Bab
9 :
Dia
Bukan Aldo
******
ALDO meletakkan
kertas proposal ke tumpukan-tumpukan kertas lainnya di atas mejanya, yaitu meja
Ketua OSIS. Para anggota inti OSIS duduk di depan Aldo; maksudnya, ada dua meja
panjang di sisi kanan dan kiri Aldo dan meja-meja itu memanjang ke depan. Di
sanalah anggota-anggota inti OSIS duduk. Jadi, Aldo berada di depan sekaligus
di tengah-tengah mereka semua. Rapat hari ini tampaknya hampir mencapai kesepakatan
akhir.
"Oke.
Jadi, untuk dana OSIS dan dana dari sekolah, semuanya tolong kamu kelola, Ra.
Besar dana yang dipakai itu sesuai dengan yang udah kita sepakati tadi,"
ujar Aldo pada Dera, Bendahara OSIS. Dera mengangguk. Setelah itu, Aldo
melanjutkan, "Tugas konsumsi, alat-alat, dan perwakilan sekolah, semuanya
tolong dikelola mulai dari sekarang. Panitianya adalah orang-orang yang udah
kita sepakati tadi dan itu nggak boleh diubah lagi. Kita akan mulai menyeleksi
perwakilan-perwakilan dari setiap kelas. Setiap kegiatan kita untuk acara itu
akan dihitung sebagai dispensasi dari sekolah."
"Sip,"
jawab Arif, Wakil Ketua OSIS, dan seluruh peserta rapat juga mengangguk
mengerti.
Aldo
kemudian ikut mengangguk singkat. "Oke. Rapat kita sampai di sini dulu, ya.
Kalo kedepannya ada hal yang nggak terduga, kita bakal rapat lagi."
Suasana
yang serius itu akhirnya mencair. Beberapa anggota inti OSIS mulai
merenggangkan otot-otot tubuh mereka. Ada juga yang mengembuskan napas lega,
lalu bersandar di kursinya. Suasana kembali santai dan mereka mulai mengobrol dengan
satu sama lain. Aldo duduk sembari menumpukan sikunya di permukaan meja.
Wahyu,
Sekretaris II OSIS yang hobi bercanda, kini iseng-iseng menegur Aldo dan
berkata, "Aldo, gimana dengan lomba tari tradisional dan vocal
group?"
Aldo
yang tadi sedang menatap jam tangannya kini menoleh kepada Wahyu. Mata Aldo
sedikit melebar. "Hm? Gimana apanya?"
Arif
lalu nyengir. Cowok itu menaik-turunkan sebelah alisnya jail.
"Lo tadi liat, ‘kan, selebaran dari kelas lo? Nadya tuh termasuk salah
satu perwakilan dari dua perlombaan itu, lho. Acieee Aldo... Cuit-cuit..."
Suara
siulan, tawa, dan berbagai sorakan lainnya langsung memenuhi ruang OSIS. "Ciee Kak
Aldo…!" teriak Hanny, Sekretaris I OSIS, yang masih kelas X. Mereka memang
mengistirahatkan diri mereka sejenak, tetapi agaknya akan lebih menyenangkan
kalau sambil menggoda Aldo. Meskipun Aldo adalah Ketua OSIS yang paling
dihormati karena ia pintar dan bijaksana—sebenarnya juga karena ia nyaris sempurna—tetapi
tetap saja mereka menganggap Aldo teman mereka.
"Yuhuuuu..." Sorak
mereka, lalu mereka semua tertawa.
Aldo
sedikit tertunduk dan tersenyum simpul. Senyum simpul cowok itu berhasil
membuat semua anggota OSIS terdiam sejenak. Dalam hati mereka masing-masing,
mereka mengakui bahwa Aldo itu ganteng banget. Meskipun
memang ganteng, tetapi kali ini rasanya berbeda. Senyum Aldo kali
ini adalah senyum yang melukiskan perasaan bahagianya; senyum itu membuktikan
bahwa ia sedang jatuh cinta. Ia mendadak terlihat mengeluarkan aura yang
berbeda, binar di wajah dan matanya juga terlihat semakin indah. Tampannya jadi
bertambah ketika suasana hatinya bagus dan kondisi tubuhnya prima.
