Bab
12 :
TALITHA
mengernyitkan dahi saat melihat infotainment di televisi.
Talitha—yang tanpa sengaja menonton acara itu—hanya bisa mengedipkan matanya
berkali-kali saat melihat berita bahwa Deon hang out dengan
Chintya tadi pagi.
Lha, berarti
Deon tidak pergi ke kantor?
Agaknya,
Chintya pergi bersama Deon ke mall dan ke beberapa tempat
lainnya. Chintya terlihat selalu memeluk lengan Deon dan bergelayut manja. Paparazi benar-benar
pintar menangkap aktivitas mereka. Talitha menggeleng dan berdecak kagum.
"Weeh...emang
cocok bener mereka berdua," ujar Talitha dengan mata melebar. Namun, entah
mengapa sepertinya ada yang kurang...
Ada
yang membuat Talitha merasa agak janggal melihat kedekatan Chintya dan Deon.
Entah apa itu. Yang jelas, rasanya aneh, padahal Talitha sudah tahu
bahwa Deon dan Chintya itu bersahabat. Akan tetapi, ujung-ujungnya…Talitha
hanya mengedikkan bahunya cuek.
Mungkin,
dia cuma khawatir.
Soalnya,
waktu itu, kan…Deon mengakui di depan publik bahwa Talitha adalah
calon istrinya. Makanya, sekarang Deon sedang dikritik di televisi meski dia
bukan lagi seorang model atau aktor. Dia di-judge; banyak orang yang
bertanya-tanya.
Siapa
yang tak tahu media massa? Semua diserap dan diliput tanpa tahu kebenarannya, yang
penting, mereka mendapat berita hangat. Dunia siaran seharusnya memiliki
direktur iblis seperti Deon, supaya tidak sembarangan meliput
berita hoax. Talitha tertawa terbahak-bahak ketika membayangkan Deon
memukuli para paparazi itu dengan tinjuan-tinjuan kecil. Ciah,
lawak abis! Tiba-tiba, Talitha teringat kata-kata Chintya setengah jam
yang lalu di depan rumah Talitha.
"Deon
itu punya aku."
Talitha
mengernyitkan dahi. Yah, sebenarnya wajar, sih, kalau
Deon mencintai Chintya, soalnya mereka sangat dekat dan mengerti satu sama
lain. Namun, untuk apa Chintya memperingati Talitha jika dia yakin bahwa Deon
mencintainya?
Tadi,
Chintya pergi setelah memperingati Talitha; dia tak membiarkan Talitha menjawab
apa pun.
Talitha
pun mengedikkan bahu.
Ada-ada
aja dunia ini mah. Terserahmu, deh, Mbak Chintya.
******
Gavin
baru saja menaruh berkas-berkas dari Maureen—yang tampak seperti satu rim kertas
itu—di pinggir meja kerjanya. Gavin belum berniat untuk keluar dari ruangannya
meskipun saat ini sudah waktunya istirahat. Akibat rapat tadi siang dan
pekerjaannya yang belum selesai, sepertinya hari ini Gavin akan pulang sedikit
terlambat.
Tiba-tiba,
Gavin mendengar suara ketukan pintu. Pintu ruangan itu pun langsung terbuka
sebelum Gavin sempat menjawab. Pria itu spontan menoleh.
Oh, cuma Revan.
Gavin
menatap Revan. Si playboy itu sedang menaikturunkan alisnya jail kepada
Gavin seraya bersandar di pintu ruangan Gavin. Dia menyilangkan tangannya di
depan dada, lalu tersenyum miring.
"Ciee, yang
dapet penghargaan Ketua Divisi Terbaik," ujar Revan.
Gavin
menghela napas; dia menahan senyum tatkala Revan mulai masuk begitu saja ke ruangannya.
Ini
sebenarnya merupakan rencana Deon. Gavin ingat waktu itu Deon pernah bilang
pada bahwa dia akan mendapat kenaikan gaji, tetapi ternyata Deon juga
memberikan sebuah penghargaan. Sampai saat ini, Gavin tak mengerti maksud Deon;
soalnya…bukankah ini agak…curang?
Gavin
memang rajin, tetapi mana pernah dia berharap sesuatu yang muluk-muluk. Kalo di
tempat kerja bisa bacotan bareng Revan aja udah cukup kok.
Yang penting nyaman, ‘kan?
"Apaan, sih, lo,
Nyet," ujar Gavin. Revan sudah berdiri di depan mejanya. "Tutup dulu,
tuh, pintu ruangan gue."
Revan
membulatkan mata. "Wanjeeeer…! Mentang-mentang dapet penghargaan, sekarang
pintu harus ditutup. Cie ilah... Kambing!"
Gavin
tertawa. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mendekati Revan.
"Yok.
Lo ke sini karena mau ngajak makan, 'kan?" tanya Gavin. Revan
tertawa terbahak-bahak.
Revan
berbalik, lalu berjalan bersama Gavin. Gavin dengan setelan jasnya dan Revan
dengan kemeja putihnya (lengan kemejanya digulung hingga ke lengan).
"Mie
ayam, yok, Bro," ajak Revan dan Gavin mengangguk.
******
Talitha
menatap Deon saat gadis itu telah membuka sabuk pengamannya. Mereka sudah
sampai di depan NEO Hotel Mangga Dua, tempat diadakannya seminar nasional yang
akan ia ikuti. Kata Deon, dialah yang akan mengantar Talitha.
