Chapter 6 :
You're
My Girlfriend Now
******
Violette:
AKU sangat mengantuk.
Aku sudah mandi dari
jam...entahlah, seingatku sekitar jam lima pagi tadi. Mengingat pesan dari
Justin kemarin—di mana dia berkata bahwa dialah yang akan menjemputku—membuatku
terperanjat dan Nathan sampai menyatukan alisnya karena heran padaku. Waktu itu
aku baru saja selesai makan—bahkan aku belum mencuci tanganku—dan aku langsung
membaca pesannya.
Akibat isi pesan itu, aku jadi
menghidupkan alarm karena aku takut terlambat bangun. Bayangkan saja! Dia
selalu menghitung setiap detik dari keterlambatanku dan aku tidak ingin
mengulanginya lagi. Sebenarnya, jika bisa, aku mau balas dendam padanya. Dengan
cara apa? Tentu saja dengan menyusup ke parkiran apartemennya dan
membuat ban mobilnya bocor sehingga gantian dia yang terlambat.
Apa aku coba saja, ya?
Hmm…nanti dulu, deh. Aku masih
sayang dengan nyawaku.
Aku sudah sarapan. Aku juga sudah
menggoreng telur serta bacon untuk Nathan meski dia belum
bangun. Untuk berjaga-jaga, aku duduk di teras rumahku untuk menunggu
kedatangan Justin. Ketika kulirik jam tanganku, ternyata ini masih jam 6.25
pagi. Lima menit lagi. Apakah dia akan tepat waktu?
Aku sebenarnya masih sangat mengantuk.
Aku menguap dan tubuhku rasanya seperti mau remuk. Aku meregangkan ototku, lalu
menumpukan kepalaku di meja dengan beralaskan lengan kiriku sendiri. Rumah kami
ini adalah rumah panggung, lalu di terasnya—lantai depan rumah, sebelum tangga
turun menuju ke halaman—ada dua buah kursi dan sebuah meja. Di salah satu kursi
itulah aku duduk.
Ah...sial, ke mana Justin? Aku takut aku
tertidur kembali meski aku sudah mandi.
Aku masih menumpukan kepalaku di
meja bundar berbahan kayu jati itu ketika tiba-tiba kudengar suara klakson
mobil dari depan rumahku. Aku sontak terduduk tegap dan mengelus dadaku; mataku
membulat, jantungku nyaris berhenti berdetak karena kaget. Aku lalu menatap ke
halaman rumahku.
Oh, si CEO itu.
Aku mengernyitkan dahi, jujur aku
sedikit melongo kali ini. Maksudku, aku ingin melihat dia, tetapi kaca mobil
bagian depannya terlalu gelap. Aku bahkan baru menyadarinya.
Dia mengklaksoniku lagi dan hal itu
sontak membuat mataku membeliak. Aku refleks mengelus dadaku.
Sialan. Tidak bisa sabarkah? Ugh.
Aku berdecak, menggeleng, dan bangkit
dari dudukku. Kurapikan pakaianku sebentar, lalu aku berjalan dengan cepat hingga
menuruni tangga. Setelah itu, aku berlari lagi sampai aku berada di samping
mobilnya. Aku memfokuskan mataku ketika aku memperhatikan mobilnya, kemudian
aku membuka pintu mobil itu dan masuk. Aku tahu dia memperhatikanku sejak aku
masuk ke dalam mobilnya hingga aku menutup kembali pintu mobil itu.
Setelah aku duduk di jok yang ada
di samping jok pengemudi, aku pun menatap ke arahnya. Dia sudah tak lagi
memperhatikanku, tetapi...wow, dia hot sekali! Sebenarnya,
begitu aku masuk ke dalam mobil ini, aroma parfumnya yang maskulin
dan seduktif itu langsung masuk ke indra penciumanku. Dia tampak segar sekali
pagi ini dan oh Tuhan, hidungnya memang terlihat mancung sekali ketika kulihat
dari samping seperti ini. Ujung hidungnya itu tampak tajam. Rahangnya juga
sangat tegas, membentuk lekuk wajahnya yang tirus. Setelah itu...eh? Aku
melihat dia mengeraskan rahang... Apa aku salah lihat?
Andai saja dia tidak kejam. Ah, ini
memalukan. Lagi pula, untuk apa dia menjemputku? Well, dia yang
sekarang ini selalu menganggapku seperti butiran debu. Dia selalu dingin dan
bersikap tak mau tahu terhadapku dan hal itu membuatku kesal. Sialnya aku tak
menemukan di mana titik keanehan yang ada pada dirinya hingga membuatnya mau
menjemputku pagi ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi?
Justin hanya diam, lalu dia mulai
menjalankan mobilnya kembali. Dia memutar roda kemudinya dan sekarang kami
sudah berada di jalan raya.
Kami sudah nyaris sepuluh menit
berada di dalam mobil dan aku tak bisa memulai pembicaraan. Kami hanya diam dan
ini terasa sangat canggung. Aku meneguk ludahku. Lebih baik aku
turun dari mobil jika suasana di sini terasa sangat mencekam! Aku ingin
berbicara, tetapi aku tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan dengan orang
seperti dia. Oh Tuhan, aku benar-benar membencinya dan ingatlah! Aku
sekarang tak pernah akur dengannya. Rasanya kami bukan teman baik lagi seperti
dulu.
Aduuuh, aku tak bisa jika hanya
diam seperti ini! Namun, apa yang harus aku perbuat? Apa yang harus aku
bicarakan?
