Saturday, June 14, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

 


******

Chapter 13 :

Genius and Possessive

 

******

 

Author:

MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matanya begitu tajam dan mengerikan. Setelah mengucapkan dua kalimat itu, Violette langsung berlari meninggalkannya

Satu panggilan kencang terucap dari bibir Justin dan hasilnya nihil; Violette tidak berbalik sama sekali. Gadis itu sudah menaiki taksi yang kebetulan berhenti di depannya saat ia sampai di pinggir jalan.

Justin bernapas samar. Pria itu menelan ludahnya, membuat jakunnya naik turun. Matanya menyipit tatkala melihat kepergian taksi itu.

Sesuatu pasti sedang terjadi. Emosi seseorang akan berubah jika dipengaruhi oleh sesuatu.

Tanpa pikir panjang, Justin mengambil tas besar berisi kotak gaun pernikahan yang sebelumnya dijatuhkan oleh Violette, lalu mulai berjalan ke arah mobilnya sembari merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Justin langsung menelepon Violette beberapa kali, tetapi Violette tak mengangkatnya sama sekali.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Justin sampai ia masuk ke mobilnya. Namun, tatkala sedang menghidupkan mesin mobil itu, ada sebuah panggilan masuk dari seseorang yang membuat Justin jadi menelepon sambil mengemudi.

"Mr. Alexander?"

Justin mendengkus.

"Apa yang kau dapatkan?" tanya Justin.

"Di rumah pertama tempat penyekapan Mr. Jonathan Morgan, ada banyak sidik jari milik pelaku dan juga milik Mr. Morgan. Mereka tidak menyembunyikan sidik jari itu sama sekali, seolah-olah memang disengaja. Namun, milik Mr. Morgan hanya ada di salah satu ruangan. Jadi, bisa dipastikan kalau sidik jari di tempat lainnya adalah milik sang pelaku. Polisi sedang menyelidiki semuanya. Ada juga kecurigaan bahwa sang pelaku adalah salah satu bodyguard dari seorang CEO terkenal di Perancis yang bernama Mr. Martinous Hoult."

"Aku sudah membaca tentang itu. Ada lagi?" tanya Justin dengan alis menyatu.

"Belum ada, Tuan. Aku akan memeriksanya lagi."

"Cari tahu soal benar atau tidaknya dugaan itu. Aku tak boleh bertindak sembarangan, untuk sekarang," ujar Justin dingin. Detik itu juga, Justin mematikan panggilan telepon itu. Dia menaruh asal ponselnya di atas dashboard, lalu mulai mengemudi dengan kecepatan penuh.

Tebakan Justin tidak meleset. Namun, hal yang ia sesali adalah: Violette harus terlibat dengan semua urusannya. Sebenarnya, Justin hanya tak ingin Violette mengingat semua masa lalu mereka meskipun Violette juga merupakan mantan anggota Red Lion.

Kedua mata berwarna lelehan emas milik Justin itu menatap fokus ke depan, menembus gelapnya malam di balik kaca depan mobilnya.

Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Violette. Matanya memperhatikan rumah itu yang masih gelap tanpa ada tanda bahwa ada seseorang di dalamnya. Justin menghela napas samar, lalu mencengkeram roda kemudinya; ia tampak terganggu.

Justin melepaskan dasinya dalam satu kali tarikan. Ia juga melepas jasnya, lalu menaruh keduanya di jok penumpang depan. Setelah itu, ia pun keluar dari mobilnya.

Langkah kakinya terlihat sedikit lebar tatkala mendekati rumah Violette. Meskipun demikian, kalau dilihat sekilas, ia sepertinya tidak terlalu buru-buru. Entah karena ia tak terbiasa memiliki emosi yang naik turun…atau karena ia memang tak ingin menunjukkannya. Namun, sungguh, saat ini ia benar-benar cemas. Tidak ada lagi Hillda, tidak ada lagi masa lalu yang hinggap di otaknya. Hanya ada Violette.

Jadi, di sinilah ia sekarang, mulai mengetuk pintu rumah Violette dengan sedikit kencang. Memikirkan segala macam kemungkinan yang paling buruk, tanpa sadar Justin menggertakkan giginya.

"Violette."

"Violette, I'm here. Jika kau ada di dalam, kumohon keluarlah."

Justin mencoba untuk memastikan keadaan. Namun, benar saja, di rumah itu memang tidak ada orang.

