Chapter
3 :
Something
I Don’t Remember
******
DARI
segala
hal di dunia ini yang dapat membuat Fae terkejut, Fae tak menyangka bahwa hal
yang paling membuatnya terpaku di tempat adalah kenyataan bahwa Riel Orion
dahulu pernah menjadi tetangga mereka. Baik secara fisik
maupun emosional, itu adalah sesuatu yang tidak terduga. Jantung Fae
seakan-akan berhenti berdegup.
Sebenarnya,
kapan?
Kapan
tepatnya laki-laki se-memesona Riel tinggal di sebelah rumah mereka? Di
rumah bertingkat dua itu?
Fae
tidak ingat sama sekali.
Mamanya
mungkin berhalusinasi atau mendapatkan ingatan palsu seperti di film-film
tentang reinkarnasi. Ya, pasti begitu. Fae akan lebih percaya kalau kasusnya
seperti itu.
Setelah
beberapa detik terdiam, Fae akhirnya mendengkus. “Ma, rumah itu sudah lama
kosong. Kalau dulu Riel pernah menempati rumah itu, aku pasti
mengingatnya.”
“Justru
itulah sebabnya Mama heran mengapa kau bisa lupa.” Mama Fae menghela
napas. “Riel memang pernah tinggal di rumah sebelah, dulu sekali. Mama
tidak membohongimu.”
Fae
mengernyitkan dahi. Mulutnya sedikit terbuka, kemudian ia menggeleng tak
percaya. “Sebentar… Dia… Kapan? Kapan dia tinggal di…rumah sebelah?”
Mama
Fae berkacak pinggang, lalu menghela napas lagi. Wanita paruh baya itu menatap
Fae dengan lembut, seolah-olah mengatakan, ‘Dasar, kau ini.’.
Akhirnya,
dia pun tersenyum pada Fae dan berkata, “Dulu, rumah sebelah itu memang
rumahnya Riel. Keluarga mereka sempat tinggal di sana saat Riel masih kecil,
sepertinya saat kalian berdua belum sekolah.”
Mata
Fae melebar.
“Namun,
beberapa bulan kemudian, keluarga mereka pindah karena sesuatu. Setelah mereka
pindah, rumah itu ditempati oleh Keluarga Wang. Mereka keluar dari rumah itu
empat bulan yang lalu, ‘kan? Rumah itu sempat kosong selama empat bulan.
Sampai kemarin, akhirnya rumah itu ditempati lagi oleh keluarganya Riel,”
lanjut mama Fae.
Fae
meneguk ludahnya.
Itu
benar. Dia ingat soal Keluarga Wang karena keluarga Cina itu tinggal di sana
lama sekali. Belasan tahun. Dari Fae kecil hingga sekarang. Keluarga itu baru
pindah (kembali ke Cina) sekitar empat bulan yang lalu. Oleh karena itu,
ingatan Fae tentang Hua Yun (anak gadisnya Tuan Wang) jauh lebih valid daripada
berita mengejutkan ini.
Berita
bahwa: Riel Orion dulu pernah tinggal di sebelah rumahnya. Pernah
menjadi tetangganya.
“Masa
kau tak ingat, sih, kalau waktu kecil dulu…kau sempat berteman dengan
Riel?” tanya mama Fae seraya memiringkan kepalanya.
Fae
menggeleng. Ekspresi wajahnya benar-benar blank saat itu. Dia betul-betul
tak ingat. Dia sendiri tak yakin apakah mamanya serius atau telinganyalah yang
salah dengar. Otaknya seolah-olah tak berfungsi. Semua ini terdengar seperti
khayalan…mimpi…atau sesuatu sejenis itu. Demi dunia dan segala isinya, Fae tidak
amnesia!
Jadi,
mengapa ingatan soal Riel tidak ada di otaknya? Seakan-akan tidak pernah ada di
sana sejak awal.
Fae
bingung setengah mati.
Mama
Fae mulai berpikir. Wanita paruh baya itu menempatkan jemarinya di dagu,
mencoba untuk memahami keadaan Fae. Setelah itu, ia pun mengedikkan bahu. “Yah,
dia di sini cuma beberapa bulan, sih. Dia juga jarang keluar rumah waktu itu.”
