Chapter
2 :
Lucas
Anguiano
******
ADA
empat orang polisi yang datang ke vila milik Keluarga Saunders. Jam sudah
menunjukkan hampir pukul tiga pagi dan polisi sudah memulai penyelidikan
mereka. Dua orang polisi mulai membentangkan police line untuk
mengelilingi daerah kolam renang. Jenazah Bryant sudah diletakkan di pinggiran
kolam dan diselimuti dengan sebuah kain berwarna putih.
Tepat setelah Chris berteriak, semua
orang sontak terbangun dari tidur mereka, terutama orang-orang yang berasal
dari kamar yang sama dengan Chris. Chris tidak menutup kembali pintu kamar
mereka tatkala pria itu ke luar. Jadi, suara teriakan Chris benar-benar
terdengar oleh mereka semua yang ada di kamar itu.
Semua
orang yang mendengarkan teriakan histeris Chris itu lantas melompat dari tidur
mereka, panik, dan langsung berlari keluar dari kamar. Ada peserta-peserta yang
sempat membangunkan teman-temannya yang tidak terbangun—karena tidurnya seperti
tidur mati—lalu mereka semua akhirnya pergi dengan terburu-buru demi menghampiri
asal suara, yaitu dari arah kolam renang.
Begitu
mereka sampai di kolam renang dan melihat apa yang ada di sana, kontan mereka
semua terkejut setengah mati. Ada yang berteriak, ada yang terdiam kaku seraya
melebarkan mata, dan ada yang menatap mayat di permukaan kolam dengan wajah
yang pucat.
Pelatih
Andrew yang melihat keadaan itu jelas langsung panik. Dia berjongkok dan langsung
memegangi bahu Chris, lalu menanyakan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
“A—aku—aku
ingin ke dapur. Aku hanya ingin minum!” teriak Chris dengan suara yang bergetar
hebat. “Namun, aku melihat pintu kolam ini sedikit terbuka. Lampunya hidup.
Saat aku masuk ke dalam sini, Bryant—Bryant sudah mengambang di kolam!”
Mendengar
itu, Pelatih Andrew dan Dokter Gray sontak membulatkan mata. Dengan cepat
Dokter Gray langsung menenangkan Chris beserta semua peserta lain yang ada di
sana, sementara Pelatih Andrew langsung menelepon polisi dan kerabat
Bryant.
Polisi
langsung datang sekitar sepuluh menit kemudian; mereka langsung diarahkan ke
kolam renang. Para polisi itu lalu memerintahkan semua orang untuk tetap berada
di tempat. Tidak ada yang boleh pergi dari sana demi kepentingan penyelidikan.
Saat
ini semua peserta serta Dokter Gray dan Pelatih Andrew tengah berdiri di luar
pintu ruangan kolam. Mereka menunggu di koridor itu dengan gelisah karena tentunya
mereka masih panik bukan kepalang. Beberapa dari mereka terdiam dengan wajah
yang pucat.
Apa
yang sebenarnya sedang terjadi?
For
God’s sake, mereka baru saja sampai di vila ini dan
sudah ada kejadian seperti ini. Bryant, teman mereka, sudah meninggal karena
tenggelam di kolam renang! Mengingat bahwa Bryant adalah atlet renang,
tenggelam di kolam renang tentu adalah skenario yang mustahil. Namun, lihatlah
apa yang terjadi!
Setelah
menunggu selama beberapa waktu, tiba-tiba pintu ruangan kolam renang itu pun
terbuka. Keluarlah seorang polisi dari dalam sana, seorang polisi yang
tampaknya ditugaskan untuk memimpin penyelidikan ini. Semua orang yang melihat
polisi itu keluar dari ruangan pun langsung berkumpul, mereka semua berdiri
tegap dan menghampiri polisi tersebut. Menunggu apa yang akan polisi tersebut
katakan.
Pelatih
Andrew lantas mendekati polisi itu. Ia dapat melihat name tag di seragam
polisi itu dan dari sana dia tahu bahwa nama polisi tersebut adalah Mateo Benjamin.
“Bagaimana,
Pak?” tanya Pelatih Andrew dengan khawatir. Kedua matanya melebar. “Apa yang
sebenarnya terjadi?”
Mr.
Benjamin pun melihat ke arah Pelatih Andrew. Polisi yang bertubuh agak pendek
dan berkumis itu pun lantas berkata, “Apakah Anda pelatih mereka?”
“Yes—yes,
I am,” jawab Andrew cepat. Saat dia menelepon polisi tadi,
dia menjelaskan semua situasinya secara singkat dan mengatakan bahwa dirinya
bertugas sebagai pelatih dari semua peserta yang ada di sini. “Apa yang
terjadi, Pak?”
Mr.
Benjamin mengangguk. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menunjuk ke depan—ke
arah ruang tamu—lalu ia mengarahkan mereka semua untuk pergi ke sana. “Ayo kita
berbicara di sana. Semuanya tolong duduk di sana.”
“Yes,
Sir,” jawab Dokter Gray. Dokter itu pun mulai mengarahkan
seluruh peserta untuk berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana. “Let’s go,
all of you.”
Mr.
Benjamin yang baru saja mau berjalan mengikuti mereka, tiba-tiba dipanggil oleh
rekan sesama polisinya. Rekannya itu tampak sedang membisikkan sesuatu,
kemudian Mr. Benjamin mengangguk. Tatkala Mr. Benjamin kembali menghadap ke
depan, dia langsung melangkah menghampiri seseorang di depan sana yang sedang
mengenakan baju berwarna biru langit, yaitu Pelatih Andrew.
