Bab
14 :
School
Camp
******
MATA
Nadya membelalak.
Pipi Nadya langsung merona karena ia kini tahu apa maksud Mama Rachel. Ia kini
paham mengapa ia harus ‘berhati-hati’ pada Aldo. Ia juga tak bisa bergerak saat
ini. Aldo tersenyum manis padanya seolah-olah saat ini ia adalah makhluk yang
paling cowok itu sukai. Akan tetapi, di bawah tatapan mata cowok itu, ia hanya
bisa gugup, merona, dan mencoba untuk berbicara meski rasanya lidahnya kelu.
“Tapi...kamu
bener-bener nggak mikir apa-apa, ya, masuk ke kamar cowok...yang jatuh
cinta sama kamu? Mama udah peringatin kamu, lho.”
Suara
Aldo itu terngiang-ngiang di telinga Nadya, membuat cewek itu meneguk ludahnya.
Ia sadar kalau sekarang pikirannya sudah ke mana-mana dan rasanya ia malu
sekali. Apa ia terlalu banyak berpikir? Namun, ia juga sudah melihat sisi Aldo
yang...lain. His dark side…that can control you until you lose your
mind.
Duh, mengapa
Aldo selalu bisa membuat Nadya salah tingkah?
Nadya
berbicara dengan bibir yang bergetar karena malu bukan main, "A—Aldo, aku—"
"Hm?"
Aldo mendekatkan wajahnya ke wajah Nadya dan berdeham lirih. Dengan wajah
tampannya itu, dia memamerkan senyum manisnya. Rasanya jantung Nadya ingin
meledak. Tunggu—degupannya terdengar sangat kencang!
Diam-diam…Aldo
terpesona. Pipi Nadya yang memerah itu telah menjadi hal yang paling lucu dan
paling ia sukai, terutama saat Nadya menggigit bibir dan bergerak dengan gelisah
di depannya.
Sial.
Aku mau cium kamu, Nad...
"Nad?"
panggil Aldo sekali lagi, cowok itu menarik dagu Nadya hanya untuk melihat
wajah gadis itu dengan lebih jelas. Mulut gadis itu terbuka (dia ingin
mengatakan sesuatu), tetapi bibirnya bergetar.
Melihat
Nadya yang selucu itu, Aldo melebarkan mata. Ia tak
menyangka pipi Nadya akan merona sampai seperti itu.
…dan
ujung-ujungnya, Aldo tak bisa menahan dirinya lagi.
Cowok
itu tiba-tiba menunduk. Rahangnya mengeras. Nadya jadi bingung sendiri. Mengapa
Aldo menunduk seperti itu setelah melihat wajahnya? Jangan-jangan…Nadya
kelihatan jelek banget?
Tapi
aku, kan…emang jelek...
"Stop,
Nad," ujar Aldo tiba-tiba. Hal itu membuat Nadya langsung melebarkan mata.
"Stop liat
aku dengan ekspresi kayak gitu. Aku bisa gila. Kalo kamu nggak
mau tanggung jawab, kamu harus stop pasang ekspresi kayak gitu,"
ujar Aldo. Cowok itu langsung mencium bibir Nadya dengan intens.
Jantung Nadya seolah-olah berhenti berdetak. Aldo menarik leher Nadya; cowok
itu benar-benar mengimpit Nadya ke dinding agar tak bisa melepaskan diri
darinya.
Nadya
menutup matanya kuat-kuat karena sepertinya ia takkan kuat jika harus melihat
wajah Aldo yang kini sedang mencium bibirnya. Ia bisa meledak; suhu tubuhnya
mendadak naik karena Aldo.
Selain
itu, hal yang membuat Nadya semakin malu adalah: fakta bahwa mereka sekarang
ada di kamar Aldo. Aldo melakukan hal seperti ini di kamar cowok itu bersama
Nadya.
Kalo...kalo
Mama Rachel liat atau manggil mereka...gimana?!
******
Hari
ini, SMA Kusuma Bangsa berangkat ke SMANSA Jakarta untuk melaksanakan
pertandingan persahabatan yang sudah dipersiapkan sejak jauh hari. Saat mereka
sudah masuk ke area SMANSA, banyak sekolah yang sudah sampai di sana dan mulai
membangun kemah mereka masing-masing. Sementara itu, para siswa SMA
Kusuma Bangsa—yang ikut sebagai perwakilan sekolah—langsung membangun tenda
mereka sekaligus tenda untuk para siswi. Guru yang menemani mereka langsung
pergi berkumpul dengan guru dari sekolah-sekolah lain.
Upacara
pembukaan sebentar lagi dimulai.
"Nad,
sini tasnya," ujar Aldo saat Nadya sedang duduk bersama cewek-cewek lain di
tempat di mana tenda mereka akan dibangun. Aldo mendatangi Nadya dan hal itu
tentu dilihat oleh banyak orang di sana.