"Duluan,
yee, Mas Ganteng," ujar Talitha. Gadis itu mulai ingin membuka pintu
mobil. Namun, tangan Deon yang kekar itu menghentikan pergerakannya.
"Kenapa
kamu suka banget manggil aku Mas Ganteng?" tanya Deon sembari
menaikkan sebelah alisnya. Talitha kaget.
Namun,
sesaat kemudian, Talitha tertawa kencang.
"Cieeee, yang
nanya kenapa," kata Talitha. Dia mulai menggila. "Sok nggak peka,
padahal biasanya narsis!"
Deon
mendengkus. "Seriuslah, Talitha."
"BHAHAH!"
Talitha ngakak. "Masa iya mau kujelasin? Coba pikir. Orang bisa dipanggil
‘cantik’ ya karena mukanya emang cantik, 'kan? Nah, kalo dipanggil
‘ganteng’, ya berarti karena ganteng, dong!"
Deon
tersenyum penuh arti.
Namun,
mendadak senyum itu berubah menjadi senyuman miring. Deon menaikkan sebelah
alisnya, "Jadi, itu panggilan sayang dari kamu buat aku?"
Ajegile!
Balik narsis lagi dia!
"Widih, nih
anak!" Talitha menggelengkan tak habis pikir. Setelah itu, dia ngakak
habis-habisan. "Ntaps, euy!! Rasanya diri ini ingin
berkata kasar! Lagian, apa cuma gue yang pengin nabok nih anak?"
Talitha
pun mengembuskan napasnya, pasrah. "Ya udah, terserah kamu aja, deh, Deon.
Warbyazah. Nikmati saja hidup ini."
Tiba-tiba,
Talitha mendengar suara tawa. Mata gadis itu membelalak.
Deon
tertawa.
Pria
itu tertawa lepas. Wajahnya begitu polos saat tertawa. Dia murni terlihat tampan,
tanpa ada kekejaman yang tersisa di wajahnya. Tawa yang khas, manis,
dan bikin melting. Wajah Deon tampak bercahaya ketika tertawa
seperti itu, apalagi sekarang masih pagi dan Deon juga tampak sangat fresh dengan
jas berwarna silver-nya. Talitha hanya memandangnya sembari
menganga. Mata Talitha sama sekali tak berkedip; waktu seolah-olah berhenti. Jujur
saja, siapa pun pasti tak ingin kehilangan momen untuk melihat sisi manis Deon yang
adorable ini.
"Ckckckckck,"
decak Talitha. "Ini kok bisa ada manusia seganteng ini, yak? Mantap jiwa.
Pengin kumesumin rasanya. Wakwaw."
"Apa?"
Eh,
mati! Talitha keceplosan!
Deon
mendengar—Deon mendengar semuanya!
"Ah—hahahah..." Talitha
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak deng. Khilaf.
Tapi kalo dikasih juga gapapa, sih, sebenernya. BHAHAHAH!! Rejeki anak
soleha!"
Deon
menggeleng. "Entah ini pikiran aku aja atau bukan, kayaknya kamu pernah nonton
film delapan belas tahun ke atas."
Talitha
ngakak. "PERNAH NGINTIP DIKIT, SIH, HAHAHAHAHAH!!"
Deon
memejamkan matanya—tak habis pikir—lalu dia membuka matanya lagi dan langsung
menatap Talitha dengan tajam. "Jangan nonton yang begituan, Talitha. Itu bisa
ngerusak otak kamu. Dengar aku."
"Otakku
mah emang udah rusak." Talitha malah semakin tertawa.
Deon
kehabisan akal. Entah makhluk macam apa Talitha ini.
"Oke, ayo
buktiin seberapa rusaknya otak kamu. Pas aku datang ke rumah kamu nanti, jangan
nolak kalo aku mesumin kamu," ujar Deon dengan penuh penekanan. Mata Deon menyipit
tajam.
"…dan
aku nggak main-main," lanjut Deon.
Talitha
meneguk ludahnya.
Waduh. Meskipun
itu merupakan sebuah rezeki, Talitha tak bisa membayangkan dirinya benar-benar
melakukan hal yang mesum. Tubuh Talitha jadi mematung. Waduh, mampus. Gimana, nih?
Deon
ini main tancap gas aja! Main luncur aja!
Ngomong mesum mah enak,
tetapi kalau untuk benar-benar melakukannya…Talitha mana bisa!
"Mau sampe
kapan kamu di sini, Talitha?" tanya Deon. "Seminarnya
bentar lagi mulai, ‘kan?"
Mata
Talitha membelalak. Gadis itu langsung membuka pintu mobil Deon dan keluar
dengan cepat. Hal yang ia katakan sebelum menutup pintu mobil Deon kembali
hanyalah:
"Aku
duluan, ya, Mas Ganteng!"
******
"Eh,
katanya calon istri, tapi ternyata diselingkuhin!"
"Iya
pantes mah, muka kan tetep cantikan Chintya Valissisa ke mana-mana."
Talitha
menoleh ke kiri dan kanan beberapa kali karena bisikan-bisikan itu. Semua bisikan
itu memang ditujukan kepadanya karena orang-orang itu berbisik saat berpapasan
dengannya. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada yang memberikan Talitha
tatapan aneh. Ada pula yang melihat Talitha sembari cekikikan.
Talitha
menggeleng; ia keheranan setengah mati. Mereka ini tidak punya kehidupan sendirikah? Talitha
punya salah apa pada mereka?
