Chapter
1 :
Butterfly
in the Dark
******
HARIN
menghela
napasnya dengan berat. Malam ini tubuhnya terasa lelah sekali; punggungnya
terasa amat pegal akibat terlalu lama membaca di perpustakaan kampus. Menghabiskan
waktu hingga malam hari di perpustakaan kampus demi menyelesaikan tugas
ternyata adalah ide yang buruk. Saking lelahnya, rasa lapar akibat belum makan
malam pun tidak lagi Harin rasakan, yang tersisa hanyalah rasa lelah.
Harin
mengerang tatkala ia memijit leher bagian belakangnya seraya memiringkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lehernya terasa sakit juga; ia berasa seolah-olah
sedang membawa beban seberat dua karung beras di punggung hingga ke bagian lehernya.
Kakinya pun jadi lemah—rasanya enggan sekali dibawa berjalan jauh malam-malam begini—tetapi
dia harus pulang. Dia ingin cepat-cepat sampai di apartemen, mandi, lalu
langsung membanting tubuhnya ke kasur. Ah, itu terdengar sangat menggoda
sebab seluruh tulangnya serasa remuk malam ini. Jalanan di lorong yang sedang
ia lalui itu pun gelap, sepi, dan sialnya lampu jalan yang ada di depan
apartemennya itu juga sudah rusak sejak satu minggu yang lalu.
Untungnya, hampir tidak pernah ada kejahatan di sekitar sana. Mudah-mudahan rekor itu
bertahan sampai dengan hari ini, setidaknya, soalnya Harin betul-betul
tidak ada tenaga lagi untuk berlari demi menghindari penjahat. Apartemennya ada
di depan sana, sekitar dua puluh langkah lagi. Mengapa dua puluh langkah terasa
seperti jauh sekali?
Ah,
Harin lupa. Dia juga sedang ada masalah hari ini. Masalah yang membuat
rasa lelahnya bertambah menjadi dua kali lipat.
Dengan
berjalan seraya terus menghela napas lelah, Harin pun akhirnya hampir sampai di
depan apartemennya. Ia sudah bisa melihat pagar putih apartemennya dari tempat
ia berdiri sekarang. Apartemennya itu bukanlah jenis apartemen yang di daerah terasnya
terdapat begitu banyak lampu. Lampunya seadanya, hanya menerangi hingga ke
pagar. Di seberang apartemennya itu—dipisahkan oleh jalanan kompleks yang
sedang Harin lalui—terdapat sebuah pohon yang tinggi dan di sebelah pohon itu berdirilah
lampu jalan yang sedang rusak. Harin melihat ke arah pohon rimbun itu sejenak,
out of habit. Mata Harin memang agak sayu karena sedang lelah, tetapi di
dalam penglihatan mata lelahnya itu, ia mampu melihat bahwa ada sebuah siluet
berwarna hitam yang berdiri di bawah pohon tersebut.
Harin
agak memicingkan matanya; ia menajamkan penglihatannya. Dia ada firasat bahwa
dia hanya salah lihat karena matanya sedang lelah, tetapi di sisi lain
ia juga penasaran sebenarnya siluet itu sungguhan atau tidak. Namun, mungkin
akan lebih bagus kalau itu tidak sungguhan, soalnya Harin tidak mau menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang tidak ia inginkan.
Namun,
tak lama kemudian, siluet itu maju ke depan. Ke arah Harin.
Melangkah
mendekat.
Harin
pun terkejut, dia spontan berhenti melangkah dan semakin memperjelas pandangan matanya.
Kali ini matanya terbuka penuh. Rasa lelahnya jadi agak hilang; siluet yang dia
lihat itu sepertinya nyata. Siluet itu bergerak mendekatinya.
Hingga
akhirnya, sosok itu pun keluar dari area gelap yang ada di bawah pohon itu. Ia
terlihat seolah tengah keluar dari kegelapan malam. Perlahan-lahan tubuh sosok yang
tinggi itu pun terlihat akibat terkena sinar lampu remang-remang dari balik
pagar apartemen Harin. Sinar lampu itu sesungguhnya hanya berupa sedikit pias,
tetapi berhasil membuat sosok yang tinggi itu terlihat walau samar. Sinar tersebut
mampu mencetak bayangan tubuh sosok itu di aspal jalan kecil yang sedang Harin
lewati, mengonfirmasi bahwa: benar, itu adalah manusia.
