Bab
3 :
Jatuh
Cinta Padanya
******
JOSH
membuka
pintu studionya. Cahaya matahari masuk melalui jendela studio yang tertutupi
oleh gorden berwarna putih, membuat studio itu cukup terang meskipun lampunya
mati. Tadi, saat Alvin dan Kei pamit untuk pulang, Josh telah mematikan seluruh
lampu downlight dan menutup pintu studionya. Ia pikir, siang ini ia
takkan masuk ke studio lagi karena ingin beristirahat.
Akan tetapi, kata-kata Kei tadi mendadak
terngiang-ngiang di telinganya.
Josh
melangkah masuk ke studio itu, lalu menutup pintunya kembali. Ia berjalan
dengan pelan, melangkahkan kakinya seraya melihat ke sekeliling ruangan. Maksudnya,
ke seluruh karyanya. Hingga kemudian, mata Josh sampai kepada sebuah foto,
yaitu foto berbingkai yang dipajang di area dinding dekat pintu. Foto yang tadi
diulas oleh Kei.
Foto
Windy.
Josh
pun mendekati foto itu. Ia berjalan seraya menarik sebuah kursi, lalu
meletakkan kursi tersebut di depan foto yang dimaksud. Di antara kesunyian
studio itu, Josh mulai duduk di kursi yang ia bawa dan memperhatikan foto itu dengan
lekat.
Di
foto itu, Windy sedang memakai dress yang berwarna putih. Foto itu
diambil dari dekat sehingga hanya menampakkan bagian kepala hingga pinggang
Windy, tetapi Josh ingat bahwa dress itu memang hanya selutut dan
berlengan pendek.
Windy
sedang tertawa bahagia di foto itu. Ia melakukan gerakan memutar, membuat dress-nya
mengembang dan ikut berputar bersamanya. Rambut hitamnya juga ikut berputar dan
sedikit tertiup angin. Di belakangnya ada pemandangan berupa rumput hijau yang
luas.
Dia,
Windy Alisha, terlihat sungguh indah di foto itu. So soft, so warm, so
dreamy…
‘Kok
aku ngerasa kalo…dari foto ini perempuan itu keliatan…jauh?’
Tiba-tiba,
kata-kata Kei tadi terngiang-ngiang di telinga Josh.
Jauh…?
Benarkah?
Rasanya…seperti
ada sebuah jarum yang pelan-pelan menusuk jantung Josh. Perlahan-lahan pula,
ada setitik rasa sakit yang muncul…dan akhirnya titik-titik itu menyebar. Rasa
sakit itu membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang, mengirim satu
sinyal yang memelesat langsung ke otaknya.
Apa
aku…salah?
Nggak.
Nggak. Nggak mungkin.
Tapi…kenapa
pas denger kata-kata itu…badanku refleks ngerespons?
Sibuk
dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Josh tersentak. Ponselnya berbunyi singkat,
pertanda ada sebuah notifikasi yang masuk. Ia langsung merogoh saku celana jeans-nya
dan mengambil ponsel itu. Ternyata, itu adalah notifikasi dari aplikasi
WhatsApp; ada sebuah chat yang baru saja dikirim oleh Alvin. Josh pun langsung
membuka chat itu.
Alvin
Josh,
nomor lo udah gue kasih ke Kei, ya. Biar lebih gampang aja buat komunikasinya.
BTW,
ini nomor Kei. Save aja, Josh.
Attachment: 1
contact
Josh langsung membuka attachment itu.
Ada sebuah kontak yang Alvin beri nama ‘Keisha Nathalie’ di sana. Tanpa pikir
panjang, Josh pun langsung membuka profil Kei, lalu melihat display picture-nya.
Di
foto itu, Kei memakai sebuah crop top tanpa lengan yang berwarna hijau. Ia
juga memakai pareo skirt berwarna sama yang dililitkan di pinggang
sebelah kirinya. Ia bersandar pada railing dan kedua sikunya pun bertumpu
di railing itu. Kepalanya mendongak; ia tampak sangat menikmati udara di
sekitarnya.
Apakah
foto itu diambil saat Kei sedang berkunjung ke pantai? Hm… Ke Bali, misalnya?