Aku menarik-narik rokku agar tidak
terangkat sampai terlalu pendek ketika aku sedang duduk seperti ini.
Aku menggigit bibir sembari meremas
jemariku, mencoba untuk berbicara meski sialnya aku tergagap.
"Me—mengapa kau yang
menjemputku?" tanyaku.
Okay, kuharap jawablah dengan baik, Mr.
Sok Mengatur.
Dia hanya diam. Sial.
Ya ampun, aku sudah berusaha keras
untuk memecah kecanggungan ini dan katakan padaku bahwa usahaku itu tidak
sia-sia!
"Why did you pick me up today,
sir?" tanyaku
dengan nada yang kusopan-sopankan. Mungkin jika itu didengar oleh Megan, Megan
akan tertawa keras. Aku menatap Justin dengan senyuman palsuku yang kupasang
semanis mungkin.
Dia hanya menoleh ke arahku
sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Kita akan ke perusahaan Martin, aku
yakin kau ingat itu," ujarnya singkat.
Aku menyatukan alis, sedangkan dia
hanya menatap jalan dengan ekspresi yang datar.
Aku mendengkus. "Aku
ingat, sir, tetapi seharusnya aku bisa pergi sendiri,"
ujarku sembari menggeleng. Aku ingin meminta penjelasan padanya, tetapi dia
hanya diam seraya mengeraskan rahang. Mengapa dia mengeraskan rahangnya? Apa
dia sedang marah?
"Sir," panggilku lagi. Dia tetap
diam.
Aku kontan berdecak.
"Justin!!"
Dia hanya menolehkan kepalanya ke
arahku dan mengunciku dengan tatapan matanya. Aku mendadak meneguk ludah.
"Mengapa kau selalu saja banyak bicara, Vio? Aku menjemputmu karena ini
adalah satu-satunya cara agar kita sampai di sana bersama-sama dalam waktu yang
singkat. Pikirkan apa yang akan terjadi jika aku menunggumu di kantor dengan
kebiasaan terlambatmu itu. Kau mengerti?"
HECK. Aku hanya terlambat beberapa detik
dan itu terus saja diungkit setiap harinya!! Sial. Aku harus balas dendam!!
Dia menghela napas dan menatap
jalan lagi. Aku menggeram sendiri; aku mengepalkan tanganku. Setelah itu, entah
mengapa tiba-tiba dia menghentikan mobilnya. Aku membulatkan mata; aku
nyaris kehilangan keseimbanganku karena aku tidak berpegangan. Namun, untung
saja aku memakai sabuk pengaman.
Aku menatapnya dengan panik, aku takut
setengah mati.
"A—ADA APA INI, JUSTIN? KAU
MENABRAK ORANG?!" teriakku.
Dia menatapku lagi, kali ini
ekspresinya dingin.
Dia lalu berkata dengan dingin,
"Kau protes untuk bisa pergi sendiri, 'kan? Turunlah."
Aku kontan semakin membulatkan
mata.
Aku yakin aku benar-benar menganga
sekarang. "T—Tapi aku tak tahu jalannya dan aku tak membawa
mo...torku..." ucapku, semakin lama suaraku semakin lirih. Kuyakin
ekspresi wajahku kini terlihat blank bak orang tolol. Dia masih
memandangku dengan ekspresi dinginnya itu, lalu dia menatap ke depan lagi dan
mobil ini kembali berjalan. Aku tercengang.
"Makanya, diam," ujar
Justin. Aku kontan kaget bukan main. Ah, sial, ancaman macam apa
itu tadi? Aku jadi merasa kalau aku ini bodoh sekali!
Akhirnya, aku hanya bisa
membenarkan posisi dudukku kembali dan tertunduk.
"Yes," ujar Justin tiba-tiba.
Aku lalu menoleh ke arah Justin. Oh, dia
sedang menjawab telepon.
"Oh, Elika. Why?"
Eh? Bu Elika?
Ya Tuhan, aku mulai merasa kalau ada
yang tidak beres dengan Bu Elika itu. Namun, meskipun begitu, aku merasa
bersalah jika aku menebak yang bukan-bukan. Aku lalu kembali mendengarkan
Justin. Ini jatuhnya seperti menguping, sih, tetapi ya sudahlah.
"Berbicaralah dengan benar,
Elika. Ini jam kerja dan lebih baik kau serius."
"Hm."
Kali ini, Justin tiba-tiba menoleh
ke arahku dan aku mengernyitkan dahi ketika pandangan kami bertemu. Setelah
itu, dia fokus menatap jalanan lagi dan menjawab, "Violette."
Aku mengangkat alis. Apa yang
sedang mereka bicarakan? Ah, kurasa Bu Elika menanyakan Justin
sedang bersama siapa. Entahlah.
"Aku tutup jika
kau tidak ada perlu apa pun," ujar Justin, lalu dia mematikan
sambungan telepon itu dan meletakkan ponselnya ke atas dashboard. Mataku
mengikuti gerakan Justin dan akhirnya pandanganku kembali ke wajah tampannya
lagi. Namun, aku hanya diam dan tak ingin menanyakan apa pun. Aku pun akhirnya
mengalihkan pandanganku dan menatap ke depan, ke arah jalan.
Kali ini, kami sama-sama diam.