Nggak
bohong, SMA Kusuma Bangsa sebenarnya baru datang,
tetapi Aldo yang bule itu sudah menarik perhatian para siswi
dari sekolah-sekolah lain. Banyak yang melihat ke arah mereka, sengaja lewat
sana, bisik-bisik, dan kejar-kejaran di sekitaran area itu—hanya untuk menarik
perhatian cowok-cowok SMA Kusuma Bangsa—terutama Aldo.
"Lho,
udah selesai ya, Do?" tanya Tari. Dia ikut sebagai salah satu perwakilan
untuk voli perempuan.
"Udah,
tapi karena mau upacara, mendingan taruh tas dulu aja," ujar Aldo seraya mendekati
Nadya. Nadya mengerjap—begitu melihat Aldo ada di dekatnya—lalu cewek itu
mengangguk pelan dan memberikan tasnya.
"Kamu
tidur di tengah-tengah aja sama Tari. Jangan di pinggir. Biar aku yang naruh
tas kamu," ujar Aldo. Aldo pun meminta tas Tari demi menetapkan posisi
tidur mereka berdua.
"Tar,
jaga Nadya," lanjut Aldo. Tari mengangguk singkat dan mengacungkan
jempolnya pada Aldo yang mulai masuk ke tenda.
"Bah,
kapan gue punya pacar kayak Aldo, yak? Haha!" Tari tertawa, lalu ia
memegang tangan Nadya dan mengajak Nadya untuk pergi ke tengah lapangan upacara.
Mereka berdua mulai ikut berbaris. Tak lama kemudian, para cowok yang tadinya
sedang membangun tenda mulai ikut berbaris. Upacara pembukaan dilaksanakan
dengan formal, dengan tari persembahan dari tuan rumah alias SMANSA, lalu
ditutup dengan peresmian dibukanya acara pertandingan persahabatan. Peresmian
itu dilakukan dengan memotong pita dan memecahkan balon di udara.
******
Hari
sudah siang. Pertandingan pertama akan dilaksanakan setelah makan siang. Dalam
pertandingan persahabatan itu, para murid diberi makan dengan teratur (ada
bagian konsumsinya). Berhubung semua sekolah yang ikut ke pertandingan
persahabatan itu termasuk sekolah-sekolah yang bagus, acaranya diatur dengan
sangat baik.
Saat
itu, Nadya sedang mendengarkan obrolan Tari serta para kakak dan adik kelas.
Mereka tertawa riang; ada yang sudah mulai makan siang dan ada yang malah
sempat-sempatnya menggosipkan cewek-cewek dari sekolah lain yang centil di
depan para cowok di sekolah mereka (terutama Aldo). Mereka mendadak jadi cari
perhatian. Semua itu demi dilihat oleh pentolan SMA Kusuma Bangsa…yang
tak lain dan tak bukan adalah Aldo.
Nadya
hanya diam dan mendengarkan omongan mereka dengan senyum gugup. Nadya
sebenarnya pacarnya Aldo, tetapi Nadya tak pernah ambil pusing, bahkan tak
pernah memperhatikan hal-hal seperti itu. Nadya kagum sama mereka yang memperhatikan
semua itu, sampai-sampai Nadya jadi kikuk sendiri. Nadya baru sadar kalau
omongan Aldo itu benar, yaitu: Nadya nggak ikut merasakan hal yang
terjadi di sekitarnya.
Padahal,
bagi Nadya...dia hanya tidak menaruh perhatian ke hal-hal yang seperti itu.
Sekarang,
Nadya tetap banyak diam dan kurang bisa berbaur. Jika ada orang yang baru mengenal
Nadya, mereka pasti akan salah sangka dan menganggap bahwa Nadya itu sombong,
padahal jika dilihat dari dekat, nyatanya Nadya itu bukan sombong, tetapi
pemalu. Hal itu jugalah yang awalnya dirasakan para kakak dan adik kelas yang
ikut pertandingan persahabatan ini bersama Nadya sebagai perwakilan cewek dari
SMA Kusuma Bangsa. Nyatanya, Nadya tanpa Gita hanyalah butiran debu. Bener,
deh! Dia kikuk banget dan tak bisa berbicara bebas dengan teman yang lain
selain Gita. Makanya, dia hanya diam dan mendengarkan obrolan cewek-cewek di
tenda itu sembari sesekali tersenyum. Dia hanya ikut arus. Jika ditanya, ia akan
menjawab. Ke mana pun cewek-cewek itu pergi, mau itu ke kamar mandi, beli es,
atau apa pun, ia ikut saja. She is a cute and innocent cinnamon roll.
