Chapter 12 :
Thank
You for Accepting Me
******
Violette:
SETELAH
mengucapkan
kalimat itu, aku pun menunduk.
Aku tahu bahwa aku masih belum siap
menikah; bagiku, ini terlalu cepat. Sebenarnya, aku tahu bahwa aku sangat beruntung
karena telah mendapatkan seorang pria yang sangat berkarisma. Namun, tatkala
aku berpikir bahwa mendapatkan hati Justin itu mustahil, dia justru mengajakku
menikah.
Aku sekali lagi berpikir. Mungkin,
bila aku bukanlah teman kecilnya ataupun executive assistant-nya,
aku takkan bisa meraihnya. Mungkin, ini semua bisa terjadi karena aku selalu
dekat dengannya. Biasanya, cinta datang karena kita sering menghabiskan waktu
bersama.
Aku tahu bahwa dari kalimatku
barusan, secara tak langsung aku telah menyetujui pernikahan ini. Sebuah
pernikahan dengan seseorang yang kucintai, seorang pria yang selalu kubanggakan.
Namun, apakah keputusanku ini benar?
Ya Tuhan. Berarti, bulan depan aku
benar-benar akan menikah dengan...Justin?
Tiba-tiba, aku merasa ada sepasang lengan
yang kekar mulai memeluk pinggangku. Aku spontan mendongak; ujung-ujungnya, aku
kembali terpesona pada wajahnya yang tampan serta bola mata berwarna lelehan
emasnya yang selalu berhasil membuatku terpaku serta kehilangan kendaliku.
“Terima kasih, Violette.”
Dia mendekapku dengan erat. Ia
bernapas di antara helaian rambutku dan mencium kepalaku.
Pikiranku melanglang buana selagi bersandar
pada dada bidangnya.
Apakah semuanya akan baik-baik
saja? Dengan ini, kami tinggal menunggu waktu. Paman Locardo sudah menyetujui
pernikahan kami. Selain itu, mempersiapkan pesta pernikahan bukanlah hal yang
sulit bagi seorang miliarder seperti Justin.
“Hm…” Aku berdeham pelan.
Justin mengusap punggungku.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Aku kontan mengerjap. “Tidak
apa-apa...apanya?”
“Kau bilang, kau belum siap.”
Aku menghela napas, lalu menjawab,
“Aku sudah memikirkannya dengan matang. Terima kasih karena telah memercayaiku,
Justin.”
Aku tahu kalau dia tengah tersenyum
di sisi kepalaku. “Kau cemburu, hm?”
Mataku langsung membelalak.
“Ma—maksudmu?”
“Well, aku sampai berkendara dengan
kecepatan penuh karena kau mendesakku untuk pulang. Sepertinya, itu terjadi
karena kau mendengar suara Elika.” Dia tertawa kecil, bermaksud mengejekku. Mataku
spontan mendelik.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?!
Lagi pula, apa yang kau lakukan dengannya di gym itu, sementara ada aku
di sini?!!” Aku memukuli bahunya, tetapi dia tampak biasa saja dan terus
tersenyum miring. Tahulah, tak mungkin dia merasa sakit karena pukulanku.
“Aku harus berterima kasih pada
Elika,” ujarnya.
Hah?
Aku langsung mengernyitkan dahi.
Justin melepas pelukannya dan mulai
memegangi bahuku. Matanya menatapku dengan lembut. “Aku harus berterima kasih padanya.
Soalnya, sejak dia bersuara di telepon tadi, kau langsung menerima lamaranku.”
Mataku membelalak. Aku pun menunduk;
pipiku memanas seiring dengan dia yang kembali memelukku.
Walaupun merasa agak kesal padanya,
ujung-ujungnya aku tersenyum. Beberapa detik lamanya, kami hanya diam. Namun, akhirnya
aku membuka suara.
“Apakah kau
benar-benar...menginginkanku?” tanyaku gugup.
Dia bernapas samar, lalu menjawab,
“Ya, Nonaku yang cemburuan.”
Ah, sial... Pipiku memerah.
Kupejamkan mataku kuat-kuat; aku gugup
sekali. Aku juga terlalu malu untuk melihat wajahnya.
“Haruskah kita membeli baju
pernikahan itu sekarang?” tanyanya.
Aku kontan membuka mata, lalu
meneguk ludahku. Wait, what?!
“Se—sekarang?” tanyaku kaget.
“Bulan depan itu bukanlah waktu
yang lama, Vio,” ujarnya dengan suara lembut.
Aku menggigit bibir; jantungku
berdebar. Aku seakan membisu. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Ayo pergi ke butik pengantin
besok.”
“Kau...tahu di mana butiknya?”
tanyaku. Dia kembali melepaskan pelukannya.
“Hm,” dehamnya.
Ajaib sekali. Dia ternyata tahu di
mana butik yang tepat untuk mencari gaun pernikahan.
Mataku sedikit melebar karena
kaget. Namun, tiga detik kemudian…aku menatapnya dengan lembut. Kutelusuri
setiap inci dari wajah tampannya. Garis rahangnya yang tajam, hidungnya yang
mancung, matanya yang tajam seperti elang…
Aku serasa dikendalikan oleh pesona
bola matanya yang menatapku dengan lekat. Menyelami lautan berwarna
keemasan itu, masuk jauh ke sana, menembus hingga ke jiwanya…seolah
waktu terhenti begitu saja tatkala aku memandang tepat ke kedua matanya.
Satu-satunya yang kuingat adalah:
aku benar-benar terpaku.
“Aku mencintaimu...” Begitu
mudahnya kata-kata itu terucap; mulutku mengeluarkan dua kata itu seakan-akan
mereka adalah air yang meluber dari mulutku. Agaknya, aku sudah tak bisa
mengendalikan anggota tubuhku sendiri.
Karena merasa tenggelam di dalam
kedua bola mata Justin, aku sama sekali tak sadar bahwa Justin telah mengecup
bibirku dengan lembut. Kedua tangannya telah memegang pinggangku dengan erat.
Dia, pria yang akan memberikanku
namanya, kini sudah mengendalikanku sepenuhnya. Aku tahu bahwa dia sempat
tersenyum di tengah ciuman kami, tetapi aku…tak ingin memedulikan itu saat ini.
Aku ingin menciumnya juga.
******
Author:
Seorang perempuan yang berambut dark
golden blonde itu menghela napasnya berkali-kali. Dia memakai pakaian yang
mewah. Outer yang ia pakai itu memiliki kerah yang berbulu. Akan tetapi,
memakai pakaian yang bagus tidak selalu menjadi pertanda bahwa suasana hatimu
sedang bagus.