Tidak terlalu terasa canggung lagi karena kami terjebak di dalam pikiran
masing-masing hingga akhirnya kami sampai di depan perusahaan Martin. Ini pasti
perusahaan cabang milik Martin yang berada di New York. Haha, aku
ingin tertawa ketika mengenang masa lalu, yaitu saat kami menjalankan misi Red
Lion di kantor pusat perusahaan Martin yang ada di Perancis. Aku tak menyangka
bahwa aku dulu bisa sehebat itu. Apakah Justin
merasakannya juga? Ha. Tidak mungkin.
Aku membuka pintu mobil dengan
cepat ketika kami sampai dan kudapati Justin sudah berjalan mendahuluiku. Kudengar
Justin sudah mengunci pintu mobilnya dengan key fob yang ada di
tangannya. Dia berjalan di depan sana dan aku lantas mengejarnya.
"Justin—oh Tuhan, tunggu aku!"
Aku terus berlari dan akhirnya aku
bisa sampai di dekatnya. Aku kini berjalan berdampingan dengannya dan aku
merasa kami keren sekali ketika berjalan bersama seperti ini. AH, APA-APAAN
PIKIRANKU INI? Gah, aku geli sendiri dengan imajinasiku. Yang
keren itu Justin, sebenarnya. Bukan aku.
Aku menggeleng, lalu menatap ke
samping kiriku—Justin ada di samping kananku—dan aku menemukan banyak pasang
mata yang tengah memperhatikan kami. Aku meneguk ludahku, kemudian aku
tertunduk. Kami terus berjalan bersama-sama tanpa berbicara satu sama lain
hingga akhirnya kami sampai di dekat pintu putar perusahaan. Aku kini berjalan
di belakang Justin.
Justin berjalan mendekati
resepsionis yang ada di lobi perusahaan itu dan membicarakan sesuatu yang tak
begitu kudengarkan. Aku hanya diam di belakangnya dan menatap ke sekeliling seraya
mengerutkan dahi. Gila! Nyaris semua orang kini tengah menatap
ke sini!
Ketika kusadari bahwa Justin sudah
berjalan lagi, mataku membeliak dan aku langsung berlari ke dekatnya hingga
kemudian kami sampai di sebuah lift. Dia masuk dan aku pun mengikutinya. Di
dalam lift, dia hanya diam. Ia menaruh sebelah tangan kirinya di dalam saku
celananya hingga akhirnya kubikel lift itu terbuka dan aku mengikutinya lagi.
Dia terus berjalan dan finally kami sampai di depan sebuah
pintu. Kurasa ini adalah ruangan Martin.
Justin mengetuk pintu itu.
Pintu itu terbuka dan tampaklah
sosok pria dengan setelan jas hitamnya. Rahang pria itu ditumbuhi rambut-rambut
tipis. Ia berambut kecoklatan dan sedikit berjambul. Ya Tuhan, itu adalah
Martin. Martin yang sekarang. Aku terdiam untuk waktu yang
agak lama...hingga akhirnya kusadari bahwa Justin sedang berjabat tangan dengan
Martin dan memeluknya bak sahabat karib. Ya Tuhan, aku ingin menangis.
Dulu mereka berdua benar-benar
bermusuhan. Martin selalu mengejar Justin bak sedang mengejar seorang teroris karena
Martin menganggap bahwa Justin telah mengambil istrinya yang bernama
Hillda. Peperangan mereka saat itu...
Kegemparan dunia saat itu...
Sekarang mereka jadi seakur ini.
Mataku berkaca-kaca tatkala
mengingat kembali bahwa Justin hampir mati pada saat itu.
Aku tak menyangka kalau Justin akan
melakukan kerja sama dengan perusahaan Martin. Terkadang takdir Tuhan memang
lebih indah daripada apa yang kita duga.
Setelah mereka selesai berpelukan,
Martin pun menatapku dengan senyuman khasnya. Justin juga menatapku.
"Violette? Lama tak bertemu
denganmu." Martin menyapaku dengan ramah dan kami berjabat tangan. Aku
tersenyum penuh haru dan kami berpelukan sekilas.
"Yes... It's been a long
time," jawabku
dan Martin terkekeh.
"Ayo, silakan masuk," ajak Martin
sembari mempersilakan kami berdua masuk ke dalam ruangannya. Martin berjalan
memunggungi kami berdua. Kalau aku tidak salah...sepertinya Justin mendorong
punggungku dengan pelan untuk mengajakku masuk. Mendadak aku
mengernyitkan dahiku, merasa aneh. Dia tak berbicara, tetapi dia mendorong
punggungku dengan pelan menggunakan sebelah tangannya hingga kami duduk
bersebelahan di sebuah sofa yang ada di ruangan Martin. Justin bersandar,
sedangkan aku duduk tegap. Seorang perempuan menaruh sebuah teko yang terbuat
dari kaca serta tiga buah gelas bertangkai ke atas meja, kemudian ia pergi
lagi. Itu adalah sirop.
Martin duduk di seberang kami dan ia
membuka jasnya agar merasa sedikit bebas.
"Aku tak menyangka bahwa kita
akan bertemu kembali," ujar Martin sembari tertawa. "Jadi... Kalian
sudah menikah?" tanya Martin dan sontak mataku membulat. Perutku langsung
mengejang.
Justin terkekeh. Wah? Apa
yang dikekehkannya? Aku justru memerah sendiri.
Martin mengernyitkan dahi.
"Jadi...apakah—"
Tiba-tiba, aku merasa tanganku
digenggam. Aku sontak terkejut dan langsung menatap punggung tanganku yang
terasa bagai diselimuti oleh kulit telapak tangan yang hangat. Tangan itu
berukuran lebih besar dariku.