“Oh,
wait, Mr. Cervantez!” panggil Mr. Benjamin, dia sedikit berlari untuk menghampiri
Pelatih Andrew, lalu ia menepuk pundak pria itu. Pria itu—yang dia pikir adalah
Andrew—pun berbalik.
Namun,
ternyata itu bukanlah Pelatih Andrew. Itu adalah salah satu peserta turnamen
renang, Lucas Anguiano (tetapi Mr. Benjamin belum tahu siapa namanya). Mr.
Benjamin kontan terkejut, matanya sedikit melebar.
“Oh,
forgive me. Kupikir kau adalah Pelatih Andrew,” ujar Mr. Benjamin,
matanya masih sedikit membulat. “Silakan lanjut berjalan.”
“Aah,
mungkin karena kami memakai kaus dengan warna yang sama hari ini, Pak,” ujar Lucas
dengan ramah, tetapi wajah Lucas masih terlihat pucat. Mungkin karena masih shock
dengan kejadian ini. Well, itu sangat normal.
“No
no no.” Mr. Benjamin menggeleng. “Bukan hanya itu. Postur
tubuh kalian sama.”
Lucas
mengangguk perlahan, sedikit menganga. Matanya melebar. Dia tak menyadari hal
itu selama ini. “Ah…begitu, ya.”
“Ayo
ke sana, kalau begitu,” ajak Mr. Benjamin seraya menepuk punggung Lucas. “Aku
akan menjelaskan tentang apa yang sudah kulihat tadi.”
Lucas
pun mengangguk. Mereka berdua akhirnya berjalan bersama menuju ke ruang tamu
vila dengan Lucas yang berjalan di depan. Mr. Benjamin memperhatikan punggung
Lucas dari belakang seraya menyatukan alis. Matanya sedikit memicing; dia
melihat tubuh Lucas dengan saksama. Postur Lucas dan Andrew benar-benar
terlihat sama.
Ketika
sudah sampai di ruang tamu, Lucas pun ikut duduk di salah satu sofa panjang
yang ada di sana bersama seluruh peserta yang lain. Mereka semua sudah duduk
dan menunggu Mr. Benjamin dengan tatapan serius. Dahi mereka berkerut.
Tatkala
Mr. Benjamin sampai di sana, polisi tersebut langsung mengambil posisi duduk di
sofa yang berseberangan dengan mereka. Ia duduk, lalu menghela napasnya dan
menatap semua orang yang ada di sana satu per satu. Tatapannya seakan menelusuri
mereka semua, mulai dari barisan sofa kanan, lalu sofa tengah, dan akhirnya
ke sofa kiri. Semuanya diperhatikan oleh Mr. Benjamin tanpa tertinggal satu
orang pun; mereka semua seolah sedang diabsen oleh Mr. Benjamin dengan menggunakan
tatapan matanya.
Setelah
selesai memperhatikan mereka semua, Mr. Benjamin pun mulai bersuara, “Maaf, aku
ingin bertanya terlebih dahulu. Apakah di vila ini tidak ada CCTV?”
Keith,
selaku anak dari pemilik vila itu, menghela napas. “Sayangnya, tidak ada, Pak.
Keluargaku menganggap lingkungan di sini aman. Kami tidak meletakkan harta
apa-apa juga di dalam sini. Jadi, kami tidak memasang CCTV di sini.”
Mr.
Benjamin diam, kepalanya sedikit tertunduk. Dia juga jadi menghela napas; dia
menyatukan alisnya, berpikir dengan intens. Kalau tidak ada CCTV, dia tidak
bisa memastikan kebenaran dari kesaksian orang-orang yang ada di sini.
Akan
tetapi, meskipun sempat terdiam sejenak, Mr. Benjamin tetap melanjutkan
pembicaraan. Pria paruh baya itu mengangkat kepalanya kembali; dia lagi-lagi memperhatikan
satu per satu orang yang ada di depannya, lalu mulai berbicara, “Jadi, kalian
semua adalah atlet renang?”
Semua
peserta yang ada di sana pun mengangguk. Russel yang dahinya masih berkerut pun
mulai menjawab, “Ya. Kami semua adalah atlet renang. Kami akan mengikuti
turnamen nasional sebentar lagi, mewakili Sonoma.”
Mr.
Benjamin pun mengangguk, tetapi dalam tempo yang lambat. Dia mencoba untuk mencerna
segala situasinya, tetapi dia melakukan itu seraya melihat ke arah Russel
dengan tatapan penuh selidik.
“Lantas
apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Mr. Benjamin, pria itu menaikkan
sebelah alisnya. “Bukankah seharusnya kalian ada di Sonoma?”
Mendengar
itu, Pelatih Andrew pun langsung menjelaskan, “Begini, Pak. Latihan resmi akan
diadakan pada tanggal 1 April nanti. Sementara itu, sebelum tanggal 1 April
tiba, para peserta diarahkan untuk berlatih secara mandiri dan menjaga
kesehatan. Namun, sebagian dari peserta tim putra, yaitu mereka-mereka ini,
memiliki sebuah ide. Ketimbang berlatih sendiri-sendiri, mereka yang sudah
akrab ini memilih untuk berlatih bersama-sama di sini sekaligus refreshing.”
