Sunday, July 6, 2025

My Man (Bab 12)

 


******

Bab 12 :

 

TALITHA mengernyitkan dahi saat melihat infotainment di televisi. Talitha—yang tanpa sengaja menonton acara itu—hanya bisa mengedipkan matanya berkali-kali saat melihat berita bahwa Deon hang out dengan Chintya tadi pagi.

Lha, berarti Deon tidak pergi ke kantor?

Agaknya, Chintya pergi bersama Deon ke mall dan ke beberapa tempat lainnya. Chintya terlihat selalu memeluk lengan Deon dan bergelayut manja. Paparazi benar-benar pintar menangkap aktivitas mereka. Talitha menggeleng dan berdecak kagum.

"Weeh...emang cocok bener mereka berdua," ujar Talitha dengan mata melebar. Namun, entah mengapa sepertinya ada yang kurang...

Ada yang membuat Talitha merasa agak janggal melihat kedekatan Chintya dan Deon. Entah apa itu. Yang jelas, rasanya aneh, padahal Talitha sudah tahu bahwa Deon dan Chintya itu bersahabat. Akan tetapi, ujung-ujungnya…Talitha hanya mengedikkan bahunya cuek.

Mungkin, dia cuma khawatir.

Soalnya, waktu itu, kan…Deon mengakui di depan publik bahwa Talitha adalah calon istrinya. Makanya, sekarang Deon sedang dikritik di televisi meski dia bukan lagi seorang model atau aktor. Dia di-judge; banyak orang yang bertanya-tanya.

Siapa yang tak tahu media massa? Semua diserap dan diliput tanpa tahu kebenarannya, yang penting, mereka mendapat berita hangat. Dunia siaran seharusnya memiliki direktur iblis seperti Deon, supaya tidak sembarangan meliput berita hoax. Talitha tertawa terbahak-bahak ketika membayangkan Deon memukuli para paparazi itu dengan tinjuan-tinjuan kecil. Ciah, lawak abis! Tiba-tiba, Talitha teringat kata-kata Chintya setengah jam yang lalu di depan rumah Talitha.

 

"Deon itu punya aku."

 

Talitha mengernyitkan dahi. Yah, sebenarnya wajar, sih, kalau Deon mencintai Chintya, soalnya mereka sangat dekat dan mengerti satu sama lain. Namun, untuk apa Chintya memperingati Talitha jika dia yakin bahwa Deon mencintainya?

Tadi, Chintya pergi setelah memperingati Talitha; dia tak membiarkan Talitha menjawab apa pun.

Talitha pun mengedikkan bahu.

Ada-ada aja dunia ini mah. Terserahmu, deh, Mbak Chintya.

 

******

 

Gavin baru saja menaruh berkas-berkas dari Maureen—yang tampak seperti satu rim kertas itu—di pinggir meja kerjanya. Gavin belum berniat untuk keluar dari ruangannya meskipun saat ini sudah waktunya istirahat. Akibat rapat tadi siang dan pekerjaannya yang belum selesai, sepertinya hari ini Gavin akan pulang sedikit terlambat.

Tiba-tiba, Gavin mendengar suara ketukan pintu. Pintu ruangan itu pun langsung terbuka sebelum Gavin sempat menjawab. Pria itu spontan menoleh.

 

Oh, cuma Revan.

 

Gavin menatap Revan. Si playboy itu sedang menaikturunkan alisnya jail kepada Gavin seraya bersandar di pintu ruangan Gavin. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu tersenyum miring.

"Ciee, yang dapet penghargaan Ketua Divisi Terbaik," ujar Revan.

Gavin menghela napas; dia menahan senyum tatkala Revan mulai masuk begitu saja ke ruangannya.

Ini sebenarnya merupakan rencana Deon. Gavin ingat waktu itu Deon pernah bilang pada bahwa dia akan mendapat kenaikan gaji, tetapi ternyata Deon juga memberikan sebuah penghargaan. Sampai saat ini, Gavin tak mengerti maksud Deon; soalnya…bukankah ini agak…curang?

Gavin memang rajin, tetapi mana pernah dia berharap sesuatu yang muluk-muluk. Kalo di tempat kerja bisa bacotan bareng Revan aja udah cukup kok. Yang penting nyaman, ‘kan?

"Apaan, sih, lo, Nyet," ujar Gavin. Revan sudah berdiri di depan mejanya. "Tutup dulu, tuh, pintu ruangan gue."

Revan membulatkan mata. "Wanjeeeer…! Mentang-mentang dapet penghargaan, sekarang pintu harus ditutup. Cie ilah... Kambing!"

Gavin tertawa. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu mendekati Revan.

"Yok. Lo ke sini karena mau ngajak makan, 'kan?" tanya Gavin. Revan tertawa terbahak-bahak.

Revan berbalik, lalu berjalan bersama Gavin. Gavin dengan setelan jasnya dan Revan dengan kemeja putihnya (lengan kemejanya digulung hingga ke lengan).

"Mie ayam, yok, Bro," ajak Revan dan Gavin mengangguk.

 

******

 

Talitha menatap Deon saat gadis itu telah membuka sabuk pengamannya. Mereka sudah sampai di depan NEO Hotel Mangga Dua, tempat diadakannya seminar nasional yang akan ia ikuti. Kata Deon, dialah yang akan mengantar Talitha.

