Chapter
1 :
Prince
Charming
******
“AKU
mau putus denganmu,” ucap Haruki ketika ia tak sengaja bertemu
dengan Mei di sebuah taman hiburan yang baru dibuka di kota sekitar satu bulan
yang lalu. Mei yang saat itu sedang berjalan-jalan dengan teman sekantornya—untuk
melepas penat sejenak—justru mendapatkan kejutan bak disambar petir di siang
bolong tatkala melihat Haruki di ujung sana; pemuda itu tengah menggandeng
seorang perempuan dan tertawa bersama seraya memakan churros.
Mei
pun lantas terdiam, seluruh tubuhnya kaku tatkala melihat kekasihnya jelas-jelas
sedang berkencan dengan perempuan lain. Langkahnya terhenti di tempat dan hal
itu membuat teman-temannya jadi bertanya-tanya. Namun, tatkala mengikuti arah
pandang Mei, mereka pun terperanjat. Mulut mereka menganga. Mereka akhirnya
mengerti dan langsung ikut geram pada Haruki. Mereka terus mendorong Mei untuk
melabrak kedua manusia tak tahu diri itu.
Akhirnya,
di sanalah Mei, sudah berdiri di depan kedua orang itu. Mei pun hanya memberikan
beberapa pertanyaan singkat, seperti: ‘Apa yang kau lakukan di sini, Haruki?’
dan ‘Siapa perempuan ini?’, tetapi alih-alih panik, Haruki justru menatap
Mei dengan jenuh. Muak. Dia bahkan mendengkus dengan santainya. Setelah itu,
yang ia ucapkan dari mulutnya hanyalah berupa: ‘Aku mau putus denganmu.’
Mei
jujur kaget saat itu. Tubuhnya tak bisa bergerak seolah sudah terpasak ke bumi.
Dia menatap Haruki dengan mata yang melebar. Ini serius, dia diputusin?
Dia dibuang begitu saja?
Salah
Mei…apa? Setahu Mei, dia selalu memperlakukan Haruki dengan baik. Dia juga
tidak pernah bermain-main di belakang pria itu. Oke, mulutnya memang agak
pedas, tetapi dia tak pernah menjelek-jelekkan Haruki. Walaupun kadang-kadang
Mei kesal melihat pria itu yang kalau makan suara mengunyahnya berisik minta
ampun, Mei tetap menutup mata dan menerimanya. Haruki itu kalau lagi
makan persis seperti om-om yang makan dan minum di restoran murah sambil
berjudi.
“Kau
selalu sibuk bekerja dari pagi sampai sore,” ujar Haruki, tidak lagi menunggu
jawaban dari Mei. “Kau membosankan. Tidak menarik.”
Jantung
Mei serasa ditembak dengan panah bertubi-tubi tatkala mendengar hinaan itu. Oke,
Mei memang tidak seceria gadis-gadis extrovert, tidak bisa bersikap
terlalu manja juga. Namun, selama ini Mei sudah berusaha untuk menjadi pacar
yang baik.
Apakah
itu…masih kurang? Was she wrong all this time?
Meskipun
Mei sedikit menyalahkan kekurangannya, dua detik kemudian, mendadak Mei jadi
kesal. Bukankah Haruki yang duluan mengajak Mei berpacaran? Seharusnya
Haruki tahu, dong, kalau Mei adalah gadis yang membosankan. Mengapa baru
sekarang dia protes?
Pria
bangsat.
Mei
lantas mengangkat dagunya, membuat dirinya terlihat angkuh; dia tak ingin
terlihat kalah di depan Haruki. Namun, walau dagunya terangkat, wajahnya tetap
tanpa ekspresi.
“Oh,
begitu, ya. Sayang sekali, ya, Haruki. Padahal, kalau kita bersama lebih lama,
kupikir aku bisa sedikit menghemat. Jangkrik sepertimu akan berguna untuk beberapa
ternakku. Waktu itu kau pernah bertanya padaku soal masa depan kita berdua, ‘kan?
Sebenarnya, aku mau beternak karena gaji PNS-ku tidak sebesar itu untuk
mencukupi hidup kita berdua. Kau pengangguran, soalnya,” ujar Mei blak-blakan
dengan ekspresi datarnya. Teman-teman Mei sampai menganga. Ini serius, nih,
Mei mengatakan sesuatu sekejam itu dengan ekspresi datar?
Mata
Haruki kontan memelotot. Pria itu juga menganga. Buset, sakit banget, woy! Baru
kali ini dia mendengar Mei menghinanya. Selama ini, gadis itu selalu baik
padanya. Dia tak tahu bahwa ternyata sifat Mei sadis sekali. Mulut gadis itu
sangatlah tajam. Sial, bikin malu saja. Soalnya, orang-orang yang lewat mulai
mencuri-curi pandang ke arah mereka.
“Akhirnya,
kau mengeluarkan sifat aslimu,” ujar Haruki seraya tertawa sinis. “Bisa-bisanya
kau mengatakan sesuatu yang serius begitu tanpa ekspresi di wajahmu. Kau akan
membuat semua orang menjauhimu, Mei; takkan ada orang yang mencintaimu.”
