Bab
2 :
Temen
Baru Coco
******
SELEPAS
melihat
adiknya yang membuka pintu kamarnya dengan bibir dan pipi yang celemotan, Atlas
sedikit menaikkan kedua alisnya karena heran. Akan tetapi, akibat
wajahnya yang acap kali terlihat tanpa ekspresi serta didukung oleh alisnya
yang tebal, ekspresi herannya itu pun tak terlihat kentara. Dari meja
belajarnya, Atlas dapat melihat Zavie dengan jelas meskipun kamarnya agak gelap.
Buntalan berisi susu itu berdiri di sana, melihat Atlas dengan kedua
mata bulatnya seraya memakai piama berwarna biru muda lengkap dengan aroma
bedak bayi serta minyak telonnya.
Karena Atlas hanya diam, Zavie pun
kembali memanggil kakaknya itu, “Ka…kak?”
Atlas mengerjap.
“Hm,”
deham Atlas, merespons panggilan kedua dari adiknya itu. “Duluan aja.”
Namun,
mendengar jawaban dari Atlas, mata Zavie jadi melebar. Mulutnya menganga, ia
sedikit bingung dengan jawaban dari kakaknya itu. Zavie kurang mengerti kalau
disuruh duluan. Kalau disuruh duluan begitu, nanti martabaknya
keburu Zavie embat semua. “Na—nanti Javi habicin cemua maltabaknya, Kak.”
Ya
kalau mau dihabisin kenapa ditawarin?
Menghela
napas, Atlas pun menjawab, “Ya udah.”
Seperti
biasa, jawaban Atlas selalu singkat, padat, dan jelas. Tingkatan sikap dinginnya
sudah hampir sama dengan suhu freezer kulkas Mama yang biasa menyimpan
bahan-bahan makanan mereka. Namun, Zavie sebenarnya sudah sering diperlakukan
seperti itu oleh kakaknya. Maka dari itu, isi kepala bocah berwajah susu itu
terkadang dihadapkan pada sebuah dilema, yaitu pasrah dan terbiasa dengan sifat
kakaknya itu atau memberontak dengan cara mencari tahu penyebab mengapa
kakaknya sedingin itu supaya dia bisa lebih disayang dan dimanja sama kakaknya.
Namun,
karena saat ini Zavie sedang membahas soal martabak coklat, dia pun tak mau
banyak berpikir. Mendengar jawaban kakaknya, Zavie lantas mengangguk dengan mantap
dan matanya berbinar. Bentuk matanya itu hampir bulat sempurna, irisnya
berwarna coklat kehitaman (hampir hitam) dan terlihat begitu jernih.
Seluruh isi pikirannya, seluruh perasaannya, semuanya bisa terbaca melalui
kedua matanya yang polos itu.
“Ung!!”
sahut Zavie riang (menjawab kakaknya), lalu kaki kecilnya langsung berlari ke
ruang tamu kembali, tempat di mana Mama dan Papa sedang duduk sembari
mengobrol.
Ehehehee,
Zavie jadi bisa makan jatah martabaknya Kak Atlas, deh!
******
Keesokan
harinya, seperti yang sudah Zavie rencanakan dan tunggu-tunggu, dia pun mulai
mencari tahu kebenaran tentang Coco yang mungkin memiliki teman baru. Zavie
yang sudah kepo dari kemarin—bahkan sampai mengigau, ‘Cocooo... Temen
balu Cocooo…’ waktu diangkat Papa pas ketiduran di depan TV—pun langsung memelesat
ke halaman belakang ketika dia sudah bangun tidur, sarapan, dan mandi.
Zavie
ke sana—ke halaman belakang, tepatnya di dekat taman bunga hydrangea biru
itu—bersama dengan Coco selaku terdakwa. Dilihatnya Coco langsung berlari ke
taman bunga hydrangea biru itu dan masuk ke tengah-tengah tanamannya
melalui bagian bawah. Zavie pun ikut berlari supaya bisa cepat memergoki
aktivitas terdakwa yang entah akan melakukan apa di tengah-tengah tanaman itu.
Udah enggak sabar lagi soalnya. Kepo banget.