"Duluan, yee, Mas Ganteng," ujar Talitha. Gadis itu mulai ingin membuka pintu mobil. Namun, tangan Deon yang kekar itu menghentikan pergerakannya.

"Kenapa kamu suka banget manggil aku Mas Ganteng?" tanya Deon sembari menaikkan sebelah alisnya. Talitha kaget.

Namun, sesaat kemudian, Talitha tertawa kencang.

"Cieeee, yang nanya kenapa," kata Talitha. Dia mulai menggila. "Sok nggak peka, padahal biasanya narsis!"

Deon mendengkus. "Seriuslah, Talitha."

"BHAHAH!" Talitha ngakak. "Masa iya mau kujelasin? Coba pikir. Orang bisa dipanggil ‘cantik’ ya karena mukanya emang cantik, 'kan? Nah, kalo dipanggil ‘ganteng’, ya berarti karena ganteng, dong!"

Deon tersenyum penuh arti.

Namun, mendadak senyum itu berubah menjadi senyuman miring. Deon menaikkan sebelah alisnya, "Jadi, itu panggilan sayang dari kamu buat aku?"

Ajegile! Balik narsis lagi dia!

"Widih, nih anak!" Talitha menggelengkan tak habis pikir. Setelah itu, dia ngakak habis-habisan. "Ntaps, euy!! Rasanya diri ini ingin berkata kasar! Lagian, apa cuma gue yang pengin nabok nih anak?"

Talitha pun mengembuskan napasnya, pasrah. "Ya udah, terserah kamu aja, deh, Deon. Warbyazah. Nikmati saja hidup ini."

Tiba-tiba, Talitha mendengar suara tawa. Mata gadis itu membelalak.

Deon tertawa.

Pria itu tertawa lepas. Wajahnya begitu polos saat tertawa. Dia murni terlihat tampan, tanpa ada kekejaman yang tersisa di wajahnya. Tawa yang khas, manis, dan bikin melting. Wajah Deon tampak bercahaya ketika tertawa seperti itu, apalagi sekarang masih pagi dan Deon juga tampak sangat fresh dengan jas berwarna silver-nya. Talitha hanya memandangnya sembari menganga. Mata Talitha sama sekali tak berkedip; waktu seolah-olah berhenti. Jujur saja, siapa pun pasti tak ingin kehilangan momen untuk melihat sisi manis Deon yang adorable ini.

"Ckckckckck," decak Talitha. "Ini kok bisa ada manusia seganteng ini, yak? Mantap jiwa. Pengin kumesumin rasanya. Wakwaw."

"Apa?"

Eh, mati! Talitha keceplosan!

Deon mendengar—Deon mendengar semuanya!

"Ah—hahahah..." Talitha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak deng. Khilaf. Tapi kalo dikasih juga gapapa, sih, sebenernya. BHAHAHAH!! Rejeki anak soleha!"

Deon menggeleng. "Entah ini pikiran aku aja atau bukan, kayaknya kamu pernah nonton film delapan belas tahun ke atas."

Talitha ngakak. "PERNAH NGINTIP DIKIT, SIH, HAHAHAHAHAH!!"

Deon memejamkan matanya—tak habis pikir—lalu dia membuka matanya lagi dan langsung menatap Talitha dengan tajam. "Jangan nonton yang begituan, Talitha. Itu bisa ngerusak otak kamu. Dengar aku."

"Otakku mah emang udah rusak." Talitha malah semakin tertawa.

Deon kehabisan akal. Entah makhluk macam apa Talitha ini.

"Oke, ayo buktiin seberapa rusaknya otak kamu. Pas aku datang ke rumah kamu nanti, jangan nolak kalo aku mesumin kamu," ujar Deon dengan penuh penekanan. Mata Deon menyipit tajam.

"…dan aku nggak main-main," lanjut Deon.

Talitha meneguk ludahnya.

Waduh. Meskipun itu merupakan sebuah rezeki, Talitha tak bisa membayangkan dirinya benar-benar melakukan hal yang mesum. Tubuh Talitha jadi mematung. Waduh, mampus. Gimana, nih?

Deon ini main tancap gas aja! Main luncur aja!

Ngomong mesum mah enak, tetapi kalau untuk benar-benar melakukannya…Talitha mana bisa!

"Mau sampe kapan kamu di sini, Talitha?" tanya Deon. "Seminarnya bentar lagi mulai, ‘kan?"

Mata Talitha membelalak. Gadis itu langsung membuka pintu mobil Deon dan keluar dengan cepat. Hal yang ia katakan sebelum menutup pintu mobil Deon kembali hanyalah:

"Aku duluan, ya, Mas Ganteng!"

 

******

 

"Eh, katanya calon istri, tapi ternyata diselingkuhin!"

"Iya pantes mah, muka kan tetep cantikan Chintya Valissisa ke mana-mana."

 

Talitha menoleh ke kiri dan kanan beberapa kali karena bisikan-bisikan itu. Semua bisikan itu memang ditujukan kepadanya karena orang-orang itu berbisik saat berpapasan dengannya. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada yang memberikan Talitha tatapan aneh. Ada pula yang melihat Talitha sembari cekikikan.

Talitha menggeleng; ia keheranan setengah mati. Mereka ini tidak punya kehidupan sendirikah? Talitha punya salah apa pada mereka?