Mei
bernapas samar, still deadpans.
“Kau
juga, Haruki. Akhirnya, kau mengeluarkan bau busuk. Kupikir kaus kakimu
saja yang busuk, ternyata otak dan hatimu juga busuk. Aku kecewa.” Mei lalu
menoleh kepada perempuan yang sedang bersama Haruki. “Kau, Nona. Larilah
sebelum terlambat. Dia punya pinjaman online di beberapa platform. Kakinya
pun bau karena jarang ganti kaus kaki. Napasnya kadang-kadang bau juga, bau
ramen. Aku pura-pura buta saja selama ini karena kukira dia baik padaku. Kukira,
selama dia sayang padaku, aku masih bisa menahannya. Ternyata, dia
seperti setan. Tahu begitu, mending aku cari pria yang tampan sekalian. Karena
kebodohan ini, rasanya seperti ada yang melempar tahi sapi ke mukaku.”
Haruki
kontan semakin merasa malu; amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Pria itu
kontan berteriak sambil memelototi Mei. “MEI! TUTUP MULUTMU!! JANGAN BICARA
SEMBARANGAN!!”
Mei
mendengkus pelan. Ekspresi wajahnya masih betul-betul datar saat mengatakan,
“Setidaknya aku takkan mengkhianati pacar yang selalu berusaha untuk
menghabiskan waktu denganku walaupun aku banyak kekurangan. Oh, betul juga, ya.
Kau itu cuma seekor jangkrik, jadi mungkin kau tak paham.”
Haruki
memijat keningnya, mendadak merasa pusing bukan main. Serangan mulut Mei itu
benar-benar sukses menusuk jantung dan hatinya. Beberapa detik kemudian, Haruki
pun menghela napas, lalu menatap Mei lagi.
“Sudahlah.
Hentikan semua ini. Aku tak ingin berdebat denganmu lebih jauh. Aku bosan.
Aku sudah ada pacar baru yang lebih oke darimu,” ujar Haruki. Dia mulai menatap
perempuan berambut pirang yang berdiri di sebelahnya. Seolah tak peduli apa
pun, mereka mulai tersenyum pada satu sama lain, lalu saling merangkul tepat di
depan mata Mei. Tatkala Haruki menoleh kepada Mei lagi, tatapan pemuda itu
terasa begitu dingin. “Enyahlah, Mei.”
“Aku
tak percaya kau seberengsek ini, Haruki,” ujar Mei seraya menyipitkan matanya.
“Ya
ya ya ya.” Haruki menatap Mei dengan bosan. Dia sudah malas; dia
tak peduli lagi dengan apa pun yang Mei katakan. “Terserah. Sekarang enyah dari
hadapanku. Aku sudah punya pacar baru.”
Pada
akhirnya, Mei pun hanya mendengkus kesal. Meski wajah Mei cenderung tanpa
ekspresi, sebetulnya dia sedang menahan rasa dongkol. Tangannya terkepal.
Kepalanya terasa panas. Dia juga malu karena diperlakukan seperti ini di tempat
umum. Semua orang, termasuk teman-teman sekantornya, melihat kejadian ini
secara live.
Karena
kesal sekaligus malu, Mei pun langsung berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Tiga
hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Mengingat ia dan Haruki baru berpacaran
selama tiga bulan, sebetulnya rasa cinta yang terpupuk tidak sedalam itu. Namun,
tentu saja itu tak mengubah fakta bahwa dia betul-betul sakit hati. Dia baru
pertama kali berpacaran dan nahasnya dia malah diselingkuhi!
Setelah
kejadian itu, keesokan harinya Mei tidak bekerja. Mei merenungi nasibnya selama
satu harian itu. Rasa malu, kecewa, sakit hati, dendam, semuanya bercampur
menjadi satu. Namun, untungnya Mei ‘belum’ menangis; dia sadar bahwa dia tak
seharusnya menangisi pemuda malas yang mukanya macam blobfish itu. Dia
memang mirip ikan jelek, serius. Sudahlah jelek, malah berselingkuh. Mei jadi
tambah benci dan ilfeel. Mungkin faktor itulah yang membuat Mei perlahan-lahan
mulai berhenti merenungi nasibnya.
Maka
dari itu, hari ini—tiga hari setelah kejadian itu—Mei sudah lumayan membaik. Akan
tetapi, kalau dia sedang melamun atau sedang sendirian begini, dia jadi
mengingat kejadian itu lagi. Ujung-ujungnya, dadanya terasa sesak dan dia jadi
berhenti bernapas sejenak.
Sebenarnya,
saat ini Mei tidak benar-benar sendirian. Dia baru pulang dari Kantor Pelayanan
Publik—tempatnya bekerja—dan memutuskan untuk mampir ke café
langganannya sebentar. Dia mau membeli vanilla milkshake kesukaannya seperti
biasa.
Ada
beberapa orang yang duduk di dalam café itu. Di tiap-tiap mejanya ada
yang ditempati oleh dua orang dan ada juga yang ditempati oleh tiga orang.
