Chapter
4 :
Noctuary
******
HYMEN
berjalan
memasuki kuilnya. Dia mendengkus. “Sudah lama tidak bertemu, tetapi kebiasaanmu
masih sama. Kau masuk ke kuil dewa lain dalam wujud roh, diam-diam, seperti
pencuri. Aku tak ingat pernah mengundangmu datang ke sini beberapa hari
terakhir.”
Enzou
tertawa. Dia berjalan keluar dari balik meja kayu yang ada di sebelah kanan
ruangan. “Oh, ayolah. Baru sebulan aku tidak datang ke sini dan kau sudah
memperlakukanku seperti orang asing. Ayo minum bir! Ada bir tidak di kuil ini?”
“Ada,
tetapi tidak untukmu,” jawab Hymen seraya berjalan mendekat. Mereka akhirnya
sama-sama duduk di dekat meja kayu itu, tempat Enzou muncul sebelumnya. Ada dua
kursi di sana.
Enzou
tertawa kencang. “Sejak kapan kau jadi pelit begini?! Ayolah, Bung, sudah lama
kita tidak mengobrol.”
Hymen
berdecak. “Kita mengobrol atau tidak mengobrol itu bukan salahku. Bukannya kau
yang sedang sibuk menjalankan misi dari Arnius?”
Enzou
langsung bersandar di kursinya dengan dramatis; kepalanya mendongak dan bagian
belakang lehernya bertumpu di kepala kursi. “Ohhhh, jangan kau ingatkan aku tentang
misi itu lagi. Arnius sudah gila; aku lelah sekali dibuatnya. Aku sudah tidak
menyentuh wanita selama beberapa hari terakhir.” Enzou mengangkat tangannya,
lalu menggerakkan jemarinya seolah sedang ‘meremas’ sesuatu.
Hymen
tersenyum miring. “Gadis mana yang kau bicarakan? Ada sekitar dua puluh orang gadis
di kuilmu, seingatku.”
“Itu,
lho, yang bokongnya besar,” jawab Enzou, dia menoleh kepada Hymen.
“Rambutnya agak ikal.”
Hymen
mengangguk. Dewa itu duduk di kursi seraya menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Namun, satu detik kemudian, dia mengangkat telunjuknya, lalu
menggerakkan telunjuk itu seolah sedang menarik sesuatu. Hingga akhirnya, Enzou
bisa melihat ada sebuah gelas besar di ujung sana yang sedang melayang di
udara. Dalam waktu satu detik, gelas itu pun mendarat di atas meja; Hymen
menarik gelas itu tanpa menyentuhnya.
Enzou
tersenyum lebar—memperlihatkan susunan gigi-giginya—tatkala menyadari bahwa isi
gelas itu adalah bir. Ternyata, birnya tetap dikasih juga.
Setelah
meletakkan bir itu di atas meja, Hymen pun mengelus dagunya. “Hmm... Begitu,
ya. Sepertinya, aku pernah bertemu dengannya walau aku tak yakin. Namun, kalau
melihat seleramu selama ini, paling-paling yang besar cuma bokongnya. Wajahnya
tidak cantik.”
Enzou
tertawa kencang. “Aku tahu seleramu terhadap ‘wajah’ itu tinggi, tetapi tak
usah menghina gadis-gadisku juga, dong!”
Hymen
tertawa.
Enzou
mulai meminum bir itu, sekitar dua teguk. Begitu meletakkan kembali gelas bir
itu di atas meja, Enzou kembali bersuara.
“Jadi,”
katanya. “apa yang membuatmu bahagia hari ini?”
Hymen
spontan menoleh kepada Enzou. Dilihatnya Enzou yang sekarang tengah tersenyum
miring seraya menatapnya dengan lekat. Di mata harimau milik Enzou itu
terkandung jenaka; agaknya, dia mengetahui sesuatu.
Hymen
mengangkat alis, menatap Enzou dengan mata bulatnya. Akan tetapi, dua detik
kemudian, dia tersenyum miring. “Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.”
Tiba-tiba,
Enzou tertawa lagi. Ia lalu memberikan Hymen tatapan jail. “Oh, ayolah, Hymen.