Walaupun
begitu, sebenarnya Talitha tahu bahwa hal ini terjadi akibat berita sore
kemarin. Tadi, Talitha tak menanyakan hal itu kepada Deon karena sebenarnya dia
tak terlalu ingin tahu. Lagi pula, itu terserah Deon, 'kan? Deon
dan Talitha tidak saling mencintai.
Talitha
hanya ingin bertanya mengapa Deon membeberkan masalah pernikahan mereka kalau dia
masih sembrono seperti itu. Ujung-ujungnya, kan…Deon juga yang malu. Talitha
pun jadi ikut malu.
Talitha
menghela napas, lalu mengedikkan bahunya. Ia berjalan ke ballroom hotel
tempat dilaksanakannya seminar itu.
Namun,
tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Talitha menoleh ke belakang dan
mendapati dua orang gadis.
"Ngapa?"
tanya Talitha.
"Eh,
lo diputusin, ya, sama Marco Deon? Atau mungkin…kabar kalo kalian pacaran itu
berita gaje doang?" tanya salah satu dari dua gadis itu.
Gadis
yang ada di sebelahnya menambahkan, "Lagian…emang nggak masuk
akal. Masa iya Marco Deon deket sama orang biasa? Apalagi…yang
kayak elo." Kedua gadis itu tertawa.
"Jadi,
urusan kalian apa? Cuma mau nanya doang, ya, Neng?" ujar
Talitha dengan ekspresi datar. "Makasih...tapi maaf, duit receh gue abis
karena tadi malem dipake buat makan bakso sama Abang gue."
"Najis!"
ujar salah satu dari dua gadis itu. Dia merasa terhina. "Berani banget lo
ngomong gitu ke gue! Tai!”
"Heh-heh, ada
apa ini?"
Talitha
menoleh ke asal suara, ke samping kirinya. Sebenarnya, Talitha sangat mengenali
suara itu.
Itu
adalah suara Alfa.
Alfa
mendekati Talitha, lalu berjalan hingga sedikit membelakangi Talitha. Para gadis
itu mendadak kicep dan salah tingkah. Pasalnya, siapa yang
tidak kenal dengan Alfa Triwidjaya Aditama? Dia adalah cowok manis yang
berstatus sebagai Ketua BEM UI dan bersarang di jurusan Teknik Elektro. Yah,
walaupun dia akan pindah ke ITB sebentar lagi.
"E—Eh,
Kak," kata si gadis yang memiliki rambut sebahu. "Maaf, Kak. Nggak
ada apa-apa kok."
Alfa
hanya diam. Setelah itu, Alfa mengangguk singkat.
"Ya
udah, nggak baik ngehina orang lain, apalagi sampe memicu
pertengkaran kayak gini. Jangan ulangi lagi, oke? Masuk ke ruangan, seminarnya
bentar lagi mulai."
Kedua
perempuan itu mengangguk dengan patuh dan langsung pergi meninggalkan Talitha. Alfa
pun berbalik, cowok itu menatap Talitha. Talitha menatap Alfa selepas
melihat kedua gadis itu masuk ke ballroom.
Alfa
tersenyum.
"Umm…
Makasih, ya, Kak," ujar Talitha apa adanya.
"Iya,
Ita... Santai aja." Alfa mendekati Talitha. "Yuk, sambil jalan aja. Seminarnya
udah mau dimulai tuh."
Talitha
tertawa dan mengangguk.
"Tadi
kok Kak Alfa ada di luar?" tanya Talitha. Alfa menatapnya dan tertawa
renyah.
"Hmm…
Nggak kenapa-napa, sih. Tadi Kakak abis dari toilet. Pas mau
balik ke ballroom, Kakak malah liat kamu sama dua anak tadi."
Talitha
mengernyitkan dahi. Sementara itu, Alfa melihat Talitha dengan ekspresi khawatir.
"Kamu nggak apa-apa,
‘kan, Ta?" tanya Alfa kemudian.
Talitha
mengedipkan matanya beberapa kali dengan polosnya. "Ha? Nggak apa-apa gimana maksudnya,
Kak?"
Alfa
menghela napas.
Tiba-tiba,
Alfa mengusap puncak kepala Talitha dengan lembut. Tangan Alfa terasa begitu hangat.
"Dua
anak itu mungkin ngejekin kamu karena liat berita tentang Marco
Deon semalem. Iya, ‘kan?”
Pertanyaan
Alfa terdengar seperti tidak membutuhkan jawaban. Alfa lalu melanjutkan,
"Jangan terlalu dipikirin, ya."
Oh.
Berarti, Alfa juga melihat berita itu.
Talitha
tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Nggak apa-apa kok, Kak. Ita juga nggak terlalu
mikirin itu."
Alfa
terkejut. Pergerakan Alfa terhenti saat cowok itu baru saja ingin membuka pintu
ballroom.
"Lho,
kamu...nggak mikirin? Tapi seingat Kakak, dia bilang…kamu itu calon
istrinya." Ada jejak luka yang kentara di kedua mata Alfa saat
mengatakan itu, padahal ia sadar bahwa ia bukan siapa-siapanya Talitha.
"Ya…ceritanya
panjuaangg banget, Kak, hahahah!" jawab Talitha; cewek itu ngakak.
Alfa terkejut.
Berarti...masih
ada celah di hati Talitha?
"Ntar
cerita, ya. Lewat telepon," pinta Alfa. "Ntar Kakak telepon. Semalem
kepengin, sih, nelepon Ita...tapi Kakak sibuk sama panitia
lainnya..."
