Tuesday, May 27, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 12: Thank You for Accepting Me)

 


******

Chapter 12 :

Thank You for Accepting Me

 

******

 

Violette:

SETELAH mengucapkan kalimat itu, aku pun menunduk.

Aku tahu bahwa aku masih belum siap menikah; bagiku, ini terlalu cepat. Sebenarnya, aku tahu bahwa aku sangat beruntung karena telah mendapatkan seorang pria yang sangat berkarisma. Namun, tatkala aku berpikir bahwa mendapatkan hati Justin itu mustahil, dia justru mengajakku menikah.

Aku sekali lagi berpikir. Mungkin, bila aku bukanlah teman kecilnya ataupun executive assistant-nya, aku takkan bisa meraihnya. Mungkin, ini semua bisa terjadi karena aku selalu dekat dengannya. Biasanya, cinta datang karena kita sering menghabiskan waktu bersama.

Aku tahu bahwa dari kalimatku barusan, secara tak langsung aku telah menyetujui pernikahan ini. Sebuah pernikahan dengan seseorang yang kucintai, seorang pria yang selalu kubanggakan. Namun, apakah keputusanku ini benar?

Ya Tuhan. Berarti, bulan depan aku benar-benar akan menikah dengan...Justin?

Tiba-tiba, aku merasa ada sepasang lengan yang kekar mulai memeluk pinggangku. Aku spontan mendongak; ujung-ujungnya, aku kembali terpesona pada wajahnya yang tampan serta bola mata berwarna lelehan emasnya yang selalu berhasil membuatku terpaku serta kehilangan kendaliku.

“Terima kasih, Violette.”

Dia mendekapku dengan erat. Ia bernapas di antara helaian rambutku dan mencium kepalaku.

Pikiranku melanglang buana selagi bersandar pada dada bidangnya.

Apakah semuanya akan baik-baik saja? Dengan ini, kami tinggal menunggu waktu. Paman Locardo sudah menyetujui pernikahan kami. Selain itu, mempersiapkan pesta pernikahan bukanlah hal yang sulit bagi seorang miliarder seperti Justin.

“Hm…” Aku berdeham pelan.

Justin mengusap punggungku.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.

Aku kontan mengerjap. “Tidak apa-apa...apanya?”

“Kau bilang, kau belum siap.”

Aku menghela napas, lalu menjawab, “Aku sudah memikirkannya dengan matang. Terima kasih karena telah memercayaiku, Justin.”

Aku tahu kalau dia tengah tersenyum di sisi kepalaku. “Kau cemburu, hm?”

Mataku langsung membelalak. “Ma—maksudmu?”

“Well, aku sampai berkendara dengan kecepatan penuh karena kau mendesakku untuk pulang. Sepertinya, itu terjadi karena kau mendengar suara Elika.” Dia tertawa kecil, bermaksud mengejekku. Mataku spontan mendelik.

“Jadi, apa yang harus kulakukan?! Lagi pula, apa yang kau lakukan dengannya di gym itu, sementara ada aku di sini?!!” Aku memukuli bahunya, tetapi dia tampak biasa saja dan terus tersenyum miring. Tahulah, tak mungkin dia merasa sakit karena pukulanku.

“Aku harus berterima kasih pada Elika,” ujarnya.

Hah?

Aku langsung mengernyitkan dahi.

Justin melepas pelukannya dan mulai memegangi bahuku. Matanya menatapku dengan lembut. “Aku harus berterima kasih padanya. Soalnya, sejak dia bersuara di telepon tadi, kau langsung menerima lamaranku.”

Mataku membelalak. Aku pun menunduk; pipiku memanas seiring dengan dia yang kembali memelukku.

Walaupun merasa agak kesal padanya, ujung-ujungnya aku tersenyum. Beberapa detik lamanya, kami hanya diam. Namun, akhirnya aku membuka suara.

“Apakah kau benar-benar...menginginkanku?” tanyaku gugup.

Dia bernapas samar, lalu menjawab, “Ya, Nonaku yang cemburuan.”

Ah, sial... Pipiku memerah.

Kupejamkan mataku kuat-kuat; aku gugup sekali. Aku juga terlalu malu untuk melihat wajahnya.

“Haruskah kita membeli baju pernikahan itu sekarang?” tanyanya.

Aku kontan membuka mata, lalu meneguk ludahku. Wait, what?!

“Se—sekarang?” tanyaku kaget.

“Bulan depan itu bukanlah waktu yang lama, Vio,” ujarnya dengan suara lembut.

Aku menggigit bibir; jantungku berdebar. Aku seakan membisu. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan.

“Ayo pergi ke butik pengantin besok.”

“Kau...tahu di mana butiknya?” tanyaku. Dia kembali melepaskan pelukannya.

“Hm,” dehamnya.

Ajaib sekali. Dia ternyata tahu di mana butik yang tepat untuk mencari gaun pernikahan.

Mataku sedikit melebar karena kaget. Namun, tiga detik kemudian…aku menatapnya dengan lembut. Kutelusuri setiap inci dari wajah tampannya. Garis rahangnya yang tajam, hidungnya yang mancung, matanya yang tajam seperti elang…

Aku serasa dikendalikan oleh pesona bola matanya yang menatapku dengan lekat. Menyelami lautan berwarna keemasan itu, masuk jauh ke sana, menembus hingga ke jiwanya…seolah waktu terhenti begitu saja tatkala aku memandang tepat ke kedua matanya.

Satu-satunya yang kuingat adalah: aku benar-benar terpaku.

“Aku mencintaimu...” Begitu mudahnya kata-kata itu terucap; mulutku mengeluarkan dua kata itu seakan-akan mereka adalah air yang meluber dari mulutku. Agaknya, aku sudah tak bisa mengendalikan anggota tubuhku sendiri.

Karena merasa tenggelam di dalam kedua bola mata Justin, aku sama sekali tak sadar bahwa Justin telah mengecup bibirku dengan lembut. Kedua tangannya telah memegang pinggangku dengan erat.

Dia, pria yang akan memberikanku namanya, kini sudah mengendalikanku sepenuhnya. Aku tahu bahwa dia sempat tersenyum di tengah ciuman kami, tetapi aku…tak ingin memedulikan itu saat ini. Aku ingin menciumnya juga.

 

******

 

Author:

Seorang perempuan yang berambut dark golden blonde itu menghela napasnya berkali-kali. Dia memakai pakaian yang mewah. Outer yang ia pakai itu memiliki kerah yang berbulu. Akan tetapi, memakai pakaian yang bagus tidak selalu menjadi pertanda bahwa suasana hatimu sedang bagus.

