Sunday, July 13, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 14: The Marriage Day)

 


******

Chapter 14 :

The Marriage Day

 

******

 

Violette:

MATAKU membelalak begitu Justin selesai mengucapkan kalimat itu.

Ia menutup panggilan telepon itu dan memasukkan ponselnya ke saku celananya. Begitu ia mengajakku untuk kembali berjalan, kakiku enggan bergerak. Aku berhenti melangkah, bersikeras untuk diam di tempat. Dia menyadari itu (karena tangannya menyentuh punggungku), lalu dia mengerutkan dahi.

Aku menunduk; tanganku terkepal. Mengapa dia selalu memutuskan segala hal seenaknya? Ketika aku ingin menghabiskan waktuku untuk berpikir sendirian, dia datang ke rumah Megan dan membawaku pergi. Sekarang, dia berkata pada Paman Locardo bahwa dia ingin mempercepat tanggal pernikahan kami. Apa katanya? Hari Jumat? Sekarang hari Senin! Apa yang ia pikirkan? Masalahku belum selesai; Nathan belum kembali. Dia mengontrol segalanya, dia mendominasi segalanya. Ternyata, kepadaku, dia tetap berperilaku seperti seorang CEO yang terbiasa mengatur segala urusan perusahaannya.

Dia mendekat padaku dan aku bisa merasakan bola mata karamelnya yang seakan-akan menusukku walaupun aku tak menatapnya.

"Kau selalu bersikap seenak yang kau mau," ujarku. Aku mendongak demi bisa menatap wajahnya, tetapi aku tak ingin menatap matanya. Soalnya, aku yakin bahwa jika aku menatap matanya, pikiranku akan buyar.

"Justin. Bagaimana bila aku tak menginginkannya? Pernahkah kau mempertimbangkan kemungkinan itu? Mengapa kau menyamakanku dengan urusan kantormu yang dapat kau selesaikan dengan mudah? Kau meremehkanku, ya? Pernikahan itu bukan urusan yang sepele! Kau gila!"

Tangan Justin terlepas dari punggungku. Kutatap matanya…dan kutemukan dia yang menatapku dengan intens.

Aku merasa terpojok jika dia menatapku seperti itu, padahal aku tahu aku benar. Aku hanya tak ingin dia menyelesaikan semuanya secara sepihak seolah-olah menganggapku ‘mudah’.

Dia hanya diam. Aku menatapnya dengan penuh penantian, menunggu apa yang akan dia ucapkan.

"Jika kau mudah, aku tak perlu repot-repot menjemputmu ke sini. Seharusnya kau berpikir yang sebaliknya; jika aku terus mengundur pernikahan itu, itulah yang dinamakan ‘meremehkanmu’. Namun, bila aku mempercepatnya? Coba kau pikirkan sekali lagi," katanya.

Aku terdiam.

Y—Ya, dia mungkin benar, tetapi…tidak harus memutuskan secara sepihak, 'kan? Apa dia pikir aku sebodoh itu sehingga dia tak meminta pendapatku lagi? Itu sama saja dengan meremehkanku, ‘kan?

"Kau tidak meminta pendapatku," jawabku tajam.

"Sedangkan untuk berpikir dua kali saja kau begitu bodoh, bagaimana bisa aku meminta pendapatmu?" Justin tertawa.

Ya. Dia tertawa, pemirsa.

Dia tertawa.

Aku terkesima. Mataku melebar. Wajah Justin seolah-olah dipenuhi dengan kelap-kelip bintang yang begitu indah malam ini. Aku tidak pernah melihatnya tertawa selepas itu dari kami kecil sampai sekarang, aku serius! Dia sering tertawa kecil dan tersenyum miring, tetapi aku tidak pernah melihatnya tertawa lepas.

Namun, aku menggeleng, memfokuskan pikiranku…dan tetap berusaha untuk terlihat marah.

"Aku tidak sedang melawak," ujarku, pura-pura tak peduli. Aku membuang wajahku.

"Justru karena itulah kau itu lucu. Kau begitu menggelikan bagiku."

Pipiku memerah; aku kontan memelototinya. "JUSTIN!!"

Dia masih tertawa dengan indahnya. Meskipun aku terpesona, tetap saja aku sadar bahwa aku—aku sedang diejek!