Kau pikir sudah berapa ribu tahun aku mengenalmu? Kau terlihat bahagia hari
ini. Sesuatu terjadi?”
Hymen
meminum bir di gelas yang sama, lalu kembali tersenyum miring. “Hm. Kurang
lebih begitu.”
Mata
Enzou berbinar-binar; ekspresinya langsung terlihat menyala. Pembahasan ini
betul-betul membuatnya tertarik. Untung dia datang ke kuil Hymen malam ini.
“Ohhh?? Seorang gadiskah?!”
Hymen
tertawa. “Begitulah.”
“Ohhhh!”
Enzou ikut tertawa, lalu dia bersiul. “Manusia, ya? Masih muda? Cantik tidak?
Bokongnya besar tidak? Payudaranya bagaimana?”
“Hmm…”
Hymen mengelus dagunya, lalu matanya sedikit menyipit. Dia terlihat seperti
sedang berpikir. “Dia manusia. Gadis muda yang cantik. Ukuran bokong dan
payudaranya sesuai dengan tubuhnya yang sintal.”
“Woaaaah,
Bung!” Enzou tertawa kencang. “Ternyata, kau juga laki-laki normal yang suka
tubuh sintal! HAHAHA! Sudah lama kau tidak tertarik dengan perempuan lagi,
‘kan?”
Hymen
sontak menatap Enzou dengan tajam. “Kau membuatku terdengar seperti suka dengan
sesama lelaki. Tarik ucapanmu.”
Enzou kembali tertawa
terbahak-bahak. “Jadi, dari mana gadis muda ini berasal?”
Hymen
meminum birnya lagi, lalu menjawab. “Dari Desa Shinrei. Namanya Hiyori.”
“Kalau dari Desa Shinrei, berarti dekat dengan
kuilmu, dong,” ujar Enzou. Dia lalu tersenyum miring. “Pantas saja kau dari
luar tadi. Kau baru menemuinya?”
“Ya.
Aku memberikannya sebuah perlindungan,” jawab Hymen.
Enzou
kontan bersiul, ingin menggoda Hymen. “Wow, Hymen. Apa dia tahu? Kau
pada dasarnya memberikan jejakmu di dalam tubuhnya. Gadis ini pasti
cantik sekali. Besok kukunjungi, ah.”
“Jangan
membuat aku membakar seluruh wilayah kekuasaanmu,” jawab Hymen, dia menatap
Enzou seraya memasang ekspresi datar. Enzou kontan tertawa.
Hymen
pun mengalihkan pandangannya ke depan, lalu tersenyum miring. “Yah, kalau dia
tahu juga sepertinya akan menarik. Dia pasti akan mengomel.”
“Oh,
dia suka mengomel, ya? Sebentar—apa?! Dia berani mengomelimu?!”
Enzou membulatkan mata. “Woaaaah, luar biasa! Dia berani sekali! Aku
jadi ingin cepat-cepat bertemu dengannya.”
Hymen
tertawa.
“Hentikan
itu, brengsek. Aku akan tahu kalau kau mendekatinya karena aku memberikannya perlindungan,”
jawab Hymen. “Lagi pula, kalau kau dekat dengannya, dia akan jadi berbau
api. Aku tak menyukainya.”
Enzou
kontan menciumi tubuhnya sendiri. Lengannya, ketiaknya, lalu bagian dadanya.
“Hah? Aku bau api, ya?!”
Hymen
spontan menatap Enzou seraya memasang ekspresi datar. “Kau sudah hidup ribuan
tahun dan kau tak tahu bau badanmu sendiri?”
Enzou
spontan tertawa kencang. “Memangnya gadis itu baunya bagaimana? Namanya…Hiyori,
‘kan?”
Hymen
berdecak. “Jangan alihkan pembicaraan.”
Enzou
cengengesan. “Ayolah, Bung, beri tahu aku!”
Rasanya
Hymen mau melempar dewa api itu ke gunung es. Malam ini juga.
Akan
tetapi, sesaat kemudian, Hymen pun mendengkus. Dia mengalihkan pandangannya,
lalu tersenyum miring. “Well, Hiyori itu bau perawan. Baunya enak.”
Enzou
kembali bersiul. Dia mulai menaikturunkan alisnya jail. “Seleramu agak berubah,
ya, setelah ratusan tahun. Sekarang kau suka perawan yang sintal.”