Kali ini, perempuan itu merasa kalau waktu di sekitarnya mendadak terhenti begitu saja. Pikirannya fokus kepada satu hal, yakni Justin Alexander.

Baginya, tidak ada yang berhak atas Justin selain dirinya. Baginya, Justin itu miliknya. Siapa pun tak berhak untuk dekat dengan CEO itu, kecuali dirinya.

Tadi, Elika baru saja keluar beberapa langkah dari lift ketika tiba-tiba ia mendengar semua percakapan di antara Justin dan Violette. Lift itu berada tak jauh dari pintu unit apartemen Justin yang terbuka. Maka dari itu, Elika bisa mendengar setidaknya tiga per empat dari isi pembicaraan mereka.

Elika menggertakkan giginya.

Violette...gadis itu ternyata tidur di apartemen Justin, pria yang Elika puja.

Elika mengepalkan tangannya, mencengkeram tali handbag-nya. Tangan kirinya mengusap rambutnya dengan frustrasi. Ia bernapas seperti baru saja terlepas dari tumpukan bantal yang membekap hidung dan mulutnya; darahnya serasa mendidih dan kepalanya serasa mau meledak.

Waktu bagaikan terhenti ketika ia mendengar pembicaraan tentang gaun pernikahan ataupun lamaran yang—sialan—mereka bicarakan.

Dalam waktu singkat, Elika langsung berang dan turun ke lobi gedung apartemen itu dengan mengentak-entakkan high heels-nyaIa menggeram saat ia berdiri di lift sendirian. Beberapa detik kemudian, ia langsung mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya dan menelepon seseorang.

Tiga detik kemudian, panggilan telepon itu akhirnya diangkat.

“Pindahkan lelaki tua itu!! Siksa dia—bukan, habisi saja dia!” teriak Elika. Ia sudah kalap. “SIKSA DIA SEKARANG JUGA!!”

Elika langsung mematikan panggilan telepon itu. Dia lalu keluar dari lift dengan langkah yang tergesa-gesa seraya mencengkeram ponselnya.

“Kau akan menyesal. Aku akan menghancurkanmu,” ujar Elika pelan, tetapi terdengar begitu tajam. Rahangnya terkatup. Dia mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.

Justin Alexander, pria yang selalu menjadi bahan pembicaraan dalam dunia bisnis itu, seharusnya tidak menikahi perempuan yang sama sekali tak ada kelebihan seperti Violette. Siapa pun tidak pantas menikah dengan Justin, kecuali Elika.

 

******

 

Hari ini, seperti biasa…Violette dan Justin disibukkan oleh pekerjaan mereka.

Sekarang sudah jam empat sore (lewat beberapa menit) dan Violette mendadak mengerang. Jadi, ia pun mendongak dan memijit tengkuknya sendiri. Entah sudah berapa lama ia berkutat dengan tumpukan kertas yang ada di atas mejanya. Violette menoleh sejenak ke sebelah kiri dan menemukan Justin yang masih fokus menatap layar laptopnya. Pria itu tampak berpikir sangat keras akhir-akhir ini, mungkin karena proyek barunya benar-benar istimewa dan menjanjikan.

Dia selalu terlihat memesona. Walau dia berada dalam posisi itu sampai sore atau malam hari pun, dia akan selalu terlihat menawan. Hairstyle-nya juga…keren sekali.

Ah, Violette berpikir seperti itu seolah-olah mereka masih anak sekolah menengah.

Anyway, his jawline is so damn sharp.

Violette tersenyum. Gadis itu pun kembali menatap mejanya sendiri.

“Apa?”

Violette tersentak, ia kontan menatap ke asal suara. Itu adalah suara Justin.

“Ah—tidak, tidak.” Violette menggeleng cepat.

Justin hanya diam.

“Uhh… Justin,” panggil Violette.

Tidak ada jawaban.

“Justin,” panggil Violette sekali lagi.

“Hm.”

“Aku...lapar.”

Violette terlihat mengelus perutnya; dahi gadis itu berkerut.

“Aku mau pergi ke suatu tempat. Kau mau ikut?” tanya Justin tiba-tiba. Violette lantas memiringkan kepalanya. “Ke mana?”

“Di sana kau mungkin bisa makan makanan rumahan. Bersiaplah,” perintah Justin. Pria itu pun menutup laptopnya dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas kerjanya. Melihat itu, Violette tercengang. Akan tetapi, dua detik kemudian, Violette pun langsung membereskan barang-barangnya dengan cepat karena Justin sudah hampir selesai. Namun, ketika selesai, pria itu tidak membuang-buang waktu; dia segera berjalan ke luar dengan sebelah tangannya yang dimasukkan ke saku celana. Hal itu tentu saja membuat Violette jadi terbirit-birit mengejarnya.

Basically, Violette berlari kencang hingga akhirnya dia berhasil berjalan di belakang Justin. Justin ini sebenarnya mau mengajaknya atau mau meninggalkannya sendirian di kantor, sih?!

Keduanya pun turun ke lantai bawah dengan lift. Di lobi, seluruh karyawan mulai menunduk hormat dan menyapa Justin. Namun, ketika Violette menatap wajah Justin—ingin melihat reaksi pria itu—yang Violette temukan hanyalah…

Oh.

 

Es batu.

 

Ekhem.

Anyway, Justin sebenarnya mau pergi ke mana, ya? Katanya, Violette mungkin bisa makan makanan rumahan di sana. Benarkah?

Violette akhirnya masuk ke mobil Range Rover milik Justin. Well, kali ini Justin membawa Range Rover-nya dan entah apa lagi yang akan dia bawa besok. Sebenarnya, berapa jumlah seluruh mobilnya?

Lagi pula, ya ampun. Justin tidak mengatakan apa pun sejak mereka berada di lift sampai sekarang, saat mobil ini sudah berjalan lumayan jauh.

Violette meneguk ludahnya dan mulai memberanikan diri untuk bertanya. “Kita...mau ke mana?”

Justin tidak menjawab Violette sama sekali. Akhirnya, Violette memilih untuk diam. Rasanya, percuma saja dia berbicara. Mau sampai mulutnya berbusa pun, mungkin Justin takkan menjawabnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil itu pun berhenti.