Begitu
Zavie sampai di taman bunga hydrangea itu, Zavie pun langsung berjongkok
dan mulai menyibak tanaman hydrangea itu agar bisa memberikannya jalan
dan penglihatan yang baik. Seraya menyibak tanaman itu, Zavie pun mulai
berjalan jongkok seraya melihat ke depan dengan mata bulatnya yang polos.
Betapa
terkejutnya Zavie tatkala ia benar-benar sudah sampai di tengah-tengah taman
bunga hydrangea itu. Tanamannya tersibak sehingga area penglihatan Zavie
kini tentu jadi lebih terang dan lebih jelas.
Di
sana, di depannya, Zavie melihat ada seekor kucing. Kucing itu berdiri
menghadap ke arah Zavie, tetapi di sebelahnya sudah ada Coco yang sibuk
menjilati kepalanya. Kucing itu kecil, ukurannya lebih kecil daripada Coco, dan
bulunya berwarna putih. Matanya bulat dan berwarna biru. Dia memakai kalung
berwarna putih dengan liontin yang berbentuk lingkaran.
Anehnya,
walau melihat ada intrusi dari manusia kecil bercelana pendek yang tak diundang
itu, kucing putih itu tetap bergeming. Dia hanya melihat Zavie dengan mata
bulatnya yang berwarna biru itu, kaki pendeknya tetap berada di posisi yang
sama. Sementara itu, Coco masih saja menjilati kepala kucing itu.
Mungkin,
alih-alih berlari karena ketakutan, radar kucing itu justru mendeteksi bahwa
makhluk bercelana pendek dan berkaus putih dengan gambar capybara itu
adalah makhluk sejenis dia. Kucing juga. Cuma agak lebih besar saja.
Melihat
kucing itu, mata Zavie kontan berbinar-binar. Ekspresinya langsung terlihat
menyala, bercahaya. Mulutnya lantas terbuka lebar, kemudian dia tersenyum
semringah. “Uwaaaa! Ada kuciiinggg!!!”
Sontak
saja Zavie berjalan jongkok dengan cepat, dia langsung menghampiri kucing putih
itu dan berhenti tepat di hadapannya. Kepala Zavie langsung tertunduk, melihat dengan
fokus ke arah kucing itu, lalu Zavie mengelus kepala kucing itu. Bulunya lembut
sekali. “Waaah, ternyata Coco emang punya temen baluuu! Ini, ya, temen
balunyaa?”
Kucing
yang sedang ditanya, Coco, malah tidak peduli sama sekali. Dia masih sibuk
menjilati bulu kucing putih itu sambil menggigit-gigitnya sesekali.
Zavie
lantas tersenyum manis—dia senang sekali—sampai-sampai kelopak matanya
tertutup seolah ikut tersenyum. Bocah itu mulai mengelus-elus kepala kucing
putih itu. “Kamu ciapa namanya? Udah lama, ya, main di cinii?”
Kucing
putih itu hanya mendongak, memejamkan matanya, dan menikmati elusan dari tangan
kecil Zavie.
“Eheheheee,
ada kucing baluuu. Eh, tapi kamu punya kalung…berarti kamu ada yang punya,
yaa?” tanya Zavie lagi. Kini dia mulai mengelus dagu kucing itu.
Karena
tidak ada jawaban—yang ditanya malah sedang keenakan karena dagunya
dielus—Zavie pun akhirnya menghela napas. “Ya udah, deh, ayo kita main dulu,
yaaa! Cama Coco, cama bebek-bebek jugaa! Kita main dulu, okee? Sambil
nunggu-nunggu kamu dijemput!” ajak Zavie dengan riang, dia mengulurkan kedua
tangannya untuk mengelus dua ekor makhluk berbulu yang ada di hadapannya.
Sebenarnya, Zavie juga pengin tahu siapa pemilik kucing putih itu, soalnya
kucingnya memakai sebuah kalung.
“Yeeeeeeyyy!
Ayo mainnn!!” teriak Zavie antusias, bocah itu pun langsung menggendong dua
kucing tersebut, memeluk mereka dengan kedua lengannya. Zavie langsung berlari
sedikit menjauh dari taman bunga hydrangea itu dan menuju ke kanan.