Hymen
tertawa kencang. “Sialan. Tutup mulutmu.”
Enzou
ikut tertawa.
“Jadi,
bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengan Hiyori itu?” tanya Enzou.
Hymen
menoleh kepada Enzou sejenak, lalu menjawab, “Ah. Sembilan hari yang lalu, dia
membawakan persembahan dari Desa Shinrei untukku karena orang yang seharusnya
mengantarkan persembahan itu sakit. Baru kali itu ada seorang gadis yang
membawakan persembahan untukku. Biasanya, tidak pernah ada darah muda yang
datang, apalagi seorang gadis.”
“Hmm,
hmm,” deham Enzou seraya mengangguk. Dia menyimak dengan saksama.
“Dia
cantik dan polos; tubuhnya sintal dan sehat. Wangi perawannya tercium dengan
jelas. Selain itu, tidak ada energi negatif yang menguar dari tubuhnya,”
lanjut Hymen.
“Oh…
Pantas saja kau tertarik,” jawab Enzou seraya tersenyum miring. “Apa yang
terjadi setelah itu?”
“Yah…”
Hymen sedikit mendongak, mengingat kembali apa yang telah terjadi. “Aku hanya
mencium aroma tubuhnya, lalu dia protes padaku dan kabur. Dia gadis yang bawel,
ternyata. Dia berani memprotes seorang dewa yang melindungi desanya sejak
pertama kali terbentuk. Dia juga mengataiku Dewa Mesum.”
Tak
ayal, Enzou langsung tertawa kesetanan. “Buseeeeeet!!!! HAHAHAHA! Ya ampun, aku
suka gadis itu!!! Kau juga—sejak kapan kau jadi mesum begini? Mimpi apa aku,
bisa mendengarkan cerita tentang sang Hymen yang menciumi aroma tubuh
gadis manusia?! Ternyata, semakin tua, kau semakin blak-blakan! Dia
masih perawan, Bung, masih suci! Jangan dicium-cium dulu!!”
Hymen
tertawa kencang. “Well, sudah lama aku tidak tertarik melihat seorang
gadis. Sepertinya, aku sudah terlalu lama bersantai-santai di dalam kuil. Aku
sampai tak tahu bahwa ada gadis seperti Hiyori di wilayah kekuasaanku sendiri.”
“Ya
salah siapa coba? Bukankah aku sudah sering mengajakmu datang ke kuilku? Di
sana aku menyimpan banyak gadis cantik.” Enzou mengedikkan bahu.
“Selera
kita berbeda, oi. Gadis-gadismu wajahnya terlalu dewasa,” jawab Hymen. “Lagi
pula, kau menyimpan mereka hanya untuk ditiduri, ‘kan?”
“Bangsat,
jahat sekali! Sebenarnya, kau melihatku seperti apa, sih?” Enzou menganga. “Kau
pikir aku tidak mengasihi gadis-gadisku itu?!”
Hymen
hanya tersenyum miring.
Enzou
pun mendengkus. Dia meminum bir itu sebentar, lalu sambil masih memegang gelas
bir itu, dia berbicara lagi, “Jadi, apa lagi yang terjadi setelah dia kabur?”
“Hm?”
Hymen menoleh kepada Enzou sebentar, lalu menjawab dengan santai. “Oh. Keesokan
harinya, yang mengantarkan persembahan itu bukan dia. Jadi, aku menenggelamkan
desanya.”
Enzou,
yang baru saja meminum bir itu lagi, spontan saja menyemburkan bir itu
dari mulutnya. “HAH?! Kau—APA?!”
“Aku
memberikan bencana alam pada desa itu karena mereka terus-menerus mengirimkan
orang lain. Aku ingin dia yang mengantarkan persembahan itu,” jawab Hymen seraya
mengedikkan bahu. “Aku belum selesai berbicara dengannya.”
Enzou
menganga, mencerna semua kalimat itu selama tiga detik.
Setelah
itu, Enzou tertawa bak kemasukan setan. Kepalanya sampai tertolak ke belakang
dan dia menepuk jidatnya sendiri. “HUAHAHAHAAHAHAH!!! ASTAGA—ASTAGA, HYMEN!!