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah mewah klasik. Rumah itu tinggi; gayanya seperti rumah-rumah mewah Belanda. Karena penasaran, gadis itu lantas turun dari mobil, hampir bersamaan dengan Justin yang baru saja membuka pintu mobil. Ketika mereka berdua sudah benar-benar menutup pintu mobil, Justin mulai menatap rumah itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tatapan matanya begitu lekat…seolah-olah tengah membaca situasi. Tampaknya, ia menganggap ini sebagai beban. Sorot matanya seakan-akan menunjukkan perasaannya yang berada di antara tak ingin dan harus.

Sadar bahwa Justin hanya diam, Violette pun menoleh kepada pria itu dan melihat pria itu tengah mengatupkan rahangnya. Violette kemudian menurunkan pandangannya, melihat ke tangan Justin yang ternyata sedang mengepal.

Violette memilih untuk mendekat meskipun agaknya reaksi Justin itu agak aneh. Perilaku Justin telah sukses membuatnya penasaran sekaligus takut.

Akan tetapi, well…rasa penasaran sering kali mengalahkan semuanya.

Violette mendekati Justin dan memegang lengan pria itu. Bola mata biru milik Violette terus menyelisik wajah Justin; pria terlihat sedang menahan emosinya.

“What’s wrong with you?” tanya Violette heran. “Where are we?”

Violette mengernyitkan dahi tatkala melihat jakun Justin yang naik turun. Pria itu mengembuskan napasnya pelan. Mungkin, dia tengah berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri walaupun hal itu sangat sulit.

“Ayo.” Justin menurunkan tangan Violette yang sebelumnya sedang memegang lengannya, membuat tangan gadis itu kini berada di genggamannya. Sedetik kemudian, dia pun berjalan melewati halaman rumah itu bersama Violette. Dia akhirnya membunyikan bel.

Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu mulai terbuka. Ternyata, pintu itu dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang rambutnya ikal dan diikat dengan gaya ekor kuda.

“Ya Tuhan!” Wanita itu tampak terkejut, matanya membulat sempurna. “Justin—oh Tuhanku, kau di sini?!”

Violette memandangi Justin yang sekarang sedikit menunduk. Namun, sesaat setelah itu, Justin pun menghela napasnya dan kembali menatap wanita itu yang sampai sekarang matanya tak kunjung berkedip. Wanita itu menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Lama tidak bertemu,” jawab Justin.

 

Wait.

Siapa...wanita itu?

 

Wanita itu kini benar-benar mengeluarkan air matanya. “Kau benar-benar datang kemari, setelah semuanya... Bagaimana keadaanmu, hmm? Kau baik- baik saja? Oh Tuhan…”

Wanita itu tersadar, lalu menyeka air matanya. Ia langsung menarik lengan Justin dengan semangat agar Justin masuk ke rumah itu; ia membawa Justin dan Violette hingga duduk di ruang tamunya. Justin sedari tadi hanya mengatupkan rahangnya.

“Locardo!! Sayang, kemarilah!! Oh, God!!! Justin...dia berkunjung kemari!!” Violette melihat wanita itu mulai meneriakkan nama Locardo sembari berlari ke bagian dalam rumah itu. Namun, Violette menyadari satu hal. Mata Violette kontan membelalak.

Itu…istrinya Paman Locardo? Berarti, ini adalah rumah Paman Locardo? Oh, astaga.

Wait, tetapi…mengapa Justin terlihat tidak suka berkunjung ke sini? Wajahnya tak menunjukkan rasa senang atau rindu sama sekali. Ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu saat Justin terakhir kali berkunjung ke sini?

“Justin...” Violette memegangi tangan Justin, sementara pria itu tak mengatakan apa pun. Dia hanya terlihat berpikir keras sedari tadi.

“Justin,” panggil Violette. “ini rumah pamanmu, ya? Kau...kenapa? Tidak enak badan?”

“Aku baik-baik saja.”

“Mereka terlihat sangat merindukanmu. Semangatlah,” bujuk Violette. “Um...tetapi mengapa kau membawaku ke sini?”

Justin diam. Pria itu hanya menghela napas.

“Justin...”

Justin tetap diam.

“Jika kau tidak enak badan, sebaiknya—"

“Kau hanya perlu diam, Violette.”

Violette kontan terdiam. Gadis itu spontan menoleh kepada Justin seraya mengernyitkan dahinya.

“Ap—"

“Ini sangat sulit bagiku.”

 

Tunggu.

Sulit?

 

“Sulit? Kau kenapa, sih? Kau tak pernah menceritakan apa pun padaku, kau orang yang sangat sulit ditebak,” ujar Violette. “Lagi pula, mengapa kau terlihat marah pada Paman Locardo?”

Justin hanya meneguk ludahnya. Sedari tadi dia hanya bungkam seolah-olah tengah menahan segala hal yang berkecamuk di dalam benaknya.

“Justin,” panggil Violette sekali lagi.

“Kau tak perlu tahu. Diamlah, kita hanya sebentar di sini,” jawab Justin dingin.

Violette semakin mengernyitkan dahinya. “Bukan. Maksudku, mengapa kau seperti ini? Justin, kau tahu—"

Kata-kata Violette terpotong karena tiba-tiba gadis itu mendengar langkah kaki yang mendekat.

“Kau Violette, ‘kan?”

Violette menoleh ke asal suara dan menemukan Paman dan Bibi Locardo yang sedang berjalan mendekat. Bibi Locardo—orang yang bertanya barusan—tampak sedang menggendong seorang anak laki-laki berumur sekitar empat tahun dan anak itu terlihat benar-benar tampan.

Violette meneguk ludah. Sepertinya, Paman Locardo memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia.

Paman Locardo beserta istri dan anaknya akhirnya duduk berseberangan dengan Justin dan Violette.

“Ah...ya!” jawab Violette. “Senang bertemu denganmu, Bibi Locardo...dan juga Mr. Locardo.”

Bibi Locardo tersenyum. “Kau calon istrinya Justin, ya?”

Violette langsung kaget dan gugup. Matanya membulat.

“Ah...haha. Ya Tuhan.” Bibi Locardo tampak mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Violette tersentak saat menyaksikan semua itu, tetapi Bibi Locardo langsung mengangkat tangannya pertanda bahwa ia tak ingin dikhawatirkan.

“Ya ampun, mungkin ini karena aku sangat senang,” ujar Bibi Locardo. Violette jadi tertawa hambar karena dia sama sekali tak mengerti. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka sebelumnya.

“Justin, ayo kita bicara sebentar. Kau kemari karena ingin membicarakan sesuatu, ‘kan?” tanya Paman Locardo.