Namun,
begitu Harin melihat bentuk tubuh orang itu dengan jelas, lalu mencium aroma
yang khas dari sosok itu…serta style-nya yang terlihat familier, jantung
Harin jadi seakan berhenti berdegup sejenak. Napasnya sontak tertahan. Setelah
itu, degupan jantungnya mendadak berubah total; degupannya kini menjadi lebih
intens.
Oh
Tuhan.
Harin
kenal sosok itu.
Tidak.
Itu…jangan-jangan…
“My
Rin,” panggil sosok itu dengan suaranya yang dalam; suara
khasnya yang terdengar berat. Suara yang amat Harin kenali. Suaranya seakan
mengonfirmasi tentang siapa dirinya kepada Harin.
Harin
benar. Dugaannya benar.
Tak
ayal, Harin melihat sosok itu lagi dengan saksama. Tubuhnya yang tampak kekar
dan tinggi itu mulai semakin maju dan akhirnya benar-benar terlihat oleh Harin.
Cahaya lampu dari balik pagar itu kini telah menerangi wajah tampannya, garis
rahangnya yang tajam, hidung mancungnya, hoop earrings di telinganya
yang bertindik, serta tato di lehernya. Sosoknya yang tengah memakai leather
jacket berwarna hitam dengan jeans yang juga berwarna hitam, rambut
hitam kecoklatannya, semuanya kini terlihat jelas di mata Harin.
Ini
adalah Jeon Jungkook.
Kekasihnya.
“…Jungkook?”
Harin masih ingin memastikan, padahal sudah jelas-jelas bahwa itu memang adalah
Jungkook. Pemuda itu berdiri di sana, berhadapan dengannya, dan menatapnya
dengan intens.
Jeon
Jungkook. Pemuda berwajah tampan dan bertubuh kekar yang kuliah
di universitas yang sama dengan Harin, tetapi berbeda jurusan. Pemuda itu
adalah seorang pembalap mobil yang andal; dia mahasiswa dari jurusan Bisnis.
Berbeda dengan Harin. Harin merupakan seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika.
Harin adalah mahasiswi andalan kampus; dia mahasiswi top yang terkenal rajin
dan cerdas, tetapi dia bukan tipe-tipe gadis kutu buku yang biasanya berkacamata.
Dia cantik. Cantik dan cerdas. Kulitnya putih, rambutnya panjang hingga sepunggung
dan berwarna hitam kelam, seperti malam yang gelap.
Dengan
panggilan dari Harin tersebut, Jungkook pun memiringkan kepalanya, tersenyum
tipis, lalu mendekati Harin. Semakin pemuda itu melangkah mendekat, semakin
jelas pula tercium aroma tubuhnya yang begitu wangi, segar, dan khas di indra
penciuman Harin. Ketukan langkahnya di aspal itu terdengar begitu jelas, entah
karena jalanan ini sedang sepi…atau karena Harin terlalu fokus kepadanya.
Tatkala
pemuda itu sudah berada sangat dekat dengan Harin, dalam waktu
sepersekian detik Harin merasa bahwa tiba-tiba saja tubuhnya dipeluk. Sebelah
tangan pemuda itu meraih pinggang bagian belakang Harin, kemudian meraih tubuh
Harin untuk mendekat ke dada bidangnya. Harin kini telah berada di dalam
pelukan pemuda itu sepenuhnya. Pelukan itu terasa hangat dan begitu familier.
Aroma tubuhnya menguar di sekitar Harin dan itu sangatlah memabukkan.
Harin kemudian merasa bahwa kening, pipi, serta lehernya mulai dicium-cium
kecil oleh bibir lembut milik pemuda itu. Napas pemuda itu terasa begitu hangat
di wajah dan leher Harin, hampir membuat Harin merasa tak berdaya dan ingin
keadaan itu terus berlanjut. Apalagi saat ini Harin sedang lelah minta ampun. Pelukan
dan ciuman tersebut jelas mampu membuat orang yang lelah jadi terlena seketika.
It makes you wanna surrender. Giving in.
