi pula, mengapa Elias mau menciumnya?
Bukankah—bukankah di sini banyak orang?
Di sisi lain, Elias—yang sadar bahwa
Zoya menolak ciumannya itu—pada akhirnya hanya menghela napas. Pemuda itu
tersenyum lembut, lalu beralih mencium bahu Zoya.
Zoya tahu dan bisa merasa bahwa Elias
tengah mencium bahunya. Ciumannya begitu lembut. Akan tetapi, saat ini pikiran
Zoya tidak fokus ke sana. Otaknya yang sejak tadi hanya memikirkan
Elias, kini tiba-tiba jadi memikirkan hal lain. Ia tak begitu
menghiraukan ciuman Elias pada bahunya itu karena tiba-tiba saja, entah
apa sebabnya, ia merasa seperti…sedang diperhatikan oleh seseorang.
Oleh karena perasaan itulah, akhirnya
Zoya menoleh. Mencari siapa gerangan orang yang tengah memperhatikannya.
Ketika ia melihat ke arah Elias lagi…atau
lebih tepatnya ke belakang Elias, jauh di belakang sana, ia menemukan
July yang sedang duduk di tendanya bersama Miller. Akan tetapi, berbeda dengan
Miller yang sedang bernyanyi bersama Jack dan Eddie, July justru tengah
memberikan Zoya tatapan dingin. Tatapan tak suka.
Sejak tadi, ternyata July
memperhatikan semua yang Elias dan Zoya lakukan.
******
Kelopak mata Zoya bergerak dengan
gelisah. Dahinya berkerut, ada titik-titik keringat yang muncul di pelipisnya. Ia
meneguk ludah, lalu tubuhnya mulai meringkuk.
Ia ingin buang air kecil.
Zoya lantas membuka matanya. Dahinya
semakin berkerut.
Aduh, malam-malam begini malah mau
buang air kecil…
Sial. Mereka berkemah di tengah
hutan, jadi tentu saja agak seram apabila keluar sendirian malam-malam begini.
Zoya mulai bangkit dari tidurnya. Ia
duduk dan memperhatikan teman-temannya. Inez dan Sophia sedang tidur di
sebelahnya dengan pulas. Zoya tidur di paling pinggir, tepat di sebelah ‘pintu
masuk’ tenda. Dia memperhatikan teman-temannya itu dan akhirnya mengernyitkan
dahi.
Tidak enak kalau harus membangunkan mereka.
Zoya meneguk ludahnya, lalu beringsut
ke pintu masuk itu. Ia membuka ritsleting tenda itu pelan-pelan—tak ingin
membangunkan kedua temannya—lalu sedikit menyibak kain tenda itu.
Ia pun mengintip ke luar.
Di luar tentunya gelap, tetapi tidak gelap
gulita. Masih ada cahaya dari bulan sabit yang sedang bertengger di langit. Ada
juga beberapa bintang di atas sana, tetapi tidak terlalu banyak. Malam itu
tidak terlalu cerah, tetapi cahaya dari bulan dan bintangnya sudah
sangat cukup untuk menerangi kegelapan di hutan itu.
Namun, karena situasi di sekitar masih bisa
dilihat oleh mata Zoya, gadis itu pun refleks melihat jauh ke depan sana, yaitu
ke area danau. Mungkin saja ia refleks melihat ke sana karena air danau itu
memantulkan sinar rembulan, tetapi bisa jadi pula ia refleks melihat ke sana
karena sedang butuh air untuk buang air kecil. Entah mana yang benar, tetapi
yang jelas…matanya refleks melihat ke arah sana.
Akan tetapi, berbeda dengan pikiran
Zoya yang tadinya menerka bahwa area danau itu akan kosong, ternyata di sana tidak
benar-benar kosong.
Ada seseorang…di tepi danau
itu.
Mata Zoya sedikit melebar. Kepala
Zoya belum menongol ke luar, tetapi mata Zoya terus mengintip. Zoya memperhatikan
orang itu dengan saksama.
Orang itu berdiri di tepi danau. Ia hanya
diam dan menghadap ke danau. Kedua tangannya bersilang di belakang tubuhnya,
seperti posisi istirahat.
Akan tetapi, walau dari jauh…sepertinya
Zoya mengenal orang itu. Kalau dilihat dari posturnya, rambutnya, serta gaya
berpakaiannya…
Itu adalah Mr. Parker.
Zoya pun mengernyitkan dahi. Apa…yang
Mr. Parker lakukan di sana malam-malam begini?
Zoya meneguk ludahnya. Seharusnya ia
keluar saja. Perutnya sudah sakit; ia ingin buang air kecil. Akan tetapi, entah
mengapa ada sesuatu di dalam dirinya yang menyuruhnya untuk tetap di
tempat. Duduk di sana. Diam dan tunggu saja sampai Mr. Parker pergi.
Ia tak tahu apakah itu insting...atau
sinyal dari tubuhnya. Ia tak yakin. Ia tidak hidup di alam liar atau tempat yang
penuh dengan mara bahaya untuk memahami semua itu secara gamblang.
Namun, mungkin saja itu memang sebuah
insting. Mungkin saja itu adalah pertanda bahwa reaksi otaknya masih belum
rusak. Tubuhnya masih ingin melindungi dirinya sendiri. Memberikan pencegahan maksimal
karena Zoya selalu cenderung bersikap gegabah.
Iya, itu adalah sebuah insting.
Soalnya, saat Zoya masih mengintip diam-diam
dari balik tendanya, tiba-tiba saja…
Mr. Parker berbalik dan melihat tepat ke arahnya. []
******
No comments:
Post a Comment