Hanya meja Mei sendirilah yang ditempati oleh satu orang, yaitu Mei.
Mei
meminum vanilla milkshake-nya lagi seraya menatap ke luar jendela. Ia
memilih tempat duduk di pinggir, tepat bersebelahan dengan jendela. Jendela itu
ada di samping kirinya dan menghadap ke area luar café, yaitu area pedestrian
walkway. Café ini terletak tepat di depan jalan dan bersebelahan
dengan bangunan-bangunan lainnya.
Ketika mendengar sebuah ketukan sepatu di
depannya, Mei yang tengah mengaduk-aduk vanilla milkshake-nya itu
refleks langsung melihat ke depan. Di sana, Mei melihat ada seorang pria yang
memakai jas hitam (yang sebenarnya hanya ia sampirkan di tubuhnya sebagai outer,
tidak benar-benar dipakai) dan di dalam jas itu ia memakai sebuah sweater
berwarna hitam yang cocok sekali di tubuhnya. Celana yang ia pakai juga
berwarna hitam, tetapi tidak segelap sweater-nya. Celana dan jasnya
berwarna senada, yaitu hitam keabuan.
Pria
itu memakai topi fedora yang berwarna hitam juga.
Tatkala
pria itu datang, sosoknya yang memiliki tubuh yang bagus itu sebetulnya menyita
cukup banyak perhatian. Minimal…orang-orang akan memberikannya second glance
tatkala pertama kali menemukan sosoknya. Meski pakaiannya serba hitam, entah
mengapa kelihatannya bagus-bagus saja. Cocok-cocok saja dengan tubuhnya. Justru
terlihat sangat memesona, terutama pria itu juga memakai sebuah jam tangan di
pergelangan tangan kirinya. Dia terbilang sangat fashionable.
Pria
itu terlihat seperti model…atau sesuatu sejenis itu.
Mei
pun tanpa sadar telah memusatkan atensinya kepada pria itu; Mei benar-benar
lupa bahwa dia harus segera memalingkan wajah karena bagaimanapun juga, pria
itu mungkin akan terganggu dengan tatapannya. Mata Mei agak melebar; tangannya
sampai berhenti mengaduk minumannya.
Namun,
tanpa Mei sangka-sangka, pria itu tiba-tiba berhenti melangkah.
Ia
berhenti tepat di depan meja Mei.
Mei
perlahan-lahan mendongak. Melihat pria itu yang sudah berdiri menjulang di
hadapannya.
Mei
terdiam. Ini pertama kalinya dia melihat wujud pria yang aura kebangsawanannya
menguar dengan kuat, padahal tadi dia hanya melihat pria itu berjalan ke
arahnya.
Tatkala
Mei benar-benar melihat wajah pria itu dengan jelas, Mei semakin terpaku. Pria
itu memiliki rambut yang berwarna merah. Crimson red. Matanya
juga…berwarna sama seperti rambutnya.
Ini
aneh. Apakah rambutnya di-bleaching? Namun, mata? Bagaimana dengan mata?
Apakah dia memakai lensa kontak? Tidak mungkin ada orang Asia yang memiliki
rambut serta mata dengan warna merah natural seperti itu. Bahkan, satu dunia
pun kemungkinan tidak ada yang memiliki mata serta rambut natural yang berwarna
merah. Namun, pria ini memilikinya.
Sialnya,
keajaiban itu sangat cocok dengan wajahnya yang tampan. Hidungnya mancung dan
garis rahangnya terbentuk dengan sempurna. Bentuk matanya sebetulnya terlihat
tajam seperti elang, tetapi karena tatapannya sangat lembut dan ramah, bentuk
matanya itu jadi tidak terlihat mengintimidasi. Malah terlihat seperti
mahakarya. Secara penampilan, dia tampak begitu sempurna. Dengan penampilan
yang begitu unik dan luar biasa seperti itu, apakah dia pernah ditawari untuk
berkerja sebagai model? Atau mungkin dia adalah seorang model?
Namun,
entah mengapa…rasanya dia terlalu majestic untuk menjadi seorang model.
Rupa pria itu terlihat seolah dia memiliki garis keturunan bangsawan atau
sesuatu sejenis itu. Paling tidak, keseharian hidupnya pasti berbeda dengan
orang-orang biasa. Caranya berjalan, caranya tersenyum…
Eh,
sebentar, dia tersenyum pada Mei?
Mata
Mei melebar. Pria itu memang sedang tersenyum padanya! Senyumannya
begitu manis, gentle, dan…
Astaga.
Dia kelihatan seperti pangeran berkuda putih yang ada di dalam cerita-cerita
dongeng. Sangat gentle. Benar-benar prince charming.
Pria
itu lalu melepas topi fedoranya. Tanpa sadar, Mei jadi mematung melihat
betapa tampannya pria itu dengan rambut merahnya. Dia keturunan apa, sih?
Senyuman
pria itu terlihat semakin lembut dan manis. Pria itu lalu sedikit
memiringkan kepalanya. “My lady.”