Justin mendengkus. Dia langsung berbalik dan berjalan menuruni tangga rumah panggung Violette dengan langkah lebar. Dia pun bergegas masuk ke mobil, lalu mengambil ponselnya yang ada di atas dashboard dengan tangan kirinya. Sementara itu, tangan kanannya sibuk menghidupkan mesin mobil.

Tatkala mobil itu sudah berjalan, akhirnya Justin mendapatkan nomor telepon yang ingin ia hubungi. Tepat di detik kedua, ponsel itu sudah ada di telinga kirinya; dia menelepon orang tersebut.

"Beri aku laporan tentang lokasi penyekapan yang terbaru, paling lambat dua hari kedepan. Usahakan informasi mengenai orang itu sudah lengkap," perintah Justin dengan tegas.

“Selain itu, tolong beritahukan kepada para assistant-ku bahwa aku akan membatalkan rapat malam ini. Katakan pada mereka untuk menghubungiku; aku ingin tahu jadwalku pada hari Kamis. Executive assistant-ku sedang berada dalam kondisi yang kurang baik."

Setelah mendengar beberapa jawaban yang patuh, Justin pun mematikan panggilan telepon itu dan mulai menelepon seseorang lagi.

Panggilan telepon itu langsung diangkat begitu Justin mendengar dering pertama.

Suara yang menyambutnya dengan beribu kehangatan itu membuat mata Justin menyipit; tiba-tiba, ia menatap jalanan di depannya dengan tajam.

"Where are you?" Justin bersuara setelah sekian lama ia hanya diam mendengarkan semua omongan lawan bicaranya. Dia tak tertarik untuk menanggapi lawan bicaranya itu.

"Arrgh! Ternyata, kau masih perhatian padaku, Justin," ujar sang lawan bicara di seberang sana, seorang perempuan. Perempuan itu berbicara dengan suara yang amat seksi sampai nyaris terdengar seperti mendesah.

Justin kembali menggertakkan giginya. "Kau membuatku jadi tidak bisa profesional, Elika."

"Kau tidak perlu profesional padaku, sir," jawab perempuan itu, Elika. "Profesional macam apa yang diperlukan di antara kita? Oh…aku merindukan masa-masa saat kita sering bersama. Kau tahu, aku sering membayangkanmu meniduriku seperti saat itu, termasuk sekarang ini ketika kau meneleponku. Aku yakin kau juga merindukanku, ‘kan?"

Justin mendengkus. "Kau sangat memalukan.”

"Sirkau—"

"Di mana kau sekarang?" tanya Justin dengan nada tajam, sekali lagi. "Temui aku di depan kantor."

 

******

 

Elika berdiri di depan Justin; mobilnya terparkir tidak jauh dari mobil Justin. Justin sedikit hampir duduk di engine hood dan Elika berdiri di depan pria itu. Elika melipat tangannya di depan dada.

Elika tersenyum miring. "Aku yakin ini bukan tentang pekerjaan. Bukankah begitu, sir?”

Justin yang sedari tadi menunduk dengan kedua tangan di dalam kantung celananya, perlahan mengangkat kepalanya untuk menatap Elika. Dia memberi Elika tatapan membunuh. Ah, tatapan itu akan membuat Elika terangsang jika saja Elika tak peduli dengan apa yang ingin pria tampan itu sampaikan.

"You right," jawab Justin dingin.

"Jadi? Kau ingin kita kembali bersama? Good. Akhirnya, kau sadar. Aku sudah cukup menderita karena harus terus mengemis padamu. Kau tahu, aku akan bermasturbasi setiap hari karena sangat merindukanmu. Terdengar menjijikkan? Haha! Kau puas? PUAS SETELAH KAU BERHASIL MENGHANCURKANKU? Profesional? Bagaimana bisa aku bersikap profesional ketika atasanku adalah kau? Selain itu, kau selalu bersikap seperti kita tak dekat sama sekali, seperti orang asing, padahal kau telah merusakku seperti ini!! Kau telah membuatku terobsesi padamu; kau telah membuatku jatuh cinta padamu!! Jangan tidur dengan seorang perawan jika kau hanya akan membuangnya di kemudian hari, bajingan!!!!" teriak Elika.

"Kau sudah tahu bahwa aku tidak memiliki reputasi yang baik saat itu dan kau juga menyetujui perjanjian kita," jawab Justin. Ia memang seorang bajingan, tetapi dalam kasus ini, Elika juga telah pasrah. Waktu itu, Elika setuju untuk menjadi partner seksnya dengan alasan cinta.