Kei
cantik sekali. Kulit wajah dan tubuhnya sangat sehat, mulus, glowing, dan
eksotis. Di foto itu, Kei sepertinya tidak memakai makeup. Rambutnya
juga hanya dijedai. Omong-omong, karena memakai pareo skirt, kaki
jenjangnya itu jadi terlihat hingga ke paha, apalagi dia juga berpose dengan
sedikit memajukan kakinya.
Bagaimanapun
juga, Kei sangat cantik. Sesuai ekspektasi, dia memang merupakan seorang model.
Josh
tersenyum. Pria itu akhirnya menghela napas. Pikiran tentang Windy—yang tadi sempat
mengganggunya itu—tiba-tiba hilang; dia bersyukur Alvin memberikannya sebuah distraksi
di saat yang tepat karena jika tidak begitu, mungkin kepalanya akan sakit
minta ampun. Dia sangat mencintai Windy, jadi pikiran-pikiran seperti itu tentu
akan sangat menghancurkan hatinya.
Udah,
nggak apa-apa. Nggak usah mikir terlalu jauh.
Selama
ini juga baik-baik aja kok.
Josh
mulai menyimpan nomor Kei di ponselnya. Pria itu memberi nama kontak yang
simpel berupa ‘Kei’, lalu membuka kembali chat dari Alvin.
Josh
Andriano
Ok,
bro. Thanks, ya
Alvin
Okee
Josh
pun kembali memandangi foto Windy yang ada di hadapannya. Melihat foto itu
dengan lekat begini…membuat pikirannya jadi melayang ke masa lalu. Ke
masa-masa…di mana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Windy. Masa-masa
yang sangat indah, masa-masa remaja yang melambungkan kisah cinta di
sekolah…meskipun sebenarnya Windy tidak tahu dengan perasaannya saat itu.
Namun, tetap saja, hati Josh berbunga-bunga saat memikirkan masa-masa itu
kembali. Jantungnya berdebar-debar.
Masa
di mana semua kisah cintanya dimulai.
Masa
SMA.
******
KOTA JAKARTA
BEBERAPA TAHUN YANG LALU
“Josh!
Lo
denger nggak?!” teriak Alvin, cowok itu memukul bahu Josh yang sejak tadi tak
kunjung mendengar ucapannya. Josh sibuk memandang ke depan, matanya nyaris tak
berkedip, tak tahu sedang memandangi apa. Hal itu membuat Alvin jadi keki
setengah mati. Sial, rasanya Alvin sudah berbicara panjang lebar sejak tadi,
membicarakan Rafael yang sibuk meneleponnya tadi malam karena ingin menyalin
tugas Bahasa Indonesia. Well, kalau PR mereka saat itu adalah
menyelesaikan soal-soal di buku, sih, tidak apa-apa. Ini mereka disuruh membuat
puisi, bro! Puisi yang Alvin buat hanyalah puisi cinta murahan yang dia copy
dari Google, tetapi dia ganti judulnya jadi ‘Ibu’ supaya tidak malu.
Makanya, Rafael itu mau nyalin apa coba?
Namun,
percuma saja. Bukannya mendengarkan keluhannya, Josh malah terus menatap ke
depan. Akhirnya, karena kekesalannya mulai menjadi-jadi, dia pun memukul bahu
Josh dengan kencang. Josh tersentak; dia kaget bukan main.
Josh
lantas menoleh kepada Alvin; mata cowok itu kontan melebar. “Apaan, sih, Vin?!”
“Dari
tadi gue udah ngomong sama lo, woy,” jawab Alvin dengan ekspresi datar. “Lo
ngeliatin apa, sih?”
Josh
mendengkus. Cowok itu lalu menunjuk ke depan sana (ke arah murid-murid yang
duduk di depan, tetapi berbeda barisan dengan mereka) dengan dagunya.
“Itu,”
jawab Josh. Cowok itu mulai senyum-senyum sendiri. Alvin kontan mengernyitkan
dahi.
“Siapa?
Yang mana?” tanya Alvin. Cowok itu memanjangkan leher dan memiringkan kepalanya
ke kiri dan ke kanan hanya untuk melihat apa yang Josh tunjukkan barusan.
“Banyak orang di sana, Bro. Nggak cuma satu.”
Josh
tertawa kecil. “Itu. Si Windy.”
Alvin
pun memperhatikan Windy yang duduk di kursi paling depan bersama teman
sebangkunya. Windy dan teman sebangkunya itu terlihat sedang bercanda sambil
tertawa; mereka sepertinya tengah membicarakan sesuatu yang sangat menarik.