Setelah lama terdiam, Justin akhirnya mengangguk satu kali. Justin langsung mengikuti pamannya; mereka pergi ke lorong yang ada di sisi ruangan itu dan akhirnya masuk ke sebuah ruangan.

Violette kembali menoleh kepada Bibi Locardo setelah menyaksikan kepergian Justin.

Bibi Locardo melepaskan anaknya dari gendongannya dan membiarkan anak itu berlari ke depan televisi yang sedari tadi dihidupkan. Anak itu berbaring di sebuah permadani yang terbentang di depan televisi tersebut. Violette melihat anak itu sejenak, lalu kembali menatap Bibi Locardo yang ternyata sudah tersenyum kepadanya.

“Kau…bekerja dengan Justin, ya?” tanya Bibi Locardo tiba-tiba. Violette mengerjap.

“Y—Ya, Mrs. Locardo.”

Bibi Locardo mengangguk. “Panggil aku Bibi saja. Aku adalah bibinya Justin dan sebentar lagi kita akan menjadi keluarga.”

Violette menunduk dan mengangguk pelan.

“Kau...merasakannya?” tanya Bibi Locardo pelan. Violette mengernyitkan dahinya, lalu kembali menatap wanita itu.

“Merasakan...apa, Bibi?” tanya Violette.

“Dia masih marah.”

Violette meneguk ludahnya. Mata gadis itu melebar karena ia menyadari sesuatu.

Berarti, Justin memang sedang marah.

“Ah...itu...” Sumpah, Violette jadi bingung mau merespons bagaimana. Ini adalah masalah internal keluarga Justin.

Bibi Locardo akhirnya menghela napas. “Aku yakin dia takkan memberitahumu. Dia sangat pintar menyembunyikan sesuatu yang membuatnya sakit hati.”

Violette mengerutkan dahi. Sakit hati?

“Apa...maksud Bibi?” tanya Violette.

“Tiga tahun yang lalu, ketika dia masih tinggal di sini bersama kami, keadaannya sangat kacau,” jawab Bibi Locardo sembari menghela napas. Tatapannya jauh sekali…seolah-olah pergi ke masa lalu. Violette mendengarkannya dengan saksama.

“Dia belum bisa menangani seluruh emosinya. Sesuatu telah terjadi kepadanya, tetapi dia tak pernah menceritakan apa pun kepadaku ataupun kepada suamiku,” jelas Bibi Locardo.

Well. Tentu saja, itu karena Red Lion adalah sesuatu yang harus dirahasiakan.

“Dia nyaris tak pernah berbicara. Dia adalah pria yang sangat tertutup, sangat tersembunyi. Segala sesuatu tentang dirinya selalu dia kunci rapat-rapat. Aku sering melihatnya duduk diam seraya memikirkan sesuatu, berulang-ulang, sampai membuatnya sakit. Namun, ketika sakit pun, ia tak pernah memberitahu kami apa yang sedang mengganggunya. Aku merasa seperti...dia terus mementingkan logikanya, sementara perasaannya benar-benar harus ia tangani saat itu.”

Bibi Locardo kembali menghela napas. “Kau tahu, ada saatnya kita harus mementingkan perasaan ketimbang logika.”

Violette mengangguk.

“Aku bertanya-tanya tentang bagaimana hidupnya dan apa saja yang dia lakukan selama di Perancis, tetapi apa yang harus kulakukan bila dia tak mau berbicara sama sekali? Kupikir kau akan tahu...karena kau adalah teman lamanya. Suamiku menceritakan hal itu kepadaku,” kata Bibi Locardo.

Violette terkejut. Ia langsung menunduk dan jantungnya berdegup kencang. Ia tak mungkin mengatakan bahwa dahulu ia dan Justin adalah anggota dari sebuah organisasi yang bernama Red Lion, lalu Justin mengebom habis markas Red Lion. Tidak—tidak mungkin itu semua Violette ungkapkan sebab agaknya Paman dan Bibi Locardo tak tahu sama sekali soal Red Lion.

Hanya Nathanlah yang tahu soal Red Lion.

Oh Tuhan. Violette jadi teringat lagi dengan apa yang sedang menimpa Nathan...

“Itu... Umm… Kami...” ucap Violette dengan gugup. Dia bingung bukan main.

“Suamiku akhirnya terinspirasi untuk memberinya sebuah pekerjaan agar pikirannya teralih. Sejak itulah, dia mulai magang di perusahaan kami dan akhirnya mengambil alih semua yang ada di sana. Kau tahu, dia berhasil mengembangkan perusahaan itu hingga menjadi perusahaan yang memiliki segala bidang usaha. Selain itu, segala produknya menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Dia membangun ulang sistem kerja; dia melakukan segala hal...dengan baik dan sangat cepat,” puji Bibi Locardo. Wanita itu kembali mengeluarkan air mata. “Dia adalah orang yang sangat bisa kau andalkan. Dia mengatasi pikirannya sendirian saat itu; dia terus memperbaiki dan menguatkan dirinya hingga akhirnya dia bertemu denganmu. Selain itu, agaknya dia benar-benar berubah karena sekarang dia sudah mau mengunjungi kami.”

Alis Violette menyatu.

“Tapi Bibi…” ujar Violette. “Mengapa dia tak mau menemui...kalian?”

“Ah.” Bibi Locardo melebarkan mata. Wanita itu pun bercerita, “Awalnya, suamiku sangat marah pada Justin saat tahu bahwa Justin mengunjungi berbagai kelab malam. Akhirnya, suamiku memilih untuk segera menikahkannya dengan anak perempuan dari seorang pengusaha game kenalannya. Justin sangat marah saat itu, apalagi mereka berdua sudah bertengkar hebat sebelumnya. Mereka menghina satu sama lain dengan kejam. Namun, ternyata…pengusaha game itu bukanlah orang yang baik. Sejak saat itu, suamiku mulai overprotective pada Justin dan hubungan mereka akhirnya jadi semakin buruk. Justin membenci suamiku sejak saat itu.”

Violette mengerutkan dahinya; dia mendengarkan semuanya seraya berpikir keras.

“Aku benar-benar bahagia saat melihat dia datang. Dia akhirnya datang, setelah sekian lama.” Bibi Locardo mulai menangis. Violette kontan bangkit dari duduknya, mendekati Bibi Locardo, dan langsung duduk bersimpuh di sebelah Bibi Locardo. Violette mencoba untuk menenangkan wanita itu.

“Aku benar-benar minta maaf, Bibi,” ujar Violette dengan penuh penyesalan.

Bibi Locardo sontak tertawa.

