Chapter 14 :
The
Marriage Day
******
Violette:
MATAKU membelalak begitu Justin
selesai mengucapkan kalimat itu.
Ia menutup panggilan telepon itu
dan memasukkan ponselnya ke saku celananya. Begitu ia mengajakku untuk kembali
berjalan, kakiku enggan bergerak. Aku berhenti melangkah, bersikeras untuk diam
di tempat. Dia menyadari itu (karena tangannya menyentuh punggungku), lalu dia
mengerutkan dahi.
Aku menunduk; tanganku terkepal.
Mengapa dia selalu memutuskan segala hal seenaknya? Ketika aku ingin
menghabiskan waktuku untuk berpikir sendirian, dia datang ke rumah Megan dan
membawaku pergi. Sekarang, dia berkata pada Paman Locardo bahwa dia ingin
mempercepat tanggal pernikahan kami. Apa katanya? Hari Jumat? Sekarang hari
Senin! Apa yang ia pikirkan? Masalahku belum selesai; Nathan belum kembali. Dia
mengontrol segalanya, dia mendominasi segalanya. Ternyata, kepadaku, dia
tetap berperilaku seperti seorang CEO yang terbiasa mengatur segala urusan
perusahaannya.
Dia mendekat padaku dan aku bisa
merasakan bola mata karamelnya yang seakan-akan menusukku walaupun aku
tak menatapnya.
"Kau selalu bersikap seenak
yang kau mau," ujarku. Aku mendongak demi bisa menatap wajahnya, tetapi
aku tak ingin menatap matanya. Soalnya, aku yakin bahwa jika aku menatap
matanya, pikiranku akan buyar.
"Justin. Bagaimana bila aku
tak menginginkannya? Pernahkah kau mempertimbangkan kemungkinan itu? Mengapa
kau menyamakanku dengan urusan kantormu yang dapat kau selesaikan dengan mudah?
Kau meremehkanku, ya? Pernikahan itu bukan urusan yang sepele! Kau gila!"
Tangan Justin terlepas dari
punggungku. Kutatap matanya…dan kutemukan dia yang menatapku dengan intens.
Aku merasa terpojok jika dia
menatapku seperti itu, padahal aku tahu aku benar. Aku hanya tak ingin dia
menyelesaikan semuanya secara sepihak seolah-olah menganggapku ‘mudah’.
Dia hanya diam. Aku menatapnya
dengan penuh penantian, menunggu apa yang akan dia ucapkan.
"Jika kau mudah, aku
tak perlu repot-repot menjemputmu ke sini. Seharusnya kau berpikir yang sebaliknya;
jika aku terus mengundur pernikahan itu, itulah yang dinamakan ‘meremehkanmu’. Namun,
bila aku mempercepatnya? Coba kau pikirkan sekali lagi,"
katanya.
Aku terdiam.
Y—Ya, dia mungkin benar, tetapi…tidak
harus memutuskan secara sepihak, 'kan? Apa dia pikir aku
sebodoh itu sehingga dia tak meminta pendapatku lagi? Itu sama saja dengan
meremehkanku, ‘kan?
"Kau tidak meminta pendapatku,"
jawabku tajam.
"Sedangkan untuk berpikir dua
kali saja kau begitu bodoh, bagaimana bisa aku meminta pendapatmu?" Justin
tertawa.
Ya. Dia tertawa, pemirsa.
Dia tertawa.
Aku terkesima. Mataku melebar.
Wajah Justin seolah-olah dipenuhi dengan kelap-kelip bintang yang begitu indah
malam ini. Aku tidak pernah melihatnya tertawa selepas itu dari kami kecil sampai
sekarang, aku serius! Dia sering tertawa kecil dan tersenyum
miring, tetapi aku tidak pernah melihatnya tertawa lepas.
Namun, aku menggeleng, memfokuskan
pikiranku…dan tetap berusaha untuk terlihat marah.
"Aku tidak sedang melawak,"
ujarku, pura-pura tak peduli. Aku membuang wajahku.
"Justru karena itulah kau itu
lucu. Kau begitu menggelikan bagiku."
Pipiku memerah; aku kontan
memelototinya. "JUSTIN!!"
Dia masih tertawa dengan indahnya.
Meskipun aku terpesona, tetap saja aku sadar bahwa aku—aku sedang diejek!