Mr.
Benjamin kembali manggut-manggut. Ia memegangi dagunya seraya memperhatikan
mereka semua sekali lagi.
“Well,
inisiatif
kalian untuk berlatih bersama-sama di luar Sonoma ini telah berhasil
merenggut satu nyawa,” ujar Mr. Benjamin, sukses membuat semua orang yang ada
di sana kontan merasa seolah tertampar. Beberapa dari mereka mulai tertunduk
dan berpikir keras, menyatukan alis mereka karena menyesali apa yang sudah
terjadi. Walaupun begitu, sebetulnya kejadian ini benar-benar di luar rencana
mereka. Di luar kendali mereka. Kejadian ini adalah kejadian yang tidak mereka
sangka-sangka.
Mereka
semua terdiam. Tengah berpikir di dalam kepala mereka masing-masing. Suasananya
benar-benar keruh.
“Kami
menemukan beberapa botol alkohol di pinggir kolam,” ujar Mr. Benjamin
tiba-tiba, memecah keheningan mereka. Semua orang yang ada di sana langsung
kembali melihat ke arah Mr. Benjamin.
Ya.
Pelatih
Andrew dan yang lainnya juga memang sempat melihat ada beberapa botol alkohol
di pinggir kolam pada saat mereka menemukan mayat Bryant dan menunggu polisi
datang. Namun, tidak ada yang berani menyentuh apa pun yang ada di TKP, apalagi
Dokter Gray juga bersikeras menyuruh mereka untuk tetap diam di tempat. Biarkan
polisi yang menyelidiki semuanya.
“Kalian
adalah atlet yang mau latihan, tetapi kalian membawa alkohol?” tanya Mr.
Benjamin, matanya menatap semua peserta dengan tatapan penuh selidik.
Mendengar
pertanyaan itu, semua peserta langsung menoleh ke arah Castro. Mereka semua
tahu jelas bahwa Castrolah yang membawa alkohol ke vila ini. Castro yang merasa
bahwa seluruh pasang mata telah menatap dirinya pun lantas mendengkus. Dia
langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, lalu mengangkat tangannya.
Sial, ini kacau sekali. “Aku yang membawa alkohol-alkohol itu ke sini, Pak.”
Mendengar
pengakuan dari Castro, Pelatih Andrew sontak menganga. Pria itu menggeleng,
lalu memijit kepalanya sendiri. Dia benar-benar telah lengah. Seharusnya dia
juga memeriksa barang-barang bawaan para peserta ini. Riwayatnya benar-benar
telah tamat.
Dokter
Gray juga menghela napas, dia betul-betul tak habis pikir. Bisa-bisanya
kejadian ini terjadi, padahal mereka semua datang ke sini dengan niat yang
baik.
“Apakah
kau yang memberikannya kepada Bryant?” tanya Mr. Benjamin, matanya menatap
Castro lurus-lurus. Castro sontak membelalakkan matanya dan menggeleng. “No!
Tadi malam, aku memang menawari mereka semua untuk minum ketika kami
mengobrol di kolam renang. Botol-botol alkohol itu ada di dalam koperku. Akan
tetapi, karena kebanyakan dari mereka langsung menentangku, aku akhirnya tidak
jadi mengeluarkan alkoholku. Tidak ada satu pun dari kami yang minum. Aku
sendiri tidak tahu bagaimana ceritanya botol-botol alkohol yang kubawa tersebut
bisa ada di pinggir kolam renang itu!!”
Mr.
Benjamin pun menyatukan alisnya. “Jadi, maksudmu…ada orang yang mengambil botol-botol
alkohol itu dari dalam kopermu?”
Castro
mengangguk. “Kupikir begitu. Aku tidak pernah mengeluarkan botol-botol itu.
Atau mungkin Bryant sendirilah yang mengeluarkan botol-botol itu. Kami tidur di
dalam satu kamar yang sama, mudah saja baginya untuk membuka koperku. Terlebih
lagi, dia memang kelihatan tertarik tatkala kutawari untuk minum alkohol di
kolam renang.”
Mr.
Benjamin dan banyak peserta yang ada di sana pun terlihat mengangguk. Setelah
itu, Mr. Benjamin mulai melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap ke
arah Chris. “Anda yang menemukan Bryant pertama kali, ‘kan? Mr.—”
“Chris.
Namaku Chris,” potong Chris. Memang, tatkala polisi baru datang tadi,
Pelatih Andrew kembali menjelaskan kronologinya kepada polisi secara singkat.
“Benar, aku yang menemukan tubuh Bryant pertama kali.”
“Baik,
Mr. Chris,” ujar Mr. Benjamin. “Bisa tolong ceritakan kejadiannya padaku dengan
lebih rinci?”
Chris
mengangguk. Ia pun mulai menjelaskan, “Aku terbangun dari tidurku karena haus,
tepatnya jam 2.30 AM. Aku lantas pergi ke dapur dan perjalanan untuk menuju ke
dapur harus melewati ruangan kolam renang terlebih dahulu, you see.”
Chris
menunjuk ruangan kolam renang itu dengan dagunya.
Mereka
semua, termasuk Mr. Benjamin, lantas jadi menoleh ke belakang sana dan
memperhatikan susunan ruangan di daerah sayap kiri lantai satu vila itu. Mr.
Benjamin memperhatikan ruangan-ruangan itu dengan fokus, lalu ia mengangguk.