Ya
iyalah. Alfa, kan, salah satu panitia untuk seminar ini.
"Ah—oke,
Kak," jawab Talitha sembari tersenyum.
Hal
itu membuat Alfa ikut tersenyum.
Begitu
Alfa membuka pintu ballroom tersebut, Talitha langsung bisa melihat
Basuki yang melambaikan tangan padanya di kursi belakang. Talitha
langsung ngacir ke tempat Basuki tanpa melihat Alfa lagi. Alfa
menggeleng dan tertawa geli melihat Talitha yang memiting kepala Basuki ketika
gadis itu sampai di sana. Setelah itu, Alfa berjalan ke depan…dan duduk di sana
bersama teman-temannya.
******
"Weeeeh! Buset, ya,
Ncong! Nggak nyangka seminarnya bakal sampe jam tiga sore. Mau
mampus rasanya badan gue!" teriak Talitha. Ia berjalan dengan lesu seraya
memegangi pinggangnya seperti nenek-nenek.
Basuki
mengangguk mengiyakan.
"Wanjir
banget, emang. Mana tadi ada game segala. Ngapa gue mulu yang
kena sasaran, yak?! Iiich, kezel. Zebel Dedek." Basuki
misuh-misuh sendiri, keki mengingat kejadian waktu seminar tadi. Dia dijadikan
sasaran untuk bermain game yang memalukan, tetapi bukannya
menolongnya, Talitha malah menertawainya.
Ciri
khas si Kunyuk banget. Temen zaman sekarang mah beda.
Talitha—yang
berjalan di samping Basuki—malah ngakak kayak kesetanan. Gadis
itu tidak peduli dengan sekitarnya, padahal di sana masih
ramai karena orang-orang juga baru pulang seminar. Mereka berdua masih berjalan
di halaman hotel.
"BHAHAHAH!
MAKANYA, JANGAN JADI BENCONG LU!!! DIKERJAIN ORANG, ‘KAN, JADINYA!!"
teriak Talitha kencang, tanpa malu. Basuki sampai kaget dan menempeleng Talitha
berkali-kali saking jengkelnya. Si Kunyuk ini, dia tak tahu
apa kalau ketawa sialannya itu bikin Basuki jadi malu bukan main?
Memang
manusia gila.
"Oi, kamvret! Bikin
malu aja lo!! Emangnya kenapa kalo gue bencong?! Yang penting gue bahagia!” teriak
Basuki sembari menirukan gaya antagonis sombong di sinetron.
Talitha
ngakak lagi.
"EH
BUSET, NIH ANAK—" Ucapan Talitha terpotong begitu ia sadar bahwa ada yang
memanggilnya. Talitha dan Basuki menoleh ke samping dan menemukan Alfa yang
tengah menghampiri mereka berdua.
Basuki
mulai tersenyum jail.
Ciaaah. Jatuh
cinta emang enak, yak. Peduliin orang yang jomblo, neh! Mancay banget si Ita,
bisa nggebet dua cowok ganteng macem Deon dan Alfa.
"Uhuk-uhuk,
gue duluan aja, yaaah," kata Basuki, membuat Talitha dan
Alfa langsung menoleh kepadanya. Talitha spontan memegang tali tas ransel
Basuki dan memasang ekspresi datar. "Mau ke mana lo?”
"Yaa... Nggak ada, sih. Ekhemm!
Pokoknya gue duluan ajaah. Males jadi obat nyamuk. Nyesek banget hayati ntar,” ujar
Basuki, menyindir Talitha.
Talitha
mencebik. "Pengin gue tarik bibir lo rasanya."
Basuki
tertawa habis-habisan. Alfa hanya tersenyum geli melihat mereka.
"Duluan,
ya, Kak Alfa ganteeng," ujar Basuki. "Babaaii. Jagain
si Kunyuk, ya, Kakak... Mmuach." Basuki memberikan ciuman
jarak jauh.
Alfa
tertawa, sementara Talitha rasanya mau muntah melihat kelakuan Basuki.
"Iya.
Makasih. Hati-hati, ya, Basuki," ujar Alfa sembari tersenyum manis.
Eh
buset, coy! Senyumnya itu...ilegal.
"Eh,
aduuuh... Perhatian banget ini si doi. Disenyumin lagi guenya," ucap
Basuki, membuat Talitha spontan memukul kepalanya. Basuki tertawa, lalu pergi
dari hadapan mereka.
"Hati-hati
lo, Bencong! Awas ketabrak mobil! Perasaan gue nggak enak,
neh!" teriak Talitha.
"KAMBING!!"
balas Basuki jauh di depan sana.
Talitha
tertawa, begitu pula Alfa.
Setelah
itu, Talitha pun menoleh kepada Alfa. "Ada apa, Kak?"
Mereka
kembali berjalan. Dari kejauhan, banyak cewek yang memberikan
tatapan tak suka pada Talitha—karena tahu masalah Deon—sementara teman-teman
Alfa (terutama Gilang) mulai bersiul dari kejauhan dan berteriak, “Cieee...
Uhuy!”
Alfa
hanya tersenyum. "Nggak. Pengin ngobrol aja sama Ita."
Talitha
lagi-lagi tertawa. "Kayak nggak pernah ngobrol aja,
hahahah!"
"Ya
habisnya kalo di kampus agak susah ketemu sama Ita," ujar Alfa. "Oh,
iya, Ita pulang sama siapa?"