"Justin—serius, DENGARKAN AKU!!!"
Dia akhirnya berhenti tertawa.
Jakunnya naik turun, matanya masih menatapku dengan geli. Ada jenaka yang
terkandung di dalam tatapannya.
"Maaf, sir. Jika
kau ingin tertawa lagi, aku pergi sekarang. Kau—kau ternyata tidak menganggapku
serius!!!!" Aku langsung bergerak—berencana untuk meninggalkannya—tetapi
tiba-tiba tangannya mencekal lenganku. Aku tak bisa bergerak lagi meskipun aku
memberontak sekuat tenagaku.
"Violette."
Apa? Dia sudah sadar? Dia sudah kembali
ke dunia? Oh, astaga, apa salahku hingga aku harus berurusan dengan manusia
seperti dia?
Aku berbalik untuk menatapnya, lalu
memasang ekspresi tak peduli. "Aku ingin pulang."
"Kau ingin berjalan kaki?"
Mengapa dia bertanya seperti itu?
"Hm," dehamku.
"Kedengarannya menarik,"
ujarnya. Dia tersenyum miring dan mataku membelalak. Pipiku semakin memerah
seiring dengan rasa maluku yang semakin besar.
"Apa maksudmu? Sesuatu terjadi
dengan otakmu, ya?! Kau pasti korsleting!!!" teriakku, sepertinya aku
memecah keheningan malam ini tanpa kusadari.
Namun, dia mulai menggandengku.
Mengajakku berjalan bersama. Aku terkesiap; aku kontan melepas tangannya.
"Justin—serius, kau kenapa,
sih? Pulanglah naik mobilmu sana!! Aku bisa pulang sendiri! Kau tahu, mungkin
kau bisa diperkosa oleh wanita-wanita yang lewat di jalan!"
Justin menatapku; sorot matanya
kembali mengandung jenaka meski ekspresinya datar.
"Seperti kau?"
H—HAH? APA KATANYA?
"Aku sudah terbiasa dengan
wanita yang pikirannya mesum, terutama kau," ujarnya.
Wait.
SEPERTI AKU?
"HEI!" teriakku. Akan
tetapi, sebelum aku mengomelinya lebih lanjut (oh, Tuhan, wajahku memerah
sampai ke telinga karenanya), dia langsung berbicara.
"Seharusnya kau bersyukur.
Siapa yang mau menikahi perempuan yang memusingkan, tidak seksi, banyak bicara,
dan juga bodoh sepertimu?"
Aku memejamkan mata. Aku berharap dia
ditembak mati oleh polisi sekarang juga. Jadi, begitu, ya, pendapatnya
terhadapku? Jadi, dia merasa bangga akan itu, ya? Seolah-olah ia adalah seorang
pangeran yang menyelamatkan seorang wanita yang tidak-punya-kelebihan-sama-sekali?
Dia sangat merendahkanku.
Ini terasa seperti aku sangatlah
beruntung karena telah mendapatkannya. Oke, itu benar, tetapi haruskah dia mengungkit
dan menyombongkan semua itu di depanku?
"Ya...kau baik sekali karena
telah mengungkit itu semua, sir. Sekarang aku sadar,"
ujarku. Hatiku sakit; aku mencoba untuk menahan air mataku agar tidak keluar.
Ini mungkin pertanda dari Tuhan. Tuhan
menyadarkanku sebelum aku menikah dengannya. Ternyata, begitulah cara dia
menilaiku. Aku harus berterima kasih padanya karena telah berbicara seperti ini
padaku sebelum pernikahan kami dilaksanakan. Sekarang aku tahu apa yang harus
aku lakukan.
"Dugaanku benar. Kau langsung percaya,”
ujarnya tiba-tiba. “Kedepannya, tolong berhenti terpengaruh oleh kalimat
seperti itu, Violette…atau kau akan meninggalkanku hanya karena mendengar
seseorang berbicara seperti itu padamu. Sebenarnya, maksudku tadi adalah: kau
seharusnya bersyukur karena akulah yang menikahimu. Aku tidak berharap apa-apa;
aku hanya minta kau percaya padaku. Jangan mundur hanya karena
orang-orang menghinamu seperti apa yang kukatakan tadi. Jangan
karena itu, kau jadi pesimis dan langsung menolakku. Aku tak pernah melakukan
tindakan bodoh sepertimu, asal kau tahu saja," ujarnya. Dia mendekatiku
dan aku dapat mencium wangi tubuhnya. Wangi yang begitu maskulin, tetapi
menenangkan.
