Bab
11 :
ALFA
masuk ke mobil setelah bundanya duduk di jok penumpang depan. Wajah Alfa sedari
tadi tampak damai dan penuh senyuman. Seat belt hampir saja lupa ia
kenakan kalau saja ia tak memfokuskan dirinya kembali. Malam ini agaknya
terlalu mengesankan bagi Alfa.
"Lho, Fa?
Kamu itu kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanya Bunda Aira—bundanya
Alfa—sembari menggeleng. Wanita paruh baya yang berjilbab itu baru saja
memakai seat belt-nya.
Alfa
tersentak; dia langsung menatap bundanya.
"Eh,
Bunda," ujar Alfa sembari tertawa kecil. "Nggak, nih, Bun,
lagi seneng aja."
Alfa
sedang mengeluarkan mobil dari garasi. Rumah Alfa berwarna krem; suasana di
luar dan di dalam rumah itu selalu teduh, sesuai dengan sifat orang-orang yang
tinggal di dalamnya.
Senyum
manis Alfa selalu sukses membuat cewek-cewek dan ibu-ibu di kompleks
perumahan itu meleleh. Pokoknya, kalau Alfa lewat, banyak banget ibu-ibu
di sana yang menyapa Alfa ramai-ramai sambil kesengsem. Alfa
adalah sosok menantu idaman bagi ibu-ibu.
"Emang
kamu seneng kenapa? Karena mau ngundurin diri dari universitas, ya?"
ujar Bunda Aira. Bola mata berwarna coklat milik Bunda Aira menatap Alfa dengan
sedih. Putra sulungnya itu akan meninggalkan Jakarta.
Alfa
menatap bundanya dengan khawatir. Ia pun menggenggam jemari bundanya itu dengan
lembut. "Bunda... Alfa, kan, bakal pulang tiap libur semester. Lagian, ITB
nggak jauh-jauh amat kok dari Jakarta. Bandung dan Jakarta masih sama-sama di Pulau
Jawa, 'kan, Bun."
"Lagian,
kamu ngapain pindah, sih? Udah bagus-bagus ngambil jurusan Teknik Elektro di UI, ‘kan?" omel
Bunda Aira. "Ini Bunda juga pusing kalo si Kila mau lanjut sekolah di
tempat yang jauh."
Alfa
tertawa. Tawa manis itu membuatnya terlihat semakin charming. "Ya
habisnya gimana, dong, Bun, Alfa penginnya masuk jurusan Teknik
Penerbangan yang ada di ITB. Nggak terlalu jauh juga dari Jakarta. Udah
berapa kali Alfa ikut tes masuk ITB, tapi nggak lulus.
Jadi, ya…Alfa ikut tes lagi tahun ini."
"Iya
dan kamu lulus," ujar Bunda Aira, "Hadeh, Nak… Kamu ini maen
ninggalin Bunda aja. Bandel banget. Pengen Bunda jewer kayak waktu SD?"
Alfa
kaget, dia langsung menoleh kepada ibunya dan matanya membulat. "Waduh,
Bun..."
Bunda
Aira tertawa. Wanita paruh baya itu membenarkan jilbabnya yang sebenarnya tidak
berantakan.
"Ya
udah, kamu baik-baik aja ntar kalo udah mulai kuliah di ITB. Kamu udah berapa
tahun kuliah di UI dan malah mengundurkan diri. Sayang banget. Ntar ketuaan
baru tau rasa," omel Bunda Aira lagi.
Alfa
tertawa.
Keinginan
Alfa untuk menjadi mahasiswa Teknik Penerbangan di ITB telah diketahui oleh banyak
orang sehingga dia dicap sebagai 'Anak Teknik Penerbangan' oleh
teman-temannya. Hal itu juga diketahui oleh Talitha dan Basuki. Nah, dia
jadi kembali mengingat hal yang membuatnya terus tersenyum sedari tadi.
Ujung-ujungnya,
dia tersenyum lagi.
"Lha, dibilangin
kok malah senyum-senyum? Kamu ini sebenernya kenapa, Fa?" tanya Bunda
Aira. Mata Alfa membulat lucu. Ia bahkan tak sadar kalau ia sedang tersenyum.
"A—Ah... Nggak ada
kok, Bun. Lagi mikirin sesuatu aja," jawab Alfa.
"Ya
mikirin apa?" tanya bundanya. Namun, tiba-tiba wanita itu mengernyitkan
dahi. Dia jadi tersenyum.
"Ah,
Bunda tau," kata Bunda Aira sembari menaikturunkan alisnya dengan jail.
"Kamu lagi mikirin Ita, ya?"
Alfa
kontan kaget bukan main. Wajahnya mendadak tegang; matanya membulat. Reaksinya
itu membuat Bunda Aira jadi tertawa kencang.
"Bunda
kok malah ngetawain gitu, sih," ujar Alfa, mendadak dia jadi
keki melihat Bunda Aira yang selalu mengerti gelagatnya.
"Duh...Nak,
kalo kamu kuliahnya kelamaan, ntar kamu ketuaan. Kalo Ita nggak mau sama kamu,
gimana? Hayoo…" goda Bunda Aira jail. Alfa tertawa.
"Bunda
nih," ujar Alfa. Well, betapa pun dewasanya seorang anak, anak itu
akan tetap terlihat seperti anak kecil di mata orangtuanya.
Bunda
Aira hanya tertawa sembari menepuk-nepuk pundak putranya yang tak terasa sudah
terlihat bidang. Alfa adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi dan tegap.