Kali ini, perempuan itu merasa
kalau waktu di sekitarnya mendadak terhenti begitu saja. Pikirannya fokus
kepada satu hal, yakni Justin Alexander.
Baginya, tidak ada yang
berhak atas Justin selain dirinya. Baginya, Justin itu miliknya. Siapa
pun tak berhak untuk dekat dengan CEO itu, kecuali dirinya.
Tadi, Elika baru saja keluar
beberapa langkah dari lift ketika tiba-tiba ia mendengar semua percakapan di
antara Justin dan Violette. Lift itu berada tak jauh dari pintu unit apartemen
Justin yang terbuka. Maka dari itu, Elika bisa mendengar setidaknya tiga per
empat dari isi pembicaraan mereka.
Elika menggertakkan giginya.
Violette...gadis itu ternyata tidur
di apartemen Justin, pria yang Elika puja.
Elika mengepalkan tangannya,
mencengkeram tali handbag-nya. Tangan kirinya mengusap rambutnya dengan frustrasi.
Ia bernapas seperti baru saja terlepas dari tumpukan bantal yang membekap
hidung dan mulutnya; darahnya serasa mendidih dan kepalanya serasa mau meledak.
Waktu bagaikan terhenti ketika ia
mendengar pembicaraan tentang gaun pernikahan ataupun lamaran yang—sialan—mereka
bicarakan.
Dalam waktu singkat, Elika langsung
berang dan turun ke lobi gedung apartemen itu dengan mengentak-entakkan
high heels-nya. Ia menggeram saat ia berdiri di lift
sendirian. Beberapa detik kemudian, ia langsung mengambil ponselnya yang ada di
dalam tasnya dan menelepon seseorang.
Tiga detik kemudian, panggilan telepon
itu akhirnya diangkat.
“Pindahkan lelaki tua itu!! Siksa
dia—bukan, habisi saja dia!” teriak Elika. Ia sudah kalap. “SIKSA DIA
SEKARANG JUGA!!”
Elika langsung mematikan panggilan
telepon itu. Dia lalu keluar dari lift dengan langkah yang tergesa-gesa seraya mencengkeram
ponselnya.
“Kau akan menyesal. Aku akan
menghancurkanmu,” ujar Elika pelan, tetapi terdengar begitu tajam. Rahangnya
terkatup. Dia mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.
Justin Alexander, pria yang selalu menjadi
bahan pembicaraan dalam dunia bisnis itu, seharusnya tidak menikahi perempuan
yang sama sekali tak ada kelebihan seperti Violette. Siapa pun tidak pantas
menikah dengan Justin, kecuali Elika.
******
Hari ini, seperti biasa…Violette
dan Justin disibukkan oleh pekerjaan mereka.
Sekarang sudah jam empat sore
(lewat beberapa menit) dan Violette mendadak mengerang. Jadi, ia pun mendongak
dan memijit tengkuknya sendiri. Entah sudah berapa lama ia berkutat dengan
tumpukan kertas yang ada di atas mejanya. Violette menoleh sejenak ke sebelah
kiri dan menemukan Justin yang masih fokus menatap layar laptopnya. Pria itu
tampak berpikir sangat keras akhir-akhir ini, mungkin karena proyek barunya benar-benar
istimewa dan menjanjikan.
Dia selalu terlihat memesona. Walau
dia berada dalam posisi itu sampai sore atau malam hari pun, dia akan selalu
terlihat menawan. Hairstyle-nya juga…keren sekali.
Ah, Violette berpikir seperti itu
seolah-olah mereka masih anak sekolah menengah.
Anyway, his jawline is so damn
sharp.
Violette tersenyum. Gadis itu pun
kembali menatap mejanya sendiri.
“Apa?”
Violette tersentak, ia kontan
menatap ke asal suara. Itu adalah suara Justin.
“Ah—tidak, tidak.” Violette
menggeleng cepat.
Justin hanya diam.
“Uhh… Justin,” panggil Violette.
Tidak ada jawaban.
“Justin,” panggil Violette sekali
lagi.
“Hm.”
“Aku...lapar.”
Violette terlihat mengelus perutnya;
dahi gadis itu berkerut.
“Aku mau pergi ke suatu tempat. Kau
mau ikut?” tanya Justin tiba-tiba. Violette lantas memiringkan kepalanya. “Ke
mana?”
“Di sana kau mungkin bisa makan
makanan rumahan. Bersiaplah,” perintah Justin. Pria itu pun menutup laptopnya
dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas kerjanya. Melihat itu,
Violette tercengang. Akan tetapi, dua detik kemudian, Violette pun langsung
membereskan barang-barangnya dengan cepat karena Justin sudah hampir selesai. Namun,
ketika selesai, pria itu tidak membuang-buang waktu; dia segera berjalan ke
luar dengan sebelah tangannya yang dimasukkan ke saku celana. Hal itu tentu
saja membuat Violette jadi terbirit-birit mengejarnya.
Basically, Violette berlari kencang hingga
akhirnya dia berhasil berjalan di belakang Justin. Justin ini sebenarnya mau
mengajaknya atau mau meninggalkannya sendirian di kantor, sih?!
Keduanya pun turun ke lantai bawah
dengan lift. Di lobi, seluruh karyawan mulai menunduk hormat dan
menyapa Justin. Namun, ketika Violette menatap wajah Justin—ingin melihat
reaksi pria itu—yang Violette temukan hanyalah…
Oh.
Es batu.
Ekhem.
Anyway, Justin sebenarnya mau pergi ke
mana, ya? Katanya, Violette mungkin bisa makan makanan rumahan di sana.
Benarkah?
Violette akhirnya masuk ke mobil
Range Rover milik Justin. Well, kali ini Justin membawa Range Rover-nya
dan entah apa lagi yang akan dia bawa besok. Sebenarnya, berapa jumlah seluruh mobilnya?
Lagi pula, ya ampun. Justin tidak
mengatakan apa pun sejak mereka berada di lift sampai sekarang, saat
mobil ini sudah berjalan lumayan jauh.
Violette meneguk ludahnya dan mulai
memberanikan diri untuk bertanya. “Kita...mau ke mana?”
Justin tidak menjawab Violette sama
sekali. Akhirnya, Violette memilih untuk diam. Rasanya, percuma saja dia berbicara.
Mau sampai mulutnya berbusa pun, mungkin Justin takkan menjawabnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian,
mobil itu pun berhenti.
Mobil itu berhenti di depan sebuah
rumah mewah klasik. Rumah itu tinggi; gayanya seperti rumah-rumah mewah Belanda.
Karena penasaran, gadis itu lantas turun dari mobil, hampir bersamaan dengan
Justin yang baru saja membuka pintu mobil. Ketika mereka berdua sudah
benar-benar menutup pintu mobil, Justin mulai menatap rumah itu dengan tatapan
yang sulit diartikan.