Walaupun begitu, sebenarnya Talitha tahu bahwa hal ini terjadi akibat berita sore kemarin. Tadi, Talitha tak menanyakan hal itu kepada Deon karena sebenarnya dia tak terlalu ingin tahu. Lagi pula, itu terserah Deon, 'kan? Deon dan Talitha tidak saling mencintai.

Talitha hanya ingin bertanya mengapa Deon membeberkan masalah pernikahan mereka kalau dia masih sembrono seperti itu. Ujung-ujungnya, kan…Deon juga yang malu. Talitha pun jadi ikut malu.

Talitha menghela napas, lalu mengedikkan bahunya. Ia berjalan ke ballroom hotel tempat dilaksanakannya seminar itu.

Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Talitha menoleh ke belakang dan mendapati dua orang gadis.

"Ngapa?" tanya Talitha.

"Eh, lo diputusin, ya, sama Marco Deon? Atau mungkin…kabar kalo kalian pacaran itu berita gaje doang?" tanya salah satu dari dua gadis itu.

Gadis yang ada di sebelahnya menambahkan, "Lagian…emang nggak masuk akal. Masa iya Marco Deon deket sama orang biasa? Apalagi…yang kayak elo." Kedua gadis itu tertawa.

"Jadi, urusan kalian apa? Cuma mau nanya doang, ya, Neng?" ujar Talitha dengan ekspresi datar. "Makasih...tapi maaf, duit receh gue abis karena tadi malem dipake buat makan bakso sama Abang gue."

"Najis!" ujar salah satu dari dua gadis itu. Dia merasa terhina. "Berani banget lo ngomong gitu ke gue! Tai!”

 

"Heh-heh, ada apa ini?"

 

Talitha menoleh ke asal suara, ke samping kirinya. Sebenarnya, Talitha sangat mengenali suara itu.

Itu adalah suara Alfa.

Alfa mendekati Talitha, lalu berjalan hingga sedikit membelakangi Talitha. Para gadis itu mendadak kicep dan salah tingkah. Pasalnya, siapa yang tidak kenal dengan Alfa Triwidjaya Aditama? Dia adalah cowok manis yang berstatus sebagai Ketua BEM UI dan bersarang di jurusan Teknik Elektro. Yah, walaupun dia akan pindah ke ITB sebentar lagi.

"E—Eh, Kak," kata si gadis yang memiliki rambut sebahu. "Maaf, Kak. Nggak ada apa-apa kok."

Alfa hanya diam. Setelah itu, Alfa mengangguk singkat.

"Ya udah, nggak baik ngehina orang lain, apalagi sampe memicu pertengkaran kayak gini. Jangan ulangi lagi, oke? Masuk ke ruangan, seminarnya bentar lagi mulai."

Kedua perempuan itu mengangguk dengan patuh dan langsung pergi meninggalkan Talitha. Alfa pun berbalik, cowok itu menatap Talitha. Talitha menatap Alfa selepas melihat kedua gadis itu masuk ke ballroom.

Alfa tersenyum.

"Umm… Makasih, yaKak," ujar Talitha apa adanya.

"Iya, Ita... Santai aja." Alfa mendekati Talitha. "Yuk, sambil jalan aja. Seminarnya udah mau dimulai tuh."

Talitha tertawa dan mengangguk.

"Tadi kok Kak Alfa ada di luar?" tanya Talitha. Alfa menatapnya dan tertawa renyah.

"Hmm… Nggak kenapa-napa, sih. Tadi Kakak abis dari toilet. Pas mau balik ke ballroom, Kakak malah liat kamu sama dua anak tadi."

Talitha mengernyitkan dahi. Sementara itu, Alfa melihat Talitha dengan ekspresi khawatir.

"Kamu nggak apa-apa, ‘kan, Ta?" tanya Alfa kemudian.

Talitha mengedipkan matanya beberapa kali dengan polosnya. "Ha? Nggak apa-apa gimana maksudnya, Kak?"

Alfa menghela napas.

Tiba-tiba, Alfa mengusap puncak kepala Talitha dengan lembut. Tangan Alfa terasa begitu hangat.

"Dua anak itu mungkin ngejekin kamu karena liat berita tentang Marco Deon semalem. Iya, ‘kan?”

Pertanyaan Alfa terdengar seperti tidak membutuhkan jawaban. Alfa lalu melanjutkan, "Jangan terlalu dipikirin, ya."

Oh. Berarti, Alfa juga melihat berita itu.

Talitha tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Nggak apa-apa kok, Kak. Ita juga nggak terlalu mikirin itu."

Alfa terkejut. Pergerakan Alfa terhenti saat cowok itu baru saja ingin membuka pintu ballroom.

"Lho, kamu...nggak mikirin? Tapi seingat Kakak, dia bilang…kamu itu calon istrinya." Ada jejak luka yang kentara di kedua mata Alfa saat mengatakan itu, padahal ia sadar bahwa ia bukan siapa-siapanya Talitha.

"Ya…ceritanya panjuaangg banget, Kak, hahahah!" jawab Talitha; cewek itu ngakak. Alfa terkejut.

 

Berarti...masih ada celah di hati Talitha?

 

"Ntar cerita, ya. Lewat telepon," pinta Alfa. "Ntar Kakak telepon. Semalem kepengin, sih, nelepon Ita...tapi Kakak sibuk sama panitia lainnya..."

