Sunday, June 8, 2025

My Man (Bab 11)

 


******

Bab 11 :

 

ALFA masuk ke mobil setelah bundanya duduk di jok penumpang depan. Wajah Alfa sedari tadi tampak damai dan penuh senyuman. Seat belt hampir saja lupa ia kenakan kalau saja ia tak memfokuskan dirinya kembali. Malam ini agaknya terlalu mengesankan bagi Alfa.

"Lho, Fa? Kamu itu kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanya Bunda Aira—bundanya Alfa—sembari menggeleng. Wanita paruh baya yang berjilbab itu baru saja memakai seat belt-nya.

Alfa tersentak; dia langsung menatap bundanya.

"Eh, Bunda," ujar Alfa sembari tertawa kecil. "Nggak, nih, Bun, lagi seneng aja."

Alfa sedang mengeluarkan mobil dari garasi. Rumah Alfa berwarna krem; suasana di luar dan di dalam rumah itu selalu teduh, sesuai dengan sifat orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Senyum manis Alfa selalu sukses membuat cewek-cewek dan ibu-ibu di kompleks perumahan itu meleleh. Pokoknya, kalau Alfa lewat, banyak banget ibu-ibu di sana yang menyapa Alfa ramai-ramai sambil kesengsem. Alfa adalah sosok menantu idaman bagi ibu-ibu.

"Emang kamu seneng kenapa? Karena mau ngundurin diri dari universitas, ya?" ujar Bunda Aira. Bola mata berwarna coklat milik Bunda Aira menatap Alfa dengan sedih. Putra sulungnya itu akan meninggalkan Jakarta.

Alfa menatap bundanya dengan khawatir. Ia pun menggenggam jemari bundanya itu dengan lembut. "Bunda... Alfa, kan, bakal pulang tiap libur semester. Lagian, ITB nggak jauh-jauh amat kok dari Jakarta. Bandung dan Jakarta masih sama-sama di Pulau Jawa, 'kan, Bun."

"Lagian, kamu ngapain pindah, sih? Udah bagus-bagus ngambil jurusan Teknik Elektro di UI, ‘kan?" omel Bunda Aira. "Ini Bunda juga pusing kalo si Kila mau lanjut sekolah di tempat yang jauh."

Alfa tertawa. Tawa manis itu membuatnya terlihat semakin charming. "Ya habisnya gimana, dong, Bun, Alfa penginnya masuk jurusan Teknik Penerbangan yang ada di ITB. Nggak terlalu jauh juga dari Jakarta. Udah berapa kali Alfa ikut tes masuk ITB, tapi nggak lulus. Jadi, ya…Alfa ikut tes lagi tahun ini."

"Iya dan kamu lulus," ujar Bunda Aira, "Hadeh, Nak… Kamu ini maen ninggalin Bunda aja. Bandel banget. Pengen Bunda jewer kayak waktu SD?"

Alfa kaget, dia langsung menoleh kepada ibunya dan matanya membulat. "Waduh, Bun..."

Bunda Aira tertawa. Wanita paruh baya itu membenarkan jilbabnya yang sebenarnya tidak berantakan.

"Ya udah, kamu baik-baik aja ntar kalo udah mulai kuliah di ITB. Kamu udah berapa tahun kuliah di UI dan malah mengundurkan diri. Sayang banget. Ntar ketuaan baru tau rasa," omel Bunda Aira lagi.

Alfa tertawa.

Keinginan Alfa untuk menjadi mahasiswa Teknik Penerbangan di ITB telah diketahui oleh banyak orang sehingga dia dicap sebagai 'Anak Teknik Penerbangan' oleh teman-temannya. Hal itu juga diketahui oleh Talitha dan Basuki. Nah, dia jadi kembali mengingat hal yang membuatnya terus tersenyum sedari tadi.

Ujung-ujungnya, dia tersenyum lagi.

"Lha, dibilangin kok malah senyum-senyum? Kamu ini sebenernya kenapa, Fa?" tanya Bunda Aira. Mata Alfa membulat lucu. Ia bahkan tak sadar kalau ia sedang tersenyum.

"A—Ah... Nggak ada kok, Bun. Lagi mikirin sesuatu aja," jawab Alfa.

"Ya mikirin apa?" tanya bundanya. Namun, tiba-tiba wanita itu mengernyitkan dahi. Dia jadi tersenyum.

"Ah, Bunda tau," kata Bunda Aira sembari menaikturunkan alisnya dengan jail. "Kamu lagi mikirin Ita, ya?"

Alfa kontan kaget bukan main. Wajahnya mendadak tegang; matanya membulat. Reaksinya itu membuat Bunda Aira jadi tertawa kencang.

"Bunda kok malah ngetawain gitu, sih," ujar Alfa, mendadak dia jadi keki melihat Bunda Aira yang selalu mengerti gelagatnya.

"Duh...Nak, kalo kamu kuliahnya kelamaan, ntar kamu ketuaan. Kalo Ita nggak mau sama kamu, gimana? Hayoo…" goda Bunda Aira jail. Alfa tertawa.

"Bunda nih," ujar Alfa. Well, betapa pun dewasanya seorang anak, anak itu akan tetap terlihat seperti anak kecil di mata orangtuanya.

Bunda Aira hanya tertawa sembari menepuk-nepuk pundak putranya yang tak terasa sudah terlihat bidang. Alfa adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi dan tegap. Namun, pesona Alfa yang tak bisa dipungkiri adalah wajah dan senyum manisnya.