Aldo jelas tahu,
dong, kalau Nadya adalah salah satu perwakilan kelasnya. Itu karena Nadya juga sering
ikut menari tari tradisional kalau-kalau di sekolah lagi ada acara. Menurut
prediksi Aldo, Nadya pasti bakal terpilih pada seleksi yang diadakan OSIS untuk
pertandingan persahabatan tahun ini. Nadya juga memiliki suara yang bagus
meskipun Nadya selalu menyembunyikannya. Akan tetapi, meski Nadya
menyembunyikannya, teman-teman sekelas tahu kalau suara
Nadya itu bagus. Soalnya, mereka pernah mendengar Nadya bernyanyi saat Bu
Sasmita—Guru Seni mereka—menyuruh mereka bernyanyi satu per satu ke depan
kelas. Mungkin Nadya juga akan terpilih menjadi salah satu peserta lomba vocal
group.
Aldo
dipilih teman sekelasnya untuk semua perlombaan kecuali tari tradisional, tentu
saja. Haha. Aldo tidak bisa menari. Lagi pula, seluruh peserta lomba tari tradisionalmya
adalah perempuan. Aldo hampir ikut semua lomba, padahal Aldo juga akan sibuk
mengurus jalannya kegiatan itu. Namun, Aldo adalah tipe orang yang bisa
diandalkan dan teman sekelasnya tahu hal itu. Kenyataan bahwa nama Nadya ada di
selebaran dari kelasnya itu sudah membuat Aldo lega.
Nadya
ikut juga di event ini.
"Semoga dia lulus
seleksi," ujar Aldo di antara senyum menawannya itu. Teman-teman OSIS-nya
semakin riuh.
"Haduuuuh, yang
sedang jatuh cintaaaa! Hahaha!" teriak Wahyu. Semuanya tertawa.
"Susah,
nih, kalau kita nggak ngelulusin Nadya. Ada yang marah ntar!" ujar Dera
sembari tertawa terbahak-bahak.
Aldo
tertawa renyah. Dengan matanya yang berbinar karena bahagia, Aldo berkata,
"Iya, awas kalo kalian nggak ngelulusin dia. Ntar gue bikin nggak jadi, nih,
pertandingan persahabatannya," candanya. Saat semua temannya kembali
tertawa, ia kemudian meralatnya, "Bercanda. Tetap seleksi aja kayak biasa.
Kalau Nadya bisa, dia pasti lulus kok."
******
Nadya
menutup pintu toilet perempuan itu dengan sebelah tangannya. Gita ikut masuk ke
toilet itu untuk menemani Nadya. Di depan mereka sudah ada Rani dan Syakila.
Rani menatap Nadya dengan mata yang menyipit dan Gita mulai bisa menebak bahwa hal
yang tak beres akan terjadi di sini. Gita langsung memperhatikan Nadya dan
Syakila secara bergantian.
Mata
Nadya membulat saat ia menatap Syakila, begitu juga Gita. Soalnya, saat
ini Syakila sedang menangis.
Mengapa
Syakila menangis seperti itu?
"Syakila…" ujar
Nadya pelan, tetapi Nadya tak melanjutkan kata-katanya. Gita langsung
mengerutkan dahi dan berkata dengan heran, "Lo ngapa nangis, Sya?"
Rani
kemudian menukas, "Gara-gara lo, Nad!"
Nadya
terkejut. Ia langsung menatap Rani seraya menyatukan kedua alisnya.
"Ada
apa, Ran? Gue ada salah apa?" tanya Nadya sungguh-sungguh. Gita langsung
ikut bertanya, "Lho, kok salah Nadya? Emang Nadya ada ganggu
Syakila?"
Rani
langsung menghadap ke Syakila dan memegang kedua pundak Syakila dengan lembut. Tatapan
mata Rani berubah menjadi sendu dan Rani berkata, "Sya, ayo… Bilang aja...
Daripada lo kayak gini..."
Mata
Gita langsung menyipit. Alis Nadya tetap menyatu, tetapi Nadya sepertinya mulai
paham dengan apa yang terjadi meskipun ia tak yakin.
Di
antara tangisnya yang pelan itu, Syakila mencoba untuk berbicara. Suaranya begitu
pelan dan serak karena menangis.
"Nad, plis
jawab gue dengan jujur. Lo...beneran pacaran sama Aldo?"
tanya Syakila. Mata Syakila yang bulat dan berkaca-kaca itu menatap Nadya
dengan penuh kesedihan. Nadya langsung merasa napasnya tertahan dan hal itu
tentunya menimbulkan rasa sakit yang akhir-akhir ini selalu ia rasakan.
Nadya
hanya bisa berkata, "Emangnya kenapa…Sya?"