Namun,
selelah-lelahnya Harin, untungnya otaknya masih berfungsi. Logikanya masih
berjalan. Meski rasa lelah dan degupan jantungnya itu tidak seirama dengan
jalan pikirannya, ia tetap ingin memenangkan jalan pikirannya. Logika yang ia
miliki.
Ya.
Hari ini hubungannya dengan Jungkook sedang tidak baik-baik saja. Mereka sudah bertengkar
sejak tadi siang.
Spontan
Harin pun melepaskan pelukan itu. Dia kemudian mundur selangkah, lalu menatap
Jungkook dengan tatapan kesal. Keningnya berkerut; alisnya hampir menyatu. “Apa
yang kau lakukan di sini?! Pulang sana.”
Mata
Jungkook sedikit melebar.
Setelah
itu, pemuda itu menghela napas.
“Sayang,
aku ingin bertemu denganmu,” jawab pemuda itu, ia terdengar sedikit frustrasi. “Sudah
seharian ini kita tidak bertemu.”
“Aku
tidak ingin bertemu dengan seorang pembohong. Mana mobilmu? Pulang sana.
Aku sedang tak ingin melihatmu.” Harin mendengkus kesal. Gadis itu langsung
bergerak ke samping, berencana untuk berjalan meninggalkan Jungkook di sana.
Namun, naas, dengan cepat lengannya ditahan oleh Jungkook. Lengan Harin jadi berasa
kecil jika dibandingkan dengan tangan kekar Jungkook.
“Mobilku
sengaja kuparkir agak jauh dari sini supaya kau tak bisa melihatnya,” jawab
Jungkook, kemudian pemuda itu mendekati Harin lagi agar mereka bisa kembali berhadapan.
“Jika kau melihat mobilku, niscaya kau akan berlari demi menghindariku dan aku
takkan bisa berbicara denganmu.”
“Kau
pikir jika kau seperti ini, aku jadi ingin berbicara denganmu?! Tidak.
Tetap tidak,” balas Harin. “Lepaskan tanganku.”
“Setidaknya
dengan begini aku jadi punya kesempatan untuk berbicara denganmu. Dengar
aku.” Genggaman tangan Jungkook pada lengan Harin terasa semakin mengerat; pemuda
itu enggan melepaskan Harin begitu saja. “Sayang, aku ke sini karena aku tak
mau kau terus marah padaku.”
“Kalau
kau tak ingin aku marah padamu, seharusnya kau tidak berbohong padaku!!”
teriak Harin pada akhirnya. Kekesalannya sejak tadi siang akhirnya tumpah
semua—tidak, ini sebenarnya adalah kekesalan yang sudah ia pendam sejak
lama—dan ia pun mengempaskan tangan Jungkook yang tengah menahannya itu dengan
kuat. Sangat kuat. Ini karena ia tahu bahwa kekuatan Jungkook itu amatlah
sulit untuk ia kalahkan. “Kau terus berbohong, terus saja membohongiku,
dan kau berharap kalau aku tidak marah padamu?! Apa kau gila?!”
“Rin,
aku berbohong padamu karena aku tak ingin kau marah padaku,” ujar Jungkook dengan
frustrasi. Dia kembali menahan tangan Harin. Dia pun mulai mencoba untuk
memegang kedua pipi Harin, tetapi kedua tangannya itu langsung diempaskan begitu
saja oleh Harin.
“Bullshit,
Jungkook,”
jawab Harin. “Kau selalu berbohong, mulai dari hal kecil sampai hal besar.
Alasannya sering kali seperti ini: agar aku tak marah padamu. Tidak
masuk akal, Jungkook. Otakku tak bisa mencernanya sama sekali. Aku tak ingin
mendengarmu lebih jauh. Pergilah. Pergi sana.”
“Sayang,”
panggil Jungkook sekali lagi. Nada suaranya terdengar amat serius, begitu
mengintimidasi. “aku berbohong padamu soal balap mobil hari ini karena aku tahu
bahwa kau akan marah padaku jika aku bilang bahwa aku mengikutinya. Kau
menyuruhku untuk beristirahat sejenak karena mobilku hampir bertabrakan dengan
mobil Hyun di pertandingan yang sebelumnya. Namun, hari ini ada race penting,
Sayang, dan senior menuntutku untuk ikut.”