"Kau tak berhak mengatakan itu.”
Pada akhirnya, aku tetap berusaha untuk memperlihatkan kemarahanku padanya.
"Bagaimanapun juga, aku
adalah suamimu," katanya.
"BELUM! Lagi pula, aku harus
berpikir lagi sebelum menikah denganmu," ujarku seraya mengacungkan
telunjukku di dadanya. Aku kaget saat sadar bahwa aku bisa merasakan bentuk
dada tegapnya. Sial! Konsentrasi, Violette.
"Menurutku, itu sama
saja," ujarnya, lalu entah sejak kapan, dia sudah menarik tanganku dan menuntunku
masuk ke mobilnya. Dia lalu ikut masuk ke mobil, duduk di jok pengemudi.
Aku menatapnya tajam, siap
berperang, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dia langsung mengangkat
panggilan telepon itu.
Oh, kurasa aku telah kehilangan
kesabaranku. Mengapa ketika aku ingin meluapkan emosiku, dia selalu terlihat
sibuk?
Lagi pula, kapan Justin bisa
mendengarkan kata-kataku? Rasanya dia selalu bisa memotong ucapanku,
membungkamku dengan satu kalimatnya yang menjengkelkan.
"Yes," jawabnya. Wait, mengapa aku
bisa mendengar suara gemerusuk dari panggilan telepon itu? Justin me-loudspeaker panggilan
itu, ya?
Untuk apa?
"Jadwal Anda untuk hari Kamis
dan Jumat sepertinya hanya meeting biasa, sir." Oh, sepertinya aku tahu suara ini.
Dia...assistant-nya Justin yang paling Justin andalkan di antara assistant yang
lain. Orang yang seharusnya Justin angkat sebagai executive assistant-nya.
Bukan aku.
"Baiklah. Di hari Kamis, aku
akan mengurus sesuatu. Bisakah kau menolongku?"
"Tentu saja, sir. Ah, kudengar…Anda
akan menikah? Selamat, sir."
Pipiku spontan merona. Kok mereka
bisa tahu secepat ini? Megan saja tutup mulut.
"Terima kasih," jawab
Justin singkat. Assistant-nya yang kuketahui bernama Sher itu
tertawa renyah. Sher cukup akrab dengan Justin.
"Sampaikan salamku kepada Nona
Violette, ya, sir. Sekarang, kantor begitu heboh karena berita pernikahan Anda.
Aku akan membantumu sebisaku; apa yang harus kulakukan, sir?"
Justin mulai menghidupkan mesin
mobilnya, lalu akhirnya mobilnya berjalan dengan santai.
"Ya, dia sudah
mendengar salammu," ujar Justin dan Sher tertawa. Menyadari apa maksud Justin,
pipiku jadi semakin merona dan aku langsung membuang wajahku. Aku memilih untuk
melihat ke jendela mobil.
Setelah itu, Justin melanjutkan,
"Hari Kamis nanti, aku takkan berada di tempat karena aku akan sibuk
mengurusi pernikahanku yang dilaksanakan keesokan harinya. Nanti tolong
sebarkan undangannya, ya. Jadi, selama aku tidak berada di kantor bersama executive
assistant-ku..." Justin melihat ke arahku dan perutku seolah-olah
tergelitik. Mengapa dia harus menatapku seperti itu, sih?
Aku terus berusaha untuk tak balas
melihatnya.
"...tolong buatkan laporan
mengenai pekerjaan para direktur dan manager di kantor setiap harinya…hingga aku kembali," lanjut
Justin.
"Baiklah, sir," jawab Sher, lalu Justin berdeham
dan mematikan panggilan telepon itu. Dia kini fokus menyetir dan aku mulai menoleh
kepadanya.
"Kau berencana untuk tidak pergi
ke kantor pada hari Kamis? Sher pasti akan kelelahan," kataku dengan
hati-hati.
Justin diam.
"Justin," panggilku
sekali lagi.
"Yang menerormu itu
Elika, 'kan?"
Mataku membelalak.
Aku meneguk ludahku, napasku
tertahan. Seolah-olah ada sebuah kerikil yang terjebak di tenggorokanku.