Tatapan matanya begitu lekat…seolah-olah
tengah membaca situasi. Tampaknya, ia menganggap ini sebagai beban. Sorot
matanya seakan-akan menunjukkan perasaannya yang berada di antara tak ingin
dan harus.
Sadar bahwa Justin hanya diam,
Violette pun menoleh kepada pria itu dan melihat pria itu tengah mengatupkan
rahangnya. Violette kemudian menurunkan pandangannya, melihat ke tangan Justin yang
ternyata sedang mengepal.
Violette memilih untuk mendekat
meskipun agaknya reaksi Justin itu agak aneh. Perilaku Justin telah sukses
membuatnya penasaran sekaligus takut.
Akan tetapi, well…rasa
penasaran sering kali mengalahkan semuanya.
Violette mendekati Justin dan
memegang lengan pria itu. Bola mata biru milik Violette terus menyelisik wajah
Justin; pria terlihat sedang menahan emosinya.
“What’s wrong with you?” tanya Violette heran. “Where
are we?”
Violette mengernyitkan dahi tatkala
melihat jakun Justin yang naik turun. Pria itu mengembuskan napasnya pelan. Mungkin,
dia tengah berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri walaupun hal itu sangat
sulit.
“Ayo.” Justin menurunkan tangan
Violette yang sebelumnya sedang memegang lengannya, membuat tangan gadis itu kini
berada di genggamannya. Sedetik kemudian, dia pun berjalan melewati halaman
rumah itu bersama Violette. Dia akhirnya membunyikan bel.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah
itu mulai terbuka. Ternyata, pintu itu dibuka oleh seorang wanita paruh baya
yang rambutnya ikal dan diikat dengan gaya ekor kuda.
“Ya Tuhan!” Wanita itu tampak
terkejut, matanya membulat sempurna. “Justin—oh Tuhanku, kau di sini?!”
Violette memandangi Justin yang
sekarang sedikit menunduk. Namun, sesaat setelah itu, Justin pun menghela
napasnya dan kembali menatap wanita itu yang sampai sekarang matanya tak
kunjung berkedip. Wanita itu menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Lama tidak bertemu,” jawab Justin.
Wait.
Siapa...wanita itu?
Wanita itu kini benar-benar
mengeluarkan air matanya. “Kau benar-benar datang kemari, setelah semuanya... Bagaimana
keadaanmu, hmm? Kau baik- baik saja? Oh Tuhan…”
Wanita itu tersadar, lalu menyeka
air matanya. Ia langsung menarik lengan Justin dengan semangat agar Justin
masuk ke rumah itu; ia membawa Justin dan Violette hingga duduk di ruang
tamunya. Justin sedari tadi hanya mengatupkan rahangnya.
“Locardo!! Sayang, kemarilah!!
Oh, God!!! Justin...dia berkunjung kemari!!” Violette melihat wanita itu
mulai meneriakkan nama Locardo sembari berlari ke bagian dalam rumah itu.
Namun, Violette menyadari satu hal. Mata Violette kontan membelalak.
Itu…istrinya Paman Locardo? Berarti,
ini adalah rumah Paman Locardo? Oh, astaga.
Wait, tetapi…mengapa Justin terlihat
tidak suka berkunjung ke sini? Wajahnya tak menunjukkan rasa senang atau rindu
sama sekali. Ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu saat Justin terakhir kali
berkunjung ke sini?
“Justin...” Violette memegangi
tangan Justin, sementara pria itu tak mengatakan apa pun. Dia hanya terlihat
berpikir keras sedari tadi.
“Justin,” panggil Violette. “ini
rumah pamanmu, ya? Kau...kenapa? Tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja.”
“Mereka terlihat sangat
merindukanmu. Semangatlah,” bujuk Violette. “Um...tetapi mengapa kau membawaku
ke sini?”
Justin diam. Pria itu hanya
menghela napas.
“Justin...”
Justin tetap diam.
“Jika kau tidak enak badan,
sebaiknya—"
“Kau hanya perlu diam, Violette.”
Violette kontan terdiam. Gadis itu
spontan menoleh kepada Justin seraya mengernyitkan dahinya.
“Ap—"
“Ini sangat sulit bagiku.”
Tunggu.
Sulit?
“Sulit? Kau kenapa, sih? Kau
tak pernah menceritakan apa pun padaku, kau orang yang sangat sulit ditebak,” ujar
Violette. “Lagi pula, mengapa kau terlihat marah pada Paman Locardo?”
Justin hanya meneguk ludahnya.
Sedari tadi dia hanya bungkam seolah-olah tengah menahan segala hal yang
berkecamuk di dalam benaknya.
“Justin,” panggil Violette sekali
lagi.
“Kau tak perlu tahu. Diamlah, kita
hanya sebentar di sini,” jawab Justin dingin.
Violette semakin mengernyitkan
dahinya. “Bukan. Maksudku, mengapa kau seperti ini? Justin, kau tahu—"
Kata-kata Violette terpotong karena
tiba-tiba gadis itu mendengar langkah kaki yang mendekat.
“Kau Violette, ‘kan?”
Violette menoleh ke asal suara dan
menemukan Paman dan Bibi Locardo yang sedang berjalan mendekat. Bibi Locardo—orang
yang bertanya barusan—tampak sedang menggendong seorang anak laki-laki berumur sekitar
empat tahun dan anak itu terlihat benar-benar tampan.
Violette meneguk ludah. Sepertinya,
Paman Locardo memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Paman Locardo beserta istri dan
anaknya akhirnya duduk berseberangan dengan Justin dan Violette.
“Ah...ya!” jawab Violette. “Senang
bertemu denganmu, Bibi Locardo...dan juga Mr. Locardo.”
Bibi Locardo tersenyum. “Kau calon
istrinya Justin, ya?”
Violette langsung kaget dan gugup.
Matanya membulat.
“Ah...haha. Ya Tuhan.” Bibi Locardo
tampak mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Violette tersentak saat
menyaksikan semua itu, tetapi Bibi Locardo langsung mengangkat tangannya
pertanda bahwa ia tak ingin dikhawatirkan.
“Ya ampun, mungkin ini karena aku
sangat senang,” ujar Bibi Locardo. Violette jadi tertawa hambar karena dia sama
sekali tak mengerti. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka sebelumnya.
“Justin, ayo kita bicara sebentar.
Kau kemari karena ingin membicarakan sesuatu, ‘kan?” tanya Paman Locardo.
Setelah lama terdiam, Justin
akhirnya mengangguk satu kali. Justin langsung mengikuti pamannya;
mereka pergi ke lorong yang ada di sisi ruangan itu dan akhirnya masuk ke sebuah
ruangan.