"Eh, iya. Ntar kita ke BRI aja dulu, Fa. Bunda pengen ngambil uang dulu sebelum kita belanja di supermarket," ujar Bunda Aira sembari mencari dompet di dalam tasnya.

"Di deket sini kalo nggak salah ada ATM BRI, Bun," ujar Alfa sembari melihat ke depan, menyetir dengan fokus.

Namun, mata Alfa tiba-tiba melihat sesuatu yang tak asing. Ada sebuah mobil di depan sana yang menuju ke arah yang berlawanan. Mobil itu akan berpapasan dengan mobil yang Alfa kendarai. Kaca mobil itu tidak gelap; Alfa bisa melihat apa yang di dalamnya.

Itu adalah Talitha.

Talitha sedang bersama dengan orang yang pernah Alfa temui: orang yang mengaku sebagai calon suami Talitha. Alfa baru-baru ini tahu bahwa pria itu adalah mantan aktor dari Taiwan karena wajah pria itu beberapa kali muncul di televisi.

Alfa menyipitkan mata, terus menatap mobil itu hingga mobil itu berada tepat di sampingnya...lalu melewati mobilnya. Alfa nyaris saja memutar kepalanya hanya untuk melihat dengan jelas sosok yang ada di dalam mobil itu.

Talitha dari mana?

Padahal, rencana Alfa itu begini: setelah mengantar bundanya berbelanja, ia akan bersiap-siap untuk pergi menonton bioskop bersama Talitha (sesuai dengan perjanjian mereka di telepon). Namun, Talitha agaknya memiliki banyak urusan...dan Alfa juga tahu bahwa calon suami Talitha itu sangat posesif.

"Fa? Kenapa, Nak?"

Alfa mengerjap. Ia langsung menoleh kepada bundanya dan menggeleng dengan cepat, "Aduh—ya ampun. Sorry, Bun.”

Di sepanjang jalan, Alfa mengernyitkan dahinya. Pemuda itu memikirkan nama calon suami Talitha; dia baru mengetahui nama pria itu akhir-akhir ini karena sering muncul di televisi.

Entah mengapa, Alfa selalu merasa kalau pria yang mengaku sebagai calon suami Talitha itu…aneh.

 

Marco Deon Abraham...

 

******

 

Deon tak kunjung melepaskan genggaman tangannya sejak Talitha turun dari mobil. Talitha berdecak tatkala melihat punggung Deon dari belakang, heran dengan sikap Deon yang (lagi-lagi) seperti ini. Deon tak pernah berniat untuk mengendurkan genggaman tangan mereka seolah-olah Talitha akan kabur bila ia mengendurkannya sedikit saja.

"Oi, Mas Ganteng, aku nggak bakal kabur kok. Etdah," ujar Talitha dengan ekspresi datar. Deon tak menjawab apa pun.

"Hellooo, Mas Deon. Prikitiew! Aku, kan, udah di rumahku sendiri… Mana mungkin aku kabur.” Talitha jadi menggeleng sendiri.

Deon menghela napas.

"Jadi, kalau kita nggak lagi di rumah kamu, kamu bakalan kabur?" balas Deon tajam. Talitha spontan berdecak lagi karena kesal. Namun, sayangnya…bibirnya masih perih. Tadi, Deon menciumnya dalam waktu yang lama; ciuman itu terasa seperti…membekas di bibir Talitha. Kalau kau menjaili atau ‘memancing’ Deon, kau sungguh salah sasaran. Deon bukanlah tandinganmu. Pria itu mampu membungkam orang lain dengan cepat.

Mereka berdua sudah sampai di depan pintu rumah Talitha. Deon menekan bel dan tak lama kemudian terbukalah pintu rumah berwarna putih itu. Terlihatlah Mama Talitha di sana, berdiri dengan memakai daster batik.

"Malem, Ma," sapa Deon dengan ramah; Deon menyalami wanita paruh baya itu. Mama Talitha langsung tersenyum senang, langsung excited, terlalu kesengsem dengan kelakuan pria tampan yang bakal jadi menantunya itu.

"Aduuuuhhhh, ini menantu Mama kok ganteng banget, sih? Astagaaaa!" teriak Mama Talitha, jadi fangirling. "Ayo, silakan masuk! Sore tadi, pas kamu bawa Ita tiba-tiba, Mama tau kalo kamu bakal nganterin si Kunyuk ini pulang lagi. Jadi, mama sempet-sempetin untuk bikin makanan dan minuman buat kamu."

Deon tertawa. Gigi putihnya dan matanya yang melengkung saat tertawa itu sukses menambah keindahan wajahnya. Deon benar-benar jadi menantu idaman kalau sudah di depan orangtua Talitha. Berbeda sekali dengan beberapa saat yang lalu, saat pria itu memarahi Talitha akibat sifat posesif yang dimilikinya.

Talitha mencibir. "Heleh…kan, kan. Kalo Deon mampir, pasti aku dilupain. Apa salah hayati? Apakah orang mesum kayak aku harus selalu terdeskriminasi? Apalah dayaku yang butiran debu ini, Tuhan..." ujar Talitha seraya mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan penuh harapan karena nasibnya yang ngenes.

Mendadak Mama Talitha tertawa kencang. Dia mendorong kepala Talitha dengan jari telunjuknya, tetapi anehnya, Deon tak membalas kalimat Talitha. Deon justru ikut tertawa.