Bagi
Josh, pemandangan itu indah sekali. Windy tertawa riang seperti itu…di bawah
sinar mentari yang menyinarinya pagi ini. Sinar mentari yang masuk melalui
jendela kelas seolah-olah berkumpul hanya untuk menerangi sosoknya, membuatnya
terlihat begitu indah. Seperti bidadari yang sedang tertawa. Rambut
hitamnya yang digerai, wajah cantiknya…
Semuanya
sempurna.
Namun,
berbeda dengan Josh, tatkala Alvin melihat sosok Windy di depan sana, Alvin
spontan memutar bola matanya. Cowok itu berdecak. “Windy lagi…Windy lagi. Sampe
bosen gue dengernya. Terserah lo dah.”
Kini,
gantian Josh yang berdecak. Cowok itu langsung menoleh kepada Alvin dan
berkata, “Vin, Windy itu baik, lho. Kok lo kayak nggak suka banget, sih, sama
dia? Heran gue.”
Malas
menjawab (karena tak ingin bertengkar dengan Josh), Alvin pun akhirnya
mengalihkan pandangannya dan mengedikkan bahu. Dia mulai mengeluarkan buku
cetaknya karena sebentar lagi bel akan berbunyi. “Entahlah. Males aja gue.”
Akhirnya,
Josh pun mendengkus. Dia memilih untuk kembali memandangi Windy; dia terjebak
pada kecantikan Windy lagi, lalu tersenyum lembut.
Namun,
beberapa detik kemudian, seisi kelas itu tiba-tiba dikejutkan oleh satu teriakan
kasar. Ada suara mengerikan seorang laki-laki yang agaknya berteriak di depan
kelas mereka.
“WOY,
KELUAR LO SEKARANG!!!”
Seisi
kelas itu—termasuk Josh dan Alvin—spontan menoleh ke asal suara. Ternyata,
suara itu berasal dari ambang pintu kelas mereka. Di ambang pintu itu, berdiri
beberapa kakak kelas laki-laki yang berbadan tinggi dan besar. Ekspresi wajah
mereka tampak bengis dan mata mereka nyalang; mereka terlihat murka.
Sepertinya, mereka sudah siap untuk menyiksa habis seseorang yang sedang mereka
cari di kelas itu.
Namun,
anehnya…
…tatapan
mata mereka semua tertuju kepada Josh.
“LO
YANG NAMANYA JOSH, ‘KAN?! SINI LO, IKUT SAMA GUE SEKARANG!! SIALAN LO!” teriak
salah satu dari kakak kelas itu, seseorang yang berdiri paling depan. Dia
adalah Gio, salah satu murid Kelas XII jurusan IPS di sekolah itu.
Mendengar
teriakan itu, kontan saja mata Josh dan Alvin membulat. Seisi kelas pun
langsung menoleh kepada Josh karena kaget sekaligus heran. Mereka semua
memikirkan hal yang sama, yaitu: ‘Ada apaan, nih? Si Josh kenapa? Mampus,
mana lawannya Kak Gio lagi!’
Sementara
itu, dahi Josh berkerut. Bukan anak-anak kelas saja yang heran, dia pun heran
bukan main! Mengapa dia tiba-tiba dicari?! Dia ada salah apa?! Rasanya dia tak
pernah mencari masalah dengan orang!
Meskipun
sangat heran (sampai kerutan di dahinya terlihat kentara), Josh pelan-pelan
mulai berdiri. Melihat itu, Alvin jelas terperanjat—tubuhnya tegang—dan dia
berkata, “W—Woy, Josh!”
Josh
tidak menghiraukan Alvin dan mulai berjalan ke depan kelas. Alvin spontan
mengumpat dan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Ujung-ujungnya, Alvin jadi ikut
berdiri dan langsung mengejar Josh. Mereka berdua pergi mendekati para kakak
kelas itu.
Pada
akhirnya, Josh dan Alvin berhadapan dengan mereka—kakak-kakak kelas itu—di
koridor. Suasana langsung riuh; teman-teman sekelasnya jadi mengintip melalui
jendela.
Alvin
hanya bisa membatin, ‘Sial! Apaan, sih, ini?! Pagi-pagi udah mau ngajak
ribut aja!’