Tunggu.
Justin—MEMEGANG TANGANKU?
Ya Tuhan, apa yang sedang ia
lakukan? Tolong, ini bukan saatnya bagiku untuk memberontak dengan keras atau
mengomeli dia seperti biasanya. Aku tak mengerti dengan apa yang sedang
terjadi, tetapi ini nyata.
Justin tiba-tiba tersenyum miring.
Pria itu menatap Martin dengan tatapan yang sangat bersahabat. "Kami hanya
berpacaran. Sekarang dia adalah executive assistant-ku.
Ah—aku benar-benar sibuk; aku belum tahu kapan kami akan menikah."
WHAT? LELUCON APA INI?!!!
Aku memelotot—karena tak terima—pada
Justin, tetapi Justin tiba-tiba mengelus punggung tanganku. Aku meneguk ludahku
dengan susah payah dan aku tahu kalau napasku jadi tertahan karena aku
sedang shock. Sialan. Apa maksud dari semua ini?
Apa dia sedang merencanakan
sesuatu? Setelah dia membuatku jadi benci padanya karena sifatnya yang
menyebalkan itu, kini dia memperlakukanku dengan manis di depan orang lain? Aku
selama ini menyayangi Justin sebagai sahabat karibku, tetapi aku jadi
membencinya sejak dia berubah menjadi sosok yang sangat kejam.
Aku peduli padanya, tetapi aku juga
membencinya. Ini membingungkan dan aku tahu itu.
Lagi pula, kekasih?
BELUM TAHU KAPAN AKAN MENIKAH?
Astaga—apa-apaan ini?!
Aku menggeleng tak habis pikir. Pipiku
mulai memanas.
"Wah, tampaknya
kau sedang sibuk sekali, ya? Selamat untuk kalian. Aku harap undangan pernikahan
itu cepat datang kemari," kata Martin dan Justin tertawa.
Aku menunduk, tetapi aku yakin kalau wajahku pasti memerah sekali saat ini.
"Ah... Christian! Oh my
God—hey! Jangan
berlari, kau harus makan! Sweetheart!"
Terdengar suara ketukan high
heels di lantai dan bunyi-bunyian dari sepatu anak-anak. Aku, Justin,
dan Martin sontak menoleh ke asal suara yang rupanya berada sekitar lima meter
di belakang Martin. Aku ternganga ketika aku melihat bahwa di sana ada seorang
wanita dengan rambut brunette sepinggang yang tergerai indah.
Wanita itu memakai dress panjang berwarna merah dan terlihat
begitu anggun. Dia sedang mengejar seorang anak laki-laki yang kira-kira
berusia tiga tahun dan anak itu terlihat benar-benar lucu. Baju dan celananya,
sepatunya, serta rambut pirangnya yang ikal... Ya Tuhan, rasanya aku ingin
menggigit anak itu!! Aku menutup mulutku ketika wanita itu mendongak dan mulai
melihat ke arah kami.
Itu Hillda.
Sontak aku terperangah, lalu perlahan-lahan
aku tersenyum lembut. Rasanya aku begitu terharu. Aku pun berteriak,
"Hillda!!"
Wajah Hillda terlihat berseri-seri
ketika ia melihatku dan matanya membulat tak menyangka. Dia menggeleng—hampir-hampir
tak memercayai matanya—tetapi reaksinya itu dibuyarkan oleh anak laki-lakinya
yang tiba-tiba berlari ke arah kami. Hillda langsung berlari mengejar anak itu
dan aku tertawa. Justin hanya tersenyum manis tatkala ia melihat Hillda; pria
itu tidak menunjukkan ekspresi yang begitu berarti. Namun, aku tahu bahwa
mungkin saja kenangan itu masih ada.
Anak laki-laki yang bernama
Christian—berdasarkan cara Hillda memanggilnya—itu mendadak melompat ke
pangkuan Martin.
"Hup—woaaah. Our
little hero is coming back to Daddy, hmm?" kata Martin, kemudian
Martin menciumi pipi anak itu. Martin mendudukkan anak itu di pangkuannya.
Hillda kini berdiri di belakang Martin dan Martin menyuruh Hillda untuk duduk
di sebelahnya. Hillda dan Justin lalu bersalaman dan mereka berdua hanya memberikan
tatapan yang biasa saja. Aku...sungguh, aku jadi terbayang masa
lalu dan aku merasa seolah...
Aku tak tahu. Namun, mereka hanya
saling tersenyum.
"Hei," sapa Hillda.
"Hei." Justin balas
menyapa, kemudian jabatan tangan mereka terlepas.
Sekarang Martin dan Hillda terlihat
bagai keluarga kecil yang paling bahagia di depanku...
Aku dan Hillda kini bertatapan
dengan lembut.
"Ini anakku. Haha, dia sudah
besar." Martin mulai berbicara sembari memosisikan anaknya agar duduk
dengan benar. Well, anak itu ternyata adalah anaknya. Anak itu
mirip sekali dengan Martin.
Oh ya ampun, aku ingin menggaruk
lantai saking gemasnya melihat anak itu.
"Dia sangat mirip
denganmu," komentar Justin. Martin tertawa.
"Yeah," jawab Martin.
"begitulah."