Kata
Deon (melalui chat), Gavinlah yang akan menjemput Talitha, soalnya Deon
sedang ada rapat dadakan.
"Bang
Gavin, Kak," jawab Talitha santai.
Alfa
mengangguk. "Bang Gavin apa kabar, Ta? Udah lama nggak liat...
Kemaren juga kita nggak jadi nonton bareng, ‘kan. Kalo jadi,
mungkin Kakak sempet ketemu sama Bang Gavin pas jemput kamu."
"Bhahaha!
Bang Gavin mah masih gitu aja, Kak,” jawab Talitha. “Cerewet. Sableng
juga.”
Alfa
tertawa.
Tiba-tiba,
lewatlah seorang gadis cantik di hadapan mereka. Mata Talitha kontan
memelotot; dia menganga saking kagumnya melihat cewek itu.
Mungkin…itu adalah salah satu anak jurusan Teknik di UI yang mengikuti seminar
ini.
"Busyeeet, weh! Cantik
bener tuh orang!" Talitha berdecak kagum; dia menggeleng. "Macem
artis!"
Alfa
memperhatikan cewek yang dipuji ‘cantik’ oleh Talitha itu, lalu Alfa
mengernyitkan dahinya.
Talitha
menyikut lengan Alfa. "Ya nggak, Kak? Cantik banget, ‘kan?
Widihh… Pake ramuan apa, tuh, emak bapaknya waktu bikin dia?"
Alfa
mengikik geli. Talitha ini pikirannya kok selalu ke situ.
"Kamu
ini, Ta. Ada-ada aja," ujar Alfa sembari mengacak rambut Talitha. Talitha
menatap Alfa dengan ekspresi heran.
"Aku
serius, nih, Kak. Noh, liat! Kakak emangnya nggak naksir gitu?
Laki-laki, kan, lebih peka sama cewek cantik!" kata Talitha.
Alfa
melihat cewek yang Talitha maksud itu sejenak, kemudian Alfa
melihat ke depan lagi.
Mereka
masih berjalan dengan pelan—sangat pelan—hingga mungkin itu memperlama obrolan
mereka.
"Kenyataannya…Kakak
malah suka sama cewek yang sifatnya nyeleneh,"
jawab Alfa.
Talitha
kontan menoleh kepada Alfa. Bukan karena kaget, melainkan karena ia tak begitu
mendengar apa yang barusan Alfa ucapkan.
"Gimana,
Kak?" tanya Talitha agar Alfa mengulangi ucapannya.
Alfa
tersenyum. Cowok itu kembali mengacak rambut Talitha dengan
gemas.
"Nggak
ada. Nggak ada siaran ulang," jawab Alfa sembari tersenyum manis.
Senyumnya Alfa itu memang top abis. Manis banget.
Mereka
berhenti melangkah saat melihat mobil Gavin yang telah sampai di depan hotel.
Kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan sosok Gavin di dalamnya.
"Bang,"
sapa Alfa. Cowok itu menyalami Gavin dengan sopan. Talitha sudah melambaikan
tangannya dan pamit pada Alfa, lalu masuk ke mobil Gavin.
"Eh,
kamu, Fa. Kapan mau ke rumah? Udah jarang liat kamu," kata
Gavin.
"Lagi
banyak kegiatan di kampus, Bang. Ntar kalo udah agak rileks, Alfa ke sana,
deh," jawab Alfa sembari tersenyum.
Gavin
mengangguk dan ikut tersenyum. "Ya udah. Duluan, ya, Fa."
"Iya,
Bang, sip. Hati-hati!" kata Alfa saat Gavin membunyikan klakson untuknya. Mobil
itu pun berjalan dan meninggalkan Alfa.
Alfa
menghela napas. Cowok itu mulai tersenyum simpul.
Kalo
Ita denger tadi...gimana, ya?
******
Malam
ini, rumah Talitha terasa lumayan sepi. Papa Talitha belum pulang dari kantor,
sementara Gavin sedang mencari sesuatu bersama Revan di pusat perbelanjaan.
Talitha malah sibuk nge-dance enggak jelas di kamarnya.
Tinggallah mama Talitha yang duduk di sofa ruang tamu sembari menonton
televisi.
Tiba-tiba,
bel rumah mereka berbunyi.
"Yaaa?"
sahut mama Talitha. Wanita paruh baya yang memakai daster itu langsung berjalan
cepat ke arah pintu.
Begitu
pintu itu terbuka, betapa terkejutnya mama Talitha tatkala mendapati Deon yang tengah
berdiri di sana seraya tersenyum kepadanya.
"Eh, calon
menantu Mama..." kata mama Talitha saat Deon menyalaminya. "Ada apa ke
sini malem-malem gini?"
"Mau
ketemu sama Talitha, Ma. Dia ada di dalem, Ma?" tanya Deon.
Mama
Talitha tersenyum gembira; dia agak melting. "Ada—ada kok. Dia
ada di kamarnya. Paling-paling lagi nari barongsai."
Deon
menunduk dan tertawa kecil.
"Yuk,
masuk!" ajak Mama Talitha. Wanita itu pun membawa Deon masuk ke rumah.
"Kalo
mau langsung nemuin Ita, ke atas aja, ya, Deon," ujar Mama Talitha sembari
tersenyum. Deon mengangguk.
Deon
pun mulai naik ke lantai dua. Pria itu menaiki anak tangga sembari menggulung
lengan kemeja berwarna merahnya. Meski sekarang sudah malam dan dia baru pulang
dari kantor, Deon tetap terlihat memesona.