Sayangnya,
Gita enggak ikut pertandingan persahabatan ini. Makanya, Nadya akan mengikuti
Tari dan Savanna ke mana pun mereka pergi, soalnya ia merasa kalau Tari dan
Savanna adalah cewek yang paling akrab dengannya (jika dibandingkan dengan
cewek-cewek lain yang ikut pertandingan persahabatan ini). Selain itu, dari
kelasnya juga ada Syakila, tetapi...
Syakila
tampaknya masih marah dengan Nadya.
Nadya
bisa merasakan kemarahan itu setiap kali Nadya tersenyum padanya ketika berpapasan.
Nadya ingin memperbaiki hubungan mereka, tetapi Syakila selalu mengalihkan pandangan
saat Nadya mulai tersenyum padanya. Jadi, Nadya bingung mau bagaimana. Mereka
tak berbaikan sama sekali meskipun mereka berada di tenda yang sama. Sepertinya,
Nadya benar-benar salah dan tak boleh tersenyum seenak itu pada Syakila.
Namun...sebentar.
Salah Nadya...apa?
Mereka
ngobrol-ngobrol di dalam tenda sembari makan siang bersama-sama. Nadya duduk di
sebelah Savanna; ia dan Savanna adalah perwakilan tari tradisional yang akan
diselenggarakan nanti malam.
"Nad,
lo mau udang? Gue nggak suka," ujar Savanna sambil cemberut.
Nadya
tersenyum dan mengangguk. "Mau, Van."
Tari
tertawa kecil, cewek itu juga memberikan Nadya udang miliknya. "Gue juga
nggak suka, Nad."
Nadya
menganga. "Waduh…Tar, banyak banget—Tari—"
Tari
dan Savanna tertawa. Kakak-kakak kelas mulai ikut mengomentari mereka dan
tertawa melihat ekspresi Nadya yang matanya membulat melihat udang menumpuk di
makan siangnya. Makan bareng-bareng memang paling enak saat sedang kemah
seperti ini. Syakila melihat Nadya sejenak dengan ekspresi datar, lalu kembali
tertawa bersama kakak-kakak kelas; ia mencoba untuk membahas hal lain agar
semua orang tidak fokus pada Nadya.
Tiba-tiba,
‘pintu’ tenda itu tersibak. Ada suara cowok-cowok di depan tenda mereka.
Setelah itu, mereka melihat kalau anak-anak cowok itu sudah memakai seragam
voli mereka.
Nadya
menggigit udangnya, lalu melihat ke arah cowok-cowok itu. Jantung Nadya berdegup
kencang saat melihat Aldo ada di sana. Di belakang Aldo, ada Rian dan Adam.
Adam menatap Syakila dan mulai berisik menggoda Syakila. Semua orang tertawa;
Syakila mengernyitkan dahi dan Rian mulai memiting kepala Adam.
Aldo
juga sedang menatap Nadya dan tersenyum. Aldo mendekat ke pintu tenda itu lalu
memperlihatkan es teh serta air mineral untuk Nadya sembari tersenyum.
Seluruh
cewek di tenda itu mulai menyoraki Nadya dengan 'Cieee!!!', lalu
menggoda Nadya, bahkan Tari dan Savanna langsung mendorong-dorong Nadya agar
cewek itu berdiri dan menghampiri Aldo sekarang juga. Syakila diam-diam mendengkus.
Nadya
sebenarnya tambah malu jika didorong dan digoda seperti gitu. Namun, akhirnya…dengan
wajah merona, cewek itu berdiri dan menghampiri Aldo.
Kakak-kakak
kelas di tenda itu juga sebenernya fangirling saat melihat
Aldo, terutama karena tahu bahwa Ketos yang dulunya nggak pernah keliatan ‘dekat’
sama cewek itu kini justru terlihat sangat romantis kepada ceweknya. Gila,
kayaknya Ketos itu sayang banget sama Nadya. Apa ramuan penakluknya, ya?
"Ini.
Kalo kurang minumnya," ujar Aldo; cowok itu memberikan minuman yang ia
tunjukkan tadi kepada Nadya. Nadya melipat bibirnya.
Malah
kelebihan, Aldo...pikir Nadya sembari merona. Kapan, sih,
Nadya bisa berhenti merona setiap liat Aldo?
Ketika
minuman itu sudah ada di tangan Nadya, Aldo tiba-tiba melebarkan matanya seolah-olah
teringat sesuatu. "Oh, ya."
Nadya
hanya menatap dengan polosnya saat Aldo merogoh saku celana seragam volinya dan
mengeluarkan tiga coklat SilverQueen Chunky Bar, lalu
memberikannya kepada Nadya.
"Tadi…kami
mampir sebentar ke bazar yang ada di depan sekolah ini. Aku liat coklat dan
inget kamu. Kalo kamu udah kenyang, makan coklatnya ntar aja," ujar Aldo
tepat setelah coklat-coklat itu ada di tangan Nadya. Nadya menganga.