"Justin—serius, DENGARKAN AKU!!!"

Dia akhirnya berhenti tertawa. Jakunnya naik turun, matanya masih menatapku dengan geli. Ada jenaka yang terkandung di dalam tatapannya.

"Maaf, sir. Jika kau ingin tertawa lagi, aku pergi sekarang. Kau—kau ternyata tidak menganggapku serius!!!!" Aku langsung bergerak—berencana untuk meninggalkannya—tetapi tiba-tiba tangannya mencekal lenganku. Aku tak bisa bergerak lagi meskipun aku memberontak sekuat tenagaku.

 

"Violette."

 

Apa? Dia sudah sadar? Dia sudah kembali ke dunia? Oh, astaga, apa salahku hingga aku harus berurusan dengan manusia seperti dia?

Aku berbalik untuk menatapnya, lalu memasang ekspresi tak peduli. "Aku ingin pulang."

"Kau ingin berjalan kaki?"

Mengapa dia bertanya seperti itu?

"Hm," dehamku.

"Kedengarannya menarik," ujarnya. Dia tersenyum miring dan mataku membelalak. Pipiku semakin memerah seiring dengan rasa maluku yang semakin besar.

"Apa maksudmu? Sesuatu terjadi dengan otakmu, ya?! Kau pasti korsleting!!!" teriakku, sepertinya aku memecah keheningan malam ini tanpa kusadari.

Namun, dia mulai menggandengku. Mengajakku berjalan bersama. Aku terkesiap; aku kontan melepas tangannya.

"Justin—serius, kau kenapa, sih? Pulanglah naik mobilmu sana!! Aku bisa pulang sendiri! Kau tahu, mungkin kau bisa diperkosa oleh wanita-wanita yang lewat di jalan!"

Justin menatapku; sorot matanya kembali mengandung jenaka meski ekspresinya datar.

 

"Seperti kau?"

 

H—HAH? APA KATANYA?

 

"Aku sudah terbiasa dengan wanita yang pikirannya mesum, terutama kau," ujarnya.

Wait.

SEPERTI AKU?

"HEI!" teriakku. Akan tetapi, sebelum aku mengomelinya lebih lanjut (oh, Tuhan, wajahku memerah sampai ke telinga karenanya), dia langsung berbicara.

"Seharusnya kau bersyukur. Siapa yang mau menikahi perempuan yang memusingkan, tidak seksi, banyak bicara, dan juga bodoh sepertimu?"

Aku memejamkan mata. Aku berharap dia ditembak mati oleh polisi sekarang juga. Jadi, begitu, ya, pendapatnya terhadapku? Jadi, dia merasa bangga akan itu, ya? Seolah-olah ia adalah seorang pangeran yang menyelamatkan seorang wanita yang tidak-punya-kelebihan-sama-sekali?

Dia sangat merendahkanku.

Ini terasa seperti aku sangatlah beruntung karena telah mendapatkannya. Oke, itu benar, tetapi haruskah dia mengungkit dan menyombongkan semua itu di depanku?

"Ya...kau baik sekali karena telah mengungkit itu semua, sir. Sekarang aku sadar," ujarku. Hatiku sakit; aku mencoba untuk menahan air mataku agar tidak keluar.

Ini mungkin pertanda dari Tuhan. Tuhan menyadarkanku sebelum aku menikah dengannya. Ternyata, begitulah cara dia menilaiku. Aku harus berterima kasih padanya karena telah berbicara seperti ini padaku sebelum pernikahan kami dilaksanakan. Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.

"Dugaanku benar. Kau langsung percaya,” ujarnya tiba-tiba. “Kedepannya, tolong berhenti terpengaruh oleh kalimat seperti itu, Violette…atau kau akan meninggalkanku hanya karena mendengar seseorang berbicara seperti itu padamu. Sebenarnya, maksudku tadi adalah: kau seharusnya bersyukur karena akulah yang menikahimu. Aku tidak berharap apa-apa; aku hanya minta kau percaya padaku. Jangan mundur hanya karena orang-orang menghinamu seperti apa yang kukatakan tadi. Jangan karena itu, kau jadi pesimis dan langsung menolakku. Aku tak pernah melakukan tindakan bodoh sepertimu, asal kau tahu saja," ujarnya. Dia mendekatiku dan aku dapat mencium wangi tubuhnya. Wangi yang begitu maskulin, tetapi menenangkan.