Fae
menunduk. Otaknya mencoba untuk mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan
Riel atau tidak; dia mencoba untuk mengorek kembali semua memorinya dan mencari
apakah ada bagian yang menangkap keberadaan Riel meski hanya sedikit.
Namun, nihil. Dia tidak mendapatkannya sama sekali.
Mama
Fae tersenyum, lalu menepuk pundak Fae dengan pelan. “Ya sudah, tidak usah
dipikirkan. Mungkin kau lupa karena dia tinggal di sebelah hanya sebentar waktu
itu.”
Fae
menatap mamanya. Meski dahi gadis itu masih sedikit berkerut, akhirnya ia
mengangguk pelan. “Hm.”
“Baiklah,
Mama lanjut memasak dahulu. Kau pergilah ke kamarmu dan ganti bajumu,” ujar
Mama Fae. Wanita itu pun kembali pada aktivitasnya sebelumnya; dia kembali
memotong-motong wortel untuk makan malam nanti.
Fae
akhirnya berbalik. Gadis itu berjalan ke kamarnya yang tidak jauh dari dapur.
Di sepanjang jalan, ia terus mencoba untuk mengingat Riel. Riel versi
bocah yang dulu katanya sempat menjadi temannya.
Namun,
lagi-lagi ia tak mendapatkan hasil.
Saat
telah sampai di kamarnya, Fae pun mengembuskan napas lelah dan menutup pintu
kamar itu kembali. Dia mengganti bajunya sambil melamun. Begitu berpakaian
santai, dia pun mengempaskan dirinya ke kasur, lalu berbaring telungkup seraya
memikirkan…
…Riel.
******
“Fae!!!!
Nak!!!”
Fae
kontan membuka mata. Ia terduduk di kasurnya, merasa kaget minta ampun.
Suara mamanya terdengar kencang, cukup kencang hingga membuat Fae terperanjat
dan melihat ke arah pintu dengan mata yang membulat.
Sebentar.
Sejak kapan dia tertidur?!
Seingatnya,
tadi dia sedang berbaring sambil memikirkan…
…Riel…
Tunggu.
Tunggu. Jadi, dia memikirkan Riel sampai dia tertidur di kasurnya? Sial. Entah
mengapa dia jadi malu sendiri. Dia bisa membayangkan dengan jelas bagaimana
reaksi Riel yang sekarang apabila pemuda itu tahu soal ini.
Fae
meneguk ludah, lalu menjawab mamanya dengan gagap, “I—Iya, Ma?”
“Kau
tidur, ya?” tanya mamanya tepat sasaran. “Pintunya dikunci.”
Eh?
Fae
sempat mengunci pintunya, ya? Fae tidak ingat. Mungkin karena tadi dia masuk ke
kamar sambil melamun.
Oh,
ayolah. Efek Riel ternyata sebesar ini, padahal cowok oranye mesum itu baru
saja datang kemarin.
“Sebentar,
Ma,” jawab Fae. Ia mengacak rambutnya sendiri tatkala mulai turun dari kasur
dan berjalan menghampiri pintu kamar. Begitu pintu kamar itu ia buka,
terlihatlah sosok mamanya yang sedang berdiri di depan pintu itu.
“Ini
sudah jam setengah enam sore. Tidak bagus tidur sore-sore begini,” kata
mamanya.
“Aku
ketiduran, Ma,” jawab Fae.
Mama
Fae mengangguk. “Ya sudah. Bisakah kau menolong Mama sebentar? Kita kehabisan
detergen.”
“Oh,
baiklah. Aku akan pergi ke tokonya Pak Lee,” jawab Fae seraya mengangguk.
“Oke.
Sekalian belikan madu, ya. Untuk memasak dakgangjeong.”
Fae
mengangguk lagi. “Oke.”
Setelah
menerima sejumlah uang dari mamanya, Fae pun pergi ke toko Pak Lee. Dia
melewati jalanan kecil yang tadinya juga ia lewati bersama Riel saat pulang
sekolah. Dia berjalan santai seraya melihat sekeliling. Terlihatlah beberapa
warga desa yang sedang bersiap-siap masuk ke rumah seraya membawa anak-anaknya
karena hari sudah hampir malam. Ada juga yang sedang menutup pintu atau jendela
rumah mereka. Ada juga yang baru pulang kerja dan berpapasan dengan Fae.