KAU MENENGGELAMKAN SATU DESA CUMA KARENA ITU?!!! SIALAAAAN, HAHAHAHAH!!!
TAK KUSANGKA KAU SEGILA ITU!!!”
Hymen
berdecak. “Seharusnya mereka peka saat aku memasang ekspresi kesal keesokan
harinya. Namun, mereka ternyata sebodoh itu karena mereka tak kunjung tahu
maksudku hingga satu minggu kedepannya.”
Enzou
spontan menatap Hymen dan matanya melebar. “Ap—sebentar, jadi kau memberikan
bencana itu selama SATU MINGGU?!!”
“Hm,”
deham Hymen. Dia merebut gelas bir itu dari tangan Enzou, meminum bir itu
sejenak, lalu melanjutkan, “Desa mereka takkan tenggelam jika mereka lebih
cepat memahami maksudku. Aku dewa mereka; aku berhak meniadakan mereka jika
mereka tak mematuhiku.”
Enzou
menganga, lalu menggeleng tak percaya. “Aku tahu kau kurang waras, tetapi tak
kusangka kau bisa separah ini hanya karena seorang gadis yang baru bertemu
denganmu satu hari. Semakin aku mendengar ceritamu, semakin luar biasa
pula gadis ini terdengar. Jadi, apa yang membuatmu bahagia hari ini? Apa kau
akhirnya bertemu dengan gadis itu lagi?”
Hymen
tersenyum miring, lalu mengangguk. “Iya. Dia datang tadi pagi.”
“Pantas
saja tadi kulihat Desa Shinrei baik-baik saja,” ujar Enzou. Tadi, saat dia
datang ke kuil Hymen, dia melewati dua desa kembar itu. “Jadi, apa yang
kau katakan pada gadis itu?”
Hymen
menyilangkan tangannya di depan dada.
“Tidak.
Dia bertanya padaku apakah semua bencana itu disebabkan oleh kemarahanku
padanya atau tidak, lalu aku menjawabnya. Dia langsung protes dan marah padaku.
Ucapannya sangat tajam meski wajahnya polos begitu,” jawab Hymen seraya masih tersenyum
miring. Dia menunduk dan mengingat bagaimana Hiyori memarahinya dan mengatainya
mesum. “Dia menyebutku mesum dan gila.”
Enzou
membelalakkan mata. Dia menganga lebar. Shock setengah mati.
“D—Dia—melakukan semua itu?!!!”
Hymen
mengangguk. “Hm.”
Enzou
kontan tertawa lepas. Hari ini, agaknya dia dibuat puas tertawa. Dia menertawai
Hymen habis-habisan sampai memukul pundak Hymen. “SIALAAAN! BARU KALI INI AKU
MENDENGAR ADA GADIS MANUSIA SEBERANI ITU!”
Hymen
tertawa. “Makanya, aku harus sedikit menakutinya. Aku menyuruhnya untuk
mengantarkan persembahan dari Desa Shinrei untukku setiap hari. Orang yang
mengantarkan persembahan dari sana harus dia…atau bencana di desanya takkan
kuhentikan.”
Enzou
masih berusaha untuk menghentikan tawanya, lalu dia menggeleng geli. “Oh,
astaga. Kau gila. Pertemuan kalian kacau sekali. Dia bisa-bisa membencimu.”
“Aku
tidak tahu soal benci atau tidaknya.” Hymen mengelus dagu, dahinya
berkerut. “tetapi kalau marah, sepertinya iya.”
Enzou
mengikik. “Perempuan kalau marah agak mengerikan, lho. Hati-hati. Dewa
seperti kita pun mungkin bisa kalah.”
Hymen
tersenyum miring. Dia kembali meminum bir itu…sampai akhirnya bir di dalam
gelas itu habis.
Setelah
Hymen selesai minum, Enzou pun menatap Hymen dengan lekat.
“Namun,
Bung…” ujarnya.
“Hm?”
deham Hymen, dia menoleh kepada Enzou.
Enzou
mengembuskan napasnya pelan, lalu tersenyum. “Yah, mungkin kau sudah memperhitungkan
ini. Namun, kau tahu, ‘kan, kalau kau tak bisa bersama dengannya?”