Justin...
Dia sudah tahu.
Ah. Ternyata…akulah yang bodoh.
Aku terlalu banyak menyusahkannya; aku
mungkin memusingkannya. Aku berencana untuk tidak memberitahunya sama sekali, tetapi...dia
selalu tahu apa yang kusembunyikan—atau yang siapa pun sembunyikan—sehingga siapa
pun tak bisa berbohong di depannya.
Aku menunduk. Untuk apa lagi aku
mengelak?
Aku yakin…dia pasti telah mencari
tahu kebenarannya.
"Kutebak…kau sudah tahu semuanya?"
tanyaku seraya tersenyum getir. Kutebak, cepat atau lambat, akan terjadi
sesuatu kepada Elika. Namun, aku takkan membiarkan Justin melakukannya untukku.
Aku bisa melakukannya sendiri. Jika Elika harus membayar itu semua, akulah yang
akan memaksa wanita itu untuk melakukannya.
Oleh karena itu, aku tak ingin
Justin ikut campur.
Namun, sampai kapan? Soalnya, dalam
hitungan hari, Justin akan menjadi suamiku.
Ah, kok aku…jadi mengesahkannya
tanpa sadar begini, sih?
"Hm." Justin berdeham
singkat. Aku memperhatikan lengan berotot Justin yang sedang memegang roda
kemudi.
"Sebentar lagi pamanmu akan
kembali. Ayo kita menikah, Vio. Jangan keras kepala lagi." Ia
memperingatiku sebelum aku menjawab.
Aku mengernyitkan dahi. Ada banyak
pertanyaan yang hinggap di otakku.
"Besok pagi, semuanya akan
disiapkan satu per satu oleh Locardo," ujarnya. “Dia yang akan membantuku
karena aku akan sangat disibukkan dengan pekerjaanku yang harus kuselesaikan
lebih awal. Aku hanya akan memantau semuanya dari jauh. Setelah itu, di hari
Kamis, semuanya akan aku cek. Seharusnya di hari Kamis semuanya telah selesai
sehingga di hari Jumat pernikahan kita bisa dilaksanakan."
Aku tercengang. Dia telah
mempersiapkan segalanya. Aku kadang jengkel dengan dia yang bisa melakukan
semuanya dengan mudah, tetapi di saat bersamaan, itu juga bisa membuatku sangat
kagum padanya.
"Bukan berarti aku ingin keras
kepala lagi, Justin, terima kasih untuk semua yang kau lakukan. Namun…biarkan
aku membantumu. Aku ingin mencari Nathan juga. Biarkan aku tinggal di rumah
Paman Locardo atau apa pun itu agar aku bisa membantu mereka," ujarku,
lalu aku menghela napas. "Satu lagi, belajarlah untuk memanggilnya dengan
sebutan 'Paman', Justin. Kau selalu memanggilnya dengan Locardo dan kupikir itu
tidak sopan."
Justin hanya diam. Dia agaknya tak
ingin menjawabku dan aku tahu bahwa aku harus segera mengalihkan pembicaraan.
Yah, mungkin tidak sekarang.
Namun…nanti…semoga dia mau.
Aku memalingkan pandanganku ke
jendela yang ada di sampingku. Entah mengapa…aku langsung menikmati pemandangan
jalan raya malam ini.
"Kau ingin membantu
Locardo?"
Aku membulatkan mata; aku langsung
menatapnya. Dia ternyata mau menjawabku!
"Ya, aku ingin membantu,"
jawabku dengan nada biasa, padahal diam-diam…aku sangat antusias. Ah...aku bisa
bertemu dengan Evan lagi. Si kecil yang tampan itu terlihat seperti Justin
versi kecil, haha.
"Tidak usah," ujarnya, sukses
membuatku seolah-olah tertimpa batu berton-ton. Sial, apa maksudnya?
Dia melanjutkan, "Kau hanya
akan merepotkan Locardo. Lagi pula, pesta itu kubiayai seharga US$100
juta dan kau bisa bayangkan apa yang kuperbuat dengan semua itu. Aku rasa kau
takkan sanggup membantu. Atau kau mau membantu mencuci piring?"
Aku menganga. Demi Tuhan, di mana
aku? Aku masih berpijak di tempatku, 'kan? Aku tidak
melayang, 'kan?