"Kau tak berhak mengatakan itu.” Pada akhirnya, aku tetap berusaha untuk memperlihatkan kemarahanku padanya.

"Bagaimanapun juga, aku adalah suamimu," katanya.

"BELUM! Lagi pula, aku harus berpikir lagi sebelum menikah denganmu," ujarku seraya mengacungkan telunjukku di dadanya. Aku kaget saat sadar bahwa aku bisa merasakan bentuk dada tegapnya. Sial! Konsentrasi, Violette.

"Menurutku, itu sama saja," ujarnya, lalu entah sejak kapan, dia sudah menarik tanganku dan menuntunku masuk ke mobilnya. Dia lalu ikut masuk ke mobil, duduk di jok pengemudi.

Aku menatapnya tajam, siap berperang, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dia langsung mengangkat panggilan telepon itu.

Oh, kurasa aku telah kehilangan kesabaranku. Mengapa ketika aku ingin meluapkan emosiku, dia selalu terlihat sibuk?

Lagi pula, kapan Justin bisa mendengarkan kata-kataku? Rasanya dia selalu bisa memotong ucapanku, membungkamku dengan satu kalimatnya yang menjengkelkan.

"Yes," jawabnya. Wait, mengapa aku bisa mendengar suara gemerusuk dari panggilan telepon itu? Justin me-loudspeaker panggilan itu, ya?

 

Untuk apa?

 

"Jadwal Anda untuk hari Kamis dan Jumat sepertinya hanya meeting biasa, sir." Oh, sepertinya aku tahu suara ini. Dia...assistant-nya Justin yang paling Justin andalkan di antara assistant yang lain. Orang yang seharusnya Justin angkat sebagai executive assistant-nya. Bukan aku.

"Baiklah. Di hari Kamis, aku akan mengurus sesuatu. Bisakah kau menolongku?"

"Tentu saja, sir. Ah, kudengar…Anda akan menikah? Selamat, sir."

Pipiku spontan merona. Kok mereka bisa tahu secepat ini? Megan saja tutup mulut.

"Terima kasih," jawab Justin singkat. Assistant-nya yang kuketahui bernama Sher itu tertawa renyah. Sher cukup akrab dengan Justin.

"Sampaikan salamku kepada Nona Violette, ya, sir. Sekarang, kantor begitu heboh karena berita pernikahan Anda. Aku akan membantumu sebisaku; apa yang harus kulakukan, sir?"

Justin mulai menghidupkan mesin mobilnya, lalu akhirnya mobilnya berjalan dengan santai.

"Ya, dia sudah mendengar salammu," ujar Justin dan Sher tertawa. Menyadari apa maksud Justin, pipiku jadi semakin merona dan aku langsung membuang wajahku. Aku memilih untuk melihat ke jendela mobil.

Setelah itu, Justin melanjutkan, "Hari Kamis nanti, aku takkan berada di tempat karena aku akan sibuk mengurusi pernikahanku yang dilaksanakan keesokan harinya. Nanti tolong sebarkan undangannya, ya. Jadi, selama aku tidak berada di kantor bersama executive assistant-ku..." Justin melihat ke arahku dan perutku seolah-olah tergelitik. Mengapa dia harus menatapku seperti itu, sih?

Aku terus berusaha untuk tak balas melihatnya.

"...tolong buatkan laporan mengenai pekerjaan para direktur dan manager di kantor setiap harinya…hingga aku kembali," lanjut Justin.

"Baiklah, sir," jawab Sher, lalu Justin berdeham dan mematikan panggilan telepon itu. Dia kini fokus menyetir dan aku mulai menoleh kepadanya.

"Kau berencana untuk tidak pergi ke kantor pada hari Kamis? Sher pasti akan kelelahan," kataku dengan hati-hati.

Justin diam.

"Justin," panggilku sekali lagi.

 

"Yang menerormu itu Elika, 'kan?"

 

Mataku membelalak.

Aku meneguk ludahku, napasku tertahan. Seolah-olah ada sebuah kerikil yang terjebak di tenggorokanku.

Justin...