Ya iyalah. Alfa, kan, salah satu panitia untuk seminar ini.

"Ah—oke, Kak," jawab Talitha sembari tersenyum.

Hal itu membuat Alfa ikut tersenyum.

Begitu Alfa membuka pintu ballroom tersebut, Talitha langsung bisa melihat Basuki yang melambaikan tangan padanya di kursi belakang. Talitha langsung ngacir ke tempat Basuki tanpa melihat Alfa lagi. Alfa menggeleng dan tertawa geli melihat Talitha yang memiting kepala Basuki ketika gadis itu sampai di sana. Setelah itu, Alfa berjalan ke depan…dan duduk di sana bersama teman-temannya.

 

******

 

"Weeeeh! Buset, ya, Ncong! Nggak nyangka seminarnya bakal sampe jam tiga sore. Mau mampus rasanya badan gue!" teriak Talitha. Ia berjalan dengan lesu seraya memegangi pinggangnya seperti nenek-nenek.

Basuki mengangguk mengiyakan.

"Wanjir banget, emang. Mana tadi ada game segala. Ngapa gue mulu yang kena sasaran, yak?! Iiich, kezel. Zebel Dedek." Basuki misuh-misuh sendiri, keki mengingat kejadian waktu seminar tadi. Dia dijadikan sasaran untuk bermain game yang memalukan, tetapi bukannya menolongnya, Talitha malah menertawainya.

Ciri khas si Kunyuk banget. Temen zaman sekarang mah beda.

Talitha—yang berjalan di samping Basuki—malah ngakak kayak kesetanan. Gadis itu tidak peduli dengan sekitarnya, padahal di sana masih ramai karena orang-orang juga baru pulang seminar. Mereka berdua masih berjalan di halaman hotel.

"BHAHAHAH! MAKANYA, JANGAN JADI BENCONG LU!!! DIKERJAIN ORANG, ‘KAN, JADINYA!!" teriak Talitha kencang, tanpa malu. Basuki sampai kaget dan menempeleng Talitha berkali-kali saking jengkelnya. Si Kunyuk ini, dia tak tahu apa kalau ketawa sialannya itu bikin Basuki jadi malu bukan main?

Memang manusia gila.

"Oi, kamvret! Bikin malu aja lo!! Emangnya kenapa kalo gue bencong?! Yang penting gue bahagia!” teriak Basuki sembari menirukan gaya antagonis sombong di sinetron.

Talitha ngakak lagi.

"EH BUSET, NIH ANAK—" Ucapan Talitha terpotong begitu ia sadar bahwa ada yang memanggilnya. Talitha dan Basuki menoleh ke samping dan menemukan Alfa yang tengah menghampiri mereka berdua.

Basuki mulai tersenyum jail.

Ciaaah. Jatuh cinta emang enak, yak. Peduliin orang yang jomblo, neh! Mancay banget si Ita, bisa nggebet dua cowok ganteng macem Deon dan Alfa.

"Uhuk-uhuk, gue duluan aja, yaaah," kata Basuki, membuat Talitha dan Alfa langsung menoleh kepadanya. Talitha spontan memegang tali tas ransel Basuki dan memasang ekspresi datar. "Mau ke mana lo?”

"Yaa... Nggak ada, sih. Ekhemm! Pokoknya gue duluan ajaah. Males jadi obat nyamuk. Nyesek banget hayati ntar,” ujar Basuki, menyindir Talitha.

Talitha mencebik. "Pengin gue tarik bibir lo rasanya."

Basuki tertawa habis-habisan. Alfa hanya tersenyum geli melihat mereka.

"Duluan, ya, Kak Alfa ganteeng," ujar Basuki. "Babaaii. Jagain si Kunyuk, ya, Kakak... Mmuach." Basuki memberikan ciuman jarak jauh.

Alfa tertawa, sementara Talitha rasanya mau muntah melihat kelakuan Basuki.

"Iya. Makasih. Hati-hati, ya, Basuki," ujar Alfa sembari tersenyum manis.

Eh buset, coy! Senyumnya itu...ilegal.

"Eh, aduuuh... Perhatian banget ini si doi. Disenyumin lagi guenya," ucap Basuki, membuat Talitha spontan memukul kepalanya. Basuki tertawa, lalu pergi dari hadapan mereka.

"Hati-hati lo, Bencong! Awas ketabrak mobil! Perasaan gue nggak enak, neh!" teriak Talitha.

"KAMBING!!" balas Basuki jauh di depan sana.

Talitha tertawa, begitu pula Alfa.

Setelah itu, Talitha pun menoleh kepada Alfa. "Ada apa, Kak?"

Mereka kembali berjalan. Dari kejauhan, banyak cewek yang memberikan tatapan tak suka pada Talitha—karena tahu masalah Deon—sementara teman-teman Alfa (terutama Gilang) mulai bersiul dari kejauhan dan berteriak, “Cieee... Uhuy!”

Alfa hanya tersenyum. "Nggak. Pengin ngobrol aja sama Ita."

Talitha lagi-lagi tertawa. "Kayak nggak pernah ngobrol aja, hahahah!"

"Ya habisnya kalo di kampus agak susah ketemu sama Ita," ujar Alfa. "Oh, iya, Ita pulang sama siapa?"

Kata Deon (melalui chat), Gavinlah yang akan menjemput Talitha, soalnya Deon sedang ada rapat dadakan.

