Chapter
1 :
What
About Us
******
Shay:
AKU memandangi
wajah Elvis saat ia dan gerombolan supervisor lainnya datang menghampiri kami.
Aku hanya datang bersama supervisorku, Peter, orang satu-satunya yang
mengadakan acara makan-makan ini. Kenyataan bahwa Peter membawaku—selaku anggotanya—ke
sini sudah cukup aneh, tetapi sebenarnya aku sedikit paham alasannya. Kemungkinan
besar dia membawaku ke sini karena kami berteman dekat. Peter juga
terang-terangan berkata bahwa dia ingin melindungiku setelah beberapa bulan
kami berteman. I have a gut feeling that he likes me, actually.
Sesungguhnya,
Peter bukanlah orang yang mau dibantah meskipun pria itu memiliki wajah yang
penuh dengan senyuman setiap harinya. Jika kau mengimpikan seorang pimpinan
yang ramah dan murah senyum maka Peter adalah salah satu pemuas impianmu. Akan
tetapi, Peter bukanlah orang yang bisa sembarangan kau ajak bercanda.
Elvis
hanya menatapku dengan mata yang agak menyipit, tatapan yang hanya bertahan
selama setengah detik. Wow, that was fast. Aku akui, aku
memandangnya dengan penuh harap; aku ingin dia memandangku setidaknya selama
dua atau tiga detik. Sial, itu tak mungkin terjadi mengingat
supervisor yang satu itu terkenal sangat dingin. Aku menghela napasku,
meredakan gejolak yang sungguh tak bisa kutahan, bertepatan dengan Peter yang menepuk
pundakku agak kencang.
"Oke,
mari masuk ke dalam!" teriaknya dengan suara cheery-nya.
Elvis
dan teman-temannya mulai melangkah melewati kami untuk masuk ke restoran fast
food pinggiran kota yang menjadi pilihan Peter. Peter selalu memiliki
selera yang aneh dalam bidang apa pun, termasuk fakta bahwa dia menjadikan
fotoku sebagai wallpaper ponselnya.
Aku
dan Peter berjalan di belakang rombongan itu dan aku tidak terkejut saat Peter mulai
merangkulku. Aku hanya berdecak dan terkekeh geli, memandangi Peter yang
tertawa akan tingkahnya sendiri. Percayalah, pria satu ini benar-benar
menyenangkan di luar kepribadian anehnya.
Kami
sampai di meja yang paling dekat dengan kasir restoran sederhana itu, di mana
kami duduk di lantai dengan hanya dibatasi meja panjang yang tingginya
hanya sampai bawah dadaku. Peter tentu mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku
menatap ke depan dan melihat Elvis bersama teman-temannya duduk di seberang
kami. Akan tetapi, tiga orang dari mereka ada yang mengambil posisi duduk di sebelah
kami.
Aku
melihat teman-teman Elvis menawari Elvis untuk memesan sesuatu. Aku tersenyum
tipis dan beralih melihat ke arah Peter. Peter tersenyum padaku.
"Kau
mau makan apa, Sweety? Kita pesta sejenak!" katanya, lalu
dia tergelak.
Aku
mengangguk dan tersenyum pada Peter. Saat aku menatap Peter, semangatnya
tiba-tiba menular padaku.
"Apakah
kau akan membahas masalah pekerjaan di sini, Pete?"
Peter
memesan sesuatu, kemudian melihatku. "Hahaha, bagaimana mungkin kau selalu
tahu apa yang kulakukan? Kau benar-benar tipeku," ujarnya seraya
menjejalkan humor yang kupikir bukanlah humor sama sekali. Namun, aku tetap tertawa.
Pesanan
datang dan kami semua mulai makan. Wow, seriously, ini
restoran pinggiran kota yang tahu benar selera orang Amerika. Peter sering ke
sini?
Aku
mencomot piza dan memainkan mozarella yang ada di
atasnya. Mengemutnya perlahan dan aku sadar bahwa ada seseorang yang
memperhatikanku. Aku menghadap ke depan dan aku melebarkan mataku, mengetahui
dia, dengan mata cokelatnya itu, tengah memandangiku dengan intens. Aku
kontan membuang wajahku dan menggigit pizaku dengan cepat.
Sesekali
aku mengobrol dengan Peter, lalu diam dan mendengarkan para supervisor yang sedang
membicarakan pekerjaan mereka. Aku jadi merasa seperti penyusup di
sini. Peter benar-benar sialan.
Dua
jam sudah cukup bagiku untuk bertahan dengan semua itu dan untungnya Peter
menyadari bahwa aku sudah tidak nyaman. Dengan ramah dia menyarankan kami untuk
pulang bersama-sama dan tentu saja aku akan marah bila dia tak mengantarkanku
pulang ke rumah. Jujur saja pekerjaanku belum selesai.
******
Aku
sedang mengetik sebuah laporan di laptopku saat kudengar pintu kamarku diketuk.
Aku terbiasa mengunci pintu kamarku walaupun aku tahu aku telah mengunci pintu depan flat-ku.
Entah mengapa, keamanan yang ekstra akan membuatku merasa tenang untuk
melakukan segala sesuatu.
Mataku
terbelalak saat kudengar pintu kamarku tiba-tiba diketuk. Aku menatap perlahan ke
pintu kamarku dan aku cukup yakin itu siapa. Yang jelas, dia adalah
satu-satunya orang yang memiliki kunci duplikat pintu depan flat-ku.
Aku langsung berdiri dan membuka kunci pintu kamarku.
"Who—" Begitu
kubuka pintunya, sosok itu langsung menyerbuku.
Dia
menciumku dengan liar dan langsung menendang pintu kamarku. Aku sudah hafal
ciuman ini; aku hafal dengan sentuhan yang kudapatkan nyaris setiap malam ini.