US$100 juta? Pesta apa yang dia
adakan? Dia mungkin bisa mengundang penyanyi ternama sekaligus memberi makan
ribuan orang miskin selama tujuh hari berturut-turut dengan uang sebanyak itu!
"APAAAAAAA?100 juta dolar? OH, GOD, SIAPA
SAJA YANG MAU KAU UNDANG? KAU BUANG UANGMU BANYAK SEKALI!!"
"Aku tidak membuangnya,
Violette. Apa maksudmu?" ujarnya sembari mengernyitkan dahi.
"KAU MEMBUANGNYA, JUSTIN!"
Aku masih tidak bisa santai; aku tahu aku terlihat seperti monster yang terus
memelototinya karena masih heran mengapa dia membuang uang sebanyak itu.
"Jadi, menurutmu menikahimu
itu membuang uang? Kau lucu." Dia tersenyum seraya membelokkan mobilnya ketika
melewati persimpangan jalan yang di tengah-tengahnya ada air mancur.
"Aku tidak sedang melawak, aku
tak pernah berusaha untuk melawak di depanmu." Aku membantahnya dengan
tegas. Namun, dia tersenyum miring. "Oh ya?"
Sialan.
"Mandilah ketika kita sampai
nanti; kau akan tidur di rumahku. Nanti bawa itu," ujarnya, menunjuk jok penumpang
belakang dengan dagunya. Aku mengikuti arah yang ia tunjukkan dan aku menemukan
bingkisan gaun pernikahan yang beberapa jam lalu kujatuhkan. Aku ingin gaun itu
karena itu sedikit mengingatkanku pada Ibu. Dulu, aku ingat Ibu menyimpan gaun yang
mirip seperti itu di rumah...sebelum akhirnya dia meninggal dan aku ditemukan
oleh Brian, Ketua Red Lion. Aku membulatkan mata tatkala sadar bahwa ternyata
Justin mengambilnya.
Aku sontak merasa bersalah dan
ingin menangis.
Aku mulai bergerak untuk mengambil
bingkisan itu (ke jok penumpang belakang) meski hampir menyenggol persneling. Aku
mengambil gaun itu dan sadar bahwa Justin memperhatikanku; dia mengawasiku
sampai aku kembali duduk. Aku memeluk bingkisan gaun pernikahan itu dengan
erat…lalu menatap Justin.
Aku tersenyum dengan lembut padanya.
Bagaimanapun juga…aku sadar bahwa aku…mencintainya.
"Terima kasih, Justin. I
love you..." kataku pelan.
Walaupun di dalam mobil sedang
gelap karena kami tidak menghidupkan lampunya, aku bisa melihat—karena diterangi
oleh cahaya lampu jalan—bahwa dia tersenyum tipis. Meski
terkesan seperti senyuman miring, dia memang tersenyum padaku seraya menatapku dalam.
Ketika aku turun dari mobil, aku
sadar bahwa Justin memang membawaku ke apartemennya.
Dia sepertinya tak memperbolehkanku
untuk membantu Paman Locardo ataupun Bibi Locardo karena dia terus mengejekku
ketika aku membicarakan hal itu. Aku tak mengerti mengapa Tuhan harus
memberikanku calon suami yang begitu menjengkelkan.
Beberapa hari berikutnya, kami
menjalani hari-hari seperti biasa, tetapi hari-hari biasa itu sekarang
membuatku jadi malu tak tertahankan karena sifat lelaki itu. Hari pernikahan kami
pun akhirnya semakin dekat; besok adalah hari pernikahan kami.
Hari ini hari Kamis. Aku dibawa
Justin ke rumah Paman Locardo dan juga ke lokasi penikahan. Dia memilih gereja
terbaik di New York untuk melaksanakan pernikahan kami. Ia telah mengatur
semuanya dan aku tahu gereja itu. Aku biasanya beribadah di gereja lain, tetapi
aku tahu gereja termegah itu.
Dia juga mengadakan pesta besar di
Main Beach. Aku pernah pergi ke pantai itu, tetapi tidak sering. Pantai itu
lumayan jauh dari rumahku. Lagi pula, aku hanya memiliki motor dan Nathan
jarang mau ikut. Paling-paling…aku ke sana karena iseng. Itu pun jika aku
sedang bersama Megan. Namun, pantai itu sering dikunjungi artis-artis, lho!