"Bang Gavin, Kak," jawab Talitha santai.

Alfa mengangguk. "Bang Gavin apa kabar, Ta? Udah lama nggak liat... Kemaren juga kita nggak jadi nonton bareng, ‘kan. Kalo jadi, mungkin Kakak sempet ketemu sama Bang Gavin pas jemput kamu."

"Bhahaha! Bang Gavin mah masih gitu aja, Kak,” jawab Talitha. “Cerewet. Sableng juga.”

Alfa tertawa.

Tiba-tiba, lewatlah seorang gadis cantik di hadapan mereka. Mata Talitha kontan memelotot; dia menganga saking kagumnya melihat cewek itu. Mungkin…itu adalah salah satu anak jurusan Teknik di UI yang mengikuti seminar ini.

"Busyeeet, weh! Cantik bener tuh orang!" Talitha berdecak kagum; dia menggeleng. "Macem artis!"

Alfa memperhatikan cewek yang dipuji ‘cantik’ oleh Talitha itu, lalu Alfa mengernyitkan dahinya.

Talitha menyikut lengan Alfa. "Ya nggak, Kak? Cantik banget, ‘kan? Widihh… Pake ramuan apa, tuh, emak bapaknya waktu bikin dia?"

Alfa mengikik geli. Talitha ini pikirannya kok selalu ke situ.

"Kamu ini, Ta. Ada-ada aja," ujar Alfa sembari mengacak rambut Talitha. Talitha menatap Alfa dengan ekspresi heran.

"Aku serius, nih, Kak. Noh, liat! Kakak emangnya nggak naksir gitu? Laki-laki, kan, lebih peka sama cewek cantik!" kata Talitha.

Alfa melihat cewek yang Talitha maksud itu sejenak, kemudian Alfa melihat ke depan lagi.

Mereka masih berjalan dengan pelan—sangat pelan—hingga mungkin itu memperlama obrolan mereka.

"Kenyataannya…Kakak malah suka sama cewek yang sifatnya nyeleneh," jawab Alfa.

Talitha kontan menoleh kepada Alfa. Bukan karena kaget, melainkan karena ia tak begitu mendengar apa yang barusan Alfa ucapkan.

"Gimana, Kak?" tanya Talitha agar Alfa mengulangi ucapannya.

Alfa tersenyum. Cowok itu kembali mengacak rambut Talitha dengan gemas.

"Nggak ada. Nggak ada siaran ulang," jawab Alfa sembari tersenyum manis. Senyumnya Alfa itu memang top abis. Manis banget.

Mereka berhenti melangkah saat melihat mobil Gavin yang telah sampai di depan hotel. Kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan sosok Gavin di dalamnya.

"Bang," sapa Alfa. Cowok itu menyalami Gavin dengan sopan. Talitha sudah melambaikan tangannya dan pamit pada Alfa, lalu masuk ke mobil Gavin.

"Eh, kamu, Fa. Kapan mau ke rumah? Udah jarang liat kamu," kata Gavin.

"Lagi banyak kegiatan di kampus, Bang. Ntar kalo udah agak rileks, Alfa ke sana, deh," jawab Alfa sembari tersenyum.

Gavin mengangguk dan ikut tersenyum. "Ya udah. Duluan, ya, Fa."

"Iya, Bang, sip. Hati-hati!" kata Alfa saat Gavin membunyikan klakson untuknya. Mobil itu pun berjalan dan meninggalkan Alfa.

Alfa menghela napas. Cowok itu mulai tersenyum simpul.

 

Kalo Ita denger tadi...gimana, ya?

 

******

 

Malam ini, rumah Talitha terasa lumayan sepi. Papa Talitha belum pulang dari kantor, sementara Gavin sedang mencari sesuatu bersama Revan di pusat perbelanjaan. Talitha malah sibuk nge-dance enggak jelas di kamarnya. Tinggallah mama Talitha yang duduk di sofa ruang tamu sembari menonton televisi.

Tiba-tiba, bel rumah mereka berbunyi.

"Yaaa?" sahut mama Talitha. Wanita paruh baya yang memakai daster itu langsung berjalan cepat ke arah pintu.

Begitu pintu itu terbuka, betapa terkejutnya mama Talitha tatkala mendapati Deon yang tengah berdiri di sana seraya tersenyum kepadanya.

"Eh, calon menantu Mama..." kata mama Talitha saat Deon menyalaminya. "Ada apa ke sini malem-malem gini?"

"Mau ketemu sama Talitha, Ma. Dia ada di dalem, Ma?" tanya Deon.

Mama Talitha tersenyum gembira; dia agak melting. "Ada—ada kok. Dia ada di kamarnya. Paling-paling lagi nari barongsai."

Deon menunduk dan tertawa kecil.

"Yuk, masuk!" ajak Mama Talitha. Wanita itu pun membawa Deon masuk ke rumah.

"Kalo mau langsung nemuin Ita, ke atas aja, ya, Deon," ujar Mama Talitha sembari tersenyum. Deon mengangguk.

Deon pun mulai naik ke lantai dua. Pria itu menaiki anak tangga sembari menggulung lengan kemeja berwarna merahnya. Meski sekarang sudah malam dan dia baru pulang dari kantor, Deon tetap terlihat memesona.