Apa?
My…lady?
Oh,
Tuhan. Pria itu betul-betul bersikap seperti bangsawan. Dia memperlakukan
wanita dengan istimewa. Harusnya etika itu diajarkan juga kepada semua lelaki
zaman sekarang. Dia perfect sekali.
Menyadari
bahwa pria itu sedang berbicara padanya, Mei pun jadi agak bingung. Mei
mencoba untuk menguasai dirinya sendiri agar bisa menjawab pria itu dengan
baik.
“…Ya?”
Pria
itu kemudian tertawa kecil.
Well,
damn. Dia tampan sekali. This
man had to be a descendant of a sex god because there is no way a face like
that was human.
Bukan
berarti Mei benar-benar tahu apa pun tentang seks—mengingat dia masih perawan—tetapi
demi Tuhan, Akashi memang memberinya kesan seperti itu.
“Boleh
aku duduk di sini, my lady?” tanya pria itu dengan sopan.
Ya
Tuhan, suaranya. Suaranya sangat halus dan serak. Sangat seksi.
Hampir membuat Mei merinding.
Hampir.
Well,
Mei
agak kaget mendengar permintaan itu. Sialnya, jantungnya pun tidak bisa diajak
kompromi. Jantung sialan, malah berdegup kencang tanpa tahu waktu dan tempat.
Jangan sampai pipi Mei memerah hanya karena permintaan itu. Itu sungguh tidak
lucu.
Meski
kegugupannya hampir kelihatan, Mei tetap menjawab pria itu. Ia mulai menyingkirkan
tasnya ke sudut. “Oh—ya, boleh. Silakan.”
Waduh,
dia akan duduk satu meja dengan pria seksi itu! Bukan seperti Mei
menantikannya, ya.
Bukan
sama sekali.
“Terima
kasih, my lady,” ucap pria itu, lalu pria itu mulai beranjak untuk duduk
satu meja dengan Mei. Mereka duduk berhadapan.
Mei
melihat pria itu meletakkan topi fedoranya di atas meja. Sesaat setelah pria
itu duduk, ada seorang pelayan café yang mengantarkan minuman pesanan
pria itu ke atas meja. Pria itu tampak memesan cappuccino.
“Ah—terima
kasih,” ucap pria itu kepada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Pria itu
memberikan sebuah senyuman yang manis kepada pelayan itu. Pelayan itu lalu
mengucapkan ‘Sama-sama, Tuan.’ dan merunduk hormat sebelum akhirnya pergi
meninggalkan meja mereka.
Tatkala
kepala pria itu kembali menghadap ke arah Mei, Mei mulai gugup lagi. Sial,
mengapa Mei jadi gugup begini? Rasanya canggung sekali. Apakah mereka akan
mengobrol? Atau hanya diam-diaman saja?
Pria
itu meminum cappuccino-nya sejenak, lalu matanya mulai menatap Mei. Seraya
tersenyum, pria itu pun mulai berbicara.
“Apakah
kau sering datang ke sini, my lady?”
Mei,
yang sedari tadi lupa memalingkan pandangannya, kini jadi melebarkan
mata. Diam-diam, dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar terus
memperhatikan pria itu. Dia langsung tersenyum simpul, lalu berpura-pura mengaduk
minumannya. “Oh—iya. Aku sering ke sini sepulang bekerja.”
“Oh...”
ujar pria itu, tetapi Mei tidak melihat wajahnya. Mei tidak tahu ekspresinya
seperti apa. Wajah pria itu terlalu mengagumkan; Mei tidak mau kelihatan salah
tingkah. Masa dia salah tingkah dengan orang yang baru ia temui? Mei bukan
gadis murahan yang ada di jalanan.
…but
then again, pria itu tampak terlalu memesona. Dia juga sangat gentle.
Jadi, wajar saja Mei agak salah tingkah.
“Jika
kau berkenan, apakah aku boleh bertanya di mana kau bekerja, my
lady?” tanya pria itu lagi.
Mei
pun mulai mengangkat kepalanya. Dia menatap pria itu yang kini masih tersenyum dengan
ramah padanya.
Mei
sadar bahwa seluruh warna merah yang dimiliki oleh pria itu tampak indah
sekali. Seperti melihat bunga mawar yang tumbuh di taman kerajaan. Mereka
tumbuh dengan anggun dan mulia. Agung.
Mei
mengerjap. Gadis itu menyiapkan dirinya secara mental karena mungkin saja
percakapan mereka akan berlanjut. Kemungkinan besar, keadaan di antara mereka
berdua tidak akan menjadi canggung. Mereka tidak akan diam-diaman saja.
Akhirnya,
Mei pun menjawab, “Aku…bekerja di Kantor Pelayanan Publik. Tidak jauh dari
sini.”
“Oh,
apakah kau seorang PNS?” tanya pria itu lagi. Matanya sedikit melebar tatkala
menanyakan hal itu.
Mei
mengangguk. Gadis itu pun tersenyum tipis, sedikit canggung. “Iya.”