Mata Elika membulat; dia terkejut bukan main. Tanpa ia sadari, dua detik kemudian, matanya mulai memerah dan berair. Dadanya sesak. Ia adalah perempuan sinting yang jatuh cinta pada seorang pria yang di matanya hampir sempurna. Ia jatuh cinta hingga tak memedulikan fakta bahwa Justin sedang bermasalah saat itu.

Elika menunduk, air matanya jatuh dengan deras. Namun, tiba-tiba saja…ia tertawa kencang.

Ia tertawa seperti orang gila; ada sirkuit yang rusak di kepalanya. Ia menggeleng dan berbicara dengan suara yang sumbang. "Jadi, kau muak padaku? Hm? Kau MUAK? Wah, ini lucu."

"Ya, aku muak," jawab Justin tajam. "Hentikan semua ini. Kau masih punya harga diri jika kau menghentikannya. Gunakan otakmu untuk sesuatu yang lebih berguna. Ayo kita jalani hidup kita masing-masing. Lagi pula, kita sudah mengakhiri perjanjian itu, sejak dahulu."

Elika berdecak; ia kontan menatap Justin dengan tajam. Namun, seiringan dengan itu, Justin juga bangkit dari duduknya. Kali ini, Justin berdiri berhadapan dengan Elika.

"Di mana kau sembunyikan paman Violette? Aku hanya akan bertanya satu kali, jadi jawablah dengan jelas," ancam Justin.

Elika menganga. Namun, tiga detik kemudian, perempuan itu tertawa lagi.

"Violette lagi? Gadis tak berguna itu? Mengapa kau sangat memedulikannya, sih? Kau mencintainya? Sejak kapan kau berani mencintai seseorang selain Hillda, hah?!" Elika tertawa mengejek.

Detik itu juga, Justin mengepalkan tangannya.

"Elika!"

"What? Apa lagi?! Masih trauma dengan Hilldamu?!" ujar Elika. Justin memperhatikannya dengan mata yang menyipit tajam. Dari sini, Justin tahu bahwa Elika sudah lepas kendali. Dia mencoba untuk menyindir Justin dengan mengorek luka lamanya.

Justin menghela napas.

"Cukup. Beritahu aku di mana kau menyembunyikan paman Violette," ujar Justin. "Lebih baik kau beritahu aku sebelum aku yang menemukannya sendiri. Aku tak terbiasa menyakiti perempuan dengan pukulan atau siksaan, sebenarnya. Namun, jika kau menginginkannya, aku tak punya pilihan lain."

"Mengapa kau mencurigaiku? Apa kau pikir aku punya waktu untuk itu?" Elika tertawa. "Aku takkan membuang waktuku hanya untuk executive assistant yang tak menarik itu. Aku bisa mendapatkanmu tanpa harus melakukan itu, Justin," ujar Elika, ia langsung menatap Justin dengan lekat, memenjarakan Justin dengan tatapannya. "Aku bukan perempuan bodoh. Mengapa kau curiga padaku, hm?"

"Karena kau adalah satu-satunya orang selain aku dan Violette yang tahu soal Red Lion dan apa yang terjadi pada kami tiga tahun yang lalu."

Detik itu juga, mata Elika membeliak. Ia mematung. Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Hanya…dia? Justin tidak memberitahukannya kepada orang lain selain dia?

Sial!

Ketahuan oleh Justin adalah sesuatu yang sudah pasti ada di dalam perhitungan Elika, tetapi fakta bahwa dia adalah satu-satunya orang luar yang Justin beritahu soal Red Lion…sama sekali tidak ada di dalam perhitungannya.

Dia harus melakukannya dengan cara lain. Permainan tidak akan mengasyikkan jika berhenti di tengah jalan, bukan?

Elika tersenyum; tubuhnya kembali rileks. Ia menatap Justin dengan lekat, tetapi wajah Justin masih tanpa ekspresi. Suasana di sekitar pria itu terasa sedingin es.

"Well?" Elika memiringkan kepalanya. "Lakukanlah, kalau begitu. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan ketika kau menemukannya dengan tanganmu sendiri. Temukanlah pria tua itu sendiri, sir.”

Elika mendekati Justin. Wangi tubuh Justin semakin tercium dan Elika dengan senang hati menciumnya.