Violette kembali menoleh kepada Bibi
Locardo setelah menyaksikan kepergian Justin.
Bibi Locardo melepaskan anaknya
dari gendongannya dan membiarkan anak itu berlari ke depan televisi yang sedari
tadi dihidupkan. Anak itu berbaring di sebuah permadani yang terbentang di
depan televisi tersebut. Violette melihat anak itu sejenak, lalu kembali
menatap Bibi Locardo yang ternyata sudah tersenyum kepadanya.
“Kau…bekerja dengan Justin, ya?”
tanya Bibi Locardo tiba-tiba. Violette mengerjap.
“Y—Ya, Mrs. Locardo.”
Bibi Locardo mengangguk. “Panggil
aku Bibi saja. Aku adalah bibinya Justin dan sebentar lagi kita akan menjadi
keluarga.”
Violette menunduk dan mengangguk
pelan.
“Kau...merasakannya?” tanya Bibi
Locardo pelan. Violette mengernyitkan dahinya, lalu kembali menatap wanita itu.
“Merasakan...apa, Bibi?”
tanya Violette.
“Dia masih marah.”
Violette meneguk ludahnya. Mata
gadis itu melebar karena ia menyadari sesuatu.
Berarti, Justin memang sedang
marah.
“Ah...itu...” Sumpah,
Violette jadi bingung mau merespons bagaimana. Ini adalah masalah internal
keluarga Justin.
Bibi Locardo akhirnya menghela
napas. “Aku yakin dia takkan memberitahumu. Dia sangat pintar menyembunyikan
sesuatu yang membuatnya sakit hati.”
Violette mengerutkan dahi. Sakit
hati?
“Apa...maksud Bibi?” tanya
Violette.
“Tiga tahun yang lalu, ketika dia
masih tinggal di sini bersama kami, keadaannya sangat kacau,” jawab Bibi
Locardo sembari menghela napas. Tatapannya jauh sekali…seolah-olah pergi
ke masa lalu. Violette mendengarkannya dengan saksama.
“Dia belum bisa menangani seluruh emosinya.
Sesuatu telah terjadi kepadanya, tetapi dia tak pernah menceritakan apa pun
kepadaku ataupun kepada suamiku,” jelas Bibi Locardo.
Well. Tentu saja, itu karena Red Lion
adalah sesuatu yang harus dirahasiakan.
“Dia nyaris tak pernah berbicara.
Dia adalah pria yang sangat tertutup, sangat tersembunyi. Segala sesuatu
tentang dirinya selalu dia kunci rapat-rapat. Aku sering melihatnya duduk diam seraya
memikirkan sesuatu, berulang-ulang, sampai membuatnya sakit. Namun,
ketika sakit pun, ia tak pernah memberitahu kami apa yang sedang mengganggunya.
Aku merasa seperti...dia terus mementingkan logikanya, sementara perasaannya
benar-benar harus ia tangani saat itu.”
Bibi Locardo kembali menghela
napas. “Kau tahu, ada saatnya kita harus mementingkan perasaan ketimbang
logika.”
Violette mengangguk.
“Aku bertanya-tanya tentang
bagaimana hidupnya dan apa saja yang dia lakukan selama di Perancis, tetapi apa
yang harus kulakukan bila dia tak mau berbicara sama sekali? Kupikir kau akan tahu...karena
kau adalah teman lamanya. Suamiku menceritakan hal itu kepadaku,” kata Bibi
Locardo.
Violette terkejut. Ia langsung
menunduk dan jantungnya berdegup kencang. Ia tak mungkin mengatakan bahwa
dahulu ia dan Justin adalah anggota dari sebuah organisasi yang bernama Red
Lion, lalu Justin mengebom habis markas Red Lion. Tidak—tidak mungkin itu semua
Violette ungkapkan sebab agaknya Paman dan Bibi Locardo tak tahu sama sekali
soal Red Lion.
Hanya Nathanlah yang tahu soal Red
Lion.
Oh Tuhan. Violette jadi teringat
lagi dengan apa yang sedang menimpa Nathan...
“Itu... Umm… Kami...” ucap
Violette dengan gugup. Dia bingung bukan main.
“Suamiku akhirnya terinspirasi
untuk memberinya sebuah pekerjaan agar pikirannya teralih. Sejak itulah, dia
mulai magang di perusahaan kami dan akhirnya mengambil alih semua yang ada di
sana. Kau tahu, dia berhasil mengembangkan perusahaan itu hingga menjadi
perusahaan yang memiliki segala bidang usaha. Selain itu, segala produknya menyebar
dengan cepat ke seluruh dunia. Dia membangun ulang sistem kerja; dia melakukan
segala hal...dengan baik dan sangat cepat,” puji Bibi Locardo. Wanita
itu kembali mengeluarkan air mata. “Dia adalah orang yang sangat bisa
kau andalkan. Dia mengatasi pikirannya sendirian saat itu; dia terus
memperbaiki dan menguatkan dirinya hingga akhirnya dia bertemu denganmu. Selain
itu, agaknya dia benar-benar berubah karena sekarang dia sudah mau mengunjungi
kami.”
Alis Violette menyatu.
“Tapi Bibi…” ujar Violette. “Mengapa dia
tak mau menemui...kalian?”
“Ah.” Bibi Locardo melebarkan mata.
Wanita itu pun bercerita, “Awalnya, suamiku sangat marah pada Justin saat tahu
bahwa Justin mengunjungi berbagai kelab malam. Akhirnya, suamiku memilih untuk
segera menikahkannya dengan anak perempuan dari seorang pengusaha game kenalannya.
Justin sangat marah saat itu, apalagi mereka berdua sudah bertengkar hebat sebelumnya.
Mereka menghina satu sama lain dengan kejam. Namun, ternyata…pengusaha game itu
bukanlah orang yang baik. Sejak saat itu, suamiku mulai overprotective pada
Justin dan hubungan mereka akhirnya jadi semakin buruk. Justin membenci suamiku
sejak saat itu.”
Violette mengerutkan dahinya; dia
mendengarkan semuanya seraya berpikir keras.
“Aku benar-benar bahagia saat
melihat dia datang. Dia akhirnya datang, setelah sekian lama.” Bibi Locardo mulai
menangis. Violette kontan bangkit dari duduknya, mendekati Bibi Locardo, dan
langsung duduk bersimpuh di sebelah Bibi Locardo. Violette mencoba untuk menenangkan
wanita itu.
“Aku benar-benar minta maaf, Bibi,”
ujar Violette dengan penuh penyesalan.
Bibi Locardo sontak tertawa.