Mata
Hymen sedikit melebar.
Dia
terdiam selama dua detik.
Setelah
itu, akhirnya…dia mengalihkan pandangannya ke depan…dan tersenyum miring.
“Hubunganku
dengan Hiyori belum sedalam itu. Aku hanya senang melihat perempuan muda
sepertinya. Kulitnya masih kenyal-kenyal.”
Enzou
spontan tertawa terbahak-bahak.
“Dasar
gila. Terserahmu sajalah,” ujar Enzou kemudian.
Mereka
pun lanjut mengobrol hingga larut malam. Membicarakan gadis-gadis di kuil
Enzou, membicarakan misi yang Arnius berikan kepada Enzou, membicarakan wilayah
mereka masing-masing, membicarakan dewa-dewa lain…hingga akhirnya, tibalah
saatnya Enzou pulang.
Waktu
itu sekitar jam tiga pagi. Hymen mengantarkan Enzou hingga ke depan pintu
kuilnya; Enzou berjalan di depannya. Sama seperti Hymen, punggung Enzou juga
terlihat begitu lebar. Tubuhnya berotot dan kuat.
“Baiklah,
aku pulang dulu, ya. Gadis-gadisku telah menunggu,” ujar Enzou, separuh
berbalik untuk melihat Hymen. “Nanti sampaikan salamku pada Hiyori-chan, ya?
Walau nanti bakal kutemui sendiri, sih.”
Hymen
mendengkus. “Sudahlah, cepat pulang sana.”
Enzou
tertawa.
Sesaat
kemudian, Enzou menatap Hymen dengan penuh kepedulian. Dia lalu tersenyum lembut
dan berkata, “Aku berharap yang terbaik untukmu. Semoga tidak ada hal buruk
yang terjadi.”
Setelah
mengatakan itu, kelopak mata Enzou tampak sedikit turun…dan menciptakan tatapan
yang begitu serius. Lekat. Intens. Mata harimaunya yang berwarna emas
itu seakan-akan bersinar di kegelapan malam.
Enzou
pun melanjutkan, “Kau tahu apa yang kumaksud.”
Mata
Hymen kembali melebar.
Hymen
melihat Enzou yang mulai tersenyum miring. Namun, sebelum Hymen sempat menjawab
apa-apa, tiba-tiba Enzou langsung berbalik—membelakanginya—dan mengeluarkan sayapnya.
Sayap itu berwarna merah tua dan sangat lebar, mencapai tujuh meter.
Sangat memesona. Begitu kuat, berani, dan penuh gairah.
Satu
detik kemudian, Enzou pun mengibaskan sayapnya—menciptakan angin yang begitu
kencang—lalu dalam sekejap mata, dia sudah ada di atas sana. Lurus, memelesat…dan
membelah langit yang gelap itu.
Hingga
akhirnya, dia menghilang dari pandangan Hymen.
******
Pagi
ini, saat bangun tidur, Hiyori sudah dikejutkan oleh banyaknya warga desa yang
datang ke rumahnya. Pagi-pagi buta, Hiyori sudah dibangunkan oleh kedua
orangtuanya karena ada tetangga yang datang ke rumah mereka. Si tetangga—seorang
wanita paruh baya—tersenyum gembira saat melihat Hiyori, lalu berkata, “Oh,
Hiyori-chan!! Ini, aku membawakanmu kue dan buah-buahan! Ajaib sekali, semua
tumbuhan di desa kita sepertinya tumbuh kembali dan justru langsung berbuah!”
Hiyori
membulatkan matanya tatkala menerima seluruh pemberian ibu itu. Hiyori memeluk
seluruh pemberian itu dan mengucapkan terima kasih dengan terbata-bata. Agak shock,
soalnya.
Namun,
keterkejutan Hiyori tidak berakhir sampai di situ. Selang beberapa menit
kemudian, ada lagi seorang bapak bercaping yang memberikannya sayur-sayuran.
“Ah,
Hiyori-chan! Ini ada sayuran untukmu, ya! Sayur-sayuranku segar kembali. Ini
rasa terima kasihku untukmu, Hiyori-chan!”