Mama Talitha menggeleng. "Nih anak kurang ajar amat, astagaaa. Udahlah tadi sore abis diare, sekarang dia sok jadi manusia yang paling kesiksa. Besok entah apa lagi ulahnya. Pengen ditabok, kayaknya."

Deon tiba-tiba diam. Kedua alis Deon sedikit terangkat.

 

Talitha...habis diare?

 

Deon menunduk dan menaruh kepalan tangannya di bibirnya. Dia tersenyum. Diare? Baru kali ini dia melihat perempuan yang aneh bin ajaib seperti Talitha. Gadis itu memang tidak punya malu sama sekali.

Tiba-tiba gadis itu menceletuk, "Buset dah! Gitu aja terus, ya, sampe Uchiha Itachi ikut membantu Jorge Lorenzo menjuarai MotoGP dengan bantuan kerang ajaibnya Spongebob."

"BHAHAHAHAH!!!!" Mama Talitha langsung tertawa kencang. Wanita paruh baya itu mulai memegang perutnya yang kini terasa sakit karena kebanyakan tertawa, lalu ia menarik masuk Talitha dengan paksa. Wanita paruh baya itu nyaris menangis karena tertawa terlalu kencang. Sementara itu, Talitha menatap Deon yang ternyata juga tertawa geli sedari tadi.

 

Kalo nggak salah, itu meme yang lagi terkenal, ‘kan?

Luar binasa.

 

Ketika mereka sudah sampai di ruang tamu, mama Talitha pergi ke dapur untuk mengambilkan Deon makanan dan minuman. Deon kini sudah duduk di sofa dengan tenang, tetapi masih tersisa senyuman di wajah pria itu. Dia baru saja selesai tertawa.

"Tumben ketawa? Bisa ketawa juga ternyata nih anak satu," komentar Talitha. Ia duduk di sofa yang berdekatan dengan Deon dan posisi duduknya tak ada bagusnya sama sekali.

"Jadi, aku nggak boleh ketawa?" tanya Deon sembari menaikkan sebelah alisnya.

"Ya bolehlah, tapi kamu jadi kayak kerasukan jin baik," ucap Talitha asal.

Deon menyipitkan matanya. "Aku nggak ngerti kenapa mama kamu yang cantik itu ngelahirin putri yang semrawut kayak kamu, Talitha."

"Weeeh, mulai belajar ngeledek dia," ujar Talitha. Gadis itu tiba-tiba terlihat kagum; matanya membulat antusias. Sambil menggeleng, dia pun berkata, "Kayaknya, aku udah ngasih pengaruh buruk ke kamu, ya?"

Mata Deon menyipit tajam. "Menurut kamu? Lagian, manusia mana di dunia ini yang berspekulasi kalo salah satu karakter di Naruto ikut ngebantu Jorge Lorenzo dengan bantuan kerang ajaib? Cuma kamu. Satu-satunya di dunia."

Talitha ngakak bukan main. Suara tawanya nyaris memekakkan telinga.

"Duh, Deon…Deon. Kamu kayaknya jadi ikut gila! Mantep, vroh," ujar Talitha. Gadis itu tertawa sampai Deon khawatir kalau urat-urat di leher gadis itu akan putus semua.

Deon menggeleng.

"Aku rasa, kalo kamu bukan kerja di bidang Teknik Sipil, nantinya kamu bakal jadi pelawak. Kamu itu perempuan paling aneh yang pernah kutemui, Talitha."

Talitha tambah mengakak habis-habisan. Bukannya apa, wajah Deon saat mengatakan itu—astaga! He’s such a bae. Itu adalah ekspresi wajah yang dulunya tak mungkin Marco Deon perlihatkan. Siapa sangka kalau si posesif yang super sadis itu bisa mengeluarkan ekspresi ‘antara-heran-dan-mau-tertawa’ seperti itu?

Berada di rumah Talitha selama dua jam lebih kini tidak masalah bagi Deon. Itu sudah menjadi rumah ternyaman baginya untuk menghabiskan waktu.

 

******

 

Talitha menutup selimutnya sampai ke kepalanya dengan tergesa-gesa.

Deon sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Sebelum pergi, pria itu sempat memperingati Talitha, "Jangan hubungi siapa-siapa lagi. Aku bakal minta tolong sama kenalanku buat nyadap HP kamu."

Talitha kesal bukan main.

Mereka ujung-ujungnya bertengkar lagi. Yang benar saja, teman-teman Talitha sering sharing tentang tugas dari dosen ke ponsel itu. Selain itu, chat yang menggelikan dan penuh desahan dari Basuki juga selalu masuk ke ponsel itu. Kalau Deon melihatnya...apa Deon akan terpengaruh? Terangsang? Wah.

Talitha mendadak tertawa keras. Membayangkan Deon melakukan hal yang nyeleneh memang lawakan nomor satu. Yang jelas, ponsel itu isinya aib semua!

Namun, hal yang Deon lakukan saat mereka bersama di apartemen pria itu... Astaga.

Apa yang sebenarnya Deon pikirkan saat itu?

Ciuman itu... Ya Tuhan.