Gita
menatap Nadya dengan khawatir. Tiba-tiba Syakila menjawab dengan suara yang
sedikit ia tinggikan, "Jawab aja, Nad. Plis, jawab
gue."
Rani
mengelus pundak Syakila. Nadya hanya bisa menunduk sedikit dan mengangguk. Setelah
itu, Nadya berkata, "Iya…tapi…kenapa, Sya—"
"Kalian
pasti jadian karena sesuatu!!" teriak Syakila tiba-tiba. Nadya dan
Gita langsung terkejut. Mereka benar-benar tak pernah melihat Syakila
yang cool dan kalem berteriak seperti itu.
"Nggak
mungkin, nggak mungkin Aldo yang nggak pernah dekat sama lo itu tiba-tiba
jadian sama lo! Aldo nggak pernah ngedeketin lo yang biasa aja di kelas! Aldo
juga bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta karena dia nggak deket sama cewek
mana pun! Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyiin, gue yakin itu!" teriak
Syakila sembari menangis; cewek itu menggeleng dan matanya nyalang.
Nadya
yang mendengar hal itu merasa bagai ada petir yang menyambarnya tiba-tiba.
Syakila...barusan membentaknya. Jujur saja, Nadya tipe orang yang tidak bisa
dibentak, bahkan dia nyaris tak pernah dibentak dalam hidupnya karena dia
adalah orang yang penurut.
Lidah
Nadya kelu. Jantungnya bagai berhenti berdegup. Wajahnya pucat.
Apalagi…ia
merasa bahwa…semua yang dikatakan Syakila itu benar.
Nadya
tak sanggup berkata apa-apa. Cewek itu bahkan tak sanggup membuka mulutnya karena
jika ia membuka mulutnya dan berbicara, maka ia akan terbata-bata. Ia pun tak
tahu apa yang harus ia katakan.
Tiba-tiba
Gita berbicara. Gita langsung menatap Syakila dengan penuh amarah.
"Eh, jadi maksud lo Aldo nggak mungkin suka sama Nadya yang ‘biasa aja’?!
Jaga mulut lo, Sya! Lagian, apa lo bener-bener Syakila, temen
sekelas kita? Lo sama sekali kayak bukan Syakila! Siapa lo?! Syakila yang gue
tau orangnya nggak se-nyebelin ini!"
"Eh,
lo diem aja, ya, Git! Jangan ikut campur lo! Lo udah untung gue bolehin masuk
ke sini!" balas Rani.
"Lo
yang diem!" teriak Gita. "Emangnya toilet ini punya lo? Lagian kalian
berdua ngapain ngajakin kita berdua ke toilet? Lo nggak punya tempat lain? Lo
juga nggak ada hubungannya dengan semua ini, tapi lo ikut campur, ‘kan, dengan
masalahnya Syakila?! Begitu juga gue, karena gue temennya Nadya!" Gita
mulai ketus, atmosfer yang tercipta kini penuh dengan permusuhan, padahal
selama ini mereka satu kelas dan berteman dengan baik meskipun tidak begitu dekat.
Soalnya, Nadya dan Gita itu keseringan main berdua.
Nadya
mulai menarik tangan Gita dan mencoba untuk menenangkan Gita. Sementara itu,
Syakila tiba-tiba membicarakan sesuatu yang membuat Nadya tanpa sadar benar-benar mematung.
"Gue mantannya Aldo,
Nad," ujar Syakila. "Dulu, hubungan kita emang nggak keliatan. Gue
masih nggak tau apa sebabnya Aldo jarang mau negur gue, padahal kita pacaran.
Saat gue pengin tau, entah kenapa dia mutusin hubungan kami. Gue selama ini berusaha
untuk nyembunyiin semua itu, Nad, dan lo tau itu sakit..." ujar
Syakila lagi. Cara bicara Syakila benar-benar membuat orang yang mendengarnya
ikut merasakan pilu.
Napas
Nadya seolah tersekat di tenggorokan; ia merasa ada sesuatu yang menohok jantungnya.
Syakila…mantannya
Aldo? Mereka pernah jadian?
"Gue masih sayang
sama dia. Gue nggak bisa ngelepasin dia. Tapi saat semua ini masih gue rasain,
tiba-tiba dia jadian sama lo dan itu heboh… Semua orang tau dan Aldo juga
selalu meduliin elo, elo, dan elo aja! Waktu sama gue dulu, dia jadi dirinya
sendiri; dia jarang deket sama cewek, bahkan sama pacarnya sendiri. Tapi kenapa
sama lo dia jadi berubah? Ini nggak adil, Nad! Dia nggak jadi dirinya sendiri.