Josh
menatap Kak Gio dengan lekat. Rambut ikal Kak Gio terlihat berantakan pagi itu,
mungkin karena sangat marah dan frustrasi.
“Sekarang
lo jawab gue,” ujar Gio dengan tajam. Mata cowok itu memelototi Josh;
dari nada suaranya, terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya.
“Lo ada apa sama Kayla?”
Alvin
lagi-lagi membatin, ‘Ha? Kayla siapa coba?’
“Kayla?”
tanya
Josh, alisnya menyatu. “Kayla mana?”
Tiba-tiba
saja, Gio berteriak, “CEWEK GUE, BANGSAT!”
Josh,
yang benar-benar tak paham, mulai menggeleng. “Maksudnya ap—”
Kata-kata
Josh terputus karena Gio tiba-tiba meninjunya. Tinju itu mengenai pipi
dan rahang Josh—bunyi debak-debuknya sangat keras—dan tak tanggung-tanggung,
Josh sampai hampir tersungkur.
“WOY!”
teriak Alvin kepada Gio, matanya langsung melebar melihat Josh ditinju begitu
saja. “APA-APAAN, SIH, LO? CEWEK LO YANG MANA AJA DIA NGGAK KENAL!!”
Josh
pelan-pelan berdiri tegak meskipun sempat oleng. Dia pun kembali menatap Gio,
tetapi kali ini tatapannya begitu tajam. “Maaf, Kak, gue beneran nggak tau
Kayla itu siapa.”
“BACOT
LO, TAI!” teriak Gio lagi. “NGAPAIN CEWEK GUE TERUS-TERUSAN NGEBAHAS SOAL LO
KALO KALIAN NGGAK SALING KENAL?!”
Josh
lagi-lagi menyatukan alis; cowok itu lantas memiringkan kepalanya. “Ngebahas
gue? Kak, gue nggak kenal sama cewek lo. Mungkin, Josh yang dia maksud itu
bukan gue.”
“Nggak
usah sok cool lo, bangsat!!!” bentak Gio. “Lo Josh Andriano, ‘kan? XI
IPA 2, Josh Andriano. SIAPA LAGI KALO BUKAN LO, ANJING?!”
Mata
Josh membulat. Hah? Ini sebenarnya omong kosong macam apa, sih? Mengapa
dia tiba-tiba dituduh begini? Ini tak masuk akal!
“Dia
bilang, dia ketemu sama lo pas hang out bareng temennya di TIM. Lo
motoin mereka, ‘kan? Dia mutusin gue gara-gara dia suka sama lo sejak saat itu,
bangsat!! NGAPAIN LO GODAIN CEWEK ORANG, HAH?!”
Sebentar.
TIM?
Mata
Josh dan Alvin sama-sama melebar; mereka baru ingat sesuatu. Beberapa hari yang
lalu, mereka memang jalan-jalan ke TIM dan kebetulan bertemu dengan gengnya Kak
Tyas, kenalan Alvin. Karena kebetulan bertemu di sana, mereka pun ngobrol-ngobrol
sebentar, lalu foto bersama. Mereka tidak sampai berkenalan dengan semua
temannya Kak Tyas karena ngobrolnya tidak terlalu lama juga.
Jangan-jangan…Kayla
adalah…salah satu temannya Kak Tyas waktu itu?
Ah,
sial. Mengapa jadi begini, sih? Itu, kan, cuma kebetulan yang tidak berarti!
Mengapa mendadak jadi menimbulkan masalah yang besar begini?! Apakah Josh waktu
itu pernah memperlakukan seseorang dari geng Kak Tyas dengan istimewa? Rasanya
tidak, deh!
Josh
pun mencoba untuk berbicara dengan kepala dingin. Dia mulai menghadapi Gio
dengan lebih serius; dia sudah mengerti situasinya. “Kak, tolong tenang dulu.
Oke, gue dan Alvin waktu itu emang jalan ke TIM dan kita ketemu gengnya Kak
Tyas. Tapi kita nggak kepikiran buat kenalan ke semua temennya Kak Tyas karena
ketemunya juga nggak lama. Kita cuma sempet foto bareng. Udah, gitu aja.
Makanya, gue bahkan nggak tau yang mana yang namanya Kayla. Gue nggak ada
nggodain mereka sama sekali.”