Begitu
tiba di depan kamar Talitha, Deon mengetuk pintu kamar itu dua kali. Deon menekan
gagang pintunya dan sadar bahwa pintu itu tidak terkunci. Akhirnya, Deon
langsung membuka pintu itu.
Alhasil,
terlihatlah Talitha di sana yang sedang menari-nari enggak jelas.
Macam tari samba (dari Brazil), tetapi gerakannya tidak jelas.
Deon memiringkan kepala, lalu mengernyitkan dahinya tatkala melihat Talitha.
Talitha
mendadak sadar bahwa ada yang sudah membuka pintu kamarnya. Gadis itu langsung
menoleh dan betapa terkejutnya dia tatkala mendapati Deon berdiri di sana,
bersandar di kusen pintunya. Pria itu menatap Talitha dengan mata menyipit.
Talitha
menganga; gadis itu langsung meneguk ludahnya.
Mampus.
"Aku nggak tau
kalo kamu hobi nari," ujar Deon dengan alis terangkat. "tapi nggak nari-nari
di atas kasur juga, 'kan? Kamu udah besar, Talitha."
Reaksi
Talitha? Well, bukannya malu, gadis itu malah tertawa bak kesetanan. Kepalanya
sampai tertolak ke belakang.
Deon
masuk ke kamar Talitha dan menutup pintu kamar itu. Talitha masih berdiri di
atas kasur.
"Kamu
ngapain ke sini? Kita nggak ke ruang tamu aja gitu? Mama, kan, ada di
bawah," kata Talitha.
Deon
mendekati ranjang Talitha dan mengangkat bahu. "Nggak usah."
"Ngapa?"
tanya Talitha heran.
Deon
menghela napas. "Sebelum nanyain kenapa, ada baiknya kamu turun dari sana
dulu."
Talitha
spontan ngakak. Gadis itu pun mengangguk. "Iya, iya, Mas Ganteng.
Perfeksionis banget, sih."
Saat
Talitha sudah turun, gadis itu menatap Deon yang lebih tinggi darinya. Talitha
hanyalah sebatas dada Deon.
"Nah,
ngapa?" tanya Talitha sekali lagi.
"Aku
yakin kamu inget kalo tadi pagi aku mau buktiin seberapa rusaknya
otak kamu. Ayo kita lakuin hal mesum itu sekarang."
Mata
Talitha membeliak. Gadis itu spontan menjauh dan mengulurkan tangannya untuk menghalangi
Deon. "Weh, weh, weh!! Mas—Mas, tolong jangan digas dulu!"
Deon
hanya diam.
"Ini
anak orang kok nggak bisa diajak bercanda! Masa iya mau mesum di sini?! Wah, kacaaau, brooh!"
lanjut Talitha.
"Kan
kamu tau kalo aku nggak bakal main-main dengan ucapanku," ujar Deon seraya
menatap Talitha dengan tajam.
"Selain
itu," ujar Deon. "lain kali kunci pintu kamar kamu. Jangan dibiarin
nggak terkunci. Jangan ngelakuin hal yang aneh kayak nonton film delapan belas
tahun ke atas itu. Aku nggak suka karena itu bisa ngerusak otak kamu. Apa yang udah
jadi milik aku, bakal tetep aku jaga dan aku perhatiin
sepanjang hidupku."
Talitha
menganga.
"Ckckck.
Aduh… Kok bisa, ya, ada karakter cowok dari komik romcom gini
di dunia nyata."
"Aku
bukan karakter komik, Talitha," ujar Deon.
Talitha
langsung ngakak.
"Sini kamu."
Deon menyuruh Talitha untuk mendekat padanya.
"Lha, mau
ngapain toh?" tanya Talitha. "Jangan-jangan mau nggerepe aku
nih anak satu."
Deon
memejamkan matanya sejenak, agak geram dengan Talitha. "Ke
sini, Talitha."
Talitha
memasang ekspresi datar. "Iya, deh, iyaaaa. Pengatur banget ajegile."
Talitha
pun mendekat kepada Deon. Jarak di antara mereka hanyalah satu jengkal.
"Nah,
kenap—"
Ucapan
Talitha terhenti. Mata Talitha melebar begitu sadar bahwa Deon tiba-tiba menciumnya
dengan mesra. Tubuh tegap Deon memeluknya, otot-otot
di perut dan lengan Deon begitu jelas terasa karena tubuh pria itu hanya
dilapisi kemeja tipis. Wangi maskulin tubuh Deon, lalu tubuh Deon
yang begitu hangat saat ini...
Ah,
itu idaman semua perempuan.
Deon
mengeratkan lagi pelukannya. Tangan kiri Deon—yang tersemat jam tangan di
pergelangannya—kini memegang leher Talitha dengan posesif.
Telunjuk
Deon mengelus rambut Talitha dengan pelan. Sementara itu, ciumannya terasa
semakin dalam dan mendominasi.
Sesungguhnya,
Talitha sangat terkejut. Dia mati kutu. Namun, justru hal
itulah yang membuat Talitha tidak memberontak. Walaupun ini merupakan sebuah
rezeki (karena dapat ciuman dari orang ganteng), nyatanya Talitha tak benar-benar
merasakan sensasi 'dapat rezeki nomplok' itu.
Lagi
pula, Deon ini...
…sepertinya
maniak mencium.