Namun, pesona Alfa yang tak bisa dipungkiri adalah wajah dan senyum manisnya.
"Eh,
iya. Ntar kita ke BRI aja dulu, Fa. Bunda pengen ngambil uang dulu sebelum kita
belanja di supermarket," ujar Bunda Aira sembari mencari dompet di dalam
tasnya.
"Di
deket sini kalo nggak salah ada ATM BRI, Bun," ujar Alfa
sembari melihat ke depan, menyetir dengan fokus.
Namun,
mata Alfa tiba-tiba melihat sesuatu yang tak asing. Ada sebuah mobil di depan
sana yang menuju ke arah yang berlawanan. Mobil itu akan berpapasan
dengan mobil yang Alfa kendarai. Kaca mobil itu tidak gelap; Alfa bisa melihat
apa yang di dalamnya.
Itu
adalah Talitha.
Talitha
sedang bersama dengan orang yang pernah Alfa temui: orang yang mengaku sebagai
calon suami Talitha. Alfa baru-baru ini tahu bahwa pria itu adalah mantan aktor
dari Taiwan karena wajah pria itu beberapa kali muncul di televisi.
Alfa
menyipitkan mata, terus menatap mobil itu hingga mobil itu berada tepat di
sampingnya...lalu melewati mobilnya. Alfa nyaris saja memutar kepalanya
hanya untuk melihat dengan jelas sosok yang ada di dalam mobil itu.
Talitha
dari mana?
Padahal,
rencana Alfa itu begini: setelah mengantar bundanya berbelanja, ia akan
bersiap-siap untuk pergi menonton bioskop bersama Talitha (sesuai dengan
perjanjian mereka di telepon). Namun, Talitha agaknya memiliki banyak
urusan...dan Alfa juga tahu bahwa calon suami Talitha itu sangat
posesif.
"Fa? Kenapa,
Nak?"
Alfa
mengerjap. Ia langsung menoleh kepada bundanya dan menggeleng dengan cepat,
"Aduh—ya ampun. Sorry, Bun.”
Di
sepanjang jalan, Alfa mengernyitkan dahinya. Pemuda itu memikirkan
nama calon suami Talitha; dia baru mengetahui nama pria itu akhir-akhir ini karena
sering muncul di televisi.
Entah
mengapa, Alfa selalu merasa kalau pria yang mengaku sebagai calon suami Talitha
itu…aneh.
Marco
Deon Abraham...
******
Deon
tak kunjung melepaskan genggaman tangannya sejak Talitha turun dari mobil.
Talitha berdecak tatkala melihat punggung Deon dari belakang, heran dengan
sikap Deon yang (lagi-lagi) seperti ini. Deon tak pernah berniat untuk
mengendurkan genggaman tangan mereka seolah-olah Talitha akan kabur bila ia
mengendurkannya sedikit saja.
"Oi,
Mas Ganteng, aku nggak bakal kabur kok. Etdah," ujar
Talitha dengan ekspresi datar. Deon tak menjawab apa pun.
"Hellooo,
Mas Deon. Prikitiew! Aku, kan, udah di rumahku sendiri… Mana
mungkin aku kabur.” Talitha jadi menggeleng sendiri.
Deon
menghela napas.
"Jadi,
kalau kita nggak lagi di rumah kamu, kamu bakalan kabur?" balas Deon
tajam. Talitha spontan berdecak lagi karena kesal. Namun, sayangnya…bibirnya
masih perih. Tadi, Deon menciumnya dalam waktu yang lama; ciuman itu terasa
seperti…membekas di bibir Talitha. Kalau kau menjaili atau ‘memancing’ Deon,
kau sungguh salah sasaran. Deon bukanlah tandinganmu. Pria itu mampu membungkam
orang lain dengan cepat.
Mereka
berdua sudah sampai di depan pintu rumah Talitha. Deon menekan bel dan tak lama
kemudian terbukalah pintu rumah berwarna putih itu. Terlihatlah Mama Talitha di
sana, berdiri dengan memakai daster batik.
"Malem,
Ma," sapa Deon dengan ramah; Deon menyalami wanita paruh baya itu. Mama
Talitha langsung tersenyum senang, langsung excited, terlalu kesengsem dengan
kelakuan pria tampan yang bakal jadi menantunya itu.
"Aduuuuhhhh, ini
menantu Mama kok ganteng banget, sih? Astagaaaa!" teriak Mama Talitha,
jadi fangirling. "Ayo, silakan masuk! Sore tadi, pas kamu bawa
Ita tiba-tiba, Mama tau kalo kamu bakal nganterin si Kunyuk ini pulang lagi.
Jadi, mama sempet-sempetin untuk bikin makanan dan minuman buat kamu."
Deon
tertawa. Gigi putihnya dan matanya yang melengkung saat tertawa itu sukses menambah
keindahan wajahnya. Deon benar-benar jadi menantu idaman kalau sudah di depan
orangtua Talitha. Berbeda sekali dengan beberapa saat yang lalu, saat pria itu
memarahi Talitha akibat sifat posesif yang dimilikinya.
Talitha
mencibir. "Heleh…kan, kan. Kalo Deon mampir, pasti aku dilupain. Apa
salah hayati? Apakah orang mesum kayak aku harus selalu
terdeskriminasi? Apalah dayaku yang butiran debu ini, Tuhan..." ujar
Talitha seraya mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan penuh
harapan karena nasibnya yang ngenes.
Mendadak
Mama Talitha tertawa kencang. Dia mendorong kepala Talitha dengan jari
telunjuknya, tetapi anehnya, Deon tak membalas kalimat Talitha. Deon justru
ikut tertawa.