Selain pesta-pesta itu, ada juga
berbagai jamuan makan antarkeluarga di rumah Paman Locardo. Kok rasanya...acaranya
tersebar di mana-mana, ya?
Ya, jelas saja itu akan terjadi
kalau dia mempersiapkan semuanya dengan uang sebesar itu. Namun, sepertinya itu
semua takkan mencapai 100 juta. Apa lagi yang dia persiapkan?
Di hari Selasa dan Rabu kemarin,
kami hanya menghabiskan waktu di kantor dan apartemen Justin. Justin berusaha
untuk menyelesaikan semua tugasnya di hari itu karena ia tak ingin ada yang
mengganggunya lagi di hari Kamis dan Jumat. Dia sepertinya lelah mengurus ini
dan itu, teleponnya juga terus berdering.
Semua orang di kantor selalu
senyum-senyum saat melihat kami, terutama ketika kami berjalan berdua saat masuk
dan keluar dari gedung perusahaan. Ada beberapa wanita yang menatapku tak suka;
aku merasa kalau di mana pun aku berada, semua orang akan membicarakanku. Gosip
aneh pun menyebar. Ada yang berbicara bahwa Justin telah menghamiliku dan aku
memaksanya untuk bertanggung jawab, jadi pernikahan kami terasa seperti
dikejar-kejar anjing. Gosip buruk seperti itu kebanyakan tersebar di kalangan
perempuan laknat yang menggemari Justin. Selain perempuan-perempuan laknat itu,
semuanya pasti mengucapkan kata ‘Selamat’ di mana pun kami berada. Aku merasa
benar-benar bahagia, kecuali ketika aku mendengar gosip tak jelas itu. Rasanya
aku ingin menendang penyebar gosipnya.
Justin selalu menanggapi pujian itu
dengan senyuman atau dengan kata 'terima kasih' formalnya. Maklumlah, dia
terlahir untuk menjadi manusia beku.
Aku bahagia sekali. Rasanya
seperti…melambung tinggi ke langit. Terkadang, aku sengaja memegang lengan
Justin, seolah-olah menunjukkan bahwa aku adalah calon istrinya. Bahwa dia itu
milikku.
Besok, aku akan resmi menjadi istri
sahnya.
Miliknya…seutuhnya.
******
THE
MARRIAGE DAY
FRIDAY,
MARCH 16th
Alright. Aku di sini sekarang.
Duduk di depan cermin, memandangi pantulan
wajahku. Aku memakai gaun yang kupilih waktu itu. Bibi Locardo membelikanku
begitu banyak gaun, banyak perhiasan dengan berlian, dan juga sepatu yang
begitu indah. Semuanya dibelikan dalam jumlah banyak—tetapi berbeda
jenis—hingga dia menyuruhku untuk memilih. Bibi Locardo begitu baik padaku; dia
tak ingin memakai uang Justin. Evan juga sering menarikku dan menyuruhku untuk
memakai apa yang ia pilih. Kau tahu, Evan mempunyai selera yang tinggi! Dia
tahu gaya wanita glamor. Bahaya, nih. Mungkin, kalau sudah besar nanti, dia
akan menyukai wanita yang glamor. Wah, aku harus lebih sering mengawasi anak
kecil kembaran Justin ini. Evan memang arogan, tetapi anak itu baik. Tampan juga.
Haha.
Pada akhirnya, aku hanya memilih
sepatu yang menurutku sesuai dengan bajuku. Kalung dan gelang juga—waduh—aku
pusing, itu ada banyak sekali. Namun, Bibi Locardo memaksaku untuk memakainya.
Megan juga datang ke rumah Bibi Locardo serta ke lokasi gereja sekarang ini
untuk membantu meriasku. Mereka memaksaku untuk memakai banyak perhiasan dan
rasanya tubuhku jadi berat sekali.
Orang yang akan mengantarkanku
menuju altar nanti adalah ayah Megan. Yah...karena Nathan belum
ada.
Semua orang datang. Seth juga
datang. Martin dan Hillda beserta anak mereka juga datang dari Perancis, tetapi
mungkin mereka akan sampai ketika malam. Atau sore? Entahlah. Aku benar-benar
gugup. Serius, aku begitu gugup. Aku ingin pulang saja rasanya...