 

Dia sudah tahu.

 

Ah. Ternyata…akulah yang bodoh.

Aku terlalu banyak menyusahkannya; aku mungkin memusingkannya. Aku berencana untuk tidak memberitahunya sama sekali, tetapi...dia selalu tahu apa yang kusembunyikan—atau yang siapa pun sembunyikan—sehingga siapa pun tak bisa berbohong di depannya.

Aku menunduk. Untuk apa lagi aku mengelak?

Aku yakin…dia pasti telah mencari tahu kebenarannya.

"Kutebak…kau sudah tahu semuanya?" tanyaku seraya tersenyum getir. Kutebak, cepat atau lambat, akan terjadi sesuatu kepada Elika. Namun, aku takkan membiarkan Justin melakukannya untukku. Aku bisa melakukannya sendiri. Jika Elika harus membayar itu semua, akulah yang akan memaksa wanita itu untuk melakukannya.

Oleh karena itu, aku tak ingin Justin ikut campur.

Namun, sampai kapan? Soalnya, dalam hitungan hari, Justin akan menjadi suamiku.

Ah, kok aku…jadi mengesahkannya tanpa sadar begini, sih?

"Hm." Justin berdeham singkat. Aku memperhatikan lengan berotot Justin yang sedang memegang roda kemudi.

"Sebentar lagi pamanmu akan kembali. Ayo kita menikah, Vio. Jangan keras kepala lagi." Ia memperingatiku sebelum aku menjawab.

Aku mengernyitkan dahi. Ada banyak pertanyaan yang hinggap di otakku.

"Besok pagi, semuanya akan disiapkan satu per satu oleh Locardo," ujarnya. “Dia yang akan membantuku karena aku akan sangat disibukkan dengan pekerjaanku yang harus kuselesaikan lebih awal. Aku hanya akan memantau semuanya dari jauh. Setelah itu, di hari Kamis, semuanya akan aku cek. Seharusnya di hari Kamis semuanya telah selesai sehingga di hari Jumat pernikahan kita bisa dilaksanakan."

Aku tercengang. Dia telah mempersiapkan segalanya. Aku kadang jengkel dengan dia yang bisa melakukan semuanya dengan mudah, tetapi di saat bersamaan, itu juga bisa membuatku sangat kagum padanya.

"Bukan berarti aku ingin keras kepala lagi, Justin, terima kasih untuk semua yang kau lakukan. Namun…biarkan aku membantumu. Aku ingin mencari Nathan juga. Biarkan aku tinggal di rumah Paman Locardo atau apa pun itu agar aku bisa membantu mereka," ujarku, lalu aku menghela napas. "Satu lagi, belajarlah untuk memanggilnya dengan sebutan 'Paman', Justin. Kau selalu memanggilnya dengan Locardo dan kupikir itu tidak sopan."

Justin hanya diam. Dia agaknya tak ingin menjawabku dan aku tahu bahwa aku harus segera mengalihkan pembicaraan.

Yah, mungkin tidak sekarang. Namun…nanti…semoga dia mau.

Aku memalingkan pandanganku ke jendela yang ada di sampingku. Entah mengapa…aku langsung menikmati pemandangan jalan raya malam ini.

 

"Kau ingin membantu Locardo?"

 

Aku membulatkan mata; aku langsung menatapnya. Dia ternyata mau menjawabku!

"Ya, aku ingin membantu," jawabku dengan nada biasa, padahal diam-diam…aku sangat antusias. Ah...aku bisa bertemu dengan Evan lagi. Si kecil yang tampan itu terlihat seperti Justin versi kecil, haha.

"Tidak usah," ujarnya, sukses membuatku seolah-olah tertimpa batu berton-ton. Sial, apa maksudnya?

Dia melanjutkan, "Kau hanya akan merepotkan Locardo. Lagi pula, pesta itu kubiayai seharga US$100 juta dan kau bisa bayangkan apa yang kuperbuat dengan semua itu. Aku rasa kau takkan sanggup membantu. Atau kau mau membantu mencuci piring?"

Aku menganga. Demi Tuhan, di mana aku? Aku masih berpijak di tempatku, 'kan? Aku tidak melayang, 'kan?