"Ini saatnya aku melawanmu. Jika aku menang…kau harus menjadi milikku," ujar Elika dengan mata yang melebar, penuh dengan ancaman. Wanita itu menyeringai.

Justin mendengkus. Dagunya terangkat; ia memandang Elika seolah-olah gadis itu adalah orang yang paling tak ia sukai.

Ia pun berbalik. Namun, saat membuka pintu mobilnya, Justin kembali bersuara dengan nada rendah.

"Violette bukanlah gadis lemah yang akan diam saja ketika ia menemukan pamannya. Nyawamu mungkin terancam. Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan Violette atau menjelekkan keluarganya karena kau jauh lebih buruk daripada mereka. Saat kau merendahkan mereka, justru kaulah yang terlihat buruk. Sampai kapan pun, aku akan tetap mengabaikanmu."

Setelah mengatakan itu, Justin pun masuk ke mobilnya. Pria bertubuh tegap itu langsung menjalankan mobilnya tanpa peduli apa pun. Ia meninggalkan sosok Elika yang semakin lama semakin jauh di belakang sana meski Elika tengah berteriak frustrasi karena kata-katanya barusan.

Justin mengemudi mobilnya dengan agak santai kali ini. Dia mengemudi sambil berpikir.

Lima menit kemudian, Justin mengambil ponselnya lagi. Dia kembali menelepon seseorang. Untuk yang kali ini, Justin benar-benar menunggu telepon itu diangkat.

Panggilan telepon itu berdering lima kali dan rasanya Justin bagai menunggu seabad. Hal itu sukses membuat Justin mencengkeram roda kemudi dan mendengkus.

Namun, akhirnya…telepon itu diangkat.

"Halo?" Suara itu terdengar agak serak, seperti habis menangis.

 

Ada sesuatu yang salah.

 

Violette pasti sedang menangis sekarang. Soalnya, teman setianya sedang menangis. Megan sedang menangis. Mungkin, Megan menangis karena melihat keadaan Violette saat ini.

Sial.

"Megan, tolong jaga Violette. Jangan biarkan dia pergi ke mana pun. Sebentar lagi, aku akan sampai di sana."

 

******

 

Megan:

Mataku membulat. Begitu panggilan telepon dari Mr. Alexander terputus, aku langsung berbalik dan melihat Violette yang saat ini sedang duduk di tepi ranjangku.

Merasa panik, aku pun kontan memberitahu Violette. Demi Tuhan, aku tak suka melihat Violette menjadi lemah karena rasanya aku seperti kehilangan dirinya. Dia memang beruntung karena CEO idaman seluruh wanita di negeri ini akan menjadi suaminya, tetapi di sisi lain, aku juga mengerti bahwa memiliki pasangan seperti itu adalah hal yang berat.

Aku mendekati Violette seraya meneguk ludahku. Sejujurnya, aku agak gugup. Jika ditanya apakah aku bisa menahan emosiku sendiri, jawabannya adalah: tidak sama sekali. Aku paling tidak bisa menahan tawa, tangis, marah, dan lainnya. Kalau orang lain mengkritik kondisiku ini, aku takkan peduli peduli. Soalnya, mereka tidak memberiku makan ataupun pria tampan, 'kan?

"Violette…” panggilku. “Dia—dia tahu kalau kau ada di sini."

Violette kontan menatapku, tetapi matanya seakan kehilangan binarnya. Dull. Sepertinya, dia sudah paham dengan apa yang barusan kukatakan, tetapi memilih untuk tidak meresponsku.

Dia memejamkan matanya, lalu menghela napas. Well, Justin pasti akan menemukannya. Setahuku, takkan ada sesuatu yang bisa Violette sembunyikan lama-lama dari Justin. Seth sedari tadi stay di rumahku; lelaki itu tidak pernah meninggalkan Violette sejak dia tahu bahwa Violette ada di sini dengan keadaan yang kacau. Seth adalah orang yang bisa dipercaya. Dia juga menyukai Violette meskipun mereka hanya bertetangga.

Seth memperhatikan kami sepanjang waktu, tetapi dia kesal sekali ketika melihat Violette bersedih hati seperti itu, terutama ketika dia tahu bahwa Violette sedang diteror. Dia nyaris menghancurkan kamarku! Untungnya, aku berhasil mencegahnya. Bakal repot kalau kamarku jadi berantakan. Itu juga akan mengganggu Violette.