Sekitar beberapa meter dari sana, di sebelah kanan, ada sebuah genangan air
yang biasa disinggahi oleh bebek-bebek kompleks. Bukan semua bebek kompleks
juga, sih, tetapi ada satu bebek betina yang biasa membawa anak-anaknya main ke
sana. Mereka biasa bermain di genangan air yang ada di belakang rumah Zavie,
tak jauh dari taman bunga hydrangea.
Sesampainya
Zavie di genangan air itu, benar saja, ada bebek-bebek pengunjung setia yang
sudah berenang-renang dan minum di sana. Genangan air itu sebenarnya agak
lebar, soalnya di sana ada bagian tanah yang agak menjorok ke bawah. Entah
bekas galian atau bagaimana, tetapi akibat permukaannya yang agak turun, air jadi
mudah mengalir ke sana. Waktu itu Papa pernah mau menimbun tanah di daerah itu,
tetapi Zavie menolak dengan keras. Bocah itu demo, mogok minum susu dan
memberengut pada Papa, memaksa Papa untuk membatalkan rencananya. Dia bahkan
sempat mengancam untuk membawa sendal Papa buat bermain lumpur serta menyuruh
Coco untuk eek di sepatu Papa saja kalau Papa masih bersikeras.
Akhirnya, karena tak mau lama-lama bermasalah dengan bocah itu, Papa pun
mengalah. Gawat juga kalau sepatu kerjanya kena eek, pikir Papa waktu
itu.
“Bebeeeek!”
panggil Zavie. Tatkala mendengar suara Zavie, bebek-bebek itu lantas menoleh
kepadanya secara bersamaan. Induk dari anak-anak bebek itu hanya mengeluarkan
satu suara ‘Wek’ sebagai respons untuk Zavie. Mereka juga sudah biasa
melihat Zavie berkeliaran di sekitar mereka dan ikut campur urusan mereka.
Untung saja Zavie itu cuma sekadar intruder biasa, bukan impostor.
Kekepoan
Zavie itu sudah tersebar luas bukan hanya pada warga kompleks, tetapi pada
hewan-hewan juga.
Zavie
menurunkan kedua kucingnya di pinggir genangan air itu. Kedua kucing itu pun
lantas berlari-lari, berkejar-kejaran di pinggiran genangan air itu. Zavie
dengan santainya langsung masuk ke dalam genangan air itu, langsung
mengejar bebek-bebek itu, bolak-balik sambil tertawa kencang sampai bebek-bebek
itu jadi panik dan berenang terpisah-pisah. Bebek-bebek itu berenang dengan
gancang sembari berteriak, ‘Wek! Wek wek wek!! Wek wek!!’, tetapi Zavie
justru terlihat semakin gembira. Bocah itu agak sadis soalnya. Kucing-kucing
yang tadinya berlari-lari di pinggir genangan air itu pun jadi duduk diam dan memperhatikan
betapa kacaunya keadaan itu. Coco mau kabur, tetapi bocah yang ada di depan
sana adalah majikannya. Jadi, Coco tak punya pilihan lain selain menonton
dengan sabar. Namun, karena sudah hafal dengan kelakuan Zavie, beberapa dari
anak-anak bebek itu pun lantas berenang ke tepian dan hal ini jadi mengundang
para kucing untuk mendekat juga ke bebek-bebek itu.
Kucing-kucing
itu menempelkan hidungnya ke tubuh bebek-bebek yang sedang menepi. Setelah itu,
bebek-bebek itu pun membalas para kucing itu dengan menempelkan paruh mereka ke
hidung dua kucing tersebut. Zavie melihat adegan itu dan kegirangan sendiri.
Inilah yang membuat Zavie suka sekali dengan bebek dan kucing. Mereka itu imutnya
minta ampun!
Zavie
terus bermain bersama bebek-bebek serta kedua kucing itu selama beberapa waktu.
Terkadang dia masuk ke genangan air—yang kalau ketahuan Mama, pasti kena oceh
habis-habisan—dan terkadang dia berlarian di tanah halaman belakang rumah,
dikejar atau mengejar kucing-kucing itu. Dia juga sempat singgah ke taman bunga
hydrangea untuk bermain tangkap-tangkapan kupu-kupu bersama Coco dan
kucing putih yang ia temukan tadi.