Mama Talitha menggeleng. "Nih anak kurang ajar amat, astagaaa. Udahlah tadi sore abis diare, sekarang dia sok jadi manusia yang paling kesiksa. Besok entah apa lagi ulahnya. Pengen ditabok, kayaknya."
Deon
tiba-tiba diam. Kedua alis Deon sedikit terangkat.
Talitha...habis
diare?
Deon
menunduk dan menaruh kepalan tangannya di bibirnya. Dia tersenyum. Diare?
Baru kali ini dia melihat perempuan yang aneh bin ajaib seperti Talitha. Gadis
itu memang tidak punya malu sama sekali.
Tiba-tiba
gadis itu menceletuk, "Buset dah! Gitu aja terus, ya, sampe Uchiha Itachi ikut
membantu Jorge Lorenzo menjuarai MotoGP dengan bantuan kerang ajaibnya
Spongebob."
"BHAHAHAHAH!!!!"
Mama Talitha langsung tertawa kencang. Wanita paruh baya itu mulai memegang
perutnya yang kini terasa sakit karena kebanyakan tertawa, lalu ia menarik
masuk Talitha dengan paksa. Wanita paruh baya itu nyaris menangis karena
tertawa terlalu kencang. Sementara itu, Talitha menatap Deon yang ternyata juga
tertawa geli sedari tadi.
Kalo
nggak salah, itu meme yang lagi terkenal, ‘kan?
Luar
binasa.
Ketika
mereka sudah sampai di ruang tamu, mama Talitha pergi ke dapur untuk
mengambilkan Deon makanan dan minuman. Deon kini sudah duduk di sofa dengan
tenang, tetapi masih tersisa senyuman di wajah pria itu. Dia baru saja selesai
tertawa.
"Tumben
ketawa? Bisa ketawa juga ternyata nih anak satu," komentar
Talitha. Ia duduk di sofa yang berdekatan dengan Deon dan posisi duduknya tak
ada bagusnya sama sekali.
"Jadi,
aku nggak boleh ketawa?" tanya Deon sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Ya
bolehlah, tapi kamu jadi kayak kerasukan jin baik," ucap Talitha asal.
Deon
menyipitkan matanya. "Aku nggak ngerti kenapa mama kamu yang cantik itu
ngelahirin putri yang semrawut kayak kamu, Talitha."
"Weeeh,
mulai belajar ngeledek dia," ujar Talitha. Gadis itu tiba-tiba terlihat
kagum; matanya membulat antusias. Sambil menggeleng, dia pun berkata, "Kayaknya,
aku udah ngasih pengaruh buruk ke kamu, ya?"
Mata
Deon menyipit tajam. "Menurut kamu? Lagian, manusia mana di dunia ini yang
berspekulasi kalo salah satu karakter di Naruto ikut ngebantu Jorge Lorenzo dengan
bantuan kerang ajaib? Cuma kamu. Satu-satunya di dunia."
Talitha ngakak bukan
main. Suara tawanya nyaris memekakkan telinga.
"Duh,
Deon…Deon. Kamu kayaknya jadi ikut gila! Mantep, vroh," ujar
Talitha. Gadis itu tertawa sampai Deon khawatir kalau urat-urat di leher gadis
itu akan putus semua.
Deon
menggeleng.
"Aku
rasa, kalo kamu bukan kerja di bidang Teknik Sipil, nantinya kamu bakal jadi pelawak.
Kamu itu perempuan paling aneh yang pernah kutemui, Talitha."
Talitha
tambah mengakak habis-habisan. Bukannya apa, wajah Deon saat
mengatakan itu—astaga! He’s such a bae. Itu adalah ekspresi wajah yang
dulunya tak mungkin Marco Deon perlihatkan. Siapa sangka kalau si posesif yang
super sadis itu bisa mengeluarkan ekspresi ‘antara-heran-dan-mau-tertawa’ seperti
itu?
Berada
di rumah Talitha selama dua jam lebih kini tidak masalah bagi Deon. Itu sudah menjadi
rumah ternyaman baginya untuk menghabiskan waktu.
******
Talitha
menutup selimutnya sampai ke kepalanya dengan tergesa-gesa.
Deon
sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Sebelum pergi, pria itu sempat
memperingati Talitha, "Jangan hubungi siapa-siapa lagi. Aku bakal
minta tolong sama kenalanku buat nyadap HP kamu."
Talitha
kesal bukan main.
Mereka
ujung-ujungnya bertengkar lagi. Yang benar saja, teman-teman Talitha sering sharing tentang
tugas dari dosen ke ponsel itu. Selain itu, chat yang menggelikan dan
penuh desahan dari Basuki juga selalu masuk ke ponsel itu. Kalau Deon
melihatnya...apa Deon akan terpengaruh? Terangsang? Wah.
Talitha
mendadak tertawa keras. Membayangkan Deon melakukan hal yang nyeleneh memang
lawakan nomor satu. Yang jelas, ponsel itu isinya aib semua!
Namun,
hal yang Deon lakukan saat mereka bersama di apartemen pria itu... Astaga.
Apa
yang sebenarnya Deon pikirkan saat itu?
Ciuman
itu... Ya Tuhan.
Talitha
menggeleng kencang. Ia menarik selimutnya ke bawah lagi dan menendang-nendang
kasurnya seperti orang gila. Pikirannya melayang ke mana-mana memikirkan Deon
dan segala perilaku pria itu. Tanpa sadar, pipi Talitha merona. Talitha mencoba
untuk meyakinkan dirinya bahwa mungkin saja itu terjadi karena dia sedang lapar.