Wah,
untuk sejenak Mei jadi lupa bahwa dia baru saja putus hubungan. Pria itu
benar-benar menyita perhatiannya.
Pria
itu pun berdeham sedikit panjang, lalu mengangguk. Dia meminum cappuccino-nya
lagi, kemudian kembali menatap Mei setelah meletakkan minumannya di atas meja.
Tatapannya lembut dan ramah, terlihat benar-benar menghormati perempuan.
Dia
benar-benar terlihat seperti bangsawan. Seolah dia adalah bagian dari keluarga
kerajaan di Eropa zaman dahulu. Apakah pria itu bahkan memiliki kekurangan? Dia
terlihat begitu sempurna. Tutur katanya begitu sopan, gentle, berkelas,
dan tertata. Pakaiannya rapi dan wajahnya tampan. Caranya menghormati dan
menghargai wanita juga patut diacungi jempol.
Karena
tidak ingin membuat pria itu merasa seperti mesin penanya satu arah—padahal
pria itu tidak berpikiran demikian—Mei pun berinisiatif untuk bertanya balik
pada pria itu.
“Bagaimana
denganmu? Apakah kau juga bekerja di sekitar sini?”
Pria
itu tertawa kecil, lalu menggeleng. “Tidak, my lady. Aku hanya kebetulan
ingin minum kopi. Jadi, aku mampir ke sini.”
“Apakah
tempat kerjamu jauh?” tanya Mei dengan mata yang melebar; dia bertanya murni
karena merasa sedikit penasaran.
Sedikit
saja kok.
Pria
itu pun sedikit mengerutkan dahinya. Matanya menoleh ke samping; ia tampak seperti
tengah berpikir. “Hm…bisa dibilang begitu.”
Pria
itu lalu kembali menatap Mei dan tersenyum.
“Oh…begitu,”
ujar Mei, gadis itu mengangguk-angguk. Dilihatnya pria itu mulai duduk
bersandar, kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia duduk dengan kaki yang menyilang.
Pria
itu memiringkan kepalanya sedikit, masih tersenyum seraya memperhatikan Mei.
Benar-benar
pemandangan yang luar biasa. Sanggup membuat jantung Mei diam-diam terus berdegup
kencang seolah baru saja berlari sejauh dua kilometer. Penampilannya
menyilaukan.
Namun,
karena tidak mau responsnya menggantung, Mei pun mencoba untuk menyampingkan
rasa kagumnya untuk sementara waktu, lalu berdeham, “Ekhem. Jadi, apakah kau
pulang lewat sini?”
“Tidak juga,”
ucap pria itu. Dia tampak terhibur saat melihat Mei yang berdeham terlebih
dahulu sebelum berbicara. Tatapan matanya pada Mei saat ini terlihat lebih…intens.
“Hanya kebetulan lewat sini karena ada sebuah pekerjaan, my lady.”
Mei
pun mengangguk-angguk mengerti.
Pria
itu tersenyum lagi. “Boleh aku tahu siapa namamu, my lady?”
Mei
mengangkat kedua alisnya. Napasnya sedikit tertahan tatkala mendengar
pertanyaan itu. Ia kaget dengan kenyataan bahwa pria itu ingin tahu namanya.
Cara pria itu bertanya juga…sopan sekali.
Oh
sial, Mei mendadak jadi gampang gugup begini. What a handsome bastard.
Oh,
no. Wait. He’s not a bastard.
Menutupi
kegugupannya, Mei pun meneguk ludah dan mengangguk.
“Mei,”
ucap gadis itu. “Namaku Mei.”
“Mei…?”
Pria itu memiringkan kepalanya, matanya menatap Mei dengan penuh tanda tanya. Dia
menunggu. Seolah masih ingin tahu sesuatu.
Ah.
Dia ingin nama lengkap, huh?
“Shiori.
Shiori Mei,” ucap Mei, memperjelas namanya.
Pria
itu pun kembali menegakkan kepalanya; dia tersenyum puas. Suaranya lalu
terdengar lagi. “Nama yang sangat cantik, my lady.”
Mei
kontan berdeham; dia menyembunyikan rasa panas yang jelas-jelas naik ke pipinya
karena astaga, dia tidak bisa tersipu. Dia tidak boleh tersipu semudah itu! Bisa-bisa,
dia jadi naksir pada orang yang baru saja dia temui kalau begini caranya. Sudahlah
tampan, pintar memuji pula. That’s not fair.
Mei
pun langsung mengalihkan pandangannya ke vanilla milkshake-nya,
pura-pura mengaduknya dengan pipet lagi, lalu meminumnya dengan cepat.
Reaksi
Mei sukses membuat pria itu tertawa kecil. Pria itu agaknya menikmati situasi
ini.
Oh,
baiklah, Tuan Sempurna, kau pasti sangat terhibur.
Karena
tidak ingin terus-menerus gugup, Mei pun memutuskan untuk mengalihkan
perhatian. Dia berdeham, lalu mencoba untuk berbicara agar pria itu tidak
terus-menerus memperhatikan reaksinya.