“Mengapa kau minta maaf, hm? Kaulah yang membuatnya memutuskan untuk datang ke sini dan mengalahkan rasa bencinya kepada kami. Terima kasih, Sayang...” Bibi Locardo mengusap puncak kepala Violette yang sedang memperhatikannya dengan tatapan cemas. “Kau berhasil menaklukkan hatinya yang sekeras baja dan sebeku es itu.”

Violette mencoba untuk menyangkal, “Ah—itu—Bibi, aku...”

“Tidak, Violette,” ujar Bibi Locardo seraya menggeleng. “Dia pasti berperang di dalam pikirannya sendiri, memilih apakah ia harus datang ke sini dan menyelesaikan semua masalahnya atau tidak. Dia sangat terbebani, tetapi pada akhirnya…ia memilih untuk kemari. Ia memilih untuk menyelesaikan segalanya. Semua itu bisa terjadi karena dia ingin membicarakan soal pernikahan kalian.”

Kedua mata Violette kontan melebar. Jantungnya seolah-olah berhenti berdegup. Sesaat kemudian, matanya mulai berkaca-kaca.

“Selamat, ya...” ucap Bibi Locardo pelan, lalu wanita itu memeluk Violette yang duduk bersimpuh di dekatnya. “Selamat...atas pernikahan kalian. Jaga dia baik-baik, ya? Biarkan kasih sayangmu mengalir padanya dan meluluhkan hatinya.”

Violette kini benar-benar menangis.

“Bibi...”

Bibi Locardo melepaskan pelukannya dan kembali mengusap kepala Violette pelan. Wanita itu menyelipkan rambut Violette ke belakang telinga gadis itu.

“Justin itu... sangat sulit ditebak. Namun, jika kau sudah mengenal siapa dirinya, kau akan bisa menebaknya selama-lamanya.”

Violette tercengang. Dia kontan menatap Bibi Locardo yang kini sedang…tersenyum.

“Wanita biasanya lebih mementingkan perasaan mereka, ‘kan? Namun, dalam proses untuk memahami dirinya, kuharap kau akan lebih bersabar. Biarkan dia melakukan apa yang ingin ia lakukan sebagai seorang pria. Selagi itu hal yang benar, kau harus mendukungnya. Kalaupun suatu saat nanti perasaanmu mulai berkurang, percayalah, perasaan itu akan selalu tumbuh kembali. Dampingi dia, berikan tempat ternyaman untuknya pulang.”

Violette langsung memeluk pinggang Bibi Locardo dan menangis terisak-isak. Bibi Locardo tertawa renyah.

“Sudah, sudah... Mau jadi pengantin baru kok malah menangis? Berjanjilah bahwa kau akan menjadi istri yang baik untuknya. Jagalah pria yang dingin dan kejam itu.”

Mendengar itu, Violette tiba-tiba mengikik geli.

“Bibi, sepertinya kau tahu bahwa dia kejam.”

“Tentu saja aku tahu. Dia keponakanku,” jawab Bibi Locardo sembari tertawa.

Violette ikut tertawa.

Ya. Mungkin inilah yang terbaik. Mendampingi Justin...dan membiarkan semua perasaan itu tetap tumbuh dengan mendukung pria itu sebaik mungkin. Pernikahan tidaklah mudah; banyak rintangan yang akan datang di kemudian hari. Itu semua harus mereka hadapi bersama-sama.

“Mamaaa!!! Apa yang teljadi dengan televicinya?!! Ma, ke mana kaltun kecukaanku?!!”

Bibi Locardo dan Violette langsung tersentak. Mereka mulai melepaskan pelukan mereka, lalu melihat bocah yang sedang berbaring di depan televisi. Televisi itu letaknya tak jauh dari sofa yang Bibi Locardo duduki.

“Mamaa!!!!” teriak anak itu lagi.

“Mengapa kau malah menyalahkan televisinya? Itu karena kartunnya sudah habis, ‘kan? Pergilah mandi, Evan!!”

Tanpa mengatakan apa pun, Violette berdiri. Dia mulai berjalan ke arah televisi, mendekati anak itu. Setelah sampai di sana, dia pun berjongkok.

“Kau Evan?”

“Namanya Evan Roger Alexander,” kata Bibi Locardo sembari tersenyum. Violette mengangguk.

“Namamu bagus sekali.” Violette mengusap puncak kepala Evan sembari tersenyum.

“Panggil aku Logel,” jawab Evan dengan ketus.

Violette mengernyitkan dahi.

Namun, Violette tersenyum kembali. “Hm... Iya, iya. Kau tidak bisa mengucapkan ‘R’, ya?”

“Hei! Atu bica!!” protes anak itu.

“Aku bisa, Evan..” koreksi Violette, sedikit menjaili Evan. Sepertinya, Evan adalah anak yang mudah kesal.

“Hei!!” teriak Evan. Violette tertawa.

“Ya, maaf-maaf. Evan sangat tampan hari ini,” puji Violette sembari mengedipkan sebelah matanya.

“Atu tidak mudah telgoda oleh pelempuan,” kata Evan dengan angkuh.

“Oh... Iya, deh...” Violette mengikik geli.

“Kak, Kakak mau menikah cama Paman Justinku, ya? Kakak tidak cekci, loh. Awac, ya, kalau Paman Justinku malah-malah,” peringat Evan.

Violette menganga. Wah, ternyata…Evan juga bisa bilang kalau Violette tidak seksi, ya? Wah...rasanya...kok...Violette ingin memukul kepala Justin sekarang juga?

Akhirnya, Violette berhenti menganga, lalu berusaha untuk tersenyum. Violette mengacak rambut Evan dan menghela napas. “Hmm... Evan juga bisa mengejek Kakak-yang-tidak-seksi-ini, ya? Kau dan pamanmu mempunyai mata yang sangat jeli.”

Bibi Locardo menggeleng dan mengikik geli tatkala mendengar percakapan antara Violette dan Evan.

“Ya jelaslah...” ujar Evan dengan gaya angkuhnya. Violette hanya bisa tertawa kecil dan menggeleng. Ternyata, Justin mewariskan sebagian besar sifatnya ke Evan.

“Kakak halus dandan tantik-tantik pas atala nanti,” ucap Evan.

Ketika di acara? Oh…

“Ya, Evan. Terima kasih. Kau tampan sekali,” goda Violette dan Evan malah tertawa terbahak-bahak.

Melihat itu, Bibi Locardo ikut tertawa.