Semua orang yang kukenal datang
hari ini. Namun, lebih banyak lagi orang yang tak kukenal—banyak sekali—yang
entah siapa dan dari mana saja. Itu mungkin adalah kenalan Paman Locardo. Semua
orang dari Alexander Enterprises juga datang. Pokoknya, semua klien ataupun
mantan klien, teman Justin, dan siapa pun yang berhubungan dengan Justin serta
Locardo…semuanya datang hari ini.
Maka dari itu, undangan hari ini
bisa mencapai puluhan ribu orang. Aku sempat mendengar dari Megan kalau
tamu-tamu mulai menyebut pernikahan ini sebagai pernikahan billionaire.
Well…Justin memang billionaire, sih…
Aku bisa gila! Aku...adalah
pengantin wanitanya. Bagaimana jika aku membuat kesalahan? Aku juga belum
melihat Justin sedari tadi. Ah, ya Tuhan. Karena memikirkan Justin, perutku jadi
serasa tergelitik. Dia pasti tampan sekali.
Tiba-tiba, Megan masuk ke ruang rias
ini—dia meninggalkanku sendiri tadinya—lalu dia mendekatiku. Senyumnya merekah;
dia tampak begitu cantik hari ini. Dia memakai gaun.
"Haloooooo, Violette sayang! Nervous, eh?" tanyanya.
Dia menggodaku seraya memelukku dari belakang. Aku—yang tadinya duduk diam—langsung
menggeliat hebat; pipiku merona.
"MEGAN!!"
"Hooohoooo. Jangan emosi dulu,
dong!" Megan tertawa kencang. Ia lalu menatapku geli, masih memelukku
erat-erat sampai aku merasa tercekik. "Gila, Vio. Aku merasa seperti menghadiri
pesta pernikahan keluarga kerajaan saja. Kudengar, undangan yang suamimu beri
untuk tamu dari luar negeri itu disertai dengan tiket pesawat dan tempat
menginap di hotel berbintang lima. Gilaa!! Akhirnya, kau resmi juga, ya,
menjadi Mrs. Alexander yang Terhormat di kantor."
Aku jadi gugup minta ampun.
"Diamlah!!"
"Sahabatku yang paling hebat,
satu-satunya perempuan yang bisa menaklukkan CEO Alexander Enterprises.
CEO, man, CEO! Wah...dia pasti tampan sekali hari ini,"
puji Megan. Dia mulai mengkhayal. Aku memukul pipinya dan menggeleng.
Dia mengikik—membuatku jengkel
setengah mati—lalu dia merapikan rambutku lagi. Setelah itu, dia duduk di
sebelahku. "Jangan nervous. Kau pasti takut membuat
Justin malu, 'kan? Mengapa kau harus takut? Dia takkan malu, kurasa
dia malah akan tertawa jika kau jungkir balik di altar."
Aku menggeram dan kontan menepuk
pundaknya. "MEGAN!!"
Dia tertawa. "Well, semoga
langgeng, ya. Sampai maut memisahkan kalian. Aku turut berbahagia...untukmu."
Ucapannya itu kontan membuat mataku
berkaca-kaca. Dia memelukku erat. "Aku akan sering mengunjungimu. Jangan
sungkan-sungkan untuk bercerita padaku. Apa pun itu...termasuk ekhem-ekhem-mu."
Dia tertawa lagi; suaranya kencang
sekali.
Pipiku kontan memerah sempurna dan aku
refleks mendorong tubuhnya. Aku membuang wajahku dan tiba-tiba aku jadi
batuk-batuk tak jelas. Siaaaaaallllll!!!!! Apa-apaan 'ekhem-ekhem' itu?!!!
Mengapa dia harus mengingatkanku pada hal seperti itu saat aku sudah merasa agak
tenang, sih?!!
"Malu, eh? Malu?"
Megan mencolek daguku. Aku menampar tangannya. "Sial, Meg, kumohon
berhentilah!!"
"Ya sudah, ya sudah. Aku hanya
bercanda. Umm…tetapi nanti aku akan tetap menagih cerita itu, lho,"
katanya. Dia tertawa keras lagi.
Aku menggeleng, merasa benar-benar
mati kutu.
Dia lalu melanjutkan,
"Sekarang, kau harus tenang. Anggap saja semua orang yang melihatmu itu
cuma stik es krim. Lagi pula, banyak sekali wanita yang berangan-angan untuk berada
di posisimu. Oh, ya, Ayahku sudah siap, by the way."