Dia pasti jadian sama lo karena sesuatu atau lo pasti maksa dia!!"
Ada
sebuah dorongan kuat yang membuat Nadya jadi ingin menjawab. Nadya tak
pernah memaksa Aldo! Ia tak suka dituduh melakukan sesuatu yang tak
pernah ia lakukan. Meski ia tak bisa menjawab sekuat Syakila, ia tetap melawan
Syakila dengan semua keberanian yang ia punya. Ia tahu ia tak melakukan semua
itu.
"Gue
nggak pernah maksa Aldo kok, Sya! Nggak pernah—"
"Bohong
lo!" teriak Rani.
"Eh,
Syakila," potong Gita. "lo jangan asal nuduh gitu! Nadya nggak pernah
maksa Aldo!"
"Kalau
emang itu nggak bener, cepetan jelasin apa yang sebenarnya terjadi!!!" teriak
Syakila, membuat mereka semua terdiam dan terpaku. Mata mereka membulat tatkala
menatap Syakila yang kini menjatuhkan air matanya. Tadi Syakila berteriak
kencang sembari mengepalkan kedua tangannya yang ada di kedua sisi tubuh
rampingnya.
Tiga
detik sudah berlalu dalam keheningan itu.
Nadya
pelan-pelan menunduk. Cewek itu diam dan memejamkan matanya kuat-kuat.
Tangannya terkepal. Saat itulah Gita menyadari apa yang akan Nadya lakukan.
Dengan segera, Gita memegang lengan Nadya untuk menyadarkan Nadya. Nadya tak
boleh mengatakannya!
Namun,
nasi telah menjadi bubur.
Nadya, dengan
segala gundah gulana yang cewek itu rasakan, kini mengatakan kebenaran itu di
depan Syakila sembari menitikkan air mata yang tanpa sadar terjatuh begitu saja
entah sejak kapan.
"Kami..." Nadya
berkata dengan lirih. "Waktu itu Aldo ngasih tiket konser Muse ke gue,
Sya. Dia liat gue nangis di belakang sekolah. Habis itu...dia ngasih tiket itu
dengan syarat...gue mesti jadi pacarnya," ujar Nadya. Hal itu membuat mata
Syakila dan Rani membelalak. Gita cepat-cepat mengguncang bahu Nadya.
"Nad! Lo—apa lo serius mau bilang it—"
Nadya
hanya menyingkirkan tangan Gita dengan pelan, lalu ia terdiam sejenak. Gita
melebarkan matanya karena perlakuan Nadya itu, soalnya Gita tak pernah melihat
Nadya seperti ini.
Tidak
ada suara apa pun selama tiga detik hingga akhirnya Nadya kembali bersuara
pelan, "Gue minta maaf, Sya, kalau gue ada kesalahan yang nggak gue
sadari. Soalnya, gue bener-bener nggak tau kalau lo sama Aldo…pernah punya
hubungan."
Gita
langsung berdecak; dia menatap Syakila dengan sinis. "Lo, kan, udah putus
sama Aldo! Kok lo sewot, sih? Kok malah Nadya yang jadi minta maaf sama
lo?"
Syakila
hanya berdecak dan memberikan Gita tatapan tak suka. Ia tampak benar-benar
kesal dengan Gita, sementara Nadya hanya diam setelah meminta maaf.
Syakila
kemudian menatap Nadya dan berkata, "Berarti waktu itu dia lagi ada problem dan
itu bisa selesai kalo dia jadian sama lo. Hm…atau mungkin...lo itu bahan taruhan? Tapi
Aldo nggak mungkin jahat kayak gitu. Aldo pernah bilang kalo dia sayang sama
lo?" selidik Syakila.
Waktu
seolah terhenti. Nadya lagi-lagi merasa ada lembing yang menohok jantungnya
saat Syakila menanyakan itu. Memang, Aldo tak pernah bilang ‘sayang’
pada Nadya. Saat ditanya mengapa Aldo menjadikan Nadya sebagai pacarnya, Aldo
hanya menjawab, 'Apa kamu tau kalo aku sering merhatiin kamu?'
Entah
apa maksud Aldo itu. Merhatiin? Semuanya tidak jelas.