Setelah itu, ia kembali menoleh ke arah Chris.
Chris
pun kembali bersuara.
“Jadi,
sebelum aku berhasil sampai ke dapur, aku melihat pintu indoor pool itu
terbuka sedikit. Itu agak aneh, menurutku, karena aku ingat bahwa Keith sudah
mematikan lampu dan menutup pintu ruangan itu saat kami semua keluar dari
sana,” jelas Chris. Chris kini mulai sedikit tertunduk, dia menggelengkan
kepalanya dan terlihat frustrasi. “Lampu ruangan itu juga hidup sepenuhnya.
Jadi, itu membuatku heran. Aku pun masuk ke dalam sana dan aku—aku menemukan
Bryant sudah…sudah mengambang di permukaan kolam. Awalnya, kupikir itu adalah
baju yang mengambang karena aku masih mengantuk, tetapi setelah
kudekati…ternyata itu adalah tubuh seseorang. Tubuh Bryant.”
“Apakah
kau melihat seseorang di sekitar sana?” tanya Mr. Benjamin.
Chris
menggeleng. “Tidak. Tidak ada seorang pun yang ada di dalam sana selain aku.
Teman-teman sekamarku juga sedang tidur.”
Mr.
Benjamin mengangguk. Setelah itu, Mr. Benjamin mulai memperhatikan semua orang
yang ada di sana lagi, kecuali Chris. “Apakah ada yang belum tidur pada saat
itu?”
Beberapa
dari peserta mulai menjawab.
“No.”
“Tidak.
Aku tidur.”
“Tidak.”
“Aku
juga sedang tidur. Aku terbangun saat mendengar teriakan Chris.”
“Aku
justru terbangun karena dibangunkan oleh Kane.”
“Iya,
kita semua kaget saat itu, ‘kan?”
Mr.
Benjamin memperhatikan mereka dan mendapati bahwa mereka semua menjawab
‘tidak’. Ada juga yang ujung-ujungnya jadi membahas kejadian itu dengan orang
yang sedang duduk di sampingnya. Intinya, mereka semua memang benar-benar sedang
tidur dan tidak akan terbangun apabila bukan karena suara teriakan Chris.
“Alright,
guys, enough,” ujar Pelatih Andrew yang kontan membuat
mereka semua kembali terdiam. Semua orang kini beralih menatap Mr. Benjamin
kembali.
“Baiklah,”
ujar Mr. Benjamin. Dia pun mengangguk pelan, lalu menatap mereka semua satu per
satu. “Aku benar-benar butuh kesaksian dari kalian karena ternyata vila sebesar
ini tidak memiliki CCTV sama sekali. Hasil penyelidikan dari kejadian ini akan
kami umumkan segera. Kami akan membawa jenazah Bryant ke rumah sakit terlebih
dahulu.”
Ketika
Mr. Benjamin mulai berdiri, semua orang yang ada di ruangan itu pun ikut
berdiri. Mereka merunduk hormat pada Mr. Benjamin, lalu Mr. Benjamin mulai
berbalik untuk meninggalkan ruang tamu itu dan masuk kembali ke ruangan kolam
renang.
******
Hari
ini langit sedang mendung. Cuacanya cukup berangin; anginnya tidak terlalu
kencang. Pada hari ini, pemakaman Bryant Thompson dilaksanakan. Pemakaman itu
dilaksanakan di Sonoma, tepatnya di area pemakaman yang tidak jauh dari rumah
Keluarga Thompson.
Banyak
sekali orang-orang yang hadir pada hari ini dan kebanyakan dari mereka adalah
para atlet renang dari Tim Sonoma. Mereka semua berdiri di sekeliling makam Bryant
yang sedang didoakan. Ibunya Bryant menangis di depan mereka; wanita paruh baya
itu menangis seraya terduduk tepat di samping makam Bryant. Keluarga Bryant
yang lain juga tampak menangis, mereka berdiri seraya mengusap air mata mereka
sendiri.
Sebelas
orang yang pergi ke vila milik Keluarga Saunders bersama Bryant juga mengikuti
prosesi pemakaman tersebut. Sama seperti orang-orang lain, mereka juga memakai
pakaian yang serba hitam dan memperhatikan ibunya Bryant yang tengah menangis
di depan sana. Beberapa dari mereka terlihat mengerutkan dahi karena masih
merasa bahwa kejadian ini betul-betul tak bisa diduga, sementara beberapa yang
lainnya tampak menatap ibunya Bryant dengan simpati. Namun, satu hal yang
menyamakan mereka semua adalah mereka merasa bersalah dan tidak enak dengan
Keluarga Thompson akibat kejadian ini. Sejak kematian Bryant, banyak sekali
ucapan belasungkawa dari orang-orang yang ada di dalam group chat Tim
Sonoma. Group chat yang mereka ikuti, posting-an di sosial media
para perenang, semuanya diramaikan dengan berita kematian Bryant. Banyak juga
ucapan-ucapan dari asosiasi renang California. Namun, info yang terakhir kali
mereka dapatkan adalah katanya, posisi Bryant akan digantikan dengan
anggota tim yang sudah tersedia. Bryant kebetulan hanya mengikuti satu nomor
pertandingan. Jadi, ada seorang anggota tim yang akan merangkap nomor
pertandingan tersebut.