Iya, lapar. Itu pasti karena dia sedang lapar.
Namun,
debaran jantungnya itu tak bertahan lama karena tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Talitha mengambil ponselnya dan sadar bahwa itu adalah notifikasi dari
BBM. Itu adalah pesan di grup dari teman-teman sejurusan Talitha. Tidak semua
mahasiswa jurusan Teknik Sipil ada di dalam grup itu; hanya beberapa yang
benar-benar akrab dengan satu sama lain.
UITSIPIL015
(31)
General
Discussion
Caca
Ferlina: DIBERITAHUKAN KEPADA SELURUH MAHASISWA
TEKNIK UI UNTUK MENGHADIRI SEMINAR NASIONAL TEKNIK SIPIL DAN TEKNIK ELEKTRO DI
NEO HOTEL MANGGA DUA PADA HARI SABTU, 9 OKTOBER 2016 JAM 08.00 SAMPAI SELESAI.
PENDAFTARAN
AKAN DISELENGGARAKAN BESOK (KE PANITIA: MAHASISWA TEKNIK ELEKTRO). LOKASI
PANITIA PENDAFTARAN AKAN DI UMUMKAN DI KAMPUS. UNTUK LEBIH JELASNYA, SILAKAN
HUBUNGI WA: +6281273319386. AYO BURUAN DAFTAR BERSAMA TEMAN-TEMANMU!
Rifsach Fernanda: Ekamfret,
tugas nggambar aja belom gue kumpul ke dosen. Bantu dong kawan
Tommy
Erlangga: I know that feel bro
Rifsach
Fernanda: Gue kerja keras karena gue sadar kata I
Love You gak akan cukup untuk menjamin masa depan bini gue kelak bro
Randytama: Ea
ea eaa :V
Tommy
Erlangga: ehanjir wkwkwkwkwkwkw calon bini lu belum
lahir keknya
Vania
Bertha: kata-katanya si Rifsach kedengeran macem kentut
di telinga gue sial
Randytama: Ea
ea eaaa :V
Vania
Bertha: diem lu randy njir
Loki
Sibagariang: Perasaan gue sebulan yang lalu baru ada
seminar :V
Re
Fa: Kenapa harus daftar sama mahasiswa teknik elektro?
axel
purna: Kenapa harus daftar sama mahasiswa teknik
elektro? (2)
siti
nur mahesa: Karena anak teknik sipil stress semua
mungkin wkwkwkw
Talitha
Sava A.: Mari kita tepuk tangan bersama-sama :V
Re
Fa: Cie si Ita muncul
Tommy
Erlangga: Cie si Ita muncul (2)
Vania
Bertha: Cie si Ita muncul (3)
Loki
Sibagariang: Cie si Itaik Anyuk :V
Talitha
Sava A.: Gitu aja terus sampe taik anyuk jadi harum
siti
nur mahesa: Bjir hahahahah
Talitha
tertawa terbahak-bahak. Ia menutup aplikasi BBM-nya dan mulai berhenti meladeni
teman-temannya yang sama gilanya. Chat dari orang-orang seperti itulah
yang bakal disaksikan Deon kalau Deon nge-hack ponselnya.
Talitha mengakak sendiri tatkala membayangkan Deon melihat isi chat-chat aib
itu. Apa Deon bakal tercengang? Sial! Itu membuat Talitha tertawa
sendiri seperti orang gila. Lagipula, tumben Basuki tidak menimbrung di grup
itu. Apa si banci itu sudah tidur? Luar binasa.
Seminar
lagi, ya? Aduhai.
******
Talitha
berjalan ke kerumunan di depan salah satu kelas. Basuki dari tadi sibuk
menyenggol lengan Talitha, mengajak Talitha kembali ke ruang kelas mereka, tetapi
Talitha memaksa Basuki dan menarik tangan Basuki dengan kencang untuk tetap
ikut dengannya menerobos kerumunan itu.
"ELO
KIRA BADAN GUE RAMPING?" teriak Basuki tanpa malu karena ia kesal dengan
Talitha. Talitha tertawa bak kesetanan.
"Naah,
akhirnya lo ngaku kalo lo nggak ramping. Wakwaaaw! Biasanya, lo
selalu sok ramping macem model sempak!" teriak Talitha kencang. Gadis itu
sampai ditempeleng oleh Basuki karena dia berteriak di tengah keramaian.
Namun, Talitha? Mana mungkin gadis itu punya urat malu.
"Woi,
Monyet, lo sadar nggak kalo kita lagi di kampus, HA?! LO MAU NANA
TENDANG?!" teriak Basuki lagi. Talitha tambah ngakak.
"Ahahah—hadeh..."
Talitha mencoba untuk menghentikan tawanya. Gadis itu mengelus-elus perutnya
sendiri. "Ya makanyaaaa, sabar dulu, oi! Kita nih mau daftar seminar.
Jadi, wajar kalo rame! Elo dikit-dikit ngajak balik terus!"
"Yah abisnya
sesek banget, njir! Ntar Nana kena kumannnn! Uuugh," ujar
Basuki dengan ekspresi jijik. Talitha langsung memasang ekspresi datar.
"Sini,
biar gue kasih kuman," ujar Talitha sembari menjulurkan lidahnya—dan
mendekati Basuki—seolah-olah ingin menjilat Basuki.
Basuki
kontan membulatkan matanya. "Eh, anjir! Njir! Njir! NGEJAUH NGGAK LO?!!