Tiba-tiba, si kecil Christian turun
dari pangkuan ayahnya dan berlari ke belakang sofa yang sedang diduduki oleh
kedua orangtuanya. Dia lalu berlari jauh ke belakang sana dan kami semua
terperanjat. Justin nyaris tertawa. Aku sontak berdiri dan mencegah Hillda—yang
berencana untuk mengejar Christian—kemudian aku berlari sendiri untuk mengejar
Christian. Mereka tertawa melihatku mengejar Christian sampai sosokku tak
terlihat lagi di mata mereka. Ruangan Martin ini besar dan banyak lorongnya. Si
kecil Christian berlari ke lorong yang ada di sebelah kiri dan masuk ke dalam
sebuah ruangan. Aku berhasil mendapatkan tubuh Christian ketika aku sampai di
ruangan itu. Aku berdiri sembari menggendong Christian dan aku menatap ke
sekeliling.
Ini ternyata merupakan sebuah
kamar.
Ketika aku berbalik, Hillda rupanya
sudah bersandar di di kosen pintu. Aku nyaris saja terpelanting ke belakang
karena terkejut.
Hillda tertawa.
"Hillda," ujarku seraya
mengelus dadaku. Hillda mendekatiku dengan senyumannya dan dia mengambil
Christian dari gendonganku ketika ia sampai di dekatku. Setelah itu, dia duduk
di pinggiran kasur dan mengisyaratkanku untuk ikut duduk bersamanya. Aku pun
menganggukkan kepalaku dengan kaku. Ya ampun, rasanya sekarang malah aku yang
kalah dewasa dari Hillda, padahal dulu akulah yang sering menasihati Hillda. Oh
Tuhan, aku tidak berkembang menjadi semakin baik.
Hillda memosisikan Christian agar
duduk dengan baik di sebelahnya. Setelah itu, Hillda memelukku dengan sangat
erat. "VIOLETTE!!!! BAGAIMANA KABARMU? Ya Tuhan, sudah berapa lama kita
tidak bertemu?!! Tiga tahun?! Empat tahun?! Ternyata kau di New
York!! Aku kebetulan sedang ikut suamiku untuk mengecek cabang
perusahaan kami di sini dan aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu!!!
ASTAGA..."
Aku balas memeluknya dan sedikit
mencium aroma tubuhnya yang harum saat kami berpelukan. "Aku baik-baik
saja, Hillda. Bagaimana denganmu? Kau memiliki anak yang lucu."
Hillda tertawa, lalu dia melepaskan
pelukannya. "Yeah, aku baik juga. Oh, benarkah?"
Aku mengangguk dengan antusias dan
dia tertawa lagi. Aku berbisik padanya, "Kalau begitu, aku menunggu
Christian dewasa saja, deh."
Hillda tertawa keras.
"Kau sudah menjadi nenek-nenek
ketika Christian dewasa. Lagi pula, hey! Bagaimana dengan
Justin? Sejak kapan kalian berpacaran, eh?" Dia menyenggol lenganku
sembari senyum-senyum. Alisnya naik turun untuk menggodaku. Argh—bagaimana
ini?
Aku menggigit bibir. Aku mau bicara
apa? Sialan dengan apa yang tadi Justin katakan. Hillda yang tak mendengar
pembicaraan itu pun ternyata bisa mendapatkan gagasan bahwa Justin dan aku
sedang menjalin hubungan spesial. AARGHHH!!!!!
"Tidak—aku..."
"Cepatlah menikah, Vio. Aku
tak sabar ingin melihat anakmu nanti," ujar Hillda dengan antusias dan
mataku terbelalak. Wajahku memerah dengan cepat. Ah...siaaaaaaaaal!
Aku terkekeh dengan awkward,
menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali.
"Aku senang bahwa yang jadi
dengan Justin itu kau," ujar Hillda, dia menatapku dengan
tatapan lembutnya. Aku sontak mengernyitkan dahiku dan dia tersenyum padaku.
Dia menatapku dengan intens.
"Semoga kau juga yang kelak
menjadi istrinya," kata Hillda kemudian. Hillda semakin melebarkan
senyumnya. Aku tertegun.
Aku meneguk ludahku.
Tiba-tiba, Hillda mengalihkan
pandangannya dariku dan mulai mencari Christian. Dia menoleh ke kiri dan ke
kanan, lalu akhirnya dia menemukan Christian yang ternyata ada di belakangnya.
Dia bernapas lega, kemudian dia menatapku kembali sembari memegang punggung
tanganku.
"Hei, para lelaki ada di luar
sana, bagaimana jika kita mengobrol di sini saja? Tidak enak mengganggu mereka
yang sedang berbicara soal bisnis," kata Hillda, lalu ia tergelak. Sontak
aku ikut tertawa.
"Baiklah."
Pada akhirnya, aku hanya terus
mengobrol dengan Hillda sampai Justin dan Martin selesai. Aku tadi tidak
membantu Justin, astaga. Hahaha. Hmm…biarkan saja, deh.
Aku diajak oleh Hillda, 'kan? Ups.
******
Author:
Ketika urusan bisnis itu selesai,
Violette dan Justin akhirnya keluar dari kantor Martin. Mereka lagi-lagi
berjalan berdampingan.
Violette terus menoleh ke arah
Justin, batinnya seakan berteriak; Violette ingin meminta penjelasan dari
Justin. Penjelasan tentang mengapa Justin berkata bahwa Violette adalah
kekasihnya. Namun, Violette tidak mungkin memarahi Justin di tengah
jalan. Nanti saja ketika di mobil, pikirnya.