“Berbohong
tetaplah berbohong, Jungkook,” jawab Harin. “Kau bisa saja memberitahuku soal race
penting itu dan memohon padaku, tetapi kau justru memilih untuk
berbohong. Kau selalu memilih untuk membohongiku.” Mata Harin mulai
memerah; dia hampir menangis. Dia sungguh tidak suka kalau dibohongi terus
menerus seperti ini. Banyak sekali kebohongan yang Jungkook katakan kepadanya. Terakhir
kali Jungkook pernah terlihat berduaan dengan seorang perempuan; mereka
mengobrol hingga tertawa bersama. Namun, ketika Harin menanyainya, pemuda itu memilih
untuk berkata bahwa dia dan perempuan itu hanya sedang mengerjakan tugas kuliah
bersama. Dia memilih untuk berbohong, padahal jelas-jelas Harin melihat bahwa mereka
berdua hanya sedang mengobrol dengan akrab, tidak ada tugas yang sedang
dikerjakan. Seolah-olah Jungkook sengaja menutupinya. Sengaja membuat
kebohongan yang sangat kentara itu.
Kebohongan
demi kebohongan itu sukses membuat Harin jadi merasa tidak berharga. Tidak dihargai
sama sekali. Tidak penting, sampai-sampai Jungkook memilih untuk membohonginya
saja alih-alih jujur padanya. Jika ia penting bagi Jungkook, Jungkook takkan
membohonginya. Jungkook pasti akan jujur padanya apa pun keadaannya. Namun, dia
terus menerus dibohongi. Dia jelas-jelas sedang dipermainkan oleh Jungkook.
Diremehkan. Dia tidak dihormati dan dihargai oleh kekasihnya sendiri. Kekasih
yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun lamanya.
“Rin.”
Jungkook menghela napas samar. “I told you that I didn’t want you to be mad
at me. I’m really sorry.”
“Pulanglah,
Jungkook. Sungguh, pulanglah,” pinta Harin dengan jemu. Dia menyisir
rambutnya ke belakang dengan frustrasi, lalu dia menundukkan pandangannya. Tak
ingin melihat wajah Jungkook. “Tinggalkan aku sendiri. Kumohon.”
Kembali
terdengar helaan napas berat Jungkook di depannya. Mereka berdua sama-sama
diam, keadaan itu bertahan hingga sekitar empat detik lamanya. Udaranya terasa
begitu berat, tekanannya sangat tinggi. Situasi itu nyaris membuat Harin jadi sesak
napas.
“Baiklah,”
jawab Jungkook pada akhirnya. Suara pemuda itu terdengar begitu dalam. “tetapi
syaratnya, besok kita harus pergi ke kampus bersama-sama.”
Harin
mengernyitkan dahi. Mengapa jadi ada syarat seperti ini?
Namun,
terserahlah. Harin sedang bad mood. Dia tak ingin berpikir lama-lama.
Dia hanya ingin Jungkook pergi dari hadapannya agar ia bisa menyendiri dan
beristirahat di dalam apartemennya.
“Terserah.
Sekarang pulanglah. Pergi dari sini. Aku mau istirahat,” ucap Harin dengan
cepat, ia pun langsung berjalan meninggalkan area jalan kecil itu dengan
langkah yang lebar, menyeberanginya hingga sampai tepat di depan pagar
apartemennya. Setelah itu, dia membuka pagar tersebut, masuk dengan cepat, lalu
mengunci pagar itu kembali dari dalam.
Harin
sungguh tidak menginginkan ini. Rasanya dia jadi sangat emosional dan logikanya
melawan ini semua. Tidak seharusnya dia membiarkan dirinya dibohongi terus
menerus seperti ini, padahal dia tahu jelas bahwa dia sedang dibohongi dan
dipermainkan. Dia membiarkan dirinya untuk bersikap bodoh hingga seluruh
sel-sel di dalam tubuhnya seolah meronta padanya untuk berhenti menoleransi ini
semua.
Namun,
benar kata orang: hati memang selalu ingin diutamakan. Hati Harin selalu
berhasil membujuk seluruh logikanya untuk menurut. Rasa cinta yang sudah
dipupuk selama bertahun-tahun itu membuat hatinya jadi berperang melawan
seluruh anggota tubuhnya dan anehnya hatinya berhasil menang.