Nadya
suka coklat. Suka banget, malah, dan Aldo tahu soal itu.
"Ntar,
abis makan…nonton pertandingan voli putra, ya, Sayang," ujar Aldo. Cowok
itu mengusap puncak kepala Nadya sembari tersenyum manis. Aldo menyuruh Nadya untuk
kembali masuk ke tenda dan melanjutkan makan siangnya, lalu cowok itu mendekati
teman-temannya kembali untuk pergi bersama-sama ke lapangan. Sebenarnya,
tadi para cowok itu hanya mengikuti Aldo ke tenda cewek. Mereka tidak ada
urusan apa-apa. Namun, sebenarnya ada fakta tentang anak cowok SMA
Kusuma Bangsa, yaitu: mereka akan main ke tenda cewek setiap ada
kesempatan. Berkumpul di depan tenda cewek karena menurut mereka akan
terasa lebih asyik. Namun, ada beberapa cowok yang cuma mau liat cewek-cewek dengan
baju sehari-hari mereka selain seragam sekolah.
Sementara
itu, cewek-cewek di tenda tersebut mulai bersiul untuk Nadya karena Aldo sangat
memanjakannya meskipun dia tak pernah meminta itu. Siulan itu disertai dengan
tawa yang kencang, soalnya mereka tahu bahwa Aldo itu...limited edition.
******
Setelah
makan siang, kakak-kakak yang ikut pertandingan voli perempuan mulai bersiap-siap,
termasuk Syakila dan Tari. Sementara itu, cewek-cewek yang lain—yang tidak ada
kegiatan (termasuk Savanna dan Nadya)—memilih untuk melihat pertandingan voli
putra. Nadya hanya ikut-ikut saja dan…sebenarnya...Nadya ingat bahwa Aldo memang
menyuruhnya untuk menonton.
Begitu
sampai di lapangan voli itu, Nadya pun melihat pertandingan yang sengit antara
cowok SMA Kusuma Bangsa dengan SMA...Nadya tak tahu SMA apa itu. Nadya hanya kagum
melihat pertandingan itu karena bolanya sulit sekali terjatuh. Emang beda
banget, ya…pertandingan voli putra dan putri. Voli putra sering dianggap lebih ‘menantang’
untuk ditonton.
Cowok-cowok
itu pasti benar-benar menyukai voli. Mereka berkeringat sangat banyak, tetapi
masih tersenyum menikmati permainan voli mereka. Mereka serius dalam melakukan
servis dan smash-nya. Tidak ada yang mau mengalah.
Aldo
juga terlihat sangat...keren. Aldo sedang ada di posisi tengah saat
ini. Nadya tak sadar kalau matanya tak berkedip sama sekali saat melihat Aldo.
Aldo...keren banget. Saat SMA Kusuma Bangsa berhasil mencetak angka, banyak
cewek-cewek yang bersorak. Semua orang pasti bisa mendengar betapa cewek-cewek
itu heboh menanyakan tentang siapa cowok yang ada di tengah itu, siapa cowok
bule itu, dan siapa namanya.
Mereka
mengatakan itu dengan keras dan juga histeris. Savanna tertawa,
lalu berbisik pada Nadya yang duduk di sebelahnya. Mereka duduk di kursi
panjang yang ada di tepi lapangan voli. "Nad, kalo misalnya mereka tau
kalo cowok yang ada di tengah itu udah punya pacar, gimana,
ya?" goda Savanna.
Pipi
Nadya merona. "Van! Udah, ih!"
Savanna
tertawa kencang.
Set
pertama selesai dan sebelum kembali memulai set kedua, seluruh peserta voli itu
minum sebentar. Tanpa Nadya duga, setelah mengambil air mineralnya, Aldo
ternyata berjalan ke arah Nadya. Nadya mulai gugup sendiri. Lah,
kok—kok Aldo tahu kalau ada Nadya? Kan ada banyak orang di sini!
Saat
semua orang—terutama cewek-cewek— melihat Aldo berjalan menghampiri Nadya,
mereka hanya bisa terdiam dan menyimak. Dalam hati, mereka bertanya-tanya:
"Itu
siapanya?"
"Jangan
bilang itu pacarnya? Jangan dah!"
"Kenapa
nggak duduk di bawah pohon itu aja, Sayang?" ujar Aldo. "Di sini
panas."
Para
cewek yang menonton adegan itu hatinya langsung potek.
'Sayang'.
'Sayang'!!!!
Jadi,
cewek itu pacarnya?!
Pipi
Nadya kontan semakin merona. Nadya menggigit bibirnya.
Kenapa
Aldo harus manggil gitu tiba-tiba, sih...
Di
sini, kan…ada banyak orang...