Violette sudah menceritakan segalanya kepada kami berdua. Tentang Elika yang kemungkinan besar bekerja sama dengan orang yang menerornya selama ini, tentang Justin, tentang apa yang terjadi di depan butik beberapa saat yang lalu

Semuanya.

Dia sudah menceritakan semuanya dan aku mengerti mengapa Violette jadi seperti ini.

Aku sempat marah padanya karena telah merahasiakan banyak hal dariku seolah-olah mengecilkan keberadaanku dan tidak percaya padaku, tetapi akhirnya ia meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Aku akhirnya memaafkannya karena aku sangat sayang padanya. Dia adalah seorang gadis yang baik. Dia juga sangat cantik meskipun dia tak pernah menyadarinya. Dia cantik luar dan dalam. Kupikir, mungkin…karena itu jugalah CEO kami terpikat padanya—di luar cerita tentang mereka yang sudah berteman lama—dan memutuskan untuk menikahinya.

"Kau harus mengatakan segalanya pada Justin, Violette," ujarku. Aku mulai duduk di samping Violette. Aku meraih pundaknya dan membuat kepalanya bersandar di bahuku. "Jangan sembunyikan apa pun darinya. Dia mencintaimu. Jangan remehkan aku; begini-begini, aku tahu mana pria yang tulus dan mana pria yang kurang ajar."

Lelucon kecilku ini membuat Violette kontan menatapku, lalu dia menunduk dan tertawa kecil. Dia tidak menangis lagi sejak setengah jam yang lalu.

Aku bersyukur karena masih bisa menghiburnya dengan lelucon gilaku.

Akhirnya, dia pun mengangguk. Namun, meskipun dia terlihat setuju, kalimat yang keluar dari mulutnya adalah:

"Aku akan sangat bahagia bila aku bisa mengatakannya, Meg."

 

******

 

Author:

Megan berdiri begitu mendengar suara mobil yang baru berhenti di depan rumahnya. Ia berjalan dengan cepat, menuju ke jendela kamarnya untuk sedikit mengintip, lalu berbalik.

"Dia di sini," ujar Megan.

Megan pun langsung berlari keluar dari kamarnya. Ia menutup pintu kamar itu dengan agak keras; ia ingin membawa Justin masuk ke rumahnya untuk melihat Violette.

Violette hanya diam, gadis itu menunduk. Tidak mudah untuk berhadapan dengan Justin lagi setelah semua yang terjadi sekitar satu setengah jam yang lalu. Mungkin saja, pria itu sudah kecewa pada Violette. Memikirkan itu, Violette jadi ingin menangis.

Apakah semuanya sudah berakhir?

Seth terus mencoba untuk menenangkan Violette hingga akhirnya pintu kamar itu pun terbuka. Saat melihat ke ambang pintu, Violette langsung menemukan sosok Justin yang berdiri di belakang Megan. Biasanya, Violette akan terpaku saat memandangi wajah tampan Justin. Namun, kali ini…Violette malah menangis. Air matanya mengalir begitu saja. Rasanya sakit sekali saat memikirkan bahwa dia akan kehilangan pria itu.

Iya, benar. Violette sudah jatuh cinta…pada Justin. Dia sudah lama masuk ke dunia Justin. Gelap atau terang pun dunia pria itu, dia akan tetap terjerumus ke dalamnya.

Justin langsung mendekati Violette begitu ia masuk ke kamar Megan. Pria itu duduk di samping Violette. "Bagaimana keadaanmu?"

Keadaan? Bukankah seharusnya…Justin menanyakan alasan mengapa Violette meninggalkannya tadi?

Pria itu justru lebih penasaran dengan keadaannya.

Violette pun menunduk. "Aku baik-baik saja."

"Jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis," ujar Justin tajam.

Violette menoleh kepada Justin; dia tercengang. Namun, sesaat kemudian, Violette merasa seperti ditampar oleh kenyataan lagi. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dan matanya berkaca-kaca.

"Aku tidak menangis." Jika tidak ada teror yang membuatku harus meninggalkanmu.

"Kalau kau tidak menangis, air mata apa yang sedang kulihat ini? Jangan menipu dirimu sendiri. Tubuhmu tak dapat mengimbanginya." Justin memegang kepala Violette, membuat gadis itu melihat ke arahnya. Setelah itu, Justin memeluk tubuh Violette dengan erat.