Harin
tahu jelas bahwa ia sedang dipermainkan, tetapi dia malah membiarkan dirinya untuk
tetap tenggelam. Seolah berpura-pura buta dan tuli. Berpura-pura bodoh. Kadang
Harin bertanya-tanya: apakah semua perempuan seperti ini? Soalnya, Harin selalu
mengutamakan perasaannya dibandingkan logikanya; dia selalu mengutamakan apa
yang hatinya rasakan walau otaknya sudah berkali-kali mengumpat padanya karena
tidak kunjung melepaskan diri dari siklus yang tak pernah berakhir ini.
Harin
pun naik ke lantai dua apartemen tersebut (apartemen itu hanya memiliki dua
lantai dan tidak terlalu besar), lalu dia berhenti di depan sebuah pintu yang
berada di tengah-tengah. Itu adalah apartemen kecil miliknya. Harin pun merogoh
tasnya dan mencari kunci pintu apartemennya dengan terburu-buru. Dia ingin
cepat-cepat masuk ke dalam apartemennya. Dia benar-benar muak dan kesal dengan
semua yang telah terjadi, terlebih saat ini ia sedang merasa lelah.
Ketika
sudah berhasil masuk ke dalam apartemennya, Harin lantas menutup pintu depan
apartemen itu dengan lumayan kencang. Dia langsung pergi ke kamarnya,
meletakkan tasnya di atas meja belajar, lalu mengambil handuknya yang
tergantung di sebuah gantungan handuk yang terletak di depan kamar mandi.
Ia
harus mendinginkan kepalanya. Setelah ini dia harus memakai sepasang baju tidur
yang hangat, lalu tidur. Dia sungguh lelah hari ini. Urusan besok biarlah
terjadi besok. Dia benar-benar butuh istirahat sekarang.
******
“Hah...” Harin mengerang tatkala
baru saja keluar dari kamar mandi. Rasanya lega sekali; hampir separuh beban di
tubuhnya seakan terangkat. Tubuhnya jadi segar. Dia pun mengeringkan rambutnya
dengan handuk, mengusap-usapnya dengan gerakan cepat, sebelum tiba-tiba
ponselnya berdering.
Mata
Harin melebar. Gadis itu kemudian mendekat ke arah meja belajarnya dan langsung
merogoh tas kuliahnya tadi untuk mencari ponselnya. Tatkala ia berhasil membuka
kunci pola ponselnya, dahinya tiba-tiba mengernyit. Ia melihat ada sebuah pesan
dari tetangganya yang jarang sekali mengirimkan pesan kepadanya. Ini dari
ibu-ibu yang ada di sebelah rumahnya.
Harin
pun membuka pesan tersebut.
Bu
Nam 08.02 P.M
Harin,
apakah laki-laki yang menunggu di luar itu pacarmu?
—Read,
08.03 P.M
Mata
Harin membelalak. Hah? Di luar?
Sebentar.
Tidak
mungkin, ‘kan?
Harin
sontak langsung berlari ke ruang tamu dan membuka tirai jendela yang mengarah
ke bagian depan gedung apartemennya. Jendela itu berada tepat di samping pintu.
Jika kau melihat melalui jendela itu, niscaya kau akan bisa melihat ke bawah
sana. Mulai dari halaman gedung apartemen hingga ke luar pagar apartemen.
Setelah
itu, betapa terkejutnya Harin saat mendapati bahwa,
…Jungkook
masih ada di sana.
Dia
tidak pulang!
Spontan
Harin langsung masuk ke kamar lagi dan mulai mencari baju tidurnya dengan
cepat. Dia menggerutu kesal seraya
bertanya-tanya di dalam hati. Mengapa Jungkook tidak pulang? Kan tadi aku
menyuruhnya untuk pulang! Apa yang dia lakukan, berlama-lama di depan sana?
Harin
lalu memakai pakaiannya, menggantung handuknya kembali, dan menyisir rambutnya
yang masih basah. Setelah selesai, dia pun mengambil kunci pagar, lalu keluar
dari kamarnya dan berjalan menyusuri ruang tamu hingga akhirnya dia membuka
pintu depan dan pergi ke luar.