Waktu
itu, tatkala Bryant sudah dibawa ke rumah sakit, kedua orangtua Bryant datang
ke rumah sakit tersebut dan ibunya langsung menangis histeris. Waktu itu, yang
ikut ke rumah sakit hanyalah Pelatih Andrew dan Dokter Gray. Mr. Benjamin
beserta Pelatih Andrew pun menjelaskan kejadiannya kepada kedua orangtua
Bryant. Kedua orangtua Bryant sempat marah-marah dan berencana untuk menuntut
Pelatih Andrew beserta semua peserta yang terlibat untuk kejadian ini, tetapi
Pelatih Andrew dan Dokter Gray betul-betul meminta maaf kepada mereka.
Sejujurnya, Pelatih Andrew dan Dokter Gray pun tahu bahwa kelalaian mereka ini—di
mana mereka tidak tahu bahwa Castro ternyata membawa alkohol—bisa menyebabkan
mereka masuk penjara, tetapi mereka benar-benar harus menyelidiki semuanya
terlebih dahulu. Kalau saja mereka bisa menyelesaikan ini semua dengan cara
kekeluargaan, maka mereka semua akan sangat berterima kasih. Soalnya, memang tidak
ada satu orang pun yang minum alkohol pada saat itu, bahkan Castro sendiri pun
tak mengeluarkan alkohol itu dari dalam kopernya. Jadi, sepertinya Bryant
sendirilah yang mengambil alkohol itu.
Namun,
tetap saja ini terhitung sebagai sebuah kelalaian.
Setelah
menjelaskan kronologinya, Mr. Benjamin pun meminta izin kepada kedua orangtua
Bryant agar mereka bisa melakukan autopsi pada jenazah Bryant. Kedua orangtua
Bryant pun setuju.
Hasil
dari autopsi tersebut adalah tidak ada tanda-tanda percobaan pembunuhan. Tidak
ada kejanggalan. Bryant tenggelam karena terlalu mabuk tatkala berenang.
Alhasil, kematian Bryant pun ditetapkan sebagai kecelakaan. Meski pada awalnya
kedua orangtua Bryant tidak terima, lama kelamaan mereka mulai mengerti. Pada
akhirnya, mereka tahu bahwa kematian Bryant adalah ulah Bryant sendiri. Maka
dari itu, semuanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Tidak ada yang
dituntut dalam kejadian ini.
Sepulang
dari acara pemakaman Bryant, semua orang pulang naik mobil ke rumah mereka masing-masing,
kecuali kesebelas orang yang barang-barangnya masih ada di vila milik Keluarga
Saunders. Mereka ada di dalam tiga mobil yang berbeda, mobil yang sama yang
mereka gunakan untuk pergi ke vila Keluarga Saunders waktu itu. Tiga mobil
tersebut berjalan beriringan untuk kembali ke Healdsburg, tempat di mana vila
Keluarga Saunders berada.
“Setelah
sampai di vila, kita harus segera membereskan barang-barang kita dan pulang,”
ujar Russel dengan tegas, dia tampak menyatukan alisnya. Ekspresi wajahnya
benar-benar terlihat serius seakan-akan dia tak mau mendengar penolakan sama
sekali. Dia terlihat marah, kesal, tak menyangka, tak habis pikir, atau sesuatu
sejenis itu. Dia membuat orang-orang yang semobil dengannya jadi merasa tegang.
“Iya,
aku juga ingin pulang,” ujar Castro yang kebetulan saat itu semobil dengan
Russel. “Mana mungkin kita bisa fokus kalau kita latihan di kolam renang itu.”
Thomas, yang juga satu mobil dengan mereka,
lantas berkata, “Hei, sabar dulu. Kita tunggu dulu hingga kita sampai di vila.
Aku yakin di sana teman-teman yang lain beserta Pelatih Andrew akan berbicara
dan memutuskan sesuatu,” ujar Thomas. Setelah itu, Thomas menghela napas dan
melanjutkan, “Tenang dulu, Russ, kau sedang mengemudi.”
Russel
pun mendengkus. “Ya kau pikir saja, Thomas, apakah kau sanggup berenang di
kolam renang itu lagi? Jelas-jelas Bryant mengambang di sana!”
“Hey,
can you just calm the fuck down?” ujar Kane tiba-tiba.
“Bukan hanya kau saja yang terbebani karena kejadian ini.”
“Huh?!
What did you just say, you motherfucker?!” teriak Russel
balik, dia jadi marah bukan main tatkala mendengar ucapan Kane. Melihat kedua
orang tersebut justru jadi bertengkar, Thomas pun lantas meninggikan suaranya.
“Mengapa kalian jadi bertengkar?! Kita sedang berduka!! Diamlah!”
Castro
yang tadinya mengeluh pun, kini jadi menghela napas. “Sudah, sudah. Russ,
fokuslah mengemudi. Jangan sampai kita kecelakaan di jalan dan mati semua di dalam
mobil ini, menyusul Bryant.”
Akhirnya,
Russel dan Kane pun mendengkus. Menahan amarah mereka masing-masing. Mereka
jadi sama-sama diam di sepanjang perjalanan mereka menuju ke vila.
******
Sembilan
peserta yang ada di dalam vila itu tengah duduk di ruang tamu bersama dengan
Pelatih Andrew dan Dokter Gray. Lama mereka duduk terdiam di sana tanpa
mengatakan apa-apa. Semuanya sibuk dengan isi kepala mereka masing-masing.