Tak lama kemudian, Justin dan Paman Locardo keluar dari ruangan mereka sebelumnya dan duduk kembali di sofa. Mereka semua berkumpul di sana dan mulai membicarakan hari pernikahan Justin dan Violette beserta semua persiapannya, termasuk semua jadwal atau kesibukan yang harus diatur sebelum hari itu tiba. Setelah berdiskusi, mereka pun makan malam dan akhirnya Justin dan Violette pulang dari rumah itu.

Ketika masuk ke mobil Justin dan sedang memasang seat belt-nya, Violette mendadak meneguk ludahnya dengan gugup.

Suasananya tiba-tiba terasa sangat canggung; Violette tak tahu dari mana ia harus memulai pembicaraan. Hingga akhirnya, mobil itu pun berjalan kembali. Lima menit kemudian, barulah Violette mengepalkan tangannya dan oh, apakah ia harus melakukan itu tiap kali ia ingin bertanya kepada Justin? Masalahnya, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengganggu Justin. Jadi, ia benar-benar dibingungkan dengan suasana canggung ini.

“Justin...” panggil Violette.

Justin hanya diam.

Violette bersuara lagi, “Kau baik-baik saja?”

“Hm.”

Ya Tuhan, akhirnya Justin menjawabnya. Satu dari keajaiban dunia kali ini.

Violette menatap Justin dengan penuh pengertian. “Kau masih marah dengan Paman Locardo?”

“Bibi memberitahumu.” Pertanyaan Justin terdengar seperti pernyataan.

“Umm—iya,” jawab Violette dengan gugup. “Bibi memberitahuku bahwa kau sedang marah pada Paman Locardo.”

“Sejauh apa yang kau tahu?” tanya Justin dengan nada datar.

“Semuanya. Aku tahu semuanya,” ujar Violette.

“Bibi yang menceritakannya padamu atau kau yang ingin tahu?” tanya Justin.

“Bibi...menceritakannya padaku.” Violette menunduk.

Justin mengembuskan napasnya dengan lumayan kuat.

Violette kembali menatap Justin, tetapi ekspresi wajahnya kini terlihat kesal. Dia pun mulai protes, “Kalau tidak begitu, kau takkan memberitahu apa pun padaku, ‘kan? Rasanya, percuma saja aku menjadi calon istrimu bila kenyataannya aku tak tahu apa-apa tentangmu. Itu sangat menyakitkan untukku, kau tahu?! Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanku bila aku tak tahu apa-apa tentangmu, bahkan setelah aku resmi menjadi istrimu kelak? Pernahkah kau memikirkan itu?!!”

Justin hanya diam.

“Tahukah kau? Setelah aku mendengar semuanya dari Bibi, aku langsung merasa bahwa kau tak pernah menganggapku ada. Soalnya, aku tak pernah menjadi tempatmu untuk bercerita. Aku tak peduli jika sifatmu memang seperti itu, Justin, tetapi…apakah kau harus berbuat sejauh itu hingga tak ingin menceritakan masalahmu sama sekali, bahkan pada keluargamu sendiri? Kau membuat paman dan bibimu jadi menerka-nerka sendiri dan itu sangat sulit! Kau adalah orang yang susah ditebak, jadi kumohon...” Suara Violette mulai melemah. “Kumohon, jangan rahasiakan apa pun dariku. Kumohon, ubahlah sifatmu itu meskipun sedikit. Kumohon, Justin...”

“Aku tak merahasiakan itu darimu, Violette. Aku hanya merasa bahwa itu bukanlah hal yang harus kuingat, jadi aku tak perlu memberitahukan itu padamu,” jawab Justin.

“Tapi menurutku itu perlu!!” balas Violette.

Justin menghela napas.

“Jadi, kau mau memberitahuku hal-hal yang menurutmu ‘perlu’ saja? Apakah kau hanya melihatku sebagai rekan bisnismu?!” oceh Violette.

“Tenanglah, Violette,” ujar Justin dingin.

“Aku tidak seperti kau yang selalu berusaha untuk tenang meskipun hatiku sakit!!!” teriak Violette. Teriakan itu membuat mobil Justin sontak menuju ke pinggir jalan dan langsung berhenti. Justin menghentikan mobilnya secara paksa karena ada situasi yang memanas di dalam mobil itu.

Justin mengatupkan rahangnya dan mulai mencengkeram roda kemudi.

“Kau—jangan pernah biarkan hati dan pikiranmu terbebani lagi,” ujar Violette dengan tegas; dadanya terasa sesak karena hatinya sakit sekali. “Jangan pernah menanggung semuanya sendirian. Aku tahu kalau kau adalah orang yang tangguh, tetapi juga kau harus melihat perasaanmu sendiri. Penting untuk tahu mana yang kau bisa dan mana yang kau tak bisa. Kau itu genius, tetapi percuma saja jika kau tak mampu mengenali perasaanmu sendiri. Aku ingin kau lebih terbuka, Justin, kumohon...”

“Menurutmu, apakah selama ini aku selalu melakukan itu?” tanya Justin pada akhirnya dengan suara beratnya.

Mata Violette melebar. “Ya, Justin, itulah yang selalu kau lakukan selama ini. Paman Locardo mungkin memang bersalah saat itu, tetapi kau juga salah paham.”

“Kau menyalahkanku?” tanya Justin, menatap Violette seraya tersenyum sinis, mengunci Violette tepat ketika dia menoleh.

Violette membelalakkan mata.

“Paman Locardo itu sangat menyayangimu! Dia marah padamu karena dia overprotective terhadapmu,” balas Violette.

“Kau pikir aku memerlukan sikap overprotective-nya itu?” Justin menatap Violette dengan mata yang menyipit tajam.

“Justin...” Violette menghela napas. “Setidaknya jangan marah padanya. Jangan mementingkan dirimu sendiri.”

“Hari ini, aku sudah berbicara dengan baik padanya, Violette. Aku sedikit memikirkan itu,” ujar Justin, jakunnya tampak naik turun. “Jadi, jangan berteriak padaku. Itu bisa membuatku jadi kembali membencinya, Violette. Aku sudah benar-benar menekan amarahku hanya untuk berbicara dengannya.”

“Maksudmu?” Violette mengernyitkan dahinya.

“Aku tak pernah ingin mengalah seperti ini. Kurasa, akhir-akhir ini aku selalu dibuat terkejut karena tiap kali aku ingin melakukan sesuatu yang kubenci, tiba tiba saja…kau masuk ke dalam pikiranku. Kau mengganggu pikiranku dan membuat semuanya jadi kacau. Meskipun begitu, pada akhirnya…aku memilihmu. Aku memilihmu dan ujung-ujungnya aku jadi melakukan hal yang kubenci,” ujar Justin dingin. Justin kembali mengatupkan rahangnya seraya terus mencengkeram roda kemudi itu.