Aku mengangguk. "Ya, Meg.
Terima kasih."
Dia tersenyum padaku dan mengusap
bahu telanjangku. "Anything for you, Bestie. Kau
terlihat cantik sekali hari ini. Memang tak salah CEO kita yang seksi itu
memilihmu. Kau begitu menawan, ditambah dengan berlian-berlian ini...wah..." Dia
mulai terpana dengan kalung berlian pemberian Bibi Locardo yang kukenakan. Aku
menggeleng melihatnya.
Sejenak kemudian, dia tertawa
terbahak-bahak.
Tiba-tiba, pintu ruangan ini terbuka
lagi. Aku melihat Bibi Locardo dan Evan yang masuk ke ruangan. Evan berlari ke
arahku ketika pintu itu baru saja terbuka dan dia langsung memegangi gaunku.
"Kak Violette cantik cekali.
Kakak hali ini keliatan cekci. Uncle Justin tadi juga tampan
cekali. Evan mau ceperti Uncle Justin. Kakak jaga Uncle, loh.
Kakak jarang keliatan cekci, coalnya," kata Evan.
Mulai lagi. Sikap arogannya ini...oh
Tuhan.
Evan, kalau saja kau sudah besar...
Eh, tunggu sebentar. Tadi…apa
katanya? Justin tampan sekali? Ya Tuhan, aku mendadak jadi benar-benar gugup.
Bibi Locardo mendekatiku sembari
tersenyum dan aku memperhatikannya sembari mengusap rambut Evan. Megan tersenyum
kepada Bibi Locardo.
"Ayo, sudah saatnya kau ke
luar."
******
Saat ini…aku merasa seperti ingin
pingsan. Rasanya gugup sekali, gila!
Tanganku memeluk lengan ayah Megan
dan kami berjalan pelan ke altar. Justin menungguku di ujung sana.
Dia mengenakan kemeja putih dan dia…terlihat
sangat tampan.
Dia gagah seperti biasanya. Dia
bersinar dan memesona. Namun, hari ini…he looks like a prince riding a white
horse.
Aku begitu bahagia.
Semua orang melihat ke arahku.
Semua orang di sini terdiam; tatapan mata mereka mengandung rasa penasaran dan kegembiraan.
Tanpa sadar, kami sudah sampai di dekat altar. Jantungku berdegup kencang.
Aku merasa tanganku diambil alih.
Aku menoleh…dan yang pertama kali kulihat adalah wajah tampan Justin. Dia
menatapku dengan mata karamelnya yang mengunciku, lalu dia melihat ke depan lagi.
Dia menuntunku naik ke altar. Selama berjalan ke dekat pendeta, aku menunduk.
Namun, tiba-tiba aku mendengar Justin berbisik padaku dengan suara rendahnya.
"You are so beautiful today.
You make me lose my patience, My Miss."
Pipiku merona. Aku menggigit
bibirku.
Dia tersenyum simpul dan akhirnya
kami berdua sampai di depan pendeta.
"Justin Drew Alexander, do you
take Violette Morgan for your lawful wife, to have and to hold, from this day
forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in
health, until death do you part?”
"Yes, I do." Justin berucap dengan tegas dan
yakin. Membuatku takjub dan tersenyum lembut. Dia tak ragu atau terbebani sama
sekali…seolah-olah ia sudah menantikannya sejak lama.
"Violette Morgan, do you take Justin
Drew Alexander for your lawful husband, to have and to hold, from this day
forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in
health, until death do you part?"
Aku menunduk dan tanpa kusadari…air
mataku mengalir.
Aku pun menarik napas dalam.
"I do," jawabku dengan penuh keyakinan.
Dengan mata yang berkaca-kaca, aku pun
menatap Justin. Dia mulai memasangkan sebuah cincin yang begitu cantik di jari
manis tangan kiriku. Aku juga melakukan hal yang sama. Cincin itu begitu berkilauan.
Setelah itu, Justin pun menciumku.
Semua orang bertepuk tangan dengan heboh. Suasananya dipenuhi dengan
kebahagiaan.
Aku memegang lengan Justin dan
sepertinya dia tersenyum di antara ciuman kami. Kini, kami telah resmi menjadi
suami istri. []
No comments:
Post a Comment