"Aku—aku
mau sama Savanna, Aldo..." ujar Nadya lirih, bibirnya bergetar karenamenahan
salah tingkah. Setelah itu, Aldo mendengar panggilan Rian yang menyuruhnya
untuk kembali ke lapangan. Nadya sempat menatap Rian saat Rian memanggil Aldo.
Rian menyadari hal itu dan tersenyum pada Nadya; dia mengangguk singkat.
Sejak
pacaran sama Aldo, tentu saja Rian dan Adam sering mengajak Nadya berbicara.
Aldo
menyahut, lalu cowok itu kembali menatap Nadya sembari tersenyum manis. Senyum
manis yang rasanya dapat menggegerkan pertahanan seluruh cewek yang ada di
sana.
"Aku
balik ke sana dulu, ya," ujarnya sembari mencubit pipi Nadya dengan
lembut.
Nadya
kontan menunduk malu. Para kakak kelas cewek dari SMA Kusuma Bangsa yang ikut
melihat pertandingan itu bersama Nadya juga sampai merona. Savanna menggeleng
tak habis pikir; dia kagum. Gila, perilaku Ketos satu itu emang luar
biasa banget dah. Mamanya dulu ngidam apa coba?
Savanna
pun menepuk-nepuk pundak Nadya dan tertawa. Savanna tak memedulikan
tatapan-tatapan iri, menginterogasi, serta penasaran yang diberikan oleh cewek-cewek
yang ada di lapangan itu kepada Nadya. Kalau bisa, mending Nadya enggak usah lihat, deh.
******
Sehabis
jalan-jalan sore—melihat area sekitar SMANSA—Nadya dan cewek-cewek yang lain pun
mulai bergegas mandi. Di sana, di belakang gedung SMANSA, disediakan beberapa kamar
mandi umum. Kamar mandi itu dipisahkan; ada yang untuk laki-laki dan ada yang untuk
perempuan. Kamar mandi umum itu sesungguhnya dibuat sederhana, tetapi lebar dan
mungkin bisa menampung lima orang sekaligus. Bak mandinya juga besar.
Nadya
mandi di paling ujung, tetapi bukan di dekat pintu. Dia ada di sudut yang lain.
Seperti biasa, cewek kalau mandi bersama-sama pasti akan berisik. Lima orang
yang masuk adalah Savanna, Syakila, Nadya, Tari, dan satu orang kakak kelas.
Yang
mandi di dekat pintu adalah Tari. Mereka semua mandi dan ada yang mulai memakai
sabun, ada yang bersampo, dan ada juga yang menyikat gigi terlebih dahulu.
Gilanya, Savanna dan Tari malah benar-benar tidak memakai apa-apa selama mandi.
Ketika dinasihati, “Jangan telanjang bulat, woy!’, reaksi mereka hanyalah
tertawa. Nadya pun ikut tertawa tatkala Tari menjawa, "Ah, nggak
enak mandi pake kain. Perasaan gue kayak nggak bersih."
Oh,
well. Iya, sih.
Kalau
Nadya? Nadya pakai kaus dalam dan celana dalam. Itu pun dibungkus lagi dengan
kain, karena ia tidak terbiasa mandi bersama orang lain. Meskipun mereka semua
cewek, Nadya tetap saja merasa malu. Dia bahkan mandi sambil jongkok karena
merasa malu berdiri dengan pakaian mandi. Kamar mandi itu tidak beratap,
sepertinya disengaja agar menambah 'kesan' bahwa mereka sedang berkemah. Lagi
pula, itu adalah kamar mandi umum yang dibangun hanya untuk pertandingan
persahabatan ini.
Nadya
sedang menggosok gigi ketika Tari tiba-tiba berteriak.
"Woy!!!! NGINTIP!!!!!!"
Mereka
berlima terkesiap. Kakak tingkat yang ikut mereka, Savanna, serta Syakila
cepat-cepat berdiri—mereka semua mulai mengambil kain, handuk, atau apa pun itu
untuk menutupi tubuh mereka—dan Nadya cepat-cepat berkumur-kumur. Nadya yang
masih berjongkok itu kini memegangi kain Savanna.
"Van,
kenapa?!" tanya Nadya panik.
"Ada
yang ngintip, Nad. Tuh, liat! Mereka ada di pohon dekat kamar mandi ini."
"Tar,
serius lo?" tanya Syakila pada Tari.
"Buat
apa gue bohong, Sya!" jawab Tari.
Nadya
langsung diam dan menganga. Keempat temannya mulai menyumpahi cowok-cowok
tukang intip itu, sementara Nadya hanya berdiri di belakang mereka dan
memperhatikan dengan ekspresi cemas. Itu tadi...bener-bener ngintip, ya…?
Nadya
meneguk ludahnya.