KAMVRET!! ENYAH SANA!!"
Talitha
tertawa kencang. Mereka tak peduli dengan banyaknya orang yang menatap mereka
seolah-olah mengatakan, 'Nih dua anak sialan perlu ditenggelemin
banget.'
Akhirnya,
Talitha dan Basuki pun mendaftar. Pendaftarannya berupa tanda tangan dan
pembayaran tiket masuk sebesar enam puluh ribu per orang. Semua administrasi
itu dilakukan di atas meja panjang yang membatasi panitia dengan pendaftar.
Talitha sampai di sana dan melihat ke salah satu panitia yang ada di depannya.
Talitha lantas mengernyitkan dahi.
Lah?
"Kak…Alfa?"
ujar Talitha begitu melihat Alfa di depannya.
Alfa
agak membulatkan matanya saat melihat Talitha. Pemuda itu
memakai almamater UI yang tampak begitu pas di tubuh tegapnya. Dia tersenyum manis
tatkala melihat Talitha. Senyum manis miliknya yang sukses menggegerkan cewek-cewek
di antrean yang sangat padat itu. Basuki sampai kesengsem di
samping Talitha. Talitha pun melongo; dia menggeleng kagum. Gila,
Alfa ganteng banget hari ini!
"Eh,
Ita. Mau daftar?" tanya Alfa santai. Sebenarnya, ini adalah kesempatan
yang jarang bisa ia dapatkan. Soalnya, bertemu dengan Talitha di kampus itu
sangat sulit.
"A—h…
Iya, nih, Kak," jawab Talitha. Alfa masih saja tersenyum.
Talitha sampai mematung di tempat.
Gila,
weh. Pantesan Kak Alfa banyak fans!
"Ini.
Tanda tangan di sini, ya. Abis itu, tulis nama dan jurusan kamu," ujar
Alfa seraya menyodorkan selembar kertas pada Talitha. Tak henti-hentinya Alfa
memandang Talitha dengan wajah manisnya itu; Basuki terus kagum karenanya.
Tak
lama kemudian, Talitha selesai mendaftar, begitu juga Basuki.
"Nih,
Kak. Makasih, Kak," ujar Talitha. Alfa mengangguk pada Talitha dan gadis
itu langsung menarik Basuki untuk keluar dari kerumunan itu. Orang-orang mulai
ingin selesai lebih cepat karena suasananya bikin sesak. Selain itu, cuacanya juga
panas.
Ketika
Talitha dan Basuki bebas dari garis antrean yang panjang itu, mereka menarik napas
macam orang yang selama ini tak pernah bernapas.
"Duh, mampus! Sesek
banget, weeh!" teriak Talitha kencang.
Basuki ngos-ngosan di
sampingnya. "Lama-lama, ramping juga badan Nana kalo terus diimpit
kayak gitu. Aduuch, kepriben iki..."
Talitha
tertawa keras.
Saking
lepasnya Talitha tertawa, gadis itu tak sadar bahwa ia menginjak sebuah pena
yang tergeletak di lantai. Mata Talitha membulat saat ia sadar tubuhnya
mulai oleng. Mata Basuki langsung memelotot, sementara Talitha
mulai nyaris jatuh. Namun, ada sebuah tangan yang langsung memegang lengan
kirinya, mencegahnya agar tidak jatuh. Basuki mulai teriak-teriak tak jelas;
dia juga menarik lengan kanan Talitha.
Talitha
menoleh kepada penolong pertamanya itu, lalu mendapati wajah terkejut Alfa di
sana.
"Duh, Ita,
hati-hati," ujar Alfa panik. Pemuda itu langsung membantu Talitha untuk
berdiri tegak. Talitha meneguk ludahnya, lalu menggaruk kepalanya.
"Ah—astaga!
Maaf, Kak, Ita nggak liat jalan. Hohoho," ujar Talitha. Alfa tertawa kecil
sembari menggeleng geli.
Beberapa
detik kemudian, Alfa mulai menghela napas.
"Ita,
maafin Kakak, ya. Semalem Kakak nggak jadi jemput Ita buat nonton
bioskop," ujar Alfa dengan penuh penyesalan.
Talitha
mengedipkan matanya berkali-kali seolah tak mengerti dengan apa yang sedang
Alfa bicarakan. Eh, tapi…tunggu dulu.
Oh,
iya!
Talitha
lupa bahwa semalam dia punya janji dengan Alfa!! Alfa mengajaknya menonton bioskop
ketika mereka bertelepon kemarin...
Waduh.
Talitha
hanya bisa cengar-cengir tak jelas. "Oh, iya... Ya udah, nggak apa-apa kok,
Kak. Santai aja. Ngahahaha."
Alfa
pun kembali menghela napasnya. Pemuda itu lalu tersenyum.
"Iya.
Maaf, ya, Ita. Soalnya, Bunda minta ditemenin belanja tadi malem," ujar
Alfa sembari sedikit tertawa.
Bukan
karena Bunda minta ditemenin belanja, tapi karena Kakak takut bakal terjadi
sesuatu sama kamu kalo Kakak ngajakin kamu nonton pas Marco Deon itu lagi sama
kamu.
Talitha
lantas mengangguk.
"Nggak
apa-apa kok, Kak. Bunda Aira, kan, mau belanja. Bunda tuh cantik; ntar bunda
malah digodain orang kalo belanja sendirian. Whahahahahahah!" Talitha tertawa
lagi.