“Bagaimana
denganmu? Siapa namamu?” Mei bertanya dengan tenang, berusaha untuk tidak
menunjukkan betapa terpengaruhnya dia dengan kata-kata tersebut. Padahal, tadi pipinya
hampir merona.
Pria
itu kembali tersenyum seolah-olah memberikan senyuman adalah spesialisnya. Dia
sepertinya sadar bahwa senyuman manisnya itu memberikan efek yang mematikan
untuk perempuan. Atau jangan-jangan dia tidak sadar?
“Akashi,
my lady,” jawab pria itu. “Akashi Roan Kaiser.”
Well,
damn.
Wajah
dan tubuhnya sempurna. Etikanya bagus. Suaranya sangat seksi. Sekarang…namanya
pun bagus. Cocok sekali dengan orangnya.
Kaiser
artinya…seorang kaisar, ‘kan?
Well,
he looks like one.
Kelihatannya, dia akan menjadi kaisar di hati Mei juga.
Oke,
itu di luar topik.
Sial.
Pikiran Mei jadi ke mana-mana. Ini tentu saja salah Akashi. Baru kali ini Mei
bertemu dengan seorang pria yang membuat pikirannya ke mana-mana seperti ini.
Akashi harus tanggung jawab. Paling tidak, dia harus berhenti berbicara dengan
bibir seksinya itu.
“Namamu…agak
bagus,” ujar Mei. Sial, bukan ‘agak’! Namanya memang bagus! “Sangat
cocok untukmu. Kupikir kau tidak bisa lebih sempurna dari ini.”
Pria
itu lantas tertawa.
Dia
betul-betul tertawa. Geli dengan sikap berani—sassy—yang mungkin
tidak biasa dia dapatkan, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
Kalau
saja Mei bisa melukis, Mei akan betul-betul menjadikan pria ini sebagai muse-nya.
Dia terlihat seperti seorang pangeran yang baru saja turun dari sebuah kerajaan
di langit.
“Hmm…
‘Agak’, ya?” ucap pria itu; dia terlihat sangat terhibur. Di matanya
tersirat banyak sekali jenaka. “Baiklah. Bolehkah aku memanggilmu ‘Mei’, my
lady?”
Well,
sial.
Nama Mei enak sekali didengar tatkala diucapkan oleh lidah pria itu beserta
suara seksinya. Namanya jadi terdengar begitu indah. Membuat pipi Mei merona
saja.
Pria
tampan sialan.
Akhirnya,
Mei pun mengangguk. Lagi-lagi berusaha untuk menutupi rasa gugupnya.
“Sure,”
ujar Mei kemudian. Namun, tiba-tiba Mei tersadar akan sesuatu. “Kalau aku? Bagaimana
caraku memanggilmu?”
Mei
tadi dengar pria itu mengenalkan dirinya dengan nama Akashi, tetapi Mei hanya
ingin memastikannya sekali lagi.
Pria
itu tertawa dengan lembut di depan Mei. Tatapan matanya begitu bersahabat.
Lembut dan ramah. “Akashi. Panggil saja Akashi, my lady.”
Benar.
Nama panggilannya adalah Akashi.
Namanya
bagus sekali. Begitu berkarisma, seperti orangnya.
“Baiklah,
Akashi,” ucap Mei. Dia mengangguk dengan ekspresi datar, menyembunyikan semua
pikiran aneh yang mengalir di kepalanya.
Akashi
pun mengangguk. Pria itu lalu mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh Mei.
“Salam kenal, Mei.”
Jadi,
dengan gerakan yang sedikit ragu, Mei pun memegang tangan kuat milik Akashi.
Mei sadar akan jari-jari Akashi yang panjang; tangan Mei terlihat kecil sekali jika
dibandingkan dengan tangan Akashi. Lengan Akashi juga terlihat berotot di balik
sweater hitamnya.
Berusaha
untuk menyingkirkan segala pikiran kotornya sebelum menembus batas wajar, Mei
pun mengangguk. Ia mencoba untuk bertatapan dengan Akashi; tatapan mata
mereka berserobok. Dalam waktu singkat, tatapan mereka jadi terlihat saling menerawang.
Mei seakan terisap ke dalam kepekatan warna merah dari mata milik
Akashi, terjerumus ke dalam warna merah yang begitu menarik perhatiannya. Warna
merah itu memiliki daya tarik yang luar biasa. Memiliki kekuatan.
Gairah. Begitu intens…sampai membuat Mei sukses terjerat di dalamnya
dalam waktu yang sangat singkat.
Ini
berbahaya.
Jika
Mei berada di dalam café ini lebih lama lagi, bisa-bisa Mei benar-benar akan
menyukai pria itu. Pria yang bernama Akashi itu. Ah, sial, Mei jadi terdengar aneh
begini. Dia tak mau terdengar putus asa, terutama saat dia baru saja putus
dengan Haruki. Masa iya dia naksir dengan orang lain secepat ini?