Alvin
mulai emosi. “Kalo didenger-denger, kayaknya cewek lo sendiri yang tiba-tiba
suka sama Josh, Kak. Kok lo malah marahin Josh?! Sana yang naksir kok sini yang
dimarahin.”
“DIEM
LO! JADI, LO NUDUH CEWEK GUE?! GUE YAKIN PASTI LO YANG NGGODAIN DIA! MATI LO,
SIALAN!” bentak Gio; cowok itu langsung berjalan cepat mendekati Josh.
Teman-temannya juga ikut mendekati Josh dan Alvin, langsung bersiap untuk
mengeroyok dua orang itu habis-habisan. Teriakan mereka menggema di koridor
itu, pukulan nyaris saja dilayangkan, tetapi tiba-tiba saja…
…ada
seorang cewek yang berteriak kencang. Sangat kencang.
“BERHENTI!!!!!!”
Semua
orang yang ada di koridor itu spontan menoleh ke asal suara. Ke ambang pintu
kelas.
Betapa
terkejutnya Josh ketika melihat bahwa cewek yang sedang berteriak itu adalah…
…Windy.
Mata
Josh melebar sempurna. Dilihatnya Windy yang langsung bergerak menengahi
perkelahian itu; Windy berjalan ke tengah-tengah—di antara Josh dan Gio—lalu
menghadap ke arah Gio seraya merentangkan tangannya. Dia mengadang Gio (beserta
teman-temannya) agar tidak mengeroyok Josh dan Alvin.
Windy
memelototi Gio seraya berteriak, “KALIAN SEMUA NGGAK PUNYA OTAK, YA?! INI DI
KORIDOR!! BENTAR LAGI BEL JUGA BAKAL BUNYI!! KALO DIPERGOKIN GURU, GIMANA?! DILIAT-LIAT
JUGA KAYAKNYA KAKAK-KAKAK INI CUMA ASAL NUDUH DOANG! KALIAN INI BEGO ATAU
GIMANA, SIH?!”
Josh
tercengang. Cowok itu menatap Windy dengan kagum. Sungguh, dia
tak menyangka bahwa Windy akan ikut campur untuk membelanya.
Iya,
benar.
Windy,
gadis yang dia cintai, kini tengah berdiri di depannya untuk melindunginya.
Alhasil,
dia langsung menganggap bahwa Windy adalah malaikat penyelamatnya. Bidadari
yang turun dari surga hanya untuknya.
Dunia
Josh Andriano seakan-akan terhenti. Degupan jantungnya pun…terasa begitu
kencang.
Ah.
Dia
semakin jatuh cinta…
“Jangan
ikut campur lo.” Gio memperingati Windy seraya menunjuk wajah cewek itu dengan
jari telunjuknya. “Cewek kayak lo gampang aja gue habisin sekarang.”
“JAGA
OMONGAN LO!!!” teriak Josh, dia langsung marah ketika mendengar Gio berbicara
seperti itu kepada Windy. Kalau saja Alvin tidak menghentikannya, mungkin Josh
sudah maju ke depan dan memukul wajah Gio. Hal itu akan memicu kekacauan yang
besar, tentunya.
Namun,
Windy agaknya tak takut sama sekali.
“Gue
nggak ikut campur,” jawab Windy. “Gue wakil ketua kelas. Ketua kelas kami nggak
dateng hari ini. Gue nggak bisa ngebiarin ini gitu aja. Pergi sekarang atau gue
teriak kenceng-kenceng biar Bu Guru cepet dateng!!!”
“DIEM—”
“NAH!!!
Panjang umur!! Ada guru yang dateng!!!” teriak Windy tiba-tiba, membuat Gio dan
teman-temannya kontan membulatkan mata mereka. Windy pun berjinjit, melihat
guru yang ada di depan sana (di belakang kakak-kakak kelas itu), dan lanjut
berteriak, “BU!! INI, BU!!! ADA YANG MAU NGE-BULLY ANAK KELAS KAMI!! ADA YANG
MAU NGEROYOK ANAK KELAS KAMI!!!!”
Semua
orang jelas langsung membalikkan badan, melihat sang guru yang Windy
maksud. Mereka semua pun melihat Bu Endang, guru yang paling killer di
sekolah, sedang menuju ke arah mereka semua dengan mata yang memelotot. Bu
Endang berjalan dengan sangat cepat; dia membawa sebuah penggaris kayu
panjang. Jujur saja, dia terlihat seperti seekor banteng besar yang sedang
mengamuk.