“Mengapa kau minta maaf, hm? Kaulah
yang membuatnya memutuskan untuk datang ke sini dan mengalahkan rasa bencinya kepada
kami. Terima kasih, Sayang...” Bibi Locardo mengusap puncak
kepala Violette yang sedang memperhatikannya dengan tatapan cemas. “Kau
berhasil menaklukkan hatinya yang sekeras baja dan sebeku es itu.”
Violette mencoba untuk menyangkal, “Ah—itu—Bibi,
aku...”
“Tidak, Violette,” ujar Bibi
Locardo seraya menggeleng. “Dia pasti berperang di dalam pikirannya sendiri, memilih
apakah ia harus datang ke sini dan menyelesaikan semua masalahnya atau tidak.
Dia sangat terbebani, tetapi pada akhirnya…ia memilih untuk kemari. Ia memilih
untuk menyelesaikan segalanya. Semua itu bisa terjadi karena dia ingin
membicarakan soal pernikahan kalian.”
Kedua mata Violette kontan melebar.
Jantungnya seolah-olah berhenti berdegup. Sesaat kemudian, matanya mulai berkaca-kaca.
“Selamat, ya...” ucap Bibi Locardo
pelan, lalu wanita itu memeluk Violette yang duduk bersimpuh di dekatnya.
“Selamat...atas pernikahan kalian. Jaga dia baik-baik, ya? Biarkan kasih
sayangmu mengalir padanya dan meluluhkan hatinya.”
Violette kini benar-benar menangis.
“Bibi...”
Bibi Locardo melepaskan pelukannya
dan kembali mengusap kepala Violette pelan. Wanita itu menyelipkan rambut
Violette ke belakang telinga gadis itu.
“Justin itu... sangat sulit
ditebak. Namun, jika kau sudah mengenal siapa dirinya, kau akan bisa
menebaknya selama-lamanya.”
Violette tercengang. Dia kontan
menatap Bibi Locardo yang kini sedang…tersenyum.
“Wanita biasanya lebih mementingkan
perasaan mereka, ‘kan? Namun, dalam proses untuk memahami dirinya, kuharap kau
akan lebih bersabar. Biarkan dia melakukan apa yang ingin ia lakukan sebagai
seorang pria. Selagi itu hal yang benar, kau harus mendukungnya. Kalaupun suatu
saat nanti perasaanmu mulai berkurang, percayalah, perasaan itu akan selalu
tumbuh kembali. Dampingi dia, berikan tempat ternyaman untuknya pulang.”
Violette langsung memeluk pinggang Bibi
Locardo dan menangis terisak-isak. Bibi Locardo tertawa renyah.
“Sudah, sudah... Mau jadi pengantin
baru kok malah menangis? Berjanjilah bahwa kau akan menjadi istri yang baik
untuknya. Jagalah pria yang dingin dan kejam itu.”
Mendengar itu, Violette tiba-tiba mengikik
geli.
“Bibi, sepertinya kau tahu bahwa
dia kejam.”
“Tentu saja aku tahu. Dia
keponakanku,” jawab Bibi Locardo sembari tertawa.
Violette ikut tertawa.
Ya. Mungkin inilah yang terbaik. Mendampingi
Justin...dan membiarkan semua perasaan itu tetap tumbuh dengan mendukung pria
itu sebaik mungkin. Pernikahan tidaklah mudah; banyak rintangan yang akan datang
di kemudian hari. Itu semua harus mereka hadapi bersama-sama.
“Mamaaa!!! Apa yang teljadi dengan
televicinya?!! Ma, ke mana kaltun kecukaanku?!!”
Bibi Locardo dan Violette langsung
tersentak. Mereka mulai melepaskan pelukan mereka, lalu melihat bocah yang
sedang berbaring di depan televisi. Televisi itu letaknya tak jauh dari sofa
yang Bibi Locardo duduki.
“Mamaa!!!!” teriak anak itu lagi.
“Mengapa kau malah menyalahkan
televisinya? Itu karena kartunnya sudah habis, ‘kan? Pergilah
mandi, Evan!!”
Tanpa mengatakan apa pun, Violette
berdiri. Dia mulai berjalan ke arah televisi, mendekati anak itu. Setelah
sampai di sana, dia pun berjongkok.
“Kau Evan?”
“Namanya Evan Roger Alexander,”
kata Bibi Locardo sembari tersenyum. Violette mengangguk.
“Namamu bagus sekali.” Violette
mengusap puncak kepala Evan sembari tersenyum.
“Panggil aku Logel,” jawab Evan
dengan ketus.
Violette mengernyitkan dahi.
Namun, Violette tersenyum kembali.
“Hm... Iya, iya. Kau tidak bisa mengucapkan ‘R’, ya?”
“Hei! Atu bica!!” protes anak itu.
“Aku bisa, Evan..” koreksi Violette, sedikit
menjaili Evan. Sepertinya, Evan adalah anak yang mudah kesal.
“Hei!!” teriak Evan. Violette
tertawa.
“Ya, maaf-maaf. Evan sangat tampan
hari ini,” puji Violette sembari mengedipkan sebelah matanya.
“Atu tidak mudah telgoda oleh
pelempuan,” kata Evan dengan angkuh.
“Oh... Iya, deh...” Violette
mengikik geli.
“Kak, Kakak mau menikah cama Paman
Justinku, ya? Kakak tidak cekci, loh. Awac, ya, kalau Paman Justinku malah-malah,”
peringat Evan.
Violette menganga. Wah, ternyata…Evan
juga bisa bilang kalau Violette tidak seksi, ya? Wah...rasanya...kok...Violette
ingin memukul kepala Justin sekarang juga?
Akhirnya, Violette berhenti
menganga, lalu berusaha untuk tersenyum. Violette mengacak rambut Evan
dan menghela napas. “Hmm... Evan juga bisa mengejek Kakak-yang-tidak-seksi-ini,
ya? Kau dan pamanmu mempunyai mata yang sangat jeli.”
Bibi Locardo menggeleng dan
mengikik geli tatkala mendengar percakapan antara Violette dan Evan.
“Ya jelaslah...” ujar Evan dengan
gaya angkuhnya. Violette hanya bisa tertawa kecil dan menggeleng. Ternyata, Justin
mewariskan sebagian besar sifatnya ke Evan.
“Kakak halus dandan tantik-tantik
pas atala nanti,” ucap Evan.
Ketika di acara? Oh…
“Ya, Evan. Terima kasih. Kau tampan
sekali,” goda Violette dan Evan malah tertawa terbahak-bahak.
Melihat itu, Bibi Locardo ikut tertawa.