Saat
keluar dari apartemennya—seraya menutup pintu yang ada di belakangnya itu—Harin
menatap ke luar pagar seraya menghela napas. Kali ini dia benar-benar melihat
Jungkook ada di sana, masih berdiri di depan pagar apartemennya. Bedanya kali
ini mobil sport berwarna hitam milik Jungkook itu sudah terparkir di
sana. Jungkook duduk di kap mobilnya; kepalanya sedikit tertunduk
dan kedua tangannya bersilang di depan dada.
Harin
pun turun dari lantai dua. Dia berjalan menyusuri halaman depan apartemennya
dan saat sampai di dekat pagar, ia pun mulai membuka kunci pagar tersebut.
Tanpa ia sadari, suara yang ia timbulkan saat membuka kunci pagar itu sukses
membuat Jungkook menoleh. Pemuda itu lalu bangkit dari posisi duduknya dan
berjalan mendekat ke pagar. Pagar itu sebenarnya sangat tertutup—tidak ada
celah di antara besi-besi penyusunnya—jadi ia belum tahu itu Harin atau bukan.
Tatkala
pagar itu berhasil dibuka, Harin bisa melihat Jungkook yang sudah berdiri tidak
jauh di depannya; mata pemuda itu tampak sedikit melebar. Tatapan mata itu
kemudian berubah menjadi tatapan yang sangat lembut tatkala ia mengetahui bahwa
ternyata Harinlah yang membuka pagar. Harin pun meneguk ludahnya, lalu akhirnya
tubuh gadis itu keluar sepenuhnya. Ia menutup pagar itu kembali sebelum
akhirnya ia berjalan mendekati Jungkook. Pemuda itu juga mulai berjalan ke
arahnya.
“Sayang,” sapa
Jungkook.
Harin
langsung mengernyitkan dahi. Dia mulai kesal lagi. “Kan aku sudah menyuruhmu untuk
pulang. Apa yang kau lakukan di sini?”
“…tapi
kau datang menemuiku,” jawab Jungkook, pemuda itu memiringkan kepalanya seraya
tersenyum.
“Ibu
Nam yang tinggal di sebelah memberitahuku bahwa ada seorang lelaki yang sedang menunggu
di depan pagar,” jelas Harin. “Kau membuat mereka jadi bertanya-tanya,
Jungkook! Pergilah sebelum orang lain merasa terganggu.”
“Orang-orang
yang tinggal di sini seharusnya sudah mengenaliku, Sayang,” jawab Jungkook.
“Aku sering datang ke sini; aku sering main ke apartemenmu, ‘kan? Itu sebabnya
tetanggamu langsung menanyaimu, padahal ada perempuan lain di sini yang juga belum
menikah.”
Harin
menggaruk kepalanya, padahal kepalanya tidak terasa gatal sama sekali. Dia jadi
pusing sendiri. “Jadi, mengapa kau menunggu di sini, Jungkook? Ada apa? Kan
tadi aku sudah menyuruhmu untuk pulang…dan kau setuju.”
Alih-alih
menjelaskan, Jungkook justru tersenyum miring.
Entah
mengapa, Harin mendadak bergidik. Melihat senyuman miring Jungkook malam itu,
di antara cahaya dari balik pagar dan sedikit bintang yang ada di atas langit,
Harin terpaku di pijakannya. Lidahnya mendadak kelu. Dia benar-benar ingin tahu
apa arti dari senyuman Jungkook itu sampai-sampai ia tak sadar bahwa Jeon
Jungkook, kekasihnya itu, telah berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah
yang perlahan tapi pasti.
Saat
posisinya sudah benar-benar dekat dengan Harin, Jungkook mulai mengulurkan
jemarinya untuk mengusap kepala bagian belakang Harin dengan penuh kasih sayang.
Senyum miringnya itu berubah menjadi senyuman yang lembut, tetapi agaknya penuh
dengan berbagai rahasia. Matanya menatap Harin dengan begitu dalam;
usapannya di kepala Harin juga terasa sangat…nyaman.
Beberapa
saat kemudian, suara Jungkook pun kembali terdengar.
“If
I’m a liar, then you shouldn’t believe a liar, Baby.”
Itulah
kalimat terakhir yang Harin dengar…sebelum akhirnya Jungkook mencium bibirnya
dengan sensual. []
******
Note: You can read the non-fanfiction version of this story on GoodNovel or any app that connected to HopWriter.
No comments:
Post a Comment