Talitha
melihat wajah Deon saat pria itu menciumnya. Deon memejamkan mata. Satu erangan
halus lolos dari bibir Deon saat ciuman itu semakin intens. Talitha
memegang kemeja Deon karena jika tidak…mungkin Talitha akan terjatuh. Sesaat
kemudian, Deon melepaskan ciuman itu dan Talitha kontan menghirup oksigen
sebanyak-banyaknya.
Akan
tetapi, Talitha tetap tak bisa bergerak dengan bebas karena Deon menahan
pinggangnya.
"Deon—"
"Diam."
"Oi,
Deon—aku mau napas dulu—"
"Aku
belum selesai."
Talitha
tercengang. Tubuh gadis itu mematung di tempat. Tidak ada celah; tidak
ada ampunan. Talitha bergidik saat Deon mencium bahunya perlahan. Ciuman itu
mulai turun ke leher Talitha. Talitha refleks mendongak dan mengepalkan tangannya
karena merasa geli, tetapi gadis itu tetap menutup mulutnya. Deon menciumnya
dengan sangat perlahan. Bunyi kecupan mesra itu terdengar dengan
jelas.
Ampun. Talitha
tak akan mencari masalah atau berbicara tentang hal mesum lagi di depan Deon kalau
begini. Gawat, cuy!
"Deon..."
Talitha tak bisa berbicara. "Udah, Deon... Aku nggak bisa—"
"Hm?" deham
Deon sembari terus mencium Talitha. Gadis itu menggigit bibirnya.
Deon
mulai mencium bagian belakang telinga Talitha dan alhasil tubuh gadis itu jadi
lemas. Kecupan itu tidak liar…melainkan dilakukan dengan perlahan dan seksi.
"Diam sebentar. Aku
cuma mau tau..." Deon berbisik di telinga
Talitha. "seberapa rusaknya otak kamu."
Demi
Tuhan, Talitha tak tahu kalau Deon ternyata memiliki sisi yang seperti ini.
Kecupan-kecupan
itu baru berhenti saat mama Talitha memanggil mereka dari lantai bawah.
Panggilan itu bertepatan dengan Deon yang sedang mencium kedua kelopak mata
Talitha.
******
Serena
mengendarai mobilnya dengan santai.
Perasaannya
tak menentu. Ia melewati sebuah gang sempit yang sebenarnya tidak gelap saat
malam, soalnya banyak lampu jalan di sana.
Tiba-tiba,
ia melihat seorang anak laki-laki yang berjongkok di pinggir jalan. Melihat
rupa anak itu, Serena spontan menghentikan mobilnya. Wanita paruh baya yang
cantik itu turun dari mobil dengan cepat.
Serena
menghampiri anak laki-laki itu, lalu langsung berjongkok di hadapannya.
"Kamu
ngapain di sini, Nak?" tanya Serena dengan lembut; dia mengusap
rambut anak itu. Anak itu mendongak demi menatap Serena. Ada air mata yang
mengalir di pipi anak itu.
Ya
Tuhan. Penglihatan Serena benar. Anak ini terlihat seperti
Deon waktu kecil dahulu. Mata indahnya, hidung mancungnya, rambutnya... Hanya
kontur wajah dan bibirnya saja yang berbeda. Serena menatap anak itu dengan tatapan
sendu. Dia nyaris menitikkan air mata.
"Aku
cari Mama… Tadi Mama sama aku..." kata anak itu sambil terisak-isak.
Sungguh
terluka hati Serena mendengarnya. Apakah begini keadaan Deon dahulu ketika ia
tinggalkan? Demi Tuhan, Serena bersedia dihukum seberat apa pun. Namun, saat
ini…hal yang sangat Serena inginkan adalah putranya berada di dekatnya.
Serena
menangis dan memeluk anak itu dengan erat. Seerat yang ia bayangkan jika dia
diizinkan untuk memeluk Deon. "Sabar, ya, Nak... Mama kamu
mungkin lagi nyariin kamu juga…"
Setelah
itu, terdengar suara langkah kaki yang sedang berlari dengan tergesa-gesa.
Serena langsung melepaskan pelukannya pada anak itu dan menoleh ke asal suara.
"Naufal!
Oh, ya Tuhanku—ya Tuhan—syukurlah, kau tidak apa-apa," ujar orang itu yang
sepertinya merupakan sang ibu. Serena tersenyum dan mulai menjauh. Ibu itu
langsung memeluk anaknya dengan erat sembari menangis.
Melihat
itu, Serena kembali dihantui oleh sesal yang mendalam. Andai waktu itu dia
memeluk Deon seerat ini, mencari Deon, mengasuh Deon selayaknya anak-anak
normal lainnya...
Serena
mengusap air matanya dan dadanya terasa perih.
"Terima
kasih, Mbak, karena udah jagain anak saya,"
ujar ibu-ibu berjaket tebal itu. Serena kontan menatapnya dan tersenyum manis.
"Iya.
Jangan panggil saya ‘Mbak’, Bu... Saya juga udah punya seorang
anak," ujar Serena.
Ibu
itu tampak terkejut.
"Wah,
Bu, tapi wajah Ibu keliatannya masih muda dan cantik banget," pujinya.
Serena
hanya tersenyum dan melihat ibu itu dengan penuh pengertian. "Jaga anak Ibu,
ya Bu?"
Ibu
itu mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu."
Serena
mengangguk, lalu berpamitan. Wanita itu langsung masuk ke mobilnya dan membunyikan
klakson kepada pasangan ibu dan anak itu.
Ia
akan melanjutkan perjalanannya untuk pergi ke rumah Darwin.