US$100 juta? Pesta apa yang dia adakan? Dia mungkin bisa mengundang penyanyi ternama sekaligus memberi makan ribuan orang miskin selama tujuh hari berturut-turut dengan uang sebanyak itu!

"APAAAAAAA?100 juta dolar? OH, GOD, SIAPA SAJA YANG MAU KAU UNDANG? KAU BUANG UANGMU BANYAK SEKALI!!"

"Aku tidak membuangnya, Violette. Apa maksudmu?" ujarnya sembari mengernyitkan dahi.

"KAU MEMBUANGNYA, JUSTIN!" Aku masih tidak bisa santai; aku tahu aku terlihat seperti monster yang terus memelototinya karena masih heran mengapa dia membuang uang sebanyak itu.

"Jadi, menurutmu menikahimu itu membuang uang? Kau lucu." Dia tersenyum seraya membelokkan mobilnya ketika melewati persimpangan jalan yang di tengah-tengahnya ada air mancur.

"Aku tidak sedang melawak, aku tak pernah berusaha untuk melawak di depanmu." Aku membantahnya dengan tegas. Namun, dia tersenyum miring. "Oh ya?"

Sialan.

"Mandilah ketika kita sampai nanti; kau akan tidur di rumahku. Nanti bawa itu," ujarnya, menunjuk jok penumpang belakang dengan dagunya. Aku mengikuti arah yang ia tunjukkan dan aku menemukan bingkisan gaun pernikahan yang beberapa jam lalu kujatuhkan. Aku ingin gaun itu karena itu sedikit mengingatkanku pada Ibu. Dulu, aku ingat Ibu menyimpan gaun yang mirip seperti itu di rumah...sebelum akhirnya dia meninggal dan aku ditemukan oleh Brian, Ketua Red Lion. Aku membulatkan mata tatkala sadar bahwa ternyata Justin mengambilnya.

Aku sontak merasa bersalah dan ingin menangis.

Aku mulai bergerak untuk mengambil bingkisan itu (ke jok penumpang belakang) meski hampir menyenggol persneling. Aku mengambil gaun itu dan sadar bahwa Justin memperhatikanku; dia mengawasiku sampai aku kembali duduk. Aku memeluk bingkisan gaun pernikahan itu dengan erat…lalu menatap Justin.

Aku tersenyum dengan lembut padanya. Bagaimanapun juga…aku sadar bahwa aku…mencintainya.

"Terima kasih, Justin. I love you..." kataku pelan.

Walaupun di dalam mobil sedang gelap karena kami tidak menghidupkan lampunya, aku bisa melihat—karena diterangi oleh cahaya lampu jalan—bahwa dia tersenyum tipis. Meski terkesan seperti senyuman miring, dia memang tersenyum padaku seraya menatapku dalam.

Ketika aku turun dari mobil, aku sadar bahwa Justin memang membawaku ke apartemennya.

Dia sepertinya tak memperbolehkanku untuk membantu Paman Locardo ataupun Bibi Locardo karena dia terus mengejekku ketika aku membicarakan hal itu. Aku tak mengerti mengapa Tuhan harus memberikanku calon suami yang begitu menjengkelkan.

Beberapa hari berikutnya, kami menjalani hari-hari seperti biasa, tetapi hari-hari biasa itu sekarang membuatku jadi malu tak tertahankan karena sifat lelaki itu. Hari pernikahan kami pun akhirnya semakin dekat; besok adalah hari pernikahan kami.

Hari ini hari Kamis. Aku dibawa Justin ke rumah Paman Locardo dan juga ke lokasi penikahan. Dia memilih gereja terbaik di New York untuk melaksanakan pernikahan kami. Ia telah mengatur semuanya dan aku tahu gereja itu. Aku biasanya beribadah di gereja lain, tetapi aku tahu gereja termegah itu.

Dia juga mengadakan pesta besar di Main Beach. Aku pernah pergi ke pantai itu, tetapi tidak sering. Pantai itu lumayan jauh dari rumahku. Lagi pula, aku hanya memiliki motor dan Nathan jarang mau ikut. Paling-paling…aku ke sana karena iseng. Itu pun jika aku sedang bersama Megan. Namun, pantai itu sering dikunjungi artis-artis, lho! 