Talitha menggeleng kencang. Ia menarik selimutnya ke bawah lagi dan menendang-nendang kasurnya seperti orang gila. Pikirannya melayang ke mana-mana memikirkan Deon dan segala perilaku pria itu. Tanpa sadar, pipi Talitha merona. Talitha mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa mungkin saja itu terjadi karena dia sedang lapar. Iya, lapar. Itu pasti karena dia sedang lapar.

Namun, debaran jantungnya itu tak bertahan lama karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Talitha mengambil ponselnya dan sadar bahwa itu adalah notifikasi dari BBM. Itu adalah pesan di grup dari teman-teman sejurusan Talitha. Tidak semua mahasiswa jurusan Teknik Sipil ada di dalam grup itu; hanya beberapa yang benar-benar akrab dengan satu sama lain.

 

UITSIPIL015 (31)

General Discussion

 

Caca Ferlina: DIBERITAHUKAN KEPADA SELURUH MAHASISWA TEKNIK UI UNTUK MENGHADIRI SEMINAR NASIONAL TEKNIK SIPIL DAN TEKNIK ELEKTRO DI NEO HOTEL MANGGA DUA PADA HARI SABTU, 9 OKTOBER 2016 JAM 08.00 SAMPAI SELESAI.

PENDAFTARAN AKAN DISELENGGARAKAN BESOK (KE PANITIA: MAHASISWA TEKNIK ELEKTRO). LOKASI PANITIA PENDAFTARAN AKAN DI UMUMKAN DI KAMPUS. UNTUK LEBIH JELASNYA, SILAKAN HUBUNGI WA: +6281273319386. AYO BURUAN DAFTAR BERSAMA TEMAN-TEMANMU!

Rifsach Fernanda: Ekamfret, tugas nggambar aja belom gue kumpul ke dosen. Bantu dong kawan

Tommy Erlangga: I know that feel bro

Rifsach Fernanda: Gue kerja keras karena gue sadar kata I Love You gak akan cukup untuk menjamin masa depan bini gue kelak bro

Randytama: Ea ea eaa :V

Tommy Erlangga: ehanjir wkwkwkwkwkwkw calon bini lu belum lahir keknya

Vania Bertha: kata-katanya si Rifsach kedengeran macem kentut di telinga gue sial

Randytama: Ea ea eaaa :V

Vania Bertha: diem lu randy njir

Loki Sibagariang: Perasaan gue sebulan yang lalu baru ada seminar :V

Re Fa: Kenapa harus daftar sama mahasiswa teknik elektro?

axel purna: Kenapa harus daftar sama mahasiswa teknik elektro? (2)

siti nur mahesa: Karena anak teknik sipil stress semua mungkin wkwkwkw

Talitha Sava A.: Mari kita tepuk tangan bersama-sama :V

Re Fa: Cie si Ita muncul

Tommy Erlangga: Cie si Ita muncul (2)

Vania Bertha: Cie si Ita muncul (3)

Loki Sibagariang: Cie si Itaik Anyuk :V

Talitha Sava A.: Gitu aja terus sampe taik anyuk jadi harum

siti nur mahesa: Bjir hahahahah

 

Talitha tertawa terbahak-bahak. Ia menutup aplikasi BBM-nya dan mulai berhenti meladeni teman-temannya yang sama gilanya. Chat dari orang-orang seperti itulah yang bakal disaksikan Deon kalau Deon nge-hack ponselnya. Talitha mengakak sendiri tatkala membayangkan Deon melihat isi chat-chat aib itu. Apa Deon bakal tercengang? Sial! Itu membuat Talitha tertawa sendiri seperti orang gila. Lagipula, tumben Basuki tidak menimbrung di grup itu. Apa si banci itu sudah tidur? Luar binasa.

Seminar lagi, ya? Aduhai.

 

******

 

Talitha berjalan ke kerumunan di depan salah satu kelas. Basuki dari tadi sibuk menyenggol lengan Talitha, mengajak Talitha kembali ke ruang kelas mereka, tetapi Talitha memaksa Basuki dan menarik tangan Basuki dengan kencang untuk tetap ikut dengannya menerobos kerumunan itu.

"ELO KIRA BADAN GUE RAMPING?" teriak Basuki tanpa malu karena ia kesal dengan Talitha. Talitha tertawa bak kesetanan.

"Naah, akhirnya lo ngaku kalo lo nggak ramping. Wakwaaaw! Biasanya, lo selalu sok ramping macem model sempak!" teriak Talitha kencang. Gadis itu sampai ditempeleng oleh Basuki karena dia berteriak di tengah keramaian. Namun, Talitha? Mana mungkin gadis itu punya urat malu.

"Woi, Monyet, lo sadar nggak kalo kita lagi di kampus, HA?! LO MAU NANA TENDANG?!" teriak Basuki lagi. Talitha tambah ngakak.

"Ahahah—hadeh..." Talitha mencoba untuk menghentikan tawanya. Gadis itu mengelus-elus perutnya sendiri. "Ya makanyaaaa, sabar dulu, oi! Kita nih mau daftar seminar. Jadi, wajar kalo rame! Elo dikit-dikit ngajak balik terus!"

"Yah abisnya sesek banget, njir! Ntar Nana kena kumannnn! Uuugh," ujar Basuki dengan ekspresi jijik. Talitha langsung memasang ekspresi datar.

"Sini, biar gue kasih kuman," ujar Talitha sembari menjulurkan lidahnya—dan mendekati Basuki—seolah-olah ingin menjilat Basuki.