“Jadi, biarkan aku menangani semua ini bersama Locardo. Kupikir, rasa marahku padanya mungkin akan berkurang dengan sendirinya.”

Ternyata, jauh di lubuk hatinya, Justin masih menyayangi Locardo.

Violette akhirnya diam. Gadis itu mulai menatap bola mata lelehan emas milik Justin yang sangat indah. Wajah Justin mulai mendekat ke wajahnya, lalu beberapa detik kemudian, Justin menciumnya. Bibir Justin adalah bibir sangat Violette kenali; bibir itu benar-benar terasa lembut.

“Kita pergi ke butik milik kenalanku sebentar,” ujar Justin pelan, di depan bibir Violette, tepat setelah ciuman mereka terlepas.

Akhirnya, Justin pun menghidupkan mesin mobilnya kembali dan berkendara selama beberapa menit ke depan.

 

******

 

Violette turun dari mobil dan matanya langsung memandangi sekitar.

Ini—sial. Ini butik atau apa? Sebenarnya, ada berapa lantai gedung butik ini?

Justin keluar dari mobil dan menghampiri Violette yang sedang menganga.

“Sampai kapan kau akan menganga di sini?” Justin tiba-tiba bersuara. Violette kontan mengerjap dan menutup mulutnya kembali.

“Ayo.” Justin meraih tangan Violette dan menggenggamnya. Justin berjalan ke pintu masuk butik itu, membawa serta Violette yang kini hanya menunduk. Gadis itu tak mengatakan apa pun.

Setelah merasa sudah berada di dalam ruangan, Violette pun mulai mengangkat wajahnya. Alhasil, matanya langsung melebar. Dia sibuk memandangi sekeliling.

Gila! Semua pakaiannya cantik sekali!

Justin terus membawanya berjalan hingga akhirnya mereka sampai di dekat kasir.

 

“Mr. Alexander? Oh, God, Anda kemari? Kebetulan sekali! Hahaha!”

 

Violette kontan menoleh ke asal suara. Itu adalah suara seorang pria.

Langkah Justin pun terhenti. Namun, sebuah senyuman manis mulai terbit di wajah pria itu.

Justin mendekati dua orang pria yang berdiri tak jauh darinya. Salah satu dari kedua pria itu adalah pria yang menyapa Justin barusan. Sepertinya, kedua pria itu adalah rekan bisnis Justin.

“Ah, Mr. Rob,” ujar Justin seraya tertawa kecil, lalu bersalaman dengan Mr. Rob.

“Tak kusangka aku akan bertemu dengan Mr. Alexander di sebuah butik seperti ini,” ujar Mr. Robert sembari menjabat tangan Justin. Violette hanya diam tatkala memandangi semua itu. Dia sedikit bersembunyi di belakang punggung Justin.

“Ah, is that so?” jawab Justin.

Pria itu mulai tertawa renyah, lalu memiringkan kepalanya untuk melihat Violette. “Oh, Anda bersama...siapa?”

Pria yang satu lagi, yang masih agak muda, tiba-tiba menyela, “Mari, mari! Sebaiknya, kita bicara sembari duduk saja. Ini luar biasa! Kita semua bertemu di sini secara kebetulan.”

Justin mengangguk, lalu menuntun Violette untuk duduk di sofa bersamanya; Sofa itu ada di depan, di dekat dinding kaca butik.

Kopi datang bersamaan dengan beberapa kue bolu di atas meja. Ah, butik ini juga menyediakan hidangan seperti ini untuk tamunya?

Pria yang rambutnya sudah hampir memutih semua itu—Mr. Rob—pun mulai berbicara lagi.

“Jadi, apa kiranya urusan Anda...datang kemari, Mr. Alexander?”

“Aku ingin melihat gaun.”

“Ah...ini adalah calon istri Anda?” tanya Mr. Rob sembari menatap Violette lagi. Justin mengangguk pelan.

“Wah...” Mr. Rob tertawa. Ia kemudian menjabat tangan Justin. “Selamat—selamat! Selamat, Mr. Alexander. Aku ikut senang! Astaga, kurasa aku telah menyaksikan sesuatu yang sangat besar secara kebetulan.”

Pria yang satu lagi mulai bertanya, “Jadi, kapan Anda akan menikah, Mr. Alexander?”

“Hm...” Justin tersenyum tipis. “Kurasa bulan depan.”

Kedua pria itu melebarkan mata mereka, merasa kagum, lalu memberi selamat kepada Justin.

Justin tiba-tiba menoleh kepada pegawai butik yang sedang lewat di dekat mereka, lalu mengangkat sebelah tangannya untuk memanggil pegawai itu.

“Excuse me?” panggil Justin.

Pegawai itu menoleh, lalu dengan cepat dia menghampiri Justin. Dia sempat terpesona oleh Justin.

“Yes, sir?” jawab pegawai itu dengan gugup.

“I’m sorry. Can you help her to find a wedding dress? It’s for her,” ujar Justin.

Pegawai itu pun mengangguk dan langsung mempersilakan Violette dengan sopan.

Saat Violette berdiri, gadis itu sempat menoleh kepada Justin sebentar. Seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri dengan meminta ‘konfirmasi’ dari Justin. Justin pun mengangguk kepadanya dan menyuruhnya untuk mengikuti pegawai itu.

Violette akhirnya berjalan di belakang pegawai itu. Mata Justin mengawasi Violette sampai gadis itu berada di ujung sana, tengah melihat-lihat gaun pernikahan.

“Mr. Alexander, she’s beautiful,” puji Mr. Rob. Justin pun menoleh kepadanya dan tersenyum miring. Mereka pun mengobrol lagi. Sesekali mereka akan bercanda dan tertawa.

Di sisi lain, Violette berkeliling mengikuti pegawai itu dan melihat semua gaun pernikahan yang ada di sana. Demi Tuhan, Violette mendadak jadi berpikir: bagaimana cara mereka memelihara seluruh gaun ini?

Setelah banyak berkeliling, Violette akhirnya melihat sebuah gaun yang berwarna krem. Gaun itu memiliki cape yang menjuntai hingga ke bawah. Cape itu panjang sekali dan pasti akan terseret jika si pemakainya berjalan ke mana-mana. Gaun itu terlihat sangat indah. Ada butir-butir—tunggu dulu, butiran apa ini?