Begitu tiba di depan kamar Talitha, Deon mengetuk pintu kamar itu dua kali. Deon menekan gagang pintunya dan sadar bahwa pintu itu tidak terkunci. Akhirnya, Deon langsung membuka pintu itu.

Alhasil, terlihatlah Talitha di sana yang sedang menari-nari enggak jelas. Macam tari samba (dari Brazil), tetapi gerakannya tidak jelas. Deon memiringkan kepala, lalu mengernyitkan dahinya tatkala melihat Talitha.

Talitha mendadak sadar bahwa ada yang sudah membuka pintu kamarnya. Gadis itu langsung menoleh dan betapa terkejutnya dia tatkala mendapati Deon berdiri di sana, bersandar di kusen pintunya. Pria itu menatap Talitha dengan mata menyipit.

Talitha menganga; gadis itu langsung meneguk ludahnya.

 

Mampus.

 

"Aku nggak tau kalo kamu hobi nari," ujar Deon dengan alis terangkat. "tapi nggak nari-nari di atas kasur juga, 'kan? Kamu udah besar, Talitha."

Reaksi Talitha? Well, bukannya malu, gadis itu malah tertawa bak kesetanan. Kepalanya sampai tertolak ke belakang.

Deon masuk ke kamar Talitha dan menutup pintu kamar itu. Talitha masih berdiri di atas kasur.

"Kamu ngapain ke sini? Kita nggak ke ruang tamu aja gitu? Mama, kan, ada di bawah," kata Talitha.

Deon mendekati ranjang Talitha dan mengangkat bahu. "Nggak usah."

"Ngapa?" tanya Talitha heran.

Deon menghela napas. "Sebelum nanyain kenapa, ada baiknya kamu turun dari sana dulu."

Talitha spontan ngakak. Gadis itu pun mengangguk. "Iya, iya, Mas Ganteng. Perfeksionis banget, sih."

Saat Talitha sudah turun, gadis itu menatap Deon yang lebih tinggi darinya. Talitha hanyalah sebatas dada Deon.

"Nah, ngapa?" tanya Talitha sekali lagi.

"Aku yakin kamu inget kalo tadi pagi aku mau buktiin seberapa rusaknya otak kamu. Ayo kita lakuin hal mesum itu sekarang."

Mata Talitha membeliak. Gadis itu spontan menjauh dan mengulurkan tangannya untuk menghalangi Deon. "Weh, weh, weh!! Mas—Mas, tolong jangan digas dulu!"

Deon hanya diam.

"Ini anak orang kok nggak bisa diajak bercanda! Masa iya mau mesum di sini?! Wah, kacaaau, brooh!" lanjut Talitha.

"Kan kamu tau kalo aku nggak bakal main-main dengan ucapanku," ujar Deon seraya menatap Talitha dengan tajam.

"Selain itu," ujar Deon. "lain kali kunci pintu kamar kamu. Jangan dibiarin nggak terkunci. Jangan ngelakuin hal yang aneh kayak nonton film delapan belas tahun ke atas itu. Aku nggak suka karena itu bisa ngerusak otak kamu. Apa yang udah jadi milik aku, bakal tetep aku jaga dan aku perhatiin sepanjang hidupku."

Talitha menganga.

"Ckckck. Aduh… Kok bisa, ya, ada karakter cowok dari komik romcom gini di dunia nyata."

"Aku bukan karakter komik, Talitha," ujar Deon.

Talitha langsung ngakak.

"Sini kamu." Deon menyuruh Talitha untuk mendekat padanya.

"Lha, mau ngapain toh?" tanya Talitha. "Jangan-jangan mau nggerepe aku nih anak satu."

Deon memejamkan matanya sejenak, agak geram dengan Talitha. "Ke sini, Talitha."

Talitha memasang ekspresi datar. "Iya, deh, iyaaaa. Pengatur banget ajegile."

Talitha pun mendekat kepada Deon. Jarak di antara mereka hanyalah satu jengkal.

"Nah, kenap—"

Ucapan Talitha terhenti. Mata Talitha melebar begitu sadar bahwa Deon tiba-tiba menciumnya dengan mesra. Tubuh tegap Deon memeluknya, otot-otot di perut dan lengan Deon begitu jelas terasa karena tubuh pria itu hanya dilapisi kemeja tipisWangi maskulin tubuh Deon, lalu tubuh Deon yang begitu hangat saat ini...

Ah, itu idaman semua perempuan.

Deon mengeratkan lagi pelukannya. Tangan kiri Deon—yang tersemat jam tangan di pergelangannya—kini memegang leher Talitha dengan posesif.

Telunjuk Deon mengelus rambut Talitha dengan pelan. Sementara itu, ciumannya terasa semakin dalam dan mendominasi.

Sesungguhnya, Talitha sangat terkejut. Dia mati kutu. Namun, justru hal itulah yang membuat Talitha tidak memberontak. Walaupun ini merupakan sebuah rezeki (karena dapat ciuman dari orang ganteng), nyatanya Talitha tak benar-benar merasakan sensasi 'dapat rezeki nomplok' itu.

Lagi pula, Deon ini...

 

…sepertinya maniak mencium.

 

Talitha melihat wajah Deon saat pria itu menciumnya. Deon memejamkan mata. Satu erangan halus lolos dari bibir Deon saat ciuman itu semakin intens. Talitha memegang kemeja Deon karena jika tidak…mungkin Talitha akan terjatuh. Sesaat kemudian, Deon melepaskan ciuman itu dan Talitha kontan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Akan tetapi, Talitha tetap tak bisa bergerak dengan bebas karena Deon menahan pinggangnya.