Fae
mendongak. Melihat langit senja yang terhampar luas di atas sana, dihiasi
dengan awan-awan kecil dan bulan sabit yang agaknya ingin timbul ke permukaan.
Langitnya berwarna oranye, persis seperti warna ikan salmon…dan warna rambut
Riel.
Fae
mendengkus. Dia jadi teringat pada Riel lagi.
Omong-omong
soal Riel…
Fae
langsung menoleh ke samping kirinya.
Ah.
Tepat
sekali.
Di
samping kiri jalan yang sedang Fae lewati, ada lahan luas yang tadi sore Fae
kunjungi bersama Riel. Lahan luas tempat di mana pohon ginkgo favorit Riel
tumbuh.
Fae
tidak salah. Pohon ginkgo itu ada di sana; Fae bisa melihat pohon itu
dari tempatnya berdiri sekarang. Daun-daun ginkgo yang berwarna oranye itu
melambai-lambai karena tertiup angin. Meskipun hari sudah hampir malam, pohon
itu masih tetap terlihat luar biasa. Dia berdiri dengan kokoh di sana, sendirian,
dengan indahnya.
Seolah-olah
lahan yang luas itu hanya miliknya. Tercipta untuknya.
Namun,
Fae jadi kepikiran.
Apabila
suatu hari nanti…pohon itu mati,
…apakah
ada tanaman lain yang mengetahuinya?
Dia
benar-benar sendirian. Bersinar, tangguh, tetapi…
…sendirian…
Seolah-olah
ada pagar tak kasat mata yang membatasinya dengan tanaman lain.
Fae
menggeleng. Gadis itu mulai berbelok, melewati jembatan kecil yang akan
mengantarkannya ke lahan luas itu. Dia berjalan dengan santai…melewati lahan
itu, berencana untuk mendekati pohon ginkgo yang sedari tadi menarik
perhatiannya.
Langkah
demi langkah Fae lewati. Gadis itu menengok ke atas demi memperhatikan
ranting-ranting serta daun-daun ginkgo yang tertiup angin. Hingga akhirnya, dia
berhenti tepat di depan pohon itu. Sekitar lima langkah di depan batangnya.
Angin
yang berembus di sana mulai ikut menggoyangkan rambut Fae.
Perlahan-lahan…dengan lembutnya…angin itu membuat Fae memejamkan mata.
Berada
di bawah pohon itu…benar-benar terasa menenangkan. Begitu damai…
Hanya
dengan berada di sana, seluruh kegelisahan hati, seluruh kelelahan fisik dan
batin, semuanya…seolah-olah terangkat. Hilang begitu saja bak ikut
tertiup angin.
Andai
hidup…bisa setenang ini. Andai dunia…bisa selalu seindah ini.
Tadi,
saat Riel ada di sini…
…pemuda
itu,
pohon ini, dan lahan di sekitarnya…
…terlihat
seperti lukisan yang menakjubkan.
Fae
membuka matanya perlahan-lahan. Daun-daun ginkgo yang berwarna oranye itu
kembali terlihat di depan matanya. Daun-daun itu berbentuk kipas; mereka seakan-akan
menyapanya dengan ramah. Menyambutnya dengan baik.
Fae
tersenyum lembut.
Terima
kasih karena telah menyambutku dengan baik, sama seperti bagaimana kau
menyambut Riel.
Fae
menurunkan pandangannya. Gadis itu menatap ke depan, ke batang pohon ginkgo
itu. Akan tetapi, begitu ia menatap ke sana…
…tiba-tiba
saja kelopak matanya bergetar.
Napasnya
tertahan. Keningnya tiba-tiba berkerut. Kepalanya sakit.
Ada
sesuatu yang seolah-olah menginvasi pikirannya. Otaknya mendadak memperlihatkan
beberapa gambar kepadanya; ada beberapa memori yang muncul secepat
kilat, sekilas-sekilas bagaikan tayangan slide yang terus berganti.
Berbagai adegan, pemandangan, situasi, semuanya diperlihatkan bak
foto-foto yang kurang jelas.
Tangan
kecilnya.
Pohon
ginkgo.
Ular
tangga.
Pesawat
kertas.
Kereta-kereta
kayu.