Ada
juga yang datang sembari membawa barang berharga mereka dan berkata, “Ini untukmu,
Hiyori-chan! Apa yang sudah kau lakukan tidak sebanding dengan apa yang
kuberikan ini. Kau juga merupakan manusia yang disukai oleh sang Dewa;
kau adalah kunci keberuntungan desa kita. Apa yang kumiliki takkan pernah
sebanding dengan apa yang sudah dan akan kau berikan kepada desa
kami!”
Hiyori
sampai tercengang sendiri tatkala mendengar itu. Dia berdiri di ambang pintunya
dengan mulut yang terbuka dan tubuh yang mematung, lalu berpikir seperti, ‘Ah…haha…aku
mau terjun ke sungai saja, deh…’
Setiap
beberapa menit sekali, akan ada warga desa yang datang. Malah, ada yang
langsung datang bersama-sama.
Rumah
Hiyori sampai penuh dengan pemberian para warga desa. Orangtua Hiyori sampai
menggaruk kepala mereka dan kewalahan melihat seluruh pemberian itu.
Astaga,
andaikan para warga desa tahu betapa mesumnya Dewa Hymen…
Aduh.
Hiyori
mau menangis saja rasanya; dia mengerang, hampir merengek.
Aaaaargh.
Mengapa jadi seperti ini, sih?
Meskipun
dada Hiyori terasa sesak karena menahan segala keluhannya, Hiyori pun menghela
napas. Dia mengelus dada, lalu mulai berjalan ke kamar mandi. Dia berencana
untuk mandi terlebih dahulu sebelum mengantar persembahan untuk Dewa Hymen. Namun,
ketika Hiyori hampir sampai di ambang pintu kamar mandi, tiba-tiba pintu
rumahnya kembali diketuk.
Baik
itu Hiyori, ayahnya, maupun ibunya, mereka semua langsung melebarkan mata. Ibu
Hiyori langsung berlari ke pintu depan seraya menyahut, “Ya? Sebentar!!”
Pintu
depan itu pun terbuka. Di sana, ibunya Hiyori bisa melihat Raiden-sama yang
tengah berdiri seraya tersenyum. Pria yang sudah lanjut usia itu sedang membawa
persembahan hari ini di kedua tangannya.
“Oh,
Raiden-sama!” sapa ibunya Hiyori. “Selamat pagi!”
Hiyori
dan ayahnya juga sudah mulai berjalan mendekati pintu depan. Jangan tanyakan
soal Mamoru (adik kecil Hiyori), soalnya anak laki-laki kecil itu pastinya
masih tidur.
“Ah,
selamat pagi, Shizu-san,” ujar Raiden-sama. “Ini adalah persembahan untuk Dewa
hari ini. Tolong berikan ini kepada Hiyori-chan, ya.”
Ibunya
Hiyori langsung meraih persembahan itu. “Oh, iya, Raiden-sama. Baiklah. Terima kasih,
Raiden-sama.”
Hiyori
kini sudah sampai di dekat pintu, di samping ibunya. Begitu melihat Hiyori,
Raiden-sama langsung tersenyum pada gadis itu dan berkata, “Aku minta tolong,
ya, Hiyori-chan. Kuserahkan Kami-sama padamu. Sudah lama sejak dia bersikap
seperti ini.”
Tak
menghiraukan fakta tentang sang Dewa, Hiyori justru melebarkan matanya; dia
berbicara pada Raiden-sama dengan mata bulatnya itu. “R—Raiden-sama, mengapa
Anda ke sini? Aku bisa menjemput persembahannya ke rumah And—”
Raiden-sama
tertawa. “Tidak apa-apa, Hiyori. Aku juga datang ke sini sambil berjalan-jalan
pagi kok. Kalau kau mau, kau bisa menjemput persembahannya mulai besok.”
Hiyori
sempat menganga sebentar, lalu ia mengangguk cepat…dan menunduk hormat kepada Raiden-sama.
“Baik, Raiden-sama. Aku akan menjemputnya mulai besok. Raiden-sama tidak perlu
repot-repot datang kemari.”
Raiden-sama
menatap Hiyori dengan lembut, lalu tersenyum. “Jangan seperti itu, Hiyori-chan.
Justru aku ingin berterima kasih padamu. Kau telah banyak berjasa untuk desa
ini.”