Ketika sampai di dalam mobil,
Justin maupun Violette langsung menutup pintu mobil Bugatti merah milik Justin
itu dan tak lama kemudian Justin menghidupkan mesin mobilnya. Justin mengemudi
dengan santai, sementara Violette sibuk berperang sendiri di dalam kepalanya. Sial, ini
akan sulit jika Justin kembali ketus.
Selama nyaris lima
menit, suasana terasa canggung dan sangat hening. Suasana itu seolah menertawai
mereka. Kebekuan Justin sangat sulit untuk dicairkan sekalipun bagi
Violette yang merupakan temannya. Akan tetapi, akibat rasa penasaran yang sudah
tak sabar ingin dipuaskan, Violette pun akhirnya mengeraskan rahang dan
memberanikan dirinya untuk menatap Justin.
"Justin," panggil
Violette dengan pelan, merasa kalau dirinya agak lelah untuk ribut dengan
Justin. "mengapa kau berkata seperti itu pada Martin? Kau—apa yang sedang
kau pikirkan? Mengapa kau tiba- tiba jadi bersikap baik padaku?"
Justin menghela napas samar.
"So?" tanya Justin dengan pelan dan
singkat.
SIAL, MAN. Violette
jadi merasa bagai bebek betina yang terus berisik di samping pria itu!
Violette menggeram bukan main.
"AKU BERTANYA PADAMU APA YANG SEDANG KAU PIKIRKAN!!!!!" teriak
Violette. Okay, kali ini semua emosinya langsung meledak dan
menyembur ke luar. Namun, ekspresi wajah Justin tetap datar meski Violette
sudah mengamuk di sebelahnya.
Justin hanya diam. Violette
tentu saja jadi semakin jengkel.
"HEI, AKU SEDANG BERTANYA PADAMU! HEI!! APAKAH
AKU MASIH HARUS MEMANGGILMU DENGAN SEBUTAN 'SIR' DALAM KEADAAN
SEPERTI INI?!!"
"Berhentilah berteriak,
Violette," ujar Justin dingin.
Violette semakin menggeram dan
mengamuk. Gadis itu mulai berteriak tidak jelas agar Justin jadi semakin
pusing. Jika Justin pusing, ada kemungkinan kalau Justin akan kesal dan
terpaksa memberitahunya. Namun, itu kemungkinan yang pertama.
Kemungkinan yang kedua adalah: Violette akan ditendang ke parit oleh pria itu.
"LA LA LA LA O O O O JUSTIN JA WAB SE KA RANG O
O NA NA TRA LA LA..."
Violette terus berteriak dan
bergerak seperti badut di dalam mobil, tetapi Justin hanya mengernyitkan
dahinya samar. Itu pun hanya ketika suara Violette besarnya melampaui batas.
"Violette."
Oh, itu peringatan yang pertama.
Namun, bodo amat. Violette kembali berteriak, "JAWAB AKU,
BERITAHU AKU APA YANG SEDANG KAU PIKIRKAN!! AKU BUKAN KEKASIHMU DAN ITU ANEH,
MR. KEJAM! OH, TERNYATA KAU BISA BERPERILAKU MANIS JUGA, YA? APA KAU HANYA
SEPERTI ITU DI DEPAN ORANG LAIN? SELAIN ITU—"
"It's just a fake
relationship," jawab
Justin dengan tenang dan dingin. Violette sontak berhenti dari perilaku hyperactive-nya
dan ia lantas menatap Justin sembari menganga. Fake relationship? OH
TUHAN, APA LAGI INI? Tidak. Violette bukan tipe orang yang
mudah untuk dipermainkan. Violette tahu siapa saja manusia yang hanya
memanfaatkannya, hanya mempermainkannya, dan hanya menipunya.
"Jangan bercanda, Justin," kata
Violette, nada Violette terdengar begitu tajam. Violette menatap Justin dengan
saksama dan Justin langsung menghentikan mobilnya. Violette sedikit terdorong
ke depan, tetapi dalam jangka waktu beberapa detik, semuanya kembali ke keadaan
semula.
"Aku tidak suka bercanda,
Ms. Morgan. Maka dari itu, diamlah dan jangan buat aku memecatmu sekarang juga,"
ujar Justin.
Violette menggeleng. "Aku tak
peduli. Yang aku pedulikan sekarang adalah apa alasanmu berkata bahwa itu
adalah hubungan palsu. Aku bukan wanita murahan yang biasa menggeliat di
dekatmu kapan saja, lalu menuruti apa pun kemauanmu termasuk menjalin hubungan palsu denganmu.
Kau tahu itu, ‘kan, sir?" jawab Violette dengan penuh
penekanan. Tatapan dari kedua mata Violette juga tampak begitu mengerikan, ia
memicing tajam seolah setipis silet. Violette mengatakan itu sembari menunjuk
Justin dengan jari telunjuknya.
"Memangnya siapa yang sedang
mempermainkanmu? Kalau aku ingin bermain-main, lebih baik aku mempermainkan
wanita-wanita yang lebih cantik di luar sana. Jaga ucapanmu," jawab Justin
tak kalah tajam.
"KATAKAN PADAKU APA MAKSUD
DARI FAKE RELATIONSHIP YANG KAU KATAKAN!" teriak Violette
dengan penuh amarah, ia tak memedulikan jawaban Justin barusan. Justin
menggeram, kemudian pria itu mencengkeram roda kemudinya dan menoleh ke arah
Violette.