Basuki kontan membulatkan matanya. "Eh, anjir! Njir! Njir! NGEJAUH NGGAK LO?!! KAMVRET!! ENYAH SANA!!"

Talitha tertawa kencang. Mereka tak peduli dengan banyaknya orang yang menatap mereka seolah-olah mengatakan, 'Nih dua anak sialan perlu ditenggelemin banget.'

Akhirnya, Talitha dan Basuki pun mendaftar. Pendaftarannya berupa tanda tangan dan pembayaran tiket masuk sebesar enam puluh ribu per orang. Semua administrasi itu dilakukan di atas meja panjang yang membatasi panitia dengan pendaftar. Talitha sampai di sana dan melihat ke salah satu panitia yang ada di depannya. Talitha lantas mengernyitkan dahi.

Lah?

"Kak…Alfa?" ujar Talitha begitu melihat Alfa di depannya.

Alfa agak membulatkan matanya saat melihat Talitha. Pemuda itu memakai almamater UI yang tampak begitu pas di tubuh tegapnya. Dia tersenyum manis tatkala melihat Talitha. Senyum manis miliknya yang sukses menggegerkan cewek-cewek di antrean yang sangat padat itu. Basuki sampai kesengsem di samping Talitha. Talitha pun melongo; dia menggeleng kagum. Gila, Alfa ganteng banget hari ini!

"Eh, Ita. Mau daftar?" tanya Alfa santai. Sebenarnya, ini adalah kesempatan yang jarang bisa ia dapatkan. Soalnya, bertemu dengan Talitha di kampus itu sangat sulit.

"A—h… Iya, nih, Kak," jawab Talitha. Alfa masih saja tersenyum. Talitha sampai mematung di tempat.

Gila, weh. Pantesan Kak Alfa banyak fans!

"Ini. Tanda tangan di sini, ya. Abis itu, tulis nama dan jurusan kamu," ujar Alfa seraya menyodorkan selembar kertas pada Talitha. Tak henti-hentinya Alfa memandang Talitha dengan wajah manisnya itu; Basuki terus kagum karenanya.

Tak lama kemudian, Talitha selesai mendaftar, begitu juga Basuki.

"Nih, Kak. Makasih, Kak," ujar Talitha. Alfa mengangguk pada Talitha dan gadis itu langsung menarik Basuki untuk keluar dari kerumunan itu. Orang-orang mulai ingin selesai lebih cepat karena suasananya bikin sesak. Selain itu, cuacanya juga panas.

Ketika Talitha dan Basuki bebas dari garis antrean yang panjang itu, mereka menarik napas macam orang yang selama ini tak pernah bernapas.

"Duh, mampus! Sesek banget, weeh!" teriak Talitha kencang.

Basuki ngos-ngosan di sampingnya"Lama-lama, ramping juga badan Nana kalo terus diimpit kayak gitu. Aduuch, kepriben iki..."

Talitha tertawa keras.

Saking lepasnya Talitha tertawa, gadis itu tak sadar bahwa ia menginjak sebuah pena yang tergeletak di lantai. Mata Talitha membulat saat ia sadar tubuhnya mulai oleng. Mata Basuki langsung memelotot, sementara Talitha mulai nyaris jatuh. Namun, ada sebuah tangan yang langsung memegang lengan kirinya, mencegahnya agar tidak jatuh. Basuki mulai teriak-teriak tak jelas; dia juga menarik lengan kanan Talitha.

Talitha menoleh kepada penolong pertamanya itu, lalu mendapati wajah terkejut Alfa di sana.

"Duh, Ita, hati-hati," ujar Alfa panik. Pemuda itu langsung membantu Talitha untuk berdiri tegak. Talitha meneguk ludahnya, lalu menggaruk kepalanya.

"Ah—astaga! Maaf, Kak, Ita nggak liat jalan. Hohoho," ujar Talitha. Alfa tertawa kecil sembari menggeleng geli.

Beberapa detik kemudian, Alfa mulai menghela napas.

"Ita, maafin Kakak, ya. Semalem Kakak nggak jadi jemput Ita buat nonton bioskop," ujar Alfa dengan penuh penyesalan.

Talitha mengedipkan matanya berkali-kali seolah tak mengerti dengan apa yang sedang Alfa bicarakan. Eh, tapi…tunggu dulu.

Oh, iya!

Talitha lupa bahwa semalam dia punya janji dengan Alfa!! Alfa mengajaknya menonton bioskop ketika mereka bertelepon kemarin...

Waduh.

Talitha hanya bisa cengar-cengir tak jelas. "Oh, iya... Ya udah, nggak apa-apa kok, Kak. Santai aja. Ngahahaha."

Alfa pun kembali menghela napasnya. Pemuda itu lalu tersenyum.

"Iya. Maaf, ya, Ita. Soalnya, Bunda minta ditemenin belanja tadi malem," ujar Alfa sembari sedikit tertawa.

Bukan karena Bunda minta ditemenin belanja, tapi karena Kakak takut bakal terjadi sesuatu sama kamu kalo Kakak ngajakin kamu nonton pas Marco Deon itu lagi sama kamu.

Talitha lantas mengangguk.

"Nggak apa-apa kok, Kak. Bunda Aira, kan, mau belanja. Bunda tuh cantik; ntar bunda malah digodain orang kalo belanja sendirian. Whahahahahahah!" Talitha tertawa lagi.