Pikiran mereka kalut sampai-sampai mereka semua tidak tahu harus berbicara apa
atau harus mulai dari mana.
Russel
yang tadi marah-marah di dalam mobil pun kini tampak hanya duduk diam,
tertunduk dengan wajah kesalnya. Alisnya menyatu dan kedua tangannya terkepal.
“Jadi,” buka
Dokter Gray, dokter itu tiba-tiba bersuara. Suara Dokter Gray kontan memecah
keheningan tersebut dan semua orang refleks menoleh ke arahnya. “bagaimana?
Apakah kita masih mau lanjut berlatih di sini?”
Chris,
orang yang melihat mayat Bryant pertama kali, lantas menjawab, “Aku tidak
yakin, Dok. Mungkin…sama sepertiku, teman-teman yang ada di sini juga akan
kepikiran soal mayat Bryant ketika berenang di kolam renang itu.”
Ibarra
dan Lucas mengangguk.
Castro
pun akhirnya ikut bersuara, “Lagi pula, diskusi ini…bukankah tidak penting?
Sudah jelas kita harus menghentikan latihan bersama ini, bukan?”
“Iya,
itu harusnya normal untuk dilakukan karena ada kejadian seperti ini,” ujar
Russel. “I can’t see why we must discuss something so obvious like this. We
should definitely go back today.”
Dokter
Gray mengangguk. “Sebagai dokter, aku juga berbicara dengan para dokter di
rumah sakit waktu itu. Akhirnya, aku juga yakin bahwa itu adalah kecelakaan.
Tidak seharusnya kau membawa alkohol kemari, Castro.”
Semua
orang lantas menoleh ke arah Castro. Benar juga, ini semua tidak akan terjadi
kalau Castro tidak membawa alkohol.
Castro
pun tertunduk. Dahinya berkerut. Kali ini dia memang bersalah meskipun
tidak secara langsung.
Keith
tampak menghela napas.
“Jadi,
bagaimana keputusannya?” tanya Keith. “Aku tidak masalah kalau kalian mau
pulang hari ini. Akan tetapi, apa kalian yakin bisa mendapatkan hasil yang maksimal
dengan latihan sendiri-sendiri? Kita mengadakan latihan bersama ini karena
merasa bahwa cara ini lebih efektif, bukan?”
Sontak
semua orang jadi terdiam.
Iya,
itu benar.
Pelatih
Andrew pun akhirnya berbicara, “Apakah kau sudah mengganti air kolam renang
itu, Keith?”
“Sudah,”
jawab Keith. Dia bernapas samar dan mengangguk. “Semuanya sudah dibersihkan
sejak kolam itu tidak menjadi lokasi penyelidikan lagi. Bahkan benda-benda yang
seharusnya tak tersentuh pun sudah diganti oleh keluargaku tadi pagi. Untuk
kolam renang, semuanya sudah aman dan sudah bersih. Akan tetapi, pastinya
ingatan kalian belum bersih dari kejadian itu.”
Semua
orang pun terlihat menunduk, tengah berpikir matang-matang. Sebetulnya, pulang
ke rumah masing-masing adalah pilihan yang paling logis. Paling normal.
Akan
tetapi, di sisi lain…mereka adalah atlet-atlet ambisius yang sedang sangat membutuhkan
latihan maksimal demi mengikuti turnamen nasional. Mereka sudah terpilih untuk
mewakili Sonoma di turnamen nasional dan ini adalah lompatan yang sangat tinggi
untuk karir mereka sebagai perenang ke depannya.
Jelas
hati kecil mereka semua masih ingin berlatih bersama agar bisa mendapat hasil
yang lebih maksimal, terutama setelah mendengar bahwa segala benda yang ada di
kolam renang itu sudah diganti serta kolam renangnya juga sudah dibersihkan.
Lagi pula, kejadian kali ini ditetapkan murni karena kecelakaan. Itu adalah
nahas. Bryant tidak akan tenggelam kalau dia tidak minum alkohol. Tidak ada
faktor eksternal lainnya selain karena kesalahan Bryant sendiri.
Hati
mereka jelas mulai goyah.
“Begini
saja,” ucap Pelatih Andrew kemudian. “Semuanya terserah kalian. Kalau mau
pulang, ayo kita pulang sekarang. Bersiap-siaplah sekarang juga. Namun, kalau
tetap mau melanjutkan latihan bersama di sini, maka aku akan memeriksa
barang-barang bawaan kalian. Tidak ada yang boleh membawa benda yang aneh-aneh.
Lanjutkan latihan ini dengan tertib. Lakukan dengan aman dan terkendali.”
Semua
orang masih diam. Mereka semua tengah berpikir.
“Aku
masih ingin berlatih di sini,” ujar Austin tiba-tiba setelah mereka lama
terdiam. Hal ini membuat semua orang lantas menoleh ke arahnya. Russel kontan
menganga. “Austin, you—”
“Russ,
apa renang gaya dadamu sudah benar-benar oke? Kau harus mempercepat waktumu,”
potong Austin. Sindiran dari Austin jelas membuat Russel merasa kesal bukan
main. Namun, dia tak memungkiri bahwa kata-kata dari Austin itu benar. Jadi,
karena tidak mampu menangkis ucapan Austin (walau sebetulnya kesal), Russel pun
mengeluarkan napasnya melalui mulut dengan dongkol, sampai mengeluarkan suara,
“Hah!”, lalu pria itu mengalihkan pandangannya dari Austin dan alisnya menyatu
kembali. Kedua tangannya semakin terkepal.