Tak lama kemudian, Justin dan Paman
Locardo keluar dari ruangan mereka sebelumnya dan duduk kembali di sofa. Mereka
semua berkumpul di sana dan mulai membicarakan hari pernikahan Justin dan
Violette beserta semua persiapannya, termasuk semua jadwal atau kesibukan yang
harus diatur sebelum hari itu tiba. Setelah berdiskusi, mereka pun makan malam
dan akhirnya Justin dan Violette pulang dari rumah itu.
Ketika masuk ke mobil Justin dan
sedang memasang seat belt-nya, Violette mendadak meneguk ludahnya
dengan gugup.
Suasananya tiba-tiba terasa sangat
canggung; Violette tak tahu dari mana ia harus memulai pembicaraan. Hingga
akhirnya, mobil itu pun berjalan kembali. Lima menit kemudian, barulah Violette
mengepalkan tangannya dan oh, apakah ia harus melakukan itu tiap
kali ia ingin bertanya kepada Justin? Masalahnya, sepertinya sekarang bukan
waktu yang tepat untuk mengganggu Justin. Jadi, ia benar-benar dibingungkan
dengan suasana canggung ini.
“Justin...” panggil Violette.
Justin hanya diam.
Violette bersuara lagi, “Kau
baik-baik saja?”
“Hm.”
Ya Tuhan, akhirnya Justin menjawabnya.
Satu dari keajaiban dunia kali ini.
Violette menatap Justin dengan
penuh pengertian. “Kau masih marah dengan Paman Locardo?”
“Bibi memberitahumu.” Pertanyaan
Justin terdengar seperti pernyataan.
“Umm—iya,” jawab Violette dengan
gugup. “Bibi memberitahuku bahwa kau sedang marah pada Paman Locardo.”
“Sejauh apa yang kau tahu?” tanya
Justin dengan nada datar.
“Semuanya. Aku tahu semuanya,” ujar
Violette.
“Bibi yang menceritakannya padamu
atau kau yang ingin tahu?” tanya Justin.
“Bibi...menceritakannya padaku.”
Violette menunduk.
Justin mengembuskan napasnya dengan
lumayan kuat.
Violette kembali menatap Justin,
tetapi ekspresi wajahnya kini terlihat kesal. Dia pun mulai protes, “Kalau
tidak begitu, kau takkan memberitahu apa pun padaku, ‘kan? Rasanya, percuma
saja aku menjadi calon istrimu bila kenyataannya aku tak tahu apa-apa
tentangmu. Itu sangat menyakitkan untukku, kau tahu?! Apa kau pernah memikirkan
bagaimana perasaanku bila aku tak tahu apa-apa tentangmu, bahkan setelah aku
resmi menjadi istrimu kelak? Pernahkah kau memikirkan itu?!!”
Justin hanya diam.
“Tahukah kau? Setelah aku mendengar
semuanya dari Bibi, aku langsung merasa bahwa kau tak pernah menganggapku ada.
Soalnya, aku tak pernah menjadi tempatmu untuk bercerita. Aku tak peduli jika
sifatmu memang seperti itu, Justin, tetapi…apakah kau harus berbuat sejauh itu
hingga tak ingin menceritakan masalahmu sama sekali, bahkan pada keluargamu
sendiri? Kau membuat paman dan bibimu jadi menerka-nerka sendiri dan itu sangat
sulit! Kau adalah orang yang susah ditebak, jadi kumohon...” Suara Violette
mulai melemah. “Kumohon, jangan rahasiakan apa pun dariku. Kumohon, ubahlah sifatmu
itu meskipun sedikit. Kumohon, Justin...”
“Aku tak merahasiakan itu darimu,
Violette. Aku hanya merasa bahwa itu bukanlah hal yang harus kuingat, jadi aku
tak perlu memberitahukan itu padamu,” jawab Justin.
“Tapi menurutku itu perlu!!” balas
Violette.
Justin menghela napas.
“Jadi, kau mau memberitahuku
hal-hal yang menurutmu ‘perlu’ saja? Apakah kau hanya melihatku sebagai rekan
bisnismu?!” oceh Violette.
“Tenanglah, Violette,” ujar Justin
dingin.
“Aku tidak seperti kau yang selalu berusaha
untuk tenang meskipun hatiku sakit!!!” teriak Violette. Teriakan itu membuat
mobil Justin sontak menuju ke pinggir jalan dan langsung berhenti. Justin menghentikan
mobilnya secara paksa karena ada situasi yang memanas di dalam mobil
itu.
Justin mengatupkan rahangnya dan
mulai mencengkeram roda kemudi.
“Kau—jangan pernah biarkan hati dan
pikiranmu terbebani lagi,” ujar Violette dengan tegas; dadanya terasa sesak
karena hatinya sakit sekali. “Jangan pernah menanggung semuanya
sendirian. Aku tahu kalau kau adalah orang yang tangguh, tetapi juga kau harus melihat
perasaanmu sendiri. Penting untuk tahu mana yang kau bisa dan mana
yang kau tak bisa. Kau itu genius, tetapi percuma saja jika kau tak mampu
mengenali perasaanmu sendiri. Aku ingin kau lebih terbuka, Justin, kumohon...”
“Menurutmu, apakah selama ini aku
selalu melakukan itu?” tanya Justin pada akhirnya dengan suara beratnya.
Mata Violette melebar. “Ya, Justin,
itulah yang selalu kau lakukan selama ini. Paman Locardo mungkin memang bersalah
saat itu, tetapi kau juga salah paham.”
“Kau menyalahkanku?” tanya Justin,
menatap Violette seraya tersenyum sinis, mengunci Violette tepat ketika dia
menoleh.
Violette membelalakkan mata.
“Paman Locardo itu sangat
menyayangimu! Dia marah padamu karena dia overprotective terhadapmu,”
balas Violette.
“Kau pikir aku memerlukan sikap overprotective-nya
itu?” Justin menatap Violette dengan mata yang menyipit tajam.
“Justin...” Violette menghela
napas. “Setidaknya jangan marah padanya. Jangan mementingkan dirimu sendiri.”
“Hari ini, aku sudah berbicara dengan
baik padanya, Violette. Aku sedikit memikirkan itu,” ujar Justin, jakunnya tampak
naik turun. “Jadi, jangan berteriak padaku. Itu bisa membuatku jadi kembali membencinya,
Violette. Aku sudah benar-benar menekan amarahku hanya untuk berbicara
dengannya.”
“Maksudmu?” Violette mengernyitkan
dahinya.
“Aku tak pernah ingin mengalah
seperti ini. Kurasa, akhir-akhir ini aku selalu dibuat terkejut karena tiap
kali aku ingin melakukan sesuatu yang kubenci, tiba tiba saja…kau masuk ke
dalam pikiranku. Kau mengganggu pikiranku dan membuat semuanya jadi kacau. Meskipun
begitu, pada akhirnya…aku memilihmu. Aku memilihmu dan ujung-ujungnya
aku jadi melakukan hal yang kubenci,” ujar Justin dingin. Justin kembali
mengatupkan rahangnya seraya terus mencengkeram roda kemudi itu.