Setelah
para cowok yang mengintip itu mulai beranjak pergi akibat bentakan
Tari, mereka semua mandi cepat-cepat. Tari marah-marah tanpa henti; kata
Tari, salah satu pengintip tadi ada yang berdiri di depan pintu. Lantaran Tari mandi
di dekat pintu, Tarilah yang terkena intip. Nadya hanya bisa melebarkan mata dan
cemas minta ampun saat mendengar cerita Tari.
Setelah
mandi, Nadya mengejar Savanna saat mereka berlima menuju ke tenda mereka.
Sesampainya di tenda, ternyata seluruh cowok SMA Kusuma Bangsa sudah ada di
depan tenda mereka (tenda perempuan); cowok-cowok itu ngumpul di sana bersama
guru pendamping mereka. Suasana saat itu terlihat ricuh. Sekilas, Nadya
mendengar cowok-cowok itu marah karena mereka sudah tahu soal insiden intip-mengintip
itu. Mereka marah sekali, bahkan ada yang langsung ingin mendatangi tenda
pelaku dan mengeluarkan amarah mereka di sana. Apa mungkin cowok-cowok
yang mengintip tadi sempat datang untuk menantang mereka, makanya mereka tahu?
Nadya
tahu kalau Aldo ada di kerumunan itu, di dekat guru pendamping. Nadya juga tahu
bahwa Aldo tadi melihatnya berlari—sembari membawa peralatan mandi dan baju
kotornya—ke dalam tenda. Namun, Nadya pura-pura tak tahu dan langsung masuk ke
tenda karena gugup melihat keributan itu. Hari sudah maghrib dan area perkemahan
sedang ramai karena semuanya sedang sibuk mandi. Sejujurnya, Aldo juga baru
selesai tanding tenis meja saat itu.
Nadya
menyusun baju kotornya di dalam plastik saat ia melihat Tari, Syakila, serta
semua cewek mulai bergegas keluar dari tenda. Nadya mendengar Tari yang
langsungmenjelaskan kejadian tadi dan situasi jadi semakin ribut. Beberapa
cowok nyaris saja pergi untuk memberi pelajaran pada pelaku-pelaku itu dengan
balas mengintip cewek-cewek dari sekolah mereka. Untung saja…ada beberapa cowok
yang masih menggunakan akal sehat dan menghentikan aksi mereka.
Pak
guru pembimbing juga sebenarnya sangat marah, tetapi dia mencoba untuk menenangkan
siswa-siswanya sebaik mungkin. Sekarang ini...yang mereka bawa bukan hanya
martabat sekolah, melainkan juga martabat mereka masing-masing.
Nadya
mendengar semua itu, tetapi Nadya tidak ikut keluar. Ia baru saja menutup ritsleting
tasnya, lalu ia melihat ke sekeliling dan hanya mendapati Savanna di dekatnya.
Tenda itu kosong, hanya mereka berdua yang ada di dalamnya. Semua orang sedang
berdiskusi di luar dan banyak yang tak terima, soalnya ada cowok-cowok yang
pacarnya sama-sama ikut pertandingan ini. Mereka takut kejadian intip-mengintip
itu berkelanjutan.
"Gila,
kayaknya bakal jadi ribut, tuh," ujar Savanna. Nadya hanya melipat
bibirnya dan mengangguk.
"Entah
juga, Van..."
"Cuma…emang
keterlaluan juga, sih, mereka yang ngintip tadi," kata Savanna. Nadya
hanya menghela napas.
Tiba-tiba,
kain tenda itu tersibak. Nadya dan Savanna langsung menoleh ke pintu tenda
itu. Mata Nadya membelalak saat menyadari bahwa yang membuka pintu itu adalah
Aldo. Cowok itu langsung masuk ke tenda tanpa berpikir apa pun.
Aldo
langsung menghampiri Nadya, berjongkok di depan Nadya, dan memegang pipi Nadya
pelan. "Kamu tadi mandi di bagian mananya? Di dekat pintu, di tengah, atau
di paling ujung?"
Tidak
ada basa-basi lagi.
Savanna
meneguk ludah. Kayaknya, Aldo...marah? Aldo memang tidak bertanya dengan
nada yang terburu-buru; cowok itu justru bertanya dengan lembut. Namun, matanya
menatap Nadya dengan intens; dia menatap wajah Nadya seolah ingin mencari
sesuatu di wajah cewek itu. Sesungguhnya, suasana di dalam tenda itu sudah
mulai gelap karena bulan sudah mulai memunculkan wujudnya, tetapi Nadya tetap
bisa melihat mata Aldo dengan jelas. Sepasang mata yang selalu mampu membuat
Nadya terpaku.
"Aku…mandi
di ujung, Aldo," jawab Nadya pelan.
Aldo
menghela napas lega, tetapi…tetap saja itu tidak menyelesaikan masalah. Aldo
sudah tahu bahwa ada orang yang berada di atas pohon saat mengintip mereka.