“Raiden-sama…aku—sebenarnya
aku tidak—” Hiyori menatap Raiden-sama seolah-olah ingin menjelaskan bahwa, ‘Tidak,
Raiden-sama, aku tidak berjasa. Aku, kan, sudah bilang bahwa aku ada
hubungannya dengan bencana itu.’, tetapi pria tua itu malah memotong ucapan
Hiyori dengan tawa kecilnya.
“Sudah,
tidak usah terus-menerus menyalahkan dirimu sendiri, Hiyori-chan,” kata
Raiden-sama. “Naik gunungnya nanti hati-hati, ya. Atau kau mau ada seseorang
yang mengantarmu ke sana?”
Hiyori
spontan menggeleng. “T—Tidak, Raiden-sama. Tidak usah. Aku bisa sendiri. Ini
adalah pilihanku, jadi aku tak mau merepotkan warga desa lebih dari ini.”
“Kau
takkan pernah merepotkan warga desa, Hiyori,” jawab Raiden-sama. “Apa pun yang
terjadi, itu bukan salahmu. Dewalah yang menginginkan itu, ‘kan?”
Hiyori
menunduk, matanya hampir berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis di tempat,
merengek di depan Raiden-sana. Namun, sebelum Hiyori benar-benar menangis, Raiden-sama
mulai mengusap kepalanya dengan lembut. Menenangkannya.
Ayah
dan ibu Hiyori tersenyum.
Beberapa
saat kemudian, Raiden-sama pun berpamitan. Dia menatap ayah dan ibunya Hiyori,
lalu berkata, “Baiklah. Aku pulang dulu, ya. Jaga Hiyori baik-baik, Shizu-san.”
“Y—Ya,
Raiden-sama,” jawab ayah Hiyori. “Tentu saja.”
“Hati-hati,
Raiden-sama,” ujar ibu Hiyori. Hiyori juga mengatakan hal yang sama.
Raiden-sama
tersenyum, mengangguk, lalu mulai berbalik meninggalkan mereka bertiga.
Meninggalkan rumah Hiyori.
Ibu
Hiyori membawa persembahan itu masuk ke rumah mereka, sementara ayah Hiyori
menutup pintu depan.
Hiyori
mulai berbalik. Dia memperhatikan persembahan—yang ibunya letakkan di atas meja
itu—dengan lekat.
Oh.
Astaga. Ini benar-benar terjadi.
Aku
benar-benar menjadi gadis pengantar persembahan untuk Hymen-sama.
Aku
benar-benar harus naik gunung lagi.
Aku
akan menghadapi kelakuan aneh Hymen-sama setiap hari.
Hiyori
memasang ekspresi sedih. Macam mau menangis, tetapi ditahan.
Ah.
Ya sudahlah.
Ayo
lakukan ini.
Ini
adalah kesepakatan yang sudah kau setujui, Hiyori.
Hadapi
saja Dewa Mesum itu.
Pada
akhirnya, mau sesering apa pun Hiyori mengeluh, dia tak bisa melakukan apa-apa,
soalnya dia ingat bahwa pihak yang sedang dia lawan ini adalah seorang Dewa. Eksistensi
yang abadi dan sangat kuat. Dia bisa apa?
Huaaaaa!
Lagian,
mengapa para warga desa jadi memperlakukanku dengan spesial seperti ini, sih? Aku
jadi tertekan. Harusnya kuberitahu saja betapa mesumnya dewa itu!
Ugh.
Hiyori
pun menghela napas. Dia menelan dan menyimpan seluruh keluhannya di dalam dada,
lalu kembali berjalan ke kamar mandi. Dia ingin bersiap-siap untuk naik gunung.
Menuju
ke kuil Dewa Hymen.
******
Saat
Hiyori berjalan melewati desa—melewati sawah, rumah-rumah warga, dan peternakan
sapi milik warga di sana—untuk pergi ke kaki gunung, Hiyori mendengar banyak
sekali panggilan serta teriakan untuknya.
Misalnya,
saat melewati sawah dan kebun jeruk di perjalanan, suami istri yang sedang
memanen buah atau mengurusi sawah mereka akan berteriak, “Hati-hati, Hiyori-chan!