Zavie
bermain bersama hewan-hewan itu sambil menunggu si Kucing Putih dijemput oleh
pemiliknya. Namun, entah mengapa, ditunggu punya tunggu, pemiliknya tak kunjung
datang.
Sampai
akhirnya, jam makan siang pun tiba. Zavie sudah berusaha semaksimal mungkin
untuk menahan rasa laparnya selama beberapa saat supaya bisa tahu siapa pemilik
kucing putih itu. Akan tetapi, wujud pemilik kucing itu belum tampak juga.
Karena
sudah lapar, Zavie pun mengangkat kedua kucing itu—Coco dan si Kucing
Putih—lalu mulai membuat sebuah keputusan yang sangat berat, yaitu meletakkan
dan meninggalkan si Kucing Putih itu di taman bunga hydrangea terlebih
dahulu, untuk saat ini. Dulu Papa pernah bilang sama Zavie kalau setiap
keputusan pasti ada risikonya. Papa waktu itu habis nonton film motivasi,
makanya Papa sok-sokan menasihati Zavie yang juga kepoan orangnya. Kata
Papa, dalam hidup ini Zavie harus berani mengambil keputusan walaupun itu
berat. Zavie tak paham apa itu risiko, tetapi mungkin inilah yang Papa maksud, soalnya memang berat banget.
Setelah
meletakkan kucing putih itu ke taman bunga hydrangea, Zavie pun
berjongkok dan mengelus kepala kucing putih itu. “Di cini dulu, ya. Tunggu campai
pemilik kamu datang, oke?” Mendadak Zavie jadi sedih tatkala mengatakan itu. Bagian
sudut bibirnya terlihat melengkung ke bawah, kayak lagi ngambek. “Tunggu,
ya, Kucing Putih. Javi pulang dulu, ya?”
Setelah
mengatakan itu, meskipun dengan berat hati—dan dengan perut yang keroncongan—Zavie
pun akhirnya berdiri. Coco masih berada di gendongannya.
“Bye
bye,
nanti Javi liat kamu lagi, ya!” ucap Zavie, dia melambaikan tangannya pada
kucing putih itu, lalu berbalik dan berlari ke rumahnya. Hati Zavie rasanya nyes
banget karena harus meninggalkan kucing putih itu di sana sendirian
meskipun Zavie tahu kalau dia pasti bakal ke sana lagi. Zavie harus tanya Mama,
nih! Zavie harus minta saran dari Mama!
Ketika
baru saja sampai di dekat pintu belakang rumah, Mama yang kebetulan lagi mau ke
belakang rumah—karena mau meneriaki Zavie supaya pulang—itu kontan terperanjat.
Mata Mama langsung memelotot tatkala melihat Zavie beserta pakaiannya yang
sudah penuh dengan lumpur. Pakaiannya, kakinya, tangannya, semuanya terlihat basah
dan berlumpur. Mama kontan berteriak kencang.
“ZAVIEEEEEEE!!!!!!!
ASTAGA YA TUHAAANNN!!!”
******
“Mamaaa…”
panggil Zavie dengan nada sedihnya sembari memegangi celana Mama yang sedang
mengambilkan nasi untuknya. Zavie kini sudah mandi, dia sudah bersih dan sudah
berganti pakaian. Dia baru saja kena oceh sama Mama, ocehan Mama tadi lama dan
lengkap banget, tetapi Zavie tidak menangis. Kalau Mama mengoceh, terima saja
dengan telinga terbuka, kata Papa. Zavie tahu kok kalau dia bakal kena marah sama
Mama. Namun, Zavie tadi memang pengin mengajak kucing putih itu bermain.
“Apa
lagi?!” tanya Mama ketus.
“Tadii,
tadii Javi, kan, maen sama Coco di belakang,” ucap Zavie, dia tak menggubris
nada ketus mamanya dan mulai bercerita.
“Ha.
Terus maennya sampai berlumpur, gitu?” sambung Mama, langsung mencerocos
tanpa rem. “Nggak usah cerita kamu, Mama udah tau.”