Selain pesta-pesta itu, ada juga berbagai jamuan makan antarkeluarga di rumah Paman Locardo. Kok rasanya...acaranya tersebar di mana-mana, ya?

Ya, jelas saja itu akan terjadi kalau dia mempersiapkan semuanya dengan uang sebesar itu. Namun, sepertinya itu semua takkan mencapai 100 juta. Apa lagi yang dia persiapkan?

Di hari Selasa dan Rabu kemarin, kami hanya menghabiskan waktu di kantor dan apartemen Justin. Justin berusaha untuk menyelesaikan semua tugasnya di hari itu karena ia tak ingin ada yang mengganggunya lagi di hari Kamis dan Jumat. Dia sepertinya lelah mengurus ini dan itu, teleponnya juga terus berdering.

Semua orang di kantor selalu senyum-senyum saat melihat kami, terutama ketika kami berjalan berdua saat masuk dan keluar dari gedung perusahaan. Ada beberapa wanita yang menatapku tak suka; aku merasa kalau di mana pun aku berada, semua orang akan membicarakanku. Gosip aneh pun menyebar. Ada yang berbicara bahwa Justin telah menghamiliku dan aku memaksanya untuk bertanggung jawab, jadi pernikahan kami terasa seperti dikejar-kejar anjing. Gosip buruk seperti itu kebanyakan tersebar di kalangan perempuan laknat yang menggemari Justin. Selain perempuan-perempuan laknat itu, semuanya pasti mengucapkan kata ‘Selamat’ di mana pun kami berada. Aku merasa benar-benar bahagia, kecuali ketika aku mendengar gosip tak jelas itu. Rasanya aku ingin menendang penyebar gosipnya.

Justin selalu menanggapi pujian itu dengan senyuman atau dengan kata 'terima kasih' formalnya. Maklumlah, dia terlahir untuk menjadi manusia beku.

Aku bahagia sekali. Rasanya seperti…melambung tinggi ke langit. Terkadang, aku sengaja memegang lengan Justin, seolah-olah menunjukkan bahwa aku adalah calon istrinya. Bahwa dia itu milikku.

Besok, aku akan resmi menjadi istri sahnya.

Miliknya…seutuhnya.

 

******

 

THE MARRIAGE DAY

FRIDAY, MARCH 16th

 

Alright. Aku di sini sekarang.

Duduk di depan cermin, memandangi pantulan wajahku. Aku memakai gaun yang kupilih waktu itu. Bibi Locardo membelikanku begitu banyak gaun, banyak perhiasan dengan berlian, dan juga sepatu yang begitu indah. Semuanya dibelikan dalam jumlah banyak—tetapi berbeda jenis—hingga dia menyuruhku untuk memilih. Bibi Locardo begitu baik padaku; dia tak ingin memakai uang Justin. Evan juga sering menarikku dan menyuruhku untuk memakai apa yang ia pilih. Kau tahu, Evan mempunyai selera yang tinggi! Dia tahu gaya wanita glamor. Bahaya, nih. Mungkin, kalau sudah besar nanti, dia akan menyukai wanita yang glamor. Wah, aku harus lebih sering mengawasi anak kecil kembaran Justin ini. Evan memang arogan, tetapi anak itu baik. Tampan juga. Haha.

Pada akhirnya, aku hanya memilih sepatu yang menurutku sesuai dengan bajuku. Kalung dan gelang juga—waduh—aku pusing, itu ada banyak sekali. Namun, Bibi Locardo memaksaku untuk memakainya. Megan juga datang ke rumah Bibi Locardo serta ke lokasi gereja sekarang ini untuk membantu meriasku. Mereka memaksaku untuk memakai banyak perhiasan dan rasanya tubuhku jadi berat sekali.

Orang yang akan mengantarkanku menuju altar nanti adalah ayah Megan. Yah...karena Nathan belum ada.

Semua orang datang. Seth juga datang. Martin dan Hillda beserta anak mereka juga datang dari Perancis, tetapi mungkin mereka akan sampai ketika malam. Atau sore? Entahlah. Aku benar-benar gugup. Serius, aku begitu gugup. Aku ingin pulang saja rasanya...