Ladang
jagung,
…lalu
seorang anak—
Tubuh
Fae langsung oleng. Gadis itu tersentak, spontan membuka matanya
lebar-lebar dan menegakkan tubuhnya. Dia memijat keningnya karena sakit kepala
yang barusan melandanya.
Itu—barusan
itu—ingatan apa?
Fae
meneguk ludahnya. Matanya melebar sempurna; ia menggeleng tak percaya. Wajahnya
sontak pucat; dadanya sesak. Dia lupa bernapas selama beberapa detik lamanya.
Mengapa
tiba-tiba…dia mendapatkan ingatan-ingatan itu?
Tidak,
bukan itu.
Mengapa
ingatan itu terputus-putus seperti potongan-potongan gambar?
Mengapa
dia tidak mengingat semuanya?
Lagi
pula, apa maksud dari potongan-potongan gambar itu? Siapa anak kecil yang—
Ah.
Kepala
Fae sakit.
Fae
memejamkan mata, sedikit mengeluh sambil terus memijit-mijit keningnya sendiri.
Begitu membuka matanya kembali, ia pun ingat bahwa ia sedang berada dalam sebuah
perjalanan. Ia harus pergi ke toko Pak Lee atas permintaan ibunya; hari sudah
mau malam dan ia malah berdiri di depan pohon ginkgo ini.
Fae
menggeleng. Gadis itu menghela napas, mencoba untuk tak menghiraukan apa yang
baru saja terjadi padanya. Ia pun berbalik, lalu kembali berjalan menyeberangi
lahan luas itu.
Ia
harus cepat atau Mama akan marah padanya. Ia juga harus mencuci baju dan mandi setelah
ini, jadi sebenarnya ia tak punya banyak waktu. Untuk sementara, ia akan
menyisihkan seluruh memori itu ke samping terlebih dahulu; ia akan
memikirkannya nanti ketika ia sudah benar-benar tenang.
Meski
masih tidak mengerti, jauh di dalam hatinya…tatkala menyaksikan kembali
potongan-potongan gambar itu di dalam kepalanya, Fae merasa bahwa ada suatu keterikatan
yang…tak bisa dijelaskan.
Keterikatan
yang membuat memori itu seakan-akan…
…memang
miliknya.
Hatinya
jadi tergerak karena potongan-potongan memori itu.
******
Saat
Fae sampai di depan pintu rumahnya, matahari sudah terbenam. Suasana saat itu
sudah gelap, tetapi sinar matahari belum benar-benar lenyap di ufuk barat.
Masih belum terlalu gelap walau Fae tahu bahwa bulan dan bintang-bintang sudah
mulai terlihat di atas sana.
Fae
mengetuk pintu rumahnya. “Ma, aku pulang.”
“Oh,
tunggu sebentar!” teriak mamanya dari dalam rumah, suaranya
agak redam. Fae pun berdiri tegak, menunggu pintu itu dibuka oleh mamanya.
Ada
suara ‘ceklek’ yang terdengar di telinga Fae begitu mamanya menekan
gagang pintu. Fae langsung melangkah masuk ke rumah begitu pintu itu terbuka
seperempatnya; lampu terang yang ada di ruang tamu langsung menerangi sosok Fae.
“Madunya
ada, ‘kan?” tanya Mama.
“Ada,”
jawab Fae tanpa menatap mamanya. Gadis itu melihat ke bawah karena sedang
melepas sandalnya.
Sambil
menutup pintu rumah, Mama pun mengangguk. “Baguslah. Oh, ya, ini ada—”
Tepat
ketika Mama mengucapkan itu, kebetulan Fae juga tengah menegakkan kepalanya. Mengangkat
pandangannya kembali.
Lalu,
mata
Fae membulat sempurna.
Di
sana, di sofa ruang tamunya, ada Riel.
Pemuda
itu duduk di sana. Dia melihat ke arah Fae…
…seraya
tersenyum riang.
“…Riel.
Dia mau bertemu denganmu, katanya,” sambung Mama.
Napas
Fae tersekat di tenggorokan. Tubuhnya mematung.
Kemudian,
Riel mulai melambaikan tangannya. Tertawa kecil; memamerkan gigi-gigi
putihnya.
“Haaai.
Selamat malam, Fae. Sudah mandi belum, nih?” []
No comments:
Post a Comment