“Excuse me? These are…”

“Ah…those are diamonds, Miss,” jawab pegawai itu.

Apa? Berlian?

Baiklah, sudah pasti itu berlian. Apa yang Violette harapkan dari butik mewah seperti ini?

Oke, salah satu sebab mengapa Violette tertarik dengan gaun itu adalah karena ada butir-butir manik—yang ternyata merupakan berlian—yang mengelilingi gaun itu dari bagian bokong hingga ke punggung, lalu membentuk sebuah bunga yang besar. Butir-butir manik itu tersusun dan melukis gaun itu dengan cantik. Gaun itu adalah gaun tanpa lengan; gaunnya memiliki sarung tangan.

Gaun itu benar-benar megah dan indah. Violette sangat menyukai keindahannya.

Namun, tatkala mendengar bahwa butir-butir itu adalah berlian…Violette langsung patah semangat. Bayangkan saja, berliannya ada di mana-mana!! Gaun itu pasti mahal sekali!

Violette melihat label harga yang cantik di dekat gaunnya. Namun, ketika telah melihat berapa harganya, ia nyaris saja melompat ke belakang. Ia pun memantung; matanya nyaris terlepas dari soketnya.

Harga gaun itu…mencapai jutaan dollar.

Oh...please...someone... Apa-apaan harga ini?!! Princess Diana saja gaun pernikahannya tak sampai semahal ini!!

“Anda menyukainya, Miss?”

Violette tersentak. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan untuk mengatakan ‘tidak’. “Ahh—tidak, tidak.”

Pegawai itu tersenyum. “Tidak apa-apa, Miss. Anda bisa mencobanya terlebih dahulu. Itu terlihat cocok untuk Anda.”

Violette terdiam. Ia mengedipkan matanya berkali-kali.

Sebenarnya, jika tidak ada diamond-nya, gaun itu mirip dengan gaun pernikahan ibunya dahulu. Itu adalah alasan lain mengapa Violette jadi senang melihat gaun itu.

Tak lama kemudian, Violette akhirnya memberanikan dirinya untuk membawa gaun itu (dibantu oleh para pegawai) ke tempat Justin duduk sebelumnya.

Sepanjang jalan, ia hanya terus menggigit bibirnya; ia belum memakai gaun itu. Ia hanya membawanya.

Ketika ia sampai di depan Justin beserta kedua rekan bisnis pria itu, ia pun diam seraya memegangi gaunnya.

“Ada apa, Miss?!” tanya Mr. Rob dengan riang, ia merasa ikut bahagia atas kabar pernikahan dari CEO terkaya itu.

Pria yang satu lagi pun tertawa renyah, merespons Mr. Rob. Violette kemudian menunduk dan menggigit bibirnya.

“Ada apa, Violette?” tanya Justin pelan.

Violette memejamkan matanya sebentar, sebelum akhirnya ia mulai memberanikan dirinya untuk menatap Justin.

“Justin...bagaimana menurutmu dengan gaun i—ni?” tanya Violette dengan gugup.

Violette menunjukkan gaun itu kepada Justin, dibantu oleh para pegawai butik.

Mata Justin menyipit. Justin memandangi gaun itu dari atas hingga ke bawah; ia diam untuk waktu yang lumayan lama. Jantung Violette berdegup kencang saat menunggu responsnya.

“Kau mau itu?”

Mata Violette membulat. Justin kini tengah memiringkan kepalanya.

“Eh?” Violette mendadak bingung.

“Kau tak mau mencobanya? Itu terlihat sangat bagus untukmu,” ujar Justin.

Mata Violette membeliak lagi. Gadis itu tercengang. “Benarkah?”

“Sepertinya, Anda sangat menyayangi calon istri Anda. Jujur saja saya tidak pernah melihat sisi Mr. Alexander yang seperti ini!” Mr. Rob dan pria yang satu lagi itu tertawa.

“Well… Aku merasa dia agak jarang memilih pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas seperti gaun itu, tetapi itu cocok untuknya. Istriku akan terlihat seksi pada malam pertama.” Justin menatap Violette sembari tersenyum miring.

Kedua pria yang lain langsung tertawa terbahak-bahak.

Pipi Violette kontan merona dan ia merasa tersudut bak kertas origami remuk yang terlempar ke ujung ruangan. Apa-apaan? Justin...Justin sedang mempermalukannya!!

Akibat merasa kesal (walau pipinya memerah), Violette pun langsung berbalik dan meninggalkan Justin, diikuti oleh para pegawai yang tadi menemaninya. Demi apa, ia kesal sekali pada Justin! Kesal sekali!!

Haruskah Justin menggodanya seperti itu? Itu memalukan! Dia, si Iblis yang dingin itu, pasti sengaja melakukannya! Oh, Goddammit!

Namun, pada akhirnya, Violette tetap pulang membawa gaun itu. Ia pulang bersama Justin. Justin bilang, gaun itu akan dipakai di salah satu acara pernikahan mereka. Mereka harus mempersiapkan beberapa gaun. Ini adalah acara pernikahannya pemimpin Alexander Enterprises, jadi mungkin mereka harus membuat acaranya dilaksanakan di beberapa lokasi.

Saat baru saja keluar dari butik itu, tiba-tiba ponsel Violette berbunyi.

Gadis itu menjauhkan dirinya terlebih dahulu dari Justin, lalu ia mulai mengambil ponselnya yang ia letakkan di dalam tasnya. Ia pun melihat ada sebuah pesan masuk.

Ada sebuah petir yang seakan-akan menyambarnya ketika ia melihat pesan itu. Itu adalah pesan dari…Elika.

Setelah melihat isi pesan itu, ekspresi wajah Violette langsung berubah.

“Dari siapa, hm?” tanya Justin. Pria itu berhenti berjalan dan menoleh kepada Violette. Mereka masih ada di depan butik, sedang mau menuju ke mobil Justin.

“Justin,” panggil Violette dengan lirih.

Justin hanya diam; dia menunggu perkataan Violette selanjutnya dengan mata yang mulai menyipit. Agaknya, dia telah mengendus sesuatu dari ekspresi wajah Violette.

“Kita harus berakhir. Kita tidak boleh bertemu lagi,” ujar Violette, kemudian ia menjatuhkan bingkisan gaun pernikahan itu dan berlari menjauhi Justin yang matanya membeliak begitu kata-kata itu ia ucapkan. []

 














******





Evan Roger Alexander, si bocil fashionista nyebelin.








No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...