Akan
tetapi, biarlah. Bagi Nadya, sekali lagi, mengetahui
perasaannya sendiri saja sudah cukup. Aldo tak perlu membalas ataupun tahu soal
perasaannya. Nadya sudah mensyukuri perasaan yang Tuhan berikan padanya untuk
Aldo. Nadya juga tak lagi memikirkan alasan Aldo menjadikannya sebagai pacar.
Jadi,
meskipun hubungan ini nantinya berakhir, Nadya ikhlas. Nadya juga ngerasa kok
kalau Nadya nggak terlalu agresif dalam mempertahankan hubungan yang sekadar
'karena kondisi' ini. Soalnya, Nadya takut. Takut kalau terlalu agresif dan
terus mengejar langit, ia akan jatuh menghantam bumi.
Benar
kata semua orang, kenyataan itu menyakitkan.
"Nggak,"
jawab Nadya jujur setelah ia menghela napasnya. "Aldo…nggak pernah ngomong
gitu ke gue, Sya. Gue juga nggak tau gimana sifat Aldo yang sebenernya..."
Nadya meneguk ludah dan tangannya semakin terkepal. "Tapi...meskipun gitu...gue..."
Nadya
semakin menunduk. Di antara pikirannya yang kalut itu, Nadya mengatakan isi
hatinya, keinginan terbesarnya pada Aldo saat ini. Keinginan yang sudah lumayan
lama ia pendam sendirian.
"Gue..."
ucap Nadya lirih. Cewek itu melipat bibirnya. "Gue pengin tau siapa Aldo.
Gue pengin tau semua tentang dia…"
Syakila
menaikkan sebelah alisnya. Cewek itu merasa heran sekaligus kaget dengan apa
yang Nadya katakan. Namun, belum sempat Syakila menjawab, Nadya kembali
berbicara tanpa membiarkan Syakila membuka mulutnya.
"Intinya
kalo gue ada salah selama ini, gue minta maaf, ya. Tapi...lo harusnya bilang
semua isi hati lo ke Aldo aja, Sya... Jangan ke gue. Soalnya...itu urusan
kalian, Sya."
Dengan
kalimat itu, Nadya langsung meraih tangan Gita dan mengajak Gita keluar dari
toilet perempuan itu.
******
Bel
pulang sekolah sudah berbunyi, tetapi tampaknya sekolah masih ramai. Malah,
sekolah seolah semakin ramai karena banyak yang berteriak histeris. Soalnya, tim
basket saat ini sedang latihan.
Nadya
ikut menonton permainan basket bersama Gita dan juga teman-temannya yang lain.
Soalnya, tadi Tari mengajak mereka semua untuk menonton. Tari mengancam akan
menjaili mereka dengan permen karet esok hari jika mereka tidak ikut menonton.
Akan tetapi, Gita baru saja pergi karena dipanggil oleh Pak Bian untuk
membersihkan kantor guru. Lapangan basket ada di tengah-tengah gedung sekolah.
Bisa dilihat bahwa banyak sekali murid yang menonton permainan basket itu. Permainan
basket cowok itu selalu keren, apalagi mereka tahu kalau pasti akan ada Aldo,
si Ketua OSIS sekaligus cowok terpopuler seantero sekolah. Cowok andalan SMA
Kusuma Bangsa. Sayang banget kalo nggak ditonton!
Semua
orang—terutama perempuan—jadi gaduh bukan main. Well, kemampuan tim basket
SMA Kusuma Bangsa emang hebat banget. Pantas saja tim basket
SMA Kusuma Bangsa tak pernah kalah dalam pertandingan persahabatan. Kalau tahu
siapa ketua timnya, nggak bakal bingung lagi, deh, mengapa SMA
Kusuma Bangsa bisa menang.
Namun,
tak seperti yang lain, tatapan mata Nadya terlihat sendu. Cahaya di matanya
tampak redup meskipun suasana saat ini adalah suasana yang menyenangkan. Nadya
hanya diam meskipun sorak-sorai di sekelilingnya terdengar memekakkan. Ia tahu bahwa
Aldo terlihat begitu keren di lapangan itu. Begitu bersinar. Keringat Aldo membuat
bagian leher baju seragam basketnya basah, tetapi itu malah membuat Aldo jadi
terlihat…seksi. Soalnya, badan Aldo itu tegap dan bagus.
Saat
Aldo berhasil mengecoh lawan dan menggiring bola, lalu memasukkan bola ke ring,
semua itu terlihat sangat keren. Tak tertinggal pula saat Aldo selesai
memasukkan bola, bertos ria dengan teman-temannya, lalu tertawa bahagia...