"Kamu ini, Ta. Ada-ada aja," ujar Alfa sembari mengacak rambut Talitha dengan gemas. "Ya udah, Kakak balik ke maja panitia lagi, ya. Tadi Kakak ngejer Ita karena mau minta maaf."

"Oke sip, Kak. Ho'oh," jawab Talitha sembari mengacungkan jempolnya di depan Alfa. Alfa tertawa kecil, lalu dia pergi meninggalkan Talitha.

Sepeninggal Alfa, tiba-tiba Basuki mulai mencolek pinggang Talitha. "Cieee, si Kunyuk! Diajakin nonton, yaaa? Yiiihhaaaaa!! ASEEEK!!"

"EH KAMVRET..." Talitha langsung mengejar Basuki sembari tertawa terbahak-bahak.

 

******

 

Chintya memukul bola bulu tangkis itu dengan sempurna ke arah Deon. Gadis cantik itu tersenyum saat melihat Deon mengembalikan bola itu padanya dengan mudah. Ia tertawa riang saat Deon memuji bahwa servisnya bagus. Meski Deon orang yang tidak friendly, Deon tak pernah sungkan untuk memujinya.

Keringat mengucur di sekitar pelipis Chintya. Gadis itu memakai pakaian olahraga seksi yang menampakkan perutnya dan lengannya secara penuh. Ditambah lagi, rambutnya dikucir kuda sehingga ia tampak sangat seksi dan menarik. Deon hari ini hanya menggunakan kaus hitam tanpa lengan serta celana olahraganya. Tubuh Deon tampak sangat menggoda tatkala dia berpenampilan seperti itu.

Chintya tahu kalau ada beberapa orang yang memfoto mereka sedari tadi. Namun, Chintya membiarkan mereka karena Chintya menginginkan itu. Biar dunia tahu bahwa dialah gadis yang istimewa di dalam hidup Deon.

"Kamu nggak capek?" tanya Deon sembari mengusap keringat di keningnya dengan sapu tangan ketika mereka selesai. Chintya tertawa dan mendekati Deon.

"Nggak. Ngehabisin waktu sama kamu nggak bakal bikin aku capek," jawab Chintya sembari tersenyum senang.

Deon hanya tersenyum simpul, lalu berjalan ke pinggir lapangan dan meminum air mineral yang ia bawa.

"Aku nggak ngerti apa maksud kamu, Chintya," ujar Deon.

Chintya tertawa. "Hehehee… Oh ya, Deon, ayo kita belanja!!"

Deon berhenti minum; pria itu menatap Chintya seraya mengernyitkan dahi.

"Come on, Deooon. Kamu belum pernah ngajakin aku jalan-jalan sejak aku datang ke Jakarta," ujar Chintya. Ia memeluk lengan Deon dengan manja. "Ayooooo, dong…"

Deon hanya diam.

"Please?" rayu Chintya lagi.

Deon menghela napas dan melepaskan pelukan Chintya dari lengannya. "Chintya, nanti aku bakal ngajak kamu jalan-jalan pas aku libur. Kerjaanku nggak boleh terganggu."

Chintya tersenyum. Gadis itu sedikit menunduk, lalu menggigit bibirnya. Dengan malu-malu, ia pun kembali menatap Deon. "Emangnya...kamu lagi ngerjain apa di kantor?"

"Apa aku harus ngejabarin tugas-tugas direktur ke kamu?" jawab Deon dengan suara rendahnya. Matanya menyipit tatkala menatap Chintya.

Chintya tertawa kecil. "Hmmm...boleh."

"Kamu ini ada-ada aja," ujar Deon seraya menggeleng. "Hmm… Intinya, hari ini aku mau meeting. Abraham Groups mau memperbesar perancangan proses manufaktur sekaligus ngejajah akuisisi beberapa perusahaan lain sebagai produsen velg. Aku harusnya meeting buat ngebahas itu hari ini, tapi kamu malah ngganggu aku."

Chintya mengangguk dengan antusias, tak menghiraukan kalimat terakhir Deon. "Kasih tau aku, dong, soal bisnis yang sekarang lagi kamu kejer."

Deon mendengkus. "Bisnisnya nggak boleh dikasih tau ke orang lain karena terikat dengan Non-Disclosure Agreement."

Chintya tertawa kecil. "Kamu sekarang udah bener-bener jadi seorang direktur, Deon."

"Kamu lagi bercanda, ya?" tanya Deon seraya menaikkan sebelah alisnya.

Chintya berdecak, dia langsung memukul bahu Deon dengan manja. "Ihh! Apaan, sih, Deon? Emangnya nggak boleh, ya? Dasar nggak romantis. Untung aku sayang."

"Hm," deham Deon singkat. "Jadi, kamu mau belanja?"

Sontak mata Chintya berbinar-binar. "Kamu mau nemenin aku?"

Deon mengangguk singkat. "Ayo. Aku temenin kamu sampe dua jam ke depan."

Chintya bersorak kegirangan. Ia melompat kecil, memeluk Deon, lalu mencium pipi Deon sesuka hatinya. "DEOON! THANK YOU!! OH, GOSHHH! I LOVE YOU SO MUCH!"

Deon melepaskan Chintya yang menempel di tubuhnya itu dengan pelan. Sesungguhnya, Deon sudah tahu kalau reaksi Chintya pasti akan berlebihan layaknya reaksi anak-anak. Deon sudah tahu dari dulu, tetapi…mengapa akhir-akhir ini…semua itu terasa agak aneh? Terutama…sejak dia bertemu dengan Talitha yang orangnya tidak manja sama sekali. Sikap Chintya itu mendadak jadi terlihat aneh di matanya.