Ih,
Mama, nih. Mengamuk terus.
Zavie
jadi mengerucutkan bibirnya. “Bukan gitu, Mama.”
“Jadi,
apa??!” ucap Mama lagi dengan ketus. Marahnya Mama memang susah redanya.
Sekarang Mama lagi mengambilkan lauk untuk makan siang Zavie.
“Itu,
Mama… Coco telnyata memang punya temen balu,” ungkap Zavie. “Temennya warna
putih, Mama. Kecil, lucu, tapi pake kalung...”
Mama
tak menjawab. Cuma diam sambil mengambil lauk untuk Zavie. Zavie dari tadi
hanya memegangi celana Mama sambil mengikuti ke mana Mama pergi. Sekarang Mama
sedang berjalan ke arah dispenser dan Zavie masih mengikuti seraya memegang
celana Mama.
Ketika
Mama sedang menampung segelas air dari dispenser, Mama pun akhirnya menghela
napas. Melepaskan sedikit amarahnya ke udara.
“Ya
kalau pake kalung, berarti ada pemiliknya,” jawab Mama.
“Tapi
pemiliknya nggak dateng-dateng, Mama,” ucap Zavie lagi. Zavie mendongak dan
berbicara pada mamanya dengan mata bulatnya yang memelas. “Javi takut, Mama,
Javi takut dia nggak dijemput-jemput. Tadi Javi udah tungguin pemiliknya
barengan Coco, tapi kucing putihnya nggak dijemput-jemput juga.”
Mama
kembali menghela napas. Kini Mama pun berbalik dan berhadapan dengan Zavie.
Dilihatnya anaknya yang sedang takut dan sedih itu, lalu perlahan-lahan kemarahannya
pun jadi menghilang. Oh, jadi itu alasannya Zavie—bocah berpotongan rambut two
block itu—main sampai celemotan karena terkena lumpur. Zavie ini
ganteng, sebenarnya, tetapi kelakuannya kayak salah kasih susu.
“Ya
sudah. Tunggu aja dulu. Mungkin pemiliknya agak telat karena sibuk.” Mama
menenangkan.
“Ta—tapi,
Ma, kalau dia nggak dijemput, gimana?” Zavie masih mendongak, kedua tangannya
ada di sisi-sisi tubuhnya. Dia berdiri tegap, tetapi kepalanya mendongak supaya
bisa melihat wajah Mama. Mata bulatnya mulai berkaca-kaca; dia menatap Mama
dengan ekspresi sedih. Ekspresi kasihan. Ekspresi takut.
“Kita
lihat dulu sampai besok pagi. Kalau besok pagi kamu lihat dia masih ada di
situ, berarti dia memang nggak dijemput,” kata Mama. “Tunggu aja dulu. Nggak
boleh sembarangan diambil kalau ada yang punya.”
Zavie
terdiam selama beberapa saat; bocah itu tertunduk dengan wajah yang murung. Bibirnya
sedikit terlipat dan bahunya turun.
Namun,
akhirnya si kecil itu pun mengangguk perlahan.
“Hng,”
jawabnya, mengiyakan mamanya. Setelah itu, dia pun mendongakkan kepalanya lagi
dan menatap Mama dengan sendu. “tapi becok pagi-pagi Javi liat dia, ya, Ma.
Javi mau liat dia pagi-pagi banget, Ma. Bangunin Javi, ya, Ma?”
Mama
pun mengangguk. “Iya. Ayo, makan dulu.”
Zavie
kembali mengangguk perlahan. Dia bersama Mama lantas mulai berjalan ke ruang
tamu dan duduk di sana, lalu makan siang sambil menonton TV.
Akan
tetapi, nyatanya hari itu tidak berlalu semudah itu. Sampai sore, sampai Kak
Atlas dan Papa pulang, sampai mandi sore, Zavie ternyata masih kelihatan risau.
Sayangnya, sore itu Mama memang melarang Zavie untuk keluar lagi sebab takut
bocah itu kembali bermain lumpur. Jadi, Zavie tak bisa mengecek kucing itu saat
sore harinya.