Justin menghela napas. Bibirnya berada di puncak kepala Violette. Berada di dalam pelukan Justin adalah hal ternyaman yang pernah Violette rasakan. Jika pria ini menjadi sandarannya, kekuatannya, pelindungnya, teman hidupnya...Violette akan sangat bahagia. Namun, mendadak Violette kembali mengingat masalah mereka saat ini.

Jika masalah seperti ini saja Violette tidak bisa mengatasinya, pantaskah ia menjadi istri Justin? Tentu tidak.

Tiba-tiba, Justin melepaskan pelukannya. Justin mengusap pelan bagian belakang kepala Violette dengan jempolnya. Setelah itu, tangan Justin turun…dan akhirnya menggenggam tangan Violette. Saat itulah, pria itu mulai berdiri dan membawa Violette keluar dari kamar Megan.

"Justin—" Violette memberontak, tak ingin Justin berbuat seenaknya. "Justin, what are you—oh, God! JUSTIN!"

Namun, tiba-tiba langkah pria itu terhenti; Violette hanya bisa melihat punggung lebar pria itu dari belakang. Alis Violette menyatu.

Dua detik kemudian, pria itu mulai menoleh ke belakang. Menatap Megan.

"Kami pulang, Megan. Terima kasih karena telah menjaga Violette. Benar-benar terima kasih dariku."

Megan pun mengangguk.

Violette melihat ke arah Megan sebentar. Namun, begitu pandangannya kembali ke depan, ia sontak menemukan bola mata keemasan Justin yang telah menatapnya seperti elang. Tatapan itu sukses memenjarakannya, menjebaknya, dan membuat napasnya tertahan. Akan tetapi, meski tatapannya setajam elang, warna bola mata itu…benar-benar menakjubkan. Indah sekali.

Violette terdiam selama beberapa detik, hingga akhirnya, tangan kekar Justin mulai memegang punggungnya dan membawanya berjalan.

Mata Violette kontan membeliak. Lho? Justin…bukan mau memarahinya, ya? Jadi...apa? Ekspresi apa yang Justin tunjukkan tadi? Mengapa Justin menatapnya seperti...

Ah, demi apa pun, susah sekali untuk menebak isi kepala Justin.

Justin membawa Violette sampai ke dekat mobilnya yang ada di depan rumah Megan. Namun, sebelum masuk ke mobil, Justin tiba-tiba mengeluarkan ponselnya—untuk yang kesekian kalinya—dan berhenti berjalan. Tangan kiri pria itu masih berada di punggung Violette, tetapi dia berhenti berjalan. Mengapa dia berhenti berjalan hanya untuk menelepon?

Violette menatap Justin yang lebih tinggi darinya itu dengan mata yang menyipit. Ia ingin menguping pembicaraan Justin. Soalnya, pembicaraan macam apa yang membuat Justin sampai harus berhenti berjalan?

“Locardo, it’s me."

Ah...itu adalah paman Justin. Justin selalu saja memanggil pamannya dengan cara yang tidak sopan... Well, wajar juga, sih, soalnya Justin masih marah kepada Locardo. Menyuruhnya untuk bersikap sopan sekarang adalah hal yang paling mustahil untuk dilakukan. Huh. Violette harus banyak-banyak mempelajari karakter Justin agar bisa memahami pria itu.

Pikiran bahwa ia adalah wanita yang tak berguna untuk Justin, tak bisa melakukan apa-apa untuk Justin, bahkan tak bisa 'memahami' Justin, adalah hal yang paling menyiksanya. Sungguh, ia ingin menangis kalau mengingat kenyataan itu, apalagi ketika ia sadar bahwa Justin belum terlalu terbuka kepadanya...

Oh, Tuhan.

"Ya. Tolong percepat tanggal pernikahanku," ujar Justin. Pria itu bernapas samar; ia berbicara dengan begitu dingin. "Bantu aku untuk mempersiapkan pernikahanku. Persiapan itu harus dimulai besok pagi. Friday; I will get married on Friday." []

 














******










No comments:

Post a Comment

Dari Gavin, oleh Gavin, dan Untuk Gavin (Bab 4: Akibat Jomblo dari Orok)

  ****** Bab 4 : Akibat Jomblo dari Orok   ******   “OH, iya, Bu, nanti saya coba tanya sama Pak Saddam,” ujar Ayu, anggota Direks...