"Kamu
ini, Ta. Ada-ada aja," ujar Alfa sembari mengacak rambut Talitha dengan
gemas. "Ya udah, Kakak balik ke maja panitia lagi, ya. Tadi Kakak ngejer
Ita karena mau minta maaf."
"Oke
sip, Kak. Ho'oh," jawab Talitha sembari mengacungkan jempolnya di depan
Alfa. Alfa tertawa kecil, lalu dia pergi meninggalkan Talitha.
Sepeninggal
Alfa, tiba-tiba Basuki mulai mencolek pinggang Talitha. "Cieee, si Kunyuk!
Diajakin nonton, yaaa? Yiiihhaaaaa!! ASEEEK!!"
"EH
KAMVRET..." Talitha langsung mengejar Basuki sembari tertawa
terbahak-bahak.
******
Chintya
memukul bola bulu tangkis itu dengan sempurna ke arah Deon.
Gadis cantik itu tersenyum saat melihat Deon mengembalikan bola itu padanya dengan
mudah. Ia tertawa riang saat Deon memuji bahwa servisnya bagus. Meski Deon
orang yang tidak friendly, Deon tak pernah sungkan untuk
memujinya.
Keringat
mengucur di sekitar pelipis Chintya. Gadis itu memakai pakaian olahraga seksi
yang menampakkan perutnya dan lengannya secara penuh. Ditambah lagi, rambutnya
dikucir kuda sehingga ia tampak sangat seksi dan menarik. Deon hari ini hanya
menggunakan kaus hitam tanpa lengan serta celana olahraganya. Tubuh Deon tampak
sangat menggoda tatkala dia berpenampilan seperti itu.
Chintya
tahu kalau ada beberapa orang yang memfoto mereka sedari tadi. Namun, Chintya
membiarkan mereka karena Chintya menginginkan itu. Biar dunia tahu bahwa dialah
gadis yang istimewa di dalam hidup Deon.
"Kamu
nggak capek?" tanya Deon sembari mengusap keringat di keningnya dengan
sapu tangan ketika mereka selesai. Chintya tertawa dan mendekati Deon.
"Nggak.
Ngehabisin waktu sama kamu nggak bakal bikin aku capek," jawab Chintya
sembari tersenyum senang.
Deon
hanya tersenyum simpul, lalu berjalan ke pinggir lapangan dan meminum air
mineral yang ia bawa.
"Aku
nggak ngerti apa maksud kamu, Chintya," ujar Deon.
Chintya
tertawa. "Hehehee… Oh ya, Deon, ayo kita belanja!!"
Deon
berhenti minum; pria itu menatap Chintya seraya mengernyitkan dahi.
"Come
on, Deooon. Kamu belum pernah ngajakin aku jalan-jalan
sejak aku datang ke Jakarta," ujar Chintya. Ia memeluk lengan Deon dengan
manja. "Ayooooo, dong…"
Deon
hanya diam.
"Please?" rayu
Chintya lagi.
Deon
menghela napas dan melepaskan pelukan Chintya dari lengannya. "Chintya, nanti
aku bakal ngajak kamu jalan-jalan pas aku libur. Kerjaanku nggak boleh
terganggu."
Chintya
tersenyum. Gadis itu sedikit menunduk, lalu menggigit bibirnya. Dengan
malu-malu, ia pun kembali menatap Deon. "Emangnya...kamu lagi ngerjain apa
di kantor?"
"Apa
aku harus ngejabarin tugas-tugas direktur ke kamu?" jawab Deon dengan
suara rendahnya. Matanya menyipit tatkala menatap Chintya.
Chintya
tertawa kecil. "Hmmm...boleh."
"Kamu
ini ada-ada aja," ujar Deon seraya menggeleng. "Hmm… Intinya, hari
ini aku mau meeting. Abraham Groups mau memperbesar perancangan proses
manufaktur sekaligus ngejajah akuisisi beberapa perusahaan lain sebagai
produsen velg. Aku harusnya meeting buat ngebahas itu
hari ini, tapi kamu malah ngganggu aku."
Chintya
mengangguk dengan antusias, tak menghiraukan kalimat terakhir Deon. "Kasih
tau aku, dong, soal bisnis yang sekarang lagi kamu kejer."
Deon
mendengkus. "Bisnisnya nggak boleh dikasih tau ke orang lain karena
terikat dengan Non-Disclosure Agreement."
Chintya
tertawa kecil. "Kamu sekarang udah bener-bener jadi seorang direktur,
Deon."
"Kamu
lagi bercanda, ya?" tanya Deon seraya menaikkan sebelah alisnya.
Chintya
berdecak, dia langsung memukul bahu Deon dengan manja. "Ihh! Apaan,
sih, Deon? Emangnya nggak boleh, ya? Dasar nggak romantis.
Untung aku sayang."
"Hm,"
deham Deon singkat. "Jadi, kamu mau belanja?"
Sontak
mata Chintya berbinar-binar. "Kamu mau nemenin aku?"
Deon
mengangguk singkat. "Ayo. Aku temenin kamu sampe dua jam ke depan."
Chintya
bersorak kegirangan. Ia melompat kecil, memeluk Deon, lalu mencium pipi Deon
sesuka hatinya. "DEOON! THANK YOU!! OH, GOSHHH! I LOVE YOU SO MUCH!"
Deon
melepaskan Chintya yang menempel di tubuhnya itu dengan pelan. Sesungguhnya,
Deon sudah tahu kalau reaksi Chintya pasti akan berlebihan layaknya reaksi anak-anak.