Mei
tidak yakin dia akan bertemu lagi dengan Akashi di kemudian hari. Jadi, Mei tak
mau menanggung risiko untuk jatuh cinta pada Akashi yang merupakan orang asing,
terutama Mei baru saja mengalami patah hati. Agaknya, hal yang seperti ini
harus cepat-cepat dicegah. Tidak lucu kalau dia harus mengalami patah hati dua
kali berturut-turut dalam waktu kurang dari satu minggu.
Meski
sangat enggan melepaskan diri dari tatapan mata Akashi, Mei tetap
berusaha untuk mengalihkan pandangannya. Dia membuang seluruh hasratnya—meski
itu nyaris mustahil mengingat betapa luar biasanya daya tarik dari kedua mata
Akashi—dan menguatkan dirinya karena ini adalah keputusan yang terbaik. Dia tak
mau terbawa suasana ataupun terbawa perasaan.
Lagi
pula, takutnya Akashi tahu kalau Mei mulai gugup dan malah menikmatinya. Okay,
that’s a whole misunderstanding right there, Mei.
Mei
akhirnya mengangguk; dia mulai melepaskan tangannya dari genggaman Akashi. Dia lalu
mengambil tas selempangnya—yang masih ada di atas meja—dan memakai tas
tersebut.
Dia
harus pulang. Pokoknya harus pulang, kalau tidak mau dicap gampangan. Sial,
jangan sampai dia naksir sama Akashi.
Akan
tetapi, kalau dia mau pulang, mau tidak mau dia harus menatap Akashi lagi untuk
berpamitan. Dia harus bersikap sopan; dia harus menghargai Akashi. Sama seperti
bagaimana Akashi memperlakukannya sejak tadi. Dia tahu bahwa berurusan
dengan Akashi akan menyeretnya ke dalam situasi di mana dia harus bersikap di
luar kepribadiannya. Dia bisa menjadi gugup, malu, dan mesum…seperti tadi.
Oke,
dia akan menatap Akashi lagi. Sebentar saja.
Come
on, Mei. Let’s get this over with.
Saat
telah menatap Akashi kembali, Mei pun berusaha untuk tersenyum. Namun, sialnya,
senyum yang muncul di wajahnya ternyata hanyalah senyum tipis. Cocok sekali
dengan wajahnya yang tak berekspresi. Kalau tahu begini, Mei akan lebih rajin
berlatih tersenyum dengan orang. “Kalau begitu, aku pulang dulu, ya, Akashi.
Ini sudah sore. Aku harus mencuci pakaianku.”
Akashi
terlihat melebarkan matanya; tubuh pria itu sedikit menegap. “Ah—begitu,
ya? Di mana rumahmu, Mei? Pulang naik apa? Mau kuantar pulang?”
Kontan
saja kedua mata Mei membeliak, dia buru-buru menggeleng dan menggerakkan sebelah
tangannya ke kanan dan ke kiri, menolak Akashi dengan cepat. Sial, dia pulang
untuk menghindari ‘jatuh cinta dadakan’! Percuma saja kalau Akashi mengantarnya
pulang. “Tidak usah, Akashi. Aku tinggal di daerah sini kok. Aku bisa berjalan
kaki dari sini.”
“Benar
di daerah sini?” tanya Akashi lagi, memastikan. Dahi pria itu agak berkerut, dia
tampak khawatir pada Mei.
Mei
mengangguk. “Iya. Apartemenku ada di dekat sini. Aku duluan, ya,
Akashi.”
Akhirnya,
Akashi pun mengangguk. Pria itu menghela napasnya pelan, terlihat seakan sudah
menerima kepergian Mei dari sana serta menerima Mei yang tidak mau
diantar olehnya.
“Baiklah
kalau begitu. Hati-hati, ya, Mei,” ujar Akashi, pria itu pun tersenyum dengan
lembut pada Mei.
Mei
mengangguk. Gadis itu balas tersenyum pada Akashi, lalu berpamitan. “Terima
kasih, Akashi. Aku pulang dulu, ya.”
Setelah
melihat Akashi mengiyakannya, Mei pun menunduk singkat pada Akashi, lalu ia berdiri
dan beranjak keluar dari meja itu. Ia mulai berbalik—membelakangi Akashi—dan berjalan
ke pintu masuk café.
Ketika
Mei sudah berdiri di depan pintu café, Mei tahu bahwa untuk sampai ke
apartemennya, dia harus menghadap ke kanan, lalu berjalan lurus. Jadi, dia akan
kembali melewati jendela tempat ia dan Akashi tadi duduk.
Tatkala
Mei melewati jendela itu, Mei melihat Akashi yang masih duduk di sana; Akashi
melihat ke arahnya melalui jendela yang terbuka itu. Akashi memberikannya
sebuah senyuman manis, kemudian pria itu melambaikan tangan padanya.
Damn,
you handsome stranger.
Dengan
senyum simpul (dan ekspresi wajah yang ditahan agar tidak kelihatan
gugupnya), Mei pun balas melambaikan tangannya pada Akashi. Setelah itu, Mei
mulai berjalan meninggalkan café itu dengan lega.