Keadaan
itu bertahan sampai makan malam. Ketika akhirnya Mama mengantarkan Zavie ke
kamarnya untuk tidur malam itu pun, Zavie masih terus kepikiran tentang kucing
putih itu.
******
Esoknya,
pagi-pagi buta, ketika dibangunkan oleh Mama, kedua mata Zavie pun langsung
terbuka lebar. Ia betul-betul langsung terjaga. Dia lantas bangkit dari tempat
tidurnya dan memelesat—berlari—ke belakang. Atlas yang sedang memakai dasi
SMA-nya saat itu pun kelihatan menyatukan alisnya—merasa heran—ketika melihat
adiknya yang tumben bangun pagi hari ini, lalu malah berlari dengan secepat
kilat ke pintu belakang rumah. Mama lantas berteriak, “Pelan-pelan, Dek!!!”
seraya menyusul Zavie ke belakang, lalu membukakan pintu untuk anak bungsunya
itu.
Untung
Papa lagi mandi. Kalau tidak, pasti Papa juga akan sibuk menanyakan ada apa
gerangan yang terjadi pada Zavie hari ini.
Ketika
Mama sudah membukakan pintu belakang dan memberikan sepasang sendal crocs kecil
bergambar astronot itu kepada Zavie, Zavie pun bergegas memakai sendal itu dan
langsung berlari melewati teras belakang rumahnya, lalu turun ke bawah melalui
tangga.
Setelah
sampai di bawah—sudah menginjak tanah—Zavie pun lantas berlari lagi dengan
cepat ke taman bunga hydrangea. Dalam waktu singkat, Zavie sudah berdiri
di taman bunga itu dan dia langsung berjongkok, lalu menyibak tanaman bunga itu
seperti kemarin agar memperjelas penglihatan serta memudahkan jalannya.
Setelah
dia sampai di tengah-tengah tanaman bunga hydrangea itu, kedua mata
Zavie kontan membulat. Zavie mendadak merasa dadanya jadi sakit. Dia terkejut
dan tanpa sadar menahan napasnya. Seluruh rasa khawatir dan sedih yang sudah ia
pendam sejak kemarin akhirnya menerobos ke luar.
Di
sana, di depannya, Zavie melihat bahwa kucing itu masih ada di sana.
Masih menunggu dan berlindung di dalam serumpun tanaman hydrangea itu. Kucing
itu tertidur di sana, sendirian.
Tak
ayal, jantung Zavie jadi berdegup kencang. Anak laki-laki itu kontan berdiri,
dia langsung keluar dari taman bunga hydrangea itu dan langsung berlari
dengan sangat cepat ke rumahnya. Dia naik tangga cepat-cepat, isakannya sudah
hampir mau keluar. Dadanya rasanya sesak sekali.
Begitu
melepas sendalnya dan masuk ke rumah melalui pintu belakang, Zavie pun langsung
pergi ke dapur untuk mencari Mama di sana. Mama yang mendengar suara langkah
kaki Zavie yang terburu-buru itu pun lantas menoleh, lalu ia mendapati anaknya
yang tengah mendekatinya dengan ekspresi panik. Anaknya itu terlihat takut,
sedih, kasihan, dan gusar. Semuanya bercampur menjadi satu. Wajahnya terlihat
seperti sedang menahan tangis.
Mama
lantas mendekati Zavie dan langsung merunduk, memegangi pipi Zavie hingga
membuat anak itu mendongak. Sebelum Mama sempat bertanya ada apa, Zavie
langsung berbicara kepada Mama.
“Ma—Mama…”
panggil
Zavie, suaranya terdengar agak bergetar. Seperti ada isakan yang sedang dia
tahan. Matanya sudah berkaca-kaca. “Mama, Javi mau minta makanan kucing, ya,
Ma. Javi minta makanan kucing sama air minum, ya, Ma.”
Mama
yang mendengar permintaan Zavie saat itu kontan melebarkan mata. “Eh?”
Air
mata Zavie kini sudah menggenang di kelopak matanya.
Setelah
itu, Zavie pun melanjutkan, “Kucingnya ternyata belum dijemput, Ma.” []
******
Atlas
No comments:
Post a Comment