"Deon—"

"Diam."

"Oi, Deon—aku mau napas dulu—"

"Aku belum selesai."

Talitha tercengang. Tubuh gadis itu mematung di tempat. Tidak ada celah; tidak ada ampunan. Talitha bergidik saat Deon mencium bahunya perlahan. Ciuman itu mulai turun ke leher Talitha. Talitha refleks mendongak dan mengepalkan tangannya karena merasa geli, tetapi gadis itu tetap menutup mulutnya. Deon menciumnya dengan sangat perlahan. Bunyi kecupan mesra itu terdengar dengan jelas.

Ampun. Talitha tak akan mencari masalah atau berbicara tentang hal mesum lagi di depan Deon kalau begini. Gawat, cuy!

"Deon..." Talitha tak bisa berbicara. "Udah, Deon... Aku nggak bisa—"

"Hm?" deham Deon sembari terus mencium Talitha. Gadis itu menggigit bibirnya.

Deon mulai mencium bagian belakang telinga Talitha dan alhasil tubuh gadis itu jadi lemas. Kecupan itu tidak liar…melainkan dilakukan dengan perlahan dan seksi.

"Diam sebentar. Aku cuma mau tau..." Deon berbisik di telinga Talitha. "seberapa rusaknya otak kamu."

Demi Tuhan, Talitha tak tahu kalau Deon ternyata memiliki sisi yang seperti ini.

Kecupan-kecupan itu baru berhenti saat mama Talitha memanggil mereka dari lantai bawah. Panggilan itu bertepatan dengan Deon yang sedang mencium kedua kelopak mata Talitha.

 

******

 

Serena mengendarai mobilnya dengan santai.

Perasaannya tak menentu. Ia melewati sebuah gang sempit yang sebenarnya tidak gelap saat malam, soalnya banyak lampu jalan di sana.

Tiba-tiba, ia melihat seorang anak laki-laki yang berjongkok di pinggir jalan. Melihat rupa anak itu, Serena spontan menghentikan mobilnya. Wanita paruh baya yang cantik itu turun dari mobil dengan cepat.

Serena menghampiri anak laki-laki itu, lalu langsung berjongkok di hadapannya.

"Kamu ngapain di sini, Nak?" tanya Serena dengan lembut; dia mengusap rambut anak itu. Anak itu mendongak demi menatap Serena. Ada air mata yang mengalir di pipi anak itu.

Ya Tuhan. Penglihatan Serena benar. Anak ini terlihat seperti Deon waktu kecil dahulu. Mata indahnya, hidung mancungnya, rambutnya... Hanya kontur wajah dan bibirnya saja yang berbeda. Serena menatap anak itu dengan tatapan sendu. Dia nyaris menitikkan air mata.

"Aku cari Mama… Tadi Mama sama aku..." kata anak itu sambil terisak-isak.

Sungguh terluka hati Serena mendengarnya. Apakah begini keadaan Deon dahulu ketika ia tinggalkan? Demi Tuhan, Serena bersedia dihukum seberat apa pun. Namun, saat ini…hal yang sangat Serena inginkan adalah putranya berada di dekatnya.

Serena menangis dan memeluk anak itu dengan erat. Seerat yang ia bayangkan jika dia diizinkan untuk memeluk Deon. "Sabar, ya, Nak... Mama kamu mungkin lagi nyariin kamu juga…"

Setelah itu, terdengar suara langkah kaki yang sedang berlari dengan tergesa-gesa. Serena langsung melepaskan pelukannya pada anak itu dan menoleh ke asal suara.

"Naufal! Oh, ya Tuhanku—ya Tuhan—syukurlah, kau tidak apa-apa," ujar orang itu yang sepertinya merupakan sang ibu. Serena tersenyum dan mulai menjauh. Ibu itu langsung memeluk anaknya dengan erat sembari menangis.

Melihat itu, Serena kembali dihantui oleh sesal yang mendalam. Andai waktu itu dia memeluk Deon seerat ini, mencari Deon, mengasuh Deon selayaknya anak-anak normal lainnya...

Serena mengusap air matanya dan dadanya terasa perih.

"Terima kasih, Mbak, karena udah jagain anak saya," ujar ibu-ibu berjaket tebal itu. Serena kontan menatapnya dan tersenyum manis.

"Iya. Jangan panggil saya ‘Mbak’, Bu... Saya juga udah punya seorang anak," ujar Serena.

Ibu itu tampak terkejut.

"Wah, Bu, tapi wajah Ibu keliatannya masih muda dan cantik banget," pujinya.

Serena hanya tersenyum dan melihat ibu itu dengan penuh pengertian. "Jaga anak Ibu, ya Bu?"

Ibu itu mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu."

Serena mengangguk, lalu berpamitan. Wanita itu langsung masuk ke mobilnya dan membunyikan klakson kepada pasangan ibu dan anak itu.

Ia akan melanjutkan perjalanannya untuk pergi ke rumah Darwin.

 

******

 

"Jadi? Untuk apa kau kemari," tanya Darwin—papanya Deon—singkat. Pria itu duduk di kasurnya seraya mengenakan piama yang sangat Serena kenali.