******
Akashi
menurunkan tangannya yang tadi tengah melambai kepada Mei. Dia masih melihat ke
arah Mei yang sedang berjalan menjauhi café. Kepalanya menghadap ke
kanan dan matanya melihat ke belakang, berhubung arah pulang Mei itu berlawanan
dengan posisi duduknya saat ini.
Senyuman
yang tadi ia berikan kepada Mei itu masih menghiasi wajah tampannya, tetapi
kini senyuman itu terlihat sedikit berbeda. Sedikit menipis.
Matanya
yang sejak tadi memberikan tatapan yang ramah dan lembut itu perlahan-lahan
kembali mengikuti bentuk aslinya. Bentuk mata yang tajam seperti elang.
Sensual. Misterius. Kedua bola mata berwarna merahnya mengikuti langkah Mei
yang semakin lama terlihat semakin jauh. Dia menyipitkan mata, memperhatikan
Mei dengan saksama di dalam diamnya. Cahaya merah dari kedua matanya
seakan-akan mampu mengunci Mei dari jauh, mengurung Mei di dalam penjara yang
ia ciptakan di dalam kepalanya.
Tak
lama kemudian, Akashi pun menoleh ke depan. Ke posisi awal. Pria itu kemudian
meraih topi fedoranya yang ia letakkan di atas meja, memakai topi tersebut,
lalu pergi keluar dari café itu.
Tatkala berjalan keluar dari café dengan
langkah tegapnya, orang-orang yang ada di dalam café tersebut kembali
melihat ke arah Akashi dengan tatapan terpukau. Dia tidak terlihat seperti
orang ‘biasa’. Antara artis, model, atau…keluarga prestigious. Dia seperti
punya status yang tinggi.
Tatkala
Akashi sudah berada di luar café, pria itu pun menghampiri sebuah mobil limousine
hitam, Rolls Royce Phantom limousine, yang sudah terparkir di depan café
itu. Menunggunya.
Ada
beberapa orang berjas hitam yang terlihat berdiri di depan limousine
tersebut. Mereka semua berpakaian rapi, berjas hitam, dan di dalamnya mereka memakai
kemeja berwarna putih. Mereka semua berdiri berjajar dengan rapi, mulai
merunduk hormat tatkala melihat Akashi keluar dari café. Mereka menyambut
Akashi dengan hormat.
Begitu
Akashi berdiri tepat di depan mereka, salah satu dari mereka yang tengah
memegang sebuah jas hitam panjang langsung dengan sigap mengganti jas yang
tengah Akashi kenakan dengan jas hitam panjang tersebut.
“Boss,”
sapa
salah satu dari mereka, menyambut Akashi. Dia membukakan pintu mobil untuk
Akashi. “Sudah selesai?
“Hm,”
deham Akashi. Pria itu mulai masuk ke mobil, lalu pintu mobil itu ditutup
kembali oleh pria yang tadi membukakan pintu untuknya. Ada dua orang yang ikut
satu mobil dengan Akashi, sementara beberapa pria yang lain hanya mengikuti
dari belakang dengan mobil hitam yang berbeda. Mengawal mobil Akashi.
Ketika
mobil yang Akashi naiki itu mulai berjalan, suara Akashi pun terdengar.
“Di
mana
apartemen yang jarak tempuhnya bisa berjalan kaki dari sini?”
Pria
yang duduk di depan, seorang capo yang tengah menyetir mobil itu, tampak
sedikit melebarkan mata tatkala mendengar pertanyaan dari bosnya. Dia
mengerutkan dahi, berpikir sejenak, lalu melebarkan matanya lagi karena sudah
mendapatkan jawabannya. Dia ingat sesuatu.
Pria
itu lantas menjawab, “Ah, mungkin yang ada di depan sana, Boss. Sekitar
seratus meter, sebelah kiri. Di sana kalau tidak salah ada apartemen tiga
lantai.”
Suara
Akashi kembali terdengar di dalam mobil itu. Suaranya yang begitu dingin, sarat
akan kepemimpinan, tetapi sangat menggoda untuk didengar. Tipe-tipe suara yang
membuatmu ingin mendengarnya lagi dan lagi. Jika ia bertelepon denganmu dengan
suara itu, kau akan merasa seolah meleleh.
Dia
berkata, “Begitu, ya.”
“Memangnya
ada apa, Boss?” ujar salah satu capo itu, sesekali melihat Akashi
melalui kaca spion dalam. Capo satu lagi—yang duduk di sebelah Akashi—pun
tengah menatap Akashi, ingin tahu mengapa bos mereka menanyakan hal itu. Mereka
menunggu Akashi berbicara.
Akashi
pun mulai menatap ke jendela mobil yang ada di samping kanannya, lalu di
bibirnya terbit seulas senyum. Matanya menatap dengan begitu dingin. Berkilat
dan tajam layaknya mata seekor elang. Mengunci apa pun yang sedang ia
lihat.
“Tidak
ada,” ujar Akashi kemudian. “Besok aku akan pergi ke café
yang tadi lagi.” []
******
No comments:
Post a Comment