Semua itu sangat keren. Aldo itu bersinar banget. Senyum
dan tawanya juga...
Ya
ampun. Nggak adil, ya. Kamu malah bikin aku tambah suka ketika aku udah mutusin
buat ngebiarin perasaanku berlalu gitu aja tanpa kamu ketahui...
Senyum
Aldo itu... Nadya bakal kangen tidak, ya, kalau misalnya nanti
mereka...
Nadya
menggeleng. Ia pun tersenyum pahit karena merasa bahwa dirinya terlalu banyak
berpikir. Lagi pula, dari awal semua ini memang sudah aneh kok. Jadi,
kalau ending-nya tidak bagus... Ya wajar...
Nadya
baru saja kembali melihat ke depan saat ternyata tim basket sudah
menyelesaikan quarter pertama. Mereka istirahat sejenak dan
mulai mengambil handuk beserta air minum mereka. Saat Nadya menoleh ke kanan, ia
melihat sesuatu yang cukup mengherankan.
Ia
melihat Aldo. Namun...Aldo tidak sendiri. Aldo sedang
berbicara dengan Syakila. Tanpa sadar, Nadya jadi kembali sedih. Aldo sedang
berbicara dengan serius pada Syakila dan tampaknya Syakila sedang mendengarkan
Aldo dengan ekspresi terkejut.
Sementara
itu, banyak orang di dekat Nadya yang mulai berceloteh.
"Eh...liat,
Aldo sama Syakila kayaknya sekarang akrab banget, ya..."
"Iya,
ya. Mereka cocok banget sebenernya... Pangeran sama Primadonna
sekolah!"
Nadya
mengalihkan pandangannya dari Aldo. Cewek itu menunduk dan menarik napasnya
sejenak. Setelah itu, ia memasang sebuah senyuman di wajahnya saat kembali
menatap ke depan. Saat itulah ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya.
“Nad!”
"Ya?"
jawab Nadya refleks sembari langsung menoleh ke asal suara, yaitu ke sebelah
kirinya. Mata Nadya agak melebar saat mendapati bahwa yang memanggilnya itu
adalah Farid, teman sekelasnya.
"Ngapa,
Rid?"
Farid
menatap Nadya dengan rasa ingin tahu. Cowok berkacamata yang dijuluki 'Kembaran
Afgan' itu lantas bertanya, "Lo liat buku Bahasa Inggris gue nggak? Tadi
pas istirahat lo sempet main ke deket jendela, ‘kan? Ada buku gue nggak di situ,
Nad?"
Nadya
menyatukan alisnya—berpikir sejenak—sebelum berkata, "Nggak, Rid, gue
nggak liat. Setau gue tadi nggak ada buku di situ. Lo taruh di mana?"
"Ya
di meja gue. Meja gue kan ada di deket jendela itu. Tempat di mana lo sama Gita
berdiri tadi pas istirahat."
"Waduh…nggak
tau gue, Rid. Nggak liat..." Nadya menjawab dengan cemas. Dahinya
berkerut. Ia tahu benar bagaimana rasanya kehilangan buku.
"Okelah.
Ya udah, thanks ya. Gue balik ke kelas dulu, mau nyari
lagi," pamit Farid, lalu Nadya mengangguk cepat. Cowok itu langsung
berbalik dan pergi meninggalkan Nadya.
Saat
Nadya kembali menatap ke depan, ia baru sadar bahwa suasana tetap ribut meski
tim basket sedang istirahat. Wajar saja, hal itu pasti ditemui di setiap
sekolah yang memiliki tim basket yang hebat. Banyak orang yang ingin mencari
perhatian kepada anggota tim basket yang ganteng. Di sekolah mereka,
anggota-anggota tim basketnya juga keren-keren, tetapi tak ada yang sekeren Aldo
Gabriel Nugraha. Punya pacar agaknya tak menjadi kendala buat para fans meskipun
mereka tidak seperti fans di film-film yang nge-bully
pacar Aldo.
Akan
tetapi, Nadya mendadak merasa aneh. Sepertinya, ada seseorang di sebelah
kanannya; orang itu sedang ada di dekatnya dan melihatnya dengan saksama. Ia
juga mendengar banyak cewek yang tengah menahan teriakan di dekatnya. Ia jadi
mengernyitkan dahi; ia langsung menoleh ke samping kanannya.
Betapa
terkejutnya Nadya saat ia melihat bahwa,
…di
sana ada Aldo.
Berdiri
sekitar satu langkah darinya, diam menatapnya dengan mata yang
menyipit.