“Kita
tidak punya banyak waktu, Russ, Cas, Chris. Aku tahu semua orang di sini pasti
trauma karena kejadian kemarin, tetapi latihan ini penting bagiku. Lagi pula, aku
sering main ke vila ini bersama Keith dan aku percaya pada Keith. Periksa saja
barang-barang bawaanku, Coach,” ujar Austin, lalu ia menoleh ke arah
Pelatih Andrew.
Beberapa
dari peserta yang ada di sana langsung menatap Austin seraya melebarkan mata.
Mulut mereka terbuka; mereka agak kaget dengan keputusan Austin yang terbilang
sangat cepat.
“Kau
yakin, Austin?” tanya Dokter Gray.
“Iya,
aku yakin, Dok.” Austin mengangguk. “Selagi tidak ada yang bertingkah, tidak
akan ada hal buruk yang terjadi. Yang kemarin itu…anggaplah itu sudah menjadi
takdirnya. Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Mendengar
kata-kata dari Austin itu…pelan-pelan mereka semua mulai mengangguk, kecuali
Russel. Namun, jauh di dalam hatinya, Russel juga tahu bahwa memang tidak ada
yang dapat mereka lakukan. Semuanya sudah terjadi dan itu adalah kecelakaan.
Apalagi, Russel juga mengakui bahwa dia memang mesti banyak latihan untuk mempercepat
waktu renangnya. Daripada bolak-balik latihan renang di klub renang, tinggal di
vila dengan kolam renang pribadi seperti ini sebenarnya adalah ide yang
brilian. Lebih efisien. Dia bisa bolak-balik sepanjang waktu, apalagi kolam
renangnya juga dibuat mirip seperti kolam renang yang ada di klub renang. Namun,
memutuskan untuk tetap berenang di sana setelah ada kejadian seperti ini…apakah
itu merupakan keputusan yang bagus? Lupakan soal bagus, apakah itu
bahkan terdengar normal?
Russel
melihat ke arah Castro, Chris, Kane, dan juga peserta-peserta lainnya. Mereka
semua tampak tertunduk. Berpikir.
Russel
memalingkan wajahnya lagi dan mendengkus.
Ah,
ya sudahlah.
Russel
menunggu saja apa kepastiannya. Kalau memang teman-temannya lebih dominan
merasa tidak terganggu untuk lanjut latihan di sini, berarti Russel juga harus
berusaha untuk melupakan kejadian kemarin dan tetap latihan di kolam renang
itu.
Akhirnya,
Ibarra yang sedari tadi hanya diam pun mulai berbicara, “Aku…benar-benar
berduka untuk Bryant. Meskipun kepribadiannya tidak cocok denganku, tetapi aku
benar-benar berduka untuknya. Namun, aku…memang butuh untuk berlatih bersama
kalian. Aku tidak bisa maksimal jika berlatih sendirian.”
Lucas
yang duduk di samping Ibarra pun mulai menepuk pundak pemuda itu, mencoba untuk
menenangkannya. Semua orang yang mendengarkan pengakuan itu pun sebenarnya
mengerti dengan situasi Ibarra. Ibarra adalah pemuda yang tidak terlalu pandai
bersosialisasi. Dia pendiam dan bersikap seperti tentara ‘kaku’ yang hanya
mengikuti perintah dan tidak memiliki emosi. Semuanya template. Melihat
dia berusaha untuk menempatkan dirinya di tengah-tengah mereka semua agar bisa
ikut latihan bersama saja sudah merupakan usaha yang luar biasa untuk ukuran
manusia yang kurang bersosialisasi sepertinya. Meskipun Ibarra adalah orang
yang kurang bersosialisasi, mereka semua tahu bahwa Ibarra adalah jenis manusia
yang mudah simpatik dengan orang lain, sama seperti Lucas.
Jadi,
kejadian yang menimpa Bryant sudah pasti membekas di benak Ibarra. Akan tetapi,
tidak bisa dipungkiri lagi bahwa latihan ini juga penting bagi pemuda itu.
Kata-kata
dari Ibarra tersebut jadi semakin menggerakkan hati para peserta yang tadinya
langsung ingin pulang. Mereka yang sudah goyah, kini jadi semakin goyah karena
ucapan Ibarra. Benar juga. Ibarra yang orangnya simpatik dan lembut saja bisa
menerima semuanya dan lanjut berlatih, bagaimana dengan mereka?
Berarti
mereka juga harus berusaha untuk move on dan lanjut berlatih.
Turnamen
ini penting. Karir mereka bisa melejit apabila mereka menang.
Akhirnya,
Kane yang sedari tadi hanya diam pun mulai membuka suara.
“Well,
then,” ujar Kane. Pria itu pun menegapkan posisi duduknya dan
mengedikkan bahu, lalu menatap semua teman-temannya. “Sepertinya…jauh di dalam
hati, kita semua sudah mulai memikirkan hal yang sama, bukan? Yaitu mau lanjut
latihan di sini.”
Secara
perlahan-lahan, semua peserta yang ada di sana pun…satu per satu mulai
mengangguk.
Kane
pun tersenyum dan mengangguk. Mulai berusaha untuk menyemangati orang-orang yang
ada di sana beserta dirinya sendiri seraya berkata, “Baiklah. Ayo kita hentikan
pembicaraan yang membuat depresi ini dan mulai beristirahat. Kita tenangkan
diri kita dulu, lalu mulai latihan.”