Semua orang yang kukenal datang hari ini. Namun, lebih banyak lagi orang yang tak kukenal—banyak sekali—yang entah siapa dan dari mana saja. Itu mungkin adalah kenalan Paman Locardo. Semua orang dari Alexander Enterprises juga datang. Pokoknya, semua klien ataupun mantan klien, teman Justin, dan siapa pun yang berhubungan dengan Justin serta Locardo…semuanya datang hari ini.

Maka dari itu, undangan hari ini bisa mencapai puluhan ribu orang. Aku sempat mendengar dari Megan kalau tamu-tamu mulai menyebut pernikahan ini sebagai pernikahan billionaire.

Well…Justin memang billionaire, sih…

Aku bisa gila! Aku...adalah pengantin wanitanya. Bagaimana jika aku membuat kesalahan? Aku juga belum melihat Justin sedari tadi. Ah, ya Tuhan. Karena memikirkan Justin, perutku jadi serasa tergelitik. Dia pasti tampan sekali.

Tiba-tiba, Megan masuk ke ruang rias ini—dia meninggalkanku sendiri tadinya—lalu dia mendekatiku. Senyumnya merekah; dia tampak begitu cantik hari ini. Dia memakai gaun.

"Haloooooo, Violette sayang! Nervous, eh?" tanyanya. Dia menggodaku seraya memelukku dari belakang. Aku—yang tadinya duduk diam—langsung menggeliat hebat; pipiku merona.

"MEGAN!!"

"Hooohoooo. Jangan emosi dulu, dong!" Megan tertawa kencang. Ia lalu menatapku geli, masih memelukku erat-erat sampai aku merasa tercekik. "Gila, Vio. Aku merasa seperti menghadiri pesta pernikahan keluarga kerajaan saja. Kudengar, undangan yang suamimu beri untuk tamu dari luar negeri itu disertai dengan tiket pesawat dan tempat menginap di hotel berbintang lima. Gilaa!! Akhirnya, kau resmi juga, ya, menjadi Mrs. Alexander yang Terhormat di kantor."

Aku jadi gugup minta ampun. "Diamlah!!"

"Sahabatku yang paling hebat, satu-satunya perempuan yang bisa menaklukkan CEO Alexander Enterprises. CEO, man, CEO! Wah...dia pasti tampan sekali hari ini," puji Megan. Dia mulai mengkhayal. Aku memukul pipinya dan menggeleng.

Dia mengikik—membuatku jengkel setengah mati—lalu dia merapikan rambutku lagi. Setelah itu, dia duduk di sebelahku. "Jangan nervous. Kau pasti takut membuat Justin malu, 'kan? Mengapa kau harus takut? Dia takkan malu, kurasa dia malah akan tertawa jika kau jungkir balik di altar."

Aku menggeram dan kontan menepuk pundaknya. "MEGAN!!"

Dia tertawa. "Well, semoga langgeng, ya. Sampai maut memisahkan kalian. Aku turut berbahagia...untukmu."

Ucapannya itu kontan membuat mataku berkaca-kaca. Dia memelukku erat. "Aku akan sering mengunjungimu. Jangan sungkan-sungkan untuk bercerita padaku. Apa pun itu...termasuk ekhem-ekhem-mu."

Dia tertawa lagi; suaranya kencang sekali.

Pipiku kontan memerah sempurna dan aku refleks mendorong tubuhnya. Aku membuang wajahku dan tiba-tiba aku jadi batuk-batuk tak jelas. Siaaaaaallllll!!!!! Apa-apaan 'ekhem-ekhem' itu?!!! Mengapa dia harus mengingatkanku pada hal seperti itu saat aku sudah merasa agak tenang, sih?!!

"Malu, eh? Malu?" Megan mencolek daguku. Aku menampar tangannya. "Sial, Meg, kumohon berhentilah!!"

"Ya sudah, ya sudah. Aku hanya bercanda. Umm…tetapi nanti aku akan tetap menagih cerita itu, lho," katanya. Dia tertawa keras lagi.

Aku menggeleng, merasa benar-benar mati kutu.

Dia lalu melanjutkan, "Sekarang, kau harus tenang. Anggap saja semua orang yang melihatmu itu cuma stik es krim. Lagi pula, banyak sekali wanita yang berangan-angan untuk berada di posisimu. Oh, ya, Ayahku sudah siap, by the way."

Aku mengangguk. "Ya, Meg. Terima kasih."