"Elika." Justin berbicara dengan nada
serius. Pria itu langsung menatap Violette dengan tatapan intens. Violette
tersentak sesaat, kemudian gadis itu menyatukan alis.
"What...what do you
mean?" Violette
menggelengkan kepalanya tak mengerti.
Justin mengembuskan napasnya samar
dan menghadap kembali ke depan.
"Dia akan terus menggangguku.
Kuharap kau mau membantuku."
Violette terdiam. Satu menit
kemudian, Justin kembali menjalankan mobilnya.
Bu Elika? Mengganggu Justin?
Sebenarnya, apa hubungan Justin
dengan Bu Elika itu? Violette sama sekali tidak tahu. Namun, sepertinya…ini
aneh. Lagi pula, mengingat Justin yang sifatnya seperti itu...pria itu takkan
memberitahukan hal seperti ini kepada siapa pun. Justin tidak suka menceritakan
tentang dirinya kepada orang lain, kecuali jika orang itu penting baginya.
Violette sudah merasa bahwa Justin
tidak akan mungkin memberitahunya soal Bu Elika, bahkan bila Violette memaksanya
sekalipun. Misterius tetaplah misterius. Dingin tetaplah
dingin. Mengintimidasi tetaplah mengintimidasi. Itu
saja.
Selain itu, mengapa harus Violette
yang membantunya? Lagi pula, apa pentingnya menghiraukan Bu Elika sampai harus
meminta bantuan Violette untuk melakukan hal seperti ini? Sungguh, sudah ada
berapa pertanyaan? Segalanya masih tidak jelas dan itu membuat Violette sakit
kepala sendiri tatkala memikirkannya.
Namun, Violette ingin tahu.
Apakah Bu Elika itu memiliki suatu hubungan
khusus dengan Justin? Apakah Bu Elika itu penting bagi Justin? Semua rasa
penasaran itu seolah tak bisa lagi Violette tahan di dalam benaknya. Violette
ingin menanyakannya pada Justin karena entah mengapa sekarang hal itu membuat
Violette jadi tidak tenang.
Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi
dengan Violette? Setiap mendengar nama ‘Elika’ keluar dari mulut Justin, rasanya...
Namun, tetap saja Justin tidak
boleh menggunakan Violette untuk menjadi ‘pacar palsunya’ demi menghiraukan
segala tingkah laku Bu Elika!
Violette mendadak jadi marah lagi
saat memikirkan itu. "Mengapa harus aku?!! BANYAK SEKALI WANITA
YANG LEBIH CANTIK, 'KAN? SO COME ON! GET THEM!" teriak
Violette, tetapi Justin hanya diam sembari mengemudi.
Violette mengepalkan tangannya.
"MEREKA LEBIH BISA MELAYANIMU, 'KAN? HA," teriak
Violette lagi.
Justin masih diam.
"LAGI PULA, KAU ITU GILA! Kau
tahu bahwa itu adalah ide yang buruk jika kita berpura-pura. Aku tak ingin
melakukannya, even in a thousand years later in my life," ujar
Violette kesal. Violette membuang wajahnya dari Justin dan mengeraskan rahang.
"You will be dead by
then," jawab
Justin santai.
Violette kontan menganga. Ia
langsung menoleh ke arah Justin dan memelototi Justin habis-habisan.
"HEI!!! ENAK SAJA KAU BILANG AKU AKAN MATI! Kau melakukannya demi Bu Elika
dan kau tak memedulikan perasaan orang lain lagi! Lebih baik kau memecatku saja
daripada menyuruhku untuk bekerja sebagai executive assistant-mu
sekaligus kekasih palsumu. Aku lebih senang diberhentikan daripada harus
menuruti kehendak gilamu itu. Aku tahu bahwa kau itu kejam, tetapi
ini mulai keterlaluan dan kupikir kau harus tahu itu, sir," peringat
Violette. Tak terasa mata Violette jadi berkaca-kaca. Yah, kehilangan
pekerjaan yang menyakitkan untuk satu waktu mungkin tidak masalah, tetapi
mengapa tiba-tiba Violette jadi ingin menangis?
'Oh, c'mon, Vio. Mengapa kau
menangis setelah kau memarahinya?' batin
Violette, pikirannya jadi kalut. Seharusnya Violette memarahi Justin
habis-habisan, tetapi kali ini...mengapa...
Sial. Violette rasa ia sudah
terjebak dalam sikap otoriter pria itu. Ini menyebalkan.
Violette dengan cepat mengusap air
matanya. Dia tahu ini tidak masuk akal, aneh, dan sia-sia
saja. Toh Justin sedari tadi hanya diam dan tak meresponsnya.
Berarti belum tentu Justin akan mendengarkannya, 'kan?
Tiba-tiba, mobil itu berhenti di
pinggir jalan dan Justin langsung turun dari mobil. Justin memutari mobil itu
dari depan dan membuka pintu mobil yang ada di samping Violette, kemudian pria
itu melepaskan sabuk pengaman yang terpasang di tubuh Violette. Setelah itu,
dia menarik tangan Violette dengan kuat hingga sukses membuat kedua mata
Violette membulat penuh.
Justin lalu menutup pintu mobil itu
kembali dan menarik Violette ke dekat sebuah gedung. Gedung itu ada di samping
gedung besar yang berwarna keabuan. Di sana kelihatannya cukup sempit karena
mereka berada di sela-sela dua gedung besar yang entah merupakan gedung apa.
Violette hanya terus ditarik oleh Justin dan gadis itu mulai mengaduh
kesakitan.