Dia menciumku dengan panas, memasukkan lidahnya ke mulutku dan aku mengerang.
Aku memegangi lehernya dan dia langsung menggendongku; dia menekan tubuhku ke
dinding. Aku mendesah saat dia menjilati leherku dan mulai merobek pakaianku.
Aku
selalu membutuhkan ini darinya. Aku selalu tahu bahwa kami berdua saling
membutuhkan. Aku mendongak saat ciuman panasnya menjalar ke atas hingga ia
menggigit daguku. Kuremas rambut cokelatnya hingga ia terlihat semakin
bersemangat. Dia menggeram saat mendengar desahanku yang menjadi-jadi hanya
karena dia mencium tubuhku.
Dia
meremas sebelah payudaraku yang masih dilindungi oleh bra hitam. Ia
melakukannya dengan cepat dan aku menjerit. Demi Tuhan, ini begitu nikmat. Aku
semakin mendongak dan dia melepaskan kaitan bra-ku dalam sekali
sentakan.
"Sialan,
Shay, kau benar-benar sialan," umpatnya padaku, lalu dia
melanjutkan dengan sarkastis, "Sejak kapan kau dekat dengan Peter,
eh?"
Aku
tahu dia sedang tersenyum miring dan ia langsung meremas payudaraku dengan membabi
buta. Suaraku semakin tak terkendali. Aku membutuhkannya!
"Elvis!"
teriakku saat ia berbalik dan mengempaskanku ke ranjang.
Ia
menarik celana dalamku dengan cepat dan ia membuka jaket kulitnya beserta
kaus v-neck berwarna hitamnya. Bentuk tubuh Elvis yang sangat
kusukai itu kini terpampang lagi di depanku, kemudian dia kembali menciumi
leherku.
"Katakan
padaku, Shay," ujarnya, berbisik saat bunyi kecupannya sukses membelai
telingaku. "Sejak kapan Peter seagresif itu?"
Aku
mendesah, tetapi aku memukul lengannya dan mencoba untuk memusatkan pikiranku
alih-alih menatap wajah tampannya.
"Dia
supervisor kami, Elvis, kau tahu itu," jawabku.
Elvis
mulai membuka ritsleting celana jeans-nya dengan tergesa. Ia
langsung menyatukan tubuh kami saat ia terlepas dari seluruh pakaiannya dan aku
sontak berteriak kencang. Aku bersyukur kewanitaanku sudah basah saat dia
menggerayangi tubuhku sebelumnya.
"Fuck,
Shay, how can you always be this tight even though we did it almost every
day?" ucapnya di ceruk leherku dan desahanku
semakin menjadi-jadi.
Aku
meremas lengannya dan berusaha untuk berbicara meskipun ini terasa sangat, sangat nikmat.
Pipiku memerah saat aku menyadari bahwa Elvis cemburu. Dia sedang cemburu.
"Kau
sendiri yang memutuskan bahwa kita harus bertingkah seolah-olah tak saling
kenal jika di kantor—argh," erangku, menyadari bahwa dia mulai
bergerak di dalamku. Elvis menggeram. Napasnya terdengar sangat memburu.
"Aku
akan menginap di sini malam ini," ujar Elvis sembari menggeram, dia menusukku
lebih dalam. Kepalanya tertunduk di ceruk leherku dan mendadak aku merasa bahwa
dia barusan telah menyentuh g-spot-ku. Aku mendesah hebat.
"Elvis!
Please—"
"Kau
tahu, Shay, di luar dingin sekali," ujar Elvis dengan senyum miringnya.
Aku
menatapnya dengan penuh harap dan jantungku berdebar. Aku menggeleng dengan
cepat karena aku benar-benar tidak tahan, lalu dia melanjutkan, "dan kau
akan menikmati ini sepanjang malam, Sayang."
"Tolong, aku
tak ingin mendengarmu berbicara! Just do it quickly!"
Demi
Tuhan, bahkan tak ada status apa pun yang mengikat kita, Mr. Francisco!
Sampai
kapan ini akan berlanjut? Aku mulai memikirkannya akhir-akhir ini. Sementara
itu, Elvis tiba-tiba mendorong miliknya ke dalamku dengan cepat dan sangat
kuat. Aku menjerit bukan main.
Elvis
menarik kedua tanganku dan menguncinya di atas kepalaku. Aku semakin
berkeringat, desahanku semakin tak terkontrol. Ranjang berderit kencang dan
pinggulku bergoyang cepat bersamanya, kemudian saat aku nyaris mendapatkan
pelepasan pertamaku, Elvis lantas berbisik padaku:
"Sebut
namaku, Sayang. Buktikan bahwa semua desahanmu itu hanya untukku."
Sial!
Aku
tahu bahwa kami berdua lebih nyaman dengan hubungan yang seperti ini.
Setidaknya kenyataan bahwa kami saling mencintai sudah membuat kami sama-sama merasa
tenang. Akan tetapi, aku mulai gila. Aku mulai tak bisa untuk tak
memperhatikannya ketika di kantor. Setahun lebih menjalani hubungan tanpa
komitmen seperti ini sukses membuatku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku
mulai tergila-gila padanya, tetapi di sisi lain, hubungan seperti ini juga
lumayan nyaman untukku.
Omong-omong
soal cemburu, aku cukup tahu bahwa banyak perempuan yang tergila-gila
pada Elvis di kantor. Apakah aku merasakan cemburu setiap harinya? Oh, itu
pertanyaan terbodoh sepanjang masa.
Saat
Elvis akhirnya terjatuh di atas tubuhku, napas kami lantas bersusulan dan
saling memburu. Elvis pun tersenyum miring dan mulai mengecup leherku.
"That
was great, Shay. Love you." []
******
No comments:
Post a Comment