"Kamu udah tau kalo aku juga sayang sama kamu, Chintya. Jadi, kayaknya kamu nggak perlu se-excited itu," ujar Deon. Perkataannya membuat Chintya tertawa riang.

Setelah itu, mereka berdua berganti pakaian dan pergi berbelanja ke salah satu mall di Jakarta. Mereka mengunjungi beberapa toko perhiasan, butik, tas, dan sepatu-sepatu ber-merk. Akan tetapi, saat Chintya sedang memilih dress, Deon tiba-tiba teringat sesuatu. Pria tampan itu lantas mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan mencoba untuk menelepon seseorang.

 

Dering pertama.

Dering kedua.

Dering ketiga.

 

"Haloooo…" Suara cempreng Talitha mulai terdengar di telinga Deon.

"Kamu pulang jam berapa," tanya Deon dengan penuh penekanan, membuat pertanyaannya jadi tidak terdengar seperti pertanyaan. "Jangan pulang sama sembarang orang. Abang kamu sekarang pasti lagi rapat direksi; dia mungkin nggak bisa jemput kamu. Jadi, jangan harap kamu bisa pulang sama sembarang orang selain aku."

"Lha, kan emang biasanya pulang sama kamu. Kamu amnesia, ya? Apaan coba."

Mata Deon menyipit tajam. "Kamu selalu kabur kalo nggak kuperingatin, Talitha."

Terdengar suara tawa Talitha yang kencang dari seberang sana; suara tawa itu berhasil membuat dahi Deon berkerut.

"Ya muka kamu itu tingkat keseremannya dikurangin dikit kek! Ini aku berasa dijemput sama iblis buat ke neraka setiap hari njir."

"Yang bikin aku jadi iblis itu kemungkinan kamu," ujar Deon.

"Weeeh, malah nyalahin aku nih anak! Kurasa kamu dari lahir udah kayak monster!"

"Stop menggila, Talitha. Aku bukan monster kayak kamu," ujar Deon, jakun pria itu naik-turun dan dia menghela napas samar. "Nanti aku jemput kamu. Aku nggak suka penolakan. Dengar kamu?"

Panggilan telepon itu dimatikan secara sepihak oleh Deon.

Satu dari puluhan hal di dunia ini yang membuat emosi Deon tak terkendali adalah keposesifannya sendiri. Dirinya jadi posesif bukan main kalau menyangkut sesuatu yang merupakan miliknya. Deon menggertakkan giginya; pikirannya melayang ke mana-mana. Dia kesal tatkala memikirkan Talitha pulang dengan laki-laki lain atau dengan siapa pun yang dapat melukai gadis itu. Apa yang dia tahu hanyalah mempertahankan semua yang telah menjadi miliknya. Tak boleh ada orang yang mengusik miliknya.

Deon mengusap rambutnya ke belakang setelah ia menaruh ponselnya kembali ke dalam saku jasnya.

"Nelepon siapa, Deon?"

Deon menatap Chintya seraya mengernyitkan dahi begitu gadis itu datang kepada Deon dengan dress merah yang pas di tubuhnya.

"Aku nelepon Talitha."

Chintya yang tadinya terlihat bahagia…tiba-tiba kehilangan senyumnya saat mendengar kalimat itu diucapkan oleh Deon.

"Oh," jawab Chintya singkat. Chintya kontan berbalik dan menggeram sendiri.

Sialan. Gadis itu siapa, sih, sebenarnya?

 

******

 

Talitha melepas seat belt-nya dan bersiap untuk membuka pintu mobil saat tiba-tiba Deon menahan tangannya.

Talitha mengernyitkan dahi. "Ngapa, Deon?"

"Kita pacaran, ‘kan?" ujar Deon. "Harusnya kamu bilang sesuatu sebelum kamu keluar dari mobil."

Kerutan di dahi Talitha telihat semakin kentara. "Haaa?! Apaan coba nih anak. Aku nggak ngerti, nih, oi."

Deon menatap Talitha dengan tajam; pria itu menyatukan alisnya. "Apa jadwal kamu besok? Aku harus tau."

Talitha menganga. "ASTAGAAA, NIH ANAK TAMPAN KENAPA YA AMPUN, GUE PUNYA DOSA APA KETEMU NIH ANAK—"

"Jangan ngalihin pembicaraan, Talitha," ujar Deon tajam.

"GANTENG, SIH, GANTENG...TAPI SAYANG OTAKNYA SABLENG..." ujar Talitha seraya menggeleng.

Deon menghela napas. Pria itu memejamkan matanya sejenak, menggeram, lalu membuka matanya lagi. Namun, sebelum Deon membentaknya, Talitha buru-buru menutup mulut Deon dengan sebelah tangannya. "Iya iya iya iya. Sip. Oke. Memang iblis nih anak euy. Dikit-dikit langsung bertanduk. Besok, aku bakal ikut seminar ke NEO Hotel Mangga Dua. Seminarnya jam delapan pagi. Udah seneng, Pak?"

"Stop manggil aku kayak gitu atau aku bener-bener bakal marahin kamu sekarang, Talitha," peringat Deon tajam. Talitha tertawa terbahak-bahak.