Deon sudah tahu dari dulu, tetapi…mengapa akhir-akhir ini…semua itu terasa agak
aneh? Terutama…sejak dia bertemu dengan Talitha yang orangnya tidak manja sama
sekali. Sikap Chintya itu mendadak jadi terlihat aneh di matanya.
"Kamu
udah tau kalo aku juga sayang sama kamu, Chintya. Jadi, kayaknya kamu nggak perlu
se-excited itu," ujar Deon. Perkataannya membuat Chintya tertawa riang.
Setelah
itu, mereka berdua berganti pakaian dan pergi berbelanja ke salah satu mall
di Jakarta. Mereka mengunjungi beberapa toko perhiasan, butik, tas, dan
sepatu-sepatu ber-merk. Akan tetapi, saat Chintya sedang memilih dress, Deon
tiba-tiba teringat sesuatu. Pria tampan itu lantas mengeluarkan ponselnya dari
dalam saku jasnya dan mencoba untuk menelepon seseorang.
Dering
pertama.
Dering
kedua.
Dering
ketiga.
"Haloooo…" Suara
cempreng Talitha mulai terdengar di telinga Deon.
"Kamu
pulang jam berapa," tanya Deon dengan penuh penekanan, membuat
pertanyaannya jadi tidak terdengar seperti pertanyaan. "Jangan pulang sama
sembarang orang. Abang kamu sekarang pasti lagi rapat direksi; dia mungkin
nggak bisa jemput kamu. Jadi, jangan harap kamu bisa pulang sama sembarang
orang selain aku."
"Lha,
kan emang biasanya pulang sama kamu. Kamu amnesia, ya? Apaan coba."
Mata
Deon menyipit tajam. "Kamu selalu kabur kalo nggak kuperingatin,
Talitha."
Terdengar
suara tawa Talitha yang kencang dari seberang sana; suara tawa itu berhasil
membuat dahi Deon berkerut.
"Ya
muka kamu itu tingkat keseremannya dikurangin dikit kek! Ini aku berasa
dijemput sama iblis buat ke neraka setiap hari njir."
"Yang
bikin aku jadi iblis itu kemungkinan kamu," ujar Deon.
"Weeeh,
malah nyalahin aku nih anak! Kurasa kamu dari lahir udah kayak monster!"
"Stop
menggila, Talitha. Aku bukan monster kayak kamu," ujar Deon, jakun pria
itu naik-turun dan dia menghela napas samar. "Nanti aku jemput kamu. Aku
nggak suka penolakan. Dengar kamu?"
Panggilan
telepon itu dimatikan secara sepihak oleh Deon.
Satu
dari puluhan hal di dunia ini yang membuat emosi Deon tak terkendali adalah keposesifannya
sendiri. Dirinya jadi posesif bukan main kalau menyangkut sesuatu yang
merupakan miliknya. Deon menggertakkan giginya; pikirannya melayang ke
mana-mana. Dia kesal tatkala memikirkan Talitha pulang dengan laki-laki lain
atau dengan siapa pun yang dapat melukai gadis itu. Apa yang dia tahu hanyalah
mempertahankan semua yang telah menjadi miliknya. Tak boleh ada orang yang mengusik
miliknya.
Deon
mengusap rambutnya ke belakang setelah ia menaruh ponselnya kembali ke dalam
saku jasnya.
"Nelepon
siapa, Deon?"
Deon
menatap Chintya seraya mengernyitkan dahi begitu gadis itu datang kepada Deon
dengan dress merah yang pas di tubuhnya.
"Aku
nelepon Talitha."
Chintya
yang tadinya terlihat bahagia…tiba-tiba kehilangan senyumnya saat mendengar
kalimat itu diucapkan oleh Deon.
"Oh,"
jawab Chintya singkat. Chintya kontan berbalik dan menggeram sendiri.
Sialan.
Gadis itu siapa, sih, sebenarnya?
******
Talitha
melepas seat belt-nya dan bersiap untuk membuka pintu mobil saat tiba-tiba
Deon menahan tangannya.
Talitha
mengernyitkan dahi. "Ngapa, Deon?"
"Kita
pacaran, ‘kan?" ujar Deon. "Harusnya kamu bilang sesuatu sebelum kamu
keluar dari mobil."
Kerutan
di dahi Talitha telihat semakin kentara. "Haaa?! Apaan coba nih
anak. Aku nggak ngerti, nih, oi."
Deon
menatap Talitha dengan tajam; pria itu menyatukan alisnya. "Apa jadwal kamu
besok? Aku harus tau."
Talitha
menganga. "ASTAGAAA, NIH ANAK TAMPAN KENAPA YA AMPUN, GUE PUNYA DOSA APA
KETEMU NIH ANAK—"
"Jangan
ngalihin pembicaraan, Talitha," ujar Deon tajam.
"GANTENG,
SIH, GANTENG...TAPI SAYANG OTAKNYA SABLENG..." ujar Talitha seraya menggeleng.
Deon
menghela napas. Pria itu memejamkan matanya sejenak, menggeram, lalu membuka
matanya lagi. Namun, sebelum Deon membentaknya, Talitha buru-buru menutup mulut
Deon dengan sebelah tangannya. "Iya iya iya iya. Sip. Oke. Memang iblis
nih anak euy. Dikit-dikit langsung bertanduk. Besok, aku bakal
ikut seminar ke NEO Hotel Mangga Dua. Seminarnya jam delapan pagi. Udah seneng,
Pak?"
"Stop manggil
aku kayak gitu atau aku bener-bener bakal marahin kamu sekarang, Talitha,"
peringat Deon tajam. Talitha tertawa terbahak-bahak.