“Jadi, biarkan aku menangani semua
ini bersama Locardo. Kupikir, rasa marahku padanya mungkin akan berkurang dengan
sendirinya.”
Ternyata, jauh di lubuk hatinya,
Justin masih menyayangi Locardo.
Violette akhirnya diam. Gadis itu mulai
menatap bola mata lelehan emas milik Justin yang sangat indah. Wajah
Justin mulai mendekat ke wajahnya, lalu beberapa detik kemudian, Justin menciumnya.
Bibir Justin adalah bibir sangat Violette kenali; bibir itu benar-benar terasa
lembut.
“Kita pergi ke butik milik
kenalanku sebentar,” ujar Justin pelan, di depan bibir Violette, tepat setelah
ciuman mereka terlepas.
Akhirnya, Justin pun menghidupkan
mesin mobilnya kembali dan berkendara selama beberapa menit ke depan.
******
Violette turun dari mobil dan
matanya langsung memandangi sekitar.
Ini—sial. Ini butik
atau apa? Sebenarnya, ada berapa lantai gedung butik ini?
Justin keluar dari mobil dan
menghampiri Violette yang sedang menganga.
“Sampai kapan kau akan menganga di
sini?” Justin tiba-tiba bersuara. Violette kontan mengerjap dan menutup
mulutnya kembali.
“Ayo.” Justin meraih tangan
Violette dan menggenggamnya. Justin berjalan ke pintu masuk butik itu, membawa
serta Violette yang kini hanya menunduk. Gadis itu tak mengatakan apa pun.
Setelah merasa sudah berada di
dalam ruangan, Violette pun mulai mengangkat wajahnya. Alhasil, matanya
langsung melebar. Dia sibuk memandangi sekeliling.
Gila! Semua pakaiannya cantik
sekali!
Justin terus membawanya berjalan
hingga akhirnya mereka sampai di dekat kasir.
“Mr. Alexander? Oh, God, Anda
kemari? Kebetulan sekali! Hahaha!”
Violette kontan menoleh ke asal
suara. Itu adalah suara seorang pria.
Langkah Justin pun terhenti. Namun,
sebuah senyuman manis mulai terbit di wajah pria itu.
Justin mendekati dua orang pria
yang berdiri tak jauh darinya. Salah satu dari kedua pria itu adalah pria yang menyapa
Justin barusan. Sepertinya, kedua pria itu adalah rekan bisnis Justin.
“Ah, Mr. Rob,” ujar Justin seraya tertawa
kecil, lalu bersalaman dengan Mr. Rob.
“Tak kusangka aku akan bertemu
dengan Mr. Alexander di sebuah butik seperti ini,” ujar Mr. Robert sembari
menjabat tangan Justin. Violette hanya diam tatkala memandangi semua itu. Dia
sedikit bersembunyi di belakang punggung Justin.
“Ah, is that so?” jawab
Justin.
Pria itu mulai tertawa renyah, lalu
memiringkan kepalanya untuk melihat Violette. “Oh, Anda bersama...siapa?”
Pria yang satu lagi, yang masih
agak muda, tiba-tiba menyela, “Mari, mari! Sebaiknya, kita bicara sembari duduk
saja. Ini luar biasa! Kita semua bertemu di sini secara kebetulan.”
Justin mengangguk, lalu menuntun
Violette untuk duduk di sofa bersamanya; Sofa itu ada di depan, di dekat
dinding kaca butik.
Kopi datang bersamaan dengan
beberapa kue bolu di atas meja. Ah, butik ini juga menyediakan hidangan seperti
ini untuk tamunya?
Pria yang rambutnya sudah hampir
memutih semua itu—Mr. Rob—pun mulai berbicara lagi.
“Jadi, apa kiranya urusan Anda...datang
kemari, Mr. Alexander?”
“Aku ingin melihat gaun.”
“Ah...ini adalah calon istri Anda?”
tanya Mr. Rob sembari menatap Violette lagi. Justin mengangguk pelan.
“Wah...” Mr. Rob tertawa. Ia
kemudian menjabat tangan Justin. “Selamat—selamat! Selamat, Mr. Alexander. Aku
ikut senang! Astaga, kurasa aku telah menyaksikan sesuatu yang sangat besar secara
kebetulan.”
Pria yang satu lagi mulai bertanya,
“Jadi, kapan Anda akan menikah, Mr. Alexander?”
“Hm...” Justin tersenyum tipis. “Kurasa
bulan depan.”
Kedua pria itu melebarkan mata
mereka, merasa kagum, lalu memberi selamat kepada Justin.
Justin tiba-tiba menoleh kepada
pegawai butik yang sedang lewat di dekat mereka, lalu mengangkat sebelah
tangannya untuk memanggil pegawai itu.
“Excuse me?” panggil Justin.
Pegawai itu menoleh, lalu dengan
cepat dia menghampiri Justin. Dia sempat terpesona oleh Justin.
“Yes, sir?” jawab pegawai itu dengan gugup.
“I’m sorry. Can you help her to find
a wedding dress? It’s for her,” ujar
Justin.
Pegawai itu pun mengangguk dan
langsung mempersilakan Violette dengan sopan.
Saat Violette berdiri, gadis itu
sempat menoleh kepada Justin sebentar. Seakan-akan ingin meyakinkan dirinya
sendiri dengan meminta ‘konfirmasi’ dari Justin. Justin pun mengangguk
kepadanya dan menyuruhnya untuk mengikuti pegawai itu.
Violette akhirnya berjalan di
belakang pegawai itu. Mata Justin mengawasi Violette sampai gadis itu berada di
ujung sana, tengah melihat-lihat gaun pernikahan.
“Mr. Alexander, she’s
beautiful,” puji Mr. Rob. Justin pun menoleh kepadanya dan tersenyum
miring. Mereka pun mengobrol lagi. Sesekali mereka akan bercanda dan tertawa.
Di sisi lain, Violette berkeliling
mengikuti pegawai itu dan melihat semua gaun pernikahan yang ada di sana. Demi
Tuhan, Violette mendadak jadi berpikir: bagaimana cara mereka memelihara seluruh
gaun ini?
Setelah banyak berkeliling,
Violette akhirnya melihat sebuah gaun yang berwarna krem. Gaun itu memiliki cape
yang menjuntai hingga ke bawah. Cape itu panjang sekali dan pasti
akan terseret jika si pemakainya berjalan ke mana-mana. Gaun itu terlihat sangat
indah. Ada butir-butir—tunggu dulu, butiran apa ini?