******
"Jadi?
Untuk apa kau kemari," tanya Darwin—papanya Deon—singkat. Pria itu duduk
di kasurnya seraya mengenakan piama yang sangat Serena kenali.
"Tolong
kasih tau aku di mana apartemen Deon, Win..." ujar Serena sembari
menangis. "Aku mau ketemu sama anakku."
Darwin
menghela napas. Pria paruh baya itu memejamkan matanya jenuh.
Setelah
itu, Darwin membuka matanya lagi dan menatap Serena dengan tajam. "Aku
sudah mempertemukan kamu sama dia waktu itu, tapi kamu malah berakhir duduk dan
nangis di sudut kamarku karena dia nggak nerima kamu!! Mau gimana lagi? Dia benci
sama kamu dan aku sendiri nggak tahu gimana cara untuk nyembuhin dia dari semua
kebencian itu, Serena."
Serena
menunduk. "Aku tau, tapi…aku bakal terus berusaha. Dia kehilangan dirinya
yang sebenarnya karena aku. Aku bener-bener…sayang sama dia, Darwin..."
Darwin
mengepalkan tangannya.
"KALO
KAMU SAYANG SAMA DIA, KAMU NGGAK BAKAL NGELAKUIN HAL YANG NGGAK BERMORAL ITU DI
DEPAN DIA!!" teriak Darwin kencang. Dada Darwin mulai terasa sesak.
"AKU
TAU!!" teriak Serena. Air mata mulai membasahi pipi Serena. "AKU TAU
ITU!! BISA NGGAK KAMU LUPAIN AJA HAL YANG UDAH BERLALU ITU? KAMU SUNGGUH
EGOIS!! DEON ITU JUGA ANAKKU!!"
"KAMULAH
YANG EGOIS, SERENA!!" teriak Darwin. "GIMANA AKU BISA NGELUPAIN HAL
YANG BELUM BENER-BENER KUKETAHUI ALASANNYA?! KAMU BELUM BILANG APA PUN SAMA AKU
SOAL KEJADIAN ITU!! KAMU SELALU TUTUP MULUT DAN KABUR, ABIS ITU KAMU BALIK LAGI
DAN PENGIN KETEMU DEON? DIA JUGA SAMA KAYAK AKU, SERENA, KAMI BENCI SAMA KAMU TANPA
TAU APA YANG SEBENARNYA TERJADI DARI SISI KAMU!!"
"AKU
NGELAKUIN ITU KARENA TERPAKSA!!!" teriak Serena.
Darwin
terperanjat.
Jantung
Darwin seolah berhenti berdetak.
"Ap—apa…maksud
kamu?" tanya Darwin dengan terbata.
Serena
menangis.
"AKU
SELALU CINTA SAMA KAMU, DARWIN!!" teriak Serena, yang membuat Darwin
membulatkan matanya. Serena sudah terlanjur mengatakan itu. Wanita itu lalu
melanjutkan sembari menangis, "AKU NGELAKUIN ITU SUPAYA KAMU MERHATIIN AKU!!
Kamu—kamu nggak pernah peduli sama aku. Kamu gila kerja dan jarang balik ke
rumah. Kamu kayak nganggep aku nggak ada! Aku ngelakuin itu—BAHKAN AKU NGGAK NYANGKA
KALO AKU SAMPE NGELAKUIN ITU KARENA TERLALU FRUSTRASI!! AKU JUGA JIJIK SAMA
DIRI AKU SENDIRI!! Tapi semua itu emang salahku; aku mutusin semuanya dengan
terlalu cepat dan dengan dipengaruhi emosi. Aku emang mentingin egoku waktu itu.
Aku—aku hilang akal dan terpukul waktu Deon mergokin aku!! AKU BAHKAN NGGAK MAU
KE LUAR RUMAH SEJAK KITA CERAI!! AKU MALU, TERPUKUL, DAN AKU JUGA
SADAR, KALO SEMUANYA SALAHKU. TAPI KUMOHON…IZININ AKU BUAT MINTA MAAF SAMA
DEON..."
Serena
mengusap air matanya dan menggeleng. "Udahlah, aku bakal nyari tau
sendiri. Maafin aku karena udah bilang semua ini ke kamu."
"Selamat
malam, Darwin," ujar Serena seraya menatap Darwin. "Semoga kamu cepat
sembuh."
Setelah
itu, Serena keluar dari kamar Darwin begitu saja.
Tubuh
Darwin bergetar. Dengan dada yang sesak serta mata yang berair, Darwin pun mencari
sebuah kertas dan pena untuk menuliskan sesuatu di sana.
******
Deon
sedang membantu Talitha menaruh bekas wadah choco cookies dan
bekas gelas untuk minum sirup tadi ke wastafel. Saat
Deon baru saja menaruh apa yang ia bawa ke wastafel, ponselnya
tiba-tiba berbunyi. Alis Talitha terangkat saat Deon mulai mencari ponsel di
saku celana pria itu.
Deon
mengernyitkan dahi saat melihat layar ponselnya. Namun, sedetik kemudian Deon
mengangkat telepon itu.
"Halo,"
ujar Deon singkat.
"Tuan," sapa
seorang pria dari seberang sana. Agaknya, itu adalah salah satu pelayan di
rumah papanya Deon. Pelayan itu terdengar begitu panik. "Tuan
Darwin masuk rumah sakit, Tuan..."
Mata
Deon membeliak. []
No comments:
Post a Comment