Untungnya,
Savanna menengahi, "Dia ada di deket gue, Aldo. Dia mandi di ujung dan
ketutupan sama gue. Kalo diliat dari sudutnya, kayaknya susah juga buat ngeliat
dia dari atas pohon itu. Pohon itu nggak terlalu tinggi."
Aldo
mengangguk. Setelah itu, Aldo kembali menatap Nadya. "Tadi mandi pake apa?
Pake kain pelapis nggak?"
Pipi
Nadya merona mendengar pertanyaan Aldo, tetapi cewek itu mencoba untuk menepis rasa
malunya dan mengangguk pelan.
"Dia
mah nggak apa-apa, Do. Dia pake kaus dalam juga," ujar Savanna. Aldo pun bernapas
lega dan mengangguk. He was sure he had never felt so relieved.
Aldo
mengusap pipi Nadya.
"Itu
Pak Gilang yang mau bicara sama guru mereka, biar nggak terulang lagi kejadian
kayak gini," ujar Aldo. "Sekolah bagus pun…ternyata masih ada juga
murid-murid yang kayak gitu, padahal mereka juga pasti perwakilan dari
sekolahnya untuk ikut lomba persahabatan ini."
Nadya
hanya menunduk. Savanna mengangguk lalu menjawab, "Iya, bener. Heran
gue."
Aldo
menatap Nadya lagi dan menyentuh dagu Nadya dengan lembut.
"Aku
ke depan dulu, ya. Kawan-kawan kayaknya pada emosi," ujar Aldo. Cowok itu
lalu menatap Savanna. "Titip Nadya ya, umm..."
"Savanna," ujar
Savanna.
"...oh,
oke. Savanna. Salam kenal," ujar Aldo. "Titip Nadya, ya."
"Oke,
sip," ujar Savanna sembari nyengir. Aldo mulai bertatapan dengan
Nadya. Sembari mengusap kepala Nadya, Aldo pun berkata, "Kamu istirahat, ya.
Jangan lupa makan. Ntar malem kamu tampil, ‘kan? Semangat,
ya, Sayang."
Aldo
berbicara dengan lembut, lalu cowok itu pamit keluar.
Sepeninggal
Aldo, Nadya hanya terdiam dan jantungnya berdebar-debar. Ia juga sadar bahwa: Aldo
itu...hobi sekali mengusap kepalanya. Cowok itu kini juga nyaris selalu
memanggilnya dengan panggilan 'Sayang'.
Oh.
Benar. Nadya tampil menari malam ini! Mengingat hal itu, Nadya mulai gugup. Ya
Tuhan, mudah-mudahan aku bisa nampilin yang terbaik dan nggak ada kejadian
buruk...
Nadya
takut. Kalau ia gugup, ia akan menjadi perusak di timnya. Kalau ia gugup, habis
sudah. Nadya belum pernah, sih, merusak penampilan di atas panggung. Namun,
tetap saja dia takut.
Sebetulnya,
kuncinya hanya satu: jangan biarkan rasa gugup itu mengendalikanmu.
"Semoga
kita menang, ya, Nad!" ujar Savanna tiba-tiba. Nadya kontan menghadap ke
arahnya dan mengangguk. "Aamiin! Mudah-mudahan, ya, Van!"
Percayalah,
malam itu (sejak sebelum Nadya tampil hingga saat Nadya didandani), Aldo selalu
duduk di luar sembari melihatnya. Banyak cowok yang juga penasaran ingin
melihat cewek-cewek penari dari sekolah mereka didandani, tetapi Nadya tahu
bahwa Aldo terus ada di sana dan melihat ke arahnya. Setelah Nadya didandani,
Aldo pun menghampiri Nadya. Cowok itu tak henti-hentinya memuji Nadya cantik.
Demi
apa pun, Aldo ingin memfoto Nadya sebanyak mungkin. Namun, bukan sekarang
saatnya.
Aldo
menyimpannya untuk nanti sebab sepertinya Nadya bakal jadi gugup karena hal
itu. Tatkala mereka menunggu giliran untuk tampil (di ruang tunggu) pun, Aldo terus
ada di samping Nadya. Cowok itu meremas tangan Nadya dan berkata, "Kamu pasti
bisa, Nad."
Nadya
menatap Aldo dan pipinya merona. Aldo ikut semua perlombaan, tetapi cowok itu
masih sempat menyemangati Nadya dan terus ada bersama Nadya saat Nadya
melaksanakan perlombaannya. Oleh karena itu, Nadya harus lebih berani dan
bersemangat. Nadya malu jika ia tidak tampil dengan bagus saat Aldo bisa
melakukan semuanya dengan sempurna.
Aku
nggak boleh grogi.