Dia tersenyum padaku dan mengusap bahu telanjangku. "Anything for you, Bestie. Kau terlihat cantik sekali hari ini. Memang tak salah CEO kita yang seksi itu memilihmu. Kau begitu menawan, ditambah dengan berlian-berlian ini...wah..." Dia mulai terpana dengan kalung berlian pemberian Bibi Locardo yang kukenakan. Aku menggeleng melihatnya.

Sejenak kemudian, dia tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba, pintu ruangan ini terbuka lagi. Aku melihat Bibi Locardo dan Evan yang masuk ke ruangan. Evan berlari ke arahku ketika pintu itu baru saja terbuka dan dia langsung memegangi gaunku.

"Kak Violette cantik cekali. Kakak hali ini keliatan cekci. Uncle Justin tadi juga tampan cekali. Evan mau ceperti Uncle Justin. Kakak jaga Uncle, loh. Kakak jarang keliatan cekci, coalnya," kata Evan.

Mulai lagi. Sikap arogannya ini...oh Tuhan.

Evan, kalau saja kau sudah besar...

Eh, tunggu sebentar. Tadi…apa katanya? Justin tampan sekali? Ya Tuhan, aku mendadak jadi benar-benar gugup.

Bibi Locardo mendekatiku sembari tersenyum dan aku memperhatikannya sembari mengusap rambut Evan. Megan tersenyum kepada Bibi Locardo.

 

"Ayo, sudah saatnya kau ke luar."

 

******

 

Saat ini…aku merasa seperti ingin pingsan. Rasanya gugup sekali, gila!

Tanganku memeluk lengan ayah Megan dan kami berjalan pelan ke altar. Justin menungguku di ujung sana.

Dia mengenakan kemeja putih dan dia…terlihat sangat tampan.

Dia gagah seperti biasanya. Dia bersinar dan memesona. Namun, hari ini…he looks like a prince riding a white horse.

Aku begitu bahagia.

Semua orang melihat ke arahku. Semua orang di sini terdiam; tatapan mata mereka mengandung rasa penasaran dan kegembiraan. Tanpa sadar, kami sudah sampai di dekat altar. Jantungku berdegup kencang.

Aku merasa tanganku diambil alih. Aku menoleh…dan yang pertama kali kulihat adalah wajah tampan Justin. Dia menatapku dengan mata karamelnya yang mengunciku, lalu dia melihat ke depan lagi. Dia menuntunku naik ke altar. Selama berjalan ke dekat pendeta, aku menunduk. Namun, tiba-tiba aku mendengar Justin berbisik padaku dengan suara rendahnya.

 

"You are so beautiful today. You make me lose my patience, My Miss."

 

Pipiku merona. Aku menggigit bibirku.

Dia tersenyum simpul dan akhirnya kami berdua sampai di depan pendeta.

 

"Justin Drew Alexander, do you take Violette Morgan for your lawful wife, to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, until death do you part?”

 

"Yes, I do." Justin berucap dengan tegas dan yakin. Membuatku takjub dan tersenyum lembut. Dia tak ragu atau terbebani sama sekali…seolah-olah ia sudah menantikannya sejak lama.

 

"Violette Morgan, do you take Justin Drew Alexander for your lawful husband, to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, until death do you part?"

 

Aku menunduk dan tanpa kusadari…air mataku mengalir.

Aku pun menarik napas dalam.

"I do," jawabku dengan penuh keyakinan.

Dengan mata yang berkaca-kaca, aku pun menatap Justin. Dia mulai memasangkan sebuah cincin yang begitu cantik di jari manis tangan kiriku. Aku juga melakukan hal yang sama. Cincin itu begitu berkilauan.

Setelah itu, Justin pun menciumku. Semua orang bertepuk tangan dengan heboh. Suasananya dipenuhi dengan kebahagiaan.

Aku memegang lengan Justin dan sepertinya dia tersenyum di antara ciuman kami. Kini, kami telah resmi menjadi suami istri. []

 










******






Happy wedding, Papi and Mami ❤️





No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 14: The Marriage Day)

  ****** Chapter 14 : The Marriage Day   ******   Violette: MATAKU  membelalak begitu Justin selesai mengucapkan kalimat itu. ...