Semangat, ya!”
Saat
Hiyori melewati salah satu rumah warga, gadis itu melihat sebuah pohon yang tumbuh
di halaman depan rumah itu. Di bawah pohon itu, ada sebuah pondok kecil…dan di
sana duduklah ibu-ibu yang sedang mengobrol seraya memakan buah-buahan. Begitu
melihat Hiyori, mereka semua menyapa seperti, “Mau ke kuil Dewa, ya, Hiyori?
Semoga semakin dekat, ya, dengan sang Dewa. Kami mendukungmu!”
“Iyaaaa,
tak kusangka aku akan mendengar kisah cinta antara sang Dewa yang Kuasa dengan
anak gadis di desa kita!” kata ibu yang lainnya.
Oke,
tahan dulu. Ini belum selesai. Mari kita beralih ke peternakan, soalnya Hiyori harus
melewati peternakan Pak Souta juga untuk sampai ke kaki gunung.
Pak
Souta sedang memandikan seekor sapi saat melihat Hiyori berjalan melewati peternakannya.
Bapak itu, dengan sifat pendiamnya, mulai mengangguk pada Hiyori dan berbicara
dengan singkat, “Hati-hati, ya, Hiyori.”
…dan
tahu apa respons Hiyori terhadap semua sapaan warga itu?
Hiyori
akan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa canggung, lalu tertawa
hambar. “Ah—haha… I—Iya, Pak…”
…atau
“I—ya, Bu, terima kasih… Hahaha…”
Kurang
lebih begitu.
Huh.
Dasar. Dewa Hymen ini ada-ada saja.
Tak
lama kemudian, sampailah Hiyori di kaki gunung. Dia mulai mendaki gunung itu perlahan-lahan…hingga
akhirnya dia sampai di depan susunan anak tangga yang sebetulnya telah ia lihat
beberapa kali. Dia pun menaiki tangga tersebut, lalu masuk melalui gerbang merah
kuil yang ada di atasnya.
Namun,
begitu kedua kakinya sudah melewati gerbang merah tersebut (sekitar tiga
langkah), Hiyori tiba-tiba terdiam di tempat. Dia memandangi kuil Dewa yang indah
itu…lalu mendadak jantungnya berdegup kencang.
Aduh.
Bagaimana
kalau aku tidak siap bertemu dengan Hymen-sama lagi?
Bagaimana
kalau aku jadi kabur karena salah tingkah seperti waktu itu?
Bagaimana
ini?
Hiyori
meneguk ludahnya.
Apa
aku kabur saja, ya?
Aku,
kan, belum masuk.
Aku
minta ditemani oleh seseorang saja, deh. Tidak apa-apa bolak-balik.
Aku
tak mau dibilang wangi perawan lagi, soalnya.
Huaaa!
Aku
kabur saja, deh.
Hiyori
pun pelan-pelan mulai berbalik. Dia mulai melangkah ke gerbang merah itu lagi,
tetapi kali ini dengan cara berjinjit, seperti pencuri. Ayo, cepat! Jangan
membuat suara!
Akan
tetapi, tepat sebelum Hiyori sampai di gerbang tersebut…
…tanah
yang ada di depan kaki Hiyori tiba-tiba terangkat.
Tanah
itu berbentuk persegi panjang—seperti tembok—dan tiba-tiba terangkat tinggi
hingga ke atas kepala Hiyori. Seperti dinding penghalang yang tiba-tiba tumbuh
dari tanah.
Mata
Hiyori membulat sempurna. Mulutnya menganga; tubuhnya mematung di tempat.
Napasnya terhenti sejenak.
Apa—apa
yang terjadi?!
Mengapa—mengapa
tanahnya bisa—
Belum
sempat Hiyori mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja Hiyori mendengar
sebuah suara dari belakangnya.
Suara
itu terdengar begitu jelas. Begitu dalam. Begitu mematikan.
Parahnya
lagi, suara itu seperti tidak terdengar dari luar, melainkan…dari
dalam otak Hiyori. Bergaung di bagian belakang kepala Hiyori…seperti
suara gaib.
Suara
itu sukses membuat jantung Hiyori serasa berhenti berdegup.
“Mau
ke mana?” []
No comments:
Post a Comment