Setelah itu, kini Justin mengimpit
tubuh Violette ke tembok samping gedung itu. Pria itu mengunci tubuh Violette
dengan sebelah tangannya, lalu mengunci tatapan Violette dengan tatapan
intensnya.
Violette merasa bahwa jantungnya
seolah akan jatuh dari tempatnya karena dia terkejut bukan main. Mata Violette masih
membulat sempurna; dia mendapati hidung mancung Justin yang sekarang nyaris
menyentuh hidungnya lantaran tubuh mereka nyaris menempel. Justin menumpukan
sebelah tangan pria itu pada tembok dan sebelah tangannya lagi ada di dalam
saku celana slim fit-nya. Justin benar-benar mengunci tubuh Violette
yang wajahnya nyaris pucat karena kaget.
Violette meneguk ludahnya dan
menggigit bibir bawahnya kuat- kuat. Matanya sama sekali tidak berkedip. Aroma
maskulin dari tubuh Justin dan napas beraroma mint-nya menguar
di sekeliling Violette dan terasa semakin menggelitik indra penciuman Violette.
Itu adalah aroma kemaskulinitas khas pria yang membuat Violette jadi tak
berkutik.
"K—Kau—Justin—what
the hell are you doing?!!"
Justin hanya diam. Pria itu terus menatap
Violette dengan tatapan yang dalam, tetapi masih terkesan dingin.
"Jus...tin...ini sempit
sekali!" berontak Violette, tetapi tenaganya sama sekali tak bisa membuat
Justin bergeser.
"Justin—ya ampun—Just—"
"Kau bilang itu adalah ide
yang buruk jika kita berpura-pura, 'kan?" tanya Justin seraya menyipitkan
matanya. Violette meneguk ludahnya dan tertunduk. Bola mata berwarna karamel
milik pria itu akan membakar Violette jika Violette terus memandanginya.
Bola mata itu akan memaksamu untuk terjebak di dalamnya dan takkan pernah bisa
kembali. It’s mesmerizing, burning, and sucking you in. Bola mata itu
mampu mengunci seluruh tubuhmu hanya karena menatapnya.
This is not good.
Violette yakin wajahnya mulai
memerah meski ia tak tahu sekarang ini ia sedang malu atau sedang marah.
Namun, beberapa saat kemudian…akhirnya
Violette menghela napas.
"Sudahlah, lepaskan aku,"
kata Violette dengan jenuh, tetapi cukup menuntut. Sialnya Justin malah mendorong Violette
kembali dan semakin mengunci tubuh gadis itu. Violette terdiam dan bola matanya
lagi-lagi membulat sempurna; ia bertatapan dengan Justin. Ya ampun, ini
CEO-nya sendiri. Juga temannya—ralat, sepertinya ini tidak pantas
untuk disebut sebagai teman lagi.
"Jika tidak bisa berpura-pura,
kita jalani saja hubungan yang sebenarnya," ujar Justin
sembari memiringkan kepalanya ke sisi.
Mataku Violette kontan memelotot.
Justin justru tersenyum miring pada Violette dan gadis itu langsung tercengang.
Justin? Tersenyum padanya? HECK. Ternyata Justin merupakan
seorang perayu ulung!
Sesaat kemudian, Violette mulai
menjawab Justin.
"Dengar, Justin," ujar
Violette seraya menggeleng tak habis pikir. "Apakah kau bodoh? Hubungan
yang pura-pura saja sudah merupakan ide yang buruk, apalagi hubungan yang
sebenarnya. Kita tak saling mencintai! Kau hanyalah bosku dan well, aku
tak bisa menganggapmu sebagai temanku lagi. Apakah kau tak malu jika kita
dilihat oleh orang lain? Hentikan semua usahamu untuk Bu Elika ini jika kau
hanya mau memanfa—"
Tidak mendengarkan bantahan
Violette, Justin malah semakin memiringkan kepalanya; Justin mendekatkan
wajahnya ke telinga Violette. Semakin dekat...dan Violette merasa bahwa
napas Justin mulai menggelitik bagian leher hingga telinganya. Violette kontan
merinding, jantung Violette berdegup kencang dan—sial! APA YANG
SEDANG CEO GILA INI LAKUKAN?!!
Ketika Violette menundukkan kepala
demi menghindari ‘sesuatu’ yang sedang Justin lakukan, Justin pun terkekeh
pelan dan sedikit menarik dirinya kembali. Wajahnya kini berada di depan wajah Violette.
Pria itu lalu mengangkat dagu Violette dengan jari telunjuknya.
"Nah, pipimu memerah. Kurasa ini sudah
cukup untuk membuktikan bahwa kau menyukaiku," ujar Justin, lalu Justin
menjauhkan tubuhnya. Ia berdiri tegak, memberikan senyuman miringnya kepada
Violette sejenak, lalu mulai berbalik dan berjalan membelakangi gadis itu.
Violette menganga, dia langsung
menatap Justin dengan heran, tetapi yang didapatinya hanyalah punggung lebar milik
Justin. Tubuh tegap Justin yang sempurna.
Berhenti melangkah dan berbalik
sejenak ke belakang, Justin pun berbicara, "Jadi, sekarang kau adalah
kekasihku. Let’s take care of each other.”
Setelah mengatakan itu, Justin pun tersenyum
miring dan mengulurkan sebelah tangannya untuk Violette. Bermaksud agar
Violette menggenggam tangannya. []
******
No comments:
Post a Comment