“HOI!!!
NGAPAIN KALIAN BIKIN RIBUT DI SEKOLAH PAGI-PAGI GINI, HAH?! MASUK KE KELAS
SEKARANG ATAU IBU SURUH KALIAN SEMUA BERDIRI DI LAPANGAN!! MASUK!!!”
Teriakan
Bu Endang—yang berbadan gemuk dan berkacamata itu—hampir saja memecahkan
gendang telinga mereka semua. Alvin sampai refleks menutup telinganya.
Sementara itu, Gio dan teman-temannya langsung berlari terbirit-birit
meninggalkan koridor itu karena Bu Endang sudah bersiap untuk memukul mereka
satu per satu. Namun, sebelum Gio berlari, cowok itu sempat memelototi Josh,
lalu berkata dengan tajam, “Lo tunggu, ya. Masalah kita belum selesai!”
Akhirnya,
semua kakak kelas itu berlari kencang demi menghindari Bu Endang meskipun
beberapa dari mereka masih sempat terkena pukulan Bu Endang di bagian betis
mereka. Mereka betul-betul dihajar habis-habisan!
Di
sisi lain, setelah melihat semua kekacauan itu, Josh pun mulai menatap Windy
yang tengah membelakanginya. Beruntungnya, Windy juga…berbalik untuk menghadap
ke arah Josh.
Windy
tersenyum manis kepada Josh. Kedua mata cewek itu nyaris tertutup seakan-akan
ikut tersenyum. Di pagi Senin yang cerah itu, dengan indahnya…Windy berdiri di
depan Josh, bertatapan dengan Josh, lalu tersenyum kepada Josh.
Hanya
untuk Josh.
Mata
Josh melebar.
Waktu
seolah-olah terhenti. Rasanya seperti berada di dalam mimpi yang begitu indah. Seperti
memandang sesuatu yang sangat ia kagumi. Sesuatu yang membuatnya benar-benar
jatuh cinta.
Dia
semakin merasakan getaran itu.
Seolah-olah…ada
banyak simbol hati berwarna pink yang beterbangan di udara. Ah,
rasanya, Josh bahagia sekali.
Ditambah
lagi, pada suasana yang mendebarkan itu, Windy tiba-tiba berkata, “Yuk,
masuk ke kelas. Lain kali, hindarin aja Kak Gio itu.”
Setelah
mengatakan itu, Windy pun berjalan masuk ke kelas. Meninggalkan Josh yang tengah
tercengang di koridor; mata Josh melebar, mulut Josh sedikit terbuka, dan tubuh
Josh mematung di tempat. Josh hanya bisa mengangguk dengan kaku sambil
memperhatikan Windy yang masuk ke kelas.
Alvin
memperhatikan semua kejadian itu. Alvin pun menghela napas, lalu menepuk
pundah Josh dan berkata, “Yok. Jangan berdiri di sini.”
Akhirnya,
Josh pun menoleh kepada Alvin dan kembali mengangguk meskipun ‘kesadarannya’
masih belum benar-benar terkumpul. Alvin merangkulnya masuk ke kelas, tetapi pikiran
Josh saat itu mulai melayang ke mana-mana.
Ah,
gue suka. Gue suka dia.
Gue
suka banget…sama Windy Alisha.
******
Josh
meletakkan kembali ponsel itu di dalam sakunya. Dia pun berdiri, lalu
meletakkan kursi—yang tadi dia duduki—itu kembali ke tempatnya. Merasa hatinya
sudah tenang, Josh pun berjalan ke luar. Namun, sebelum mencapai pintu studionya,
Josh sempat melihat foto Windy sekali lagi.
Memperhatikan
Windy di sana…yang seakan-akan tengah tersenyum kepadanya.
Josh
pun ikut tersenyum. Rasa cinta yang tertanam di hatinya sukses
membuatnya lega. Sukses membuat seluruh kegelisahannya hilang begitu saja.
Josh
akhirnya mulai berjalan kembali. Setelah sampai di luar, dia lantas menutup
pintu studio yang ada di belakangnya.
Win,
aku sayang banget sama kamu. Aku rasa, aku nggak bakal bisa jatuh cinta sama
orang lain selain kamu. Kamu adalah hidupku, Win. []
No comments:
Post a Comment