"Tolong kasih tau aku di mana apartemen Deon, Win..." ujar Serena sembari menangis. "Aku mau ketemu sama anakku."

Darwin menghela napas. Pria paruh baya itu memejamkan matanya jenuh.

Setelah itu, Darwin membuka matanya lagi dan menatap Serena dengan tajam. "Aku sudah mempertemukan kamu sama dia waktu itu, tapi kamu malah berakhir duduk dan nangis di sudut kamarku karena dia nggak nerima kamu!! Mau gimana lagi? Dia benci sama kamu dan aku sendiri nggak tahu gimana cara untuk nyembuhin dia dari semua kebencian itu, Serena."

Serena menunduk. "Aku tau, tapi…aku bakal terus berusaha. Dia kehilangan dirinya yang sebenarnya karena aku. Aku bener-bener…sayang sama dia, Darwin..."

Darwin mengepalkan tangannya.

"KALO KAMU SAYANG SAMA DIA, KAMU NGGAK BAKAL NGELAKUIN HAL YANG NGGAK BERMORAL ITU DI DEPAN DIA!!" teriak Darwin kencang. Dada Darwin mulai terasa sesak.

"AKU TAU!!" teriak Serena. Air mata mulai membasahi pipi Serena. "AKU TAU ITU!! BISA NGGAK KAMU LUPAIN AJA HAL YANG UDAH BERLALU ITU? KAMU SUNGGUH EGOIS!! DEON ITU JUGA ANAKKU!!"

"KAMULAH YANG EGOIS, SERENA!!" teriak Darwin. "GIMANA AKU BISA NGELUPAIN HAL YANG BELUM BENER-BENER KUKETAHUI ALASANNYA?! KAMU BELUM BILANG APA PUN SAMA AKU SOAL KEJADIAN ITU!! KAMU SELALU TUTUP MULUT DAN KABUR, ABIS ITU KAMU BALIK LAGI DAN PENGIN KETEMU DEON? DIA JUGA SAMA KAYAK AKU, SERENA, KAMI BENCI SAMA KAMU TANPA TAU APA YANG SEBENARNYA TERJADI DARI SISI KAMU!!"

"AKU NGELAKUIN ITU KARENA TERPAKSA!!!" teriak Serena.

Darwin terperanjat.

Jantung Darwin seolah berhenti berdetak.

"Ap—apa…maksud kamu?" tanya Darwin dengan terbata.

Serena menangis.

"AKU SELALU CINTA SAMA KAMU, DARWIN!!" teriak Serena, yang membuat Darwin membulatkan matanya. Serena sudah terlanjur mengatakan itu. Wanita itu lalu melanjutkan sembari menangis, "AKU NGELAKUIN ITU SUPAYA KAMU MERHATIIN AKU!! Kamu—kamu nggak pernah peduli sama aku. Kamu gila kerja dan jarang balik ke rumah. Kamu kayak nganggep aku nggak ada! Aku ngelakuin itu—BAHKAN AKU NGGAK NYANGKA KALO AKU SAMPE NGELAKUIN ITU KARENA TERLALU FRUSTRASI!! AKU JUGA JIJIK SAMA DIRI AKU SENDIRI!! Tapi semua itu emang salahku; aku mutusin semuanya dengan terlalu cepat dan dengan dipengaruhi emosi. Aku emang mentingin egoku waktu itu. Aku—aku hilang akal dan terpukul waktu Deon mergokin aku!! AKU BAHKAN NGGAK MAU KE LUAR RUMAH SEJAK KITA CERAI!! AKU MALU, TERPUKUL, DAN AKU JUGA SADAR, KALO SEMUANYA SALAHKU. TAPI KUMOHON…IZININ AKU BUAT MINTA MAAF SAMA DEON..."

Serena mengusap air matanya dan menggeleng. "Udahlah, aku bakal nyari tau sendiri. Maafin aku karena udah bilang semua ini ke kamu."

"Selamat malam, Darwin," ujar Serena seraya menatap Darwin. "Semoga kamu cepat sembuh."

Setelah itu, Serena keluar dari kamar Darwin begitu saja.

Tubuh Darwin bergetar. Dengan dada yang sesak serta mata yang berair, Darwin pun mencari sebuah kertas dan pena untuk menuliskan sesuatu di sana.

 

******

 

Deon sedang membantu Talitha menaruh bekas wadah choco cookies dan bekas gelas untuk minum sirup tadi ke wastafel. Saat Deon baru saja menaruh apa yang ia bawa ke wastafel, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Alis Talitha terangkat saat Deon mulai mencari ponsel di saku celana pria itu.

Deon mengernyitkan dahi saat melihat layar ponselnya. Namun, sedetik kemudian Deon mengangkat telepon itu.

"Halo," ujar Deon singkat.

"Tuan," sapa seorang pria dari seberang sana. Agaknya, itu adalah salah satu pelayan di rumah papanya Deon. Pelayan itu terdengar begitu panik. "Tuan Darwin masuk rumah sakit, Tuan..."

Mata Deon membeliak. []

 













******




WKWKWKWK KUNYUK









No comments:

Post a Comment

Hymen's Favorite Girl (Chapter 4: Noctuary)

  ****** Chapter 4 : Noctuary   ******   HYMEN berjalan memasuki kuilnya. Dia mendengkus. “Sudah lama tidak bertemu, tetapi kebias...