"Mentang-mentang kamu ganteng, ya, kamu ngerasa kalo kamu nggak bakal keriput walau marah-marah terus. Ya nggak? BHAHAHAHAHAHAH!" Tawa Talitha meledak di dalam mobil.

Deon memandang Talitha seraya memasang ekspresi datar seolah-olah dia sudah terbiasa dengan kelakuan stress Talitha itu.

"Jadi, kamu terpesona?" tanya Deon tiba-tiba; sebelah alisnya terangkat.

Sontak Talitha merasa bagai tersedak biji salak. Sial, maksud Deon barusan itu apa? Oi, itu tadi serius dikatakan oleh sang Marco Deon Abraham?

Talitha mengakak. Tawanya keras sekali bak petir di siang bolong.

"WADUH, MAK.... AJEGILEEE…! TERNYATA, MARCO DEON YANG CETAR MEMBAHANA INI BISA NARSIS JUGA! YA TUHAAAAN, PERTANDA APAKAH INI?! HAHAHAHAHAHAHAH!!"

Deon menghela napas. Lama-lama, tawa dahsyat Talitha membuat Deon tak habis pikir mengapa dia bisa tertarik dengan gadis yang modelnya seperti Talitha sejak pertama kali mereka bertemu.

Talitha masih tertawa. Gadis itu memegangi perutnya sendiri; dia benar-benar asyik menertawakan Deon. Namun, di detik berikutnya, secara mendadak…tawa menggelegar itu berhenti. Benar-benar berhenti mendadak, seperti halnya rumah yang mendadak gelap saat mati lampu. Tiba-tiba, suasananya jadi sunyi seperti kuburan.

Hal itu terjadi…

…karena Deon tiba-tiba mencium pipi Talitha saat gadis itu sedang asyik menertawakannya.

Mata Talitha tak berkedip. Gadis itu langsung menoleh kepada Deon dengan gerakan kepala yang kaku bagaikan akan melihat hantu.

"De—on—"

"Udah puas ketawanya, hm?" tanya Deon sembari memiringkan kepalanya.

"Ya—bukan, kamu tadi—"

"Nggak ada yang salah, ‘kan, kalo nyium pacar sendiri?" ujar Deon, matanya menyipit tajam. "Sekarang, kamu harus pulang dan istirahat. Ini udah sore. Jangan lupa makan malem. Jangan keliaran ke mana-mana. Jangan pergi ke mana pun tanpa ngasih tau aku. Ngerti?"

Meskipun Talitha masih kaget dengan ciuman tadi, gadis itu kini jadi menyatukan alisnya.

"Ya elah, macem aku buronan aja njir." Talitha menggeleng dan mulai bergerak keluar dari mobil Deon.

Deon terus memperhatikan Talitha hingga akhirnya gadis itu berdiri di samping mobilnya.

Deon membunyikan klakson, bermaksud untuk pamit dan Talitha pun mengangguk. Talitha hanya memandangi seraya melambaikan tangannya kepada mobil itu hingga mobil itu pergi menjauh dari rumahnya.

Namun, saat Talitha baru saja masuk ke halaman rumahnya—dan bermaksud untuk menutup pagar—ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumahnya. Bukan, bukan mobil Deon. Bukan mobil Revan juga. Talitha tak pernah melihat mobil ini.

Talitha mengernyitkan dahi. Lha, siapa?

Tak lama kemudian, pintu mobil itu terbuka. Keluarlah seorang perempuan cantik dari dalam mobil itu.

 

Chintya.

 

Mata Talitha sedikit melebar. Perempuan itu mendekat dan berjalan dengan anggun ke hadapan Talitha. Bunyi ketukan dari heels-nya terdengar cukup kuat.

Gila! Cantik amat, weeh! pikir Talitha dengan bodohnya.

Chintya membuka kacamatanya. Sebelah alisnya terangkat tatkala menatap Talitha.

"Kamu yang namanya Talitha itu, 'kan? Yang kemaren ada di rumahnya Deon?" tanya Chintya.

Talitha mengerjap dua kali, lalu dahi gadis itu berkerut. "I—ya. Ada apa, ya? Kok kamu ada di—"

"Well," potong Chintya. "aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."

Talitha mengangguk, gadis itu tak menunjukkan ekspresi yang berarti. "Oh, oke. Ngomong aja.”

Chintya mendengkus. Ia keki sekali melihat gadis ini.

"Aku pengen tau kenapa kamu bisa deket sama Deon," ujar Chintya. "Apa kamu beneran pacar Deon?"

Talitha mendadak meneguk ludahnya. Mampus! Mau jawab apa, nih?

Lagi pula, mengapa Talitha jadi bingung seperti ini? Itu cuma pertanyaan sepele!

Hmm… Sepele, sih, tetapi mengapa rasanya sangat rumit untuk dijelaskan?

Talitha mulai kebingungan, dia mengalihkan pandangannya ke segala arah. Keringat dingin nyaris muncul di pelipisnya. "Umm...yaa...kami…itu—"

Chintya memutar bola matanya. "Okay, enough. Itu nggak penting lagi sekarang. Aku cuma pengen bilang satu hal ke kamu."

Alis Talitha menyatu.

Setelah itu, Chintya pun melanjutkan, "Jangan pernah deket-deket sama Deon lagi. Deon itu punya aku. Dia cinta sama aku." []

 













******



Chintya.



Bocah stres.







No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...