“Excuse me? These are…”
“Ah…those are diamonds, Miss,” jawab
pegawai itu.
Apa? Berlian?
Baiklah, sudah pasti itu berlian.
Apa yang Violette harapkan dari butik mewah seperti ini?
Oke, salah satu sebab mengapa
Violette tertarik dengan gaun itu adalah karena ada butir-butir manik—yang ternyata
merupakan berlian—yang mengelilingi gaun itu dari bagian bokong hingga ke
punggung, lalu membentuk sebuah bunga yang besar. Butir-butir manik itu
tersusun dan melukis gaun itu dengan cantik. Gaun itu adalah gaun tanpa lengan;
gaunnya memiliki sarung tangan.
Gaun itu benar-benar megah dan
indah. Violette sangat menyukai keindahannya.
Namun, tatkala mendengar bahwa butir-butir
itu adalah berlian…Violette langsung patah semangat. Bayangkan saja, berliannya
ada di mana-mana!! Gaun itu pasti mahal sekali!
Violette melihat label harga yang
cantik di dekat gaunnya. Namun, ketika telah melihat berapa harganya, ia nyaris
saja melompat ke belakang. Ia pun memantung; matanya nyaris terlepas dari
soketnya.
Harga gaun itu…mencapai jutaan dollar.
Oh...please...someone... Apa-apaan
harga ini?!! Princess Diana saja gaun pernikahannya tak sampai
semahal ini!!
“Anda menyukainya, Miss?”
Violette tersentak. Gadis itu langsung
menggeleng cepat dan menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan untuk
mengatakan ‘tidak’. “Ahh—tidak, tidak.”
Pegawai itu tersenyum. “Tidak
apa-apa, Miss. Anda bisa mencobanya terlebih dahulu. Itu
terlihat cocok untuk Anda.”
Violette terdiam. Ia mengedipkan
matanya berkali-kali.
Sebenarnya, jika tidak ada diamond-nya,
gaun itu mirip dengan gaun pernikahan ibunya dahulu. Itu adalah alasan lain
mengapa Violette jadi senang melihat gaun itu.
Tak lama kemudian, Violette
akhirnya memberanikan dirinya untuk membawa gaun itu (dibantu oleh para pegawai)
ke tempat Justin duduk sebelumnya.
Sepanjang jalan, ia hanya terus menggigit
bibirnya; ia belum memakai gaun itu. Ia hanya membawanya.
Ketika ia sampai di depan Justin
beserta kedua rekan bisnis pria itu, ia pun diam seraya memegangi gaunnya.
“Ada apa, Miss?!” tanya
Mr. Rob dengan riang, ia merasa ikut bahagia atas kabar pernikahan dari CEO
terkaya itu.
Pria yang satu lagi pun tertawa
renyah, merespons Mr. Rob. Violette kemudian menunduk dan menggigit bibirnya.
“Ada apa, Violette?” tanya Justin
pelan.
Violette memejamkan matanya
sebentar, sebelum akhirnya ia mulai memberanikan dirinya untuk menatap Justin.
“Justin...bagaimana menurutmu
dengan gaun i—ni?” tanya Violette dengan gugup.
Violette menunjukkan gaun itu
kepada Justin, dibantu oleh para pegawai butik.
Mata Justin menyipit. Justin
memandangi gaun itu dari atas hingga ke bawah; ia diam untuk waktu yang lumayan
lama. Jantung Violette berdegup kencang saat menunggu responsnya.
“Kau mau itu?”
Mata Violette membulat. Justin kini
tengah memiringkan kepalanya.
“Eh?” Violette mendadak bingung.
“Kau tak mau mencobanya? Itu
terlihat sangat bagus untukmu,” ujar Justin.
Mata Violette membeliak lagi. Gadis
itu tercengang. “Benarkah?”
“Sepertinya, Anda sangat menyayangi
calon istri Anda. Jujur saja saya tidak pernah melihat sisi Mr. Alexander yang seperti
ini!” Mr. Rob dan pria yang satu lagi itu tertawa.
“Well… Aku merasa dia agak jarang memilih
pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas seperti gaun itu, tetapi
itu cocok untuknya. Istriku akan terlihat seksi pada malam pertama.” Justin
menatap Violette sembari tersenyum miring.
Kedua pria yang lain langsung
tertawa terbahak-bahak.
Pipi Violette kontan merona dan ia
merasa tersudut bak kertas origami remuk yang terlempar ke ujung ruangan.
Apa-apaan? Justin...Justin sedang mempermalukannya!!
Akibat merasa kesal (walau pipinya
memerah), Violette pun langsung berbalik dan meninggalkan Justin, diikuti oleh
para pegawai yang tadi menemaninya. Demi apa, ia kesal sekali pada Justin! Kesal
sekali!!
Haruskah Justin menggodanya seperti
itu? Itu memalukan! Dia, si Iblis yang dingin itu, pasti sengaja melakukannya! Oh,
Goddammit!
Namun, pada akhirnya, Violette tetap
pulang membawa gaun itu. Ia pulang bersama Justin. Justin bilang, gaun itu akan
dipakai di salah satu acara pernikahan mereka. Mereka harus mempersiapkan
beberapa gaun. Ini adalah acara pernikahannya pemimpin Alexander Enterprises,
jadi mungkin mereka harus membuat acaranya dilaksanakan di beberapa lokasi.
Saat baru saja keluar dari butik itu,
tiba-tiba ponsel Violette berbunyi.
Gadis itu menjauhkan dirinya terlebih
dahulu dari Justin, lalu ia mulai mengambil ponselnya yang ia letakkan di dalam
tasnya. Ia pun melihat ada sebuah pesan masuk.
Ada sebuah petir yang seakan-akan menyambarnya
ketika ia melihat pesan itu. Itu adalah pesan dari…Elika.
Setelah melihat isi pesan itu, ekspresi
wajah Violette langsung berubah.
“Dari siapa, hm?” tanya
Justin. Pria itu berhenti berjalan dan menoleh kepada Violette. Mereka masih
ada di depan butik, sedang mau menuju ke mobil Justin.
“Justin,” panggil Violette dengan lirih.
Justin hanya diam; dia menunggu
perkataan Violette selanjutnya dengan mata yang mulai menyipit. Agaknya, dia
telah mengendus sesuatu dari ekspresi wajah Violette.
“Kita harus berakhir. Kita tidak
boleh bertemu lagi,” ujar Violette, kemudian ia menjatuhkan bingkisan
gaun pernikahan itu dan berlari menjauhi Justin yang matanya membeliak begitu
kata-kata itu ia ucapkan. []
No comments:
Post a Comment