“Aku
akan mulai memeriksa barang-barang bawaan kalian,” ujar Pelatih Andrew. Sang
Pelatih itu lantas menoleh ke arah Dokter Gray. “Tolong bantu aku, ya, Dok.”
Dokter
Gray pun mengangguk dan tersenyum. “Sure.”
Setelah
itu, mereka akhirnya mulai berbincang-bincang santai, menghilangkan suasana sedih
dan kalut yang sedari tadi menyelimuti mereka. Namun, tiba-tiba Lucas mulai
berdiri dan berkata, “Aku permisi ke toilet dulu, ya.”
Mereka
semua mengangguk. Thomas mengacungkan jempolnya pada Lucas. “Oke, Bung.”
Setelah
Lucas pergi, mereka semua kembali mengobrol santai. Memang tidak langsung menghidupkan
suasana—tidak ada tawa—tetapi setidaknya mereka bisa menjadi lebih rileks dan
tenang. Setidaknya beban di kepala mereka dan tekanan di hati mereka bisa sedikit
menjadi lebih ringan.
Tidak
lama setelah itu, mereka semua pun sepakat untuk kembali ke kamar
masing-masing. Mereka memutuskan untuk istirahat dan menenangkan diri mereka
terlebih dahulu hari ini, hitung-hitung sambil menguatkan diri karena mereka
akan mulai latihan kembali besok pagi.
Ibarra,
Thomas, dan Chris tengah berjalan bersama menuju ke kamar mereka. Tatkala baru
saja membuka pintu kamar, Ibarra yang melihat bahwa di kamar mereka tidak ada
Lucas pun mulai berbicara, “Lho, ke mana Lucas?”
Chris
mengedikkan bahu. “Entah, ya. Tadi dia ke toilet, ‘kan?”
Mereka
semua melihat ke sekeliling kamar, tetapi di sana memang tidak ada Lucas. Pintu
kamar mandi yang ada di dalam kamar itu juga terbuka sedikit, menandakan bahwa
Lucas kemungkinan tidak ada di dalam sana.
“Mungkin
dia sedang ada di tempat lain. Tunggu saja, nanti dia pasti akan ke sini,” ujar
Thomas. Chris pun menutup pintu kamar dan Ibarra mengangguk. Chris dan Ibarra
pun berjalan menuju ranjang mereka dan duduk di sana, mulai memainkan HP mereka
masing-masing.
Namun,
berbeda dengan mereka berdua, Thomas justru berjalan menuju kamar mandi seraya
berkata, “Aku mau buang air kecil dulu, ah.”
“Hmm.”
Chris berdeham singkat untuk merespons Thomas, nadanya terdengar agak malas.
Thomas
pun melangkah ke kamar mandi itu. Ketika sudah sampai di depan kamar mandi itu,
Thomas lantas membuka pintunya dan berencana untuk masuk. Namun, tatkala Thomas
baru saja ingin melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar mandi itu, mata
Thomas menangkap sesuatu.
Tepat
di depan matanya.
Di
sana, di dalam kamar mandi itu, tepat di depan mata Thomas, ia melihat ada sebuah
tubuh yang tergantung.
Jantung
Thomas mendadak terasa begitu sakit bagaikan tertusuk lembing yang begitu tajam.
Lembing itu menohok jantungnya, membuat organ itu berhenti berdegup. Dada
Thomas terasa sesak, napasnya pun tertahan seolah-olah paru-parunya mendadak berhenti
berfungsi. Kedua mata Thomas membelalak penuh, wajahnya pucat, dan mulutnya
menganga.
“Thomas,
ada apa??!”
“Hei!”
Suara-suara
dari teman-teman sekamarnya itu kini terdengar bagai dengungan semata di
telinga Thomas. Thomas bagaikan mendengar suara mereka dari dalam air. Suara
itu seolah tenggelam begitu saja karena kacaunya otak Thomas saat ini.
Dengan
tubuh yang bergetar, Thomas pun perlahan-lahan mengangkat kepalanya ke atas.
Pelan-pelan ia menelusuri tubuh itu dengan kedua matanya. Sebenarnya, jauh di
dalam hatinya, ia punya feeling. Ia punya firasat. Ia seperti sudah
tahu siapa pemilik tubuh itu hanya dengan melihat pakaiannya. Namun, otaknya
menolak untuk memercayai instingnya. Otaknya terus menolak untuk menerima
kenyataan. Otaknya masih berusaha untuk memungkiri segalanya. Jadi, ia masih kukuh
untuk meneruskan gerakan mata dan kepalanya itu agar bisa melihat sampai ke
atas, sampai ke wajah dari pemilik tubuh itu.
Namun,
tatkala Thomas sudah benar-benar melihat bagian wajahnya, dia sontak terjatuh
ke lantai. Thomas lagi-lagi mendengar teman-temannya sibuk memanggilnya dan
kali ini agaknya teman-temannya langsung berlari ke arahnya.
Akan
tetapi, satu detik kemudian, teman-temannya pun berteriak kencang.
Pada
akhirnya, seluruh instingnya yang merupakan mimpi terburuk itu ternyata benar
adanya.
…sebab
ketika ia melihat ke atas untuk memastikan siapa pemilik tubuh yang sedang
tergantung itu, ia melihat wajah Lucas. []
******
No comments:
Post a Comment