Tubuh
Nadya mematung. Mata Nadya melebar; mulut Nadya terbuka. Lidah Nadya kelu tetapi
Nadya sangat ingin berbicara barangkali sepatah kata saja.
Sayangnya, semuanya
hanyalah sebatas angan. Belum sempat Nadya membuka mulutnya untuk berbicara, ia
terperanjat saat tubuhnya mendadak ditarik. Lebih tepatnya, Aldo menarik
tangannya dan mengajaknya pergi dari lapangan basket itu dengan langkah yang
sama sekali tidak santai.
Dari
belakang, Nadya hanya bisa melihat punggung Aldo, tetapi saat itu punggung Aldo
tampak begitu...aneh.
Tidak
seperti biasanya. Terasa dingin...
Semua
orang hampir berteriak histeris, bahkan ada yang menyoraki sepasang kekasih itu
karena mengira bahwa itu adalah salah satu adegan romantis. Kenyataannya Nadya
sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi.
Langkah
Aldo begitu cepat. Untuk mengimbangi langkah Aldo dan mengurangi rasa sakit
pada tangannya yang digenggam erat oleh Aldo, Nadya harus berlari. Nadya terus
menatap Aldo dengan ekspresi panik.
"Aldo?!
Aldo—ada apa?!" Nadya sedikit mengeraskan suaranya karena ia pikir
Aldo mungkin takkan mendengarnya. Namun, Aldo tetap diam; ia seolah tak
mendengar apa yang Nadya katakan sama sekali.
"Aldo?
Aldo—kenap—" Kalimat Nadya terpotong begitu ia sadar bahwa
mereka sudah berbelok di koridor. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di
depan pintu ruang OSIS. Nadya mengernyitkan dahinya dan ia menganga.
"A—"
Baru saja Nadya membuka mulutnya ingin berbicara, kata-katanya kembali
terpotong saat Aldo dengan cepat berhasil membuka kunci pintu ruang OSIS. Nadya
tanpa sadar menahan napasnya saat Aldo menariknya masuk ke ruang OSIS. Aldo
lalu menutup pintu itu dengan kuat dan menguncinya.
Belum
selesai di sana, Nadya kembali merasa jantungnya seperti akan lepas saat tiba-tiba
Aldo mendorongnya hingga punggungnya menabrak pintu masuk ruangan itu. Nadya
jadi bersandar di sana
Tidak
ada siapa-siapa di ruangan itu, kecuali ia dan sang Ketua OSIS.
Tatapan
mata mereka langsung berserobok.
Degupan
jantung Nadya menggila. Tubuh mereka kini hanya terpisahkan
oleh pakaian yang mereka kenakan. Saking sepinya ruangan itu, Nadya bahkan bisa
mendengar degupan jantungnya dengan jelas. Tubuh Nadya mulai gemetar.
Tangan
kanan Aldo bertumpu di dinding samping kepala Nadya, mungkin sedikit ke atas
karena tentu saja Aldo lebih tinggi daripada Nadya. Aldo itu keturunan
bule. Dia tinggi dan jangan lupakan bahwa dia adalah pemain basket.
Sementara itu, tangan kiri Aldo ada di bahu kanan Nadya. Belum sempat Nadya mencerna
situasi yang sedang terjadi sekarang, Nadya sudah kembali mematung.
…sebab tiga
detik setelah tatapan mata mereka berserobok, Aldo langsung mencium Nadya.
Tepat di
bibirnya.
Mata
Nadya membulat sempurna. Tubuhnya tak mampu bergerak, bahkan mungkin instruksi dari
otaknya untuk bergerak itu munculnya sangat lambat. Nadya sendiri lupa bernapas;
ia benar-benar sama seperti patung yang tak mampu melakukan apa pun. Sementara
itu, ciuman Aldo sama sekali tidak lembut dan tidak santai.
Cepat.
Menekan. Menuntut. Mendominasi. Liar.
Ini...
Bukan Aldo...
Siapa
ini?
Nadya
memejamkan matanya kuat-kuat dan mulai mendorong lengan Aldo agar Aldo
melepaskan ciuman itu barang sejenak, tetapi semuanya sia-sia. Nadya ingin
sekali melihat wajah Aldo, karena orang yang menciumnya saat ini sama sekali
tidak terasa seperti Aldo yang ia kenal. Namun, percuma saja. Sebelah tangan
Aldo kini malah memegang pinggang Nadya dan sebelahnya lagi beralih memegang
leher Nadya agar ciuman itu tidak terganggu ataupun terlepas.