"Mentang-mentang
kamu ganteng, ya, kamu ngerasa kalo kamu nggak bakal keriput walau marah-marah
terus. Ya nggak? BHAHAHAHAHAHAH!" Tawa Talitha meledak di dalam mobil.
Deon
memandang Talitha seraya memasang ekspresi datar seolah-olah dia sudah terbiasa
dengan kelakuan stress Talitha itu.
"Jadi,
kamu terpesona?" tanya Deon tiba-tiba; sebelah alisnya
terangkat.
Sontak
Talitha merasa bagai tersedak biji salak. Sial, maksud Deon
barusan itu apa? Oi, itu tadi serius dikatakan oleh sang Marco Deon Abraham?
Talitha
mengakak. Tawanya keras sekali bak petir di siang bolong.
"WADUH,
MAK.... AJEGILEEE…! TERNYATA, MARCO DEON YANG CETAR MEMBAHANA INI BISA NARSIS
JUGA! YA TUHAAAAN, PERTANDA APAKAH INI?! HAHAHAHAHAHAHAH!!"
Deon
menghela napas. Lama-lama, tawa dahsyat Talitha membuat Deon tak habis pikir
mengapa dia bisa tertarik dengan gadis yang modelnya seperti Talitha sejak
pertama kali mereka bertemu.
Talitha
masih tertawa. Gadis itu memegangi perutnya sendiri; dia benar-benar asyik
menertawakan Deon. Namun, di detik berikutnya, secara mendadak…tawa menggelegar
itu berhenti. Benar-benar berhenti mendadak, seperti halnya rumah
yang mendadak gelap saat mati lampu. Tiba-tiba, suasananya jadi sunyi seperti
kuburan.
Hal
itu terjadi…
…karena
Deon tiba-tiba mencium pipi Talitha saat gadis itu sedang asyik
menertawakannya.
Mata
Talitha tak berkedip. Gadis itu langsung menoleh kepada Deon dengan gerakan
kepala yang kaku bagaikan akan melihat hantu.
"De—on—"
"Udah
puas ketawanya, hm?" tanya Deon sembari memiringkan kepalanya.
"Ya—bukan,
kamu tadi—"
"Nggak
ada yang salah, ‘kan, kalo nyium pacar sendiri?" ujar Deon, matanya
menyipit tajam. "Sekarang, kamu harus pulang dan istirahat. Ini udah sore.
Jangan lupa makan malem. Jangan keliaran ke mana-mana. Jangan pergi ke mana pun
tanpa ngasih tau aku. Ngerti?"
Meskipun
Talitha masih kaget dengan ciuman tadi, gadis itu kini jadi menyatukan alisnya.
"Ya
elah, macem aku buronan aja njir." Talitha menggeleng dan mulai bergerak keluar
dari mobil Deon.
Deon
terus memperhatikan Talitha hingga akhirnya gadis itu berdiri di samping mobilnya.
Deon
membunyikan klakson, bermaksud untuk pamit dan Talitha pun mengangguk. Talitha
hanya memandangi seraya melambaikan tangannya kepada mobil itu hingga mobil itu
pergi menjauh dari rumahnya.
Namun,
saat Talitha baru saja masuk ke halaman rumahnya—dan bermaksud untuk menutup pagar—ada
sebuah mobil yang berhenti di depan rumahnya. Bukan, bukan mobil Deon. Bukan
mobil Revan juga. Talitha tak pernah melihat mobil ini.
Talitha
mengernyitkan dahi. Lha, siapa?
Tak
lama kemudian, pintu mobil itu terbuka. Keluarlah seorang perempuan cantik dari
dalam mobil itu.
Chintya.
Mata
Talitha sedikit melebar. Perempuan itu mendekat dan berjalan dengan anggun ke hadapan
Talitha. Bunyi ketukan dari heels-nya terdengar cukup kuat.
Gila!
Cantik amat, weeh! pikir Talitha dengan bodohnya.
Chintya
membuka kacamatanya. Sebelah alisnya terangkat tatkala menatap Talitha.
"Kamu
yang namanya Talitha itu, 'kan? Yang kemaren ada di rumahnya
Deon?" tanya Chintya.
Talitha
mengerjap dua kali, lalu dahi gadis itu berkerut. "I—ya. Ada apa, ya? Kok
kamu ada di—"
"Well,"
potong Chintya. "aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."
Talitha
mengangguk, gadis itu tak menunjukkan ekspresi yang berarti. "Oh, oke. Ngomong
aja.”
Chintya
mendengkus. Ia keki sekali melihat gadis ini.
"Aku
pengen tau kenapa kamu bisa deket sama Deon," ujar Chintya. "Apa kamu
beneran pacar Deon?"
Talitha
mendadak meneguk ludahnya. Mampus! Mau jawab apa, nih?
Lagi
pula, mengapa Talitha jadi bingung seperti ini? Itu cuma pertanyaan sepele!
Hmm…
Sepele, sih, tetapi mengapa rasanya sangat rumit untuk dijelaskan?
Talitha
mulai kebingungan, dia mengalihkan pandangannya ke segala arah. Keringat dingin
nyaris muncul di pelipisnya. "Umm...yaa...kami…itu—"
Chintya
memutar bola matanya. "Okay, enough. Itu nggak penting
lagi sekarang. Aku cuma pengen bilang satu hal ke kamu."
Alis
Talitha menyatu.
Setelah
itu, Chintya pun melanjutkan, "Jangan pernah deket-deket sama Deon lagi.
Deon itu punya aku. Dia cinta sama aku." []
No comments:
Post a Comment