Mereka
jadi saling menyemangati satu sama lain. Eh. Sebentar. Apakah...hanya Aldo?
Nadya
harus menyemangati Aldo juga nanti...
Nadya
mengangguk, lalu berterima kasih. Aldo hanya tersenyum manis. Senyum manis
yang membuat mata cowok itu ikut melengkung dengan indahnya.
Ketika
SMA Kusuma Bangsa mulai dipanggil untuk tampil, mereka semua langsung berdiri.
Jantung Nadya berdegup kencang. Para penari mulai menyusun barisan untuk jalan
ke panggung. Nadya berdiri di belakang Savanna.
Para supporter yang
ada di ruang tunggu itu keluar, ke tempat di mana para penonton duduk. Semuanya
ikut duduk di sana, termasuk Adam. Sementara itu, Rian dan Aldo memilih untuk
berdiri. Saat musik mulai berkumandang, penari-penari dari SMA Kusuma Bangsa mulai
tiba di atas panggung. Kedatangan mereka di panggung diiringi oleh tepuk tangan
dari penonton, terutama dari teman-teman mereka sendiri.
Rian
tahu jelas apa yang akan Aldo lakukan. Aldo tentu membawa kameranya. Aldo dan
Rian berdiri di samping kursi penonton. Ketua OSIS ganteng itu sedang memfoto
Nadya menari. Rian juga sebenarnya tengah membantu Aldo, soalnya Aldo
memintanya untuk memfoto serta merekam Nadya yang sedang menari itu di ponsel
milik Aldo.
Rian
melakukan itu dengan senyuman sambil mengobrol dengan Aldo.
Rian
tak pernah melihat Aldo bersikap seperti ini, sebelum Aldo mengenal Nadya.
Dulu, Aldo hanyalah orang yang ramah, hangat, dan baik kepada semua orang, tetapi
dia tidak terlihat sebahagia ini. Dahulu, Aldo seperti memiliki sesuatu yang
kosong di dalam dirinya meskipun dia terlihat sangat bersinar. Akan tetapi,
sekarang…semua itu berbeda.
Setelah
tahu bagaimana sifat Nadya, Rian pikir…yah, Nadya memang cocok buat
Aldo. Aldo juga sayang banget sama Nadya. Kadang-kadang, Rian suka tertawa
sendiri kalau mengingat bahwa dahulu…Aldo itu enggak tahu nama Nadya, bahkan
saat dia udah berbulan-bulan suka.
Rian
juga tahu bahwa Syakila agaknya mau mengusik hubungan sahabatnya ini dengan
Nadya. Terkadang, mengingat Rian adalah orang yang sedikit cerewet, Rian ingin
menasihati Syakila. Namun, Rian menahan diri karena ia percaya bahwa Aldo bisa
mengatasi semuanya. Aldo itu lebih efektif dalam menyelesaikan masalah
ketimbang dirinya. Dahulu, itu jugalah yang membuat Aldo langsung dicalonkan
menjadi Ketua OSIS. Aldo menang dengan voting tertinggi sepanjang sejarah SMA
Kusuma Bangsa.
Melihat
Aldo yang tersenyum tulus ke kamera serta ke arah Nadya—seolah-olah dunia
ini hanya terpusat pada Nadya seorang—Rian pun tersenyum.
"Gila.
Nggak pernah gue liat hubungan cinta di SMA yang kayak ini.” Rian tertawa.
"Kalo di novel, biasanya, kan, preman sekolah yang ganteng jatuh cinta
sama cewek penurut. Atau Ketua OSIS yang dingin tertarik sama cewek yang
biasa-biasa aja. Hm...atau mungkin anak baru gitu, scene terlambat...dan
sebagainya."
"Hm?" deham
Aldo, cowok itu menoleh kepada Rian dengan mata yang sedikit melebar.
"Nggak, Bro, angin
lewat," ujar Rian sembari tersenyum (baca: menahan tawa).
Aldo
pun tertawa renyah. Hal itu kontan membuat Rian menatap Aldo lagi dengan mata
melebar.
‘Jangan-jangan…nih
anak sebenernya denger semuanya?’ pikir Rian.
"Iya, gue
denger," ujar Aldo, bagai bisa membaca pikiran Rian. Mata Rian
spontan membulat, tetapi dua detik kemudian, cowok berkulit hitam manis itu
tertawa terbahak-bahak. Gawat dah. Rian sudah hafal banget sama kelakuan Aldo. Rian
enggak berani, deh, nyari masalah sama Ketua OSIS satu itu.
"Kalo
gue masuk ke novel, mungkin gue bakal jadi stalker," ujar
Aldo sembari tersenyum miring.
Rian
tertawa lagi; dia sama sekali tidak menyangkal hal itu. "Stalker
pujaan hati, ‘kan?" []
No comments:
Post a Comment