Nadya
berkali-kali mencoba untuk melepaskan tubuh Aldo yang lebih besar dan lebih tinggi
darinya itu; ia juga tahu bahwa tim basket sebentar lagi akan memulai quarter kedua.
Nadya bahkan sempat menarik seragam basket Aldo meskipun hal itu tak berhasil
mengacaukan Aldo sedikit pun.
Wangi
parfum Aldo yang khas itu menguar di sekeliling Nadya hingga Nadya sempat
merasa bahwa ia terhipnotis. Aldo berkeringat, rambutnya acak-acakan, tetapi ia
tetap wangi. Semua yang ada di kepala Nadya saat ini adalah Aldo. Aldo, yang
sedang menciumnya dan memenjarakannya tanpa membiarkan ada ruang yang tersisa
di antara mereka. Penjara yang rasanya tak mungkin bisa terbuka
begitu saja karena Nadya bukanlah orang yang mengendalikan penjara
itu.
Sesekali
Nadya berhasil bebas dari ciuman Aldo yang sangat tak terkendali itu. Nadya
bernapas secepat mungkin dan bersuara, "Aldo—"
Namun,
perkataan Nadya kembali dipotong oleh ciuman Aldo.
Nadya
mulai merasa kepalanya berputar. Ciuman Aldo semakin dalam, bahkan Nadya tahu
Aldo memainkan lidahnya di dalam mulut Nadya, mengambil kesempatan saat Nadya
berusaha untuk melepaskan diri dan berbicara padanya.
Ini
sama sekali bukan Aldo! Apa yang terjadi?!
Tatkala
ciuman itu telah berlangsung selama dua menit, Nadya mulai merasa sesak. Ia
butuh oksigen dan saat itulah Aldo melepaskannya. Nadya langsung menunduk dan terbatuk-batuk,
lalu dengan cepat cewek itu menarik napasnya; ia menghirup oksigen sebanyak
mungkin.
Degupan
jantung Nadya menggila. Itu...ciuman pertama Nadya...
Aldo,
cinta pertamanya, telah mengambil ciuman pertamanya.
Setelah
sudah bisa bernapas dengan normal, Nadya mulai merasakan sakit di sekitar
bibirnya. Sepertinya, ada luka lecet di bibirnya. Ia ingat Aldo sempat
menggigit bagian itu. Nadya langsung mendongak perlahan...untuk
menatap Aldo.
Di
dalam tatapan Nadya terdapat rasa heran, kaget, dan tak percaya. Semua itu
bercampur menjadi satu.
Begitu
Nadya berhasil menatap mata Aldo, Nadya langsung melebarkan matanya karena saat
itu mata Aldo sama sekali tidak memancarkan binar yang selama
ini selalu Nadya lihat. Mata Aldo yang jernih itu kehilangan binarnya.
Mata itu justru berkilat penuh amarah. Ada perasaan yang terkubur jauh
di dasar hati cowok itu.
Tak
ada senyum tulus yang selama ini selalu Nadya lihat. Yang tersisa hanyalah aura
dingin yang seolah membekukan Nadya, membuat Nadya bergidik. Akan tetapi, Nadya
berusaha untuk menepis semua itu. Lagi pula, ia lebih merasa
heran dan terkejut. Ia akhir-akhir ini juga ingin tahu tentang Aldo. Jadi,
perasaan takut itu tertutupi.
Meskipun
begitu, saat ini…Aldo terlihat begitu mengerikan.
Aldo
terlihat...
Sangat
berbahaya...
Nadya
berhenti berpikir saat tiba-tiba jemari Aldo menyentuh dagu Nadya
pelan. Perlakuan kecil itu membuat Nadya jadi benar-benar fokus kepada Aldo; ia
memperhatikan Aldo seolah satu-satunya hal yang harus ia pedulikan adalah Aldo.
Mata
Aldo tampak semakin menggelap. Rahang Aldo mengeras; baru kali ini Nadya
melihat Aldo memasang wajah seperti itu. Aldo tampak begitu dingin. Nadya
merasa ludahnya sulit untuk diteguk. Tatapan mata Aldo yang dingin itu serasa
bisa mengulitinya.
Di
antara sikap Aldo yang penuh misteri itu, Nadya lalu mendengar Aldo
berbicara dengan lirih.
"Kamu mau
tau semua tentang aku, 'kan?" []
No comments:
Post a Comment